Potensi Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp. untuk Pengendalian Botryodiplodia sp. pada Jabon (Anthocephalus cadamba)

i

POTENSI Trichoderma harzianum DAN Gliocladium sp. UNTUK
PENGENDALIAN Botryodiplodia sp. PADA JABON
(Anthocephalus cadamba)

ETI ARTININGSIH OCTAVIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi Trichoderma
harzianum dan Gliocladium sp. untuk Pengendalian Botryodiplodia sp. pada

Jabon (Anthocephalus cadamba) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Eti Artiningsih Octaviani
NIM E451130256

iviv

RINGKASAN
ETI ARTININGSIH OCTAVIANI. Potensi Trichoderma harzianum dan
Gliocladium sp. untuk Pengendalian Botryodiplodia sp. pada Jabon
(Anthocephalus cadamba). Dibimbing oleh ACHMAD dan ELIS NINA
HERLIYANA.
Botryodiplodia sp. merupakan penyebab penyakit mati pucuk pada semai
jabon (Anthocephalus cadamba). Penyakit mati pucuk menyebabkan penurunan

kualitas dan nilai ekonomi semai jabon di persemaian. Penelitian tentang
pengendalian terhadap penyakit tersebut masih jarang dilakukan. Pengendalian
penyakit terbagi atas beberapa cara yaitu kimia, fisik, dan biologi. Penelitian ini
menggunakan pengendalian secara biologi. Agens hayati yang digunakan pada
penelitian ini yaitu Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp..
Hasil uji antagonisme dengan metode langsung menunjukkan bahwa
T. harzianum mampu menghambat pertumbuhan Botryodiplodia sp. hingga 99.2%
dan 70.4% berturut-turut pada PDA dan Czapex Agar. Gliocladium sp. mampu
menghambatannya sebesar 86.4% dan 63.0% berturut-turut pada PDA dan Czapex
Agar. Hasil uji antagonis dengan metode tak langsung menunjukkan bahwa filtrat
T. harzianum dan Gliocladium sp. memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan Botryodiplodia sp. sebesar 13.42% dan 10.25% pada media PDB
berbeda nyata dengan kontrol. Pemberian suspensi T. harzianum maupun
Gliocladium sp. sebagai tindakan pencegahan mampu menghambat penyakit mati
pucuk oleh Botryodiplodia sp. sebesar 100%. Mekanisme penghambatan
T. harzianum dan Gliocladium sp. terhadap Botyodiplodia sp. diduga secara
antibiosis, kompetisi, dan mikoparasitik.
Kata kunci: Botryodiplodia sp., Gliocladium sp., Trichoderma harzianum

v


SUMMARY
ETI ARTININGSIH OCTAVIANI. Potency of Biological Agent Trichoderma
harzianum and Gliocladium sp. for Controlling Botryodiplodia sp. on Jabon
(Anthocephalus cadamba). Supervised by ACHMAD and ELIS NINA
HERLIYANA.
Botryodiplodia sp. could causes dieback disease on jabon (Anthocephalus
cadamba). Dieback disease causes a decrease in the quality and economic value of
jabon seedlings in the nursery. Research on control of jabon disease was still rare.
Control of the disease was divided into three ways, namely chemical, physical, and
biological. The study was used biological ways. Biological agents are used in this
study was Trichoderma harzianum and Gliocladium sp..
The results of in vitro test showed that T. harzianum antagonism with the
direct method able to inhibit the growth of Botryodiplodia sp. about 99.2% and
70.4% respectively on PDA and Czapex Agar. Gliocladium sp. able to inhibit the
growth of Botryodiplodia sp. about 86.4% and 63.0% respectively on the PDA and
Czapex Agar. Results of antagonist test with indirect methods showed that the
filtrate of T. harzianum and Gliocladium sp. has the ability to inhibit the growth of
Botryodiplodia sp. on PDB respectively 13.42% and 10.25% significantly different
from controls. Distribution of T. harzianum and Gliocladium sp. suspension as a

prevention could inhibit dieback disease by Botryodiplodia sp. about 100%.
Inhibitory mechanism of T. harzianum and Gliocladium sp. are with antibiotic,
competition, and micoparasitic.
Key words : Botryodiplodia sp., Gliocladium sp., Trichoderma harzianum

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

POTENSI Trichoderma harzianum DAN Gliocladium sp. UNTUK

PENGENDALIAN Botryodiplodia sp. PADA JABON
(Anthocephalus cadamba)

ETI ARTININGSIH OCTAVIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Bonny PW Soekarno, MS


ix

Judul Tesis
Nama
NIM

: Potensi Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp. untuk
Pengendalian Botryodiplodia sp. pada Jabon (Anthocephalus
cadamba)
: Eti Artiningsih Octaviani
: E451130256
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Achmad, MS
Ketua

Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi
Anggota


Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Januari 2015

Tanggal Lulus:

x

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tesis dengan judul “Potensi Trichoderma harzianum dan
Gliocladium sp. untuk Pengendalian Botryodiplodia sp. pada Jabon

(Anthocephalus cadamba)” dapat diselesaikan.
Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Achmad,
MS dan Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi selaku komisi pembimbing atas
bimbingan, masukan, arahan, dan nasihat selama proses penelitian sampai
penulisan tesis. Selain itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Bonny
Poernomo Wahyu Soekarno, MS selaku penguji luar komisi atas masukan dan
saran dalam penulisan hasil penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada seluruh staf dan rekan-rekan di Laboratorium Patologi Hutan,
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB terutama Ai Rosah Aisah SHut,
MSi atas segala bantuan, masukan, dan dukungan selama penyelesaian penelitian
dan penulisan karya ilmiah ini.
Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada kedua
orang tua tercinta atas segala dorongan, doa dan kasih sayang yang diberikan
kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman
Silvikultur 46, Silvikultur Tropika, tim Hamas II, tim Hamasah, dan rekan-rekan
PPM Al-Iffah yang senantiasa memberi semangat dari awal hingga akhir
penelitian.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat bagi penulis dan yang
memerlukan.
Bogor, Maret 2015

Eti Artiningsih Octaviani

xi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb.Miq)
Cendawan Botryodiplodia sp.
Agens Hayati

2
5
7

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode
Analisis Data


10
10
11
14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

15
20

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25

DAFTAR PUSTAKA

26

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

35

xii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Beberapa jenis Botryodiplodia dan Lasiodiplodia penyebab mati
pucuk pada tanaman kayu
Penghambatan pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. Pada
hari ke-5 oleh T. harzianum dan Gliocladium sp. pada media
PDA dan Czapex Agar
Penghambatan filtrat biakan cendawan agens hayati terhadap
pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp.
Hasil Py-GC-MS filtrat T. harzianum
Hasil Py-GC-MS filtrat Gliocladium sp.
Evaluasi pengendalian hayati secara in vivo

6
15
17
18
19
19

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Profil jabon (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Profil Botryodiplodia sp. (sumber: Barnet & Hunter 1999)
SEM untuk mikoparasit B. theobromae oleh T. harzianum (Th)
dan G. viride. (1) struktur clamp yang dibentuk isolat Th1 (A)
menekan hifa B. theobromae (B). (2) struktur kait (hook) Th2 (A)
melakukan penetrasi pada hifa B. theobromae (B). (3)
berkurangnya turgor dalam hifa B. theobromae (B) akibat
serangan G. virens Gv1 dan Gv2 (A). (sumber: Gupta et al. 1999)
4 Fialid dan konidia T. harzianum (sumber: Ellis et al. 2007)
5 Konidiospor dan konidia Gliocladium sp. (sumber: Ellis et al.
2007)
6 Diagram alir penelitian
7 Denah metode uji ganda
8 Penghambatan pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. (B) oleh
T. harzianum (T) dan Gliocladium sp. (G) pada media PDA (1)
dan Czapex Agar (2)
9 Mekanisme mikoparasit secara mikroskopik antara T. harzianum
(T) dan Gliocladium sp. (G) terhadap Botryodiplodia sp. (B) di
mana pada 1 dan 2 terjadi penetrasi hifa patogen oleh agens hayati
10 Miselia Botryodiplodia sp. (B) setelah 7 hari inkubasi pada
kontrol (K), penambahan filtrat Gliocladium sp. (G) dan
penambahan filtrat T. harzianum (T)

3
5
7

8
9
10
11
16
17
17

xiii

DAFTAR LAMPIRAN
1

Aplikasi in vivo pada bibit jabon dengan pemberian suspensi miselium
Botryodiplodia sp.(B), T. harzianum (T), dan Gliocladium sp.(G).
(K) Kontrol (BG) Pemberian Gliocladium sp. setelah Botryodiplodia sp.
(GB) Pemberian Gliocladium sp.sebelum Botryodiplodia sp.
(BT) Pemberian T. harzianum setelah Botryodiplodia sp., (TB) Pemberian
T. harzianum sebelum Botryodiplodia sp.

33

2

Hasil kromatografi filtrat Gliocladium sp. yang ditumbuhkan selama
7 hari pada media PDB
Hasil kromatografi filtrat T. harzianum yang ditumbuhkan selama
7 hari pada media PDB

33

3

34

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan rakyat merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan masalah
penyediaan kayu untuk berbagai keperluan. Selain itu, hutan rakyat yang dikelola
masyarakat mampu membuka peluang usaha baru yang potensial dan berperan
dalam pengembalian fungsi hutan. Dewasa ini, salah satu jenis kayu yang
dibudidayakan pada hutan rakyat adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Jabon
menjadi salah satu jenis pohon yang banyak diminati untuk dibudidayakan dan
dikembangkan. Jabon termasuk fast growing species (FGS) yang memiliki nilai
manfaat secara ekologi dan ekonomi. Jabon memiliki kemudahan dalam
pemeliharaan karena dapat mengalami pemangkasan alami serta pemasarannya
juga relatif mudah. Menurut Herusansono dan Wahono (2011), harga kayu jabon
siap panen bisa mencapai Rp 1.2-1.4 juta/m3. Potensi ekonomi tersebut ini
diperkuat dengan penelitian Krisnawati et al. (2011) yaitu tegakan jabon umur 5
tahun yang ada di daerah Kalimantan Selatan dan Jawa, memiliki riap diameter
rata-rata 1.2-11.6 cm/tahun dengan riap tinggi rata-rata 0.8-7.9 m/tahun. Data
tersebut juga menggambarkan potensi jabon sebagai jenis yang dapat
diperuntukkan dalam kegiatan penghijauan maupun reklamasi lahan bekas
tambang.
Kebutuhan pasar akan kayu telah mendorong usaha budidaya jabon ini
untuk terus ditingkatkan produktivitasnya. Salah satu faktor suksesnya usaha
adalah mekanisme penyediaan bibit berkualitas yang dilakukan dalam lingkup
persemaian. Bibit jabon memiliki kerentanan terhadap hama dan penyakit yang
dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas bibit yang dihasilkan. Penyakit yang
menyerang jabon di persemaian di antaranya yang telah dilaporkan adalah
penyakit mati pucuk yang disebabkan Rhizoctonia solani (Rahman et al. 1997),
penyakit bercak daun yang disebabkan Colletotrichum sp. (Anggraeni 2009) dan
penyakit mati pucuk yang disebabkan Botryodiplodia sp. (Aisah 2014).
Penyakit mati pucuk oleh Botryodiplodia sp. dapat menyerang bibit jabon
yang masih rentan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kualitas bibit hingga
kematian pada bibit tersebut. Selain itu, Botryodiplodia sp. dikenal sebagai
patogen dengan lebih dari 500 inang (Abdollahzadeh et al. 2010; Ismail et al.
2012). Cendawan ini dilaporkan telah menyebabkan penyakit mati pucuk pada
tanaman mangga (Khanzada et al. 2004), shisham (Muehlbach et al. 2010), pir
(Pyrus sp.) (Shah et al. 2010), karet (Rahman et al. 1997), dan kakao (Mbenoun et
al. 2008). Serangan yang terjadi di persemaian rentan dengan penyebaran yang
meluas sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi pelaku
usaha persemaian. Gejala penyakit ini diawali dengan membusuknya bagian daun
pada satu atau beberapa spot hingga akhirnya membentuk area nekrosis yang
lebih besar. Setelah itu, daun akan mati secara simultan. Oleh karena itu,
diperlukan langkah pengendalian penyakit untuk menekan potensi kematian
sekaligus meminimalkan kerugian yang diakibatkan oleh serangan tersebut. Salah
satu pengendalian penyakit yang efektif dan ramah lingkungan yaitu pengendalian
secara hayati. Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan melibatkan agens
hayati yang bersifat antagonis dengan patogen Botryodiplodia sp.. Cendawan

2
Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp. telah dikenal sebagai agens hayati
yang potensial (Abadi 1987; Achmad 1997; Gupta et al. 1999; Sinaga et al. 2001;
Ellis et al. 2007; Amalia et al. 2008; Retnosari 2011).
Studi tentang identifikasi agen penyebab penyakit dan pengujian
patogenisitas serta virulensinya telah dilakukan oleh Aisah (2014) sehingga
diperlukan studi lanjut tentang pengendalian penyakit mati pucuk khususnya
secara hayati. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dilakukan kegiatan uji
antagonis secara in vitro dan aplikasi secara in vivo sebagai salah satu acuan
dalam penentuan langkah pengendalian penyakit mati pucuk tersebut secara
biologis.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan agens hayati yang paling efektif
di antara Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp. dalam menghambat
pertumbuhan patogen secara in vitro dan menguji keefektifan kedua agens hayati
dalam menghambat pertumbuhan patogen dalam skala in vivo serta menduga
mekanisme penghambatan yang dilakukan T. harzianum dan Gliocladium sp.
terhadap Botryodiplodia sp..

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang tindakan
pengendalian secara hayati dengan melibatkan agens hayati T. harzianum dan
Gliocladium sp. terhadap Botryodiplodia sp. sebagai penyebab penyakit mati
pucuk pada bibit jabon khususnya di persemaian.

TINJAUAN PUSTAKA

Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)
Klasifikasi Jabon
Jabon termasuk jenis tanaman pionir yang dapat membentuk kelompok hutan
alam murni pada tempat yang bebas persaingan cahaya. Perbanyakan jabon dapat
dilakukan melalui biji atau stek. Biji yang digunakan sebagai benih, perlu disemaikan
terlebih dahulu dalam bak kecambah. Semai yang telah mencapai ukuran tinggi 3 cm
dapat dipindah ke bedeng penyapihan. Setelah mencapai tinggi 20 sampai 30 cm,
semai dapat ditanam di lapangan pada awal musim hujan (Martawijaya et al. 1981).
Tanaman jabon memiliki banyak nama lokal di beberapa negara,
diantaranya yaitu common bur-flower (Inggris), kaatoan bangkal (Filipina),
kadam (Prancis), kalempayan (Malaysia), jabon (Indonesia), dan takoo
(Thailand). Di Indonesia sendiri, jabon memiliki beberapa nama lokal, antara lain

3
hanja, kelampeyan, jabon (Jawa); galupai, kelampai, johan (Sumatera); ilan,
kelampayan, taloh (Kalimantan); sugi mania, pekaung, pute (Sulawesi);
gumpayan, kelapan, mugawe (NTB); dan aparabire, masarambi (Papua)
(Martawijaya et al. 1981; Orwa et al. 2009). Berdasarkan sistem klasifikasi, jabon
digolongkan sebagai berikut (Gautam et al. 2012; Soerianegara & Lemmens
1993):
Kingdom
: Plantae
Sub Kingdom
: Tracheobionta
Kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Neolamarckia F. Bosser
Spesies
: Neolamarckia cadamba (Roxb.)
Sinonim
: Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq
Anthocephalus indicus A. Rich

Keterangan gambar :
1. Pohon
2. Daun dan buah
3. Bunga
4. Infructescense
Gambar 1 Profil jabon (sumber: Soerianegara & Lemmens 1993)
Jabon di Indonesia saat ini memiliki prospek tinggi sebagai komoditi hutan
tanaman industri dan tanaman penghijauan karena pertumbuhannya yang cepat,
mampu beradaptasi pada beberapa kondisi tempat tumbuh yang marjinal dan
perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah (Krisnawati et al. 2011). Jabon
memiliki beberapa manfaat antara lain kayu digunakan sebagai bahan baku kayu
lapis, konstruksi ringan, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran,
korek api, sumpit, dan pensil (Soerianegara & Lemmens 1993). Jabon bermanfaat
pula sebagai obat dan hasil uji farmakologi bersifat sebagai antioksidan dan
antimikroba (Umachigi et al. 2007).
Penyakit pada Tanaman Jabon
Penyakit yang mengganggu tanaman jabon yaitu berupa rontoknya sebagian
atau seluruh daun dan mati pucuk yang disebabkan oleh Gloeosporium
anthocephali (Soerianegara & Lemmens 1993). Sementara itu, penyakit yang
ditemukan mengganggu jabon di persemaian yaitu bercak daun yang disebabkan
oleh Colletotrichum sp. (Anggraeni 2009) dan mati pucuk yang disebabkan oleh
R. solani (Rahman et al. 1997).
Menurut Anggraeni (2009), kerusakan akibat penyakit bercak oleh
Colletotrichum sp. bergantung pada jenis tanaman inangnya. Tanaman inang yang

4
lemah, maka tanaman tidak hanya mengalami kerontokan daun tetapi mengalami
mati pucuk atau bahkan mati total. Adapun kerugian yang ditimbulkan oleh
penyakit mati pucuk pada tanaman jabon belum banyak dilaporkan. Akan tetapi,
penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan pada bibit jabon dengan persentase
kematian antara 5-15% (Cahyadi E 27 Maret 2013, komunikasi pribadi dalam
Aisah 2014). Penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang disebabkan oleh
Botryodiplodia sp. dapat menyebabkan kematian bibit hingga 15% khususnya
ditemukan pada persemaian di daerah Bogor. Gejala mati pucuk pada bibit jabon
diawali dengan nekrosis pada batang hingga pucuk dan batang mengering hingga
tidak mampu menopang daun. Gejala mati pucuk pada bibit jabon ditemukan pada
bibit jabon dengan rentang umur 2 sampai 6 bulan (Aisah 2014).
Gejala dan Penyebab Penyakit Mati Pucuk
Penyakit mati pucuk memiliki gejala berupa nekrotik ekstensif yang dimulai
dari bagian ujung tanaman dan berkembang menuju bagian pangkal. Biasanya
terjadi secara tiba-tiba dan kerusakan berupa kematian dapat terjadi pada pucuk
serta bagian ujung pertumbuhan. Gejala lain dari penyakit ini adalah terjadi
perubahan warna daun dari hijau tua menjadi kuning, pengurangan ukuran daun,
pengguguran daun, dan gumosis. Penyakit mati pucuk dapat menyerang tanaman
kayu dan semak, dan dapat terjadi di area pertanaman atau persemaian (Agrios
2005; Douglas 2009; Ahmad et al. 2012).
Kerusakan akibat penyakit mati pucuk telah banyak dilaporkan terutama
terjadi pada hutan tanaman di wilayah Asia dan Eropa. Beberapa tanaman yang
pernah dilaporkan yaitu tanaman shisham (Dalbergia sissoo) di Banglades
(Rajput et al. 2008) dan Pakistan (Ahmad et al. 2012), akasia (Acacia mangium
Willd.) di Indonesia (Tarigan et al. 2010), dan ash (Fraxinus excelsior L.) di
Eropa (Kräutler & Kirisits 2012). Selain itu, penyakit mati pucuk dilaporkan oleh
Rahman et al. (1997) mengganggu tanaman karet (Hevea brasiliensis Müll. Arg.),
jabon (A. cadamba), dan keora (Sonneratia apetala Buch.-Ham.) pada fase semai.
Penyakit mati pucuk dapat mengancam usaha produksi kayu karena
berpotensi menyebabkan kematian pada tanaman, baik pada fase semai maupun
pohon. Anderson et al. (2002) melaporkan bahwa kejadian penyakit mati pucuk
pada tanaman akasia (A. koa) di Mauna Loa, Hawaii berkisar antara 66-86%.
Sementara itu, berdasarkan pengamatan pada 4 lokasi persemaian di sekitar
kampus IPB Dramaga, yaitu 3 persemaian di Kecamatan Dramaga dan 1
persemaian di Kecamatan Kemang, penyakit mati pucuk dapat menyebabkan
kematian terhadap bibit jabon dengan persentase antara 1-15%.
Gejala mati pucuk umumnya disebabkan oleh parasit-parasit lemah. Infeksi
patogen sangat dipengaruhi oleh kondisi tanaman inang. Beberapa patogen yang
dilaporkan menyebabkan gejala mati pucuk yaitu Rhizoctonia spp.,
Fusarium oxysforum, dan Lasiodiplodia theobromae (Semangun 2006;
Muehlbach et al. 2010).
Lasiodiplodia sp. merupakan nama lain dari Botryodiplodia sp.
Lasiodiplodia sp. ditemukan terutama di daerah tropis dan subtropis yang dapat
menyebabkan berbagai jenis penyakit pada tanaman. Cendawan L. theobromae
merupakan anggota dari Botryosphaeriaceae, dikenal sebagai patogen dengan
lebih dari 500 inang (Abdollahzadeh et al. 2010; Ismail et al. 2012). Cendawan ini
dilaporkan telah menyebabkan penyakit mati pucuk pada tanaman mangga

5
(Khanzada et al. 2004), shisham (Muehlbach et al. 2010), pir (Pyrus sp.) (Shah et
al. 2010), karet (Rahman et al. 1997), dan kakao (Mbenoun et al. 2008).
Cendawan Botryodiplodia
Taksonomi dan Morfologi
Taksonomi Botryodiplodia (Alexopoulus et al. 1960) adalah sebagai
berikut:
Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Spesies
: Botryodiplodia sp.
Cendawan Botryodiplodia (sinonim Lasiodiplodia) merupakan cendawan
yang bereproduksi secara aseksual (anamorf). Cendawan Botryodiplodia memiliki
fase seksual atau telemorf yang bergantung pada spesiesnya, seperti fase telemorf
jenis Botryodiplodia theobromae adalah cendawan Botryosphaeria rhodina. Jenis
Botryodiplodia cukup banyak namun secara taksonomi morfologis cukup
membingungkan (Burgess et al. 2006). Berdasarkan penelusuran melalui
MycoBank (www.mycobank.org), jumlah jenis Botryodiplodia sebanyak 224
jenis sejak tahun 1884 sedangkan Lasiodiplodia terdata berjumlah 30 jenis. Nama
Botryodiplodia pertama kali digunakan sebagai subdivisi dari jenis Diplodia oleh
Saccardo tahun 1880 dan pertama kali digunakan sebagai nama jenis oleh
Saccardo pada tahun 1884 pada jenis Botryodiplodia juglandicola (Schw.) Sacc.
dengan sinonim Sphaeria juglandicola Schw. (Crous & Palm 1999).

2
3

Keterangan gambar :

1
4

1.
2.
3.
4.

Piknidia
Konidiofor
Konidia muda
Konidia matang.

Gambar 2 Profil Botryodiplodia sp. (sumber : Barnet & Hunter 1999)
Jenis Botryodiplodia cukup banyak namun secara taksonomi morfologis
cukup membingungkan (Burgess et al. 2006). Cendawan Botryodiplodia secara
morfologi dicirikan dengan konidia yang khas dan pertumbuhannya yang cepat
pada media agar. Jenis B. theobromae merupakan jenis dominan dari genus
Botryodiplodia yang menjadi patogen pada beberapa tanaman berkayu khususnya

6
dominan di daerah tropis (Punithalingham 1980 dalam Burgess et al. 2006).
Menurut Gandjar et al. (1999), koloni B. theobromae pada media OA (Oatmeal
Agar) dan PDA (Potatoes Dextrose Agar) membentuk miselia aerial yang lebat
dan berwarna coklat tua dengan piknidia muncul berupa klaster dalam stromata,
berbentuk bulat dengan leher panjang dan berwarna gelap hitam kehijauan,
sedangkan fialid berbentuk silindris dan berukuran 5 sampai 12 µm x 2 sampai 4
µm serta konidia bersel dua bila tua, berukuran 22 sampai 28 µm x 12 sampai 15
µm, berbentuk elips, berwarna coklat tua dan memiliki garis-garis longitudinal.
Pematangan konidia B. theobromae berjalan lambat. Beberapa jenis
Botryodiplodia atau Lasiodiplodia dilaporkan menjadi patogen mati pucuk pada
beberapa tanaman berkayu (Tabel 1).
Tabel 1 Beberapa jenis Botryodiplodia dan Lasiodiplodia penyebab mati pucuk
pada tanaman berkayu
No.
1.

Jenis Patogen
B. theobromae

2.

B. theobromae

Jenis Inang
Sengon (Albizia
falcataria)
Kakao (Theobroma cacao)

Sumber Pustaka
Sharma & Shankaran (1988)

3.

B. theobromae

Jeruk (Citrus spp.)

4.

B. theobromae

5.
6.
7.

B. theobromae
Botryodiplodia sp.
L. theobromae

8.
9.

L. theobromae
L. theobromae

10.

L. theobromae

11.
12.

L. theobromae
L. theobromae

13.

L. theobromae

14.

L. pseudotheobromae

Annona squamosa dan
Annona cherimola
Pear (Prunus spp.)
Jabon (A. cadamba)
Pinus taeda L, pinus
elliotii Elngm
Aprikot Jepang, Persik
Mangga (Mangifera indica
L)
Gravepine (Vitis vinifera
L)
Syzygium cordatum
Grivellea robusta
Cunn.ex.R.Br
Sawo Mamey (Pouteria
sapota)
Mangga (M. indica L)

15.

L. egyptiacae

Mangga (M. indica L)

Ismail et al. (2012)

16.
17.

B. theobromae
Botryodiplodia sp.

Jabon (A. cadamba)
Jabon (A. cadamba)

Winara (2014)
Aisah (2014)

Semangun (2000); Mbenon et
al. (2008); Kannan et al.
(2010)
Alam et al. (2001); Salamiah
et al. (2008)
Haggag & Nofal (2006)
Shah et al. (2010)
Herliyana et al. (2012)
Cillier et al. (1993)
Li et al. (1995)
Khanzada et al. (2004); Ismail
et al. (2012)
Torres et al. (2008);
AlSaadon et al.(2012)
Pavlic et al. (2007)
Njugana (2011)
Pedraza et al. (2013)
Ismail et al. (2012)

Selain menjadi patogen mati pucuk pada bibit jabon, B. theobromae menjadi
patogen mati pucuk pada beberapa tanaman lainnya antara lain sengon (Sharma &
Shankaran 1988), mangga (Khanzada et al. 2004; Ismail et al. 2012), Pinus spp.
(Cillier et al. 1993), G. robusta (Njugana 2011), S. cordatum (Pavlic et al. 2007),
P. sapota (Pedraza et al. 2013), aprikot dan persik (Li et al. 1995), kakao

7
(Semangun 2000; Mbenon et al. 2008; Kannan et al. 2010), jeruk (Alam et al.
2001; Salamiah et al. 2008), srikaya (Haggag & Nofal 2006), pir (Shah et al.
2010) dan V. vinifera (Torres et al. 2008; Al-Saadon et al. 2012).
Penelitian tentang pengendalian B. theobromae telah dilakukan oleh Gupta
et al. (1999) dengan menggunakan beberapa jenis agens hayati.

Gambar 3 SEM untuk mikoparasit B. theobromae (B) oleh T. harzianum (Th) dan
G. viride. (1) struktur clamp yang dibentuk isolat Th1 (A) menekan hifa
B. theobromae (B). (2) struktur kait (hook) Th2 (A) melakukan
penetrasi pada hifa B. theobromae (B). (3) berkurangnya turgor dalam
hifa B. theobromae (B) akibat serangan G. virens Gv1 dan Gv2 (A).
(sumber: Gupta et al. 1999)
Kedua isolat T. harzianum yaitu Th1 dan Th2 didapatkan hasil bahwa
interaksi yang teramati adalah penetrasi terhadap hifa patogen. Isolat Th1
membentuk struktur seperti appresorium pada ujung hifanya yang mencapai hifa
patogen dan membantu proses penetrasi sehingga dapat mendegradasi dinding sel
patogen. Th1 terkadang membagi ujung hifanya menjadi dua cabang untuk
menekan hifa patogen. Hifa utama dari isolat Th1 menghasilkan bentukan kait
seperti cabang yang melakukan penetrasi sehingga terbentuk belitan dan
mengakibatkan kerusakan pada miselia patogen (Gupta et al. 1999).
Mekanisme Infeksi Patogen
Patogen tumbuhan umumnya merupakan mikroorganisme yang tidak dapat
menggunakan kekuatan sendiri untuk menginfeksi inang. Patogen yang dapat
menginfeksi atau memenetrasi tanaman inang secara langsung dapat
menggunakan kekuatan mekanik. Mekanisme lain yang digunakan patogen untuk
menyebabkan penyakit pada tanaman inang adalah kekuatan kimia seperti enzim,
toksin, zat pengatur tumbuh, dan polisakarida (Agrios 2005).
Penetrasi secara langsung terhadap tanaman inang diantaranya dapat
dilakukan oleh cendawan patogen. Untuk melewati rintangan fisik pada tanaman
inang, cendawan membentuk struktur infeksi yang memungkinkan dia untuk
memenetrasi dinding sel. Sekresi enzim atau peningkatan tekanan pada struktur
infeksi dapat membantu proses penetrasi (Mendgen et al. 1996).
Banyak dari cendawan patogen tumbuhan membentuk apresorium untuk
memenetrasi jaringan tanaman. Selama proses penetrasi, apresorium akan
menempel dengan kuat pada permukaan inang, kemudian menghasilkan kapak

8
penetrasi untuk menembus kutikula dan dinding sel tanaman. Kebanyakan
apresorium dalam proses penetrasi mengandung melanin yang berwarna gelap
(Agrios 2005; Huang 2001).
Cendawan patogen dapat juga memiliki beberapa zat kimia yang dapat
menyebabkan tumbuhan terserang diantaranya enzim, toksik, dan zat pengatur
tumbuh. patogen tumbuhan juga menghasilkan zat pengatur tumbuh. Secara
umum, enzim patogenik tumbuhan menghancurkan komponen struktural sel
inang, kemudian memecah substansi di dalam sel atau mempengaruhi komponen
dari membran dan protoplas. Enzim yang digunakan oleh patogen untuk
menginfeksi tanaman inang diantaranya adalah protease, pektinase, selulase, dan
ligninase (Semangun 2006; Agrios 2005). Toksin merupakan substansi yang
sangat beracun dan berfungsi efektif dalam konsentrasi yang sangat rendah
(Agrios 2005). Zat pengatur tumbuh dari patogen tumbuhan dapat menyebabkan
sistem hormonal tumbuhan inang menjadi tidak seimbang sehingga menghasilkan
pertumbuhan abnormal (Agrios 2005).
Agens Hayati
Penggunaan agens hayati merupakan salah satu alternatif yang dianggap
efektif dan dapat memberikan hasil yang memuaskan. Berbagai jenis antagonis
telah dilakukan dan dipelajari kemungkinan penggunaannya untuk pengendalian
penyakit pada tanaman, seperti Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. (Darmono
1997). Menurut Bruehl (1987) dalam Widyastuti (2007), meskipun pengendalian
hayati tampaknya tidak seefektif pengendalian secara kimiawi, tetapi hasilnya
dapat berjangka panjang bahkan permanen, tidak menyebabkan polusi atau
gangguan bagi kesehatan manusia, sehingga secara ekonomi cukup kompetitif
terhadap pengendalian yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pengendalian
secara hayati dapat memenuhi kriteria langkah pengendalian penyakit secara
keseluruhan aspek yaitu teknis, ekonomi, ekologi dan sosial.
Menurut Agrios (2005), jamur ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Sub division : Deuteromycotina
Kelas
: Hyphomycetes
Ordo
: Moniliales
Famili
: Moniliaceae
Genus
: Trichoderma
Spesies
: Trichoderma harzianum Rifai

Gambar 4 Fialid dan konidia T. harzianum (sumber: Ellis et al. 2007)

9
Trichoderma harzianum termasuk kelas Hypomycetes dan ordo Moniliales
(Agrios 2005). Tahun 1969 Rifai mengadakan revisi terhadap spesies yang ada
dan menggolongkan Trichoderma ke dalam 9 Species. Diantara spesies tersebut
terdapat 5 spesies yang paling banyak digunakan sebagai agen pengendalian
hayati dalam pengendalian penyakit tanaman yaitu ; T. hamatum, T. harzianum,
T. koningii, T. viridae dan T. pseudokoningii (Papavizas 1985).
Koloni dari genus Trichoderma sp. tergolong kompak. Kekompakan ini
berhubungan dengan struktur konidiofornya, sebagian besar koloni membentuk
zona mirip cincin yang khas dan jelas. Warna koloni ada yang kekuningan, kuning
dan hijau. Pada ujung konidiofor berbentuk seperti botol. Konidia berwarna hijau
dan jernih, bentuk konidia sebagian besar bulat (Rifai 1969).
Selain T. harzianum, terdapat beberapa jenis cendawan lain yang banyak
digunakan dalam pengendalian hayati. Salah satunya adalah Gliocladium sp.
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), Gliocladium sp. diklasifikasikan:
Kingdom
: Mycetaceae
Divisio
: Amastigomycota
Sub Divisi
: Deuteromycotina
Class
: Deuteromycetes
Ordo
: Hypocreales
Famili
: Hypocreaceae
Genus
: Gliocladium
Species
: Gliocladium spp.

Gambar 5 Konidiospor dan konidia Gliocladium sp. (sumber: Ellis et al. 2007)
Baker dan Cook (1974) menyatakan bahwa efektivitas antagonis umumnya
terjadi dalam tiga tipe yaitu (1) antibiosis dan lisis, (2) persaingan atau kompetisi
dan (3) parasitisme dan predasi. Antibiosis adalah proses penghambatan terhadap
suatu organisme oleh metabolit sekunder yang dihasilkan oleh organisme lain,
aktivitas antibiosis umumnya menghambat pertumbuhan dan kemungkinan
mematikan organisme lain, sedangkan lisis biasanya menyebabkan kerusakan,
penguraian atau dekomposisi zat-zat biologis. Persaingan atau kompetisi biasanya
terhadap nutrisi dan faktor-faktor pertumbuhan tertentu. Parasitisme dan predasi
terjadi dengan merusak dinding sel dan isi sel patogen. Beberapa mekanisme
biokontrol telah diidentifikasi pada pengendalian hayati, yaitu mikoparasitisme
yang melibatkan enzim pendegradasi dinding sel, kompetisi nutrisi, produksi
metabolit sekunder yang bertindak sebagai antibakteri atau antijamur, dan
produksi metabolit yang dapat menginduksi ketahanan tanaman (Punja & Utkhede
2003; Harman 2006; Shoresh et al. 2010 dalam Widyastuti 2007). Pemodelan dan

10
studi penelitian telah menunjukkan bahwa pengendalian hayati yang efektif harus
mampu melakukan lebih dari satu mekanisme biokontrol (Xu et al. 2011).
Menurut Lewis dan Papavizas (1984), Trichoderma sp. menghasilkan
sejumlah besar enzim ekstraseluler β-1.3-glukonase dan kitinase selama tumbuh
aktif yang dapat melarutkan dinding sel patogen. Gliocladium sp. merupakan
cendawan saprofitik yang dapat berperan sebagai antagonis efektif untuk
mengendalikan patogen tanaman, terutama patogen tanah. Beberapa metabolit
sekunder yang dihasilkan Gliocladium sp. antara lain gliotoksin, viridian, dan
paraquinon yang bersifat fungitoksik terhadap patogen (Roseline 2000). Beberapa
laporan menyebutkan bahwa Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. mampu
menghambat pertumbuhan patogen antara lain Cylindrocladium sp. (Amalia et al.
2008) dan Phytium sp. (Octriana 2011). Beberapa spesies Gliocladium juga
memproduksi siklik peptida dengan sifat antibakteri, seperti diketopiperazine
(Koolen et al. 2011). Senyawa lain yang memiliki kemampuan menghasilkan
antibiotik dari beberapa spesies Gliocladium lainnya termasuk p-terphenyl (Guo
et al. 2007) dan poliketida (Kohno et al. 2000). Antibiotik menghambat E.
carotovora diproduksi oleh Gliocladium sp. TNC73 lebih cenderung menjadi
bentuk diketopiperazine atau bentuk peptida siklik lainnya, terphenyl atau
poliketida daripada peptaibol linier.

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Percobaan dilaksanakan dari bulan Februari 2014 sampai dengan Mei 2014.
Tahap penelitian secara in vitro dilakukan di Laboratorium Patologi Hutan dan
tahapan in vivo dilakukan di rumah kaca Bagian Perlindungan Hutan, Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Analisis komponen
kimia melalui Pyrolisis Gas Chromatography Mass Spectrometry (Py-GC-MS)
dilakukan di Litbang Hasil Hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Gunung Batu, Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan berupa isolat cendawan
antagonis yaitu Trichoderma harzianum dan Gliocladium sp.. Keduanya hasil
isolasi dari tanah yang merupakan koleksi SEAMEO Biotrop. Isolat cendawan
patogen Botryodiplodia sp. hasil isolasi dari bibit jabon yang terindikasi penyakit
mati pucuk pada penelitian Aisah (2014). Bahan penelitian lainnya berupa air
steril, media Potato Dextrose Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB), Czapex
Agar, kertas saring Whattman no.1, kertas saring standar dan syiringe filter 0.2
µm.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya laminar air flow,
autoclave, oven, cawan petri, tabung reaksi, penggaris, jarum oose, cork borer,
sudip, botol semprot, labu erlenmeyer, dan inkubator.

11
Metode Penelitian
Penelitian ini diawali dengan peremajaan isolat cendawan patogen dan
agens hayati. Kegiatan utama yang dilakukan terdiri atas 2 tahapan, yaitu: tahap in
vitro dan in vivo. Tahapan in vitro terdiri atas uji antagonis dan identifikasi
antibiosis. Tahapan in vivo terdiri atas penyiapan bibit jabon dan inokulasi
cendawan (patogen dan agens hayati) pada bibit jabon. Tahapan kegiatan
ditunjukkan dalam Gambar 6.
Peremajaan isolat cendawan

Tahap In vitro
Uji antagonis secara in vitro (metode
langsung dan tak langsung)
Identifikasi antibiosis agens hayati

Tahap In vivo
Penyiapan Bibit Jabon
Inokulasi patogen dan agens
hayati pada bibit jabon

Gambar 6 Diagram alir penelitian
Peremajaan Cendawan Patogen dan Agens Hayati
Isolat Botryodiplodia sp., T. harzianum, dan Gliocladium sp. ditumbuhkan
pada media PDA dalam cawan petri. Koloni cendawan yang tumbuh dimurnikan
pada media PDA yang telah diberi chloramphenicol. Selanjutnya, isolat disimpan
untuk digunakan pada uji antagonisme in vitro dan uji keefektifan agens hayati
secara in vivo.
Antagonisme In vitro Metode Langsung
Uji antagonisme in vitro dengan metode langsung dilakukan dengan uji
ganda (dual culture) (Benhamou & Chet 1993 dalam Purwantisari & Hastuti
2009) pada media PDA dan Czapex Agar. Penggunaan kedua media dikarenakan
adanya hipotesis bahwa ekspresi antibiosis berupa zona bening pada antagonisme
in vitro dipengaruhi oleh media yang digunakan. Achmad et al. (2010)
mempelajari antagonisme pada media padat yang melibatkan T. harzianum, zona
penghambatan terbentuk baik pada PDA maupun MEA, akan tetapi zona
penghambatan pada antagonisme yang melibatkan T. pseudokoningii hanya
terbentuk pada MEA. Agens hayati T. harzianum dan Gliocladium sp.
diinokulasikan pada media dengan jarak 3 cm dari koloni cendawan patogen
Botryodiplodia sp.. Tiap perlakuan dilakukan sebanyak 3 ulangan. Pengamatan
dilakukan dengan mengukur jari-jari koloni cendawan patogen yang menjauhi
koloni agens hayati (R1) dan jari-jari koloni cendawan patogen yang mendekati
agens hayati (R2), serta menghitung penghambatan agens hayati (H). Pengamatan
dimulai 12 jam setelah kedua patogen uji diinokulasikan sampai hari ketujuh
setelah perlakuan.

12

R1

3cm

P

R2

3cm

A

Keterangan :
P :Koloni cendawan patogen
A :Koloni cendawan agens hayati
R1 :Jari-jari koloni patogen menjauhi koloni agens hayati
(mm)
R2 :Jari-jari koloni patogen mendekati koloni agens hayati
(mm)

Gambar 7 Denah metode uji ganda
Interaksi agens hayati dengan patogen dalam pengendalian hayati terjadi
dalam bentuk antibiosis, kompetisi, dan mikoparasitisme (Baker & Cook 1974).
Zona penghambatan yang terbentuk antara koloni patogen dan koloni agens hayati
pada pengujian antagonisme in vitro merupakan indikasi bekerjanya mekanisme
antibiosis (Fravel 1988). Zona penghambatan tersebut secara visual berupa zona
bening. Besarnya pengaruh penghambatan agens hayati terhadap patogen dihitung
dengan menggunakan rumus persentase.
H = (R1-R2) x 100%
R1
Keterangan :
H : Persentase penghambatan agens antagonis (%)
R1 : Jari-jari koloni patogen yang menjauhi koloni agens antagonis (mm)
R2 : Jari-jari koloni patogen yang mendekati koloni agens antagonis (mm)
Catatan : bila koloni pertumbuhan patogen sudah tertutup oleh koloni agens
hayati, maka dianggap persentase penghambatan agens hayati (H) = 100%
Antagonisme Metode Tak Langsung
Uji antagonisme metode tak langsung dilakukan dengan cara mengamati
pengaruh filtrat biakan agens hayati terhadap pertumbuhan patogen (Achmad
1997). Media yang digunakan dalam tahap ini adalah PDB. Tiga potong koloni
agens hayati (Ø 7 mm) dimasukkan ke dalam 100 mL media PDB dalam labu
erlenmeyer 250 mL kemudian diinkubasi selama 7 hari pada suhu kamar. Setelah
masa inkubasi berakhir, filtrat dipisahkan dari miselia cendawan melalui
penyaringan dengan menggunakan kertas saring steril.
Filtrat agens antagonis diambil sebanyak 3 mL dan ditambahkan 20 mL
media PDB di dalam labu erlenmeyer 50 mL. Tiga potong koloni patogen ditanam
di dalamnya. Kontrol dibuat dengan mengganti media perlakuan dengan media
PDB dengan volume yang sama. Labu perlakuan maupun kontrol diinkubasi
selama 7 hari pada suhu kamar. Miselia patogen disaring lalu ditentukan bobotnya
setelah dikeringkan dalam oven 60°C selama 24 jam. Persentase penghambatan
ditunjukkan oleh selisih bobot miselia perlakuan terhadap bobot miselia kontrol
dibagi bobot miselia kontrol.

13
Analisis Komponen Kimia Agens Hayati
Sebelum dilakukan analisis, kultur isolat cendawan disiapkan terlebih
dahulu pada media PDB (Potato Dextrose Broth). Satu potong inokulum
cendawan (Ø 7 mm), dimasukkan ke dalam 100 mL media PDB dalam labu
erlenmeyer volume 250 mL, lalu diinkubasi selama 1 minggu pada suhu ruang.
Setelah masa inkubasi, suspensi media PDB dipisahkan dari biomassa isolat
dengan menggunakan kertas saring Whattman no. 1. Suspensi media selanjutnya
disentrifuse dengan kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit untuk mendapatkan
supernatan filtrat tersebut. Hasil proses tersebut disaring kembali dengan syringe
filter berukuran pori membran sebesar 0.2 μm. Perlakuan tersebut merupakan
modifikasi dari Achmad (1997). Selanjutnya hasil saringan akan digunakan dalam
antagonis metode tak langsung dan sebagai bahan analisis kualitatif aktivitas
metabolit sekunder yang diproduksi oleh cendawan. Kegiatan ini dilakukan
dengan metode analisis Py-GC-MS.
Pirolisis kromatografi gas spektrometri massa (Py-GC-MS) adalah metode
instrumental yang memungkinkan karakterisasi dan makromolekuler volatil dan
kompleks yang ditemukan di hampir semua materi di dalam lingkungan alam.
Perbedaan antara Py-GC-MS dengan GC-MS terletak pada jenis contoh yang
digunakan dan metode yang diperkenalkan ke sistem GC-MS. Py-GC-MS
dilakukan di Laboratorium Hasil Hutan, Puslitbang Kehutanan Bogor dengan
menggunakan alat Shimadzu Type GCMS-QP2010. Alat ini bekerja pada suhu
pirolisis 280 °C selama 1 jam, suhu injeksi 280 °C, dan suhu awal kolom 50 °C.
Identifikasi senyawa dilakukan dengan mencocokkan data waktu retensi,
spektrum masa beserta fragmentasi ion suatu senyawa dengan data yang ada
dalam pangkalan data WILEY 7th library.
Penyiapan Bibit Jabon
Bibit jabon diperoleh dari persemaian sekitar kampus IPB Darmaga yang
memiliki vigor relatif baik dan sehat. Penelitian Aisah (2014) yang bertujuan
untuk menguji virulensi patogen pada jabon. Bibit yang digunakan berasal dari
pohon yang sama dengan umur dan pertumbuhan yang seragam. Umur bibit jabon
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2 bulan. Hal ini dikarenakan gejala
penyakit mati pucuk pada bibit jabon muncul pada umur 2-6 bulan (Arshinta
2013; Aisah 2014). Jumlah bibit yang diperlukan 3 buah bibit per perlakuan.
Inokulasi Botryodiplodia sp. dan Agens Hayati pada Bibit Jabon
Teknik pengendalian hayati yang dilakukan dengan cara penyemprotan
suspensi agens hayati (Hartal et al. 2010). Penyemprotan dilakukan pada lokasi
pelukaan dengan dua cara yaitu sebelum dan setelah inokulasi patogen. Suspensi
berasal dari biakan murni cendawan agens hayati dalam media PDA yang telah
berumur 7 hari. Tujuan pembuatan suspensi cendawan dengan penyertaan media
PDA adalah menunjang kebutuhan nutrisi cendawan agens hayati. Hal ini
berkaitan dengan pola ekologi dari agens hayati yang merupakan cendawan tanah.
Potongan biakan sebesar 4 cm2 dihaluskan kemudian campur dengan air steril
sebanyak 50 mL. Pucuk batang yang akan dilukai terlebih dahulu harus
dibersihkan dengan kapas beralkohol 70% lalu dinetralkan dengan pemberian air
steril. Bagian batang dilukai menggunakan jarum steril sebanyak 3 lubang
kemudian diberikan suspensi sesuai perlakuan yang diterapkan. Bagian batang

14
yang telah dilukai dan diberi perlakuan ditutup dengan menggunakan alumunium
foil dan diinkubasi selama 3 hari. Waktu inkubasi ditentukan berdasarkan waktu
yang diperlukan cendawan untuk mencapai penuh cawan dan hasil penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan. Botryodiplodia sp. dapat menyebabkan gejala
awal 3 hari setelah diinokulasi (Aisah 2014; Winara 2014). Evaluasi gejala
penyakit dilakukan setiap hari selama 7 hari. Gejala penyakit yang muncul pada
bagian yang diinokulasi selanjutnya akan direisolasi, kemudian diidentifikasi dan
dibandingkan dengan isolat sebelumnya. Apabila isolat cendawan yang
diinokulasikan menghasilkan gejala yang identik dengan gejala mati pucuk dan
teridentifikasi sebagai cendawan yang sama dengan isolat sebelumnya.
Efektivitas Penghambatan Patogen oleh Agens Hayati
Evaluasi penghambatan pada tanaman ditentukan berdasarkan tingkat
kejadian penyakit (Ahmad et al. 2012). Persentase tingkat kejadian penyakit
dihitung sebagai berikut:
KjP = n × 100%
N
Keterangan: KjP = Kejadian Penyakit
n = Jumlah tanaman yang sakit
N = Jumlah tanaman yang diamati

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap uji antagonis secara in
vitro metode langsung adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) in time sedangkan
metode tak langsung menggunakan RAL. Rancangan Lingkungan yang digunakan
pada tahap aplikasi secara in vivo adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial
(RAL Faktorial). Analisis yang dilakukan menggunakan Uji F (ANOVA), apabila
hasil menunjukkan perlakuan berbeda nyata maka dilakukan Uji Perbandingan
Berganda Duncan (Duncan's Multiple Range Test). Analisis dilakuakn pada
selang kepercayaan 95% (α = 0.05) menggunakan εicrosoft Excel dan software
SAS versi 9.1.3.
Rumus umum RAL in time yang digunakan sebagai berikut:

Yij = μ + τi +

(i)k

+ Wj + (τW)ij +

ijk

Keterangan:
Yij
= Pengamatan pada perlakuan agens hayati
μ
= Rataan Umum
τi
= Pengaruh perlakuan agens hayati
= Pengaruh acak pada perlakuan agens hayati
(i)k
Wj
= Pengaruh waktu (cm/hari)
(τW)ij = Interaksi antara perlakuan agens hayati dan waktu (cm/hari)
= Pengaruh acak pada perlakuan agens hayati, waktu (cm/hari), dan
ijk
ulangan

15
Rumus umum RAK Faktorial yang digunakan yaitu:

Yij = μ + αi + βj + (αβ)ij +

ij

Keterangan:
Yij
= Pengamatan pada perlakuan pemberian agens hayati
μ
= Rataan Umum
βj
= Pengaruh waktu penyemprotan
αi
= Pengaruh perlakuan pemberian agens hayati
(αβ)ij = Interaksi antara faktor waktu dan pemberian agens hayati
= Pengaruh acak pada perlakuan pemberian agens hayati dan
ij
waktu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Antagonis In vitro Metode Langsung
Hasil uji antagonis dengan metode langsung menunjukkan bahwa T.
harzianum menghambat pertumbuhan Botryodiplodia sp. pada hari ke-5 hingga
99.2% dan 70.4% berturut-turut pada PDA dan Czapex Agar, sedangkan
Gliocladium sp. mampu menghambat Botryodiplodia sp. sebesar 86.4% dan 63%
berturut-turut pada PDA dan Czapex Agar (Tabel 2).
Tabel 2 Penghambatan pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. pada hari ke-5
oleh T. harzianum dan Gliocladium sp. pada media PDA dan Czapex Agar
Agens hayati

Media

T. harzianum

PDA
Czapex Agar
PDA
Czapex Agar

Gliocladium sp.

Rata-rata Penghambatan
(%)
99.2a
70.4b
86.4b
63.0b

Penghambatan yang dilakukan kedua agens hayati terhadap Botryodiplodia
sp. lebih tinggi dibandingkan penghambatannya terhadap Cylindrocladium sp.
yaitu sebesar 24.2% dan 19.3% berturut-turut oleh Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. pada media PDA (Amalia et al. 2008). Menurut Widyastuti et al.
(1999), bahwa kemampuan isolat Trichoderma spp. dalam menghambat S. rolfsii
berbeda-beda. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi pada kemampuan
T. harzianum dan Gliocladium sp. dalam menghambat berbagai patogen
memberikan hasil yang berbeda-beda.

16

Gambar 8 Penghambatan pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. (B) oleh
T. harzianum (T) dan Gliocladium sp.(G) pada media PDA (1) dan
Czapex Agar (2)
Pengamatan terhadap kemampuan penghambatan dilakukan setiap 12 jam.
Pada pengamatan ke-14 didapatkan data bahwa kedua jenis antagonis yaitu
T. harzianum dan Gliocladium sp. menghambat Botryodyplodia sp. sebesar 100%
pada PDA, sedangkan pada Czapex Agar hanya T. harzianum yang mampu
mencapai penghambatan sebesar 100% (Gambar 6). Kandungan nutrisi pada PDA
lebih tinggi dibandingkan Czapex Agar terlihat dari ketebalan miselia yang
tumbuh (Gambar 7). Penghambatan yang dilakukan oleh kedua antagonis relatif
stabil. Menurut Hjeljord dan Tronsmo (1998), ada 3 keunggulan dari
pengendalian hayati menggunakan fungi antagonis khususnya Trichoderma spp.
yaitu penghambatan bersifat dinamis, mampu berkompetisi dalam jangka waktu
panjang, dan mikoparasit agresif. Antagonisme T. harzianum dan Gliocladium sp.
terhadap Botryodiplodia sp. tidak menghasilkan zona penghambatan baik pada
PDA maupun Czapex. Hal ini berbeda dengan Achmad (1997) yang menyatakan
bahwa antagonisme antara T. harzianum dengan Fusarium oxysporum dan
Rhizoctonia solani menimbulkan zona penghambatan berturut-turut sebesar 5.8
mm dan 2.4 mm pada PDA. Zona penghambatan menunjukkan adanya antibiosis.
Hasil uji antagonis metode langsung menunjukkan bahwa tidak terjadi mekanisme
antibiosis yang ditandai dengan tidak terbentuknya zona penghambatan berupa
zona bening antara patogen dan antagonisnya.

17

5µm

Gambar 9 Mekanisme mikoparasit secara mikroskopik antara T. harzianum (T)
dan Gliocladium sp.(G) terhadap Botryodiplodia sp.(B) di mana pada 1
dan 2 terjadi penetrasi hifa patogen oleh agens hayati
Antagonisme dengan Metode Tak Langsung
Hasil uji antagonis dengan metode tak langsung menunjukkan bahwa filtrat
T. harzianum dan Gliocladium sp. memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan Botryodiplodia sp. sebesar 13.42% dan 10.25% pada media PDB.
Kemampuan penghambatan ditentukan dengan pengukuran bobot kering miselia
Botryodiplodia sp. antara kontrol dibandingkan dengan bobot kering miselia yang
diberika perlakuan penambahan filtrat antagonis. Penghambatan Botryodiplodia
sp. oleh filtrat T. harzianum dan Gliocladium sp. berbeda nyata terhadap kontrol.
Tabel 3 Penghambatan filtrat biakan agens hayati terhadap pertumbuhan miselia
Botryodiplodia sp.
Perlakuan
Kontrol
Filtrat T. harzianum
Filtrat Gliocladium sp.

Rataan Bobot Miselia Kering (g)
0.205
0.177
0.184

K

B

G

B

K

B

Penghambatan (%)
0.00b
13.42a
10.25a

T

b
B

Gambar 9 Miselia Botryodiplodia sp. (B) setelah 7 hari inkubasi : Kontrol (K),
penambahan filtrat Gliocladium sp. (G), penambahan filtrat T.
harzianum (T).
Menurut Achmad (1997), persentase penghambatan oleh filtrat
T. harzianum pada media cair ME terhadap R. solani dan F. oxysporum berturutturut sebesar 86.87% dan 60.87%. Penghambatan yang dilakukan oleh filtrat
T. harzianum pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan yang telah dilakukan
oleh Achmad (1997). Menurut Adiningsih (2014), persen penghambatan yang
dihasilkan dalam uji antagonis dengan metode tak langsung pada media kultur cair
yang telah ditambahkan filtrat T. harzianum terhadap pertumbuhan

18
Botryodiplodia sp. yaitu 16 % pada media PDB dan 12 % pada media PFB. Dengan
demikian, dapat diduga bahwa nilai penghambatan oleh T. harzianum akan lebih
tinggi bila dilakukan di dalam media cair ME dibandingkan PDB maupun PFB.
Kemungkinan lain yang terjadi yaitu masa inkubasi mempengaruhi besarnya
metabolit yang dikeluarkan. Aktifitas β-1,3-glukanase yang bersifat antipatogen,
dipengaruhi oleh waktu tetapi tidak berhubungan dengan pertumbuhan Cendawan
itu sendiri (Widyastuti dan Budiarti 2005 dalam Widyastuti 2007). Pengaruh
metabolit penghambat pertumbuhan patogen akan ternetralisir bila ditumbuhkan
pada media PDA (Achmad 1997). Proses netralisir juga dimungkinkan terjadi
pada media PDB, yang memiliki bahan dasar yang sama yaitu Potato Dextrose.

Analisis Komponen Kimia Filtrat Agens Hayati
Komponen kimia filtrat T. harzianum dan Gliocladium sp. dianalisis dengan
menggunakan Pyrolysis Gass C