14
2. Diskursus Mengenai Pluralitas Agama
Pada zaman dahulu, kehidupan keagamaan relatif lebih tenteram karena masing-masing umat beragama hidup bagaikan kamp-kamp yang
terisolasi dari tantangan dunia luar.
15
Namun modernitas—secara langsung ataupun tidak—merubah segalanya. Pada era teknologi informasi yang
begitu pesat seperti saat ini, keragaman agama kian mengapung dan menunjukkan wujudnya di semua lini kehidupan. Di toko buku, ambil
sebagai misal, dengan anggun ditata buku tentang sejarah, teologi, doktrin eskatologis, aneka ritus hingga kitab suci dari berbagai agama dalam satu
rak. Di televisi pun ditemui fenomena yang hampir serupa, secara bergantian berbagai program bernuansa agama disuguhkan kepada pemirsa.
Apalagi jika “berselancar” dalam dunia maya, internet. Tak terbilang website, blog, forum diskusi, dan artikel yang mengusung tema agama-
agama yang dengan mudah terpampang di depan mata. Tak cukup hanya sampai di sana, interaksi antara satu pemeluk agama dengan pemeluk
agama lain pun menunjukkan intensitas yang sangat signifikan. Dalam parlemen, dunia bisnis, instansi pendidikan, bahkan hingga komunitas
pecinta layangan sekalipun dapat dijumpai manusia dengan latar belakang agama berbeda berkecimpung dalam “kolam” yang sama.
Di lain sisi, agama sebagai bagian dari identitas yang terintegrasi dalam diri seseorang seolah mendapat tantangan. Bagaimana tidak, agama
yang dianut dan diyakini dengan begitu teguh seakan menemukan kompetitor. Nah, sebagai implikasi, masing-masing umat beragama merasa
15
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, cet. 5 Bandung: Mizan, 1999, h. 39
15
perlu merumuskan—atau menggali dari sumber-sumber keagamaan— sebentuk formula mengenai bagaimana cara pandang agamanya menyikapi
keberadaan agama-agama lain tersebut. Agama Katolik, satu dari sekian banyak agama yang dianut
masyarakat dunia saat ini, sebelum masa konsili Vatikan II dengan jelas mengambil sikap bahwa di luar gereja tidak terdapat keselamatan extra
ecclesiam nulla sallus. Secara apriori gereja melabelisasi agama-agama lain sebagai institusi
penyembah berhala, politeis, animis, murtad, kafir dan sebagainya. Hanya Kristen satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya jalan menuju
keselamatan mutlak.
16
Lebih dari itu, banyak ayat dalam Alkitab yang dipahami oleh kebanyakan teolog dan pemuka agama Kristen sebagai isyarat bahwa satu-
satunya agama yang mampu membawa manusia kepada keselamatan hanyalah agama Kristen.
“Karena begitu besar kasih sayang Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk
menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, Ia tidak akan dihukum; barangsiapa
tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah” Yohanes 3: 16-18
“Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus”
1 Korintus 3: 11 “Karena Allah itu Esa dan Esa pula Dia yang menjadi pengantara
antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” 1 Timotius 2: 5
16
Raymundo Panikar, Dialog Intra Religius Yogyakarta: kanisius, 1999, h. 44