Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli Dan Biji Pala (Myristica Fragrans Houtt) Dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air

KARAKTERISTIK FISIKO KIMIA
MINYAK FULI DAN BIJI PALA (Myristica fragrans Houtt)
DENGAN EKSTRAKSI METODE DESTILASI AIR

MIMBAR ARI SAPUTRO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Fisiko
Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dengan Ekstraksi
Metode Destilasi Air adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016
Mimbar Ari Saputro
NIM F252130085

RINGKASAN
MIMBAR ARI SAPUTRO. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala
(Myristica fragrans Houtt) dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air. Dibimbing
oleh NURI ANDARWULAN dan DIDAH NUR FARIDAH.
Pala (Miristica fragrans Houtt) adalah salah satu jenis tanaman yang
memiliki arti ekonomi penting sebagai penghasil rempah dan minyak pala di
perdagangan internasional. Bahan baku dalam pembuatan minyak pala terdiri dari
fuli (mace), biji pala muda, media, dan tua yang pengklasifikasiannya ditentukan
oleh perbedaan umur panen buah pala. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak pala yang dihasilkan dari proses
ekstraksi dengan metode destilasi air terhadap perbedaan umur panen fuli dan biji
pala (muda, media, dan tua).
Diameter membujur dan melintang biji pala secara berurutan berdasarkan
sampel uji adalah (1.45, 1.56, dan 2.34 cm) dan (1.02, 1.77, dan 2.02 cm). Berat

biji pala secara berurutan adalah 0.77, 1.67, dan 2.71 gram. Persentase minyak
pala yang dihasilkan secara berurutan berdasarkan sampel uji adalah 19.51, 8.92,
6.35, dan 5.04. Nilai berat jenis, indeks refraksi, dan rotasi optik secara berurutan
adalah (0.919, 0.902, 0.923, dan 0.930), (1.487, 1.481, 1,486, dan 1.487), dan
(+6.07o, +7.51o, +6.61o, dan +6.58o).
Analisis profil senyawa atsiri minyak pala menggunakan gas kromatografi –
spektrometri massa (GC-MS) dan gas kromatografi (GC) berhasil diidentifikasi
40 senyawa atsiri dengan total persentase area berdasarkan urutan sampel uji
99.41, 98.65, 98.27, dan 98.36. Senyawa penyusun utama minyak pala terdiri dari
alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4terpineol, safrole, myristicine, eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, and
elimicine. Minyak biji pala muda memiliki mutu mendekati standar European
Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans dibandingkan dengan minyak
fuli, biji pala media, dan tua.
Kata kunci: destilasi air, minyak fuli, minyak pala, senyawa atsiri

SUMMARY
MIMBAR ARI SAPUTRO. The Physicochemical Properties of Nutmeg Mace and
Seed Oil (Myristica fragrans Houtt) Characterized by Hydrodistillation
Extraction Method. Supervised by NURI ANDARWULAN and DIDAH NUR
FARIDAH.

Nutmeg (Myristica fragrans Houtt) is the most important species for spice
and nutmeg oil in international trade. The raw materials in the production of
nutmeg oil consist of mace, young seed, medium seed, and old seed. The seed was
classified by the difference of harvesting age of nutmeg. The objective of this
study was to investigate physicochemical properties as well as the profile of
volatile oil composition of nutmeg oil from mace and different age of nutmeg seed
(young, medium, and old) by hydrodistillation as extraction method. The physical
properties of mace and nutmeg seeds were determined at different moisture
content of samples.
The mean length and width of seeds were (1.45, 1.56, and 2.34 cm) and
(1.02, 1.77, and 2.02 cm), respectively. The mean weight of seeds were 0.77,
1.67, and 2.71 gram. The percentages of oil yield were 19.51, 8.91, 6.35, and 5.04,
respectively. The mean of specific gravity, refractive index and optical rotation of
oils were (0.919, 0.902, 0.923, and 0.930), (1.487, 1.481, 1,486, and 1.487), and
(+6.07o, +7.51o, +6.61o, and +6.58o), respectively.
Analysis of volatile components in the nutmeg oil used GC-MS and GC and
40 compounds have been identified with the percentage of total area were 99.41,
98.63, 98.26, and 98.24, respectively. The main constituents of various nutmeg
oils were alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma
terpinene, 4-terpineol, safrole, myristicine, eugenol, methyl eugenol, isoeugenol,

and elimicine. The physicochemical properties of young nutmeg seed oil is the
closest to European Pharmacopoeia and flavor and fragrance industry standard
quality standard compare to mace, medium, and old nutmeg seeds.
Key words: hydrodistillation, mace oil, nutmeg oil, volatile compounds

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISTIK FISIKO KIMIA
MINYAK FULI DAN BIJI PALA (Myristica fragrans Houtt)
DENGAN EKSTRAKSI METODE DESTILASI AIR

MIMBAR ARI SAPUTRO


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi
pada
Program Studi Magister Profesional Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr-Ing Azis Boing Sitanggang, STP, MSc

Judul Tesis : Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica
fragrans Houtt) dengan Ekstraksi Metode Destilasi Air
Nama
NIM

: Mimbar Ari Saputro

: F252130085

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Nuri Andarwulan, MSi
Ketua

Dr Ir Didah Nur Faridah, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Magister Profesional Teknologi Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 18 Agustus 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul pada
penelitian yang telah dilaksanakan sejak bulan April 2015 ini ialah Karakteristik
Fisiko Kimia Minyak Fuli dan Biji Pala (Myristica fragrans Houtt) dengan
Ekstraksi Metode Destilasi Air. Karya ilmiah ini telah diajukan ke International
Food Research Journal (IFRJ) untuk dipublikasikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Nuri Andarwulan, MSi
dan Ibu Dr Ir Didah Nur Faridah, MSi selaku pembimbing yang telah
membimbing penulis dengan sabar dan memberi banyak masukan serta motivasi
pada penulis dalam menyusun karya ilmiah ini. Penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada Bapak Dr-Ing Azis Boing Sitanggang, STP, MSc selaku
penguji luar komisi yang telah menguji penulis pada ujian tesis. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada civitas akademika dan sekretariat

Pascasarjana Magister Profesional Teknologi Pangan, Manajemen PT. Indesso
Aroma, rekan-rekan di kantor khususnya di R & D, QC, dan SCM yang tak hentihentinya memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini, rekan-rekan di
MPTP batch IX atas dorongannya untuk menyelesaikan tesis ini khususnya
almarhumah Anita Roserlina Simanjuntak, petani dan pedagang pala di Sumatera
Barat. Sahabat-sahabat di Brotherhood atas dukungannya dalam penyelesaian
tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, istri
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016
Mimbar Ari Saputro

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hipotesis
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
3
3

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pala
Fuli (mace)
Biji Pala
Metabolisme Minyak Atsiri
Metode Penyulingan
Minyak Pala
Komponen Minyak Pala
Regulasi Standar Mutu Minyak Pala

4
4
6
6
7
8
9
9

11

3 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Tahapan Penelitian

14
14
14
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik Pala dan Minyak Atsiri Pala
Profil Senyawa Atsiri Minyak Pala

17
17
19

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Luas tanaman pala Indonesia tahun 2014
Luas tanaman pala Sumatera Barat tahun 2014
Komposisi kimia fuli dan biji pala kering
Komposisi kimia minyak pala
Profil senyawa atsiri minyak pala asal Sulawesi, Jawa, dan Andaliman
Nicobar
Standar minyak pala
Karakteristik sifat fisik sampel dan minyak atsiri pala
Profil senyawa kimia pada minyak fuli, biji pala muda, media dan tua
Senyawa kimia penyusun utama dalam minyak pala dibandingkan
dengan literatur

5
5
6
10
11
13
17
22
23

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

7

8

9

Jalur metabolisme pada tumbuhan
Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia
Jenis biji pala dan fuli berdasarkan umur panen buah
Grafik hubungan antara rataan berat biji, rendemen, kadar air, dan
partikel lolos ayakan
Kromatogram GC minyak pala
Senyawa alpha pinene, sabinene, dan beta pinene pada minyak fuli, biji
pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri
perisa serta fragrans
Senyawa 3-carene, limonene, dan gamma terpinene pada minyak fuli,
biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan
industri perisa serta fragrans
Senyawa 4-terpineol, safrole, dan myristicine pada minyak fuli, biji pala
muda, media, dan tua dibandingkan dengan standar EP dan industri
perisa serta fragrans
Senyawa eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elemicine pada
minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua dibandingkan dengan
standar industri perisa serta fragrans

7
9
14
18
21
24

25

26

27

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Diagram alir penelitian
Analisis ragam untuk senyawa α-pinene
Analisis ragam untuk senyawa gamma terpinene
Analisis ragam untuk senyawa eugenol

32
33
34
35

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia terletak diantara Benua Asia dan Australia, Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia, dilalui garis katulistiwa, berada di dua rangkaian pegunungan
Sirkum Pasifik dan Mediteranian, hal ini berdampak Indonesia mempunyai dua
musim yaitu musim kemarau dan hujan yang bergantian sepanjang tahun sehingga
flora dan fauna tumbuh dengan baik, salah satunya yaitu tanaman pala. Pala
merupakan tanaman asli Indonesia dengan pusat sebaran di Maluku, Sulawesi,
Irian Jaya, Jawa, dan Sumatera, selain itu Indonesia merupakan pusat habitat asli
dari beberapa spesies dalam marga Myristica (Arrijani 2005). Sebagai pusat
habitat asli, Indonesia perlu mengambil peran yang lebih besar dalam
pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan tanaman pala. Potensi tanaman
pala sangat besar, hal ini terlihat dari data statistik perkebunan Direktorat Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2014, diketahui luas tanaman pala
perkebunan rakyat seluas 157840 ha yang terdiri dari tanaman belum
menghasilkan seluas 81574 ha (52%), tanaman telah menghasilkan 67107 ha
(42%) dan tanaman tidak menghasilkan atau rusak 9159 ha (5%), dari keluasan
tersebut produksi tanaman pala sebesar 32651 ton biji kering.
Jenis pala yang banyak dimanfaatkan dan mempunyai arti ekonomi penting
sebagai penghasil rempah dan minyak pala di perdagangan internasional yaitu
Myristica fragrans Houtt. Hasil utama dari tanaman ini berupa buah dalam bentuk
fuli (mace) dan biji. Biji pala yang telah tua ditandai dengan lapisan luar berwarna
hitam mengkilat dan fuli yang berwarna merah tua pada saat dipanen kemudian
dibelah dan dibuka daging buahnya, sedangkan biji pala muda akan tampak fuli
dan biji berwarna putih kehijauan. Penggunaan biji pala sangat luas, diantaranya
kandungan senyawa fenolik dalam biji pala bermanfaat sebagai antioksidan dalam
makanan fungsional (Tan et al. 2013; Hou et al. 2012). Menurut Saxena et al.
(2012) minyak pala mengandung metabolit sekunder yang bermanfaat untuk
mengobati berbagai penyakit infeksi. Selain itu bubuk biji pala dapat digunakan
sebagai antimikroba dalam permen (Sanghai-Vaijwade et al. 2011) dan sebagai
antibakteri, antiinflamasi, antioksidan dan anticollagenolytic dalam pengobatan
periodontitis (Jangid et al. 2014). Kegunaan lainnya sebagai bahan baku dalam
pembuatan minyak pala yang terdiri dari campuran fuli, biji pala muda, media,
dan tua.
Saat ini Indonesia telah mengekspor minyak atsiri sekitar 26 jenis, salah
satunya adalah minyak pala. Volume ekspor minyak pala pada tahun 2015 sebesar
339 ton senilai USD 14.456 juta. Minyak pala sebagai salah satu komoditas
ekspor perlu dikembangkan karena telah memberikan pendapatan dan lapangan
kerja di bidang pertanian, perdagangan dan industri. Standar kualitas yang
digunakan dalam perdagangan minyak pala internasional mengikuti regulasi yang
ditetapkan oleh lembaga internasional, diantaranya adalah European
Pharmacopoeia, British Pharmacopoeia, International Organization for
Standarization, dan industri perisa serta fragrans (Burfield 2003). Secara umum
standar tersebut mempunyai sembilan parameter senyawa kimia yang terdiri dari
alpha pinene, sabinene, beta pinene, 3-carene, limonene, gamma terpinene, 4-

2
terpineol, safrole, dan myristicine. Selain itu terdapat standar tambahan yang
memberikan batasan nilai eugenol, methyl eugenol, isoeugenol, dan elimicine di
industri perisa dan fragrans. Methyl eugenol dan safrole merupakan senyawa
karsinogenik sehingga menjadi salah satu parameter penting dalam hal
penerimaan minyak pala (Riyadi et al. 2014), sedangkan eugenol, limonene, dan
isoeugenol memiliki sifat allergen (IFRA 2007).
Permasalahan utama dalam perdagangan minyak pala adalah mutu, hal ini
terlihat dari pengujian internal terhadap 3 sampel minyak pala yang berasal dari
penyuling pala ditemukan persentase senyawa myristicine dan methyl eugenol
secara berurutan sebesar (7.92, 10.05, dan 9.07) dan (0.62, 0.32, dan 1.19) yang
tidak memenuhi standar kualitas. Batasan kualitas menurut standar European
Pharmacopoeia dan industri perisa dan fragrans yaitu myristicine sebesar 8-12%
dan methyl eugenol maksimal sebesar 0.5%. Selain itu, pada awal tahun 2013
terdapat kasus adanya minyak pala yang tercemar minyak tanah. Hal ini terjadi
pada saat proses pemisahan fuli dari biji pala menggunakan minyak tanah, dengan
cara minyak tanah dicipratkan di atas tumpukan biji pala basah sehingga pada saat
diproduksi minyak pala tercemar minyak tanah. Buyer tidak menerima minyak
pala yang tercemar minyak tanah.
Bahan baku dalam pembuatan minyak pala terdiri dari campuran fuli, biji
pala muda, media, dan tua yang pengklasifikasiannya berdasarkan umur panen
buah pala. Beragamnya biji pala kemungkinan akan memberikan karakteristik
fisiko kimia yang berbeda. Menurut Ma’mun (2013) mutu minyak pala sangat
ditentukan oleh sifat-sifat kimianya. Minyak atsiri disusun oleh beberapa senyawa
kimia yang merupakan hasil reaksi biosintesis dalam tumbuhan, reaksi tersebut
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan genetik tanaman. Senyawa
kimia diidentifikasi menggunakan metode kromatografi gas (Agusta 2000). Untuk
itu dalam penelitian ini akan dipelajari karakteristik fisiko kimia minyak fuli dan
biji pala pada umur panen yang berbeda dengan bahan uji berasal dari Sumatera
Barat. Pertimbangan menggunakan bahan uji dari daerah ini bahwa Sumatera
Barat merupakan salah satu sentra perdagangan bahan baku minyak pala dan
diperkirakan memberikan kontribusi sebesar 30% sampai 35% terhadap volume
ekspor minyak pala. Berdasarkan data statistik perkebunan Direktorat Jenderal
Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2014, diketahui luas tanaman pala
perkebunan rakyat Sumatera Barat seluas 4233 ha yang terdiri dari tanaman belum
menghasilkan seluas 1461 ha (35%), tanaman telah menghasilkan 2638 ha (62%)
dan tanaman tidak menghasilkan atau rusak 134 ha (3%), dari keluasan tersebut
produksi tanaman pala sebesar 1670 ton biji kering. Selain itu masyarakat
Sumatera Barat telah membudidayakan dan berdagang pala secara turun-menurun.
Dalam perdagangan biji pala, harga yang termahal adalah fuli, diikuti biji pala
muda, media, dan tua.
Beberapa penelitian terkait minyak pala telah dilakukan, namun penelitian
mengenai hubungan antara fuli dan biji pala yang pengklasifikasiannya
berdasarkan umur panen dan karakteristik fisiko kimia yang berbahan baku dari
Sumatera Barat belum pernah ada yang melakukan. Hal ini yang mendorong
dilakukan penelitian untuk mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak fuli dan
biji pala pada umur panen yang berbeda dengan metode ekstraksi destilasi air.
.

3
Hipotesis
Bahan baku dalam pembuatan minyak pala terdiri dari fuli, biji pala muda,
media, dan tua. Beragamnya bahan baku ini diduga mempengaruhi mutu minyak
pala. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik fisiko kimia
masing-masing bahan baku dan hal ini berpeluang untuk dikembangkan sesuai
permintaan pasar.
Perumusan Masalah
Salah satu cara untuk mengetahui mutu minyak pala yaitu dengan
mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak fuli, biji pala muda, media, dan
kasar. Hal ini dilakukan karena industri perisa dan fragrans kesulitan mengontrol
mutu minyak pala yang dihasilkan oleh petani. Metode yang digunakan untuk
mendapatkan minyak tersebut dengan metode destilasi air skala laboratorium.
Bahan uji terdiri dari fuli, biji pala muda, media, dan tua yang didapatkan
langsung dari pedagang pala di Sumatera Barat. Perumusan masalah yang
digunakan yaitu apakah terdapat perbedaan karakteristik fisiko kimia minyak fuli,
biji pala muda, media, dan tua serta apakah minyak pala tersebut memenuhi
standar mutu European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik fisiko kimia minyak
fuli, biji pala muda, media, dan tua dengan metode ekstraksi destilasi air dan
selanjutnya membandingkan dengan standar mutu European Pharmacopoeia dan
industri perisa serta fragrans.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat menjelaskan perbedaan karakteristik fisiko kimia
minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua serta penelitian ini dapat memberikan
informasi yang bermanfaat bagi petani pala, penyuling minyak pala, industri
farmasi, perisa dan fragrans.

Ruang Lingkup Penelitian
Bahan uji didapatkan dari pedagang di Sumatera Barat, biji pala yang umum
diperdagangkan terdiri dari fuli, biji pala muda, media, dan tua. Pengklasifikasian
biji pala tersebut berdasarkan umur panen buah pala, sebagai penanda atau
pembeda biji pala dengan mengukur diameter dan berat biji pala. Metode
ekstraksi yang digunakan yaitu dengan destilasi air skala laboratorium. Analisis
minyak fuli dan biji pala terdiri dari analisis fisik dan kimia. Standar kualitas
mengikuti regulasi European Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Pala
Menurut Ruhnayat et al. (2013), di Indonesia terdapat beberapa species atau
jenis pala yang bernilai ekonomi diantaranya: 1) Myristica fragrans Houtt yang
dikenal dengan nama pala Banda, 2) M. speciosa Warb (pala Bacan), 3)
M. succedawa BL, jenis ini di Ternate disebut pala Patani, 4) M. scheferri Warb
(pala Onin atau Gosoriwonin), 5) M. fatua Houtt (pala laki-laki, pala Fuker, atau
pala Hutan (Ambon), 6) M. argantea Warb (pala Irian atau pala Papua), 7) M.
tingens BL (nama pala Tertia), 8) M. sylvetris Houtt (pala burung atau pala
Mendaya) atau pala Anan (Ternate). Dari ke delapan jenis tersebut yang memiliki
kualitas dan produktivitas yang baik hanya Myristica fragrans Houtt (Hadad et al.
1992). Penyebaran tanaman pala ke beberapa daerah di Indonesia ataupun ke luar
negeri tidak terlepas dari kegiatan bangsa asing pada saat itu, dimulai pada abad
ke 18 tanaman pala dari Maluku menyebar ke Sumatera, Aceh, Jawa, Lampung,
dan Sulawesi Utara. Setelah perang dunia II meluas ke India Barat dan Grenada,
dari kedua daerah inilah Indonesia mendapat saingan ekspor pala di dunia.
Tanaman pala dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 4-10 m dan terkadang
mencapai 20 m, mulai berbuah umur 5-8 tahun, bersifat dioecious (berumah dua),
sebelum fase berbuah antara pohon jantan dan betina sulit dibedakan. Buah pala
berbentuk bulat sampai agak lonjong dengan panjang antara 1-10 cm, berdaging
tipis sampai agak tebal dengan warna daging buah putih kecoklatan. Biji pala
memiliki kulit biji yang keras dan diselubungi oleh fuli (mace) serta bersifat
aromatik. Panen buah pala hampir sepanjang tahun, namun panen besar biasanya
terjadi pada bulan Mei-Juni (Wahyuni et al. 2008). Bagian tanaman pala yang bisa
dimanfaatkan adalah buah pala yang terdiri dari daging buah (77.8%), fuli (4%),
tempurung atau cangkang (5.1%), dan biji (13.1%). Biji pala dan fuli mempunyai
nilai ekonomi yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi minyak pala, oleoresin
dan lemak pala. Perbedaan wilayah dan zona agroekologi diduga mempengaruhi
karakteristik komponen penting penyusun struktur kimia biji pala (Roufiq et al.
2007).
Tanaman pala tersebar di wilayah Indonesia seperti ditunjukkan pada
Tabel 1. Daerah yang memiliki luas tanaman pala terbesar yaitu Maluku Utara,
kemudian diikuti oleh Maluku dan Aceh. Luas tanaman pala berdasarkan statistik
perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2014
seluas 157840 ha, dari luas tersebut seluas 4233 ha berada di Sumatera Barat.
Pada Tabel 2 ditunjukkan kabupaten yang memiliki luas tanaman pala di atas
400 ha yaitu Agam, Padang Pariaman, Pesisir Selatan, dan Kepulauan Mentawai.
Dalam perdagangan pala di Sumatera Barat, daerah tersebut merupakan penghasil
utama biji dan fuli pala.

5
Tabel 1 Luas tanaman pala Indonesia tahun 2014
Luas (ha)
Jumlah

Produksi
(ton)

Propinsi
TBM*
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Jambi
Bengkulu
Lampung
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Jumlah

TM**

TTM/TR***

7775
23
1461
8
135
764
3028
0
1189
0
1047
1191
35
89
8020
728
7474
2180
344
1612
15074
24322
5075

11785
98
2638
0
50
181
2699
3
198
9
104
577
21
0
9781
21
900
1304
77
744
12746
14436
8735

2018
34
134
7
1
35
339
1
35
23
3
58
0
0
923
14
71
125
31
39
2533
1489
1246

21578
155
4233
15
186
980
6066
4
1422
32
1154
1826
56
89
18724
763
8445
3609
452
2395
30353
40247
15056

8238
43
1388
0
17
49
1018
1
106
7
14
156
10
0
5203
6
227
523
16
519
4426
6026
4658

81574

67107

9159

157840

32651

Keterangan: *Tanaman belum menghasilkan, **Tanaman menghasilkan,
***Tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak

Tabel 2 Luas tanaman pala Sumatera Barat tahun 2014
Luas (ha)
Kabupaten
TBM*
Agam

TM**

TTM/TR***

Jumlah

Produksi
(ton)

371

721

75

1167

369

Tanah Datar

20

57

3

80

35

Padang Pariaman

88

335

10

433

179

Solok

64

49

3

116

24

511

574

29

1114

271

10

0

0

10

0

0

0

0

0

0

70

143

5

218

329

0

7

0

7

5

10

28

5

43

9

Pesisir Selatan
50 Kota
Sijunjung
Kota Padang
Kota Solok
Kota Sawahlunto
Kota Pariaman

0

13

0

13

6

Kep. Mentawai

306

706

3

1015

439

Pasaman Barat

11

5

1

17

4

1461

2638

134

4233

1670

Jumlah

Keterangan: *Tanaman belum menghasilkan, **Tanaman menghasilkan,
***Tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak

6
Fuli (mace)
Fuli atau mace adalah bagian yang menutupi kulit biji pala secara tidak
beraturan dan berwarna putih hingga merah, warna fuli dipengaruhi oleh umur
buah pala. Buah pala yang masih muda memiliki fuli berwarna putih kehijauan,
sedangkan fuli berwarna merah didapatkan saat buah pala berumur tua atau telah
matang. Fuli dengan kualitas baik akan mengeluarkan aroma dan sejumlah
minyak pada saat ditekan.
Biji Pala
Biji pala merupakan salah satu produk unggulan dari tanaman pala yang
telah lama dimanfaatkan secara tradisional maupun dengan melibatkan teknologi
sederhana untuk pembuatan minyak pala (Arrijani 2005). Biji pala mengandung
air, abu, lemak, minyak atsiri, alkohol ekstrak, serat kasar, nitrogen, dan pati.
Komposisi kimia fuli dan biji pala kering ditunjukkan pada Tabel 3. Praktek
pemanenan buah pala yang umum dilakukan petani pala yaitu memanen buah pala
setiap 3 sampai 4 bulan sekali, tahap selanjutnya pengambilan biji dan fuli dari
daging buah, fuli dipisahkan dari biji menggunakan pisau. Selain menggunakan
pisau, cara lainnya yaitu dengan merendam biji pala ke dalam air selama 12 jam
atau dapat juga menggunakan minyak tanah dengan cara mencipratkannya ke
tumpukan biji pala. Cara terakhir sangat dilarang karena minyak pala yang
dihasilkan dapat terkontaminasi minyak tanah dan hal ini menyebabkan
penurunan mutu. Setelah selesai dikeringkan kemudian diperdagangkan dalam
bentuk biji dan fuli pala kering. Di Sumatera Barat, bahan baku pembuatan
minyak pala diperdagangkan berdasarkan umur panen atau petik buah pala yang
terdiri dari biji pala muda, media, dan tua. Menurut Siregar (1996), biji pala muda
adalah biji yang dipetik pada saat buah pala berumur 18 minggu, media berumur
20 minggu, dan pala tua berumur 22 minggu serta biji pala yang digunakan untuk
rempah berumur 24 minggu. Biji pala muda dicirikan kulit buah berwarna hijau,
biji lembek, fuli berwarna putih dan lengket; biji pala media dicirikan kulit
berwarna hijau, biji berwarna putih, fuli masih melekat; biji pala tua kulit buah
berwarna hijau, biji keras berwarna putih kehitaman, fuli berwarna merah muda
dan mudah lepas; dan biji pala tua untuk rempah dicirikan kulit buah berwarna
kekuningan, biji keras berwarna hitam mengkilat, fuli berwarna merah mudah
lepas.
Tabel 3 Komposisi kimia fuli dan biji pala kering*
Komposisi
Air
Abu
Lemak
Minyak atsiri
Alkohol ekstrak
Serat kasar
Nitrogen
Pati

Fuli (%)
3.50
1.60
24.00
7.00
21.50
4.70
0.85

-

Biji Pala (%)
7.00
2.50
33.00
8.00
25.00
7.30
1.15

4.00
1.80
30.00
5.00
10.00
2.00
1.10
7.50

Keterangan: *Mohandes dalam Ketaren (1985)

-

8.00
4.50
40.00
15.00
16.50
3.70
1.40
12.00

7
Metabolisme Minyak Atsiri
Minyak atsiri dikenal dengan minyak eteris atau minyak terbang (essential
oil, volatile oil) yang dihasilkan oleh tumbuhan, mudah menguap pada suhu
kamar tanpa mengalami dekomposisi, berasa getir (pungent taste), berbau wangi
sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik
dan tidak larut dalam air (Ketaren 1985). Berdasarkan proses biosintesis atau
pembentukan komponen atsiri di dalam tumbuhan, minyak atsiri dibedakan
menjadi dua golongan yaitu terpena dan senyawa aromatik. Terpena terbentuk
dari asam asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat, sedangkan senyawa
aromatik terbentuk dari biosintesis asam sikimat melalui jalur fenil propenoid
(Augusta 2000). Kedua golongan ini melalui metabolit sekunder yaitu senyawa
organik yang dihasilkan oleh tumbuhan yang tidak memiliki fungsi langsung pada
fotosintesis, pertumbuhan atau repirasi, transport solut, translokasi, sintesis
protein, asimilasi nutrient, pembentukan karbohidrat, protein, dan lipid. Metabolit
sekunder berperan penting untuk melindungi tumbuhan dari gangguan herbivor,
menghindari infeksi yang disebabkan oleh patogen mikrobia, dan sebagai
antibiotik. Metabolit sekunder merupakan hasil samping metabolit primer
(Mastuti 2016). Jalur metabolisme pada tumbuhan menurut Robinson (1995)
secara umum ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Jalur metabolisme pada tumbuhan (Robinson 1995)
Komposisi minyak atsiri disebabkan oleh perbedaan jenis tanaman
penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panenan, metode ekstraksi
yang dipergunakan, dan cara penyimpanan minyak. Minyak atsiri terdiri dari
berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur Carbon (C),
Hidrogen (H), dan Oksigen serta beberapa persenyawaan kimia yang mengandung
unsur Nitrogen (N) dan Belerang (S). Komponen kimia dalam minyak atsiri
dibagi menjadi dua golongan yaitu oleoptena dan stearoptena. Oleoptena yaitu
bagian hidrokarbon di dalam minyak atsiri dan berwujud cair, sedangkan
stearoptena yaitu senyawa hidrokarbon teroksigenasi terdiri atas senyawa turunan

8
oksigen dari terpena. Persenyawaan yang termasuk dalam golongan hidrokarbon
terbentuk dari unsur Hidrogen (H) dan Carbon (C). Jenis hidrokarbon yang
terdapat dalam alam dan minyak atsiri sebagian besar terdiri dari monoterpen
(2 unit isoprene), sesquiterpene (2 unit isoprene), diterpen (4 unit isoprene),
paraffin, olefin, dan golongan hidrokarbon aromatik.
Berbagai jenis komposisi minyak atsiri akan menyebabkan bau dan aroma
serta berguna sebagai obat, maka klasifikasi kimia minyak atsiri harus didasarkan
pada komponen yang paling dominan dalam menentukan sifat minyak tersebut.
Minyak atsiri yang memiliki kandungan hidrokarbon tidak beroksigen dalam
jumlah besar dan stearoptena dalam porsi kecil, maka kegunaannya diutamakan
sebagai pemberi bau yang spesifik (flavoring) sedangkan sebaliknya bila lebih
dominan mengandung senyawa dari golongan hidrokarbon, alkohol, keton, fenol,
ester dari fenol, oksida, dan ester lebih memungkinkan digunakan sebagai obat
(Augusta 2010).
Metode Penyulingan
Menurut Ketaren (1985), dikenal 3 macam metode penyulingan yaitu
penyulingan dengan air (water distillation), penyulingan dengan air dan uap
(water and steam distillation) dan penyulingan dengan uap langsung (steam
distillation). Penyulingan dengan air memiliki ciri antara bahan yang disuling dan
air menyatu atau kontak langsung, sistem ini digunakan untuk menyuling bahan
yang terapung di atas air berbentuk tepung dan bunga-bungaan. Penyulingan ini
banyak diterapkan di daerah pedesaan karena alat tersebut cukup sederhana, kuat,
harganya lebih murah, dan dapat dipindah-pindahkan. Selain itu alat penyulingan
dengan kapasitas kecil banyak digunakan di laboratorium karena sistim
pengoperasiannya yang mudah. Kelemahan sistem ini adalah proses ekstraksi
minyak atsiri tidak dapat berlangsung sempurna, komponen minyak yang bertitik
didih tinggi dan bersifat larut dalam air tidak dapat menguap sempurna, sehingga
komponen yang dihasilkan tidak lengkap. Penyulingan dengan air dan uap
dicirikan bahan diletakkan di atas piringan besi yang berupa ayakan terletak
beberapa sentimeter di atas permukaan air dalam ketel penyuling. Keuntungan
menggunakan sistim ini karena uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan
bahan dan suhu dapat dipertahankan sampai 100 0C, waktu penyulingan relatif
lebih singkat, rendemen minyak lebih besar, dan mutunya lebih baik jika
dibandingkan dengan minyak hasil penyulingan air dan bahan yang disuling tidak
menjadi gosong. Penyulingan dengan uap dicirikan boiler sebagai sumber uap
panas letaknya terpisah dari ketel penyuling. Uap yang dihasilkan mempunyai
tekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Penyulingan dengan sistem ini
sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (kurang dari 1 atmosfir),
kemudian secara berangsur-angsur tekanan dinaikkan menjadi kurang lebih
3 atmosfir. Jika permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi, maka
komponen kimia dalam minyak akan mengalami dekomposisi. Jika minyak dalam
bahan baku dianggap sudah habis tersuling, maka tekanan uap perlu diperbesar
lagi yang bertujuan untuk menyuling komponen kimia yang bertitik didih tinggi.
Sistem penyulingan ini baik digunakan untuk mengekstraksi minyak dari bijibijian, akar, dan kayu-kayuan yang umumnya mengandung komponen minyak
yang bertitik didih tinggi.

9
Minyak Pala
Minyak pala diperoleh dari buah pala yang masih muda, serta dapat pula
diperoleh dari biji yang tua, fuli dan bahkan daun pala (Nurdjanah et al. 1990).
Menurut Dardjo Somaatmadja (Balai Besar Industri Hasil Pertanian) dalam
Rismunandar (1990), bahwa tinggi rendahnya minyak pala tergantung tua
mudanya buah. Minyak pala dalam biji dibentuk terlebih dahulu daripada
lemaknya, buah yang masih muda kadar minyak atsirinya sekitar 8-17%. Warna
fulinya masih keputih-putihan dan daging buahnya masih lunak, fuli yang tua dan
sudah merah warnanya kandungan minyak atsirinya relatif rendah dan
dimanfaatkan untuk diekspor sebagai bahan rempah atau bumbu dapur. Dalam
keadaan kering biji pala berwarna coklat tua dan fulinya berwarna coklat muda
hingga merah.
Proses produksi minyak pala di tingkat industri kecil menengah umumnya
menggunakan metode destilasi uap, suatu proses ekstraksi dengan cara
mengalirkan uap panas ke tangki penyulingan yang dihasilkan dari boiler yang
letaknya terpisah dari tangki penyuling. Salah satu sentra produksi minyak pala
dan bahan baku dalam pembuatan minyak pala adalah di Sumatera Barat.
Produksi minyak pala dari daerah ini diperkirakan memberikan kontribusi
terhadap ekspor minyak pala sebesar 30-35%. Pada Gambar 5 menunjukkan
volume ekspor Indonesia tahun 2015 sebesar 338.74 ton senilai USD 14.46 juta.
Pada periode 2010 hingga 2015 volume ekspor minyak pala berada di kisaran
300-380 ton, namun dari tahun 2013 hingga 2015 terlihat nilai ekspor minyak pala
menurun. Diduga hal ini dipengaruhi kondisi ekonomi global di Negara-negara
Eropa dan Amerika Serikat, dimana negera tersebut tersebut merupakan pengguna
minyak pala yang cukup besar.

Gambar 2 Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia

Komponen Kimia Minyak Pala
Komponen utama yang menyusun minyak pala terdri dari terpen bisiklis
(hidrokarbon), α-pinene dan α-champene, dan sejumlah kecil senyawa dalam
golongan hidrokarbon teroksigenasi seperti ester, keton, dan alkohol. Komponen

10
dan penggolongan kimia minyak pala menurut Schenk et al. (1981) ditunjukkan
pada tabel 4.
Tabel 4 Komposisi kimia minyak pala*
Senyawa

Senyawa

Monoterpene hidrokarbon
α-Pinene
α-Thujene
Camphene
β-Pinene
Sabinene
Δ-3-carene
Myrcene
α-Phellandrene
Limonene
β-Phellandrene
ϒ-Terpinene
ρ-Cimene
Terpinolene
α-ρ-Dimethylstyrene

Aromatik
Trans-methylisoeugenol
5-Methoxyeugenol
Myristicine
Elemicine
Cis-Isoelemicine
Trans-Isoelemicine

Oksida
1,8-cineole

Sesquiterpen hidrokarbon
α-Copene
α-Cubebene
α-Bergomotene
Carophyllene
α-Humulene
α-Farnesene
β-Bisabolene
δ-Cadinene
Germacrene
Aromatik
Safrole
Eugenol
Cis-isoeugenol
Methyl eugenol
Vanillin
Keterangan: *Schenk et al. (1981)

Monoterpene alkohol
Linalool
Fensil alkohol
Borneol
Terpinen-4-ol
α-Terpineol
Citronellol
Nerol
Geraniol
Cis-Piperitol
Trans-Piperitol
Cis-Sabinene hydrate
Trans-Sabinene hydrate
Cis-ρ-Menth-2-en-1-ol
Trans-ρ-Menth-2-ene-1-ol
Trans-ρ-Menth-2-ene-1,4-diol
ρ-Cymen-8-ol
Ester
Bornyl acetate
Linalyl acetate
Citronellil acetate
Neryl acetate
Geranyl acetate
Terpinen-4-il-acetate
Aliphatics
3-Methyl-4-decen-1-ol
3-Methyl-4-decenyl acetate

11
Hasil penelitian Riyadi et al. (2014) terhadap minyak pala asal Sulawesi dan
Jawa menggunakan GC-MS diperoleh sekitar 35 buah senyawa atsiri penyusun
minyak pala dengan persentase luas area ≥ 0.1%. Total senyawa atsiri minyak
pala asal Sulawesi sekitar 98.56% dan Jawa sekitar 98.76%. Pada Tabel 5
ditunjukkan profil senyawa atsiri minyak pala asal Sulawesi, Jawa, dan Andaman
Nicobar. Jumlah senyawa atsiri pada minyak pala berdasarkan standar European
Pharmacopoeia dan industri perisa serta fragrans secara beurutan sebesar 84.89%,
87.67%, dan 78.30%. Perbedaan komponen senyawa minyak pala asal Jawa dan
Sulawesi tersebut diantaranya oleh kadar senyawa sabinene, eugenol, methyl
eugenol, dan isoeugenol. Minyak pala asal Jawa dan Sulawesi dibandingkan
dengan minyak pala asal Andaman Nicobar terlihat perbedaan yang cukup jauh
pada sebagian besar komponen senyawanya. Perbedaan tersebut kemungkinan
berasal dari komposisi bahan baku dalam pembuatan minyak pala dan metode
ekstraksi yang digunakan.
Tabel 5 Profil senyawa atsiri minyak pala asal Sulawesi, Jawa, dan
Andaman Nicobar
Metode / Parameter

Minyak pala asal
Sulawesi* (%)

Minyak Pala asal
Jawa*(%)

Minyak Pala asal
Andaman Nicobar**
(%)

Metode ekstraksi

Destilasi uap

Destilasi uap

Destilasi air

Parameter satandar EP***
19.33
9.40
Alpha pinene
19.07
Sabinene
19.07
23.44
41.70
Beta pinene
15.71
15.86
7.30
3-carene
0.61
1.05
0.60
Limonene
6.25
5.87
3.70
Gamma terpinene
4.73
3.7
2.90
4-terpineol
5.73
4.01
5.80
Safrole
1.6
1.64
1.40
Myristicine
10.12
10.74
2.70
Jumlah
82.89
85.64
75.50
Parameter tambahan di industri perisa dan fragrans:
Eugenol
0.17
0.32
0.50
Methyl eugenol
0.65
0.4
1.50
Isoeugenol
0.59
0.82
0.00
Elemicine
0.59
0.49
0.80
Jumlah
2.00
2.03
2.80
Total
84.89
87.67
78.30
Keterangan: *Riyadi et al. (2014), **Pal et al. (2011), ***European Pharmacopoeia.

Regulasi Standar Mutu Minyak Pala
Indonesia telah memiliki Standar Nasional Indonesia untuk pala nomer SNI
06-2388-2006 yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), standar
tersebut merupakan revisi dari SNI 06-2388-1998 yang disusun oleh Panitia
Teknis 71-01 Teknologi Kimia. Revisi dilakukan karena adanya perkembangan

12
teknologi serta untuk menunjang ekspor, syarat mutu minyak pala disajikan dalam
Tabel 6. Menurut Burfield (2003), minyak atsiri harus diproduksi dalam keadaan
murni secara fisik, dan keseluruhan dihasilkan dari satu jenis tanaman. Untuk
menjamin mutu agar sesuai standar Industri atau pengguna minyak atsiri dapat
mengikuti standard lembaga di dunia, seperti 1) The Pharmaceutical Trade;
British Pharmacopeia (BP) 2002 diterbitkan atas rekomendasi The Medicines
Commision UK. Spesifikasi minyak atsiri juga diterbitkan pada The European
Pharmacopeia 4th editions 2002 (Eur Pharm 4th edn), United State
Pharmacopoeia (USP), The British Pharmacopeia (BPC) yang memuat standar
berbagai minyak atsiri yang sekarang masih banyak digunakan. 2) Esseential Oil
Trade; Monograf masing-masing minyak atsiri (EOA Standards) diterbitkan oleh
Scientific Committee of The Essential Oil Assotciation Inc. 3) Food Chemical
Codex IV (1996, US) yang dibuat atas permintaan FDA (1992). 4) Industri besar
flavor dan fragran yang sudah stabil memiliki internal standard sendiri. 5)
Independent Certifying Bodies: ISO Standards TC 54 dan Assotiation Francaise
de Normalisation (AFNOR).
Methyl eugenol dan safrole merupakan senyawa karsinogenik sehingga
menjadi salah satu parameter penting pada minyak pala (Riyadi et al. 2014).
Keberadaan dari senyawa ini dapat ditentukan dengan menggunakan GC (gas
chromatography) dan GC-MS (gas chromatographymass spectrophotometry).
Dalam perdagangan, penentuan harga ditentukan oleh kandungan myristicine,
methyl eugenol dan safrole. Semakin rendah kadar myristicine dan semakin tinggi
methyl eugenol akan menurunkan harga minyak pala. Aplikasi methyl eugenol di
fragran konsentrasi maksimum dibatasi 0.02% dengan total human dermal
exposure sekitar 12.5 mg/kg berat badan/hari dan nilai NOEL (No observed Effect
Level) sekitar 1 mg/kg berat badan/hari (IFRA 2009). Standar EP (Europoen
Parmaque) dan Industri perisa serta frangrans memiliki batasan methyl eugenol
maksimum 0.5%. Aplikasi safrole untuk makanan dibatasi maksimum 0.5 mg
safrole/kg. Daily intake safrole dari pangan, spice, dan minyak atsiri adalah
1 mg/orang/hari (EC 2002). Standar EP dan Industri perisa serta frangrans
memberikan batasan maksimum safrole 2%. Menurut IFRA (2007), senyawa
eugenol, limonene, dan isoeugenol memiliki sifat alergen. Standar IFRA (2009)
menetapkan methyl eugenol dalam minyak pala harus kurang dari 1%, safrole
ditetapkan 0.01% pada produk akhir dan eugenol tergantung dari kategori
penggunaan. Menurut peraturan yang dinamakan REACH Regulation
(Registration, Evaluation, Authorisation anda Restrictions of chemicals) yang
dibuat oleh lembaga independen ECHA (European Chemical Agency), perusahaan
yang memproduksi atau mengimpor satu ton atau lebih zat kimia per tahun
diminta untuk mendaftar di badan ECHA sebelum bulan Juni 2018 (Musu T.
2008). Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melindungi kesehatan
manusia dan lingkungannya. Bahan-bahan yang dicakup dalam REACH
Regulation adalah bahan kimia, komponen elektronik, bahan bangunan, mainan,
minyak atsiri, termasuk zat dalam produk makanan dan obat. Produsen dan
importir yang tidak mengikuti regulasi REACH sesuai ketentuan tidak bisa
mengekspor dan mengimpor produk di Uni Eropa.

13
Tabel 6 Standar minyak pala
Standar Nasional
Indonesia 2006

Standar FCC IV (Food
Chemical Codex) 1996

Standar EP (European
Parmaque) 2002

Colour

Tidak berwarna - kuning
pucat

Colorless – pale yellow

Tidak
berwarna
kuning muda

Rotasi Optik

(+)8 – (+)25 0

Pada suhu 25 0C
- East Indian :
(+8) – (+30) 0
- West Indian :
(+25) – (+45) 0

(+8) – (+) 18 0

Indeks Bias

1.470 – 1.497

1.469 – 1.476
(pada 20 0C)

1.475 – 1.485
(pada 20 0C)

Kelarutan di
ethanol

1 mL dalam 3 mL 90%
ethanol pada suhu 20 0C,
seterusnya jernih

- East Indian : 1 mL
dalam 3 mL 90% ethanol
- West Indian : 1 mL
dalam 3 mL 90% ethanol

Berat jenis

0.880 – 0.910 (d20/20)

Pada suhu 25 0C
- East Indian : 0.880 –
0.910
- West Indian : 0.854 –
0.880

Komponen
kimia (GC)

myristicine
10%
Tambahan
penguapan
2%

Parameter

:



0.885 – 0.905 (d20/20)

4 terpineol : 2 – 6%
a-pinene : 15 – 28%
myristicine : 8 – 12%
sabinene : 14 – 29%
safrol : 0 - 2%
limonene : 2.0 – 7.0%
b-pinene : 13 – 18%
delta-3-caren : 0.5 –
2.0%
gamma terpinene : 2.0
– 6.0%

minimal
:
sisa
maksimal

Bentuk

-

Cairan

Cairan

Odor

Khas minya pala

Standar

Standar

14

3 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan pada bulan April sampai November 2015 di
Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) untuk
penyiapan bahan baku yang akan disuling, dan di Laboratorium PT. Indesso
Aroma untuk penyulingan dengan ekstraksi metode destilasi air serta analisis sifat
fisik dan kimia sampel (fuli, biji pala, dan minyak atsiri pala).

Bahan dan Alat
Sampel terdiri dari fuli, biji pala muda, media, dan tua yang diperoleh secara
langsung dari pedagang pala di Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir
Selatan, Provinsi Sumatera Barat. Sampel dalam keadaan kering dengan kadar air
10-15%, jenis bahan uji ditunjukkan pada Gambar 3. Peralatan terdiri dari jangka
sorong, timbangan digital, pengukur kadar air (Moisture Analyzer – Sartorius),
mesin giling merek Xi An kecepatan 1.450 rpm, ayakan mesh 30, destilasi air
kapasitas 1.200 ml, corong pemisah kapasitas 250 ml, automatic digital
refractometer, densitymeter, dan semi automatic polarimeter. GC merk HP
Agilent type 7890 column non polar HP-1 (methyl siloxane) spesifikasi panjang
30 m, diameter luar 25 µm, diameter dalam 0.25 µm, GC-MS merk HP Agilent
type MSD 5975 dengan triple axial detector, column yang digunakan HP-1 MS
30 m x 25 µm x 0.25 µm.

Fuli pala (mace) (2) Biji pala muda (3) Biji pala media (4) Biji pala tua

Gambar 3 Jenis biji pala dan fuli berdasarkan umur panen buah

Tahapan Penelitian
Persiapan Bahan
Masing-masing sampel yang telah disortasi oleh pedagang pala ditimbang
sebanyak 420 gram. Penelitian ini menggunakan metode analisa laboratorium
dengan teknik dua kali pengulangan.

15
Menentukan Karakteristik Fisik Biji Pala
Karakteristik fisik biji pala yang diukur adalah diameter dan berat biji.
Diameter biji diukur secara membujur dan melintang. Jumlah sampel sebanyak 20
buah (n = 20) kemudian dihitung rataan dan simpangan deviasinya.
Penggilingan, Pengayakan dan Pengukuran Kadar Air
Penggilingan dilakukan untuk memperkecil ukuran sampel fuli dan biji
pala dengan cara menghancurkan sampel dengan mesin giling merek Xi An
(China) selanjutnya dilakukan pengayakan dengan ukuran 30 mesh. Pengayakan
dilakukan untuk mengetahui persentase ukuran partikel yang lolos ayakan.
Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar air serbuk fuli dan biji pala pada
campuran sampel yang lolos ayakan dan tidak lolos ayakan dengan alat Moisture
Analyzer - Sartorius.
Penyulingan Minyak Pala Skala Laboratorium
Tahap ini meliputi penyulingan, pendinginan, dan pemisahan minyak fuli
dan pala dari air. (1) Penyulingan bertujuan untuk memisahkan kandungan
minyak dari fuli dan biji pala dengan menggunakan metode destilasi air, bahan uji
sebanyak 200 gram dimasukkan ke dalam labu dasar bulat yang dilengkapi
dengan clevenger apparatus, selanjutnya ditambahkan air hingga skala pada labu
bundar menunjukkan angka 1.2 liter, labu dasar bulat diletakkan di atas heating
mantle atau hot plate. Penyulingan dilakukan selama 12 jam atau kandungan
minyak pala dalam air destilat telah habis atau tuntas ditandai dengan air destilat
dalam kondisi jernih. (2) Pendinginan bertujuan untuk mengembunkan dan
mendinginkan campuran uap panas dan minyak sehingga minyak dapat
dipisahkan dari air. Pada tahap ini campuran uap dan minyak dilewatkan pipa
kaca berbentuk spiral yang dialiri air sebagai pendingin. Minyak dan uap air akan
menjadi dingin dan mengembun di sepanjang pipa pendingin, kemudian air
destilat ditampung dalam sebuah corong pemisah kemudian minyak dipisahkan.
(3) Pemisahan bertujuan untuk memisahkan minyak dari air, minyak yang
memiliki berat jenis lebih kecil dari air akan berada di bagian atas sedangkan
minyak yang memiliki berat jenis lebih rendah dari air akan berada di bawah.
Selanjutnya minyak fuli dan biji pala ditimbang untuk perhitungan rendemen
hingga analisis dan disimpan dalam botol kaca yang tertutup rapat pada suhu
ruang untuk keperluan analisis sifat fisik dan kimia.
Analisis Sifat Fisik Minyak Fuli dan Biji Pala
Analisis sifat fisik yang diamati terdiri dari berat jenis, indeks bias dan
putaran optik. Ketiga parameter ini terdapat dalam standar European
Pharmacopoeia. Jumlah sampel yang dibutuhkan untuk analisis ini sebanyak 20
ml.

16
Analisis Senyawa Atsiri Minyak Fuli dan Biji Pala
Analisis profil senyawa atsiri minyak fuli dan biji pala dilakukan dengan
metode gas chromatography, alat yang digunakan yaitu GC (gas
chromatography) untuk menentukan kadar dalam bentuk persentase area dan GCMS (gas chromatography -mass spectrophotometry) untuk menentukan komposisi
senyawa atsiri. Penetapan kualitas profil senyawa atsiri dinyatakan dengan
kualitas kemiripan fragmentasi komponen sampel dengan data kepustakaan
spektrum massa minimal sebesar 80%. Kondisi GC yang digunakan sebagai
berikut: suhu injektor 275 0C dengan mode split (rasio split 100 : 1), carrier gas
menggunakan nitrogen dengan flow rate : 0.5 ml/menit. Kondisi oven : 100 0C
(hold time 10 menit), 100 – 200 0C pada rate 5 0C/menit, 200 – 250 0C pada rate
2 0C/menit (hold time 5 menit) kemudian 250 – 300 0C pada rate 5 0C (hold time
15 menit). Kondisi detektor dengan suhu : 275 0C, H2 flow : 30 ml/menit, air flow
: 400 ml/menit dan make up flow : 25 ml/menit. Kondisi GC-MS untuk semua
sampel minyak atsiri yaitu suhu ion source 250 0C, suhu quadoprole 200 0C, scan
mass 10 - 250 amu, emission sekitar 35 µA. Energy 70 eV dan WMV < 2000 V.
Carrier gas menggunakan helium dengan flow 0.5 ml/min. Kondisi oven dan
injektor sama dengan kondisi GC.
Analisis Data
Pengolahan data secara statistik menggunakan analisis ragam (ANOVA),
jika berbeda signifikan maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)
atau uji LSD (Least Significant Difference) pada α = 0.05. Analisis statistik
ANOVA dilakukan untuk mengetahui pengaruh nyata dari perbedaan nilai
senyawa kimia minyak fuli, biji pala muda, media, dan tua yang didapatkan dari
pengujian metode gas chromatography.

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fisik Pala dan Minyak Atsiri Pala
Hasil pengamatan secara fisik terhadap sampel fuli dan biji pala didapatkan
bahwa fuli berwarna merah kecoklatan, berbentuk tidak beraturan, tipis, dan
remah saat dipegang. Biji pala secara keseluruhan berwarna coklat tua, yang
membedakan adalah ukuran diameter, berat, dan bentuknya. Hasil pengukuran
diameter dan berat biji pala ditunjukkan pada Tabel 7. Biji pala muda ditandai
dengan adanya kerutan di sekeliling bijinya dan lunak saat ditekan dengan ujung
kuku ibu jari, menurut Hartutiningsih et al. (1996) biji pala yang masih muda saat
dipanen kemudian dibelah dan dibuka daging buahnya akan tampak biji dan fuli
berwarna putih kehijauan dan bagian tempurung masih lunak saat ditekan. Biji
pala muda memiliki kadar air yang tinggi, setelah dilakukan pengeringan biji pala
muda menyusut dan berkerut. Pengamatan terhadap biji pala media didapatkan
bahwa separuh biji telah mengeras dan separuhnya berkerut. Hal ini berbeda
dengan biji pala tua dimana biji pala tua memiliki tempurung yang keras dan kasar
berbentuk oval. Menurut Soenarsih et al. (2012) bentuk buah pala Banda
Myristica fragrans adalah bulat dan biji berbentuk oval, rataan indeks diameter
biji sebesar 1.17. Rataan indeks didapatkan dari perbandingan diameter membujur
dan melintang. Hasil pengukuran terhadap biji pala tua asal Sumatera Barat
menunjukkan rataan indeks biji pala tua sebesar 1.16, hal ini memberikan
petunjuk bahwa biji pala yang berasal dari Sumatera Barat memiliki kemiripan
satu marga dengan biji pala yang berasal dari Banda. Hasil analisis karakteristik
fisik fuli dan biji pala ditunjukkan pada Tabel 7. Hasil analisis ragam
menunjukkan diameter membujur biji pala tua berbeda nyata dengan biji pala
media dan muda, sedangkan biji pala media dan muda berbeda tidak nyata. Hasil
analisis diameter melintang dan berat biji pala berbeda nyata antar sampel uji.
Kadar air serbuk biji pala muda, media, dan tua berbeda tidak nyata, sedangkan
fuli berbeda nyata abtar sampel uji.
Tabel 7 Karakteristik sifat fisik sampel dan minyak atsiri pala
Uraian analisis

Fuli

Fuli dan biji pala
Diameter membujur (cm)

-

Diameter melintang (cm)

-

Biji pala

Standar EP**

Muda

Media

Tua

1.45 b ± 0.03

1.56 b ± 0.08

2.34 a ± 0.01

-

2.02 a ± 0.04

-

1.02

c

± 0.07

1.77

b

± 0.05

± 0.23

0.77 c ± 0.11

1.67 b ± 0.01

2.71 a ± 0.07

-

14.48 a ± 0.66

13.75 a ± 0.42

14.71 a ± 0.08

-

d

± 0.03

10.23 a ± 0.07

7.74 b ± 0.32

6.83 c ± 0.07

-

19.51

a

± 0.50

Berat jenis, 25/25 C

0.919

b

Indeks bias, 200C
Rotasi optik

1.487

a

(+)6.07

a

Berat (gr)
Kadar air