Kajian Pengaruh Proses Perendaman dan Lama Penyimpanan Biji Pala (Myristica fragrans HOUTT) Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Pala

(1)

i

KAJIAN PENGARUH PROSES PERENDAMAN DAN LAMA

PENYIMPANAN BIJI PALA (

Myristica fragrans

HOUTT)

TERHADAP

RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK PALA

SKRIPSI

SARTIKA ROBIULINA

F14070029

T

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ii

ASSESSMENT OF EFFECT OF SUBMERSION PROCESS AND

STORAGE DURATION OF NUTMEG SEED (Myristica fragrans

HOUTT) TO ITS OIL YIELD AND QUALITY

Sartika Robiulina dan Sutrisno

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone 62 251 8246266, e-mail: sartika.robiulina@gmail.com

ABSTRACT

Nutmeg oil is one of export comodities that highly contribute to national income. Because of that, it is understandable that the industry competition level is high. Different products made from nutmeg require different postharvest processes. This study aims to determine the yield and quality of nutmeg oil, and also the loss of weights obtained during storage at several soaking treatment and storage period of seed nutmeg. The method of the post-harvest handling of nutmeg involves to three types of treatment, which are: (1) without soaking, (2) soaking in fresh water, and (3) soaking in salt salution. After that, nutmegs were given three types of treatment of storage period, which were 1 week, 2 weeks, and 3 weeks. The highest yield of nutmeg oil obtained from the treatment that was without soaking, with an average of 13 %, followed by treatment of soaking in fresh water an average 12.94 %, and then from the treatment of soaking in salt salution an average 11.05 %. Optimal storage period’s nutmeg seed was 1 week because the nutmeg did not loss their weight. Nutmeg oil produced in accordance with national standards of the average value of specific weight ranged from 0.89 to 0.92. The value of refractive index ranged from 1.47 to 1.48, while its value of optical rotation ranged from (+) 6.18o to (+) 25.62o, and the solubility in alcohol 90% was found 1.00 - 1.34.


(3)

iii SARTIKA ROBIULINA. F14070029. Kajian Pengaruh Proses Perendaman dan Lama Penyimpanan Biji Pala (Myristica fragrans HOUTT) Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Pala. Di bawah bimbingan Sutrisno. 2011

RINGKASAN

Di Indonesia buah pala diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dengan adanya targetan yang berbeda membuat penanganan pasca panen dari buah pala pun menjadi berbeda. Proses penanganan buah pala untuk industri manisan pala biasanya diawali dengan proses perendaman buah pala dalam air garam 0.25% (bobot/volume). Setelah itu, buah pala dipisahkan antara daging dan bijinya. Bagian yang dibutuhkan di industri manisan pala hanya daging buahnya saja dan biasanya biji dan salutnya dijual ke industri minyak pala. Sedangkan untuk industri minyak pala/rempah-rempah, biasanya buah pala langsung dipisahkan antara daging buah dan bijinya. Setelah itu, bijinya dikumpulkan dan direndam dalam air tawar, sebelum diproses untuk mendapatkan minyaknya.

Proses penyulingan dalam skala industri menengah membutuhkan bahan baku yang cukup banyak. Kapasitas per satu kali suling membutuhkan maksimal 400 kg biji pala kering, sehingga biasanya para pedagang melakukan penyimpanan sampai pasokan bahan baku untuk penyulingan memenuhi kapasitas penyulingan. Akan tetapi proses penyimpanan mempengaruhi kualitas dari minyak, khususnya penurunan bobot minyak yang dihasilkan sehingga rendemen yang dihasilkan semakin kecil. Oleh karena itu, maka dibutuhkan penyimpanan yang optimal agar tidak menimbulkan kerugian akibat adanya penurunan kualitas minyak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari beberapa perlakuan perendaman dan lama penyimpanan biji pala terhadap rendemen minyak pala, kualitas minyak pala, dan susut bobot selama penyimpanan. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Desa Ciherangpondok, Caringin-Bogor, Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB, serta Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO), Cimanggu, Bogor. Penelitian dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Februari hingga Juli 2011.

Prosedur penelitian meliputi tahapan-tahapan: 1). Penanganan pascapanen buah dan biji pala, 2). Penyulingan biji pala, dan 3). Pengujian mutu minyak pala. Dalam penanganan pascapanen buah dan biji pala dilakukan 3 jenis perlakuan, yaitu: (1). Tanpa perendaman; (2). Perendaman biji pala dalam air tawar; dan (3). Perendaman buah pala dalam air garam. Proses penanganan buah pala secara umum terdiri atas: pemisahan daging dengan biji pala, pemisahan salut dari biji pala, dan pengeringan. Sebelum masuk ke dalam tahap penyulingan, diberikan perlakuan lama penyimpanan. Terdapat tiga macam perlakuan untuk lama penyimpanan, yaitu: (1). Lama penyimpanan selama 1 minggu; (2). Lama penyimpanan selama 2 minggu; dan (3). Lama penyimpanan selama 3 minggu. Metode penyulingan yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode air-uap. Setelah itu masuk ke dalam proses yang terakhir dari penelitian ini, yaitu pengujian mutu minyak pala dari biji pala. Parameter yang diujikan dalam pengujian ini, antara lain: bobot jenis 20 oC/20 oC, indeks bias 20 oC, putaran optik, dan kelarutan dalam alkohol 90 %. Prosedur pengujian berdasarkan pada SNI 06-2385-2006.

Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis ragam perlakuan perendaman dan lama penyimpanan tidak berbeda nyata terhadap rendemen minyak yang dihasilkan serta interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak signifikan. Ada pengaruh lain yang mempengaruhi hasil yang tidak beda nyata secara tidak langsung, seperti komposisi biji pala muda dan medium yang digunakan pada setiap sample. Hal tersebut dikarekan hasil analisis antar parameter secara korelasi tidak


(4)

iv menunjukkan adanya hubungan dari seluruh parameter yang ada yang dapat mempengaruhi hasil rendemen minyak yang dihasilkan. Rendemen minyak tertinggi diperoleh dari perlakuan tanpa perendaman rata-rata 13 %, diikuti dengan perlakuan perendaman biji pada air tawar rata-rata 12.94 % dan rendemen terrendah diperoleh dari perlakuan perendaman buah pala denga air garam rata-rata 11.05 %. Untuk susut bobot, perlakuan perendaman tidak menghasilkan nilai yang berbeda nyata hanya perlakuan lama penyimpanan yang memberikan hasil yang signifikan dan tidak ada interaksi yang signifikan dari kedua perlakuan tersebut.

Berdasarkan hasil analisis ragam untuk bobot jenis, indeks bias, dan kelarutan dalam alkohol 90 % terhadap perlakuan perendaman dan lama penyimpanan tidak menghasilkan nilai yang berbeda nyata serta tidak ada interaksi yang signifikan antara perlakuan perendaman dan lama penyimpanan. Sedangkan hasil analisis ragam untuk putaran optik menunjukkan perlakuan perendaman menghasilkan nilai berbeda nyata, dimana ada satu perlakuan yang memberikan respon yang berbeda, yaitu perlakuan perendaman 1 dan 2 yang berbeda nyata dengan perlakuan 3. Untuk perlakuan lama penyimpanan tidak menghasilkan nilai yang beda nyata. Namun ada interaksi yang signifikan antara perlakuan perendaman dengan lama penyimpanan. Interaksi yang signifikan terjadi pada perlakuan perendaman 1 dengan perlakuan perendaman 3 pada lama penyimpanan 2 minggu. Selain itu juga ada korelasi yang signifikan antara putaran optik dengan kadar air biji pala sebelum penyimpanan dan kadar air biji pala setelah penyimpanan. Minyak pala yang dihasilkan sesuai dengan standar dengan nilai rata-rata bobot jenis berkisar antara 0.89-0.92, nilai indeks bias 1.47-1.48, putaran optik (+) 6.18o- (+) 25.62o, dan kelarutan dalam alkohol 90 % 1.00 hingga 1.34.

Perendaman optimal, yaitu perendaman dalam air tawar karena rendemen yang dihasilkan tidak berbeda nyata dengan rendemen yang dihasilkan oleh perlakuan tanpa perendaman (kontrol) serta mutu minyak yang dihasilkan sesuai dengan standar nasional (SNI) tanpa mempengaruhi susut bobot dalam perlakuan lama penyimpanan dengan tingkat keuntungan yang paling tinggi. Sedangkan lama penyimpanan optimal, yaitu 1 minggu karena biji pala belum mengalami susut bobot.


(5)

v

KAJIAN PENGARUH PROSES PERENDAMAN DAN LAMA

PENYIMPANAN BIJI PALA (Myristica fragrans HOUTT)

TERHADAP

RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK PALA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SARTIKA ROBIULINA

F14070029

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

vi Judul Skripsi : Kajian Pengaruh Proses Perendaman dan Lama Penyimpanan Biji Pala

(Myristica fragrans HOUTT) Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Pala Nama : Sartika Robiulina

NIM : F14070029

Menyetujui,

Dosen Pembimbing,

(Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr) NIP 19590720198601 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Desrial, M. Eng) NIP 19661201 199103 1 004


(7)

vii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Pengaruh Proses Perendaman dan Lama Penyimpanan Biji Pala (Myristica fragrans HOUTT) Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Pala adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan

Sartika Robiulina F14070029


(8)

viii © Hak cipta milik Sartika Robiulina, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, Fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(9)

ix

BIODATA PENULIS

Sartika Robiulina. Lahir di Bogor, 22 Oktober 1989 dari H. Haerudin Muchtar dan ibu Hj. Yayah Juariah, sebagai putri ketiga dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 3 Bogor, dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Program Studi Teknik Mesin dan Biosistem, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Mayor Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan termasuk menjadi asisten praktikum mata kuliah Mekanika Fluida dan Ilmu Ukur Wilayah Departemen Teknik Mesin dan Biosistem pada tahun 2009, serta Ilmu Ukur Tanah Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan tahun 2009 dan 2010. Penulis juga mendapatkan dana Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan pada tahun 2009 dan 2010. Selain itu juga, penulis mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama tiga tahun berturut-turut, yaitu dari tahun 2009 sampai 2011. Penulis juga pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknologi Pertanian periode 2009-2010 dengan menjabat sebagai sekretaris umum. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di PT. Kalbe Morinaga Indonesia, Cikampek, Jawa Barat.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diseleseikan. Penelitian berjudul Kajian Pengaruh Proses Perendaman dan Lama Penyimpanan Biji Pala (Myristica fragrans HOUTT) Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Pala dilaksanakan di beberapa tempat di daerah Bogor dan sekitarnya, yaitu antara lain di Desa Ciherangpondok Kecamatan Caringin, Bogor; Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB; serta Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO), Cimanggu, Bogor. Penelitian dilakukan sejak bulan Maret sampai Juli 2011.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar meluangkan waktu untuk membimbing, menguji, memberi pengarahan, membuka wawasan penulis, serta memberi saran dan motivasi bagi Penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Dr. Ir. Emmy Darmawaty, M. Si dan Ir. Sri Endah Agustina, MS selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan

3. Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS atas arahan, saran dan motivasi yang diberikan kepada Penulis 4. Orang tua dan keluarga Penulis atas kasih sayang dan doanya yang tidak henti-hentinya

5. Pak Jajat dan Gandhi atas bantuannya dalam proses penyulingan dan pengujian minyak sehingga proses-proses tersebut dapat terlaksanakan dengan baik

6. Seluruh staff UPT, staff Pasca Sarjana (Ibu Rus dan Pak Mul), dan Teknisi Laboratorium Departemen TMB IPB (Pak Ahmad dan Pak Sulyaden) yang telah meluangkan waktunya untuk membantu dalam proses pelaksanaan tugas akhir ini

7. Sahabat-sahabatku yang tersayang, 5 Sekawan (Dhias, Dipta, Daniel, dan Teguh) yang selalu memberikan motivasi dan selalu ada di sisi Penulis dalam menghadapi suka dan duka.

8. Teman-teman satu bimbingan (Adi, Ilah, Ayunk, Dethi, dan Tulus) yang sama-sama berjuang dengan saling mendukung, berbagi, dan bersatu ketika menghadapi permasalahan dalam penyusunan tugas akhir

9. Seluruh teman-teman Ensemble 44 atas segala support dan dukungannya.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata tehadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pertanian.

Bogor, Agustus 2011


(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Pala (Myristica fragrans HOUTT) ... 4

B. Minyak Pala ... 6

C. Penanganan Buah Pala ... 8

D. Penyulingan Minyak ... 11

III. METODE PENELITIAN ... 14

A. Tempat dan Waktu ... 14

B. Bahan dan Alat ... 14

B.1. Bahan ... 14

B.2. Alat-alat ... 14

C. Metode Pengujian ... 15

D. Prosedur Penelitian ... 16

E. Parameter yang Diukur/Diamati ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala ... 24

B. Pengaruh Perlakuan Terhadap Rendemen Penyulingan ... 30

C. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mutu Minyak Biji Pala... 31

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

A. KESIMPULAN ... 36


(12)

xii DAFTAR PUSTAKA ... 37 LAMPIRAN ... 39


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jumlah industri kecil manisan pala di Kabupaten Bogor tahun 1998 ... 2

Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu biji pala (SNI 01-0006-1993) ... 6

Tabel 3. Komposisi kimia buah pala ... 6

Tabel 4. Sifat fisik senyawa-senyawa utama minyak pala ... 7


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Buah pala (Myristica fragrans HOUTT) ... 4

Gambar 2. Komponen dari buah pala ... 5

Gambar 3. Skema pengolahan buah pala ... 9

Gambar 4. Skema hasil olahan bagian-bagian buah pala ... 10

Gambar 5. Penyulingan dengan metode air ... 11

Gambar 6. Penyulingan dengan metode air-uap ... 12

Gambar 7. Buah pala dengan tingkat kematangan 3-6 bulan ... 14

Gambar 8. Alat penyosoh salut biji pala ... 17

Gambar 9. Prosedur proses penanganan dari 3 perlakuan yang diberikan ... 18

Gambar 10. Air perendaman biji pala: (a) awal perendaman, (b) setelah 24 jam perendaman ... 24

Gambar 11. Biji pala setelah diberi perlakuan: (a) tanpa perendaman, (b) perendaman dalam air tawar, dan (c) perendaman dalam air garam ... 25

Gambar 12. Kondisi salut pada biji pala yang direndam dalam air tawar ... 26

Gambar 13. Kadar air rata-rata biji pala dengan tingkat kematangan muda dan medium setelah diberi perlakuan perendaman ... 26

Gambar 14. Biji pala kering untuk setiap perlakuan yang diberikan, (a) tanpa perendaman, (b) perendaman dalam air tawar, dan (c) perendaman dalam air garam ... 28

Gambar 15. Perubahan kadar air biji pala kering sebelum dan sesudah penyimpanan ... 29

Gambar 16. Susut bobot rata-rata biji pala kering dari perlakuan yang diberikan ... 29

Gambar 17. Hasil penyulingan minyak dari perlakuan yang diberikan, (a) tanpa perendaman, (b) biji direndam dalam air tawar, dan (c) buah direndam dalam air garam, dengan urutan perlakuan lama penyimpanan 1, 2, dan 3 minggu ... 30

Gambar 18. Rata-rata rendemen yang dihasilkan dari perlakuan yang Diberikan ... 31

Gambar 19. Rata-rata bobot jenis yang dihasilkan dari hasil pengujian dari setiap perlakuan yang diberikan ... 32

Gambar 20. Indeks bias rata-rata yang dihasilkan dari setiap perlakuan yang diberikan ... 33

Gambar 21. Rata-rata putaran optik yang dihasilkan dari setiap perlakuan yang diberikan .... 34


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Tabel bobot dan ukuran buah pala ... 40

Lampiran 2. Tabel kadar air bahan sebelum proses pengeringan ... 41

Lampiran 3 Tabel kadar air bahan sebelum dan setelah penyimpanan ... 42

Lampiran 4. Tabel susut bobot dan rendemen minyak biji pala ... 43

Lampiran 5. Tabel hasil analisis mutu minyak pala ... 45

Lampiran 6. Uji statistik kadar air biji pala setelah perendaman ... 46

Lampiran 7. Uji statistik kadar air sebelum penyimpanan ... 47

Lampiran 8. Uji statistik kadar air setelah penyimpanan ... 48

Lampiran 9. Uji statistik susut bobot ... 49

Lampiran 10. Uji statistik rendemen minyak ... 50

Lampiran 11. Uji statistik bobot jenis ... 51

Lampiran 12. Uji statistik indeks bias ... 52

Lampiran 13. Uji statistik putaran optik ... 53

Lampiran 14. Kelarutan dalam alkohol 90 % ... 54

Lampiran 15. Hasil analisis statistik antar parameter secara korelasi... 55

Lampiran 16. Pengukuran ukuran dan berat buah pala ... 58

Lampiran 17. Proses pemisahan daging buah, biji, dan salut pala ... 59

Lampiran 18. Perendaman pala ... 60

Lampiran 19. Pengukuran kadar air dengan metode gravimetrik ... 61

Lampiran 20. Proses penjemuran/pengeringan ... 62

Lampiran 21. Proses penyulingan ... 63


(16)

1

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pala (Myristica fragrans HOUTT) merupakan tanaman asli Indonesia dari Pulau Banda (Maluku). Buah dan biji pala merupakan bahan rempah-rempah yang sangat terkenal di dunia sejak awal abad ke-16. Para pelaut dan pedagang Portugis dan Spanyol adalah bangsa asing yang paling awal menemukan kepulauan Maluku, yang kemudian disusul oleh pelaut Inggris dan Belanda.

Pala termasuk tanaman berumah dua, pohon jantan dan betina, daunnya berbentuk elips langsing. Buahnya berbentuk lonjong seperti lemon, berdaging dan beraroma khas karena mengandung minyak atsiri. Satu buah menghasilkan satu biji berwarna coklat. Tumbuhnya mencapai 20 m, dan usianya mencapai ratusan tahun. Pala diperdagangkan dalam bentuk buah, fuli dan biji pala.

Buah pala mengandung zat-zat: minyak terbang (myristin, pinen, kamfen (zat membius),

dipenten, pinen safrol, eugenol, iso-eugenol, alkohol), gliseda (asam-miristinat, asam-oleat, borneol, giraniol), protein, lemak, pati gula, vitamin A, B1 dan C. Minyak tetap mengandung

trimyristin. Biji pala dikenal sebagai Myristicae semen yang mengandung biji Myristica fragrans HOUTT dengan lapisan kapur, setelah fulinya disingkirkan. Bijinya mengandung minyak terbang, dan memiliki wangi dan rasa aromatis yang agak pahit. Sebanyak 8-17 % minyak terbang yang ditawarkan merupakan bahan yang terpenting pada fuli (Sunanto 1993). Kegunaan khusus dari biji pala adalah sebagai obat homoeo-pathi. Biji kerasnya setelah dicuci untuk menghilangkan kapurnya, dibuat menjadi tinktur (direndam dalam alkohol) atau tepung. Obat homoeopathis berguna untuk mengobati sakit histeri, sembelit, mencret dan penyakit sulit tidur atau perut kembung. Pala merupakan salah satu komoditi rempah-rempah yang penting.

Pada awalnya, pohon pala sangat terbatas penyebarannya di Maluku sehingga menjadi komoditas yang mudah dimonopoli oleh Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC). Tetapi pada tahun 1772 Pierre Poivre seorang botani asal Perancis berhasil menyelundupkan 3,000 batang pala yang kemudian ditanam di Mauritius, kemudian menyebar ke Penang (Malaysia), India dan Srilanka sampai ke Grenada (Amerika Tengah) yang hingga kini menjadi negara penghasil pala terbesar ke 2 di dunia setelah Indonesia. Perkembangan total luas areal pala di Indonesia sejak tahun 1967 hingga 2007 relatif berfluktuatif namun cenderung mengalami peningkatan. Selama kurun waktu tersebut, total luas areal pala di Indonesia meningkat dari 12,742 ha pada tahun 1967 menjadi 74,530 ha pada tahun 2007 atau meningkat rata-rata 5.35% per tahun (Deptan 2009).

Menurut Nurdjannah (2007), pala dikenal sebagai tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomis dan multiguna karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri. Biji, fuli dan minyak pala merupakan komoditas ekspor dan digunakan dalam industri makanan dan minuman, sedangkan daging buahnya dapat dimanfaatkan untuk diolah menjadi manisan, asinan, dodol, selai, anggur dan sari buah (sirup) pala.

Hasil pala Indonesia mempunyai keunggulan dipasaran dunia karena memiliki aroma yang khas dan memiliki rendaman minyak yang tinggi. Hanya sekitar 40 % kebutuhan pala dunia dipenuhi dari Granada, India dan beberapa negara penghasil pala lainya sedangkan 60 % kebutuhan pala dunia dipenuhi Indonesia, yakni berupa biji pala dan selaput biji (fuli) kering yang dapat menghasilkan devisa cukup besar (Deptan 2009).


(17)

2 Di Indonesia pala diolah oleh industri rempah-rempah yang mengolah pala menjadi komoditas ekspor, seperti minyak, dan industri makanan yang mengolah pala menjadi produk siap konsumsi, seperti manisan. Dengan adanya targetan yang berbeda membuat teknologi dari penanganan pascapanen dari buah pala pun menjadi berbeda. Pada proses pascapanen dengan tujuan untuk memperoleh minyaknya, biasanya buah pala dibelah untuk memisahkan daging buah, salut, dan biji karena kandungan minyak yang dimiliki tiap bagian berbeda-beda. Bijinya dikumpulkan dan direndam dalam air tawar, sebelum diproses untuk mendapatkan minyaknya. Selain memudahkan dalam proses selanjutnya, perlakuan perendaman ini juga dapat memperlambat pembusukan karena getah yang menempel pada biji terbilas oleh air yang digunakan sebagai perendam. Daging buah, salut dan biji juga biasanya dipisahkan karena nilai ekonomis dari masing-masing bagian berbeda sehingga lebih menguntungkan jika dijual secara terpisah. Oleh karena itu tidak ada bagian dari buah pala yang terbuang untuk tujuan tersebut.

Berbeda halnya dengan penanganan pascapanen dengan tujuan untuk dijadikan manisan. Bagian yang dibutuhkan hanya daging buahnya saja sehingga ada limbah yang terbentuk, yaitu biji dan salutnya. Namun demikian, limbah biji pala ini masih dapat diolah untuk menghasilkan minyak pala, yang memberikan penghasilan tambahan bagi pengolah (produsen) manisan pala. Dalam pengolahan buah pala untuk dijadikan manisan, buah pala direndam dalam air garam, sebelum dikupas. Dalam industri manisan pala, perendaman buah pala dalam air garam bertujuan untuk mencegah terjadinya proses pencoklatan sehingga daging buahnya berwarna putih ketika dikupas atau dibelah.

Berdasarkan dua proses penanganan buah dan biji yang berbeda tersebut, disinyalir akan menghasilkan minyak pala yang berbeda baik kualitas maupun rendemennya karena pada penanganan tersebut juga dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam meminimalkan lama proses yang dibutuhkan. Namun demikian, pengaruh perlakuan perendaman yang berbeda terhadap mutu dan rendemen minyak pala ini belum pernah diuji dan diteliti.

berdasarkan hasil pendataan dari Deperindag (Perindustriandan Perdagangan) Kabupaten Bogor pada tahun 2001, jumlah industri kecil manisan pala di Kabupaten Bogor Tahun 1998 berjumlah 73 unit usaha dengan kapasitas produksi mencapai 1.079 ton per tahun (Tabel 1) (SIPUK 2007). Selain itu, perkembangan volume ekspor pala dari Indonesia terlihat meningkat sejak tahun 1996 hingga tahun 2006 dengan bentuk ekspor pala, yaitu biji pala dan selaput biji (fuli) kering, serta minyak pala (Deptan 2009).

Tabel 1.Jumlah Industri Kecil Manisan Pala Di Kabupaten Bogor Tahun 1998

Kecamatan Desa Unit Usaha

Tenaga Kerja

Investasi (Rp 000)

Produksi Bahan Baku Ton Nilai

Rp 000

Nilai Rp 000

Ciomas Sukalayu 10 25 13,600 105 630,000 367,500

Ciomas Tamansari 15 15 10,500 225 1,350,000 787,500

Dramaga Dramaga 48 338 24,000 749 4,492,800 2,620,800

Jumlah 73 378 48,100 1,079 6,472,800 3,775,800 Sumber: Deperindag Kabupaten Bogor 2001


(18)

3 Dengan tingkat persaingan yang tinggi dalam industri olahan pala menyebabkan pasokan buah pala di tingkat produsen semakin menurun sehingga menyebabkan para produsen melakukan penyimpanan sebelum proses penyulingan. Proses penyulingan dalam skala industri menengah membutuhkan bahan baku yang cukup banyak. Kapasitas per satu kali suling membutuhkan maksimal 400 kg biji pala kering, sehingga biasanya para tengkulak melakukan penyimpanan sampai pasokan bahan baku untuk penyulingan memenuhi kapasitas penyulingan. Apabila penyulingan dilakukan dengan kapasitas terlalu kecil maka biaya penyulingan terhitung lebih mahal sehingga keuntungan yang didapatkan kecil. Akan tetapi proses penyimpanan disinyalir dapat mempengaruhi bobot biji pala yang berdampak pada rendemen minyak pala yang dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan komposisi kimia dari minyak pala sebagian besar adalah minyak atsiri yang memiliki sifat mudah menguap. Oleh karena itu, maka dibutuhkan penyimpanan yang optimal agar tidak menimbulkan kerugian akibat adanya penurunan rendemen dan kualitas minyak pala.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengaji pengaruh dari beberapa perlakuan perendaman dan lama penyimpanan biji pala terhadap susut bobot biji pala selama penyimpanan, rendemen minyak pala, dan kualitas minyak pala dengan mengacu pada standar nasional.


(19)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Pala (Myristica fragrans HOUTT)

Pala (Myristica fragrans HOUTT) merupakan tanaman buah asli Indonesia, yang awalnya banyak ditemukan di Banda dan Maluku. Tanaman pala menyebar ke Pulau Jawa, pada saat perjalanan Marcopollo ke Tiongkok yang melewati pulau Jawa pada tahun 1271 sampai 1295. Pembudidayaan tanaman pala terus meluas sampai Sumatera. Hasil tanaman pala yang biasa dimanfaatkan adalah buah pala. Buah pala terdiri dari daging buah (77.8 %), fuli (4 %), tempurung (5.1 %) dan biji (13.1 %) (SIPUK 2007).

Buah pala (dapat dilihat pada Gambar 1) berwarna kuning hijau, bertekstur keras, bergaris tengah antara 3-9 cm. Buah untuk keperluan rempah biasa dipetik pada umur 9 bulan sejak mulai persarian bunga. Buahnya berbentuk peer, lebar, ujungnya meruncing, kulitnya licin, berdaging dan cukup banyak mengandung air. Jika sudah masak petik warnanya kuning pucat dan membelah dua, kemudian jatuh. Daging buahnya/pericarp tebal dan rasanya asam. Biji pala tunggal, berkeping dua, dilindungi oleh tempurung, walaupun tidak tebal tapi cukup keras. Bentuk biji bulat telur hingga lonjong, panjangnya berkisar antara 1.5-4.5 cm dengan lebar 1- 2.5 cm, mempunyai tempurung berwarna coklat tua dan licin permukaannya bila sudah cukup tua dan kering. Namun bila buah masih muda atau setengah tua, setelah dikeringkan warnanya menjadi coklat muda di bagian bawah dan coklat tua di bagian atasnya dengan permukaan yang keriput dan beralur. Biji dan fuli yang berasal dari buah yang cukup tua dimanfaatkan sebagai rempah, sedangkan yang berasal dari buah yang muda dimanfaatkan sebagai bahan baku minyak pala karena kandungan minyak atsirinya yang jauh lebih tinggi daripada biji yang berasal dari buah yang tua. Pada buah muda (umur 4–5 bulan) kadar minyak atsiri berkisar antara 8–17 % atau rata-rata 12 % (Rismunandar 1990). Pemanenan dapat dilakukan dengan menggunakan galah atau menunggu sampai jatuh. Pada Gambar 2, dapat dilihat komponen bagian-bagian buah pala.

Gambar 1. Buah pala (Myristica fragrans HOUTT) Sumber: www.google.com, 2011


(20)

5

Biji pala Daging buah

Fuli/salut

Gambar 2. Komponen dari buah pala Sumber: www.google.com, 2011

Susunan komponen buah pala dari yang paling luar ke dalam, yaitu terdiri dari daging buah, yang kemudian tersusun atas bijinya yang berkulit tipis agak keras berwarna hitam kecokelatan yang dibungkus fuli berwarna merah padam. Isi bijinya putih, bila dikeringkan menjadi kecokelatan gelap dengan aroma khas (Nurdjannah 2007).

Menurut Hadad et al. (2006), tanaman pala memerlukan iklim tropis yang panas dengan curah hujan yang tinggi tanpa adanya periode kering yang nyata. Meskipun terdapat bulan-bulan kering, tetapi bulan-bulan kering tersebut masih terdapat 10 hari hujan dengan sekurang-kurangnya ± 100 mm. Daerah-daerah pengusahaan tanaman pala memiliki fluktuasi suhu yang berbeda, yaitu berkisar antara 18-34 oC. Tanaman pala sangat peka terhadap angin kencang karena tanaman ini tidak sesuai diusahakan pada areal yang terbuka tanpa pelindung atau penahan angin.

Tanaman pala memerlukan tanah yang subur dan gembur, terutama tanah-tanah vulkanis, miring atau memiliki pembuangan air yang baik. Keadaan tanah dengan reaksi sedang sampai netral (pH 5.5-7) merupakan rata-rata yang baik untuk pertumbuhan tanaman pala, karena keadaan kimia maupun biologi tanah berada pada titik optimum.

Pohon pala memiliki tinggi 10-20 m, mahkota pohonnya meruncing, berbentuk piramidal (kerucut), lonjong (silindris), dan bulat dengan percabangan relatif teratur. Dedaunan yang rapat dengan letak daun yang berselang-seling secara teratur. Daunnya berwarna hijau mengkilap dan gelap, panjang 5-14 cm dengan lebar 3-7 cm, tangkai daun 0.4-1.5 cm panjangnya. Cara pembungaannya unisexual-dioecious.

Buah pala adalah salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan kosmetik. Biji dan fuli pala (selaput biji) digunakan sebagai sumber rempah-rempah, sedangkan daging buah pala sering diolah menjadi berbagai produk pangan seperti manisan, sirup, jam, jeli, dan chutney. Minyak biji pala terutama digunakan dalam industri flavor (penambah cita rasa) makanan dan dalam jumlah kecil digunakan dalam industri farmasi dan kosmetik (Leung 1980 dalam Nurdjannah dan Winarti 2005).


(21)

6

B.

Minyak Pala

Minyak pala adalah minyak yang dihasilkan dari hasil penyulingan biji pala. Berdasarkan SNI 01-0006-1993, biji pala memiliki persyaratan mutu yang disajikan pada Tabel 2. Biji yang biasa digunakan dalam penyulingan minyak pala adalah biji muda karena kandungan minyak pala yang lebih tinggi (Nurdjanah et al.1990). Menurut Bustaman (2008), kandungan minyak biji tua dengan umur panen 7 bulan berkisar 7.95-11.92%. Biji pala muda, umur panen 3-5 bulan, mengandung minyak lebih banyak dibanding biji tua dengan umur panen lebih dari 7 bulan. Rata-rata kadar minyak pala Banda muda adalah 13.07%. Oleh karena itu, minyak pala di Indonesia biasanya disuling dari biji pala yang berumur 4-5 bulan (Sumangat et al. 1990). Komponen kimia yang terkandung dalam minyak pala dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu biji pala (SNI 01-0006-1993)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Kadar air (b/b) % Maks. 10

2 Biji berkapang (b/b) % Maks. 8

3 Serangga utuh mati Ekor Maks. 4

4 Kotoran mamalia Mg/lbs Maks. 0

5 Kotoran binatang lain Mg/lbs Maks. 0.0

6 Benda asing (b/b) % Maks. 0.00

Tabel 3. Komposisi kimia buah pala

Komponen Biji Fuli Daging

Air (%) 5.8-10.8 9.8-12.1 89

Protein (%) 6.6-7.0 6.3-7.0 0.3

Lemak (%) 28.7-36.9 21.6-23.7 0.2

Minyak atsiri (%) 2.6-6.9 6.3-8.7 tad

Ekstrak alkohol (%) 10.4-17.4 22.1-24.8 tad

Pati (%) 31.8-49.8 49.9-64.9 10.9

Serat kasar (%) 2.9-3.7 2.9-3.9 tad

Abu (%) 2.1-3.3 1.8-2.5 tad

Vitamin A (IU) - tad 29.5

Vitamin C (mg/100 g) - tad 22.0

Vitamin B1 (mg/100 g) 0.2 tad sedikit

Ca (mg/100 g) 120 tad 32.0

P (mg/100 g) 240 tad 24.0

Fe (mg/100 g) 4.6 tad 1.5

Sumber: Rismunandar (1990)

Keterangan: tad: tidak ada data, (-): tidak ada atau kecil sekali

Minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik, adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan dasar dari wangi-wangian atau minyak gosok (untuk


(22)

7 pengobatan) alami. Di dalam perdagangan, sulingan minyak atsiri dikenal sebagai bibit minyak wangi.

Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah. Selain itu, susunan senyawa komponennya kuat mempengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga seringkali memberikan efek psikologis tertentu (baunya kuat). Setiap senyawa penyusun memiliki efek tersendiri, dan campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda (Sumangat et al. 1990).

Kandungan minyak atsiri pala sekitar 5-15 % yang meliputi pinen, sabinen, kamfen, miristicin, elemisin, isoelemisin, eugenol, isoeugenol, metoksieugenol, safrol, dimerik polipropanoat, lignan, dan neolignan (Jansen dan Laeckman 1990 dalam Sonavane et al. 2001).

Eugenol merupakan komponen utama yang bersifat menghambat peroksidasi lemak dan meningkatkan aktivitas enzim seperti dismutase superoksidase, katalase, glutation peroksidase, glutamin transferase, dan glukose- 6-fosfat dehidrogenase (Kumaravelu et al. 1996 dalam Nurdjannah dan Winarti 2005). Ekstrak kloroform pala juga mempunyai aktivitas antidiare dengan meningkatkan kandungan ion-ion Na dan Cl dalam jaringan, sedangkan ekstrak

petroleum eter buah pala mempunyai aktivitas antibakteri terhadap beberapa spesies Shigela dan

E. coli (Wessinger et al. 1985 dalam Sonavane et al. 2001).

Senyawa myristin, elemecin, dan safrol tergolong sebagai ether aromatic yang mempunyai sifat psikotropik yang dapat menyebabkan halusinasi dan perasaan mengantuk terutama jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Mengkonsumsi serbuk biji pala atau minyak pala sebanyak 20 gram secara langsung dapat menyebabkan keracunan dengan gejala muntah, pusing, rongga mulut kering (Pursegloveet al. 1981).

Mutu minyak pala baik tinggi ataupun rendah, ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan kimiawinya. Ciri fisik dari minyak pala yang dijadikan ukuran penentuan mutu minyak pala adalah bobot jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan sisa penguapan. Sedangkan ciri kimiawinya adalah kandungan myristicin dalam senyawa aromatik, dan kandungan alkohol dalam senyawa terpen (Azmi 1991). Pada Tabel 4 dapat dilihat sifat fisik senyawa-senyawa utama minyak pala.

Tabel 4. Sifat fisik senyawa-senyawa utama minyak pala

Senyawa Berat molekul (g/mol) Bobot jenis 20 oC Indeks bias (20 oC) Titik didih 15 mmHg (oC)

α Pinen 136.23 0.8592 1.4664 44.3

Kamfen 136.23 0.8422 1.4551 53.8

Limonen 136.23 0.8402 1.4744 61

Dipenten 136.23 0.8402 1.4744 61

p Simen 134.22 0.8573 1.4909 64.1

α Terpineol 154.25 0.9338 1.4818 102.1

Safrol 162.19 1.096 1.5383 115.3

Geraniol 154.24 0.8894 1.4766 117.8

Eugenol 164.2 1.0664 1.541 130.9

Asam miristat 228.36 0.8622 1.4305 199.2


(23)

8 Untuk mendukung kegiatan industri dalam ekspor minyak pala, maka dibutuhkan penetapan standar mutu. Berikut disajikan syarat mutu minyak pala berdasarkan SNI 06-2388-2006 pada Tabel 5.

Tabel 5. Syarat mutu minyak pala (SNI 06-2388-2006)

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan -

1.1 Warna - Tidak berwarna kuning pucat

1.2 Bau - Khas minyak pala

2 Bobot jenis 20o

C/20oC - 0.880-0.910

3 Indeks bias (nD20) - 1.470-1.497

4 Kelarutan dalam etanol 90%

pada suhu 20oC - 1:3 jernih, seterusnya jernih

5 Putaran optic - (+) 8o

- (+)25o

6 Sisa penguapan % maksimum 2.0

7 Miristisin % Minimum 10

C.

Penanganan Buah Pala

Tanaman pala rata-rata mulai berbuah pada umur 5-6 tahun. Setelah mencapai umur 10 tahun hasilnya mulai meningkat dan meningkat terus hingga mencapai optimum pada umur rata-rata 25 tahun. Produksi optimum ini bertahan hingga tanaman pala berumur 60-70 tahun. Lambat laun produksinya menurun hingga mencapai umur 100 tahun atau lebih, bila tidak ada aral melintang (Rismunandar 1990). Dalam setahun, tanaman pala dapat di petik dua kali, yang setiap daerah biasanya waktunya tidak sama. Umumnya buah pala dipanen setelah cukup tua, yang ditandai dengan merekahnya buah, umurnya ± 6 bulan sejak berbunga.

Menurut Nurdjannah (2007), biji pala terdiri dari dua bagian utama, yaitu 30-45 % minyak dan 55-60 % bahan padat termasuk selulosa. Minyak terdiri atas dua jenis, yaitu minyak atsiri (essential oil) sebanyak 5-15 % dari berat biji keseluruhan, dan lemak (fixed oil) yang disebut nutmeg butter sebanyak 24-40 % dari berat biji. Perbedaan komponen tersebut bervariasi tergantung pada letak geografis dan tempat tumbuhnya maupun jenis (varietas) dari tanaman tersebut.

Pada prinsipnya, minyak atsiri dalam biji pala terbentuk lebih dahulu daripada lemaknya sehingga untuk tujuan penyulingan minyak atsiri, buah pala harus dipanen pada umur 4-5 bulan yang dicirikan oleh warna fuli masih keputih-putihan, tempurung berwarna putih kecoklatan dan daging buahnya masih lunak (Somaatmadja 1981 dalam Sumangat et al. 1990). Menurut Sutarno et al. (1995), buah muda dengan tingkat kemasakan 20 minggu dicirikan oleh warna kulit buah hijau, biji lunak berwarna putih, warna fuli putih dan masih melekat pada biji dengan kadar minyak atsiri per 100 mg bahan kering sebesar 10 %. Pada tingkat kemasakan 22 minggu (buah pra-tua) yang dicirikan oleh kulit buah hijau, biji sudah keras berwarna putih kehitaman dengan fuli berwarna merah muda dan mudah lepas, kadar minyak atsiri dari biji 10.72 % sedangkan dari fulinya 12.20 %. Berdasarkan kriteria itu, buah pala 22 minggu akan menghasilkan kadar minyak atsiri optimal, baik dari bijinya maupun fulinya. Pada buah pala tua (24 minggu), kadar minyak fuli 13.75 % sedangkan bijinya 5.0 %.


(24)

9 Pala yang khusus disuling minyaknya, buahnya dipetik atau dipungut saat masih muda. Cara pemetikannya bisa dengan galah yang ujungnya diberi keranjang, atau langsung memanjat pohon untuk memungut dan memilih buah yang betul-betul tua. Buah yang telah dipetik, segera diperlakukan sesuai keperluannya, hal ini untuk menghindari serangan hama dan penyakit (Deptan 1986). Alur proses penanganan pasca panen buah pala dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.


(25)

10 Gambar 4. Skema hasil olahan bagian-bagian buah pala (Rismunandar 1990)

Penjemuran biji pala dapat dilakukan dengan menggunakan panas matahari atau dengan cara pengasapan di rumah asap, dengan suhu ruangan 35- 40 oC terus-menerus selama 10-15 hari sampai kadar air 8-10 %. Menurut McGaw (1979), pengeringan biji pala secara komersial, disarankan pada suhu 40 oC selama 8-9 hari. Di Grenada, biji pala dihamparkan di atas rak-rak bersusun dengan ketebalan 5 cm dan kemudian dikering-anginkan di dalam ruangan terbuka selama 7-8 minggu sehingga tercapai kadar air kurang lebih 8 % (Purseglove et al. 1981). Apabila suhu yang diberikan > 45 oC maka akan diperoleh biji pala yang berkualitas rendah yang disebabkan oleh mencairnya kandungan lemak, biji keriput dan berbentuk remah dan aroma biji akan banyak berkurang. Selain itu juga apabila pengeringan terjadi terlalu cepat dengan panas yang tinggi dapat mengakibatkan biji pala pecah. Sedangkan untuk pengeringan fuli lebih sederhana. Fuli disebar diatas tampan dan dijemur di bawah sinar matahari sampai mencapai kadar air 10-12 % (Deptan 1986). Dengan pengeringan seperti itu dapat menghasilkan fuli yang kenyal (tidak rapuh) dan berkualitas tinggi sehingga nilai ekonomisnya pun tinggi pula (Rismunandar 1990).

Biji pala dan fuli yang telah kering, biasanya disimpan dalam karung. Untuk tetap menjaga kualitas dari biji pala yang disimpan maka biji pala yang telah kering harus memiliki mutu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan karena pada kadar air 8-10 %, kehidupan serangga dan patogen gudang dapat dihambat, dengan suhu kamar (25-30 oC) dan kelembaban 70-75 % (Marsetio 2008).


(26)

11 Rendemen dan mutu minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pra panen dan pasca panen. Faktor prapanen meliputi jenis (varietas) tanaman, cara budidaya, waktu, dan cara panen. Faktor pascapanen meliputi cara penanganan bahan, cara penyulingan, pengemasan, dan transportasi (Nurdjannah 2007).

D.

Penyulingan Minyak

Penyulingan adalah proses pemisahan komponen-komponen campuran dari dua jenis atau lebih cairan berdasarkan perbedaan titik didih dan titik embun masing-masing komponennya dengan menggunakan uap air sebagai medium penguapannya. Pada awal penyulingan, komponen yang bertitik didih rendah akan tersuling lebih dahulu dan disusul oleh komponen yang bertitik didih lebih tinggi (Asyik 2005).

Metode penyulingan minyak atsiri menurut Ketaren (1985) terdapat 3 macam sistem penyulingan, yaitu penyulingan dengan sistem air (water distillation), air dan uap (water and steam distillation), serta uap (steam distillation). Penyulingan dengan metode air, bahan yang akan disuling mengalami kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air ataupun terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling.

Menurut Asyik (2005), cara penyulingan dengan sistem ini adalah dengan memasukkan bahan baku, baik yang sudah dilayukan, kering ataupun bahan basah ke dalam ketel penyuling yang telah berisi air kemudian dipanaskan. Air dapat dipanaskan dengan menggunakan api langsung atau uap dalam mantel atau dalam spiral tertutup. Uap yang keluar dari ketel dialirkan dengan pipa yang dihubungkan dengan kondensor. Uap yang merupakan campuran uap air dan minyak akan terkondensasi menjadi cair dan ditampung dalam wadah. Selanjutnya cairan minyak dan air tersebut dipisahkan dengan separator pemisah minyak untuk diambil minyaknya saja. Gambar alat penyulingan dengan air dapat dilihat pada Gambar 5.


(27)

12 Beberapa jenis bahan harus disuling dengan metode ini, karena bahan harus tercelup dan dapat bergerak bebas dalam air mendidih. Jika disuling dengan metode uap langsung, bahan ini akan merekat dan membentuk gumpalan besar yang kompak, sehingga uap tidak dapat berpenetrasi ke dalam bahan.

Sistem ini memiliki beberapa kelebihan, antara lain prosesnya sederhana dan dapat mengekstraksi minyak dari bahan yang berbentuk bubuk (akar, kulit, kayu) dan bunga-bungaan yang mudah membentuk gumpalan jika kena panas.

Kelemahan penyulingan air adalah pengekstraksian minyak atsiri tidak dapat berlangsung sempurna, komponen minyak yang dihasilkan tidak lengkap karena komponen minyak yang bertitik didih tinggi, seperti sinamil alkohol, benzil alkohol dan bersifat larut dalam air tidak dapat menguap secara sempurna. Selain itu beberapa jenis ester misalnya linalil asetat akan terhidrolisa sebagian. Penyulingan air memerlukan ketel suling yang lebih besar, ruangan yang lebih luas, dan jumlah bahan bakar yang lebih besar (Sitorus 2005)

Menurut Asyik (2005), penyulingan dengan metode air dan uap atau yang dikenal dengan metode kukus membutuhkan rak-rak atau saringan berlubang untuk tempat bahan, dan ketel suling yang berisi air. Ketel suling terletak beberapa cm di bawah saringan dan digunakan untuk menguapkan air. Uap yang terbentuk akan selalu dalam keadaan jenuh dan tidak terlalu panas (dapat dilihat pada Gambar 6). Jadi kontak bahan yang disuling hanya terjadi dengan uap saja. Sebelum disuling, bahan digiling terlebih dahulu agar lebih mudah dalam pengeluaran minyak. Waktu yang dibutuhkan 8-10 jam. Menurut Guenther (1952) dalam Purseglove et al. (1981), penyulingan biji pala yang terbaik ialah dengan penyulingan uap pada tekanan rendah atau kukus selama 10 jam.

Gambar 6. Penyulingan dengan metode air-uap (Ketaren 1985)

Keuntungan menggunakan sistem penyulingan air dan uap adalah uap berpenetrasi secara merata ke dalam jaringan bahan, dan suhu dapat dipertahankan 100 oC. Lama penyulingan relatif singkat, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih baik dibandigkan dengan minyak hasil penyulingan air, dan bahan yang disuling tidak dapat hangus. Selain itu sistem ini lebih efisien karena jumlah bahan bakar yang dibutuhkan lebih kecil.


(28)

13 Kelemahan sistem ini adalah karena jumlah uap yang dibutuhkan cukup besar dan waktu penyulingan lebih lama. Dalam proses ini sejumlah besar uap akan mengembun dalam jaringan tanaman, sehingga bahan bertambah basah, dan mengalami aglutinasi.

Pada sistem penyulingan dengan uap, air dalam boiler digunakan sebagai sumber uap panas, dimana letaknya terpisah dari ketel penyulingan. Uap yang dihasilkan mempunyai tekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar.

Penyulingan dengan sistem ini sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (± 1 atm) kemudian secara berangsur-angsur tekanan uap dapat dinaikkan menjadi ± 3 atm. Jika penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi pada tahap permulaan maka akan menyebabkan dekomposisi komponen kimia dalam minyak. Sistem penyulingan uap baik digunakan untuk mengekstraksi minyak dari bahan yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik didih tinggi. Sistem penyulingan ini tidak baik dilakukan terhadap bahan yang mengandung minyak atsiri yang mudah rusak oleh panas dan air. Minyak yang dihasilkan dengan cara penyulingan ini, baunya akan sedikit berubah dari bau asli alamiah, terutama minyak atsiri yang berasal dari bunga.

Penyulingan biji pala dan fuli dapat dilakukan dengan sistem uap bertekanan rendah atau secara dikukus. Untuk tingkat pengrajin, penyulingan secara dikukus lebih memungkinkan karena investasinya lebih murah.


(29)

14

III. METODE PENELITIAN

A.

Tempat Dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Desa Ciherangpondok, Caringin-Bogor, Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian; Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, IPB, serta Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO), Cimanggu, Bogor. Penelitian dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Februari hingga Juli 2011.

B.

Bahan Dan Alat

B.1. Bahan

Bahan baku yang digunakan adalah buah pala banda (Myristica fragrans HOUTT) dengan ciri-ciri buahnya bulat, bijinya besar, dan fulinya tebal. Buah pala diperoleh dari petani pala di Desa Ciherangpondok, Caringin-Bogor. Buah pala yang digunakan sebagai sample

memiliki tingkat kematangan dengan umur panen 3-6 bulan (lihat pada Gambar 7), berdiameter 4 – 4.7 cm, dengan bobot buah 51 – 73 gram.

Bahan-bahan penunjang yang digunakan, antara lain: air tawar (pH 6.4), dan garam dapur (NaCl), kantung plastik (PVC), gas elpiji 12 kg, etanol, dietil eter, air suling, aquades, larutan sukrosa anhidrat murni konsentrasi 26.00 g sukrosa per 100 ml air, etanol 90 %, dan larutan pembanding (0.5 ml larutan perak nitrat 0.1 N ke dalam 50 ml larutan natrium khlorida 0.0002 N dan dikocok. Tambahkan satu tetes asam nitrat encer 25 %).

Gambar 7. Buah pala dengan tingkat kematangan 3-6 bulan

B.

2. Alat-Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain, yaitu drum plastik, pisau, ember penampung biji pala, alat penyaring, penyosoh salut biji pala, tampah anyaman bambu, unit destilasi, mesin penggiling biji (50 Watt), labu florentine, kompor, botol penampung minyak atsiri, piknometer, penangas air, refraktometer, cahaya natrium/lampu/alat lain yang menghasilkan sinar monokhromatik dengan panjang gelombang 589.3 ± 0.3 nm, polarimeter, tabung polarimeter yang berukuran 100 mm ± 0.05 nm.


(30)

15 Adapun alat ukur (instrumen) yang digunakan, antara lain: jangka sorong, timbangan digital, oven, cawan, gelas ukur, gelas ukur tertutup 10 ml atau 25 ml, neraca analitik, termometer

C.

Metode Pengujian

1.

Penelitian Pengaruh Perlakuan Perendaman

Dalam penanganan pascapanen buah dan biji pala diberikan tiga tingkat perlakuan, yaitu tanpa perendaman, direndam dalam air tawar, dan direndam dalam air garam dan masing-masing sebanyak tiga kali ulangan dengan tiap ulangannya menggunakan biji pala dengan berat 5 kg. Perlakuan tersebut dilakukan karena adanya perbedaan teknologi dalam proses penanganan pascapanen buah pala ditingkat industri rempah dan manisan. Selain itu juga fungsi dari perendaman air tawar yang dapat mencegah terjadinya pembusukan dan air garan untuk mencegah proses browning pada buah pala.

2.

Penelitian Pengaruh Lama Penyimpanan

Setelah biji pala dikeringkan sesuai dengan kadar air yang diharapkan, biji pala disimpan dalam kantung plastik (PVC) yang telah diberi kode pada ruangan berventilasi, dengan suhu ruang 26-30 oC dan RH 55-70 %. Terdapat tiga tingkat perlakuan untuk lama penyimpanan, yaitu:

1) Lama penyimpanan selama 1 minggu, 2) Lama penyimpanan selama 2 minggu, dan 3) Lama penyimpanan selama 3 minggu.

Hal tersebut didasarkan pada jumlah pasokan yang didapat para tengkulak dengan tingkat persaingan yang tinggi sehingga dalam memenuhi kebutuhan kapasitas penyulingan yang besar diperlukan proses penyimpanan terlebih dahulu.

Pada ketiga perlakuan penyimpanan tersebut dilakukan juga pada kondisi dari ketiga jenis perlakuan perendaman dengan ulangan sebanyak 3 kali, sehingga jumlah sample dari total perlakuan ini adalah 27 sample, di mana terdapat 9 buah sample dari tiap perlakuan perendaman yang diberikan.

3.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan perlakuan yaitu perendaman dan lama penyimpanan. Terdapat tiga taraf dari masing-masing perlakuan, untuk perendaman, antara lain: tanpa perendaman, perendaman dalam air tawar, dan perendaman dalam air garam, sedangkan untuk lama penyimpanan, yaitu 1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu.

Model umum rancangan percobaan adalah sebagai berikut :


(31)

16 Dalam hal ini :

Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan perendaman taraf ke- i dan lama penyimpanan taraf ke-j pada ulangan ke- k

µ = nilai rataan umum

Ai = pengaruh perlakuan perendaman pada taraf ke- i Bi = pengaruh perlakuan lama penyimpanan pada taraf ke- j

ABij = interaksi pengaruh perendaman dengan air taraf ke- i dan perlakuan lama penyimpanan taraf ke- j

Cijk = galat percobaan i = perendaman j = lama penyimpanan k = ulangan

Analisis data statistik dari rancangan percobaan tersebut pada taraf alpha 5 % dilakukan dengan menggunakan software SPSS 17.0.

D.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian meliputi tahapan-tahapan: 1) penanganan pascapanen buah dan biji pala, 2) penyulingan biji pala, dan 3) pengujian mutu minyak pala.

1.

Penanganan pascapanen buah dan biji pala

Dalam penanganan pascapanen buah dan biji pala dilakukan 3 jenis perlakuan, yaitu: 1) Tanpa perendaman

2) Perendaman biji pala dalam air tawar 3) Perendaman buah pala dalam air garam

Adapun proses penanganan dari 3 perlakuan tersebut dijelaskan pada diagram alir proses seperti pada Gambar 9. Berdasarkan dari ketiga perlakuan yang diberikan yang membedakan adalah proses pemisahan daging dan biji pala serta penempatan proses perendaman yang terjadi. Pada perlakuan 1 dan 2, proses pemisahan daging dan biji pala dilakukan sebelum proses perendaman terjadi, sedangkan untuk perlakuan 3, proses pemisahan terjadi setelah proses perendaman dilakukan.

Pemisahan daging dan biji pala dilakukan dengan cara membelah buah pala dengan menggunakan pisau sampai batas antara daging dengan buah. Pembelahan biasanya dilakukan pada tanda bergaris yang terdapat pada buah pala sehingga memudahkan proses pembelahan. Daging dan biji pala yang telah dipisahkan kemudian ditempatkan pada suatu wadah terpisah. Untuk perlakuan 1, biji pala dapat langsung memasuki tahap proses pemisahan biji dengan salutnya, sedangkan perlakuan 2, biji pala dimasukkan dalam drum plastik dan direndam dalam air tawar selama 24 jam. Untuk ketiga perlakuan tersebut membutuhkan sample dengan berat masing-masing 5 kg, dengan jumlah ulangan sebanyak 3 kali.

Pada perlakuan 3, sebelum daging dan biji pala dipisahkan dilakukan proses perendaman terlebih dahulu selama 24 jam dalam larutan garam dengan konsentrasi garam sebesar 0.25 % (bobot/volume). Untuk merendam 100 kg buah pala dibutuhkan air sebanyak 100 liter dan garam 250 gram. Dalam industri manisan pala, perendaman buah pala dalam


(32)

17 larutan garam bertujuan untuk mencegah terjadinya proses pencoklatan sehingga daging buahnya berwarna putih ketika dibelah.

Setelah proses perendaman selesai maka dilakukan proses penirisan terlebih dahulu sebelum memasuki tahapan selanjutnya. Proses penirisan dibantu dengan menggunakan saringan.

Proses pemisahan salut dengan bijinya untuk perlakuan 1 dan 2 biasanya dilakukan secara manual, yaitu dengan menggunakan pisau, sedangkan untuk perlakuan 3, pemisahan dapat dilakukan dengan bantuan alat penyosoh (lihat Gambar 8). Hal ini dikarenakan biji pala hasil perendaman dengan air tawar, kondisi salut pada biji pala dalam keadaan mengembang sehingga lebih mudah dipisahkan dibandingkan biji pala dari perlakuan 1 dan 3.

Gambar 8. Alat penyosoh salut biji pala

Setelah biji dan salutnya terpisah, biji pala dikeringkan dengan menggunakan panas matahari dengan suhu 30- 35 oC. Biji pala dikeringkan pada tampah yang terbuat dari anyaman bambu, di mana untuk satu tampah digunakan untuk menampung satu sample

dengan berat 5 kg dari setiap perlakuan. Sehingga untuk ketiga perlakuan tersebut membutuhkan 9 buah tampah degan berat total 45 kg. Proses pengeringan dilakukan selama 7 hari untuk cuaca baik, sedangkan untuk cuaca buruk dapat mencapai 14 hari. Pengeringan dilakukan sampai kadar air maksimal 10 % basis basah.


(33)

18

Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III

Buah Pala

Perendaman buah pala dalam air garam Penirisan

Pemisahan daging dan biji pala Pemisahan daging dan biji pala Pemisahan daging dan biji pala

Cangkang Perendaman biji pala dalam air tawar Cangkang

Penirisan

Pemisahan biji dan salut Pemisahan biji dan salut Pemisahan biji dan salut

Salut Pengeringan Salut Pengeringan Salut Pengeringan

Penyimpanan Penyimpanan Penyimpanan

(1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu) (1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu) (1 minggu, 2 minggu, dan 3 minggu)

Penyulingan Penyulingan Penyulingan

Uji Mutu Minyak Atsiri Biji Pala Uji Mutu Minyak Atsiri Biji Pala Uji Mutu Minyak Atsiri Biji Pala Gambar 9. Prosedur proses penanganan dari 3 perlakuan yang diberikan


(34)

19 2.

Penyulingan

Menurut Purseglove et al. (1981), penyulingan biji pala terbaik ialah dengan penyulingan pada tekanan rendah atau dikukus selama 10 jam. Penyulingan pada suhu dan tekanan tinggi akan menurunkan mutu minyak karena akan terkontaminasi asam miristic yang berasal dari lemak pala. Oleh karena itu, metode penyulingan yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode kukus. Sebelum disuling, biji pala kering digiling terlebih dahulu dengan menggunakan mesin penggiling biji. Biji pala yang telah digiling kemudian dimasukkan ke dalam tangki penyulingan yang sebelumnya telah dipasang penyaring. Air dan minyak yang dihasilkan ditampung dalam labu florentine setelah proses pendinginan pada kondensor. Untuk menjaga agar minyak tidak terkontaminasi dari bahan kimia lainnya, maka minyak tersebut disimpan dalam botol dan diberi kode sample untuk memudahkan dalam proses selanjutnya. Penyulingan dilakukan selama 10 jam untuk setiap sample. Peralatan penyulingan disajikan pada Lampiran 21.

3.

Pengujian mutu minyak pala

Proses yang terakhir dari penelitian ini, yaitu pengujian mutu minyak dari biji pala. Parameter yang diujikan dalam pengujian ini, antara lain: bobot jenis 20 oC/20 oC (berat minyak/berat air pada suhu 20 oC), indeks bias 20 oC, putaran optik, dan kelarutan dalam alkohol 90 %. Prosedur pengujian berdasarkan pada SNI 06-2385-2006.

E.

Parameter Yang Diukur/Diamati

1.

Kadar air sebelum proses pengeringan dan kadar air setelah pengeringan

a. Kadar air sebelum proses pengeringan

Proses pengukuran kadar air sebelum proses pengeringan dilakukan untuk mengetahui kadar air biji pala sehingga dapat memperkirakan massa biji pala dengan kadar air maksimal 10 % basis basah. Kadar air diukur dengan menggunakan metode gravimetrik (penimbangan bahan sebelum dan setelah pengeringan dengan oven), untuk lebih jelas dapat lihat Lampiran 19. Pengukuran ini dilakukan setelah proses pemisahan biji dengan salutnya.

Cawan dikeringkan terlebih dahulu selama 1 jam dalam oven pada suhu 105 °C, lalu didinginkan dalam eksikator dan kemudian massanya ditimbang (Wx). Sampel ditimbang sebanyak 5 gram (Wy), dimasukkan ke dalam botol timbang, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 48 jam pada suhu 105 °C, lalu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang kembali. Pekerjaan ini diulang sampai 3 kali, hingga dicapai massa konstan (Wz). Adapun rumus penentuan kadar air sebagai berikut (Shakti 2008):

%

100

Wy

Wz

Wy

Wx


(35)

20 Dalam hal ini:

Ka : kadar air basis basah (%)

Wx : massa cawan kosong (g)

Wy : massa bahan (g)

Wz : massa cawan dan bahan setelah kering oven (g)

b. Kadar air setelah pengeringan

Untuk mengetahui kadar air biji pala setelah pengeringan sesuai dengan standar, yaitu 8-10 % (basis basah), maka dilakukan penentuan massa biji pala yang telah dikeringkan pada kadar air tersebut. Dengan menggunakan data kadar air sebelum pengeringan, massa biji pala sebelum pengeringan, dan massa biji pala yang telah dikeringkan, maka kadar air (basis basah) biji pala setelah pengeringan dapat dihitung.

Kadar air dan massa biji pala sebelum pengeringan dapat digunakan untuk menentukan massa air biji pala sebelum dikeringkan sehingga kita dapat mengetahui massa bahan kering. Kemudian massa air biji pala yang telah dikeringkan dapat ditentukan dari massa bahan kering sehingga massa biji pala setelah pengeringan dengan kadar air 8 dan 10 % dapat dihitung pula. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan massa biji pala setelah pengeringan dengan kadar air 8 dan 10 %, adalah sebagai berikut:

%

100

%

100

k bk k bk a a ap a

m

m

m

m

m

m

K

K

(3)

Dalam hal ini:

Ka : kadar air biji pala basis basah sebelum pengeringan (%)

Kap : kadar air biji pala basis basah setelah pengeringan (%), yaitu 8 dan 10 %

ma : massa air dalam biji pala (kg)

mb : massa biji pala sebelum pengeringan (kg)

mbk : massa bahan kering (kg)

mk : massa biji pala setelah pengeringan (kg)

Adanya interval massa biji pala kering dengan kadar air 8 dan 10 %, maka dapat menggunakan metode interpolasi, dimana data yang digunakan adalah massa pala kering pada kadar 8 dan 10 % serta massa biji pala kering yang akan ditentukan kadar airnya. Untuk menentukkan kadar air biji pala yang telah dikeringkan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

% 8 % 10

%

8

)(

10

%

8

%)

(

m

m

m

m

K

bp bp

(4) di mana:

Kbp : kadar air biji pala basis basah setelah pengeringan (%) mbp : massa biji pala setelah pengeringan (kg)

m8% : massa biji pala pada kadar air 8 % (kg) m10% : massa biji pala pada kadar air 10 % (kg)


(36)

21

2.

Susut bobot

Susut bobot diukur berdasarkan persentase penurunan massa biji pala kering sejak awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung susut bobot adalah sebagai berikut:

%

100

0 1

0

W

W

W

S

b (5)

di mana :

Sb : susut bobot (%)

W0 : bobot bahan awal penyimpanan (kg)

W1 : bobot bahan akhir setelah penyimpanan (kg)

3.

Rendemen minyak

Biji pala kering yang siap disuling, ditimbang kembali untuk mengetahui massa bahan yang akan disuling. Lalu, minyak yang dihasilkan dari penyulingan juga ditimbang. Rendemen yang dihasilkan dihitung dengan menggunakan rumus:

%

100

bp m m

m

m

R

(6) di mana:

Rm : rendemen minyak biji pala (%)

mm : massa minyak hasil penyulingan (g)

mbp : massa biji pala yang disuling (g)

4.

Mutu Minyak Pala

a.

Bobot jenis

Prinsip:

Metode ini didasarkan pada perbandingan antara berat minyak pada suhu yang ditentukan dengan berat air pada volume air yang sama dengan volume minyak pada suhu tersebut.

Prosedur:

Piknometer dicuci dan dibersihkan terlebih dahulu yang kemudian dibasuh dengan menggunakan etanol dan dietil eter secara berturut-turut. Setelah itu piknometer dikeringkan dengan arus udara kering lalu sisipkan tutupnya. Biarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan timbang.

Piknometer di isi dengan air suling yang telah dididihkan dan biarkan pada suhu 20 oC sambil menghindari adanya gelembung-gelembung udara. Celupkan piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20 oC ± 0.2 oC selama 30 menit lalu sisipkan penutupnya dan pikonometer dikeringkan. Setelah itu biarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan timbang dengan isinya.


(37)

22 Sebelum piknometer diisi dengan sample minyak, piknometer yang telah digunakan untuk menimbang volume air suling terlebih dahulu dicuci dengan etanol dan dietil eter. Proses pengisian sama seperti pengisian piknometer dengan air suling, yaitu dihindarkan dari adanya gelembung-gelembung udara. Kemudian celupkan piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20 oC ± 0.2 oC selama 30 menit lalu sisipkan penutupnya dan pikonometer dikeringkan. Setelah itu biarkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan timbang dengan isinya. Untuk menghitung bobot jenis dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:

m

m

m

m

Beratjenis

d

1 2 20 20 (7) di mana:

m : massa piknometer (gram)

m1 : massa piknometer berisi air suling pada 20 oC m2 : massa piknometer berisi sample minyak pada 20 oC

b.

Indeks bias

Prinsip:

Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap.

Prosedur:

Air dialirkan melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu dimana pembacaan akan dilakukan. Suhu harus dipertahankan dengan toleransi ± 0.2 oC. Sebelum minyak ditaruh didalam alat, minyak harus berada pada suhu yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan. Pembacaan dilakukan bila suhu sudah stabil. Untuk menghitung indeks bias dapat menggunakan persamaan sebagai berikut:

)

(

0004

.

0

1 1

t

t

Indeksbias

n

tD

n

tD

(8)

di mana:

n

tD 1

: pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan t1 t : suhu referensi 20 oC

0.0004 : faktor koreksi

c.

Putaran optik

Prinsip:

Metode ini didasarkan pada pengukuran sudut bidang dari sinar terpolarisasi yang diputar oleh lapisan minyak yang tebalnya 10 cm pada suhu tertentu.


(38)

23 Prosedur:

Lampu dinyalakan sampai diperoleh kilauan penuh. Kemudian tabung polarimeter di isi dengan sample minyak yang sebelumnya telah ditentukan. Usahakan agar tidak terdapat gelembung-gelembung udara dalam tabung. Kemudian tabung ditaruh didalam polarimeter lalu baca putaran optik dekstro (+) atau levo (-) dari minyak pada skala yang terdapat pada alat. Dengan menggunakan termometer yang disisipkan pada lubang di tengah-tengah, suhu minyak dalam tabung dapat diperiksa. Suhu minyak dalam tabung harus 20 oC ± 1 oC. Catatlah rata-rata dari sedikitnya tiga kali pembacaan, masing-masing pembacaan tidak boleh lebih dari 0.08 o.

Putaran optik harus dinyatakan dalam derajat lingkar sampai mendekati 0.01 o. Putaran optik dekstro harus diberi tanda positif (+) dan putaran optik levo harus diberi tanda negatif (-).

d.

Kelarutan dalam alkohol 90 %

Prinsip:

Metode ini didasarkan ada kelarutan dalam etanol. Prosedur:

Sample minyak sebanyak 1 ml ditempatkan dalam gelas ukur berukuran 10 ml atau 25 ml. Kemudian tambahkan setetes demi setetes etanol 90 %dari kekuatan yang sesuai untuk minyak yang sedang diuji dan dikocok sampai diperoleh suatu larutan bening pada suhu 20 oC. Apabila larutan tersebut tidak bening, bandingkanlah kekeruhan yang terjadi dengan kekeruhan larutan pembanding melalui cairan yang sama tebalnya. Setelah minyak tersebut larut tambahkan etanol berlebih, karena beberapa minyak tertentu mengendap pada penambahan etanol lebih lanjut.


(39)

24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala

Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan untuk diversifikasi produk sesuai permintaan pasar. Proses penanganan segar buah pala secara umum, yaitu pemisahan daging dengan biji pala, pemisahan salut dari biji pala, dan pengeringan.

Proses penanganan buah pala untuk industri manisan pala biasanya diawali dengan proses perendaman buah pala dalam air garam 0.25 % (bobot/volume), dimana dalam 100 kg buah pala dibutuhkan air sebanyak 100 liter dan garam 250 gram. Perendaman dalam air garam berfungsi untuk mencegah terjadinya proses pencoklatan sehingga buah pala yang dihasilkan berwarna putih. Setelah itu, buah pala dipisahkan antara daging dan bijinya. Bagian yang dibutuhkan hanya daging buahnya sehingga dihasilkan limbah berupa biji dan salut. Namun demikian, limbah biji pala ini masih dapat diolah menjadi minyak pala sebagai penghasilan tambahan bagi produsen manisan pala.

Dalam industri minyak atsiri dan rempah-rempah, biasanya buah pala langsung dipisahkan antara daging buah dan bijinya. Setelah itu, bijinya dikumpulkan dan direndam dalam air tawar, sebelum diproses menjadi minyak pala. Perendaman tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam proses penanganan pascapanen selanjutnya, serta memperlambat pembusukan dan dapat membersihkan biji dari getah yang dihasilkan dari proses pemisahan dari daging buahnya. Hal tersebut dapat terlihat dari perubahan warna keputihan pada air sisa hasil perendaman biji pala setelah 24 jam perendaman (Gambar 10(b)).

(a) (b)

Gambar 10. Air perendaman biji pala: (a) awal perendaman, (b) setelah perendaman setelah 24 jam perendaman


(40)

25

(a) (b)

(c)

Gambar 11. Biji pala setelah diberi perlakuan: (a) tanpa perendaman, (b) perendaman dalam air tawar, dan (c) perendaman dalam air garam

Gambar 11 menunjukkan perubahan warna biji pala hasil perendaman dan tanpa perendaman. Terlihat adanya perbedaan warna yang dihasilkan dari ketiga pelakuan tersebut, dimana biji pala yang dihasilkan dari perendaman dalam air garam memiliki warna lebih pucat dibandingkan tanpa perendaman. Biji pala yang direndam dengan air tawar (Gambar 11 (b)) memiliki warna lebih coklat dari pada hasil perendaman dengan air garam. Hal ini mengindikasikan bahwa perendaman dengan air garam dapat mencegah terjadinya proses pencoklatan.

Proses pemisahan salut dari biji dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara manual dan semi mekanis. Pemisahan secara manual hanya membutuhkan pisau sebagai alat bantunya, sedangkan secara semi mekanis dapat menggunakan alat penyosoh. Pemisahan secara manual dapat dilakukan untuk semua jenis perlakuan, namun untuk pemisahan secara semi mekanis, hanya dapat dilakukan pada perlakuan 2 yaitu setelah biji pala direndam air tawar. Perbedaan kondisi salut dari setiap perlakuan menjadi faktor penting dalam menentukan cara pemisahan karena prisnsip kerja pada alat penyosoh dipengaruhi gaya gesek dan tekan yang bergerak secara translasi. Pada perlakuan 1 dan 3 kondisi salut masih menempel erat pada biji pala sehingga pada saat disosoh hasilnya kurang baik. Proses pemisahan membutuhkan gaya gesek dan tekan yang lebih besar yang menggambarkan biji pala rusak atau cacat. Sedangkan pada perlakuan 2, salut pada biji pala tidak menempel erat atau sudah terlepas dari bijinya akibat proses perendaman (Gambar 12), namun karena salut menyatu dengan biji sehingga masih diperlukan proses untuk memisahkannya. Jika sebagian besar salut sudah tidak menempel lagi pada biji pala, proses pelepasannya lebih mudah dan ringan.


(41)

26

Gambar 12. Kondisi salut pada biji pala yang direndam dalam air tawar

Sebelum proses pengeringan, biji pala untuk setiap perlakuan diukur kadar airnya terlebih dahulu. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui kadar air awal masing-masing perlakuan, serta untuk memprediksikan bobot kering yang harus dicapai saat kadar air 8-10 % basis basah. Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis ragam (lihat Lampiran 6), jenis perlakuan memberikan hasil yang berbeda nyata (Lampiran 2), di mana pada perlakuan 2 memiliki kadar air paling tinggi, kemudian diikuti oleh perlakuan 1 dan perlakuan 3. Perbedaan nyata terlihat jelas pada perlakuan 3 apabila dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2.

Gambar 13. Kadar air rata-rata biji pala dengan tingkat kematangan muda dan medium setelah diberi perlakuan perendaman

perendaman air tawar air garam

Sebelum direndam Setelah direndam


(42)

27 Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar air bahan pangan diantaranya adalah air bebas dan air terikat, kadar air basis basah dan kering, aktivitas air, kelembaban mutlak dan kelembaban relatif, serta sifat fisik dari bahan (Safrizal 2010). Pada saat perendaman, pada biji pala terjadi proses difusi-osmosis, yaitu perpindahan zat atau molekul yang memiliki konsentrasi tinggi yaitu air tawar dan air garam ke konsentrasi rendah yaitu buah dan biji pala sehingga biji pala pada perlakuan 2 dan 3 mengandung air bebas yang lebih tinggi dibandingkan dengan biji pala pada perlakuan 1. Semakin tinggi air bebasnya maka akan semakin tinggi pula kadar airnya pada berat padatan bahan yang sama.

Tingginya kadar air pada perlakuan 2 disebabkan oleh kandungan air bebasnya yang lebih cepat menguap dibandingkan pada perlakuan 3. Hal tersebut dikarenakan air bebas pada perlakuan 3 mengikat garam sehingga dibutuhkan energi lebih besar dan waktu yang lebih lama untuk menguapkan jumlah air yang sama dengan kandungan air bebas pada perlakuan 2.

Adanya perbedaan kadar air tersebut tentunya mempengaruhi proses pengeringan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengeringan pada suatu bahan, antara lain ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial dari bahan (Neni 2007). Semakin tinggi kadar air awal suatu bahan maka akan semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan. Waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan pada perlakuan perendaman 1 dan 2 relatif sama, yaitu 7-8 hari, sedangkan untuk perlakuan 3 cenderung lebih lama, yaitu 8-9 hari. Gambar 14 memperlihatkan kondisi biji pala kering untuk tiap perlakuan.

Adanya perbedaan tingkat keseragaman biji pala menjadi salah satu penyebab lama pengeringan dan perbedaan kadar air setelah pengeringan/sebelum penyimpanan. Hal tersebut mempengaruhi luas permukaan ketika proses penjemuran. Semakin besar luas permukaannya maka semakin cepat proses pengeringan. Hal tersebut dikarenakan belum adanya teknologi sortasi dalam proses penanganan pascapanen yang ada dilapangan.

Terdapat beberapa sample pada perlakuan perendaman 1 yang memiliki kadar air lebih tinggi daripada sample perlakuan perendaman 1 lainnya padahal waktu pengeringan yang diberikan sama (lihat Lampiran 3). Hal tersebut diakibatkan adanya pengaruh dari getah yang menempel pada biji serta akibat panas yang tidak stabil karena proses dengan panas sinar matahari (penjemuran).

Waktu tunggu pada proses pemisahan daging buah dengan bijinya dapat mempengaruhi jumlah getah yang dihasilkan. Semakin lama waktu tunggu pemisahan buah pala, jumlah getah semakin sedikit. Hal tersebut disebabkan selama proses pemisahan, buah pala mengalami proses penguapan (pengeringan). Semakin lama proses pemisahan berlangsung maka semakin banyak air yang diuapkan dari buah pala, sehingga buah pala tersebut dapat kering dalam waktu yang lama. Oleh karena itu jumlah getah yang menempel pada bijinya dapat dianggap sebagai salah satu penyebab lambatnya proses pengeringan.


(43)

28

(a) (b)

(c)

Gambar 14. Biji pala kering untuk setiap perlakuan yang diberikan, (a) tanpa perendaman, (b) perendaman dalam air tawar, dan (c) perendaman dalam air garam

Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan perendaman memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air biji pala sebelum penyimpanan. Rata-rata kadar air sebelum penyimpanan yang paling tinggi terdapat pada perlakuan perendaman 1, yaitu 9.9 % dan paling kecil pada perlakuan 3, yaitu sebesar 7.9 % seperti ditunjukkan dalam Lampiran 7.

Setelah tercapai kadar air biji pala kering sebesar 8-10 % basis basah, tahap selanjutnya dilakukan penyimpanan dalam kantong plastik pada ruangan berventilasi dengan lama penyimpanan: a) 1 minggu; b) 2 minggu; dan c) 3 minggu. Proses penyimpanan mempengaruhi kadar air serta bobot biji pala kering karena selama proses penyimpanan berlangsung, terjadi proses penguapan dalam jumlah kecil sehingga terjadi penurunan kadar air secara perlahan. Namun ketika suatu bahan mendekati batas minimal kadar airnya maka akan muncul sifat higroskopis, yaitu kemampuan suatu bahan untuk menyerap molekul air dari lingkungannya baik melalui absorbsi atau adsorpsi. Adanya fluktuasi dari kadar air ketika penyimpanan seperti ditunjukkan pada Gambar 15 dan 16, dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya, seperti suhu dan RH. Karena ketika proses penyimpanan berlangsung, kondisi lingkungan per harinya tidak sama karena cuaca yang berubah-ubah/tidak menentu. Selain itu juga dikarenakan kandungan air bebas dan terikat dari tiap perlakuan berbeda, dimana hal tersebut dapat mempengaruhi sifat higroskopis pada suhu dan RH yang berbeda pula.

Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan perendaman mempengaruhi kadar air setelah penyimpanan, sedangkan pada perlakuan lama penyimpanan tidak berpangaruh terhadap kadar air setelah penyimpanan, namun antara perlakuan perendaman dan lama penyimpanan menunjukkan adanya interaksi yang signifikan (lihat Lampiran 10). Selama penyimpanan


(44)

rata-29 rata kadar air paling tinggi terdapat pada perlakuan perendaman 1 dan paling kecil pada perlakuan 3.

Namun untuk hasil analisis ragam untuk susut bobot hasilnya berlawanan dengan hasil analisis ragam kadar air setelah penyimpanan, dimana perlakuan perendaman tidak berpengaruh terhadap kadar air setelah penyimpanan, artinya semua perlakuan yang diberikan memberikan respon yang sama (tidak berbeda nyata), sedangkan pada perlakuan lama penyimpanan memberikan hasil yang berbeda nyata, dan tidak ada interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Hal tersebut dapat dilihap pada Lampiran 11. Perubahan susut bobot pada perlakuan perendaman 1, 2, dan 3 relatif sama, dimana pada minggu pertama penyusutan 0 % untuk semua perlakuan, minggu kedua sekitar 2.5 %, dan minggu ketiga sekitar 4 %. Waktu penyimpanan optimal, yaitu 1 minggu karena biji pala belum mengalami susut bobot.

Gambar 15. Perubahan kadar air biji pala kering sebelum dan sesudah penyimpanan


(45)

30

B.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Rendemen Penyulingan

Penyulingan dilakukan setelah proses penyimpanan selama 1-3 minggu untuk masing-masing perlakuan. Penyulingan yang digunakan untuk penelitian ini menggunakan sistem kukus atau uap-air dengan lama penyulingan selama 10 jam. Sebelum disuling biji pala kering digiling terlebih dahulu hingga berukuran 10 mm dengan bentuk menyerupai bujur sangkar, untuk mempercepat proses penguapan. Hasil penyulingan dapat dilihat pada Gambar 17 berikut ini.

(a) (b) (c)

Gambar 17. Hasil penyulingan minyak dari perlakuan yang diberikan, (a) tanpa perendaman, (b) biji direndam dalam air tawar, dan (c) buah direndam dalam air garam, dengan urutan perlakuan lama penyimpanan 1, 2, dan 3 minggu (dari kiri ke kanan).

Hasil penelitian Sitorus (2004), ukuran rajangan 6 mm tidak berbeda nyata dengan ukuran rajangan 8 mm tetapi berbeda nyata dengan ukuran 10 mm. Ukuran rajangan 10 mm menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan rajangan yang berukuran 6 dan 8 mm untuk biji pala bejo (muda) dan polong.

Belum adanya teknologi sortasi biji pala pada proses penanganan pascapanen menjadi salah satu penghambat dalam proses penyeragaman biji pala. Hal tesebut dapat terlihat dari hasil rendemen yang dihasilkan pada tiap sample pada Lampiran 4. Adanya penurunan pada perlakuan 2 dengan lama penyimpanan 2 minggu, dikarenakan komposisi biji pala medium (4-5 bulan) lebih banyak jika dibandingkan dengan komposisi biji pala pada perlakuan yang sama dengan lama penyimpanan 1 dan 3 minggu. Sedangkan pada perlakuan 3 dengan lama penyimpanan 2 minggu, nilai rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang sama dengan lama penyimpanan 1 dan 3 minggu disebabkan oleh jumlah garam yang terserap oleh buah pala untuk perlakuan tersebut lebih sedikit dibandingkan kedua perlakuan lama penyimpanan lainnya. Hal tersebut dikarenakan adanya kemungkinan garam yang diberikan tidak tercampur rata dalam larutan yang digunakan sebagai media perendam sehingga menyebabkan kandungan garam yang terserap oleh tiap perlakuan pun menjadi berbeda.

Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis ragam (lihat Lampiran 4 dan 10), rendemen yang dihasilkan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan perendaman dan lama penyimpanan yang diberikan. Selain itu juga tidak ada interaksi yang signifikan antara perlakuan perendaman dengan lama penyimpanan. Hal tersebut dapat dilihat pada grafik yang disajikan pada Gambar 18. Namun apabila dilihat pada perlakuan perendaman 1 (kontrol), terlihat adanya penurunan rendemen minyak dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Ini berarti ada faktor lain yang mempengaruhi penurunan rendemen tersebut, seperti komposisi biji pala berdasarkan umur panen yang berbeda. Hasil analisis menunjukkan antar parameter secara korelasi tidak ada hubungan dari seluruh parameter yang dapat mempengaruhi hasil rendemen minyak (lihat Lampiran 13)


(46)

31 Gambar 18. Rata-rata rendemen yang dihasilkan dari setiap perlakuan.

Minyak pala di Indonesia biasanya disuling dari biji pala yang berumur 3-4 bulan dengan rendemen minyak 8-17 %. Biji pala yang tua, rendemennya lebih rendah, yaitu 8-13 % (Sumangat et al. 1990). Dikarenakan umur pala yang digunakan berkisar antara 3-6 bulan (muda-medium) yang tentunya kandungan minyaknya tidak sama sehingga dampaknya berpengaruh terhadap rendemennya, berkisar antara 10-14 %. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan perendaman dan lama penyimpanan tidak mempengaruhi rendemen minyak pala yang dihasilkan.

C.

Pengaruh Perlakuan Terhadap Mutu Minyak Biji Pala

1.

Bobot jenis

Bobot jenis suatu minyak dipengaruhi oleh perbandingan komponen-komponen penyusun minyak, seperti jenis dan komposisi kimia dari minyak tersebut. Apabila komponen yang menyusun minyak tersebut memiliki bobot molekul yang tinggi dan terdapat dalam jumlah yang lebih besar maka nilai bobot jenis dari minyak tersebut akan semakin tinggi. Fraksi berat komponen minyak dipengaruhi oleh panjang rantai molekul yang menyusun. Semakin panjang rantai yang tersusun maka bobot molekul komponen tersebut semakin besar pula.

Berdasarkan hasil penelitian Sitorus (2004), pada biji pala bejo (muda) senyawa aromatik seperti eugenol, miristisin, dan isoeugenol sebesar 22.08 %, sedangkan pada biji pala polong sebesar 27.65 % dan biji pala tua sebesar 35.32 %. Komponen penyusun minyak pala pada biji pala muda didominasi oleh komponen yang memiliki bobot molekul rendah, sedangkan pada biji pala tua komponen yang memiliki bobot molekul tinggi terdapat dalam jumlah besar sehingga minyak pala yang dihasilkan pada biji pala tua lebih tinggi bobot jenisnya dibandingkan biji pala muda dan polong. Hal tersebut disebabkan oleh kandungan lemak yang dikandung biji pala tua lebih tinggi dibandingkan biji pala muda dan polong. Kandungan senyawa aromatik yang memiliki bobot molekul tinggi adalah miristisin, eugenol, dan isoeugenol.

Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan perendaman dan lama penyimpanan tidak menghasilkan nilai yang berbeda nyata, serta tidak ada interaksi yang significant antara perlakuan perendaman dan lama penyimpanan. Meskipun begitu nilai rata-rata bobot jenis


(1)

58

Lampiran 16. Pengukuran ukuran dan berat buah pala

Sample pengukuran ukuran dan berat buah pala Proses penimbangan sample


(2)

59

Lampiran 17. Proses pemisahan daging buah, biji, dan salut pala

Buah pala Pemisahan daging buah dengan biji

Daging buah pala Biji pala


(3)

60

Lampiran 18. Perendaman pala

Perendaman dengan air biasa/tawar


(4)

61

Lampiran 19. Pengukuran kadar air dengan metode gravimetrik

Peralatan yang digunakan untuk pengukuran Pengecilan ukuran

Penimbangan wadah sample Penimbangan awal sample Sample dikeringkan dalam oven Setelah proses pengeringan dalam oven:

Sample kontrol sample yang direndam sample yang direndam

(tanpa perendaman) dalam air garam dalam air tawar


(5)

62

Lampiran 20. Proses penjemuran/pengeringan

Pemberian kode pada tampan bambu

Proses penjemuran sample


(6)

63

Lampiran 21. Proses penyulingan

Mesin giling Pala yang telah digiling

Pala giling dimasukkan dalam tangki

Tangki penampung biji pala giling

Pala disuling dengan sistem kukus

Tabung penampung hasil sulingan

Minyak pala

Air