Analisis Kestabilan Model Matematika Penyebaran Penyakit DBD dengan Inkubasi Intrinsik dan Gabungan Inkubasi Intrinsik dan Ekstrinsik.

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN
PENYAKIT DBD DENGAN INKUBASI INTRINSIK DAN
GABUNGAN INKUBASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK

RINANCY TUMILAAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kestabilan
Model Matematika Penyebaran Penyakit DBD dengan Inkubasi Intrinsik dan
Gabungan Inkubasi Intrinsik dan Ekstrinsik adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Rinancy Tumilaar
NIM G551120101

RINGKASAN
RINANCY TUMILAAR. Analisis Kestabilan Model Matematika Penyebaran
Penyakit DBD dengan Inkubasi Intrinsik dan Gabungan Inkubasi Intrinsik dan
Ekstrinsik. Dibimbing oleh PAIAN SIANTURI dan JAHARUDDIN.
Penyakit demam berdarah adalah penyakit yang banyak ditemukan di
daerah tropis. Penyebaran penyakit DBD melibatkan nyamuk Aedes aegypti yang
terinfeksi virus dengue. Virus ini ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
betina yang terinfeksi. Setelah inkubasi virus, nyamuk yang terinfeksi mampu
menularkan virus selama sisa hidupnya.
Dalam penyebarannya, virus mengalami masa inkubasi, baik ketika berada
dalam tubuh manusia (intrinsik) maupun dalam tubuh nyamuk (ekstrinsik). Oleh
karena masa inkubasi ini memengaruhi proses transmisi penyakit, maka faktor ini
perlu dimasukkan dalam model matematika.
Penelitian ini bertujuan memodifikasi model dengan melibatkan masa
inkubasi intrinsik, serta gabungan antara masa inkubasi ekstrinsik dan intrinsik,

selanjutnya menentukan titik tetap dan kestabilan titik tetapnya, serta dinamika
populasinya melalui simulasi dengan berbagai variasi parameter.
Populasi manusia dibagi menjadi tiga kelas, yaitu manusia yang rentan,
manusia yang terkena infeksi, dan manusia yang sembuh. Manusia yang rentan
adalah manusia yang bukan imun dan tidak terkena infeksi. Manusia yang terkena
infeksi adalah manusia yang terkena virus DBD dan dapat menularkan kepada
individu lain dengan perantara nyamuk. Manusia sembuh adalah manusia yang
sembuh dari penyakit dan tidak dapat tertular lagi.
Populasi nyamuk dibedakan menjadi dua kelas yaitu nyamuk yang rentan
dan nyamuk yang terkena infeksi. Nyamuk yang rentan adalah nyamuk yang
rentan terhadap penyakit demam berdarah dengue. Sedangkan nyamuk terinfeksi
adalah nyamuk yang terkena infeksi dan dapat menularkan kepada individu lain.
Dalam penelitian ini diperoleh dua titik tetap, yaitu titik tetap tanpa penyakit
dan titik tetap endemik. Selanjutnya dilakukan analisis kestabilan pada titik tetap
dengan mempertimbangkan bilangan reproduksi dasar. Bilangan reproduksi dasar
merupakan nilai harapan banyaknya infeksi tiap satuan waktu. Bilangan ini
menjadi tolak ukur penularan penyakit dalam populasi. Selanjutnya dilakukan
simulasi numerik, simulasi dilakukan karena sistem sulit diamati secara langsung
sehingga dengan dilakukannya simulasi dapat dipelajari hal-hal yang bisa terjadi
dalam dinamika populasi berdasarkan model.

Hasil analisis dan simulasi numerik menunjukkan bahwa jumlah tiap
subpopulasi manusia dan nyamuk mencapai kondisi stabil di sekitar titik tetap
tanpa penyakit dan diperoleh bilangan reproduksi dasar kurang dari satu, dan
stabil di sekitar titik tetap endemik dengan nilai bilangan reproduksi dasar lebih
dari satu. Simulasi juga menunjukkan bahwa pada model dengan inkubasi
intrinsik, peningkatan proporsi manusia terinfeksi yang dalam masa inkubasi
menyebabkan peningkatan proporsi manusia rentan, penurunan proporsi manusia
terinfeksi, dan penurunan proporsi nyamuk terinfeksi. Pada model dengan
inkubasi intrinsik dan ekstrinsik, perubahan nilai proporsi manusia terinfeksi yang
dalam masa inkubasi dan ukuran pengaruh musiman terhadap proses transmisi

penyakit menyebabkan perubahan perilaku osilasi proporsi manusia rentan,
proporsi manusia terinfeksi, dan proporsi nyamuk terinfeksi.
Kata kunci: DBD, inkubasi, kestabilan, model matematika, model SIR

SUMMARY
RINANCY TUMILAAR. Stability Analysis of Mathematical Model for Dengue
Disease Transmission with Intrinsic Incubation and Combination of Intrinsic and
Extrinsic Incubation. Supervised by PAIAN SIANTURI and JAHARUDDIN.
Dengue fever is a common disease in tropical region, the spread of dengue

disease involving Aedes aegypti mosquitoes which infected with dengue virus.
The virus transmitted to humans through an infected female mosquito bite. After
incubation, infected mosquitoes capable of transmitting the virus for the rest of its
life.
In spreading, the virus had an incubation period, both when it is in the
human body (intrinsic) and in the body of the mosquito (extrinsic). Because the
incubation period of this disease affects the transmission process, then these
factors need to be included in the mathematical model.
This study aims to modify models include the intrinsic incubation, and
combination of intrinsic and extrinsic incubation, then determine the fixed point
and its stability, and also performed the population dynamics through simulations
with a variety of parameters.
The human population is divided into three classes, namely susceptible
humans, infected humans, and recovered humans. Susceptible humans are human
that not immune and have not been infected. Infected humans are human that
already infected and can transmit the virus to mosquito. Recovered humans were
considered obtained immunity, thus no recovered human could get infected again.
Mosquitos populations divided into two classes, namely susceptible
mosquitoes and infected mosquitoes. Susceptible mosquitoes are susceptible to
dengue fever. Infected mosquito is mosquito that could infect virus in to other

individuals. It was assumed that human and mosquito population size constant so
that the birth rate equals the death rate, average individual mosquito bites on
humans per day is constant, and mosquitoes were never recovered after becoming
infected.
In this study obtained two fixed points, namely the free desease fixed point
and endemic fixed point. The stability analysis of fixed point performed
considering the basic reproduction number. Basic reproduction number is the
expectation value of the number of infections per unit time. This number is a
measure of transmission of disease in the population. Furthermore, the simulation
is performed because the system is difficult to observe directly, with simulation
can be learned things that could happen in the population dynamics.
Analytical results show that the number of each subpopulation human and
mosquito reaches a stable condition around the free disease fixed point with
condition the basic reproduction number is less than one, and stable around
endemic fixed point with condition the basic reproduction number is more than
one. On model with intrinsic incubation, simulation shows that the increase of the
value of the proportion of infected humans which still in the incubation period
caused an increase in the proportion of susceptible humans, decrease in proportion
of infected humans and infected mosquitoes. On model with intrinsic and extrinsic
incubation, simulation shows that changes value of the proportion of infected

humans which still in the incubation period and the size of the seasonal influence

on the process of disease transmission gives a different oscillation behavior in the
proportion of susceptible humans, infected humans, and infected mosquitoes.

Keywords: dengue, incubation, stability, mathematical model, SIR model

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

ANALISIS KESTABILAN MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN
PENYAKIT DBD DENGAN INKUBASI INTRINSIK DAN
GABUNGAN INKUBASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK


RINANCY TUMILAAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Matematika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Endar H Nugrahani, MS

Judul Tesis : Analisis Kestabilan Model Matematika Penyebaran Penyakit DBD
dengan Inkubasi Intrinsik dan Gabungan Inkubasi Intrinsik dan
Ekstrinsik
Nama

: Rinancy Tumilaar
NIM
: G551120101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Paian Sianturi
Ketua

Dr Jaharuddin, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Matematika Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Jaharuddin, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 25 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena
hanya anugerah-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah pemodelan
matematika, dengan judul Analisis Kestabilan Model Matematika Penyebaran
Penyakit DBD dengan Inkubasi Intrinsik dan Gabungan Inkubasi Intrinsik dan
Ekstrinsik.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister
Sains pada program studi Matematika Terapan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan
dari kedua pembimbing sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Paian Sianturi selaku

pembimbing I dan Bapak Dr Jaharuddin, MS selaku pembimbing II.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Herry Suhardiyanto, MSc selaku Rektor Institut Pertanian Bogor.
2. Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
3. Dr Jaharuddin, MS selaku Ketua Program Studi Matematika Terapan
sekaligus sebagai Pembimbing II.
4. Dr Ir Endar H Nugrahani, MS selaku penguji luar komisi pembimbing.
5. Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Matematika.
6. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) sebagai sponsor Beasiswa
Unggulan.
7. Orang tua, saudara dan seluruh keluarga yang selalu memberikan dorongan
dan mendoakan untuk keberhasilan studi bagi penulis.
8. Seluruh mahasiswa Departemen Matematika khususnya teman-teman
angkatan tahun 2012 pada program studi S2 Matematika Terapan.
9. Teman-teman Asrama Sam Ratulangi Sempur dan Bogor Baru.
10. Sahabat-sahabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga segala doa, bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan
kepada penulis senantiasa mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Akhirnya, semoga penulisan tesis ini dapat memperkaya pengalaman belajar
serta wawasan kita semua.

Bogor, September 2014
Rinancy Tumilaar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

iv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

1
1
1

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Persamaan Diferensial Biasa
Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Pelinearan
Kestabilan Titik Tetap
Kriteria Routh-Hurwitz
Bilangan Reproduksi Dasar

2
2
2
2
3
3
4

3 MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD
Penyebaran DBD
Model Matematika Penyebaran DBD (Model Pongsumpun 1)
Model Matematika Penyebaran DBD dengan Inkubasi Ekstrinsik
(Model Pongsumpun 2)
Model Matematika Penyebaran DBD dengan Inkubasi Intrinsik
(Model IIP)
Model Matematika Penyebaran DBD dengan Inkubasi Intrinsik
dan Ekstrinsik (Model IIP dan EIP)

5
5
6

10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Titik Tetap
Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar
Analisis Kestabilan Titik Tetap
Simulasi Model
Analisis Perbandingan

11
11
12
13
17
23

5 SIMPULAN

23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

25

RIWAYAT HIDUP

33

7
9

DAFTAR TABEL
1 Perbandingan kestabilan model matematika penyebaran penyakit DBD
2 Nilai parameter
3 Perbandingan kestabilan model matematika penyebaran penyakit DBD
serta perbandingan dinamika populasinya

17
18
23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

12

13
14
15

16

Skema penyebaran DBD Model Pongsumpun 1
6
Skema penyebaran DBD Model Pongsumpun 2
8
Skema penyebaran DBD Model IIP
9
Skema penyebaran DBD Model IIP dan EIP
10
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model Pongsumpun 1
18
Tampilan 3 dimensi Gambar 5
19
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan proporsi
nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model Pongsumpun 2
19
Tampilan 3 dimensi Gambar 7
19
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP
20
Tampilan 3 dimensi Gambar 9
20
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dengan nilai rata-rata
gigitan nyamuk (b) berbeda dan nilai parameter lain tetap
20
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih), proporsi
nyamuk terinfeksi (Ih) untuk Model IIP dengan nilai proporsi manusia
terinfeksi yang dalam masa inkubasi (z) berbeda dan nilai
parameter lain tetap
21
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih), proporsi
nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dan EIP
21
Tampilan 3 dimensi Gambar 13
22
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih), proporsi
nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dan EIP dengan nilai rata-rata
gigitan nyamuk (b) berbeda dan nilai parameter lain tetap
22
Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih), proporsi
nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dan EIP dengan nilai z dan ε
yang berbeda
22

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Penyederhanaan Persamaan
Penentuan Titik Tetap
Program Simulasi

25
27
31

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah ada di Australia, Eropa,
Asia, Amerika Selatan dan Afrika sejak abad 19. Wabah DBD di Indonesia pertama
kali timbul di Surabaya pada tahun 1968 (Chahaya 2003). Penyebab penyakit ini
ialah virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti sebagai
faktor utama. Pemodelan penyebaran penyakit DBD akan mempermudah dalam
memahami dinamika penyebaran penyakit dalam suatu populasi.
Aedes aegypti adalah vektor utama demam berdarah. Virus ini ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk betina yang terinfeksi. Setelah inkubasi virus,
nyamuk yang terinfeksi mampu menularkan virus selama sisa hidupnya.
Beberapa penelitian tentang model matematika untuk mengkaji penyebaran
DBD telah dilakukan diantaranya model penyebaran penyakit DBD dengan dua
jenis virus dengue berbeda yang menyerang manusia (Esteva 1998), model pada
kasus dua epidemik dengan dua virus yang berbeda (Derouich 2003), model
penyebaran virus dengue dalam aliran darah manusia (Nuraini et al. 2007), dan
model penyebaran DBD dengan melihat pengaruh musim pada masa inkubasi virus
di dalam nyamuk (Pongsumpun 2006).
Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan model tanpa inkubasi dan
model dengan inkubasi (Pongsumpun 2006), namun akan dimodifikasi sebuah
model baru yang berhubungan dengan masa inkubasi intrinsik, serta gabungan
antara masa inkubasi intrinsik dan masa inkubasi ekstrinsik.
Masa inkubasi ekstrinsik (Extrinsic Incubation Period – EIP) adalah masa
dimana mulai saat masuknya gametosit ke dalam tubuh nyamuk sampai terjadinya
stadium sporogami dalam nyamuk yaitu terbentuknya sporozoid yang kemudian
masuk ke dalam kelenjar liur, atau dengan kata lain masa sampai virus bisa
ditularkan oleh nyamuk.
Masa inkubasi intrinsik (Intrinsic Incubation Period – IIP) adalah masa
dimana masuknya virus dalam tubuh manusia sampai virus bisa tertular dari
manusia ke nyamuk.
Tujuan
1

2
3
4

Melakukan modifikasi model matematika penyebaran penyakit DBD dengan
menyertakan masa inkubasi intrinsik (Model IIP) dan gabungan inkubasi
intrinsik dan ekstrinsik (Model IIP dan EIP).
Menentukan dan menganalisis kestabilan titik tetap pada model SIR hasil
modifikasi.
Menentukan bilangan reproduksi dasar.
Melakukan simulasi numerik dengan berbagai variasi parameter berdasarkan
kondisi bilangan reproduksi dasar.

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Persamaan Diferensial Biasa
Definisi 1. Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear
Misalkan suatu persamaan diferensial biasa dinyatakan sebagai:
� = �� + ;

= � ,� ∈ ℝ
(1)
dengan � adalah matriks koefisien konstan berukuran × dan adalah vektor
konstan. Sistem persamaan (1) dinamakan sistem persamaan diferensial biasa linear
orde satu dengan kondisi awal �
= � . Jika = , maka sistem dikatakan
homogen dan jika ≠ , maka sistem dikatakan takhomogen (Tu 1994).
Definisi 2. Sistem Persamaan Diferensial Biasa Taklinear
Misalkan suatu persamaan diferensial biasa dinyatakan sebagai
� = (�, �)
dengan
� (�)
(�, � , � , … , � )
� (�)
(�, � , � , … , � )
�=
dan (�, �) =
.

(2)

� (�)
(�, � , � , … , � )
Fungsi (�, �) adalah fungsi taklinear dalam 1 , 2 , … , . Sistem persamaan
(2) disebut sistem persamaan diferensial biasa taklinear (Braun 1983).

Definisi 3. Sistem Persamaan Diferensial Biasa Mandiri
Misalkan suatu sistem persamaan linear diferensial biasa dinyatakan sebagai
� = � ,� ∈ ℝ
(3)

dengan merupakan fungsi kontinu bernilai real dari � dan mempunyai turunan
parsial kontinu. Sistem persamaan (3) disebut sistem persamaan diferensial biasa
mandiri (autonomous) karena tidak memuat � secara eksplisit di dalamnya (Tu
1994).
Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Diberikan matriks koefisien konstan � berukuran × dan sistem
persamaan diferensial biasa homogen � = ��, �
= � , � ∈ ℝ . Suatu vektor
tak nol � dalam ℝ disebut vektor eigen dari � jika untuk suatu skalar berlaku:
�� = �.
(4)
Nilai skalar � dinamakan nilai eigen dari �.
Penentuan nilai � dari �, sistem persamaan (4) dapat ditulis
�−
�=
(5)
dengan adalah matriks identitas. Sistem persamaan (5) mempunyai solusi tak nol
jika dan hanya jika

= �−
= .
(6)
Persamaan (6) merupakan persamaan karakteristik matriks � (Anton 1995).
Pelinearan

Analisis kestabilan sistem persamaan diferensial taklinear dapat dilakukan
melalui pelinearan. Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa taklinear

3
� = � ,� ∈ ℝ
(7)
dengan � � ∈ ℝ adalah suatu fungsi bernilai vektor dalam � dan adalah suatu
fungsi mulus yang terdefinisi pada ⊂ ℝ .
Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa sebagaimana pada
sistem (3). Titik � disebut titik tetap, jika � = . Titik tetap disebut juga titik
kritis atau titik kesetimbangan. Untuk selanjutnya digunakan istilah titik tetap (Tu
1994).
Menggunakan ekspansi Taylor di sekitar titik tetap �, maka sistem persamaan
(7) dapat ditulis sebagai
� ≡ � = � + �(�)
(8)
dengan adalah matriks Jacobi
1

=

( )

=

1

1

1

2

2

2

1

2

1

2

2



dan �(�) adalah suku berorde tinggi yang bersifat
�→ � � = , dengan
� = � − �. Pada persamaan (8), bentuk � disebut pelinearan sistem persamaan (7)
(Tu 1994).
Kestabilan Titik Tetap
Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial biasa sebarang � =
� , � ∈ ℝ dengan � sebagai titik tetap. Kestabilan titik tetap � dapat ditentukan
dengan memperhatikan nilai-nilai eigen dari , yaitu , = 1,2, … , , yang
diperoleh dari persamaan karakteristik. Secara umum, kestabilan titik tetap
mempunyai perilaku sebagai berikut:
1 Stabil, jika
a.
< 0 ∀ , atau
b. ∃
= 0, untuk sebarang dan
0.
(Tu 1994).
Kriteria Routh-Hurwitz
Kriteria Routh-Hurwitz digunakan ketika nilai eigen persamaan
karakteristik tidak dapat ditentukan dengan mudah. Misal matriks pada persamaan
(8) berukuran
× , maka persamaan karakteristiknya adalah � � = � +


+ +
= . Didefinisikan k matriks sebagai berikut:
1 0
0 … 0
1
1 … 0
3
2
1
1
… 0 , …,
= 1 ,
= 1
,…,
=
5
4
3
2
3
2


2 −4
2 −1
2 −2
2 −3

4

=

Secara umum

1

1

0

3

2

1

0
1

5

4

3

2

… 0
… 0
… 0



0
0 0 0
=(
) dengan adalah
; 0

+

.

Jadi, titik tetap � stabil jika dan hanya jika det
> 0 , untuk setiap
= 1,2, … , .
Untuk = 2, 3, 4, maka berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz titik tetap stabil
jika dan hanya jika

= 2,
1 > 0,
2 > 0.

= 3,
1 > 0,
3 > 0,
1 2 > 3.
2
2

= 4,
1 > 0,
3 > 0,
4 > 0,
1 2 1 > 3 + 1 4.
(Edelstein-Keshet 1988).
Bilangan Reproduksi Dasar
Bilangan reproduksi dasar dinotasikan dengan 0 merupakan suatu ukuran
potensi penyebaran penyakit dalam suatu populasi. Bilangan reproduksi dasar
didefinisikan sebagai nilai harapan banyaknya populasi rentan yang menjadi
terinfeksi selama masa infeksi berlangsung (van den Driessche dan Watmough
2008).
Kondisi yang dapat terjadi adalah
 Jika 0 < 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi kurang dari
satu manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi kurang
dari satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan hilang dari populasi.
 Jika 0 > 1, maka satu nyamuk terinfeksi akan menginfeksi lebih dari satu
manusia rentan atau satu manusia terinfeksi akan menginfeksi lebih dari
satu nyamuk rentan, sehingga penyakit DBD akan bertahan di dalam
populasi.
Nilai 0 dalam penelitian ini ditentukan dari nilai eigen taknegatif dengan
modulus terbesar the next generation matrix. Matriks ini merupakan suatu matriks
yang dikonstruksi dari subpopulasi yang menyebabkan infeksi saja. Untuk model
umum dengan kompartemen penyakit dan kompartemen tanpa penyakit, nilai
0 dapat dihitung untuk setiap kompartemen.
Misalkan diberikan sistem persamaan diferensial taklinear � = � , � ∈ ℝ
dan misalkan
∈ ℝ dan
∈ ℝ adalah sub-subpopulasi pada setiap
kompartemen. Selanjutnya, dinotasikan ℱ sebagai laju kenaikan infeksi pada
kompartemen penyakit ke-i dan � sebagai laju pergerakan penyakit, kematian dan
penurunan kesembuhan dari kompartemen ke-i. Model kompartemen dapat ditulis
sebagai
=� , −� ,
, = , ,…,
=
,
, = , ,…,
maka sistem persamaan diferensial taklinear � = � , � ∈ ℝ dapat ditulis
sebagai

5
= (� − �)
dengan � dan � adalah matriks matriks berukuran × yaitu
��
��
�=
( , ) dan � =
( , )




dengan (0, 0 ) adalah titik tetap tanpa penyakit.
The next generation matrix K untuk suatu sistem persamaan diferensial pada
titik tetap tanpa penyakit berbentuk
= ��− .
Berdasarkan Van den Driessche dan watmough (2008), diperoleh

.
0 = � ��

dengan � ��
adalah maksimum dari modulus nilai-nilai eigen dari ��− .
(van den Driessche dan Watmough 2008).

3 MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DBD
Penyebaran DBD
DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk utama
penyebar virus dengue, namun spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis, berperan sebagai nyamuk sekunder. Peningkatan penyebaran demam
berdarah dengue terjadi pada awal dan akhir musim hujan karena tempat
perindukan nyamuk terbentuk dengan tertampungnya air hujan.
Virus DBD memerlukan waktu 8-10 hari untuk menyelesaikan masa
inkubasi ekstrinsik dari lambung sampai ke kelenjar ludah nyamuk. Pada daerahdaerah di mana terjadi perubahan temperatur di dalam setiap musim, transmisi virus
demam berdarah selalu berkurang pada suhu rendah. Contoh mewabahnya virus
demam berdarah di daerah dingin berhenti pada temperatur yang turun ke 14-15o C
pada awal musim dingin. Hal ini disebabkan masa inkubasi ekstrinsik di dalam
suhu rendah itu adalah lebih lama dari masa inkubasi ekstrinsik di dalam suhu yang
tinggi, padahal rata-rata masa hidup nyamuk 14 hari. Nyamuk-nyamuk itu tidak
pernah sembuh dari infeksi karena terinfektif mereka berakhir dengan kematian
(Gubler 1998). Pada suhu di bawah 20oC sebelum menyebarkan virus, nyamuk
sudah mati.
Masa inkubasi intrinsik virus DBD adalah 3-10 hari (Chan dan Johansson
2012), masa inkubasi intrinsik adalah waktu dimana virus berada dalam tubuh
manusia sampai virus itu siap tertular ke nyamuk oleh gigitannya.
Penularan virus ini dapat dikelompokkan menjadi dua mekanisme.
Mekanisme pertama, transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, dimana virus dapat
ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya dan juga dapat ditularkan dari nyamuk
jantan ke nyamuk betina melalui kontak seksual, tetapi tidak berlaku sebaliknya
(Malavige et al. 2004). Mekanisme kedua, transmisi dari nyamuk ke dalam tubuh
manusia dan sebaliknya. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2
hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. Setelah virus berada
dalam tubuh nyamuk, virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan
berkembang biak, kemudian akan migrasi yang akhirnya akan sampai di kelenjar
ludah memerlukan waktu 8-10 hari untuk menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsik.

6
Virus yang berada pada lokasi ini setiap saat sudah dapat ditularkan kembali kepada
manusia.
Model Matematika Penyebaran DBD (Model Pongsumpun 1)
Populasi manusia dibagi menjadi tiga kelas, yaitu manusia yang rentan ( ),
manusia yang terkena infeksi ( ), dan manusia yang sembuh ( ). Manusia yang
rentan adalah manusia yang bukan imun dan tidak terkena infeksi. Manusia yang
terkena infeksi adalah manusia yang terkena virus DBD dan dapat menularkan
kepada individu lain dengan perantara nyamuk. Manusia sembuh adalah manusia
yang sembuh dari penyakit dan tidak dapat tertular lagi.
Populasi nyamuk dibedakan menjadi dua kelas yaitu nyamuk yang rentan
( � ) dan nyamuk yang terkena infeksi (I� ). Nyamuk yang rentan adalah nyamuk
yang berpeluang terkena penyakit demam berdarah dengue. Sedangkan nyamuk
terinfeksi adalah nyamuk yang dalam tubuhnya telah terdapat virus dengue dan
dapat menularkan kepada individu lain.
Asumsi-asumsi yang berlaku adalah :
1 Ukuran populasi manusia dan nyamuk konstan sehingga laju kelahiran sama
dengan laju kematian.
2 Rata-rata gigitan individu nyamuk pada manusia per hari adalah konstan.
3 Nyamuk tidak pernah sembuh setelah terinfeksi penyakit.
Pola penyebaran penyakit DBD tanpa mempertimbangkan masa inkubasi
secara skematis dapat dilihat pada Gambar 1, dengan (→) menyatakan perpindahan
individu, dan (⇢) menyatakan pengaruh antar kompartemen.

Gambar 1 Skema penyebaran DBD Model Pongsumpun 1
Skema pada Gambar 1 dapat dituliskan dalam sistem persamaan diferensial
sebagai berikut:

7
= � −

=

=




dengan
� =



=�−

=



+

+

,

=













−(



+ )
(9)

















�� =

dan



+



.
dimana
� adalah total populasi manusia,
�� adalah total populasi nyamuk,
adalah laju kelahiran manusia (per hari),
b adalah rata-rata gigitan individu nyamuk pada manusia (per hari),
adalah peluang transmisi virus demam berdarah dari nyamuk ke manusia,
adalah
peluang transmisi virus demam berdarah dari manusia ke nyamuk,

adalah laju kematian alami manusia (per hari),
r adalah laju kesembuhan manusia terinfeksi (per hari),
D adalah laju perekrutan nyamuk
� adalah laju kematian alami dari nyamuk (per hari).
Jika dimisalkan:

=



,

=



,





=

��

maka persamaan (9) dapat disederhanakan menjadi
= −
� −
=



dengan



=

�,

=

=





1−

, dan

−(


=



,



=



��

, dan �� =





+ )








.

(10)

� �

Model Matematika Penyebaran DBD dengan Inkubasi Ekstrinsik
(Model Pongsumpun 2)

Pada model ini dimisalkan c adalah persentasi nyamuk terinfeksi yang
belum menularkan penyakit (artinya masih dalam masa inkubasi ekstrinsik). Pola
penyebaran penyakit DBD dengan mempertimbangkan masa inkubasi ekstrinsik
secara skematis dapat dilihat pada Gambar 2, dengan (→) menyatakan perpindahan
individu, dan (⇢) menyatakan pengaruh antar kompartemen.

8

Gambar 2 Skema penyebaran DBD Model Pongsumpun 2
Skema Gambar 2 dapat dituliskan dalam sistem persamaan diferensial
sebagai berikut:

= � −�
1−

=

=




dengan

(1 − )



=�−

=

� =

+












+









−(







+ )

(11)





�� =

dan

+



.

Variasi dari periode inkubasi ekstrinsik disebabkan oleh perubahan
temperatur. Hal ini merupakan akibat dari efek musiman dalam penyebaran
penyakit demam berdarah. Pada kasus ini, masa inkubasi ekstrinsik masuk dalam
model melalui ketergantungan c pada τ dimana τ adalah panjang periode inkubasi
(dalam hari) dari virus dalam tubuh nyamuk sehingga

0

=

− �

1− − � �

=



.

Selanjutnya misalkan ′ =
1 − , dan c diuraikan berdasarkan uraian
fungsi uraian fungsi eksponensial, maka diperoleh


Dengan bentuk umum



1−� 1−

=

��

2!

2 2
��

+

3!



.

dapat dinyatakan oleh fungsi sinusoidal berikut


=

(1 + �

� )

dengan ε ukuran pengaruh musiman terhadap proses transmisi penyakit.
Jika dimisalkan:
=



,

=



,

=



,



=



��

maka persamaan (11) dapat disederhanakan menjadi

,



=



��

, dan �� =





9
=
=

dengan



=

�,





=

=












−(

� (1 − � )


=

, dan





+ )




.

(12)

� �

Model Matematika Penyebaran DBD dengan Inkubasi Intrinsik (Model
IIP)
Model ini adalah model modifikasi dari model sebelumnya dengan
memasukkan masa inkubasi intrinsik, untuk model ini dimisalkan z adalah
persentasi manusia terinfeksi yang belum menularkan penyakit (artinya masih
dalam masa inkubasi intrinsik), artinya (1 − ) adalah proporsi manusia yang
terinfeksi yang dapat menularkan virus ke nyamuk lewat gigitan nyamuk. Pola
penyebaran penyakit DBD dengan mempertimbangkan masa inkubasi intrinsik
secara skematis dapat dilihat pada Gambar 3, dengan (→) menyatakan perpindahan
individu, dan (⇢) menyatakan pengaruh antar kompartemen.

Gambar 3 Skema penyebaran DBD Model IIP
Skema pada Gambar 3 dapat dituliskan dalam sistem persamaan diferensial
sebagai berikut:

= � −�

=

=




dengan
Jika dimisalkan

� =



=�−

=
+





+










−(


+ )

(13)

(1 − )

(1 − )

dan











�� =





+



.

10
=

,



=

,



=



,



=



,

��



maka persamaan (13) dapat disederhanakan menjadi
= −
� −
=



dengan





�,

=




=

− ),

� (1

=
=

−(




� (1 − � )



, dan �� =

��





+ )



=

, dan

=

(14)

� �






.

Model Matematika Penyebaran DBD dengan Inkubasi Intrinsik dan
Ekstrinsik (Model IIP dan EIP)
Model ini adalah modifikasi dari model sebelumnya dengan memasukkan
masa inkubasi intrinsik dan ekstrinsik secara bersama-sama. Pola penyebaran
penyakit DBD dengan mempertimbangkan masa inkubasi intrinsik dan ekstrinsik
secara skematis dapat dilihat pada Gambar 4, dengan (→) menyatakan perpindahan
individu, dan (⇢) menyatakan pengaruh antar kompartemen.

Gambar 4 Skema penyebaran DBD Model IIP dan EIP
Skema pada Gambar 4 dapat dituliskan dalam sistem persamaan diferensial
sebagai berikut:

= � − � (1 − )

=

=




dengan
� =

Jika dimisalkan
=



,

=





,





(1 − )

=�−
+

=








+





1−

(1 − )

=

dan



,



−(



=

+ )

(15)





��

,






�� =


=






��

+



.

, dan �� =





11
maka persamaan (15) dapat disederhanakan menjadi
= − ′
� −
=



dengan




=


�,




=






−(



1−

� (1 − ),

=





+ )



� �


=

(16)

=

, dan







.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Titik Tetap
Analisis titik tetap pada sistem persamaan diferensial sering digunakan
untuk menentukan suatu solusi yang tidak berubah menurut waktu, yaitu pada saat
= 0,
= 0 dan
= 0. Titik tetap dari sistem persamaan diferensial (10, 12,
14, dan 16) diperoleh berdasarkan
= 0,
= 0 dan � = 0 . Dari hasil analisis
diperoleh dua jenis titik tetap, yaitu titik tetap tanpa penyakit dan titik tetap
endemik. Titik tetap tanpa penyakit adalah titik tetap yang memuat nilai = 0 dan
≠ 0 atau � ≠ 0.
� = 0. Titik tetap endemik adalah titik tetap yang memuat nilai
Penentuan titik tetap dilakukan untuk Model IIP (14), serta Model IIP dan
EIP (16). Hasil ini akan dibandingkan dengan Model Pongsumpun 1 (10) dan
Model Pongsumpun 2 (12).
Titik tetap tanpa penyakit sistem persamaan diferensial Model IIP (14)
adalah �0 , , � = �0 1,0,0 dan titik tetap endemik � ∗ ∗ , ∗ , �∗ dengan




Jika dimisalkan
maka diperoleh

=









=

2

2

=

2
2

=






=
=
=




+

�+

+









�(

+ +

2

, �=




�+ �

� +









+



, �0 =

�(
2
�(

+ )



+

+ )
+

(17)

.




+ )

+�� 0

�0 −1

(18)

+��0

(�0 −1)

� 0 ( +�)

.

Titik tetap tanpa penyakit sistem persamaan diferensial Model IIP dan EIP
(16) adalah �0 , , � = �0 1,0,0 dan titik tetap endemik �∗ ∗ , ∗ , �∗ dengan

12



Jika dimisalkan
maka diperoleh

=









=

2








2

=

2

=

=

=
=



2

2

, �=




�+ �
′ ′ +


+











+





�(

+ +






+

�(




2 ′

, �1 =

�+




�(

+ )



(19)

+

+ )
+

.




+ )

+��1

�1 −1

(20)

+��1

(�1 −1)

�1 ( +�)

.

Penentuan Bilangan Reproduksi Dasar
Bilangan reproduksi dasar dinotasikan dengan 0 adalah nilai harapan
banyaknya infeksi tiap satuan waktu. Infeksi ini terjadi pada suatu populasi rentan
yang dihasilkan oleh satu individu terinfeksi. Penentuan bilangan reproduksi dasar
dilakukan dengan pendekatan the next generation matrix (Diekmann et al. 1990).
The next generation matrix K untuk Model IIP didefinisikan sebagai:
= ��−

dengan

sehingga diperoleh

�=

0



0

+
0

�=

,

0
=






0


.

0

+

Bilangan reproduksi dasar merupakan nilai eigen dengan modulus terbesar
matriks (van den Driessche dan Watmough 2008). Penentuan nilai eigen � dari
matriks berdasarkan persamaan karakteristik

=
sehingga dapat ditentukan nilai eigen dengan modulus terbesar dari matriks yang
merupakan bilangan reprodiksi dasar pada penyebaran DBD Model IIP yaitu:
2
0

=






+

.

The next generation matrix K untuk Model IIP dan EIP didefinisikan
sebagai:
= ��−

13
dengan

sehingga diperoleh

�=



0



0

�=

,

0
=

+
0







0


.

0
+
Penentuan nilai eigen � dari matriks
diperoleh dari persamaan
karakteristik

=
sehingga dapat ditentukan nilai eigen dengan modulus terbesar dari matriks
yang merupakan bilangan reproduksi dasar pada penyebaran DBD Model IIP dan
EIP yaitu:
2
0

=








.

+

Analisis Kestabilan Titik Tetap
Analisis kestabilan akan dilakukan untuk Model IIP (14), serta Model IIP
dan EIP (16), selanjutnya akan dibandingkan dengan Model Pongsumpun 1 (10)
dan Model Pongsumpun 2 (12).
Analisis kestabilan di sekitar titik tetap ditentukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1 Menentukan matriks Jacobi sistem persamaan diferensial.
2 Menentukan matriks Jacobi pada titik tetap.
3 Menentukan nilai eigen
, dengan menyelesaikan det −
= . Jika semua
nilai eigennya riil negatif maka titik tetap tersebut stabil, jika nilai eigennya
tidak mudah untuk diselesaikan maka digunakan kriteria Routh-Hurwitz.
Perilaku di Sekitar Titik Tetap �

, ,

Model IIP

Misalkan persamaan (14) dituliskan sebagai berikut:
( , , �) =

( , , �) =

( , , �) =







−(


� (1 − � )



+ )



� �.

(21)

Pelinearan persamaan (21) dilakukan untuk memeriksa kestabilan sistem persamaan
(14). Matriks Jacobi adalah:

14

=

=







0
− −
(1 − � )

0

Pada titik tetap �0 1,0,0 diperoleh matriks Jacobi:


=


0
0



0
− −















.




.


Sistem akan stabil jika semua nilai eigen matriks Jacobi bernilai negatif. Nilai
eigen matriks Jacobi ditentukan dengan menyelesaikan det � −
= , yaitu
2
(22)
−4
1 = − , 2,3 = − ±

dengan

2

= +

+

�,

=

+



= 1 − �0 , �0 =

,






+

,

=
, �′ = �′ .
Jika � < 1, maka semua nilai eigen bernilai negatif artinya titik tetap �0 1,0,0
akan stabil.
0

Perilaku di Sekitar Titik Tetap �∗ �∗ ,

Pada titik tetap � ∗
�∗

=





�0 − 1

�0 + �
�0 − 1
�0 + �

, ∗,




,




Model IIP

diperoleh matriks Jacobi sebagai berikut:


0
− −

�0 − 1
1− 0

+�

0











�+
+ ��0
�+
+ ��0
�0 − 1

+ ��0



Sistem akan stabil jika semua nilai eigen dari matriks Jacobi semuanya bernilai real
negatif. Nilai eigen matriks Jacobi ditentukan dengan menyelesaikan det �∗ −
= . Persamaan karakteristik dari � ∗ adalah
dengan
0

yaitu

=−

�∗

0

;

=

1

=



=

3

11

12

+

21

22

+ ��0
+
+�

+

0

2

+

11

13

31

�+

1

+

(23)

2

22

23

33

32

33

0
��

+�
+ ��0

+

;

2

= −det⁡ � ∗

15

1

=

2

2

=





2

+ ��0
+
+�

� �0 − 1 .


+ ��0



�0 + (�0 − 1)



Nilai eigen persamaan (23) tidak mudah untuk ditentukan, oleh karena itu
kestabilan disekitar titik tetap �∗ ∗ , ∗ , �∗ akan diselidiki dengan menggunakan
kriteria Routh-Hurwitz. Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz kestabilan sistem pada
titik tetap �∗ ∗ , ∗ , �∗ akan stabil jika dan hanya jika syarat-syarat dibawah ini
terpenuhi:
0

> 0 , dan

1

> 0, dan

0 1

>

2.

Berdasarkan kondisi tersebut, jika �0 > 1 maka diperoleh 0 > 0,
dan 1 > 0, dan 0 1 > 2 . Dengan demikian kriteria Routh-Hurwitz terpenuhi
jika �0 > 1 , dengan kata lain titik tetap �∗ ∗ , ∗ , �∗ stabil jika �0 > 1 . Nilai
�0 = 0 adalah bilangan reproduksi dasar penyebaran penyakit DBD pada Model
IIP.
Perilaku di Sekitar Titik Tetap �

, ,

Model IIP dan EIP

Misalkan persamaan (16) dituliskan sebagai berikut:


( , , �) =



( , , �) =
, ,




=








−(

1−



+ )




(24)

� �.

Pelinearan persamaan (24) dilakukan untuk memeriksa kestabilan sistem persamaan
(16). Matriks Jacobi adalah:



=

=







0

0
− −
(1 − � )



Pada titik tetap �0 1,0,0 diperoleh matriks Jacobi:

= 0
0



0
− −

























.





Sistem akan stabil jika semua nilai eigen matriks Jacobi bernilai negatif. Nilai eigen
matriks Jacobi ditentukan dengan menyelesaikan det � −
= , diperoleh
1

dengan

=−

,

2,3

=− ±

2

−4

(25)

16
2

= +


=b



+



,

=

�,

=



.

+



= 1 − �1 , �1 =

,








+

,

Dari nilai eigen yang diperoleh, semua nilai eigen akan negatif jika �1 < 1, artinya
titik tetap �0 1,0,0 akan stabil jika �1 < 1.
Perilaku di Sekitar Titik Tetap �∗ �∗ ,

Pada titik tetap � ∗
�∗

=







�1 − 1

�1 + �
�1 − 1

�1 + �

, ∗,




,




Model IIP dan EIP

diperoleh matriks Jacobi sebagai berikut:


0
− −

(�1 − 1)
�1 ( + �)

1−

0











�+
+ ��1
�+

+ ��1
�1 − 1

+ ��1




Sistem akan stabil jika semua nilai eigen dari matriks Jacobi bernilai real negatif.
Nilai eigen matriks Jacobi ditentukan dengan menyelesaikan det �∗ −
= .
Persamaan karakteristik dari �∗ adalah
dengan
0

yaitu

=−

�∗

;

1

0

=

1

=

2

2

=



=





=

3

11

12

+

21

22

+ ��1
+
+�

2

+ ��1
+
+�

+

2

0

+

11

13

31

�+


� �1 − 1 .

1

+

(26)

2

22

23

33

32

33

1
��

+�
+ ��1

+

�1 + (�1 − 1)

;

2

= −det⁡ � ∗


+ ��1



Nilai eigen dari persamaan (26) tidak mudah untuk ditentukan, oleh karena
itu kestabilan disekitar titik tetap �∗ ∗ , ∗ , �∗ akan diselidiki dengan menggunakan
kriteria Routh-Hurwitz. Berdasarkan kriteria Routh-Hurwitz kestabilan sistem pada
titik tetap �∗ ∗ , ∗ , �∗ akan stabil jika dan hanya jika syarat-syarat dibawah ini
terpenuhi:
0

> 0 , dan

1

> 0, dan

0 1

>

2

Berdasarkan kondisi tersebut, dapat terlihat bahwa jika �1 > 1 maka
diperoleh 0 > 0 , dan 1 > 0, dan 0 1 > 2 . Dengan demikian kriteria RouthHurwitz terpenuhi jika �1 > 1, dengan kata lain titik tetap �∗ ∗ , ∗ , �∗ stabil jika

17
�1 > 1 . Nilai �1 = 0 adalah bilangan reproduksi dasar penyebaran penyakit
DBD pada Model IIP dan EIP.
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, untuk memudahkan
membandingkan kestabilan tiap model dibuat sebuah tabel seperti terlihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan kestabilan model matematika penyebaran penyakit DBD
Model
Penyebaran DBD

Syarat Stabil
Titik Tetap Tanpa
Penyakit
2

Pongsumpun 1
Pongsumpun 2
IIP
IIP dan EIP






2 ′
2

1

+
2 ′
2

+
+

2 ′

+

Simulasi Model
Salah satu tujuan dalam penelitian ini adalah melakukan simulasi model.
Simulasi dilakukan karena pengamatan terhadap sistem sulit dilakukan secara
langsung, selain itu dengan simulasi dapat dipelajari hal-hal yang bisa terjadi dalam
dinamika populasi.
Simulasi dilakukan dengan merujuk pada analisis kestabilan yang telah
dilakukan sebelumnya. Simulasi dilakukan pada kondisi 0 > 1, dan hanya pada
titik tetap endemik.
Simulasi juga dibuat dengan melakukan perubahan rata-rata gigitan nyamuk
perhari (b), perubahan proporsi manusia yang terinfeksi yang belum bisa
menularkan virus dengue (z), dan perubahan ukuran pengaruh musiman (ε).
Nilai-nilai parameter yang akan dimasukkan dalam simulasi adalah
yaitu
1
laju kematian populasi manusia dengan
=
= 0.0000391 per hari sesuai
70×365
dengan harapan hidup manusia 70 tahun. Nilai Laju kelahiran manusia
sama
dengan laju kematian manusia sebagaimana yang menjadi asumsi awal. Laju
1
kematian nyamuk � = = 0.071 per hari karena rata-rata hidup nyamuk adalah
14
14 hari (Pongsumpun 2006). Laju kelahiran nyamuk � sama dengan laju kematian.
Nilai parameter seluruhnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai parameter

18
Model
Simbol






Parameter
Laju kelahiran manusia per hari
Laju kelahiran nyamuk per hari
Laju kematian manusia per hari
Laju kematian nyamuk per hari

IIP
0.0000391
0.071
0.0000391
0.07
1
dari
0.5

Peluang transmisi virus dengue
nyamuk ke manusia
Peluang transmisi virus dengue dari
manusia ke nyamuk
Rata-rata gigitan nyamuk perhari
Laju pemulihan populasi manusia terinfeksi
ke sembuh per hari
Perbandingan populasi nyamuk dengan
populasi manusia
Proporsi manusia yang terinfeksi yang
dalam masa inkubasi

IIP
dan EIP
0.0000391
0.071
0.0000391
0.071
0.5

0.7

0.7

0.6
1/3

0.6
1/3

10

10

0.3

0.3

Hasil Simulasi
Simulasi ini dilakukan untuk 0 > 1 dengan kondisi awal terdapat sejumlah
populasi manusia dan nyamuk yang sudah terinfeksi. Proporsi awal manusia Sehat
S(0)=0, manusia terinfeksi Ih(0)=0.0025 dan nyamuk terinfeksi Iv(0)=0.006.
Model Pongsumpun 1

Gambar 5 Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model Pongsumpun 1
Berdasarkan Gambar 5, proporsi manusia rentan (Sh) berosilasi menuju nilai
stabil 0.0185, proporsi manusia terinfeksi (Ih) berosilasi menuju nilai stabil
0.000115, sedangkan proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) berosilasi menuju nilai stabil
0.0006861. Hal ini berarti solusi tersebut stabil pada titik tetap endemik
�∗ ∗ , ∗ , �∗ = 0.0185, 0.000115, 0.0006861 . Tipe kestabilan titik tetap
tersebut ditampilkan dalam bentuk 3 dimensi pada Gambar 6 yang berbentuk spiral.

19

Gambar 6 Tampilan 3 dimensi Gambar 5
Model Pongsumpun 2

Gambar 7 Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model Pongsumpun 2
Berdasarkan Gambar 7 proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia
terinfeksi (Ih) dan proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) berosilasi menuju nilai yang
periodik (siklik). Tipe kestabilan titik tetap tersebut ditampilkan dalam bentuk 3
dimensi pada Gambar 8.

Gambar 8 Tampilan 3 dimensi Gambar 7

20
Model IIP

Gambar 9 Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP

Gambar 10 Tampilan 3 Dimensi Gambar 9
Berdasarkan Gambar 9 proporsi manusia rentan (Sh) berosilasi menuju nilai
stabil 0.02338, proporsi manusia terinfeksi (Ih) berosilasi menuju nilai stabil
0.0001118, sedangkan proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) berosilasi menuju nilai stabil
0.0005484. Hal ini berarti bahwa solusi tersebut stabil pada titik tetap endemik
�∗ ∗ , ∗ , �∗ = 0.02338, 0.000111, 0.0005484 . Tipe kestabilan titik tetap
tersebut ditampilkan dalam bentuk 3 dimensi pada Gambar 10 yang berbentuk
spiral.

Gambar 11 Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dengan nilai ratarata gigitan nyamuk (b) berbeda dan nilai parameter lain tetap

21
Berdasarkan Gambar 11, grafik yang berwarna biru menunjukan nilai ratarata gigitan nyamuk (b) yang lebih rendah. Terlihat bahwa nilai proporsi manusia
rentan (Sh) akan naik untuk nilai b yang semakin kecil untuk jangka waktu yang
panjang, sedangkan proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan proporsi nyamuk
terinfeksi (Iv) akan turun untuk nilai b yang semakin kecil untuk jangka waktu yang
panjang.

Gambar 12

Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih),
proporsinyamuk terinfeksi (Ih) untuk Model IIP dengan nilai
proporsi manusia terinfeksi yang dalam masa inkubasi (z) berbeda
dan nilai parameter lain tetap

Berdasarkan Gambar 12 dimana grafik yang berwarna biru, merah muda,
dan hijau menunjukan nilai proporsi manusia terinfeksi yang dalam masa inkubasi
(z) dari yang kecil ke yang besar, terlihat bahwa proporsi manusia rentan (Sh) akan
turun untuk z yang semakin kecil dalam jangka waktu yang panjang, sedangkan
proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan nyamuk terinfeksi (Iv) akan naik untuk z yang
semakin kecil dalam jangka waktu yang panjang.
Model IIP dan EIP
Berdasarkan gambar 13 proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia
terinfeksi (Ih) dan proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) berosilasi menuju nilai yang
periodik. Tipe kestabilan titik tetap tersebut ditampilkan dalam bentuk 3 dimensi
pada Gambar 14.

Gambar 13 Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dan EIP

22

Gambar 14 Tampilan 3 dimensi Gambar 13

Gambar 15

Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih),
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dan EIP dengan
nilai rata-rata gigitan nyamuk (b) berbeda dan nilai parameter lain
tetap

Berdasarkan Gambar 15, grafik yang berwarna biru menunjukan nilai ratarata gigitan nyamuk (b) yang lebih rendah, terlihat bahwa nilai proporsi manusia
rentan (Sh) akan naik untuk nilai b yang semakin kecil untuk jangka waktu yang
panjang, sedangkan proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan proporsi nyamuk terinfeksi
(Iv) akan turun untuk nilai b yang semakin kecil untuk jangka waktu yang panjang.
Pada Gambar 16, grafik yang berwarna biru, merah muda, hijau
menunjukkan nilai proporsi manusia terinfeksi yang dalam masa inkubasi (z) serta
nilai suatu ukuran pengaruh keragaman musim pada masa inkubasi ekstrinsik (� )
dari yang kecil ke yang besar. Penurunan nilai z dan � menyebabkan perubahan
perilaku osilasi proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih), dan
nyamuk terinfeksi (Iv).

Gambar 16 Proporsi manusia rentan (Sh), proporsi manusia terinfeksi (Ih) dan
proporsi nyamuk terinfeksi (Iv) untuk Model IIP dan EIP dengan
nilai z dan � yang berbeda

23
Analisis Perbandingan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat terlihat bahwa model
penyebaran penyakit DBD baik Model Pongsumpun 1, Model Pongsumpun 2,
Model IIP, serta Model IIP dan EIP memiliki karakter berbeda baik dari segi
kestabilan maupun dinamika populasinya. Gambaran perbedaannya secara ringkas
dapat dilihat dalam Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa baik Model Pongsumpun 1, Model
Pongsumpun 2, Model IIP, serta Model IIP dan EIP bersifat stabil dengan syarat
tertentu untuk kedua titik tetap, baik titik tetap tanpa penyakit maupun titik tetap
endemik. Selanjutnya berdasarkan simulasi model diperoleh bahwa Model
Pongsumpun 1 dan Model IIP nilainya berosilasi menuju nilai yang stabil. Model
Pongsumpun 2 dan Model IIP dan EIP berdasarkan hasil simulasi diperoleh
nilainya berosilasi menuju nilai yang periodik (siklik) dengan periode Model IIP
dan EIP lebih lama dari Model Pongsumpun 2.
Tabel 3 Perbandingan kestabilan model matematika penyebaran penyakit DBD
serta perbandingan dinamika populasinya.
Model Penyebaran
DBD

Syarat Stabil
Titik Tetap Tanpa
Penyakit
2

Pongsumpun 1
Pongsumpun 2
IIP
IIP dan EIP






2 ′
2