Proceeding Seminar Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Anak 2014

2. Dr. Catharina Tri Anni., M.Pd

3. Dr. Awalya, M.Pd., Kons.

4. Kusnarto Kurniawan, M.Pd., Kons.

5. Edwindha Prafitra N., S.Pd., Kons.

PROCEEDING

Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)

ISBN 968-603-14132-1-0 @ 2014, Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES

Diterbitkan oleh: Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES Alamat

: Gd. A2 Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229

Telp/fax : (024) 8508019 Laman

: http://fip.unnes.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat Berkat dan Rahmat serta karunia-Nya, sehingga penyusunan proseding ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Panitia bersyukur bahwa proseing ini dapat hadir di hadapan para pembaca yang budiman. Ide dasar penyusunan proseding makalah seminar nasional Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang adalah sebagai rasa tanggung jawab akademik dan professional untuk menumbuh kembangkan kualitas pelayanan konseling agar mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas serta kemajuan profesi bimbingan dan konseling di Indonesia.

Pada seminar nasional Bimbingan dan Konseling kali ini mengambil tema “Pelecehan Seksual dan Kekerasan Pada Siswa (Strategi dan Penanganannya)”.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyamakan persepsi tentang posisi dan peran guru dan tenaga pendidik lainya dalam perlindungan anak baik strategi dan penangan berbagai macam kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada siswa. Sebagai upaya tindak lanjut dari kegiatan ini, maka artikel yang masuk dalam kegiatan seminar ini dipublikasikan dalam bentuk proseding agar selanjutnya dapat dengan mudah dibaca oleh banyak kalangan. Dalam proseding ini terdapat

17 artikel atau makalah yang terdiri dari 2 bagian yaitu makalah dari pembicara utama dan makalah yang bersumber dari para kontributor.

Terselenggaraanya seminar nasional ini sampai tersusunnya prosiding ini berkat kerja sama dengan berbagai pihk. Oleh karenanya penyunting bermaksud menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak:

1. Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah mendukung dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan seminar nasional.

2. Para partisipan yang telah menyumbangkan ide dan gagasannya dalam artikel yang ada guna mendukung kegiatan seminar dan kemajuan pelayanan serta profesi bimbingan dan konseling.

3. Redaksi dan penyunting yang telah bekerja keras sehingga prosiding semnas ini bisa diterbitkan.

Penyunting menyadari masih terdapat kekurangan di sana-sini baik dari penyelenggaraan seminar maupun prosiding ini. Oleh karena itu diharapkan balikan, diskusi dan ulasan yang membangun dari berbagai pihak.

Semarang, November 2014

Penyunting

BAB XII Tindakan Penyimpangan Aborsi Pada Remaja ................................ 79

Suhendri, S.Pd., M.Pd., Kons.

BAB XIII Pemahaman Model Interaksi Antar Faktor Sebagai Dasar Analisis Anak Beresiko dan Anak Lentur ..................................................... 84

Yustinus Windrawanto, S.Pd., M.Pd.

BAB XIV Coping-skill dan Dukungan Sosial Untuk Membantu Anak-Anak Korban Kekerasan ........................................................................... 91

Abdul Kholiq

BAB XV Pendidikan Seks Sebagai Upaya Menghindari Pelecehan Seksual Pada Remaja ..................................................................................... 98

Farida, M.Si

BAB XVI Urgensi Kompetensi Kepribadian Konselor Dalam Mencegah Kekerasan Seksual Pada Siswa....................................... 105

Ulya Makhmudah, S.Pd.,M.Pd.

BAB XVII Pendidikan Karakter Sebagai Strategi Antisipasi Terhadap Tindakan Pelecehan Dan Kekerasanseksual Pada Siswa ................. 110

Dra. Ch.Retnaningsih, M.Pd.

BAB XVIII Menghindarkan Anak Dari Kekerasan Demi Masa Depan Yang Sejahtera ................................................................................ 116

Sri Asih Teguh Rahayu, S.Psikologi.

BAB XIX Play Therapy Art Expression Media Menggambar Untuk Mengurangi Stress Anak Jalanan Korban Pelecahan Seksual ......... 124

Zakki Nurul A, S.Pd. dan Edwindha Prafitra N, S.Pd., Kons.

BAB XX Peer Group Sebagai Social Support Dalam Mencegah Kekerasan Dan Pelecehan Seksual Bagi Anak Jalanan ..................................... 131

Muslikah, S.Pd, M.Pd.

BAB XXI Perilaku Pelecehan dan Kekerasan Seksual (Analisis dari Dimensi Konseling Pastoral) .......................................................................... 136

Dr. Catharina Tri Anni, M.Pd.

PERAN KONSELOR DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN DAN PELECEHAN SEKSUAL DI SEKOLAH

Prof.Dr.H.Mungin Eddy Wibowo,M.Pd.,Kons. Guru Besar Bimbingan dan Konseling UNNES,

Ketua Umum Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia

ISBN 968-602-14132-1-0

Pendahuluan Merebaknya berita di media massa ten-

tang kekerasan dan pelecehan seksual yang ter- jadi pada anak-anak dan remaja membuat geli- sah bagi orang tua yang mempunyai anak yang masih belum dewasa dan juga menjadi perhatian dan pembahasan bagi para pakar pendidikan, pakar konseling,pakar psikologi, dan juga pakar hukum. Sejumlah kekerasan seksual pada anak merebak di sejumlah wilayah di tanah air. Setelah kasus JIS, mengemuka kasus Emon di Sukabumi, dan sejumlah tempat lainnya.

Kekerasan seksual adalah isu penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perem- puan karena ada dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam kasus keke- rasan seksual terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa yang dimaksud adalah antara laki- laki dan perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelom- pok bersenjata/aparat-penduduk sipil.

Komisi Nasional Perempuan mencatat da- lam waktu tiga belas tahun terakhir kasus keke- rasan seksual berjumlah hampir seperempat dari seluruh total kasus kekerasan, atau 93.960 kasus dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempu- an yang dilaporkan (400.939). Artinya setiap hari

20 perempuan menjadi korban kekerasan seksu- al. Data ini merupakan hasil dokumentasi yang berasal dari CATAHU, yaitu catatan tahunan Komnas Perempuan bersama lembaga-lembaga layanan bagi perempuan korban, pemantauan

Komnas Perempuan tentang pengalaman ke- kerasan terhadap perempuan di dalam konteks Aceh, Poso, Tragedi 1965, Ahmadiyah, migrasi, Papua, Ruteng, pelaksanaan Otonomi Daerah, dan rujukan Komnas Perempuan pada data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 serta Komisi Penerimaan, Kebenaran dan RekonsiliasiTimor Leste CAVR).

Problem kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dan remaja merupakan masalah kita bersama. Problem ini bukan suatu masalah yang timbul dalam lingkup yang kecil, tetapi hampir terjadi di kota-kota besar, kota-kota kecil, di se- kolah maupun di luar sekolah. Problem ini tidak hanya menjadi masalah lokal, tetapi juga menjadi masalah nasional yang perlu mendapat perhatian dan penanganan secara serius oleh para pendidik baik di rumah, di sekolah dan di masyarakat. Di sekolah tentunya oleh guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling atau konselor yang mempunyai tanggung jawab untuk mem- bantu peserta didik mencapai perkembangan optimal dan kemandirian, melalui layanan pem- belajaran dan layanan konseling. Konselor me- lalui kegiatan konseling sangat beruguna dalam mencegah dan mengatasi masalahnya dengan menemukan cara-cara baru untuk beradaptasi disepanjang perjalanan perkembangan diri yang harus dilalui dalam kehidupannya. Konselor se- bagai tenaga profesional dalam bidang konseling mempunyai peranan penting dalam membantu individu-individu agar terhindar dan dapat men- gatasi masalah-masalah kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa dirinya. Pertanyaan “ Ba- gaimanakah peranan konselor dalam upaya pen- cegahan dan penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di sekolah”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan dibahas berikut ini.

Remaja Beresiko

Setiap remaja adalah seorang individu

Alamat korespondensi: Gedung A2, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229 Alamat korespondensi: Gedung A2, Kampus Sekaran Gunungpati, Semarang 50229

Perkembangan anak muda dapat dipaha- mi dalam pengertian beberapa tantangan yang pasti muncul, yaitu tantangan biologis, tantangan kognitif, tantangan psikologis, tantangan sosial, dan tantangan moral dan psiritual (Kathryn & David,2010). Masa remaja adalah waktu untuk melakukan eksperimen dan mencoba berbagai perilaku baru dalam merespons berbagai situasi baru. Hal ini cukup berisiko, namun anak muda secara inheren rentan untuk terlibat dalam ke- giatan yang penuh risiko dan berlebihan, karena mereka sering kali memiliki keyakinan egosentris bahwa yang harus dihadapi anak muda.

Remaja, di puncak kemudaan, kecantikan, dan berenergi, mereka adalah mahluk yang san- gat seksual. Mereka telah siap secara fisik, mes- kipun belum tentu secara emosional, untuk ber- hubungan seksual. Perilaku seksual di kalangan remaja mungkin terjadi di dalam konteks-konteks yang berisiko, dilakukan tanpa pertimbangan yang baik, atau benar-benar berbahaya—misal- nya di bawah pengaruh obat atau alkohol, di dalam situasi tertekan karena adanya kekerasan dan pemerkosaan yang menimbulkan masalah fisik dan emosional. Risiko-risiko emosional dan sosial yang berkaitan dengan aktivitas seksual yang kasar, dipaksakan, atau disesali dan/atau tidak sesuai dengan ekspektasi dalam kaitannya dengan hasil hubungan.

Kekerasan juga sering terjadi pada anak- anak dan remaja yang dianggap lemah oleh pi- hak-pihak yang menunjukkan dirinya kuat den- gan melakukan perlakuan-perlakuan yang dapat menimbulkan kerugian pada diri anak dan rema- ja baik dari segi fisik, psikis, sosial dan spiritual. Kekerasan terjadi ketika satu pihak atau banyak pihak menyelesaikan konflik dengan cara me- nang-kalah. Konflik terjadi ketika seseorang me- rasakan orang lain mengusik atau mengganggu langkah menuju pencapaian kebutuhan tertentu (Corcoran &Mallinekrodt,2000,p.474).

Kekerasan dan pelecehan seksual pada

saat sekarang marak terjadi baik dilakukan di luar sekolah maupun di sekolah oleh orang-orang yang yang merasa dirinya memiliki kekuatan dan/ atau kekuasaan untuk memaksakan dirinya melakukan tindakan kekerasan dan pemerkosaan seksual yang tidak sesuai dengan ekspektasi hasil hubungan bagi orang-orang yang lemah. Pelece- han seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau re- maja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), memberikan paparan yang tidak senonoh dari alat kelamin untuk anak, menam- pilkan pornografi untuk anak, melakukan hu- bungan seksual terhadap anak-anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak (kecuali dalam konteks non-seksual tertentu seperti pemeriksaan medis), melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik (ke- cuali dalam konteks non-seksual seperti peme- riksaan medis), atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.

Efek Kekerasan

SPerilaku kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang tua, remaja, kepada anak-anak atau orang yang dianggap lemah khususnya anak perempuan, mengakibatkan kerusakan pada anak-anak atau yang dikenai perlakuan ke- kerasan. Patut disayangkan bahwa ketika orang tua, atau orang yang melakukan kekerasan se- bagai tindakan maladaptif dan anti sosial, me- reka meningkatkan kemungkinan bahwa anak mereka atau orang yang dikenai kekerasan akan melakukan tindakan serupa. Sebagaimana sering kali dipertunjukkan, perilaku kriminal dan adiksi terhadap alkohol pada orangtua, terutama ayah, terkait dengan perilaku anti-sosial pada anak muda (West,1982). Dengan demikian sikap tidak bertanggung jawab yang diparktikkan orang tua akan menghasilkan perilaku agresif dan anti- sosial yang diturunkan secara turun-temurun da- lam sebuah keluarga.

Ketika anak-anak mendapat kekerasan akan timbul bermacam konsekuensi emosional dan psikologis bagi mereka pada saat perlakuan kasar tersebut terjadi dan juga di kemudian hari ketika mereka menginjak masa remaja. Efek ke- kerasan secara emosional dan psikologis hampir dapat dipastikan berakibat pada berkembangnya berbagai perilaku maladaptif, kecuali anak atau anak muda yang bersangkutan mampu menye- lesaikan persoalan-persoalan yang menyulitkan secara memuaskan. Efek dari kekerasan anak, Ketika anak-anak mendapat kekerasan akan timbul bermacam konsekuensi emosional dan psikologis bagi mereka pada saat perlakuan kasar tersebut terjadi dan juga di kemudian hari ketika mereka menginjak masa remaja. Efek ke- kerasan secara emosional dan psikologis hampir dapat dipastikan berakibat pada berkembangnya berbagai perilaku maladaptif, kecuali anak atau anak muda yang bersangkutan mampu menye- lesaikan persoalan-persoalan yang menyulitkan secara memuaskan. Efek dari kekerasan anak,

Kekerasan emosional sering terjadi bersama dengan jenis kekerasan lain. McGee,dkk.,(1977) menguji persepsi anak muda tentang perlakuan buruk, termasuk kekerasan emosional, kekerasan fisik, kekerasn seksual, pengabaian, dan menga- lami kekerasan dalam keluarga. Dari berbagai jenis kekerasan ini, anak muda dalam studi ini melaporkan kekerasan emosional sebagai jenis perlakuan buruk yang paling kuat.

Beberapa orang tua mementingkan kebu- tuhan mereka sendiri terlebih dahulu justru ke- tika anak-anak atau anak muda membutuhkan bantuan, persetujuan, dan dorongan mereka pada perilaku positif. Melakukan hal semacam ini be- rarti para orang tua ini lalai untuk menghadirkan diri mereka secara emosional pada anak-anak mereka. Hal ini termasuk perlakuan buruk atau kekerasan. Ketika anak-anak menapaki remaja, mereka cenderung memiliki masalah-masalah yang tidak terselesaikan dalam kaitannya dengan kebutuhan emosional mereka. Sebagai contoh, mereka bisa terlibat dalam kegiatan penyalahgu- naan obat-obatan terlarang, berkelompok dengan teman sebaya yang terlibat dalam perilaku ke- nakalan berisiko yang “menantang”, melakukan kekerasan seksual dan perilaku maladaptif serta anti sosial lainnya.

Kekerasan fisik yang terjadi pada anak- anak pasti akan membawa luka psikologis ke masa remajanya. Pada banyak kasus, mereka tidak hanya harus berhadapan dengan pengala- man menyakitkan dari masa lalu, tetapi juga ber- hadapan dengan berlanjutnya kekerasan dalam hidupnya setelah itu. Dinamika penting dalam kekerasan fisik adalah masalah kekuasaan dan kontrol. Sebagai konsekuensinya, anak muda yang pernah mengalami kekerasan fisik pada masa kanak-kanaknya akan cenderung memiliki perasaan emosional kuat yang tidak terselesaikan seputar masalah kekuasaan dan kontrol.

Orang tua yang cenderung melakukan ke-

kerasan memiliki beberapa karakteristik umum seperti tidak mau bertanggung jawab atas perila- ku mereka, menyalahkan anak-anaknya, beriskap tidak konsisten, tidak memiliki keserasian antara ucapan dan perbuatan, memerlukan memiliki ke- kuasaan atas anak-anaknya, tidak mempercayai anak-anaknya, egois, dan mementingkan kebu- tuhan mereka sendiri. Mereka cenderung men- gulangi kekerasan yang mereka lakukan secara kompulsif (McEvoy & Erickson,1990).

Salah satu bentuk kekerasan anak yang ber- langsung perlahan-lahan adalah kekerasan seksu- al di masa kanak-kanak. Tipe kekerasan ini men- cakup sentuhan yang tidak diinginkan (misalnya belaian yang tidak senonoh), komentar berbau seksual, mendapat kepuasan sek dengan melihat orang lain telanjang atau berhubungan seksual, hubungan seks, seks oral, dan pornografi (Cobia Sobansky & Ingram,2004;Elam & Kleist,1999). Tragisnya kekerasan seksual sering terjadi. Efek jangka panjangnya biasanya merusak tanpa me- mandang apakah korban kekerasan seksual itu laki-laki atau perempuan, heteroseksual atau mo- hoseksual (Hunter,2006). Jika kekerasan seksual terjadi pada masa kanak-kanak, sering menim- bulkan distres, trauma akut, dan bahkan kelaian stres pascatrauma.

Kekerasan seksual yang terjadi selama masa kanak-kanak telah secara luas didokumen- tasikan sebagai sesuatu yang berkontribusi pada permasalahan penyesuaian diri anak muda atau orang dewasa. Lebih lanjut, kekerasan seksual sebelum masa remaja akan berkontribusi pada risiko kenakalan pada anak muda (Widon,1994). Berbagai studi yang meneliti efek jangka pen- dek kekerasan seksual pada masa kanak-kanak mengindikasikan bahwa depresi dan kecemasan merupakan gejala umum yang dijumpai. Korban kekerasan seksual juga bisa menderita gangguan lain yang bisa berlanjut hingga ke masa remaja, yang mencakup perilaku yang berkonotasi seksu- al, mimpi buruk, penarikan diri dari masyarakat, isolasi diri, gangguan tidur, kemarahan, perilaku agresif, masalah somatis, kesulitan dalam men- gikuti pelajaran di sekolah.

Berbagai studi tentang efek jangka panjang kekerasan seksual mengungkap bahwa, sebagai orang dewasa, korban kekerasan seksual cende- rung mengalami masalah kesehatan mental ting- kat tinggi, seperti depresi, gangguan kecemasan, penyalahgunaan obatan-obatan, disfungsi seksu- al, dan kesulitan dalam hubungan interpersonal (Browne & Finkelhor,1986). Lebih lanjut keke- rasan seksual yang terjadi semasa kanak-kanak telah didokumentasikan sebagai sesuatu yang berkontribusi pada keinginan dan percobaan bu- Berbagai studi tentang efek jangka panjang kekerasan seksual mengungkap bahwa, sebagai orang dewasa, korban kekerasan seksual cende- rung mengalami masalah kesehatan mental ting- kat tinggi, seperti depresi, gangguan kecemasan, penyalahgunaan obatan-obatan, disfungsi seksu- al, dan kesulitan dalam hubungan interpersonal (Browne & Finkelhor,1986). Lebih lanjut keke- rasan seksual yang terjadi semasa kanak-kanak telah didokumentasikan sebagai sesuatu yang berkontribusi pada keinginan dan percobaan bu-

M. Garnefski & R. Diekstra (1996) mene- mukan bahwa anak laki-laki yang mengalami ke- kerasan seksual lebih memiliki masalah emosio- nal dan behavioral, termasuk perilaku bunuh diri, daripada korban anak perempuan. Penelitian mereka mengindikasikan kemungkinan adanya perbedaan gender dalam cara anak muda meres- pons kekerasan seksual yang mereka alami. Re- maja perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung memiliki perasaan inferior atau rasa jijik terhadap feminitasatau seksualitas mereka. Hal ini akan menyebabkan kecemasan terhadap berat badan, bentuk tubuh, dan ukuran tubuh mereka (Oppenheimer,dkk.,1985). Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bahwa banyak remaja perempuanyang menjadi korban keke- rasan seksual menceritakan gangguan citra tubuh mereka, melihat diri mereka menjadi gendut, je- lek, dan tidak berharga. Banyak diantara mereka mengalami gangguan makan (Hall,dkk,1989). Dengan demikian jelas bahwa kekerasan seksual semasa kanak-kanak berkaitan dengan gangguan citra tubuh.

Tidak jarang anak-anak menjadi korban kekerasan seksual oleh seseorang yang mereka kenal dan percayai. Kekerasan seperti ini bisa berlangsung hingga beberapa tahun dan sering kali masih berlanjut hingga mereka menginjak masa remaja. Menurut A.Alexander & R. Kempe (1984),jenis kekerasan seksual yang paling serius adalah inses antara ayah dan anak perempuan- nya tirinya. Sangat menyedihkan bahwa akibat dari situasi semacam ini bagi anak muda yang menjadi korban kekerasan seksual adalah menu- tup diri atau lari dari keluarganya. Anak muda tersebut bisa kemudian berhenti sekolah, terlibat dalam aktivitas seksual yang sangat bebas, men- galami kesulitan menjalin hubungan cinta yang serius dengan seseorang dalam kehidupannya ke- lak. Beberapa diantara mereka menceburkan diri ke dalam praktik prostitusi. Patut disayangkan bahwa anak muda yang memiliki sejarah keke- rasan seksual semasa kanak-kanak tidak hanya merasa dirinya sebagai korban, tetapi berisiko melakukan hal yang serupa pada orang lain, dan juga melakukan aktivitas seksual yang merugikan diri mereka sendiri

Pada umumnya, kekerasan seksual pada anak tidak banyak dilaporkan,khususnya pen- ganiayaan seksual yang menimpa anak laki-laki. Pada situasi kekerasan seksual,”sebagian besar kekerasan pada anak laki-laki dilakukan oleh pelaku yang bukan anggota keluarga, kekerasan anak perempuan pelakukan masih ada hubungan

keluarga. Kekerasan seksual dalam keluarga su- lit dideteksi dan ditentukan karena pada banyak kasus, semua pihak yang terlibat menyangkal per- buatan tersebut dan tidak melaporkannya.

Efek trauma akan terjadi pada anak muda yang menjadi korban kekerasan seksual. Ganggu- an stres pasca-trauma pada anak-anak ketika pe- ristiwa yang traumatis mengakibatkan pada anak atau cedera atau kematian orang lain yang berar- ti baginya. Salah satu bentuk trauma yang paling umum dialami anak-anak pada masa kini adalah kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya, keti- ka kekerasan dalam rumah tangga terjadi akan terdapat cidera dan kadang kematian pada orang dewasa, anak muda, atu anak-anak di rumah ter- sebut. Apalagi terjadi pada anak itu sendiri yang menjadi korban kekerasan seksual akan menga- lami trauma karena mengalami peristiwa yang tidak mengenakan dan membahayakan dirinya.

Sebagai akibat stres pasca-trauma, peristi- wa yang menimbulkan trauma baginya tersebut akan terus dialami oleh anak muda yang bersang- kutan melalui ingatan dan atau mimpi yang teru- lang kembali atau menyusup. Mereka bisa men- galami penggalan-penggalan kejadian masa lalu yang disosiatif di mana mereka bertindak atau merasa seolah-olah peristiwa itu benar-benar ter- jadi kembali. Mereka akan bisa mengalami stres berat ketika sebuah isyarat internal maupun eks- ternal yang menyerupai suatu aspek dari suatu peristiwa traumatis memicu munculnya kemba- li ingatan tentang kejadian tersebut. Oleh kare- na itu mereka akan terus menerus menghindari stimuli yang diasosiasikan dengan trauma yang mereka alami, sehingga pada akhirnya mereka akan mengalami mati rasa atau sikap dingin seca- ra umum. Mati rasa ini melibatkan usaha meng- hindari pikiran atau perasaan yang berasosiasi dengan suatu trauma, ketidakmampuan untuk mengingat atau menceritakan kembali aspek-as- pek dari trauma tersebut, ketidaktertarikan atau kurangnya keterlibatan dalam berbagai aktivitas, dan perasaan terpisah atau tersisih.

Sayangnya, seperti kekerasan seksual yang korbannya kelak sangat mungkin menja- di pelakunya, anak-anak yang mengalami, atau menyaksikan, kekerasan domestik akan dengan sendirinya menjadi berperangai keras atau kasar. Sebagai bukti, sangat menarik penemuan bahwa kekerasan tingkat tinggi, seperti penembakan, penusukan, ternyata banyak dilakukan anak muda yang dengan mata kepala sendiri telah me- nyaksikan kekerasan yang parah. Konsekuensi dari hal tersebut mencakup kesulitan membina hubungan interpersonal maupun intrapersonal, masalah kesehatan mental yang cukup parah, Sayangnya, seperti kekerasan seksual yang korbannya kelak sangat mungkin menja- di pelakunya, anak-anak yang mengalami, atau menyaksikan, kekerasan domestik akan dengan sendirinya menjadi berperangai keras atau kasar. Sebagai bukti, sangat menarik penemuan bahwa kekerasan tingkat tinggi, seperti penembakan, penusukan, ternyata banyak dilakukan anak muda yang dengan mata kepala sendiri telah me- nyaksikan kekerasan yang parah. Konsekuensi dari hal tersebut mencakup kesulitan membina hubungan interpersonal maupun intrapersonal, masalah kesehatan mental yang cukup parah,

agar kita dapat menangani remaja secara efektif, kita perlu membangun hubungan berasa mereka

Peran Konselor yang didasarkan pada respek, kepercayaan dan sikap tidak menghakimi. Menciptakan hubungan

1. Memberdayakan dan Membudayakan Peserta

semacam itu memungkinkan kita untuk terlibat

Didik

dalam percakapan-percakapan kolaboratif dan Peserta didik di sekolah sebagai Individu memiliki dialog yang partisipatorik dan timbal yang berkembang mulai dari seorang anak men- balik dengan mereka. jadi remaja dan setelah remaja menjadi dewasa

Semua remaja berada pada tahap kehidu- melibatkan proses perubahan yang progresif. pan yang melibatkan cara-cara berpikir dan ber- Perubahan ini bersifat multidimensional, meli- perilaku baru agar dapat menghadapi berbagai batkan transformasi gradual atau metamorfosis kejadian secara adaptif. Di dalam tahap perkem- pribadi sebagai seorang anak menjadi orang baru bangan ini, mereka akan terus-menerus menemui sebagai orang remaja dan kemudian menjadi berbagai tantangan baru di sekolah, di rumah, orang dewasa. Selama proses ini, terjadi peru- dan bersama teman sebayanya. Tantangan-tan- bahan psikologis, fisiologis, biologis, dan sosial tangan baru itu akan sering melibatkan berbagai yang harus dihadapi. Proses perubahan yang ter- risiko bagi mereka dan, disamping itu mereka jadi pada diri pada setiap manusia yang sedang kemungkinan besar akan bertindak dengan cara berkembang terjadi selama tahap kehidupan.

yang berisiko untuk memperluas pengalaman hi- Selama tahap kehidupan ini, individu di- dupnya dengan bereksperimen dengan perilaku- hadapkan pada berbagai tantangan moral dan perilaku baru. spiritual, yang lazim terjadi pada kebanyakan

Konseling adalah proses pemberdayaan remaja. Setiap hari individu akan dihadapkan dan pembudayaan manusia yang sedang berkem- berbagai tuntutan dan stres yang semakin banyak bang menuju kepribadian mandiri untuk dapat dihadapinya. Sebagai contoh, menemukan pe- membangun dirinya sendiri dan masyarakat. kerjaan di dalam kondisi yang kompetitif, men- Konsekuensinya adalah proses konseling itu ha- gembangkan hubungan dengan orang lain, tuntu- rus mampu menyentuh dan mengendalikan ber- tan untuk self-organization, dan adaptasi dengan bagai aspek perkembangan manusia. Terkandung teknologi yang semuanya memberikan tantangan makna disini bahwa melalui proses konseling di- dan mereka kemungkinan besar akan dialami se- harapkan manusia berkembang ke arah bagaima- bagai sesuatu yang stresfull. Banyak individu re- na dia harus menjadi dan berada. Jika konseling maja yang mengalami kecemasan dan stres yang ini dipandang sebagai suatu upaya untuk mem- berkaitan dengan keselamatan dan keamanan bantu manusia menjadi apa yang bisa diperbuat pribadi di zaman ini yang sering kali mengkha- dan bagaimana dia harus menjadi dan berada, watirkan dan mengganggu.

maka konseling harus bertolak dari pemahaman Kita penting untuk mengakui, bahwa ada tentang hakikat manusia. Konselor sebagai pen- perbedaan individual, sebagian remaja mengata- didik perlu memahami manusia dalam segala hal si tantangan ini dengan lebih mudah dibanding aktualisasinya, kemungkinannya, dan pemikiran- yang lain. Mereka yang tidak mampu bernegoisa- nya, bahkan memahami perubahan yang dapat si dengan tantangan yang mereka hadapi dengan diharapkan terjadi pada diri manusia. sukses akan mengalami kegagalan, yang mung-

Konseling sebagai bagian integral dari kin mengakibatkan kerugian emosional dan psi- sistem pendidikan di sekolah memiliki peranan kologis. Akibat banyaknya tantangan-tantangan penting dalam peningkatan mutu pendidikan di yang sulit dihadapi remaja, seringkali untuk per- sekolah. Pendidikan dapat memanfaatkan konse- tama kali dalam hidupnya, semua remaja seha- ling sebagai mitra kerja dalam melaksanakan tu- rusnya dianggap sebagai “individu-individu yang gasnya sebagai rangkaian upaya pemberian ban- berisiko tinggi”.

tuan (Dahlan,1988:22). Konseling menyediakan Konselor mempunyai peranan penting da- unsur-unsur di luar individu yang dapat dipergu- lam membantu remaja yang rentan terhadap risi- nakan untuk memperkembangkan diri (Crow & ko dan perilaku mengambil risiko, karena ini ada- Crow, 1960). Mengacu kepada pernyataan ter- lah salah satu bagian yang tak terhindarkan dari sebut, dalam arti luas konseling dapat dianggap tahap perkembangan mereka. Di dalam literatur sebagai bentuk upaya pendidikan, dan dalam arti konseling, telah menjadi sesuatu yang mapan sempit konseling dapat dianggap sebagai teknik bahwa hubungan antara konselor dan klien, me- yang memungkinkan individu menolong dirinya lebihi faktor lain apa pun, berkontribusi pada ha- sendiri. Perkembangan dan kemandirian individu tuan (Dahlan,1988:22). Konseling menyediakan Konselor mempunyai peranan penting da- unsur-unsur di luar individu yang dapat dipergu- lam membantu remaja yang rentan terhadap risi- nakan untuk memperkembangkan diri (Crow & ko dan perilaku mengambil risiko, karena ini ada- Crow, 1960). Mengacu kepada pernyataan ter- lah salah satu bagian yang tak terhindarkan dari sebut, dalam arti luas konseling dapat dianggap tahap perkembangan mereka. Di dalam literatur sebagai bentuk upaya pendidikan, dan dalam arti konseling, telah menjadi sesuatu yang mapan sempit konseling dapat dianggap sebagai teknik bahwa hubungan antara konselor dan klien, me- yang memungkinkan individu menolong dirinya lebihi faktor lain apa pun, berkontribusi pada ha- sendiri. Perkembangan dan kemandirian individu

Istilah “pemberdayaan” atau empower- ment, yang akhir-akhir ini banyak digunakan, tepat dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Istilah empowerment berhubungan dengan istilah po- wer. Power dapat berarti “kekuasaan terhadap” atau dominasi terhadap (powerover). Dalam pembahasan ini yang dimaksud power dalam pengertian power to, yaitu daya kekuatan untuk berbuat; power-with, yaitu daya kekuatan untuk membangun kerja sama, dan power-within, yaitu kekuatan dalam diri pribadi manusia. Pendidikan termasuk konseling dapat dilihat sebagai empo- werment atau pemberdayaan, yaitu membantu pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan.

Pertama, konseling membantu peserta di- dik membangun power-to, yaitu daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek indivi- dual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseo- rang agar memiliki kemampuan berpikir, men- guasai ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Kedua, konseling sebagai pemberdayaan adalah usaha untuk membantu membangun power-with, ke- kuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, konseling juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia. Ketiga, konseling sebagai pemberdayaan bertujuan un- tuk membangun power-within, daya kekuatan batin dalam diri peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Tanpa adanya harga diri, tidak mungkin manusia membangun kemampuan kreativitas- nya dalam berbagai bidang. Melalui konseling perkembangan intelektual, moral, dan emosio- nal akan terwujud dengan membangun harga diri, kepercayaan, dan harapan masa depan yang harus ditanamkan sejak dini. Pengembangan ketiga kemampuan dalam pemberdayaan akan memungkinkan manusia menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, tanpa terseret ke dalam arus konformisme.

Integrasi konseling dalam pendidikan juga tampak dari dimasukkannya secara terus mene- rus program-program konseling ke dalam pro-

gram-program sekolah (Belkin,1975; Borbers & Drury,1992); konsep-konsep dan praktek-praktek konseling merupakan bagian integral upaya pen- didikan (Mortensen & Schmuller,1964). Kegiatan konseling akan selalu terkait dengan pendidikan, karena keberadaan konseling dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendi- dikan itu sendiri. Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan pendidikan di se- kolah (Rochman Natawidjaja, 1978:30), karena program-program konseling meliputi aspek- aspek tugas perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan dan karir, kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial. Hasil-hasil konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pen- didikan yang bermutu pada umumnya. Dalam keadaan tertentu konseling dapat dipergunakan sebagai metode dan alat untuk mencapai tujuan program pendidikan di sekolah.

Konseling yang dilakukan oleh konselor sebagai bentuk upaya pendidikan, karena kegia- tan konseling selalu terkait dengan pendidikan dan keberadaan konseling di dalam pendidikan merupakan konsekuensi logis dari upaya pendi- dikan itu sendiri. Dahlan (1988:22) menyatakan bahwa konseling tidak dapat lepas dan melepas- kan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan.. Konseling sebagai upaya pendidikan memberikan perhatian pada proses, yaitu cenderung memper- hatikan tugasnya sebagai rangkaian upaya pem- berian bantuan pada anak mencapai suatu ting- kat kehidupan yang berdasarkan pertimbangan normative, antropologis (memperhatian anak selaku manusia) dan sosio kultural. Dengan de- mikian, konseling tidak mungkin melepaskan diri dari keseluruhan rangkaian pendidikan. Dengan perkataan lain, pendidikan dapat memanfaatkan konseling sebagai mitra kerja dalam melaksana- kan tugasnya

Secara fungsional, konseling sangat signi- fikan sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap per- kembangan dan tuntutan lingkungan. Konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupan yang memiliki berba- gai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat ber- kenanaan dengan diri sendiri dan lingkungan. Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan program pendidikan di sekolah, karena program-program konseling meliputi aspek-aspek perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan, kematangan karir, kematangan personal dan Secara fungsional, konseling sangat signi- fikan sebagai salah satu upaya pendidikan untuk membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap per- kembangan dan tuntutan lingkungan. Konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam kehidupan yang memiliki berba- gai wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian, dan keterampilan yang tepat ber- kenanaan dengan diri sendiri dan lingkungan. Konseling merupakan proses yang menunjang pelaksanaan program pendidikan di sekolah, karena program-program konseling meliputi aspek-aspek perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan pendidikan, kematangan karir, kematangan personal dan

Konseling adalah proses pembudayaan, tanpa kebudayaan manusia tidak memiliki wujud dan tidak memiliki arah. Konseling merupakan kegiatan yang esensial di dalam setiap kehidu- pan individu yang sedang berkembang mencapai perkembangan optimal dan kemandirian. Kon- seling tidak mungkin terjadi dan terlepas dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat mempunyai kebudayaannnya, maka konseling merupakan suatu kegiatan budaya. Bu- daya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ter- bentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Seseorang yang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya akan menye- suaikan perbedaan-perbedaannya, dan membuk- tikan bahwa budaya itu dipelajari untuk menjadi- kan dirinya berbudaya.

Kebudayaan, entah yang bernilai positif atau negatif, menjadi milik dirinya melalui pro- ses belajar. Perilaku (budaya) kekerasan tidak muncul begitu saja tanpa melalui proses belajar. Pelecehan seksual yang dilakukan oleh individu ke individu lainnya adalah hasil proses belajar. Kebudayaan (perilaku) yang mulia dan luhur, yang kini menjadi sesuatu yang langka, tidak bisa dimiliki oleh seseorang manusia tanpa belajar ke- ras dalam waktu lama.

Dalam proses pembudayaan, yang dipela- jari oleh peserta didik yang sedang berkembang pada awal proses sosialisasinya dalam kehidupan bermasyarakat akan begitu tertanam dalam jiwa sehingga sulit diubah. Oleh karena itu tepat jika pembudayaan harus dimulai pada masa kanak- kanak dan masa remaja, yaitu masa-masa seko- lah di bangku pendidikan dasar dan menengah. Revolusi mental pada dasarnya sulit ketika men- talitas jelek sudah terbentuk sejak kanak-kanak, seperti pada kasus kekerasan dan pelecehan sek- sual yang banyak terjadi pada masa sekarang ini.

Masa kanak-kanak dan remaja adalah masa emas sekaligus periode rentan yang sangat kritis. Salah didalam mendidik, fatal akibatnya. Itulah sebabnya kekerasan dan pelecehan seksual banyak dilakukan oleh anak usia remaja, meski- pun juga dilakukan oleh orang-orang usia dewasa dan tua. Konselor sebagai pendidik harus mem- budayakan peserta didik di sekolah untuk menja- di manusia yang berbudaya dan berperilaku baik dalam kehidupannya bersama orang lain.

Kebudayaan bersifat insani, artinya bah- wa kebudayaan adalah hasil karya manusia, diciptakan oleh manusia, dan kebudayaan ikut membentuk manusia di dalam kehidupan serta kekaryaannya. Tanpa arah kebudayaan perilaku manusia tak terkendali, suatu chaos tindakan tanpa arah dan letupan emosi semata, pengala- man yang tidak terbentuk. Kebudayaan bukan hiasan eksistensi manusia, tetapi kondisi esensial bagi eksistensi manusia yang terjadi melalui pro- ses pendidikan. Kebudayaan merupakan ciptaan manusia, hasil dari eksternalisasi manusia, yaitu ekspresi diri manusia dalam interaksinya dengan lingkungan; kebudayaan menjadi realitas obyek- tif, yaitu realitas yang terpisah dari diri manusia dan dapat memaksakan diri pada manusia; kebu- dayaan juga merupakan kenyataan subyektif me- lalui proses internalisasi. Kebudayaan yang dicip- takan oleh manusia untuk kebahagiaan manusia.

Konselor melakukan revolusi mental dan perilaku pada individu yang sedang berkembang harus dilakukan secara terencana, bertahap, dan terstruktur, yang secara sinergis mentrans- formasikan mentalitas-karakter bangsa menuju kemandirian pribadi dan berkepribadian dalam kebudayaan yang kuat. Lemahnya mentalitas kepribadian individu membuat kebudayaan bangsa kita tidak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia ada- lah bangsa yang besar namun masih bermental kecil; bangsa besar masih mengidap perasaan rendah diri. Bangsa yang selalu melihat dunia luar sebagai pusat teladan, tanpa menyadari dan menghargai kelebihan-kelebihan bangsa sendiri. Atau, sebaliknya, melakukan kompensasi berle- bihan dengan mengembangkan mentalitas jago kandang yang menolak belajar dari kelebihan- kelebihan bangsa lain. Tanpa kekuatan karakter, kita sulit menjadi pemenang dalam era persain- gan global. Napoleon Bonaparte menyatakan “Dalam pertempuran (baca persaingan), tiga pe- rempat faktor kemenangan ditentukan kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperem- pat lagi oleh keseimbangan anatara keterampi- lan manusia dan sumber daya material.” Krisis mentalitas merupakan akar tunjang dari kirisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih mendahulukan pembangunan jiwa daripada raga. Dunia pendidikan yang bia- sanya dijadikan sandaran terakhir bagi transfor- masi sosial bukannya memberi harapan, malah menjadi bagian dari krisis itu sendiri. Lembaga pendidikan sebagai benteng kebudayaan menga- lami proses pengerdilan, tergerus dominasi etos instrumentalisme; suatu etos yang mengharagi seni, budaya dan pendidikan sejauh yang meny- Konselor melakukan revolusi mental dan perilaku pada individu yang sedang berkembang harus dilakukan secara terencana, bertahap, dan terstruktur, yang secara sinergis mentrans- formasikan mentalitas-karakter bangsa menuju kemandirian pribadi dan berkepribadian dalam kebudayaan yang kuat. Lemahnya mentalitas kepribadian individu membuat kebudayaan bangsa kita tidak memiliki jangkar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia ada- lah bangsa yang besar namun masih bermental kecil; bangsa besar masih mengidap perasaan rendah diri. Bangsa yang selalu melihat dunia luar sebagai pusat teladan, tanpa menyadari dan menghargai kelebihan-kelebihan bangsa sendiri. Atau, sebaliknya, melakukan kompensasi berle- bihan dengan mengembangkan mentalitas jago kandang yang menolak belajar dari kelebihan- kelebihan bangsa lain. Tanpa kekuatan karakter, kita sulit menjadi pemenang dalam era persain- gan global. Napoleon Bonaparte menyatakan “Dalam pertempuran (baca persaingan), tiga pe- rempat faktor kemenangan ditentukan kekuatan karakter dan relasi personal, adapun seperem- pat lagi oleh keseimbangan anatara keterampi- lan manusia dan sumber daya material.” Krisis mentalitas merupakan akar tunjang dari kirisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih mendahulukan pembangunan jiwa daripada raga. Dunia pendidikan yang bia- sanya dijadikan sandaran terakhir bagi transfor- masi sosial bukannya memberi harapan, malah menjadi bagian dari krisis itu sendiri. Lembaga pendidikan sebagai benteng kebudayaan menga- lami proses pengerdilan, tergerus dominasi etos instrumentalisme; suatu etos yang mengharagi seni, budaya dan pendidikan sejauh yang meny-

2. Mendorong Perilaku Mengurus Diri Sendiri

Suatu usaha national healing perlu dilaku- Orang tua tidak selamanya mampu me- kan dengan melakukan gerakan revolusi mental, mantau perilaku anaknya apalagi perilaku remaja yang wahana utamanya melalui proses persemai- dari jam-ke jam dan tidak berada pada posisi di an dan pembudayaan dalam dunia pendidikan. mana mereka ingin atau dapat bertanggung ja- Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, wab untuk mengurus mereka sepanjang hari. Di nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan samping itu, tidak pada tempatnya jika mereka untuk melahirkan manusia baru Indonesia den- melakukan itu. Konsekuensinya, anak muda di- gan mental-karakter yang sehat dan kuat. Untuk biarkan pada posisi di mana, sampai tingkat yang itu perlu adanya reorientasi dalam dunia pendi- cukup jauh, mereka perlu memikul tanggung ja- dikan dengan menempatkan proses kebudayaan wab untuk mengurus diri sendiri, menjaga diri (olahpikir, olahrasa, olahkarsa, dan olahraga) di sendiri agar terbebas dari gangguan atau bahaya jantung kurikulum. Pendidikan dan kebudayaan yang bisa menimpa dirinya terkait dengan keke- harus dipandang sebagai proses kreatif yang tak rasan seksual. dapat dipisahkan ibarat dua sisi dari keping uang

Anak muda perlu dibekali cara-cara men- yang sama. Bung Hatta secara tepat menyatakan gembangkan gaya hidup yang sehat, mengakses bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan sistem-sistem sosial yang mereka butuhkan, dan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu memenuhi tuntutan di tempat belajar dan ber- sendiri adalah proses pembudayaan.

main untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Konseling sebagai proses belajar menjadi masa sekarang dan masa akan datang. Mereka manusia berkebudayaan berorientasi ganda :me- harus belajar beberapa keterampilan dasar ter- mahami diri sendiri dan memahami lingkungan- tentu dalam kehidupan sehari-hari mereka dan nya. Konseling harus memberi wahana kepada harus memperkuat kepribadiannya agar tidak peserta didik untuk mengenali siapa dirinya se- mudah kena pengaruh hal-hal yang negatif dan bagai “perwujudan khusus” (“diferensial”) dari mampu mengkaunter bila terjadi adanya bahaya alam. Sebagai perwujudan khusus dari alam, yang akan menimpa dirinya. setiap orang memiliki keistimewaan kecerdasan

Mendorong perilaku mengurus diri sendiri masing-masing. Proses konseling harus memban- dimulai dengan penggunaan strategi-strategi pen- tu peserta didik menemukenali kekhasan potensi cegahan primer, seperti meneydihkan informasi diri tersebut, sekaligus kemampuan untuk me- publik dan bimbingan antisipatorik serta me- nempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks nawari berbagai kesempatan untuk terlibat berba- keseimbangan dari keberlangsungan jagat besar

gai kegiatan pengembangan diri. Selain pembe- Aktualisasi dari kesadaran ini adalah pe- lajaran oleh konselor dengan layanan konseling mupukan keandalan khusus seseorang yang me- melalui program pencegahan primer, anak muda mungkinkan memiliki kepercayaan diri, daya bisa mendapatkan keterampilan-keterampilan tahan, daya emban, dan daya saing dalam per- yang mereka butuhkan untuk mengurus diri sen- juangan hidup, dengan tetap memiliki sensitivi- diri (smelalui sejumlah cara yang berbeda mela- tasnya terhadap nilai-nilai kebudayaan yang baik, lui coba-coba, latihan, mengamati sebayanya dan benar, dan indah. Pengenalan terhadap kekhasan dengan meniru orang lain yang memiliki makna potensi diri dan komitmennya terhadap kebersa- penting dalam hidupnya (significant others). maan nilai-nilai kebudayaan itulah yang menjadi

Konselor melalui pelayanan konseling dasar pembentukan karakter. “Karakter” dalam membantu anak muda untuk mampu (1) men- arti ini adalah kecenderungan psikologis yang gembangkan dan memelihara sebuah sistem membentuk kerpribadian moral.

dukungan sosial, (2) belajar bagaimana bertang- Sementara ke luar, pendidikan harus mem- gung jawab atas dirinya sendiri, (3) mengelola beri wahana kepada peserta didik untuk menge- dan mengatasi stres, (4) mengurus kesejahteraan nali dan mengembangkan kebudayaan sebagai fisik dan emosionalnya, (5) memperhatikan kese- sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem pe- hatan psikologisnya (Kathryn Geldard:2009). rilaku bersama melalui olahpikir, olahrasa, olah- (1) Mengembangkan dan memeliharan sebuah sistem karsa, dan olahraga. Kebudayaan sebagai sistem dukungan sosial nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku ini

Konselor melalui pelayanan konseling secara keseluruhan membentuk lingkungan so- membantu anak muda untuk membangun hu- sial yang dapat menentukan apakah disposisi ka- bungan sebaya yang positif. Konselor membantu rakter seseorang berkembang menjadi lebih baik anak muda agar dapat mengurus dirinya sendiri atau lebih buruk.

untuk membantu mereka mengakui bahwa mem- untuk membantu mereka mengakui bahwa mem-

Salah satu cara yang berguna untuk mem- bantu anak muda mengembangkan keterampilan sosial adalah melalui penggunaan kerja kelom- pok. Sebuah kelompok yang difasilitasi oleh kon- selor profesional dapat menyediakan lingkungan yang aman di mana anak muda dapat belajar melalui kegiatan-kegiatan eksperiensial tentang bagaimana mengganti perilaku-perilaku sosial yang tidak efektif dengan yang lebih efektif dan adaptif.

Konselor membantu anak muda untuk memelihara hubungan positif dengan keluarga- nya. Meskipun tahap kehidupan remaja adalah saat ketika remaja cenderung menjadi kurang bergantung kepad keluargamya, di saat-saat kri- sis mungkin akan membantu mereka untuk men- gandalkan dukungan keluarganya. Juga mengun- tungkan bagi remaja untuk belajar bagaimana mengakses sumber daya lain di luar keluarga un- tuk dukungan sosial. Hal ini mungkin termasuk para tokoh remaja, pekerja remaja, konselor se- kolah, guru, orang-orang penting lain dalam ke- hidupan mereka. Strategi-strategi konseling yang berguna untuk membangun hubungan positif da- lam dan di luar keluarganya.

Konselor membantu anak muda untuk mengembangkan batas-batas yang efektif den- gan orang lain. Sebagian anak muda mengala- mi kesulitan dalam menjaga batas-batas pribadi yang efektif, yang nyaman bagi mereka dan akan memberikan tingkat proteksi yang masuk akal. Konselor membantu anak muda melalui konse- ling untuk belajar bagaimana mengundang orang lain masuk di dalam hubungan yang lebih dekat dan bagaimana mendorong orang lain menjauh ketika hal itu dibutuhkan. Salah satu strategi psi- ko-edukasional yang berguna untuk membantu anak muda belajar bagaimana menjaga dirinya terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan per- masalahan bagi dirinya, misalnya kekerasn sek- sual. (2) Belajar bagaimana bertanggung jawab atas dirinya sendiri

Konselor membantu anak muda untuk be-

lajar bagaimana memikul tanggung jawab yang lebih besar atas tindakan mereka dan mengont- rol kehidupannya. Salah satu pesan penting yang perlu disampaikan di dalam program-program pencegahan primer dan ketika melakukan konse- ling anak muda (remaja) adalah bahwa penyalah- kan adalah tindakan yang tidak menolong—lebih penting bagi remaja untuk memegang kendali atas hidupnya dengan terfokus-solusi dan meng- ganti pikiran negatif dengan tindakan positif. (3) Mengelola dan Mangatasi Stres

Konselor membantu anak muda yang se- dang belajar di sekolah melalui program-program pencegahan primer yang menyasar stres dan co- ping efektif dalam mewujudkan efek yang secara keseluruhan positif dalam kaitannya dengan ge- jala stres dan mengatasi gejala (Kraag,dkk.,2006). Hal ini mengonfirmasikan pentingnya pemberian pendidikan tentang stres dan efek-efeknya dan bagaimana cara mengelola dan mengontrolnya.

Program-program pendidikan yang ber- kaitan dengan stres perlu menyoroti kemungki- nan bahwa peristiwa stresful dapat menghasilkan konsekuensi positif maupun negatif. Konse- kuensi positif mungkin dimanifestasikan oleh pertumbuhan pribadi dan konsekuensi negatif adalah reaksi-reaksi distres. Stres di tingkat ter- tentu dapat berguna untuk mendukung motivasi. Konsekuensinya, konselor membantu anak muda untuk mengakui bahwa, di banyak kasus, menga- lami stres bisa merupakan keuntungan. Konselor dapat membantu anak remaja dalam menghada- pi stres dengan strategi kognitif-behavioral, ini relevan untuk mengelola stres pada anak muda, termasuk strategi-strategi Rational Emotive Be- havior Therapy. (4) Mengurus kesejahteraan fisik dan emosional