Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda

PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT
(HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE
EKOSISTEM YANG BERBEDA

NISFI YUNIAR

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perbandingan
Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem
yang Berbeda, adalah benar karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Nisfi Yuniar
NIM E44100076

ABSTRAK
NISFI YUNIAR. Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera:
Formicidae) Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda. Dibimbing oleh NOOR
FARIKHAH HANEDA.
Deforestasi atau perubahan fungsi dari hutan menjadi non-hutan berperan
dalam perubahan ekosistem dan spesies di dalamnya. Serangga sebagai salah satu
fauna di dalamnya merupakan aspek yang menarik untuk dikaji khususnya semut.
Penelitian dilaksanakan di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi. Teknik pengambilan sampel semut menggunakan
pitfall trap di empat ekosistem. Empat ekosistem tersebut yaitu hutan sekunder,
perkebunan kelapa sawit, kebun karet, dan hutan karet. Hasil penelitian secara
keseluruhan ditemukan sebanyak 5 484 individu semut yang termasuk dalam 50

morfospesies, 33 genus dari 6 subfamili yaitu Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae,
Dolichodorinae, Pseudomyrmicinae, dan Dolichorinae. Ekosistem hutan sekunder
merupakan ekosistem yang relatif stabil dengan nilai indeks keragaman H’ = 2.76,
indeks kekayaan DMg = 4.96, dan indeks kemerataan E = 0.70. Komunitas semut
tergantung pada faktor lingkungan dari masing-masing ekosistem.
Kata kunci: hutan karet, hutan sekunder, kebun karet, keanekaragaman semut,
perkebunan kelapa sawit.

ABSTRACT
NISFI YUNIAR. Comparison Ants Diversity (Hymenoptera: Formicidae) in Four
Different Ecosystem Type. Supervised by NOOR FARIKHAH HANEDA.
Deforestation or transformation of forest function to non-forest has been
playing a role in the changes of ecosystem and species in it. Insect as one of the
living fauna that live in the forest is an interesting aspect to be studied, especially
ants. This experiment was conducted in Bungku, Bajubang District , Batanghari
Regency, Jambi. Sampling technique using pitfall traps in four ecosystem. The
four ecosystem mentioned is secondary forest, oil palm plantations, rubber
plantations, and jungle rubber. The results found there were 5 484 individuals of
50 ant morphospecies, 33 genera of 6 subfamily i.e. Formicinae, Myrmicinae,
Ponerinae, Dolichodorinae, Pseudomyrmicinae, and Dolichorinae. Secondary

forest is an ecosystem that relatively stable with the value of diversity index H '=
2.76, index of richness DMg = 4.96, and index of evenness E = 0.70. The ant
communities depend on environment factor of each ecosystem.
Keywords: Ant diversity, jungle rubber, oil palm plantation, rubber plantation,
secondary forest.

PERBANDINGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT
(HYMENOPTERA: FORMICIDAE) PADA EMPAT TIPE
EKOSISTEM YANG BERBEDA

NISFI YUNIAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae)
Pada Empat Tipe Ekosistem yang Berbeda
Nama
: Nisfi Yuniar
NIM
: E44100076

Disetujui oleh

Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai biodiversitas, dengan judul
Perbandingan Keanekaragaman Semut (Hymenoptera: Formicidae) Pada Empat
Tipe Ekosistem yang Berbeda. Terima kasih penulis ucapkan kepada IPB,
Beasiswa Bidik Misi Angkatan 2010 dari DIKTI, Dr Ir Noor Farikhah Haneda
MSc selaku pembimbing, Prof Dr Ir Yanto Santosa DEA selaku dosen penguji,
dan Dr Ir Elis Nina Herliyana Msi selaku ketua sidang ujian komprehensif. Selain
itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pihak CRC990-EFForTS, Bapak
Bambang Irawan selaku koordinator CRC990-EFForTS Jambi, Mbak Mega,
Yuking, dan Mas Fajrul yang telah membantu kelancaran penulis selama
pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, adik, dan
seluruh keluarga besar tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa
pula penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga besar Departemen SVK, TGC
(Tree Grower Community), Keluarga Mahasiswa Klaten, “GABUT” Generasi

Angkatan Briliant 47 (Mamah Evita, Lufi, Laras, Azizah, Jasun, Candra,
Bastiyan, Ilham, Samsi), Silvikultur 47, Mbak Poppi, Mbak Ika, Eka dan seluruh
sahabat (Ambarita, Arina, Nia, Reni, Nanda) atas doa dan dukungannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Juli 2014
Nisfi Yuniar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE

2


Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan dan Alat

2

Prosedur

2

Pengolahan Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Genus Semut


6
6

Perbandingan Jumlah Individu Semut di Tiap Ekosistem

12

Keragaman, Kekayaan, dan Kemerataan Semut

12

Pengaruh Karakteristik Ekosistem Terhadap Keberadaan Semut

13

Potensi Semut Sebagai Predator Serangga Hama

16

SIMPULAN DAN SARAN


17

Simpulan

17

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

18

LAMPIRAN

21

RIWAYAT HIDUP


35

DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi strata vegetasi dalam ekosistem penelitian
2 Jumlah total individu, morfospesies, dan genus semut yang ditemukan
di Desa Bungku
3 Biodiversitas semut pada empat tipe ekosistem yang berbeda di Desa
Bungku
4 Perbandingan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan
semut
5 Peranan 33 genus semut yang ditemukan di Desa Bungku

5
12
13
14
16

DAFTAR GAMBAR
Pitfall trap
Gambar peletakan pitfall trap di setiap sub plot
Komposisi semut berdasarkan genus di Desa Bungku
Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem secondary forest
(a) Genus Pheidole (b) Genus Heteroponera
Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem oil palm plantation
Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem rubber plantation
Semut genus Camponotus
Komposisi semut berdasarkan genus di ekosistem jungle rubber
Kondisi strata vegetasi (a) jungle rubber (b) secondary forest
Kondisi tajuk di ekosistem oil palm plantation
Klasifikasi peranan semut dari koleksi yang ditemukan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

3
3
7
7
8
9
10
10
11
14
15
17

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Lokasi penelitian di Desa Bungku Provinsi Jambi
Daftar morfospesies semut di setiap ekosistem
Daftar indeks morisita di ekosistem secondary forest
Daftar indeks morisita di ekosistem oil palm plantation
Daftar indeks morisita di ekosistem rubber plantation
Daftar indeks morisita di ekosistem jungle rubber
Genus semut yang ditemukan di empat ekosistem

21
22
25
27
29
30
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem merupakan suatu sistem yang terdiri dari makhluk hidup dan
lingkungannya, terjadi interaksi antara keduanya untuk mempertahankan
kehidupan. Hutan sebagai salah satu bentuk ekosistem memiliki karakteristik
habitat yang berbeda untuk spesies tertentu. Deforestasi atau perubahan fungsi
dari hutan menjadi non-hutan juga berperan dalam perubahan ekosistem dan
spesies di dalamnya.
Serangga sebagai salah satu fauna yang ada, merupakan aspek yang menarik
untuk dikaji lebih lanjut. Serangga adalah organisme yang banyak ditemukan dan
beragam jenisnya di dunia dan masih belum banyak dari keberagamannya yang
terdeskripsikan secara jelas, inventarisasi dasar dimana status keberadaannya.
Masih sangat sedikit pemanfaatan spesies serangga yang potensial untuk dijadikan
sebagai indikator biologi untuk penilaian terhadap perubahan ekosistem
(Jurzenski et al. 2012).
Semut merupakan jenis serangga yang memiliki populasi yang cukup stabil
sepanjang musim dan tahun. Jumlahnya yang banyak dan stabil membuat semut
menjadi salah satu koloni serangga yang penting di ekosistem. Oleh karena
jumlahnya yang berlimpah, fungsinya yang penting, dan interaksi yang komplek
dengan ekosistem yang ditempatinya, semut seringkali digunakan sebagai bioindikator dalam program penilaian lingkungan, seperti kebakaran hutan, gangguan
terhadap vegetasi, penebangan hutan, pertambangan, pembuangan limbah, dan
penggunaan lahan ( Wang et al. 2000).
Kajian atau pengetahuan tentang keanekaragaman semut dalam suatu area
dapat memberikan informasi yang berguna untuk perencanaan konservasi, karena
dengan adanya inventarisasi spesies semut akan berhubungan dengan data tentang
distribusinya. Selain itu dapat juga digunakan untuk melaporkan mengenai
keberadaannya dalam suatu area apakah ada yang jarang, terganggu, atau adanya
spesies yang amat penting secara ekologi, adanya spesies baru atau adanya spesies
yang hanya dapat ditemukan di ekosistem tertentu. Jumlah dan komposisi semut
pada suatu area mengindikasikan kesehatan suatu ekosistem dan memberikan
gambaran pada kehadiran organisme lain, karena banyaknya interaksi semut
dengan berbagai tumbuhan maupun hewan lain (Alonso and Agosti 2000).
Desa Bungku yang termasuk wilayah Provinsi Jambi terdapat empat
ekosistem yang berbeda. Keempat ekosistem tersebut yaitu hutan karet (jungle
rubber), kebun karet (rubber plantation), hutan sekunder (secondary forest), dan
perkebunan kelapa sawit (oil palm plantation). Penelitian ini diharapkan dapat
menjelaskan tentang komunitas semut pada empat tipe ekosistem yang berbeda.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi jenis-jenis semut di empat tipe ekosistem,
2. Menghitung keanekaragaman, kekayaan, kemerataan, dan pola penyebaran
jenis semut di empat tipe ekosistem,

2
3. Mengetahui pengaruh perbedaan karakteristik masing-masing ekosistem
terhadap keanekaragaman semut yang ada,
4. Mengetahui jenis semut yang berpotensi sebagai predator serangga hama.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau
gambaran mengenai keanekaragaman semut berkaitan dengan perbedaan
karakteristik masing-masing ekosistem, serta memberikan informasi dasar
mengenai jenis semut yang berpotensi sebagai predator serangga hama untuk
pengendalian hama.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Bungku, Provinsi Jambi dalam beberapa
tahapan. Tahap pertama yaitu pengambilan sampel semut yang dilaksanakan
bulan November 2012. Pengambilan sampel semut dilakukan pada empat tipe
ekosistem yaitu hutan karet (jungle rubber), kebun karet (rubber plantation),
hutan sekunder (secondary forest), dan perkebunan kelapa sawit (oil palm
plantation) yang terletak di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten
Batanghari, Provinsi Jambi. Kemudian tahap kedua yaitu identifikasi semut pada
bulan Oktober 2013 − Januari 2014 di Laboratorium Entomologi, Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.
Bahan dan Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop stereo, cawan
petri, pinset, botol film, ependov, kamera, laptop, sarung tangan, mistar, pita ukur,
cangkul, bak plastik, tali rafia, kertas label, tally sheet, kalkulator, patok kayu,
kamera, densiometer, termometer tanah, kertas indikator pH, alat tulis, (Global
Positioning System) GPS dan buku identifikasi serangga. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer yang berupa koleksi semut dari empat
ekosistem yang berbeda berasal dari Desa Bungku, Provinsi Jambi yang dikoleksi
di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan
IPB dan alkohol 70% yang digunakan untuk mengawetkan spesimen selama
identifikasi.
Prosedur
Penentuan Plot Pengamatan
Plot pengamatan dibuat di empat ekosistem yang berbeda yaitu hutan
sekunder, perkebunan kelapa sawit, kebun karet, dan hutan karet. Setiap
ekosistem dibuat sebanyak empat plot yang ditentukan secara purposive sampling.
Plot yang telah dibuat kemudian ditandai dengan GPS agar dapat dipetakan dan

3
memperjelas posisi masing-masing plot (Lampiran 1). Masing-masing plot di tiap
ekosistem dibuat 5 sub plot untuk pemasangan pitfall trap.
Pengambilan Sampel Semut
Pengambilan semut menggunakan metode pengambilan Pitfall Trap (PT)
atau perangkap jebak secara purposive sampling. Metode Pitfall Trap
menggunakan gelas plastik berdiameter ± 7 cm dan tinggi ± 10 cm yang ¼
bagiannya diisi dengan alkohol 70% dan cuka makan 1 tetes, sehingga semut yang
terperangkap tenggelam dan mati. Pitfall Trap ditanam sedalam ± 10 cm (Gambar
1). Setiap ekosistem dibuat 4 plot dengan 5 sub plot pada masing-masing plot,
dalam setiap sub plot dilakukan pemasangan trap sebanyak 5 trap sehingga
diperoleh 100 botol koleksi semut tiap ekosistemnya (Gambar 2). Pengambilan
sampel semut dilakukan setiap tiga hari sekali selama tiga minggu.

Gambar 1 Pitfall trap.

Gambar 2 Peletakan pitfall trap di setiap sub plot.

4
Identifikasi Semut
Semut yang ditemukan dikoleksi dan diawetkan dalam alkohol 70%.
Pengamatan untuk identifikasi menggunakan mikroskop stereo. Identifikasi
menggunakan beberapa kunci identifikasi semut yakni Australiant Ants Key
(Shattuck 2001), A Field Key to The Ants (Hymenoptera, Formicidae) (Plowes
dan Patrock 2000), buku Inventory & Collection (Hashimoto dan Rahman 2003).
Identifikasi dilakukan hingga tingkatan genus. Selanjutnya dibedakan berdasarkan
morfospesies.
Pengukuran Parameter Lingkungan
1) Suhu Tanah
Pengukuran suhu tanah dengan menggunakan termometer tanah, dengan
cara memasukkan termometer tanah tersebut kurang lebih 10 cm dari
permukaan tanah kemudian dibaca langsung angka yang tertera setelah
mencapai nilai konstan. Pengamatan suhu tanah dilakukan tiga kali setiap
10 menit.
2) pH Tanah
Pengukuran pH menggunakan pH Indikator yang dicelupkan ke dalam
campuran sampel tanah dengan aquades yang telah diendapkan selama ± 3
menit menit kemudian warna yang terbentuk pada kertas lakmus
dicocokkan dengan warna-warna baku pH yang terdapat pada kertas
lakmus tersebut sehingga besaran pH dapat ditetapkan.
3) Pengukuran Serasah
Parameter pengukuran serasah yang dilakukan yaitu ketebalan serasah
pada 3 titik pengamatan.
4) Suhu Udara
Pengukuran suhu udara dilakukan dengan menggunakan termometer.
Pengamatan dilakukan tiga kali setiap 15 menit.
5) Kelembaban udara
Pengukuran kelembaban udara diperoleh dari pengukuran suhu udara
dengan termometer bola basah dan bola kering. Kemudian dikonversi
menjadi kelembaban udara.
Pengukuran Kerapatan Tajuk
Pengukuran kerapatan tajuk menggunakan alat bernama densiometer.
Densiometer memiliki 25 persegi dan masing-masing kotak memiliki skor antara
0–4 sehingga skala densitometer berkisar antara 0 (0 x 25) hingga 100 (4 x 25)
kemudian dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu kelompok 0 (skor 0),
kelompok 1 (skor 1-25), kelompok 2 (skor 26-50), kelompok 3 (skor 51-75), dan
kelompok 4 (skor 76-100). Satu plot pengamatan dilakukan pengukuran sebanyak
4 kali yaitu menghadap utara, timur, selatan, dan barat. Rata-rata pengukuran pada
empat arah mata angin tersebut adalah nilai dari tingkat penutupan tajuk (Haneda
et al. 2013).
Pengukuran Strata Vegetasi dan Struktur Pohon
Pengukuran strata vegetasi dilihat dari komposisi penyusun ekosistem
yang terdiri atas pohon, perdu, semak, tumbuhan bawah, epifit dan liana.
Selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi pada penelitian Room (1975)

5
pada Tabel 1. Selanjutnya untuk parameter spesies pohon dilihat dari jumlah jenis
pohon yang terdapat di dalam ekosistem.
Tabel 1 Klasifikasi strata vegetasi dalam ekosistem penelitian
Klasifikasi
I

II
III
IV
V

Keterangan
Sangat rendah, hanya terdiri dari 1-2 strata
vegetasi dengan strata paling rendah hanya
sedikit.
Rendah, terdiri atas 2 strata vegetasi
Sedang, terdiri atas 3 strata vegetasi
Tinggi, terdiri atas 4 strata vegetasi
Sangat tinggi, strata vegetasi lengkap

Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan melihat keanekaragaman semut.
Keanekaragaman yang diamati dalam penelitian ini adalah indeks keragaman,
indeks kekayaan, indeks kemerataan, dan indeks Morisita.
Indeks Keanekaragaman Spesies (H’)
Indeks keanekaragaman spesies dihitung dengan menggunakan ShannonWiener Index (Ludwig & Reynold 1988), yaitu:

Nilai Pi diperoleh dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
H’
= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
Ni
= Jumlah individu setiap spesies
N
= Jumlah individu seluruh spesies
Indeks Kekayaan Jenis (DMg)
Nilai kekayaan jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis
berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem. Indeks yang digunakan adalah
Indeks kekayaan jenis Margalef :
DMg =
Keterangan:
DMg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef
S
= Jumlah jenis yang ditemukan
N
= Jumlah individu seluruh jenis
Indeks Kemerataan Spesies (E)
Derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies dapat
ditentukan dengan indeks kemerataan spesies (Magurran 2004), yaitu:

6
Keterangan :
E
= Indeks kemerataan
H’
= Indeks keanekaragaman spesies
S
= jumlah spesies
Apabila nilai E mendekati 0 maka penyebaran spesies dominan, apabila
nilai E mendekati 1 maka penyebaran spesies merata.
Indeks Morisita
Indeks morisita menunjukkan pola distribusi dari suatu spesies (Pauley dan
Hutchens 2004 diacu dalam Riyanto 2007), yaitu:
Id = n
Keterangan :
Id
= Indeks Morisita
n
= jumlah plot
2
∑x
= jumlah kuadrat seluruh spesies untuk setiap plot
N
= jumlah individu keseluruhan
Apabila Id = 1 maka penyebarannya acak, Id > 1 maka penyebarannya
mengelompok, dan jika Id < 1 maka penyebarannya teratur atau seragam.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Genus Semut
Jumlah Semut Pada Seluruh Ekosistem di Desa Bungku
Hasil identifikasi menunjukkan secara keseluruhan ditemukan individu
semut sebanyak 5 484 individu semut yang termasuk dalam 50 morfospesies, 33
genus dari 6 subfamili yaitu Formicinae, Myrmicinae, Ponerinae, Dolichodorinae,
Pseudomyrmicinae, dan Dolichorinae. Daftar morfospesies semut yang ditemukan
di setiap ekosistem dapat dilihat pada Lampiran 2. Morfospesies yang paling
banyak ditemukan adalah dari sub famili Myrmicinae dan Ponerinae masingmasing
15
morfospesies,
diikuti
Formicinae
(14
morfospesies),
Pseudomyrmicinae (4 morfospesies), Dolichorinae (2 morfospesies), dan
Dolichodorinae (1 morfospesies). Subfamili myrmicinae merupakan subfamili
dengan jumlah spesies terbesar di dunia (Holldobler dan Wilson 1990).
Myrmicinae juga ditemukan dominan pada beberapa penelitian yang telah
dilaksanakan sebelumnya yaitu penelitian Ito et al. (2001) serta Herwina dan
Nakamura (2007) di Kebun Raya Bogor.
Berdasarkan genus, maka Camponotus, Pheidole, Tetramorium,
Tetraponera, Heteroponera, Anoplolepis dan Oligomyrmex merupakan genus
semut yang mendominasi pada penelitian ini (Gambar 3). Camponotus adalah
genus dengan total individu paling banyak pada penelitian ini yaitu 1 670 individu.
Camponotus termasuk dalam subfamili Formicinae. Selain Myrmicinae, subfamili
yang penyebarannya cukup luas adalah Formicinae. Selain itu, genus Pheidole

7
memiliki penyebaran yang cukup luas juga (Gunsalam 1999). Pada penelitian ini,
genus Pheidole menempati urutan kedua dengan jumlah total individu 954
individu. Menurut Andersen (2000) Pheidole umumnya dominan ditemukan pada
permukaan tanah di hutan hujan wilayah tropis di seluruh dunia.
1670
954
1000

254
126

Jumlah individu

123
69

100
22

31

549

523

373

317

70 77

63

29 29

51

39

28
16

15
9

14

9

10

4
2

4
2

3

4

4
1

Camponotus
Acropyga
Calomyrmex
Anoplolepis
Formica
Echinopla
Paratrechina
Plagiolepis
Polyrachis
Amblyopone
Diacamma
Colobostruma
Centromyrmex
Emeryopone
Gnamptogenys
Heteroponera
Hypoponera
Odontomachus
Prystomyrmex
Probolomyrmex
Pseudolasius
Pheidole
Mesostruma
Oligomyrmex
Rhopalothryx
Solenopsis
Tetramorium
Trachymyrmex
Monomorium
Pyramica
Tetraponera
Dolychoderus
Dorylus

1

Genus

Gambar 3 Komposisi semut berdasarkan genus di Desa Bungku.
Komposisi dan Pola Sebaran Semut di Ekosistem Secondary Forest
Pada ekosistem hutan sekunder ditemukan koleksi semut sejumlah 1 162
individu, 36 morfospesies, 28 genus dari 5 subfamili. Famili yang ditemukan yaitu
Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae, dan Dolichodorinae.
Genus dominan yang ditemukan di ekosistem ini adalah Pheidole sebanyak 286
individu, diikuti Heteroponera sebanyak 229 individu (Gambar 4).
1000
286

269

26 22
10

78

55
36

27

50

9
5

5 4

4

4
2

32 30

24

18

17

8

20
12

4
2

2

1
Camponotus
Acropyga
Calomyrmex
Anoplolepis
Formica
Echinopla
Paratrechina
Plagiolepis
Polyrachis
Amblyopone
Diacamma
Colobostruma
Centromyrmex
Emeryopone
Gnamptogenys
Heteroponera
Hypoponera
Odontomachus
Prystomyrmex
Probolomyrmex
Pseudolasius
Pheidole
Mesostruma
Oligomyrmex
Rhopalothryx
Solenopsis
Tetramorium
Trachymyrmex
Monomorium
Pyramica
Tetraponera
Dolychoderus
Dorylus

Jumlah individu

111
100

Genus

Gambar 4 Komposisi semut berdasarkan genus di secondary forest.

8
Pada ekosistem ini genus yang paling jarang ditemukan terdapat
diantaranya yaitu Colobostruma, Emeryopone, dan Pseudolasius yang masingmasing hanya ditemukan 2 individu saja. Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa
genus yang mendominasi apabila dilihat dari jumlahnya yaitu Pheidole dan
Heteroponera. Pheidole termasuk dalam subfamili Myrmicinae, salah satu ciri
dari genus ini yaitu jumlah antena sebanyak 12 ruas (Gambar 5a). Genus ini
merupakan genus terbesar kedua di dunia dengan 893 spesies dan hampir ditemui
di seluruh dunia. Pada ekosistem hutan hujan tropis, sarang biasanya terdapat pada
kayu-kayu yang sudah lapuk di lantai hutan (Shattuck 2001). Selain Pheidole,
genus yang cukup mendominasi yaitu Heteroponera termasuk dalam subfamili
Ponerinae (Gambar 5b). Heteroponera sering ditemui pada serasah, dan sering
membuat sarang di tanah, bawah bebatuan atau di kayu yang sudah lapuk di lantai
hutan (Shattuck 2001).

a

b
Gambar 5 (a) Genus Pheidole (b) Genus Heteroponera.

Selain komposisi genus, dilihat pula mengenai pola sebaran dari masingmasing genus. Pola sebaran diketahui dengan menghitung indeks morisita (Id).
Indeks morisita adalah parameter kualitatif untuk menentukan pola penyebaran
suatu jenis dalam komunitas. Hasil perhitungan yang diperoleh pada semua plot di
ekosistem secondary forest menunjukkan bahwa pola sebaran semut yaitu
seragam (uniform) karena memiliki nilai indeks morisita (Id) < 1 (Pauley dan
Hutchens 2004). Nilai hasil perhitungan indeks morisita dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Komposisi Semut di Ekosistem Oil Palm Plantation
Pada ekosistem oil palm plantation telah ditemukan koleksi semut
sejumlah 1 007 individu, 31 morfospesies, 24 genus dari 6 subfamili. Famili yang
ditemukan yaitu Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae,
Dolichodorinae, dan Dolichorinae. Genus dominan yang ditemukan di ekosistem
ini adalah jenis Pheidole sebanyak 506 individu. Pada ekosistem ini morfospesies
yang paling jarang ditemukan diantaranya yaitu Amblyopone, Dorylus, Echinopla,
Gnamptogenys, Tetraponera sp3., Pseudolasius, Pyramica, dan Oligomyrmex sp3.
yang masing-masing hanya ditemukan 1 individu saja. Genus paling dominan di
ekosistem ini adalah genus Pheidole seperti terlihat pada Gambar 6.

9

Jumlah individu

1000

100

506

85

80

69
33

69
44

31

24

18
10

8

6

4

3

2
1

1

10

1

1

2
1

1

1

Camponotus
Acropyga
Calomyrmex
Anoplolepis
Formica
Echinopla
Paratrechina
Plagiolepis
Polyrachis
Amblyopone
Diacamma
Colobostruma
Centromyrmex
Emeryopone
Gnamptogenys
Heteroponera
Hypoponera
Odontomachus
Prystomyrmex
Probolomyrmex
Pseudolasius
Pheidole
Mesostruma
Oligomyrmex
Rhopalothryx
Solenopsis
Tetramorium
Trachymyrmex
Monomorium
Pyramica
Tetraponera
Dolychoderus
Dorylus

1

Genus

Gambar 6 Komposisi semut berdasarkan genus di oil palm plantation.
Ekosistem kebun kelapa sawit (oil palm plantation) didominasi oleh 1
genus saja yaitu Pheidole. Bentuk fisik dari genus Pheidole di ekosistem ini sama
dengan yang ditemukan di ekosistem hutan sekunder. Jumlah temuan genus
Pheidole lebih banyak dibandingkan dengan ekosistem hutan sekunder yaitu 506
individu. Banyaknya genus ini kemungkinan karena kemampuan Pheidole dalam
mencari makan dan membuat sarang di lingkungan yang kurang menguntungkan
(Shattuck 2001). Genus ini juga terspesialisasi sebagai scavengers, predator, dan
pemakan biji (Hölldobler dan Wilson 1990) sehingga membuat kemampuan untuk
hidup dalam habitat yang beragam dan dapat memperluas wilayah pencarian
makan.
Pola sebaran atau distribusi dari setiap genus di ekosistem kebun sawit (oil
palm plantation) yaitu seragam atau uniform. Hasil perhitungan indeks morisita
menunjukkan nilai < 1 (Lampiran 4). Pola sebaran seragam menunjukkan bahwa
tidak ada koloni semut yang mendominasi di salah satu plot pengamatan. Semua
genus tersebar secara merata di dalam ekosistem yang diamati, tidak
mengelompok pada titik tertentu.
Komposisi Semut di Ekosistem Rubber Plantation
Pada ekosistem rubber plantation ditemukan koleksi semut sejumlah 864
individu, 29 morfospesies, 17 genus dari 6 subfamili. Famili yang ditemukan yaitu
Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae, Dolichodorinae, dan
Dolichorinae. Genus dominan yang ditemukan di ekosistem ini adalah
Camponotus sebanyak 166 individu. Pada ekosistem ini morfospesies yang paling
jarang ditemukan diantaranya yaitu Anoplolepis sp3. Diacamma, Dorylus sp1.
Hypoponera sp3. dan Tetramorium sp3. yang masing-masing hanya ditemukan 1
individu saja. Genus paling dominan di ekosistem ini adalah genus Camponotus
seperti terlihat pada Gambar 7.

10
1000

Jumlah individu

312
111
100

50

49

35
23

10

6

9

118

64

50

17

9
4

5

1

1

Camponotus
Acropyga
Calomyrmex
Anoplolepis
Formica
Echinopla
Paratrechina
Plagiolepis
Polyrachis
Amblyopone
Diacamma
Colobostruma
Centromyrmex
Emeryopone
Gnamptogenys
Heteroponera
Hypoponera
Odontomachus
Prystomyrmex
Probolomyrmex
Pseudolasius
Pheidole
Mesostruma
Oligomyrmex
Rhopalothryx
Solenopsis
Tetramorium
Trachymyrmex
Monomorium
Pyramica
Tetraponera
Dolychoderus
Dorylus

1

Genus

Gambar 7 Komposisi semut berdasarkan genus di plantation rubber.
Berdasarkan data genus yang paling dominan di ekosistem rubber
plantation yaitu genus Camponotus (312 individu). Genus Camponotus termasuk
dalam subfamili Formicinae. Menurut Gunsalam (1999) subfamili Formicinae
adalah salah satu subfamili yang memiliki penyebaran cukup luas setelah
Myrmicinae. Sarang sering ditemukan pada area yang luas termasuk di tanah baik
tertutup atau tidak tertutup tanah, antara bebatuan, kayu, diantara akar tanaman
dan ranting pada semak-semak atau pohon. Camponotus adalah genus terbesar di
dunia dengan 1 518 spesies dan tersebar di seluruh dunia (Shattuck 2001). Genus
ini biasanya berukuran cukup besar antara 2.5 – 14 mm untuk panjang totalnya
(Gambar 8).

Gambar 8 Semut Camponotus.
Pola sebaran dihitung setiap genus setiap plot dan menunjukkan hasil
bahwa semut pada ekosistem rubber plantation memiliki pola sebaran seragam
(uniform). Nilai perhitungan indeks morisita didapatkan bahwa Id < 1. Angkaangka hasil perhitungan untuk ekosistem ini dapat dilihat pada Lampiran 5.

11
Komposisi Semut di Ekosistem Jungle Rubber
Pada ekosistem jungle rubber telah ditemukan koleksi semut sejumlah 2
451 individu, 36 morfospesies, 24 genus dari 6 subfamili. Famili yang ditemukan
yaitu Formicinae, Ponerinae, Myrmicinae, Pseudomyrmicinae, Dolichodorinae,
dan Dolichorinae. Morfospesies dominan yang ditemukan di ekosistem ini adalah
jenis Camponotus sp1. sebanyak 1 058 individu. Pada ekosistem ini morfospesies
yang paling jarang ditemukan diantaranya yaitu Anoplolepis sp3., Echinopla sp2.,
Monomorium sp2., dan Pseudolasius yang masing-masing hanya ditemukan 1
individu saja. Genus paling dominan di ekosistem ini adalah genus Camponotus
seperti terlihat pada Gambar 9.
1167
1000
331
Jumlah individu

160
82
50
17
10

98

82

100

7
4
2

3

35

24

19

14

10

8 9
4

3

2
1

Camponotus
Acropyga
Calomyrmex
Anoplolepis
Formica
Echinopla
Paratrechina
Plagiolepis
Polyrachis
Amblyopone
Diacamma
Colobostruma
Centromyrmex
Emeryopone
Gnamptogenys
Heteroponera
Hypoponera
Odontomachus
Prystomyrmex
Probolomyrmex
Pseudolasius
Pheidole
Mesostruma
Oligomyrmex
Rhopalothryx
Solenopsis
Tetramorium
Trachymyrmex
Monomorium
Pyramica
Tetraponera
Dolychoderus
Dorylus

1

Genus

Gambar 9 Komposisi semut berdasarkan genus di jungle rubber.
Genus paling dominan di ekosistem jungle rubber sama dengan genus
dominan di ekosistem plantation rubber forest yaitu genus Camponotus. Jumlah
total dari genus Camponotus yaitu 1 167 individu. Banyaknya genus ini
kemungkinan karena karet (Hevea brasiliensis) yang termasuk famili Moraceae
menghasilkan jenis zat tertentu yang disukai oleh Camponotus. Menurut Schultz
dan McGlynn (2000) terdapat jenis tumbuhan Cecropia (Moraceae) menghasilkan
glikogen yang cukup banyak dari petiole daunnya. Zat tersebut sangat disenangi
oleh spesies Azteca termasuk juga Camponotus. Kemungkinan karet yang
termasuk dalam famili Moraceae juga menghasilkan zat tersebut sehingga
mengundang kehadiran semut Camponotus.
Hasil perhitungan indeks morisita di ekosistem jungle rubber
menunjukkan bahwa di semua plot memiliki pola sebaran seragam (uniform)
dengan nilai Id < 1. Terdapat satu sub plot yang memiliki pola sebaran
mengelompok (clumped) untuk genus Camponotus dengan nilai Id > 1 yaitu 1.67.
Kemungkinan pemasangan pitfall trap mendekati sarang atau koloni dari semut.
Perhitungan indeks morisita untuk seluruh plot disajikan pada Lampiran 6.

12
Perbandingan Jumlah Individu Semut di Setiap Ekosistem
Setiap ekosistem yang diamati tentu saja diperoleh jumlah total individu
yang tidak sama. Berdasarkan jumlah individu, kelimpahan semut terbanyak di
ekosistem jungle rubber, diikuti secondary forest, oil palm plantation, dan rubber
plantation. Jumlah total individu ekosistem jungle rubber forest menempati posisi
pertama dengan jumlah sebanyak 2 451 individu (44.70%), sedangkan untuk
jumlah morfospesies antara secondary forest dan jungle rubber sama yaitu 36
morfospesies. Secara lebih jelas untuk perbedaan penemuan koleksi semut di
setiap ekosistem tersaji dalam Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah total individu, morfospesies, dan genus semut yang ditemukan di
empat ekosistem yang berbeda di Desa Bungku, Provinsi Jambi
Kategori
Jumlah total individu

BF
BO
BR
BJ
Total
1 162
1 007
864
2 451
5 484
(21.20%) (18.36%) (15.74%) (44.70%)
(100%)
Jumlah morfospesies
36
31
29
36
50
Genus
28
24
17
24
33
Sub famili
5
6
6
6
6
BF: secondary forest, BO: oil palm plantation, BR: rubber plantation, BJ: jungle rubber.

Ada perbedaan jumlah individu, spesies, dan genus semut dari
pengambilan sampel semut pada empat ekosistem yang berbeda. Hal ini
dikarenakan adanya faktor yang mempengaruhi keberadaan semut. Faktor tersebut
yaitu adanya gangguan. Gangguan yang dimaksud adalah gangguan dari aktifitas
manusia. Pernyataan ini sesuai dengan Chung dan Maryati (1996) yang
menyatakan bahwa habitat yang terganggu karena kehadiran manusia akan
memiliki diversitas semut yang lebih rendah jika dibandingkan dengan habitat
yang tidak mengalami gangguan.
Kelimpahan semut di ekosistem rubber plantation paling rendah, karena
frekuensi pengambilan getah karet oleh pemilik kebun lebih sering dilakukan
sehingga aktifitas manusia yang dapat menggangu keberadaan semut menjadi
lebih tinggi. Ekosistem oil palm plantation memiliki kelimpahan semut lebih
tinggi dibandingkan rubber plantation. Aktifitas manusia di ekosistem oil palm
plantation lebih sedikit karena kegiatan perawatan tanaman hanya dilakukan
setiap 4 – 6 bulan sekali, pemangkasan dan pemanenan buah setiap 2 minggu
sekali. Selang waktu yang relatif panjang dapat memberi kesempatan kepada
komunitas semut yang terganggu untuk memulihkan diri. Aktifitas manusia di
ekosistem jungle rubber dan secondary forest tidak terlalu sering sehingga
kelimpahan semut masih relatif tinggi.

Keragaman, Kekayaan, dan Kemerataan Semut
Keanekaragaman yang diamati dalam penelitian ini adalah indeks
keragaman atau index of diversity (H’), indeks kekayaan atau richness (DMg), dan
indeks kemerataan atau evenness (E). Nilai indeks keanekaragaman untuk setiap
ekosistem disajikan dalam Tabel 3.

13
Tabel 3 Biodiversitas semut pada empat tipe ekosistem yang berbeda di Desa
Bungku
Ekosistem

Jumlah
Indeks
Indeks
Indeks
morfospesies
keragaman
Kekayaan
Kemerataan
(S)
(H’)
(DMg)
(E)
BF
36
2.76
4.96
0.70
BO
31
2.04
4.34
0.52
BR
29
2.66
4.14
0.68
BJ
36
2.13
4.48
0.54
BF: secondary forest, BO: oil palm plantation, BR: plantation rubber, BJ: jungle rubber.

Pengamatan parameter tersebut sesuai dengan pernyataan Dharmawan
(2005) yang menyatakan bahwa keanekaragam spesies merupakan karakter
komunitas yang penting dibicarakan secara mendalam baik secara konsep maupun
aplikasinya di lapangan. Keanekaragaman merupakan kombinasi dari jumlah
spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem atau kekayaan spesies dan jumlah
cacah individu pada masing-masing spesies atau kemerataan. Pernyataan ini
diperkuat oleh hasil penelitian Karmana (2010) yang menyatakan bahwa indeks
keanekaragaman spesies tergantung dari kekayaan dan kemerataan spesies.
Berdasarkan data pengamatan terlihat bahwa jumlah morfospesies (S) di
ekosistem secondary forest dan jungle rubber forest paling banyak (36
morfospesies) dibandingkan dengan kedua ekosistem lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah morfospesies ada kemungkinan
semakin baik pula keanekaragamannya. Parameter jumlah morfospesies saja tidak
menjamin kemungkinan tersebut, tetapi apabila dilihat dari indeks
keanekaragamannya menunjukkan bahwa di ekosistem secondary forest relatif
lebih stabil dibandingkan ketiga ekosistem lainnya (H’ = 2.76, DMg = 4.96, E =
0.70). Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Odum (1998) yang menyatakan
bahwa keanekaragaman identik dengan kestabilan ekosistem, yaitu jika
keanekaragaman suatu ekosistem tinggi, maka kondisi ekosistem tersebut
cenderung stabil. Hasil analisis data untuk indeks kemerataan menunjukkan
bahwa ketiga ekosistem tersebut memiliki nilai E berkisar antara 0.52 – 0.68.
Artinya setiap jenis pada ekosistem tersebut memiliki tingkat penyebaran jenis
yang hampir merata.

Pengaruh Karakteristik Ekosistem Terhadap Keberadaan Semut
Spesies semut memiliki tingkat toleransi yang sempit dan respon yang
cepat terhadap perubahan lingkungan. Ukuran semut yang kecil dan relatif
bergantung pada kondisi temperatur, membuat mereka sangat sensitif terhadap
perubahan iklim dan iklim mikro dalam suatu habitat (Kaspari dan Mejer 2000).
Menurut Andersen (2000) keberadaan semut sangat terkait dengan kondisi habitat
dan beberapa faktor pembatas utama yang mempengaruhi keberadaan semut yaitu
suhu rendah, habitat yang tidak mendukung untuk pembuatan sarang, sumber
makanan yang terbatas serta daerah jelajah yang kurang mendukung. Oleh karena
itu, perlu dilakukan pengamatan terhadap beberapa faktor fisik atau lingkungan
yang kemungkinan berpengaruh terhadap keberadaan semut (Tabel 4).

14
Tabel 4 Perbandingan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi diversitas
semut pada empat tipe ekosistem di Desa Bungku
Faktor
BF
BR
BO
BJ
Strata vegetasi
III
II
I
III
Spesies pohon
4
1
1
1
Ketebalan serasah
5.20
4.15
0.31
5.85
(cm)
Suhu tanah (°C)
26.8
27.6
27.8
26.1
Suhu udara (°C)
29.0
29.1
30.0
28.0
Kerapatan tajuk (%)
84
78
64
85
pH tanah
4
4
4
5
Kelembaban udara
86.20
85.40
75.00
91.00
BF: secondary forest, BR: rubber plantation, BO: oil palm plantation, BJ: jungle rubber,
I: sangat rendah; II: rendah; III: sedang; IV: tinggi; V: sangat tinggi (Room PM 1975).

Berdasarkan pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya, maka
diambil pengamatan terhadap strata vegetasi, spesies pohon, ketebalan serasah,
suhu tanah, kerapatan tajuk, pH tanah, kelembaban udara. Strata vegatasi meliputi
komposisi penyusun suatu ekosistem misalnya pohon, perdu dan semak, serta
tumbuhan bawah. Spesies pohon yaitu jenis pohon yang terdapat di setiap
ekosistem, apakah hanya tersusun dari satu jenis pohon atau lebih. Hal ini tentu
saja akan berpengaruh terhadap ketersediaan makanan bagi semut.
Ekosistem jungle rubber (BJ) memiliki jumlah total individu semut paling
banyak yaitu 2 451 individu, tetapi untuk keanekaragamannya masih lebih stabil
ekosistem secondary forest (BF). Kondisi strata vegatasi antara BJ dan BF samasama berada dalam tingkat sedang (III) dominasi pohon karet, perdu dan semak,
serta tumbuhan bawah yang cukup padat (Gambar 10). Perbedaan yang
menyebabkan kondisi tersebut adalah faktor spesies pohon penyusun ekosistem.
Pada ekosistem secondary forest, spesies pohon penyusun ekosistem tidak hanya
pohon karet (Hevea brasiliensis) tetapi terdapat juga jenis bambu, bulian dan
rambutan hutan (Nephelium mutabile).

a

b

Gambar 10 Kondisi strata vegetasi (a) Jungle rubber (b) Secondary forest.
Sisi lain yang perlu diperhatikan bahwa keanekaragaman dapat digunakan
untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan abiotik terhadap komunitas. Faktor
suhu dan kelembaban udara mikro dalam ekosistem turut mempengaruhi variasi
kehidupan semut, karena titik optimum suhu dan kelembaban untuk masing-

15
masing semut pasti berbeda. Data menunjukkan bahwa suhu tanah pada empat
ekosistem berkisar antara 26.1°C – 27.8°C sehingga semut masih banyak dijumpai,
sedangkan suhu udara berkisar antara 28.0°C – 30.0°C. Menurut (Riyanto 2007)
kisaran suhu 25°C – 32°C merupakan suhu optimal dan toleran bagi aktifitas
semut di daerah tropis. Suhu tanah merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah. Suhu tanah akan
menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Secara tidak langsung
terdapat hubungan kepadatan organisme tanah dan suhu, bila dekomposisi
material tanah lebih cepat maka vegetasi lebih subur dan mengundang serangga
untuk datang. Suhu tanah yang tidak terlalu dingin disukai oleh arthropoda
terutama fauna di permukaan tanah (epifauna), sehingga individu semut masih
banyak dijumpai pada masing-masing ekosistem.
Perbedaan suhu dan kelembaban udara dari masing-masing ekosistem
dapat terjadi karena penyinaran matahari yang berbeda. Penyinaran matahari
dipengaruhi oleh kerapatan tajuk, berdasarkan data pengamatan semakin tinggi
kerapatan tajuk maka kelembaban udara semakin tinggi pula. Kerapatan tajuk di
jungle rubber dan secondary forest hampir sama yaitu 85% dan 84%. Selanjutnya
diikuti oleh plantation rubber dan oil palm plantation masing-masing 78% dan
64%. Kondisi tajuk di ekosistem oil palm plantation disajikan dalam Gambar 11.

Gambar 11 Kondisi tajuk di ekosistem oil palm plantation
Faktor berikutnya yaitu pH tanah, ketiga ekosistem sama-sama memiliki
pH sedikit asam yaitu 4 untuk secondary forest, rubber plantation, oil palm
plantation dan 5 (netral) untuk jungle rubber. Kondisi pH tanah ini masih toleran
untuk semut, artinya semut masih dapat hidup dengan baik pada pH netral dan
sedikit asam. Fauna tanah ada yang senang hidup pada pH asam dan ada pula
yang senang pada pH basa tergantung pada jenisnya (Rahmawati 2004).
Selanjutnya diukur juga ketebalan serasah di setiap ekosistem. Ketebalan
serasah berpengaruh terhadap jumlah serasah yang dapat terdekomposisi, semakin
tebal serasah maka akan semakin banyak bahan organik yang dihasilkan (Syaufina
et. al. 2007). Mengingat semut sebagai salah satu jenis arthropoda yang
keberadaannya sebagai pendekomposisi bahan organik maka adanya serasah dapat
dijadikan sebagai sumber makanan dan mengundang kedatangan semut. Selain itu,
serasah yang lebih tebal dapat menciptakan iklim mikro yang sesuai dengan
keberadaan semut.

16
Potensi Semut Sebagai Predator Serangga Hama
Hasil identifikasi semut yang dilakukan, telah ditemukan 33 genus semut
yang disajikan di Lampiran 7. Peranan dari 33 genus semut yang ditemukan
disajikan dalam Tabel 5. Pembagian peranan semut mengacu pada Brown (2000).
Tabel 5 Peranan 33 genus semut yang ditemukan di Desa Bungku, Provinsi Jambi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Genus
Acropyga
Amblyopone
Anoplolepis
Calomyrmex
Camponotus
Centromyrmex
Colobostruma
Rhopalothryx
Diacamma
Dolichoderus
Dorylus
Echinopla
Emeryopone
Formica
Gnamtogenys
Heteroponera
Hypoponera
Mesostruma
Monomorium

20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Odontomachus
Oligomyrmex
Paratrechina
Pheidole
Plagiolepis
Polyrachis
Pristomyrmex
Probolomyrmex
Pyramica
Pseudolasius
Solenopsis

31
32
33

Tetramorium
Tetraponera
Trachymyrmex

Peranan Semut
Tend coccids
Predator
Pencari makanan (foragers)
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Predator rayap/anai-anai
Predator
Predator
Predator
Sebagian besar pencari makan (foragers), predator
Semut tentara
Predator
Predator
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Predator, pemakan bangkai (scavengers)
Predator
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Predator Collembola
Sebagian besar pencari makan (foragers), semut
pemanen/pemetik (harvester)
Predator
Pemakan rayap, semut pencuri
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Pemanen biji, omnivora, predator, pemakan bangkai
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Sebagian besar pencari makan (foragers), predator
Predator
Pencari makan (foragers)
Sebagian besar pencari makan (foragers), semut
pencuri, predator
Sebagian besar pencari makan (foragers)
Pengumpul jamur, penjaga pintu masuk

Supaya memudahkan pengelompokan peranan semut, maka berdasarkan
peranan yang telah disebutkan dalam Tabel 5 akan dibagi menjadi 3 kelompok
besar yaitu pencari makan (foragers), predator, dan peran lainnya. Peran lainnya
yang dimaksudkan di sini seperti pengumpul jamur, penjaga pintu sarang,
harvester, dan scavengers. Hasil pengelompokan atau klasifikasi peranan semut
tersaji dalam Gambar 12.

17

Jumlah genus

20
15
10
5
0
Foragers

Predator

Lainnya

Peranan semut

Gambar 12 Klasifikasi peranan semut dari koleksi yang ditemukan.
Berdasarkan temuan genus pada empat ekosistem pengamatan, terdapat 16
genus yang berpotensi sebagai predator. Beberapa diantaranya yaitu dari genus
Amblyopone, Centromyrmex, Calomyrmex, Solenopsis, Dolichoderus, Pheidole
dan lain-lain. Penggunaan semut sebagai predator telah dilakukan penelitian
sebelumnya. Penggunaan semut dari jenis Solenopsis sp. sebagai agen pengontrol
kepadatan larva Diatraea saccharalis yang merupakan larva pengebor tanaman
tebu (Rossi dan Flower 2002). Hal ini didukung pula oleh Depparaba dan
Memesah (2005) yang menyatakan bahwa populasi dan serangan penggerek daun
(Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dapat dikurangi dengan musuh
alami semut hitam (Dolichoderus sp.).
Selain sebagai predator, beberapa genus semut lainnya yang berkaitan
dengan aktifitas makannya memiliki peranan sebagai semut pencari makan
(foragers), pemanen/pemetik biji (harvesters), pengumpul jamur, omnivora dan
pemakan bangkai (scavengers). Menurut Borror et al. (1996) kebiasaan makan
semut memang agak beragam. Banyak semut yang bersifat karnivor, makan
daging hewan-hewan lain (hidup atau mati), beberapa makan tanaman, jamur,
cairan tumbuhan, dan madu. Genus Camponotus sebagai genus dominan dalam
penelitian ini, menurut Agosti et al. (2000) genus ini mempunyai peran fungsional
sebagai general foragers, dan genus Pheidole mempunyai peran sebagai
penghancur biji-bijian dan beberapa jenis sebagai omnivora.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Teridentifikasi 5 484 individu yang tergolong dalam 50 morfospesies, 33
genus dari 6 subfamili pada keempat ekosistem. Pada ekosistem secondary
forest didominasi oleh semut dari genus Pheidole dan Heteroponera,
ekosistem oil palm plantation didominasi oleh genus Pheidole, sedangkan
untuk ekosistem plantation rubber dan jungle rubber didominasi oleh genus
Camponotus.

18
2. Ekosistem dengan keanekaragaman paling tinggi yaitu secondary forest
dengan nilai H’ = 2.76, DMg = 4.96, E = 0.70. Pola sebaran secara umum
adalah seragam (uniform) dengan nilai Id < 1.
3. Keberadaan semut sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari masing-masing
ekosistem seperti strata vegetasi, spesies pohon, ketebalan serasah, suhu
udara, suhu tanah, pH, dan kelembaban udara.
4. Semut yang berpotensi sebagai predator untuk serangga hama terdapat 16
genus yaitu Amblyopone, Centromyrmex, Colobostruma, Diacamma,
Dolichoderus, Echinopla, Emeryopone, Gnamptogenys, Heteroponera,
Mesostruma, Odontomachus, Oligomyrmex, Pristomyrmex, Probolomyrmex,
Rhopalothryx dan Solenopsis.
Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai semut yang berfungsi sebagai
predator serangga hama khususnya pada tanaman kehutanan sehingga dapat
digunakan sebagai musuh alami untuk pengendalian hama yang lebih ramah
lingkungan.
2. Pengamatan secara kontinu atau secara periodik perlu dilakukan apabila
melakukan penelitian sehingga adanya perubahan kualitas biotik maupun
abiotik lebih terlihat pengaruhnya terhadap keberadaan makro fauna tanah
khususnya semut dalam rangka pengelolaan ekosistem.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin Z. 2005. Studi dampak kebakaran hutan terhadap biota tanah dengan
metode Forest Health Monitoring (FHM) di Taman Buru Masigit
Gunung Kareumbi Sumedang . [skripsi] Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR. 2000. Ants: Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Amerika Serikat (US):
Smithsonian Inst.
Alonso LE dan Agosti D. 2000. Biodivesity studies, monitoring, and ants: an
overview. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor.
Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity.
Volume 1. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. hlm 1-8.
Andersen AN. 2000. Global ecology of rainforest ants: functional groups in
relation to environmental stress and disturbance. Di dalam: Agosti D,
Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume 3. Amerika Serikat
(US): Smithsonian Inst. hlm 25-34.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga
Edisi ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajahmada
Univ Pr. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect.
Brown JW. 2000. Diversity of ants. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE,
Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and

19
Monitoring Biodiversity. Volume 5. Amerika Serikat (US): Smithsonian
Inst. hlm 45-79.
Chung, Maryati. 1996. A comparative study of the ant fauna in primary and
secondary forest in Sabah, Malaysia. Di dalam: Edward DS, Booth WE,
Choy SC, editor. Tropical Rainforest Research-Current Issues. Dodrecht
(NL): Kluwer Academic.
Dharmawan. 2005. Ekologi Hewan. Malang (ID): UM Press.
Depparaba F, Memesah D. 2005. Populasi dan serangan penggerek daun
(Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dan alternatif
pengendaliannya. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian 8 (1): 88-93.
Hashimoto Y, Rahman H. 2003. Inventory Collection: Total Protocol for
Understanding of Biodiversity. Sabah (MY): Research and Education
Component BBEC Programme.
Haneda NF, Supriyanto, Kasno, Putra EI. 2013. Pemantauan Kesehatan Hutan.
Bogor (ID): Laboratorium Entomologi Fakultas Kehutanan IPB.
Herwina H, Nakamura K. 2007. Ant species diversity studied using pitfall traps
in a small yard in Bogor Botanical Garden, West Java, Indonesia.
Treubia 35: 99-116.
Hölldober B, Wilson EO. 1990. The Ants. Cambridge (US): Harvard Univ Pr.
Ito F, Yamane S, Egucchi K, Noerdjito WA, Kahono S, Tsuji K, Ohkawa K,
Yamauchi K, Nishida T. 2001. Ants species diversity in the Bogor
Botanic Garden, West Java, Indonesia, with description of two new
species of the genus Leptanilla (Hymenoptera, Formicidae). Tropics 3:
379-404.
Jurzenski J, Albrecht M, Hoback WW. 2012. Distribution and diversity of ant
genera from selected ecoregions across Nebraska. The Prairie Naturalist
44(1):17─29.
Karmana IW. 2010. Analisis keanekaragaman epifauna dengan metode koleksi
pitfall trap di kawasan hutan Cangar Malang. GaneÇ Swara 4(1): 1-5.
Kaspari M, Majer JD. 2000. Using ants to monitor environmental change. Di
dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants:
Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Volume
7. Amerika Serikat (US): Smithsonian Inst. hlm 89-98.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. Amerika Serikat (US):
Wiley-Interscience.
Magguran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Oxford (UK): Blackwell.
Odum EP. 1998. Dasar-Dasar Ekologi Edisi ke-3. Samingan T, penerjemah.
Yogyakarta (ID): Gajahmada Univ Pr. Terjemahan dari: Fundamentals of
Ecology.
Plowes NJR, Patrock R. 2000. A Field Key to The Ants (Hymenoptera,
Formicidae) found at Brackenridge Field Laboratories, Austin, Travis
County, Texas. Austin (US): Brackenridge Field Laboratories University
of Texas.
Rahmawati. 2004. Studi keanekaragaman mesofauna tanah di kawasan hutan
wisata alam Sibolangit. e-USU Repository [Internet]. [diunduh 2014 Jun
21];
1-17.
Tersedia
pada:

20
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/910/1/hutanrahmawaty12.pdf.
Riyanto. 2007. Kepadatan, pola distribusi dan peranan semut pada tanaman di
sekitar lingkungan tempat tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): 241253.
Room PM. 1975. Diversity and organization of the ground foraging ant faunas of
forest, grassland, and tree crops in Papua New Guinea. Aust J. Zool.
(23):71-89.
Rossi MN, Fowler HG. 2002. Manifulation of fire ant density, Solenopsis spp, for
short-term reduction of Diatraea saccharalis larva densities in Brazil.
Scientia Agricola 59(2): 389-392.
Schultz TR, McGlynn TP. 2000. The interaction of ants with other organism. Di
dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants:
Standard Methods for Measuring and Monitoring Bio