Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau Di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan
METODE PENENTUAN PRIORITAS
RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANJARBARU
KALIMANTAN SELATAN
NIDA HUMAIDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Metode Penentuan
Proritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Februari 2016
Nida Humaida
NRP. P052120091
RINGKASAN
NIDA HUMAIDA. Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau di Kota
Banjarbaru Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan
SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
Efek rumah kaca yang terjadi di kawasan perkotaan dan menyebabkan suhu
udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya disebut
fenomena pulau bahang kota. Salah satu solusi untuk menurunkan suhu udara
perkotaan akibat pulau bahang kota adalah dengan pengadaan ruang terbuka hijau.
Namun metode penyediaan ruang terbuka hijau di Indonesia pada umumnya
hanya mengukur luasan yang diperlukan, bukan lokasi yang pasti dimana ruang
terbuka hijau harus dikembangkan agar berfungsi secara optimal dalam
menurunkan suhu udara perkotaan. Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan
metode penentuan prioritas ruang terbuka hijau berdasarkan karakteristik biologi,
fisik, sosial, dan ekonomi wilayah.
Tahapan penelitian meliputi pengumpulan data, pembentukan data spasial,
dan analisis penentuan prioritas ruang terbuka hijau. Data yang dikumpulkan
meliputi citra Landsat 8 dan beberapa data statistik dari instansi-instansi terkait
(suhu udara dan kelembaban udara relatif, data kependudukan, dan nilai tanah).
Pembentukan data spasial meliputi analisis tipe penutupan lahan (land cover),
indeks kerapatan vegetasi (NDVI) dan indeks kenyamanan (THI), kepadatan
penduduk, dan nilai tanah menjadi data vektor. Analisis penentuan prioritas ruang
terbuka hijau. meliputi tumpang tindih (overlay) semua data vektor dan
pembobotan dimana daerah yang memiliki kerapatan vegetasi jarang, nilai THI
tinggi, jumlah penduduk padat, dengan harga tanah yang lebih rendah menjadi
lokasi prioritas pengembangan RTH untuk menambah proporsi ruang terbuka
hijau wilayah perkotaan.
Studi perbandingan dengan metode-metode yang telah ada dalam
penyediaan ruang terbuka hijau di Kota Banjarbaru terbukti memberikan output
rekomendasi luasan ruang terbuka hijau yang berbeda dan tidak dapat menentukan
lokasi-lokasi mana yang paling memerlukan tambahan ruang terbuka hijau.
Penerapan metode ini di Kota Banjarbaru diperoleh lokasi-lokasi prioritas untuk
pengembangan ruang terbuka hijau baru yaitu meliputi sekitar wilayah lahan
terbangun di Kelurahan Sungai Besar, Komet, Mentaos, dan Sungai Ulin, lahan
bekas galian tambang di Kelurahan Cempaka, wilayah lahan basah di Kelurahan
Landasan Ulin Utara, lahan bekas galian tambang di Kelurahan Cempaka dan
wilayah Bandara Syamsudin Noor. Metode ini dapat diterapkan di kota-kota
tropis lainnya karena kriteria yang dipakai sudah sesuai dengan karakteristik kotakota tropis khususnya kriteria THI dan kriteria NDVI, sementara kriteria
kepadatan penduduk dan nilai tanah disesuaikan dengan karakteristik daerah
masing-masing.
Kata kunci: Banjarbaru, indeks kenyamanan, penginderaan jauh, pulau bahang
kota, ruang terbuka hijau
SUMMARY
NIDA HUMAIDA. Priority Assessment Method of Green Open Space at
Banjarbaru City of South Kalimantan. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO
and SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
The greenhouse effect occurs in an urban area with less vegetation can cause
its air temperature higher than its surroundings (suburban area), known as urban
heat island. One of the solution to decrease the high air temperature is by adding
more green open space. However, green open space planning in Indonesia
concerns mostly about the quantity of green open space (to reach 30% of total
area), not the certain locations where the green open space supposed to be built in
order to cool down urban heat island. The objective of this study was to build a
priority assessment method in determining the new additional green open space
based on biological, physical, social, and economical characteristics of Banjarbaru
City.
The stages of research consisted of inventory data, spatial data
transformation, and green open space priority assessment analysis. The data we
used in this study Landsat 8 satellite imagery and some statistical data from
related state agencies (air temperature, relative humidity, urban population, and
land price). Spatial data formation included estimating land cover types,
normalized difference vegetation index (NDVI), temperature humidity index
(THI), and converting population density and land price into vector data. Scoring
method was intended to select each area with a sparse vegetation density, high
THI value, high population, yet lower land prices to become the highest priority
for green open space development plan in Banjarbaru City.
Comparative study toward other green open space planning methods that
generally used in Indonesia toward Banjarbaru City proved that they gave out
different calculation of green open space needs and still couldn’t determine the
locations which had the urgen needs of green open space. By applying this
method toward Banjarbaru City, the priority locations for new green open space
were located around the urban area in the village of Sungai Besar, Komet,
Mentaos, and Sungai Ulin. There were also wetland area in Landasan Ulin Utara,
mined lands in Cempaka and Syamsudin Noor Airport. This method is also
applicable for other tropical cities since the criteria for THI and NDVI were
formulated to fit tropical urban area, while the criteria for population density and
land price could be vary, depended on each urban’s characteristics.
Keywords: Banjarbaru, green open space, planning, remote sensing, temperature
humidity index, urban heat island
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
METODE PENENTUAN PRIORITAS
RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANJARBARU
KALIMANTAN SELATAN
NIDA HUMAIDA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc.F
Judul Tesis : Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau
di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan
Nama
: Nida Humaida
NIM
: P052120091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Tanggal Ujian: 25 Januari 2016
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini
adalah Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru
Kalimantan Selatan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Prof.Dr.Ir.Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr.Ir.Siti Badriyah Rushayati, M.Si
selaku pembimbing pertama dan kedua, yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kepala Dinas Tata Kota dan Pekerjaan
Umum, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan
Kepala Badan Pertanahan Nasional di Kota Banjarbaru atas bantuannya kepada
penulis selama proses pengumpulan data penelitian.
Ungkapan terima kasih dan rasa hormat kepada ibunda Sa’adiah serta
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih pula penulis
sampaikan kepada Dr.Drs.Krisdianto, M.Sc; Ichsan Ridwan, S.Si, M.Kom; Siti
Hanifah Al Fitri, S.Si, M.Si; dan Virgina Maria Louisa, S.Si, M.Si atas dukungan
dan bantuannya selama penulis berada di wilayah studi penelitian. Penulis juga
sampaikan terimakasih kepada segenap tenaga pengajar dan pegawai Program
Studi PSL SPS IPB serta teman-teman seperjuangan Tri Rahayuningsih,
Nurlailita, Halima Malaka, Tri Tiana Ahmadiputri, Listin Fitrianah, serta semua
pihak yang membantu hingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat sebagai referensi bagi semua
pihak dalam perencanaan pengembangan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan.
Bogor, Februari 2016
Nida Humaida
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP)
Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Efek Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island)
Hutan Kota
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Tahapan Penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau
Hasil Analisis Berbagai Metode Penentuan Luas Ruang Terbuka
Hijau
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
ix
x
x
1
1
3
6
6
6
6
7
7
8
9
9
10
11
11
11
12
12
13
22
22
26
39
43
43
43
44
DAFTAR TABEL
1. Matrik Jenis Data, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data,
Teknik Analisis Data dan Output Penelitian
2. Pembagian Objek Permukaan Berdasarkan Nilai NDVI
3. Nilai ML dan AL masing-masing band TIRS pada Landsat 8
4. Nilai K1 dan K2 AL masing-masing band TIRS pada Landsat 8
5. Nilai Bowen Ratio di Berbagai Tipe Tutupan Lahan
6. Kriteria Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau
7. Daftar Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarbaru
12
15
16
16
20
21
22
x
8. Pembagian Kelas Ketinggian Wilayah Kota Banjarbaru
9. Pembagian kelas kemiringan lereng Kota Banjarbaru berdasarkan
klasifikasi USSM
10. Tipe Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru
11. Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan,
suhu udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan wilayah
administrasi Kota Banjarbaru pada tahun 2014 (dalam oC)
12. Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan,
suhu udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan tipe
penutupan lahan Kota Banjarbaru pada tahun 2014 (dalam oC)
13. Jumlah penduduk dan kepadatan per km2 Kota Banjarbaru
menurut kelurahan pada Tahun 2013
14. Estimasi luas lokasi-lokasi prioritas ruang terbuka hijau yang
diutamakan untuk menurunkan suhu udara Kota Banjarbaru
15. Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru dari
berbagai metode
23
23
28
32
33
35
39
41
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pemikiran
2. Peta Batas Administrasi Kota Banjarbaru
3. Tahapan penelitian
4. Tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial
5. Peta Topografi Wilayah Kota Banjarbaru
6. Peta Kemiringan Lereng Kota Banjarbaru
7. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banjarbaru Tahun 2014
8. Peta Kerapatan Vegetasi Kota Banjarbaru Tahun 2014
9. Peta Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru Tahun 2014
10. Peta Sebaran Suhu Udara Kota Banjarbaru Tahun 2014
11. Grafik Hubungan antara Suhu Udara dan Kelembaban Udara
Relatif Tahun 2014
12. Peta Indeks Kenyamanan (THI) Kota Banjarbaru Tahun 2014
13. Peta Zona Nilai Tanah Kota Banjarbaru Tahun 2013
14. Hasil pembobotan penentuan wilayah prioritas RTH Kota
Banjarbaru
15. Zona wilayah prioritas ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru
berdasarkan harga tanah
4
11
12
14
23
24
25
27
28
31
31
34
36
37
38
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
Penentuan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk
Rekapitulasi RTH Kota Banjarbaru 2008
48
48
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akumulasi gas rumah kaca di atmosfer seperti karbondioksida (CO2), metan
(CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) menimbulkan fenomena alam yang disebut
efek rumah kaca. Gas rumah kaca di atmosfer memantulkan kembali sinar infra
merah yang dipancarkan dari bumi, sehingga sinar tersebut tidak terlepas ke
angkasa luar melainkan terperangkap di troposfer, menyebabkan suhu di troposfer
bumi meningkat (Soedomo 2001). Dalam keadaaan normal, efek rumah kaca
diperlukan agar perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh
berbeda. Kelebihan gas rumah kaca seperti CO2 akan diserap oleh lautan serta
tumbuhan hijau untuk keperluan fotosintesis. Jika komposisi dari gas-gas rumah
kaca ini melebihi kapasitas daya serap lautan dan tumbuhan hijau, maka dapat
menimbulkan peningkatan suhu bumi (pemanasan global). Ketidakseimbangan
dari komposisi gas-gas rumah kaca ini sebagian besar akibat emisi yang
dihasilkan oleh aktivitas manusia.
Dampak negatif dari efek rumah kaca akan lebih terasa di wilayah perkotaan
(urban) yang cenderung memiliki pertumbuhan populasi yang lebih cepat daripada
wilayah suburban dan sedikit wilayah yang tertutupi vegetasi (ruang terbuka
hijau). Gas rumah kaca yang terakumulasi secara berlebihan di kawasan perkotaan
menyerap radiasi gelombang panjang dari matahari, sehingga menyebabkan suhu
udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya seolaholah menciptakan pulau tersendiri. Fenomena ini disebut dengan pulau bahang
kota (urban heat island). Taha (1997) menyatakan urban heat island terjadi saat
permukaan bervegetasi alami telah digantikan oleh permukaan yang non-reflektif,
permukaan tak tembus air yang menyerap radiasi sinar matahari dalam presentase
tinggi. Penelitian dari Rosenfeld et al. (1995) menyimpulkan bahwa terjadi
kenaikan konsumsi listrik 2-4% per kenaikan 1⁰C di 5 kota besar AS. Peningkatan
suhu akibat efek pulau bahang kota dapat meningkatkan konsumsi pendingin
ruangan dan mempercepat terbentuknya kabut asap di perkotaan Pohon yang
rindang (kanopi luas) dan permukaan yang cerah terbukti dapat menurunkan suhu
udara mikro dan mengurangi dampak dari pulau bahang kota. Emmanuel (2005)
menyatakan bahwa ruang terbuka hijau harus menjadi bagian dari strategi mitigasi
untuk mengatasi fenomena pulau bahang kota.
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari
ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman, dan vegetasi jenis endemik maupun introduksi guna
mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh ruang
terbuka hijau dalam kota tersebut yaitu kesehatan, keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan keindahan (Groenewegen et al. 2006; Dixon & Wolf 2007;
Dwiyanto 2005). Krisdianto et al. 2010 menyatakan dalam tahap awal
perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun,
adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang
hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan
terbangun.
2
Penentuan lokasi penambahan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan
Indonesia mengalami beberapa masalah diantaranya adalah populasi manusia
yang cenderung terakumulasi di pusat kota sehingga sulit untuk menambahkan
ruang terbuka hijau publik yang berfungsi secara optimal dalam mendinginkan
suhu udara perkotaan, serta dasar perencanaan ruang terbuka hijau wilayah
perkotaan di Indonesia sejauh ini hanya memperhatikan kuantitas atau jumlah
ruang terbuka hijau. Berbagai metode pendekatan dalam penyediaan ruang
terbuka hijau kawasan perkotaan di Indonesia diantaranya adalah penyediaan
ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan fungsi
tertentu, kebutuhan oksigen, jumlah penyerapan emisi CO2, dan persepsi
masyarakat.
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah perkotaan
ditetapkan dalam Undang Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yakni paling sedikit 30% dari total luas wilayah perkotaan. Proporsi ini dianggap
sebagai ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik
keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Perencanaan
ruang terbuka hijau kawasan perkotaan di Indonesia pada umumnya cenderung
untuk memenuhi proporsi tersebut yang terdiri atas 20% ruang terbuka hijau
publik dan 10% ruang terbuka hijau privat.
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dan
kebutuhan fungsi tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5
Tahun 2008 mengenai pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau
di kawasan perkotaan dengan ketentuan jumlah penduduk beserta luasannya
disajikan pada Lampiran 1. Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan
kebutuhan fungsi tertentu dalam hal ini adalah untuk perlindungan/pengamanan,
sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam,
pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar
fungsi utamanya tidak teganggu. Ruang terbuka hijau pada kategori ini meliputi
jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan, listrik tegangan tinggi,
RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH
sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen
menggunakan rumus dari metode Gerakis (1974) yang dimodifikasi oleh Wisesa
(1988) yakni menentukan luas ruang terbuka hijau berdasarkan dari total jumlah
hasil kali antara kebutuhan oksigen per orang dengan jumlah penduduk,
kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor dengan jumlah kendaraan bermotor,
dan kebutuhan oksigen per industri dengan jumlah industri, yang kemudian dibagi
dengan konstanta rataan oksigen yang dihasilkan hutan kota. Penyediaan ruang
terbuka hijau berdasarkan penyerapan emisi CO2 ditentukan dari perhitungan total
emisi CO2 dari sektor transportasi, permukiman, dan industri (dalam satuan
kg/jam) dikurangi daya serap RTH eksisting (Setiawan & Hermana 2013).
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan persepsi masyarakat pada umumnya
merupakan kajian deskriptif kualitatif berdasarkan kondisi biofisik kawasan dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Metode-metode tersebut jika
digunakan secara terpisah, maka akan menghasilkan output yang berbeda.
3
Metode penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah, jumlah
penduduk, kebutuhan oksigen, dan penyerapan emisi CO2 yang masih berfokus
pada kuantitas RTH yang diperlukan dan masing-masing dapat menghasilkan
rekomendasi luasan RTH yang berbeda. Metode-metode tersebut juga belum bisa
menentukan prioritas lokasi yang strategis untuk ditambahkan RTH yang baru
untuk menurunkan suhu perkotaan. Sementara penyediaan ruang terbuka hijau
berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu dan persepsi masyarakat lebih
memperhatikan aspek kualitas, yaitu fungsi ruang terbuka hijau dan tidak
menentukan luasan dalam angka. Oleh karena itu, diperlukan metode baru yang
cepat dan akurat dengan representasi spasial yang meliputi semua aspek biologi,
fisik, sosial, dan ekonomi untuk memberikan gambaran lokasi prioritas di wilayah
perkotaan untuk ditambahkan ruang terbuka hijau yang baru, sehingga aspek
kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau yang akan direkomendasikan ke depan
menjadi tepat sasaran dalam upaya menciptakan lingkungan yang hijau, asri, dan
nyaman.
Kerangka Pemikiran
Penentuan lokasi yang tepat untuk pengembangan ruang terbuka hijau
memerlukan suatu kajian ilmiah yang terukur dari berbagai aspek suatu wilayah,
diantaranya aspek biologi, fisik, sosial, dan ekonomi. Manusia cenderung hidup
dalam kelompok dan untuk mendapatkan lebih dekat menuju fasilitas umum
membuat mereka mengkonsumsi lebih banyak ruang terbuka untuk perumahan
atau melakukan aktivitas mereka. Populasi manusia yang tinggi cenderung disertai
dengan tingginya aktivitas transportasi dan konsumsi oksigen yang besar,
sehingga menyebabkan tingginya jumlah emisi CO2. Pesatnya pertumbuhan
populasi manusia, peningkatan jumlah lahan terbangun, dan emisi CO2 yang
tinggi dari aktivitas manusia telah menjadi faktor utama yang mengurangi jumlah
ruang terbuka perkotaan, menyebabkan peningkatan suhu udara perkotaan.
Metode penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan metode analisis
spasial yang paling tepat untuk menganalisis efek pulau bahang kota secara
keseluruhan dan menentukan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas pengembangan
ruang terbuka hijau baru dalam fungsinya untuk mendingankan suhu perkotaan.
Analisis dengan menggunakan penginderaan jauh (remote sensing) memiliki
prinsip dasar berupa perekaman informasi dengan menggunakan radiasi yang
dipancarkan oleh matahari atau sumber energi lainnya akan dipantulkan kembali
oleh permukaan bumi dan atmosfer dalam bentuk reflektansi permukaan. Hasil
pantulan tersebut akan direkam oleh sensor suhu dari satelit untuk memperoleh
informasi tentang suhu permukaan bumi.
Banyak penelitian menggunakan suhu permukaan yang direkam oleh satelit
penginderaan jauh sebagai indikator dari pulau bahang kota. Seperti yang
dilakukan oleh Jo et al. (2000) yang mengukur suhu permukaan yang direkam
oleh citra satelit Landsat TM band 6 terhadap di kota Seoul (Korea Selatan),
menunjukkan suhu permukaan tinggi terdapat di wilayah pemukiman dan industri,
sedangkan temperatur rendah terdapat di wilayah hijau seperti hutan dan area
pertanian. Oleh karena itu, penambahan vegetasi hijau di wilayah permukiman
dan industri sangat diperlukan untuk menurunkan suhu seperti yang telah
disimpulkan dalam penelitian Rushayati et al. (2011) bahwa ruang terbuka hijau
4
harus dikembangkan di lokasi dengan suhu udara yang tinggi untuk menciptakan
iklim mikro yang nyaman.
Hung et al. (2005) menggunakan aspek fisik dan biologi dari wilayah kotakota besar di Asia untuk menentukan hubungan antara fenomena pulau bahang
kota dengan karakteristik tutupan lahan dengan melakukan tumpang tindih
(overlay) peta penutupan lahan, kerapatan vegetasi (NDVI), dan suhu permukaan.
Norton et al. (2015) telah melakukan metode penentuan prioritas pembangunan
infrastruktur ruang terbuka hijau dengan menggunakan aspek fisik dan sosial
wilayah sebagai kriteria, yaitu nilai suhu permukaan yang diekstraksi dari foto
udara dan data LIDAR, nilai kerentanan yang berasal dari data kependudukan, dan
nilai paparan perilaku yang berasal dari letak fasilitas publik. Norton menentukan
lokasi prioritas ruang terbuka hijau sebagai lokasi dengan suhu permukaan yang
lebih tinggi, padat penduduk, dengan aktivitas publik yang tinggi.
Metode yang akan dirumuskan pada penelitian ini menggunakan citra
Landsat 8 yang dapat didownload secara gratis dari website USGS (U.S.
Geological Survey) dan memiliki kualitas data yang lebih tinggi daripada citra
Landsat versi sebelumnya. Secara garis besar, metode yang akan dibangun pada
penelitian ini berdasarkan bagan kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar
1.
Metode Penentuan Prioritas RTH Kota
Aspek Biologi
- Tutupan Lahan
(Land Cover)
- Kerapatan
Vegetasi
Aspek Fisik
- Indeks
Kenyamanan
(THI)
Aspek Sosial
- Kepadatan
penduduk
(jumlah/km2)
Aspek
Ekonomi
- Nilai tanah
Analisis Spasial
Rekomendasi daftar lokasi penambahan RTH
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Aspek biologi yang diukur diantaranya analisis penutupan lahan (land
cover) dan indeks vegetasi. Indeks vegetasi (NDVI) menggambarkan nilai
kerapatan dan tingkat kehijauan biomassa sehingga daerah dengan nilai NDVI
rendah (lahan kosong, lahan terbangun, rumput dan semak belukar dengan kisaran
5
nilai NDVI 0 – 0.3) akan diputuskan sebagai daerah prioritas RTH. Indeks
kenyamanan (THI) digunakan sebagai aspek fisik yang terukur mengantikan suhu
permukaan untuk mendeteksi fenomena pulau bahang kota karena
menggambarkan pengaruh suhu udara dan kelembaban terhadap kenyamanan
manusia. Faktor kepadatan penduduk sebagai aspek sosial yang terukur
ditambahkan karena fenomena pulau bahang kota cenderung ditemukan di
kawasan urban yang padat penduduk. Nilai tanah sebagai bagian dari aspek
ekonomi digunakan untuk memperkirakan nilai lokasi prioritas ruang terbuka
hijau yang akan dibeli serta untuk menggambarkan nilai opportunity cost (biaya
kesempatan) suatu area jika dikonversi menjadi ruang terbuka hijau daripada
peruntukan lain dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Dari penelitian ini, hasil
overlay dari semua aspek diharapkan tidak hanya menggambarkan fenomena
pulau bahang kota berdasarkan karakteristik tutupan lahan, tetapi juga dapat
menggambarkan prioritas kebutuhan suatu wilayah perkotaan akan ruang terbuka
hijau sebagai solusi untuk mendinginkan suhu udara perkotaan akibat pulau
bahang kota.
Penelitian ini memilih Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan,
sebagai wilayah studi penelitian dengan alasan kota ini telah mengalami gejala
awal dari efek pulau bahang kota yaitu peningkatan populasi penduduk,
bertambahnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, dan terjadi peningkatan
suhu udara tiap tahunnya. Kota Banjarbaru saat ini mengalami peningkatan suhu
udara selama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan BMKG Kota Banjarbaru,
suhu rata-rata kota Banjarbaru pada tahun 2014 adalah 28.3⁰C, lebih tinggi dari
suhu rata-rata pada tahun 2010 yaitu 27.9⁰C.
Kota Banjarbaru berkembang sangat pesat sejak diputuskan sebagai ibukota
Kalimantan Selatan menggantikan Kota Banjarmasin pada tahun 2011.
Sebelumnya kota ini merupakan kota administratif yang berasal dari pemekaran
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Adapun alasan mengapa Kota Banjarbaru
dijadikan pusat pemerintahan Provinsi karena Kota Banjarmasin dipandang sudah
terlalu padat penduduk dan tidak nyaman untuk ditinggali. Kota Banjarmasin
tercatat memiliki jumlah penduduk sebanyak 648,029 jiwa pada tahun 2012 dan
sekitar 45% penduduknya terakumulasi di Kecamatan Banjarmasin Selatan dan
Banjarmasin Barat dengan kepadatan tertinggi mencapai 13,701 jiwa/km2. Kota
Banjarmasin berkembang menuju kota besar yang menjadikan kota ini memiliki
banyak masalah, seperti kemacetan, tata ruang kota yang semakin sempit, jumlah
penduduk yang semakin bertambah, kebersihan kota yang semakin parah, dan lain
lain.
Sejak dipindahkannya pusat pemerintah provinsi di Kota Banjarmasin ke
Kota Banjarbaru dan pertumbuhan ekonomi yang pesat telah memberikan
konsekuensi semakin bertambahnya jumlah lahan terbangun. Kota Banjarbaru
memiliki luas 37.130 ha dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 tercatat
214.287 jiwa. Pada sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kota
Banjarbaru hanya 75.648 jiwa kemudian meningkat secara pesat hingga 199 627
jiwa pada tahun 2010. Berdasarkan data dari BPS Kota Banjarbaru, laju
pertumbuhan penduduk di Kota Banjarbaru adalah 4.88%. Angka tersebut jauh
lebih tinggi daripada laju pertumbuhan rata-rata penduduk Kalimantan Selatan
yakni 1.98%. Pada tahun 2008 tercatat ketersediaan RTH Kota Banjarbaru dari
Dinas Tata Ruang Kota Banjarbaru adalah 7,219 ha atau hanya 19.44% dari
6
keseluruhan luas wilayahnya. Hingga tahun 2011, sebesar 12 998.3 ha atau lebih
kurang 30% wilayah Kota Banjarbaru telah berubah menjadi permukiman.
Jumlah penduduk di Kota Banjarbaru terus berkembang dengan adanya
perpindahan penduduk dari luar Kota Banjarbaru, baik dari Kalimantan sendiri
maupun dari luar Kalimantan. Perkembangan penduduk ini beriringan dengan
semakin terbukanya wilayah Kota Banjarbaru seperti untuk kawasan permukiman,
pusat pendidikan, pusat perkantoran, serta Bandar Udara Syamsudin Noor
maupun peruntukan yang lain. Jika dengan pertumbuhan kota yang pesat namun
sistem tata kota yang diterapkan masih sama, tidak menutup kemungkinan
beberapa tahun mendatang Kota Banjarbaru akan menjadi Kota Banjarmasin
kedua. Analisis spasial yang cepat dan akurat dengan menggunakan penginderaan
jauh (remote sensing) diperlukan dalam menentukan lokasi-lokasi yang menjadi
prioritas untuk ditambahkan RTH baru, karena penyebaran penduduk Kota
Banjarbaru tidak merata. Oleh karena itu, metode yang akan dirumuskan dalam
penelitian ini dianggap cocok untuk diaplikasikan di Kota Banjarbaru yang mulai
menunjukkan gejala pulau bahang kota dan sebagai bagian dari strategi penataan
ruang terbuka hijau sejak dini untuk mempertahankan faktor kenyamanan kota.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang telah dibangun,
maka dirumuskan permasalahan bagaimana merumuskan metode untuk
menentukan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas pengembangan RTH untuk
menambah proporsi ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru secara spasial dengan
memperhatikan aspek biologi, fisik, sosial, dan ekonomi dari wilayah Kota
Banjarbaru.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan metode penentuan prioritas
ruang terbuka hijau berdasarkan karakteristik biologi, fisik, sosial, dan ekonomi
kawasan perkotaan dan mengaplikasikannya di Kota Banjarbaru.
Manfaat Penelitian
Metode yang telah dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat
digunakan menjadi referensi acuan bagi para peneliti dalam menentukan lokasi
prioritas ruang terbuka hijau di kota tropis lainnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji karakteristik suatu wilayah
berdasarkan tipe penutupan lahan, kerapatan vegetasi, distribusi indeks
kenyamanan, kependudukan, serta nilai tanah dengan pendekatan metode
penginderaan jauh sebagai kriteria untuk menentukan prioritas pengembangan
ruang terbuka hijau kawasan perkotaan.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP)
Ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan secara umum terdiri dari
ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. RTH perkotaan adalah bagian
dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung
manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat
ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat
berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB)
yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan
sebagai genangan retensi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyebutkan bahwa ruang terbuka adalah
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam
ruang terbuka hijau, pemanfatannya lebih bersifat pengisian tanaman hijau atau
tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan
pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan
yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas
pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan
hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau selama
ini diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan
struktur vegetasinya (Fandeli 2004).
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat
liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami
atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Dari segi
fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan
ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah
banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk
RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan
kota, taman botani, sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-budaya
keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana
rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi
sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU
dan sebagainya.
Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan
kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan
jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi
ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi
lahan pertanian/perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata
hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Sementara itu, secara
struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan
konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang
8
berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai,
sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis
dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH
perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman
regional/nasional. Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang
dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi)
yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.
Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan
kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat dan
dinamis. RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun
juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk
kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar.
Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu model RTH sebagai ventilasi kota, yang
menjadi sumber udara segar dan bersih, yang disusun mengelilingi dan struktur
kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi yang dapat
mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota dan mengalirkan udara bersih.
Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi
manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan
kelembaban.
Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan
memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga
dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman
dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan
suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat
kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang
(Carpenter et al. 1975). Simonds (1983) menyatakan RTH dapat membentuk
karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya.
Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga
kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2)
paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6)
sebagai unsur dan sarana pendidikan. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.05/PRT/M/2008, fungsi RTH memiliki fungsi utama (intrinsik)
sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan jaminan pengadaaan RTH menjadi
bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro,
peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air hujan, penyedia habitat
satwa dan penahan angin. Fungsi tambahan (ekstrinsik) dari RTH adalah:
1) Fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya
lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah
dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam,
2) Fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti
tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha
pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya.
3) Fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan dan keindahan lingkungan
kota, sehingga dapat menstimulus kreativitas dan produktivitas warga kota,
serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan
tidak terbangun.
9
Efek Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island)
Efek rumah kaca yang terjadi ketika emisi gas CO2 yang terakumulasi
secara berlebihan akibat berbagai aktivitas manusia di perkotaan menyerap radiasi
balik berupa radiasi gelombang panjang. Akibatnya radiasi gelombang panjang
terperangkap di atmosfer khususnya troposfer di atas perkotaan, dan
menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
sekitarnya seolah-olah menciptakan pulau panas tersendiri, maka kondisi seperti
ini disebut dengan efek pulau bahang. Iklim perkotaan dapat berbeda cukup jauh
dengan iklim pedesaan dalam hal besarannya tergantung pada kondisi cuaca,
karakteristik termofisika dan geometris perkotaan, serta kelembaban antropogenik
dan sumber panas yang terdapat di daerah tersebut. Suatu pulau bahang kota dapat
terjadi pada berbagai skala dan dapat terjadi di sekitar bangunan tunggal, kanopi
vegetasi yang kecil, atau sebagian besar dari wilayah perkotaan (Taha 1997;
Voogt 2002).
Haq (2011) menyimpulkan bahwa efek pulau bahang kota dapat
meningkatkan suhu perkotaan hingga 5 oC. Menggunakan vegetasi untuk
mengurangi biaya energi dari alat pendingin ruangan telah semakin diakui sebagai
penghematan biaya yang efektif dengan meningkatkan ruang terbuka hijau dan
penanaman pohon di perkotaan. Hasil penelitian dari Rosenfeld et al. (1995) juga
membuktikan bahwa peningkatan suhu akibat efek pulau bahang kota
meningkatkan konsumsi pendingin ruangan dan mempercepat terbentuknya kabut
asap di perkotaan. Pohon yang rindang (kanopi luas) serta permukaan yang cerah
dapat menurunkan suhu udara mikro sehingga menghemat konsumsi energi listrik
dan mengurangi efek dari pulau bahang kota.
Hutan Kota
Hutan kota merupakan bentuk persekutuan vegetasi pohon yang mampu
menciptakan iklim mikro dan lokasinya di perkotaan atau dekat kota. Hutan di
perkotaan ini tidak memungkinkan berada dalam areal yang luas. Bentuknya juga
tidak harus dalam bentuk blok, akan tetapi hutan kota dapat dibangun pada
berbagai penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan kriteria untuk menetapkan
bentuk dan luasan hutan kota. Kriteria penting yang dapat dipergunakan adalah
kriteria lingkungan. Hal ini berkaitan dengan manfaat penting hutan kota berupa
manfaat lingkungan yang terdiri atas konservasi mikroklimat, keindahan, serta
konservasi flora dan kehidupan liar (Fandeli 2004). Secara umum bentuk hutan
kota adalah :
1. Jalur Hijau. Jalur Hijau berupa peneduh jalan raya, jalur hijau di bawah kawat
listrik, di tepi jalan kereta api, di tepi sungai, di tepi jalan bebas hambatan.
2. Taman Kota. Taman Kota diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata
sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya hasil rekayasa manusia,
untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah.
3. Kebun dan Halaman. Jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman
biasanya dari jenis yang dapat menghasilkan buah.
4. Kebun Raya, Hutan Raya, dan Kebun Binatang. Kebun raya, hutan raya dan
kebun binatang dapat dimasukkan ke dalam salah satu bentuk hutan kota.
10
5.
Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, maupun dari daerah lain baik
dalam negeri maupun luar negeri.
Hutan Lindung, daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan
hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan
akan abrasi air laut (Dahlan 1992).
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni dalam memperoleh
informasi mengenai suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan alat tanpa suatu kontak langsung (Lillesand et al. 2008). Sistem
Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan
untuk menyimpan, mengelola, menganalisis, dan mengaktifkan atau memanggil
kembali data yang mempunyai referensi keruangan, untuk berbagai tujuan yang
berkaitan pemetaan dan perencanaan. Kedua macam teknologi ini sangat
bermanfaat dalam pengelolaan informasi keruangan mengenai kondisi permukaan
(dan dekat permukaan) bumi. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya,
teknologi tersebut cenderung diintegrasikan demi peningkatan efisiensi perolehan
serta akurasi hasil pemetaannya, sebagai masukan dalam proses perencanaan dan
pengelolaan wilayah.
Bidang penginderaan jauh menggunakan citra sebagai data yang masih perlu
dianalisis dan diinterpretasi untuk menghasilkan informasi turunan. Informasi
turunan ini biasanya berupa peta dengan tema isi yang sesuai dengan kebutuhan
kajian. Citra digital penginderaan jauh dapat berupa system perekaman oleh
satelit, airborne scanner, dan juga pesawat ulang alik. Sistem satelit hingga saat
ini dipandang sebagai sistem penginderaan jauh antariksa yang paling mapan dan
mendapat perhatian besar untuk dikembangkan menjadi sistem yang sepenuhnya
operasional. Berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu satelit cuaca dan satelit sumberdaya. Berdasarkan cara
orbitnya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan satelit geostasioner
(satelit sinkron bumi) dan satelit sinkron matahari. Satelit geostasioner diorbitkan
pada ketinggian 36 000 km di atas bumi pada posisi geostasioner, yang merekam
wilayah yang sama terus menerus sepanjang hari, tetapi dengan liputan yang
sangat luas, sebagai contoh adalah satelit cuaca seperti GOES dan GMS. Satelit
sinkron matahari (satelit berorbit polar) mengorbit bumi dengan ketinggian
berkisar antara 600 – 1000 km, dengan melewati atau hampir melewati kutub,
selalu bergerak memotong arah rotasi bumi sehingga dapat meliput hampir
seluruh bagian permukaan bumi. Hampir semua satelit sumberdaya adalah satelit
sinkron matahari, seperti Landsat, SPOT, ERS, dan JERS (Danoedoro 2012).
11
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan
Selatan. Kota Banjarbaru secara geografis terletak di antara 3o25’40” Lintang
Selatan - 3o28’37” Lintang Selatan dan 114o41’22” Bujur Timur - 114o54’25”
Bujur Timur, dengan luas 371.3 km2 (37 130 ha). Wilayah penelitian meliputi 5
wilayah kecamatan pada wilayah adminsitratif Kota Banjarbaru yaitu Banjarbaru
Utara, Banjarbaru Selatan, Landasan Ulin, Liang Anggang dan Cempaka, , yang
masing-masing terdiri atas empat kelurahan. Penelitian dilakukan September 2014
sampai bulan April 2015. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta Batas Administrasi Kota Banjarbaru
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
yang dilengkapi dengan software ArcGIS 9.3, Erdas 9.1, Google Earth Pro, dan
Microsoft Excel. Peralatan penunjang lainnya adalah GPS dan kamera digital.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra Landsat 8 path/row: 117/062
dengan tanggal akuisisi 25 Agustus 2014, peta batas administrasi Kota Banjarbaru
dari BAPPEDA Kota Banjarbaru, data kependudukan dari BPS Kota Banjarbaru,
12
data klimatologi berupa suhu udara dan kelembaban relatif dari Stasiun Klas I dan
II BMKG Kota Banjarbaru, data nilai tanah dari BPN Provinsi Kalimantan
Selatan.
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data spasial dan
statistik Kota Banjarbaru, pembentukan data spasial, survey lapangan / observasi
dan analisis spasial dalam rangka menentukan prioritas ruang terbuka hijau Kota
Banjarbaru, masing-masing tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Pengumpulan Data :
Peta citra, peta batas administrasi, data
klimatologi (suhu udara dan
kelembaban udara relatif), data
kependudukan, dan data nilai tanah
Pembentukan Data Spasial :
Klasifikasi penutupan lahan, kerapatan
vegetasi, sebaran indeks kenyamanan
(THI), kepadatan penduduk , dan nilai
tanah
Survey
Lapangan
Analisis Spasial :
Tumpang-tindih Peta
(Overlay) dan
Pembobotan (Scoring)
Prioritas Ruang
Terbuka Hijau
Kota Banjarbaru
Gambar 3 Tahapan penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, data yang dikumpulkan secara ringkas dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Matrik Jenis Data, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik
Analisis Data dan Output Penelitian
Jenis Data
Peta Citra
Landsat 8
Peta Batas
Administratif
Kota Banjarbaru
Teknik
Sumber Data Pengumpulan
Data
- Pustaka
Landsat 8
dan
observasi
lapang
BAPPEDA
Kota
Banjarbaru
Teknik
Output
Analisis Data Penelitian
- Klasifikasi
terbimbing
- Peta jenis
penutupan lahan
(Land Cover)
- Analisis
- Peta Kerapatan
band 4 dan Vegetasi
5 pada citra
13
Teknik
Output
Teknik
Sumber Data Pengumpulan
Analisis Data Penelitian
Data
- Analisis
- Peta Suhu Udara
band 10 dan
11 dari citra
- Hasil
Analisis
Peta indeks
Peta suhu udara Hasil
analisis
regresi
dan
kenyamanan
analisis
- Pustaka
analisis
(THI)
Data klimatologi BMKG
spasial
berupa suhu dan
Banjarbaru
kelembaban
udara
- Hasil
Analisis
Rekomendasi
Peta jenis
Hasil
analisis
Spasial
lokasi prioritas
penutupan lahan,
analisis
ruang terbuka
peta kerapatan
hijau
vegetasi, dan
peta THI
Jenis Data
Data kepadatan
penduduk
BPS Kota
Banjarbaru
- Pustaka
Peta Zona Nilai
Tanah Kota
Banjarbaru
BPN
Provinsi
Kalimantan
Selatan
- Pustaka
Metode Analisis Data
Deskripsi Kondisi Umum Wilayah dan Metode-Metode Penyediaan
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi atau gambaran
umum lokasi penelitian berkaitan kondisi fisik, topografi, rencana tata ruang
wilayah, dan kondisi ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru serta perbandingan
terhadap metode-metode yang telah ada dalam penyediaan ruang terbuka hijau di
Indonesia yang kemudian diaplikasikan terhadap Kota Banjarbaru dengan cara
pengumpulan data sekunder, tabulasi, dan studi pustaka.
Pembentukan Data Spasial
Pembentukan data spasial meliputi aspek biologi (kerapatan vegetasi dan
tipe tutupan lahan), aspek fisik (indeks kenyamanan/THI), aspek sosial (kepadatan
penduduk), dan aspek ekonomi (nilai tanah). Pengolahan citra Landsat 8 diawali
dengan koreksi geometrik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas citra yang
semaksimal mungkin sesuai dengan keadaan aslinya. Koreksi terhadap distorsi
geometri tersebut dapat dilakukan dengan transformasi koordinat citra ke
koordinat bumi dan resampling citra. Langkah selanjutnya adalah pemotongan
(cropping) citra berdasarkan batas wilayah administrasi Kota Banjarbaru. Secara
14
garis besar, tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial dijelaskan
pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial
1. Kerapatan Vegetasi
Salah satu perhitungan kerapatan vegetasi yang umum dipakai dan efektif
untuk mengidentifikasikan aspek kerapatan dan kondisi kehijauan vegetasi di
suatu wilayah adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), dengan
cara menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman
terutama bagian daun. Secara matematis, nilai NDVI berkisar antara -1 sampai +1,
dimana semakin rapat kondisi vegetasi pada suatu wilayah maka akan memiliki
nilai NDVI yang cenderung mendekati nilai +1, sedangkan nilai NDVI perairan
bebas akan cenderung bernilai negatif. Persamaan untuk menghitung NDVI
adalah sebagai berikut:
NDVI = (NIR – VIS)/(NIR+VIS)
(1)
Dimana NIR merupakan reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared
dan VIS merupakan reflektansi kanal cahaya tampak/red. Pada citra Landsat 8,
band 5 adalah kanal NIR (Near Infrared) dan band 4 adalah kanal merah (Red)
yang keduanya mempunyai resolusi spasial 30 m. Pembagian objek-objek
permukaan berdasarkan nilai NDVI yang sudah ditetapkan oleh USGS serta
dijabarkan pada Tabel 2. Langkah selanjutnya adalah reklasifikasi tingkat
kerapatan vegetasi menjadi 5 kelas berdasarkan kriteria dari Dewanti et al. (1999)
15
yaitu kerapatan vegetasi sangat jarang (≤20%), jarang (21-40%), sedang (4160%), padat (61-80%), dan sangat padat (≥80%).
Tabel 2 Pembagian Objek Permukaan Berdasarkan Nilai NDVI
Objek Permukaan
Awan es, awan air, salju
Batuan dan lahan kosong
Padang rumput dan semak belukar
Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis
Sumber: USGS 2013
Nilai NDVI
RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANJARBARU
KALIMANTAN SELATAN
NIDA HUMAIDA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Metode Penentuan
Proritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Februari 2016
Nida Humaida
NRP. P052120091
RINGKASAN
NIDA HUMAIDA. Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau di Kota
Banjarbaru Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan
SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
Efek rumah kaca yang terjadi di kawasan perkotaan dan menyebabkan suhu
udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya disebut
fenomena pulau bahang kota. Salah satu solusi untuk menurunkan suhu udara
perkotaan akibat pulau bahang kota adalah dengan pengadaan ruang terbuka hijau.
Namun metode penyediaan ruang terbuka hijau di Indonesia pada umumnya
hanya mengukur luasan yang diperlukan, bukan lokasi yang pasti dimana ruang
terbuka hijau harus dikembangkan agar berfungsi secara optimal dalam
menurunkan suhu udara perkotaan. Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan
metode penentuan prioritas ruang terbuka hijau berdasarkan karakteristik biologi,
fisik, sosial, dan ekonomi wilayah.
Tahapan penelitian meliputi pengumpulan data, pembentukan data spasial,
dan analisis penentuan prioritas ruang terbuka hijau. Data yang dikumpulkan
meliputi citra Landsat 8 dan beberapa data statistik dari instansi-instansi terkait
(suhu udara dan kelembaban udara relatif, data kependudukan, dan nilai tanah).
Pembentukan data spasial meliputi analisis tipe penutupan lahan (land cover),
indeks kerapatan vegetasi (NDVI) dan indeks kenyamanan (THI), kepadatan
penduduk, dan nilai tanah menjadi data vektor. Analisis penentuan prioritas ruang
terbuka hijau. meliputi tumpang tindih (overlay) semua data vektor dan
pembobotan dimana daerah yang memiliki kerapatan vegetasi jarang, nilai THI
tinggi, jumlah penduduk padat, dengan harga tanah yang lebih rendah menjadi
lokasi prioritas pengembangan RTH untuk menambah proporsi ruang terbuka
hijau wilayah perkotaan.
Studi perbandingan dengan metode-metode yang telah ada dalam
penyediaan ruang terbuka hijau di Kota Banjarbaru terbukti memberikan output
rekomendasi luasan ruang terbuka hijau yang berbeda dan tidak dapat menentukan
lokasi-lokasi mana yang paling memerlukan tambahan ruang terbuka hijau.
Penerapan metode ini di Kota Banjarbaru diperoleh lokasi-lokasi prioritas untuk
pengembangan ruang terbuka hijau baru yaitu meliputi sekitar wilayah lahan
terbangun di Kelurahan Sungai Besar, Komet, Mentaos, dan Sungai Ulin, lahan
bekas galian tambang di Kelurahan Cempaka, wilayah lahan basah di Kelurahan
Landasan Ulin Utara, lahan bekas galian tambang di Kelurahan Cempaka dan
wilayah Bandara Syamsudin Noor. Metode ini dapat diterapkan di kota-kota
tropis lainnya karena kriteria yang dipakai sudah sesuai dengan karakteristik kotakota tropis khususnya kriteria THI dan kriteria NDVI, sementara kriteria
kepadatan penduduk dan nilai tanah disesuaikan dengan karakteristik daerah
masing-masing.
Kata kunci: Banjarbaru, indeks kenyamanan, penginderaan jauh, pulau bahang
kota, ruang terbuka hijau
SUMMARY
NIDA HUMAIDA. Priority Assessment Method of Green Open Space at
Banjarbaru City of South Kalimantan. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO
and SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
The greenhouse effect occurs in an urban area with less vegetation can cause
its air temperature higher than its surroundings (suburban area), known as urban
heat island. One of the solution to decrease the high air temperature is by adding
more green open space. However, green open space planning in Indonesia
concerns mostly about the quantity of green open space (to reach 30% of total
area), not the certain locations where the green open space supposed to be built in
order to cool down urban heat island. The objective of this study was to build a
priority assessment method in determining the new additional green open space
based on biological, physical, social, and economical characteristics of Banjarbaru
City.
The stages of research consisted of inventory data, spatial data
transformation, and green open space priority assessment analysis. The data we
used in this study Landsat 8 satellite imagery and some statistical data from
related state agencies (air temperature, relative humidity, urban population, and
land price). Spatial data formation included estimating land cover types,
normalized difference vegetation index (NDVI), temperature humidity index
(THI), and converting population density and land price into vector data. Scoring
method was intended to select each area with a sparse vegetation density, high
THI value, high population, yet lower land prices to become the highest priority
for green open space development plan in Banjarbaru City.
Comparative study toward other green open space planning methods that
generally used in Indonesia toward Banjarbaru City proved that they gave out
different calculation of green open space needs and still couldn’t determine the
locations which had the urgen needs of green open space. By applying this
method toward Banjarbaru City, the priority locations for new green open space
were located around the urban area in the village of Sungai Besar, Komet,
Mentaos, and Sungai Ulin. There were also wetland area in Landasan Ulin Utara,
mined lands in Cempaka and Syamsudin Noor Airport. This method is also
applicable for other tropical cities since the criteria for THI and NDVI were
formulated to fit tropical urban area, while the criteria for population density and
land price could be vary, depended on each urban’s characteristics.
Keywords: Banjarbaru, green open space, planning, remote sensing, temperature
humidity index, urban heat island
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
METODE PENENTUAN PRIORITAS
RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANJARBARU
KALIMANTAN SELATAN
NIDA HUMAIDA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rachmad Hermawan, M.Sc.F
Judul Tesis : Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau
di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan
Nama
: Nida Humaida
NIM
: P052120091
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Tanggal Ujian: 25 Januari 2016
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini
adalah Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru
Kalimantan Selatan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Prof.Dr.Ir.Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr.Ir.Siti Badriyah Rushayati, M.Si
selaku pembimbing pertama dan kedua, yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kepala Dinas Tata Kota dan Pekerjaan
Umum, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan
Kepala Badan Pertanahan Nasional di Kota Banjarbaru atas bantuannya kepada
penulis selama proses pengumpulan data penelitian.
Ungkapan terima kasih dan rasa hormat kepada ibunda Sa’adiah serta
seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih pula penulis
sampaikan kepada Dr.Drs.Krisdianto, M.Sc; Ichsan Ridwan, S.Si, M.Kom; Siti
Hanifah Al Fitri, S.Si, M.Si; dan Virgina Maria Louisa, S.Si, M.Si atas dukungan
dan bantuannya selama penulis berada di wilayah studi penelitian. Penulis juga
sampaikan terimakasih kepada segenap tenaga pengajar dan pegawai Program
Studi PSL SPS IPB serta teman-teman seperjuangan Tri Rahayuningsih,
Nurlailita, Halima Malaka, Tri Tiana Ahmadiputri, Listin Fitrianah, serta semua
pihak yang membantu hingga tesis ini berhasil diselesaikan.
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat sebagai referensi bagi semua
pihak dalam perencanaan pengembangan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan.
Bogor, Februari 2016
Nida Humaida
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP)
Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Efek Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island)
Hutan Kota
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Tahapan Penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Wilayah Penelitian
Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau
Hasil Analisis Berbagai Metode Penentuan Luas Ruang Terbuka
Hijau
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
ix
x
x
1
1
3
6
6
6
6
7
7
8
9
9
10
11
11
11
12
12
13
22
22
26
39
43
43
43
44
DAFTAR TABEL
1. Matrik Jenis Data, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data,
Teknik Analisis Data dan Output Penelitian
2. Pembagian Objek Permukaan Berdasarkan Nilai NDVI
3. Nilai ML dan AL masing-masing band TIRS pada Landsat 8
4. Nilai K1 dan K2 AL masing-masing band TIRS pada Landsat 8
5. Nilai Bowen Ratio di Berbagai Tipe Tutupan Lahan
6. Kriteria Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau
7. Daftar Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarbaru
12
15
16
16
20
21
22
x
8. Pembagian Kelas Ketinggian Wilayah Kota Banjarbaru
9. Pembagian kelas kemiringan lereng Kota Banjarbaru berdasarkan
klasifikasi USSM
10. Tipe Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru
11. Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan,
suhu udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan wilayah
administrasi Kota Banjarbaru pada tahun 2014 (dalam oC)
12. Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan,
suhu udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan tipe
penutupan lahan Kota Banjarbaru pada tahun 2014 (dalam oC)
13. Jumlah penduduk dan kepadatan per km2 Kota Banjarbaru
menurut kelurahan pada Tahun 2013
14. Estimasi luas lokasi-lokasi prioritas ruang terbuka hijau yang
diutamakan untuk menurunkan suhu udara Kota Banjarbaru
15. Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru dari
berbagai metode
23
23
28
32
33
35
39
41
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka Pemikiran
2. Peta Batas Administrasi Kota Banjarbaru
3. Tahapan penelitian
4. Tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial
5. Peta Topografi Wilayah Kota Banjarbaru
6. Peta Kemiringan Lereng Kota Banjarbaru
7. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banjarbaru Tahun 2014
8. Peta Kerapatan Vegetasi Kota Banjarbaru Tahun 2014
9. Peta Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru Tahun 2014
10. Peta Sebaran Suhu Udara Kota Banjarbaru Tahun 2014
11. Grafik Hubungan antara Suhu Udara dan Kelembaban Udara
Relatif Tahun 2014
12. Peta Indeks Kenyamanan (THI) Kota Banjarbaru Tahun 2014
13. Peta Zona Nilai Tanah Kota Banjarbaru Tahun 2013
14. Hasil pembobotan penentuan wilayah prioritas RTH Kota
Banjarbaru
15. Zona wilayah prioritas ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru
berdasarkan harga tanah
4
11
12
14
23
24
25
27
28
31
31
34
36
37
38
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
Penentuan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk
Rekapitulasi RTH Kota Banjarbaru 2008
48
48
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Akumulasi gas rumah kaca di atmosfer seperti karbondioksida (CO2), metan
(CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) menimbulkan fenomena alam yang disebut
efek rumah kaca. Gas rumah kaca di atmosfer memantulkan kembali sinar infra
merah yang dipancarkan dari bumi, sehingga sinar tersebut tidak terlepas ke
angkasa luar melainkan terperangkap di troposfer, menyebabkan suhu di troposfer
bumi meningkat (Soedomo 2001). Dalam keadaaan normal, efek rumah kaca
diperlukan agar perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh
berbeda. Kelebihan gas rumah kaca seperti CO2 akan diserap oleh lautan serta
tumbuhan hijau untuk keperluan fotosintesis. Jika komposisi dari gas-gas rumah
kaca ini melebihi kapasitas daya serap lautan dan tumbuhan hijau, maka dapat
menimbulkan peningkatan suhu bumi (pemanasan global). Ketidakseimbangan
dari komposisi gas-gas rumah kaca ini sebagian besar akibat emisi yang
dihasilkan oleh aktivitas manusia.
Dampak negatif dari efek rumah kaca akan lebih terasa di wilayah perkotaan
(urban) yang cenderung memiliki pertumbuhan populasi yang lebih cepat daripada
wilayah suburban dan sedikit wilayah yang tertutupi vegetasi (ruang terbuka
hijau). Gas rumah kaca yang terakumulasi secara berlebihan di kawasan perkotaan
menyerap radiasi gelombang panjang dari matahari, sehingga menyebabkan suhu
udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya seolaholah menciptakan pulau tersendiri. Fenomena ini disebut dengan pulau bahang
kota (urban heat island). Taha (1997) menyatakan urban heat island terjadi saat
permukaan bervegetasi alami telah digantikan oleh permukaan yang non-reflektif,
permukaan tak tembus air yang menyerap radiasi sinar matahari dalam presentase
tinggi. Penelitian dari Rosenfeld et al. (1995) menyimpulkan bahwa terjadi
kenaikan konsumsi listrik 2-4% per kenaikan 1⁰C di 5 kota besar AS. Peningkatan
suhu akibat efek pulau bahang kota dapat meningkatkan konsumsi pendingin
ruangan dan mempercepat terbentuknya kabut asap di perkotaan Pohon yang
rindang (kanopi luas) dan permukaan yang cerah terbukti dapat menurunkan suhu
udara mikro dan mengurangi dampak dari pulau bahang kota. Emmanuel (2005)
menyatakan bahwa ruang terbuka hijau harus menjadi bagian dari strategi mitigasi
untuk mengatasi fenomena pulau bahang kota.
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari
ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman, dan vegetasi jenis endemik maupun introduksi guna
mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh ruang
terbuka hijau dalam kota tersebut yaitu kesehatan, keamanan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan keindahan (Groenewegen et al. 2006; Dixon & Wolf 2007;
Dwiyanto 2005). Krisdianto et al. 2010 menyatakan dalam tahap awal
perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun,
adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang
hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan
terbangun.
2
Penentuan lokasi penambahan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan
Indonesia mengalami beberapa masalah diantaranya adalah populasi manusia
yang cenderung terakumulasi di pusat kota sehingga sulit untuk menambahkan
ruang terbuka hijau publik yang berfungsi secara optimal dalam mendinginkan
suhu udara perkotaan, serta dasar perencanaan ruang terbuka hijau wilayah
perkotaan di Indonesia sejauh ini hanya memperhatikan kuantitas atau jumlah
ruang terbuka hijau. Berbagai metode pendekatan dalam penyediaan ruang
terbuka hijau kawasan perkotaan di Indonesia diantaranya adalah penyediaan
ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan fungsi
tertentu, kebutuhan oksigen, jumlah penyerapan emisi CO2, dan persepsi
masyarakat.
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah perkotaan
ditetapkan dalam Undang Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
yakni paling sedikit 30% dari total luas wilayah perkotaan. Proporsi ini dianggap
sebagai ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik
keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem
ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan
masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Perencanaan
ruang terbuka hijau kawasan perkotaan di Indonesia pada umumnya cenderung
untuk memenuhi proporsi tersebut yang terdiri atas 20% ruang terbuka hijau
publik dan 10% ruang terbuka hijau privat.
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dan
kebutuhan fungsi tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5
Tahun 2008 mengenai pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau
di kawasan perkotaan dengan ketentuan jumlah penduduk beserta luasannya
disajikan pada Lampiran 1. Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan
kebutuhan fungsi tertentu dalam hal ini adalah untuk perlindungan/pengamanan,
sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam,
pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar
fungsi utamanya tidak teganggu. Ruang terbuka hijau pada kategori ini meliputi
jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan, listrik tegangan tinggi,
RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH
sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen
menggunakan rumus dari metode Gerakis (1974) yang dimodifikasi oleh Wisesa
(1988) yakni menentukan luas ruang terbuka hijau berdasarkan dari total jumlah
hasil kali antara kebutuhan oksigen per orang dengan jumlah penduduk,
kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor dengan jumlah kendaraan bermotor,
dan kebutuhan oksigen per industri dengan jumlah industri, yang kemudian dibagi
dengan konstanta rataan oksigen yang dihasilkan hutan kota. Penyediaan ruang
terbuka hijau berdasarkan penyerapan emisi CO2 ditentukan dari perhitungan total
emisi CO2 dari sektor transportasi, permukiman, dan industri (dalam satuan
kg/jam) dikurangi daya serap RTH eksisting (Setiawan & Hermana 2013).
Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan persepsi masyarakat pada umumnya
merupakan kajian deskriptif kualitatif berdasarkan kondisi biofisik kawasan dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Metode-metode tersebut jika
digunakan secara terpisah, maka akan menghasilkan output yang berbeda.
3
Metode penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah, jumlah
penduduk, kebutuhan oksigen, dan penyerapan emisi CO2 yang masih berfokus
pada kuantitas RTH yang diperlukan dan masing-masing dapat menghasilkan
rekomendasi luasan RTH yang berbeda. Metode-metode tersebut juga belum bisa
menentukan prioritas lokasi yang strategis untuk ditambahkan RTH yang baru
untuk menurunkan suhu perkotaan. Sementara penyediaan ruang terbuka hijau
berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu dan persepsi masyarakat lebih
memperhatikan aspek kualitas, yaitu fungsi ruang terbuka hijau dan tidak
menentukan luasan dalam angka. Oleh karena itu, diperlukan metode baru yang
cepat dan akurat dengan representasi spasial yang meliputi semua aspek biologi,
fisik, sosial, dan ekonomi untuk memberikan gambaran lokasi prioritas di wilayah
perkotaan untuk ditambahkan ruang terbuka hijau yang baru, sehingga aspek
kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau yang akan direkomendasikan ke depan
menjadi tepat sasaran dalam upaya menciptakan lingkungan yang hijau, asri, dan
nyaman.
Kerangka Pemikiran
Penentuan lokasi yang tepat untuk pengembangan ruang terbuka hijau
memerlukan suatu kajian ilmiah yang terukur dari berbagai aspek suatu wilayah,
diantaranya aspek biologi, fisik, sosial, dan ekonomi. Manusia cenderung hidup
dalam kelompok dan untuk mendapatkan lebih dekat menuju fasilitas umum
membuat mereka mengkonsumsi lebih banyak ruang terbuka untuk perumahan
atau melakukan aktivitas mereka. Populasi manusia yang tinggi cenderung disertai
dengan tingginya aktivitas transportasi dan konsumsi oksigen yang besar,
sehingga menyebabkan tingginya jumlah emisi CO2. Pesatnya pertumbuhan
populasi manusia, peningkatan jumlah lahan terbangun, dan emisi CO2 yang
tinggi dari aktivitas manusia telah menjadi faktor utama yang mengurangi jumlah
ruang terbuka perkotaan, menyebabkan peningkatan suhu udara perkotaan.
Metode penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan metode analisis
spasial yang paling tepat untuk menganalisis efek pulau bahang kota secara
keseluruhan dan menentukan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas pengembangan
ruang terbuka hijau baru dalam fungsinya untuk mendingankan suhu perkotaan.
Analisis dengan menggunakan penginderaan jauh (remote sensing) memiliki
prinsip dasar berupa perekaman informasi dengan menggunakan radiasi yang
dipancarkan oleh matahari atau sumber energi lainnya akan dipantulkan kembali
oleh permukaan bumi dan atmosfer dalam bentuk reflektansi permukaan. Hasil
pantulan tersebut akan direkam oleh sensor suhu dari satelit untuk memperoleh
informasi tentang suhu permukaan bumi.
Banyak penelitian menggunakan suhu permukaan yang direkam oleh satelit
penginderaan jauh sebagai indikator dari pulau bahang kota. Seperti yang
dilakukan oleh Jo et al. (2000) yang mengukur suhu permukaan yang direkam
oleh citra satelit Landsat TM band 6 terhadap di kota Seoul (Korea Selatan),
menunjukkan suhu permukaan tinggi terdapat di wilayah pemukiman dan industri,
sedangkan temperatur rendah terdapat di wilayah hijau seperti hutan dan area
pertanian. Oleh karena itu, penambahan vegetasi hijau di wilayah permukiman
dan industri sangat diperlukan untuk menurunkan suhu seperti yang telah
disimpulkan dalam penelitian Rushayati et al. (2011) bahwa ruang terbuka hijau
4
harus dikembangkan di lokasi dengan suhu udara yang tinggi untuk menciptakan
iklim mikro yang nyaman.
Hung et al. (2005) menggunakan aspek fisik dan biologi dari wilayah kotakota besar di Asia untuk menentukan hubungan antara fenomena pulau bahang
kota dengan karakteristik tutupan lahan dengan melakukan tumpang tindih
(overlay) peta penutupan lahan, kerapatan vegetasi (NDVI), dan suhu permukaan.
Norton et al. (2015) telah melakukan metode penentuan prioritas pembangunan
infrastruktur ruang terbuka hijau dengan menggunakan aspek fisik dan sosial
wilayah sebagai kriteria, yaitu nilai suhu permukaan yang diekstraksi dari foto
udara dan data LIDAR, nilai kerentanan yang berasal dari data kependudukan, dan
nilai paparan perilaku yang berasal dari letak fasilitas publik. Norton menentukan
lokasi prioritas ruang terbuka hijau sebagai lokasi dengan suhu permukaan yang
lebih tinggi, padat penduduk, dengan aktivitas publik yang tinggi.
Metode yang akan dirumuskan pada penelitian ini menggunakan citra
Landsat 8 yang dapat didownload secara gratis dari website USGS (U.S.
Geological Survey) dan memiliki kualitas data yang lebih tinggi daripada citra
Landsat versi sebelumnya. Secara garis besar, metode yang akan dibangun pada
penelitian ini berdasarkan bagan kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar
1.
Metode Penentuan Prioritas RTH Kota
Aspek Biologi
- Tutupan Lahan
(Land Cover)
- Kerapatan
Vegetasi
Aspek Fisik
- Indeks
Kenyamanan
(THI)
Aspek Sosial
- Kepadatan
penduduk
(jumlah/km2)
Aspek
Ekonomi
- Nilai tanah
Analisis Spasial
Rekomendasi daftar lokasi penambahan RTH
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Aspek biologi yang diukur diantaranya analisis penutupan lahan (land
cover) dan indeks vegetasi. Indeks vegetasi (NDVI) menggambarkan nilai
kerapatan dan tingkat kehijauan biomassa sehingga daerah dengan nilai NDVI
rendah (lahan kosong, lahan terbangun, rumput dan semak belukar dengan kisaran
5
nilai NDVI 0 – 0.3) akan diputuskan sebagai daerah prioritas RTH. Indeks
kenyamanan (THI) digunakan sebagai aspek fisik yang terukur mengantikan suhu
permukaan untuk mendeteksi fenomena pulau bahang kota karena
menggambarkan pengaruh suhu udara dan kelembaban terhadap kenyamanan
manusia. Faktor kepadatan penduduk sebagai aspek sosial yang terukur
ditambahkan karena fenomena pulau bahang kota cenderung ditemukan di
kawasan urban yang padat penduduk. Nilai tanah sebagai bagian dari aspek
ekonomi digunakan untuk memperkirakan nilai lokasi prioritas ruang terbuka
hijau yang akan dibeli serta untuk menggambarkan nilai opportunity cost (biaya
kesempatan) suatu area jika dikonversi menjadi ruang terbuka hijau daripada
peruntukan lain dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Dari penelitian ini, hasil
overlay dari semua aspek diharapkan tidak hanya menggambarkan fenomena
pulau bahang kota berdasarkan karakteristik tutupan lahan, tetapi juga dapat
menggambarkan prioritas kebutuhan suatu wilayah perkotaan akan ruang terbuka
hijau sebagai solusi untuk mendinginkan suhu udara perkotaan akibat pulau
bahang kota.
Penelitian ini memilih Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan,
sebagai wilayah studi penelitian dengan alasan kota ini telah mengalami gejala
awal dari efek pulau bahang kota yaitu peningkatan populasi penduduk,
bertambahnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, dan terjadi peningkatan
suhu udara tiap tahunnya. Kota Banjarbaru saat ini mengalami peningkatan suhu
udara selama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan BMKG Kota Banjarbaru,
suhu rata-rata kota Banjarbaru pada tahun 2014 adalah 28.3⁰C, lebih tinggi dari
suhu rata-rata pada tahun 2010 yaitu 27.9⁰C.
Kota Banjarbaru berkembang sangat pesat sejak diputuskan sebagai ibukota
Kalimantan Selatan menggantikan Kota Banjarmasin pada tahun 2011.
Sebelumnya kota ini merupakan kota administratif yang berasal dari pemekaran
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Adapun alasan mengapa Kota Banjarbaru
dijadikan pusat pemerintahan Provinsi karena Kota Banjarmasin dipandang sudah
terlalu padat penduduk dan tidak nyaman untuk ditinggali. Kota Banjarmasin
tercatat memiliki jumlah penduduk sebanyak 648,029 jiwa pada tahun 2012 dan
sekitar 45% penduduknya terakumulasi di Kecamatan Banjarmasin Selatan dan
Banjarmasin Barat dengan kepadatan tertinggi mencapai 13,701 jiwa/km2. Kota
Banjarmasin berkembang menuju kota besar yang menjadikan kota ini memiliki
banyak masalah, seperti kemacetan, tata ruang kota yang semakin sempit, jumlah
penduduk yang semakin bertambah, kebersihan kota yang semakin parah, dan lain
lain.
Sejak dipindahkannya pusat pemerintah provinsi di Kota Banjarmasin ke
Kota Banjarbaru dan pertumbuhan ekonomi yang pesat telah memberikan
konsekuensi semakin bertambahnya jumlah lahan terbangun. Kota Banjarbaru
memiliki luas 37.130 ha dengan jumlah penduduk pada tahun 2012 tercatat
214.287 jiwa. Pada sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kota
Banjarbaru hanya 75.648 jiwa kemudian meningkat secara pesat hingga 199 627
jiwa pada tahun 2010. Berdasarkan data dari BPS Kota Banjarbaru, laju
pertumbuhan penduduk di Kota Banjarbaru adalah 4.88%. Angka tersebut jauh
lebih tinggi daripada laju pertumbuhan rata-rata penduduk Kalimantan Selatan
yakni 1.98%. Pada tahun 2008 tercatat ketersediaan RTH Kota Banjarbaru dari
Dinas Tata Ruang Kota Banjarbaru adalah 7,219 ha atau hanya 19.44% dari
6
keseluruhan luas wilayahnya. Hingga tahun 2011, sebesar 12 998.3 ha atau lebih
kurang 30% wilayah Kota Banjarbaru telah berubah menjadi permukiman.
Jumlah penduduk di Kota Banjarbaru terus berkembang dengan adanya
perpindahan penduduk dari luar Kota Banjarbaru, baik dari Kalimantan sendiri
maupun dari luar Kalimantan. Perkembangan penduduk ini beriringan dengan
semakin terbukanya wilayah Kota Banjarbaru seperti untuk kawasan permukiman,
pusat pendidikan, pusat perkantoran, serta Bandar Udara Syamsudin Noor
maupun peruntukan yang lain. Jika dengan pertumbuhan kota yang pesat namun
sistem tata kota yang diterapkan masih sama, tidak menutup kemungkinan
beberapa tahun mendatang Kota Banjarbaru akan menjadi Kota Banjarmasin
kedua. Analisis spasial yang cepat dan akurat dengan menggunakan penginderaan
jauh (remote sensing) diperlukan dalam menentukan lokasi-lokasi yang menjadi
prioritas untuk ditambahkan RTH baru, karena penyebaran penduduk Kota
Banjarbaru tidak merata. Oleh karena itu, metode yang akan dirumuskan dalam
penelitian ini dianggap cocok untuk diaplikasikan di Kota Banjarbaru yang mulai
menunjukkan gejala pulau bahang kota dan sebagai bagian dari strategi penataan
ruang terbuka hijau sejak dini untuk mempertahankan faktor kenyamanan kota.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang telah dibangun,
maka dirumuskan permasalahan bagaimana merumuskan metode untuk
menentukan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas pengembangan RTH untuk
menambah proporsi ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru secara spasial dengan
memperhatikan aspek biologi, fisik, sosial, dan ekonomi dari wilayah Kota
Banjarbaru.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan metode penentuan prioritas
ruang terbuka hijau berdasarkan karakteristik biologi, fisik, sosial, dan ekonomi
kawasan perkotaan dan mengaplikasikannya di Kota Banjarbaru.
Manfaat Penelitian
Metode yang telah dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat
digunakan menjadi referensi acuan bagi para peneliti dalam menentukan lokasi
prioritas ruang terbuka hijau di kota tropis lainnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji karakteristik suatu wilayah
berdasarkan tipe penutupan lahan, kerapatan vegetasi, distribusi indeks
kenyamanan, kependudukan, serta nilai tanah dengan pendekatan metode
penginderaan jauh sebagai kriteria untuk menentukan prioritas pengembangan
ruang terbuka hijau kawasan perkotaan.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP)
Ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan secara umum terdiri dari
ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. RTH perkotaan adalah bagian
dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh
tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung
manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat
ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat
berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB)
yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan
sebagai genangan retensi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyebutkan bahwa ruang terbuka adalah
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam
penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam
ruang terbuka hijau, pemanfatannya lebih bersifat pengisian tanaman hijau atau
tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan
pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan
yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas
pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan
hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau selama
ini diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan
struktur vegetasinya (Fandeli 2004).
Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat
liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami
atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Dari segi
fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan
ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah
banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk
RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan
kota, taman botani, sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-budaya
keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana
rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi
sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU
dan sebagainya.
Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan
kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan
jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi
ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi
lahan pertanian/perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata
hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Sementara itu, secara
struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan
konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang
8
berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai,
sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis
dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH
perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman
regional/nasional. Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang
dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi)
yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.
Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan
kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat dan
dinamis. RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun
juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk
kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar.
Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu model RTH sebagai ventilasi kota, yang
menjadi sumber udara segar dan bersih, yang disusun mengelilingi dan struktur
kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi yang dapat
mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota dan mengalirkan udara bersih.
Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi
manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan
kelembaban.
Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan
memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga
dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman
dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan
suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat
kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang
(Carpenter et al. 1975). Simonds (1983) menyatakan RTH dapat membentuk
karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya.
Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga
kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2)
paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6)
sebagai unsur dan sarana pendidikan. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No.05/PRT/M/2008, fungsi RTH memiliki fungsi utama (intrinsik)
sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan jaminan pengadaaan RTH menjadi
bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro,
peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air hujan, penyedia habitat
satwa dan penahan angin. Fungsi tambahan (ekstrinsik) dari RTH adalah:
1) Fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya
lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah
dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam,
2) Fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti
tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha
pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya.
3) Fungsi estetika yaitu meningkatkan kenyamanan dan keindahan lingkungan
kota, sehingga dapat menstimulus kreativitas dan produktivitas warga kota,
serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan
tidak terbangun.
9
Efek Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island)
Efek rumah kaca yang terjadi ketika emisi gas CO2 yang terakumulasi
secara berlebihan akibat berbagai aktivitas manusia di perkotaan menyerap radiasi
balik berupa radiasi gelombang panjang. Akibatnya radiasi gelombang panjang
terperangkap di atmosfer khususnya troposfer di atas perkotaan, dan
menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
sekitarnya seolah-olah menciptakan pulau panas tersendiri, maka kondisi seperti
ini disebut dengan efek pulau bahang. Iklim perkotaan dapat berbeda cukup jauh
dengan iklim pedesaan dalam hal besarannya tergantung pada kondisi cuaca,
karakteristik termofisika dan geometris perkotaan, serta kelembaban antropogenik
dan sumber panas yang terdapat di daerah tersebut. Suatu pulau bahang kota dapat
terjadi pada berbagai skala dan dapat terjadi di sekitar bangunan tunggal, kanopi
vegetasi yang kecil, atau sebagian besar dari wilayah perkotaan (Taha 1997;
Voogt 2002).
Haq (2011) menyimpulkan bahwa efek pulau bahang kota dapat
meningkatkan suhu perkotaan hingga 5 oC. Menggunakan vegetasi untuk
mengurangi biaya energi dari alat pendingin ruangan telah semakin diakui sebagai
penghematan biaya yang efektif dengan meningkatkan ruang terbuka hijau dan
penanaman pohon di perkotaan. Hasil penelitian dari Rosenfeld et al. (1995) juga
membuktikan bahwa peningkatan suhu akibat efek pulau bahang kota
meningkatkan konsumsi pendingin ruangan dan mempercepat terbentuknya kabut
asap di perkotaan. Pohon yang rindang (kanopi luas) serta permukaan yang cerah
dapat menurunkan suhu udara mikro sehingga menghemat konsumsi energi listrik
dan mengurangi efek dari pulau bahang kota.
Hutan Kota
Hutan kota merupakan bentuk persekutuan vegetasi pohon yang mampu
menciptakan iklim mikro dan lokasinya di perkotaan atau dekat kota. Hutan di
perkotaan ini tidak memungkinkan berada dalam areal yang luas. Bentuknya juga
tidak harus dalam bentuk blok, akan tetapi hutan kota dapat dibangun pada
berbagai penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan kriteria untuk menetapkan
bentuk dan luasan hutan kota. Kriteria penting yang dapat dipergunakan adalah
kriteria lingkungan. Hal ini berkaitan dengan manfaat penting hutan kota berupa
manfaat lingkungan yang terdiri atas konservasi mikroklimat, keindahan, serta
konservasi flora dan kehidupan liar (Fandeli 2004). Secara umum bentuk hutan
kota adalah :
1. Jalur Hijau. Jalur Hijau berupa peneduh jalan raya, jalur hijau di bawah kawat
listrik, di tepi jalan kereta api, di tepi sungai, di tepi jalan bebas hambatan.
2. Taman Kota. Taman Kota diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata
sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya hasil rekayasa manusia,
untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah.
3. Kebun dan Halaman. Jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman
biasanya dari jenis yang dapat menghasilkan buah.
4. Kebun Raya, Hutan Raya, dan Kebun Binatang. Kebun raya, hutan raya dan
kebun binatang dapat dimasukkan ke dalam salah satu bentuk hutan kota.
10
5.
Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, maupun dari daerah lain baik
dalam negeri maupun luar negeri.
Hutan Lindung, daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan
hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan
akan abrasi air laut (Dahlan 1992).
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni dalam memperoleh
informasi mengenai suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan alat tanpa suatu kontak langsung (Lillesand et al. 2008). Sistem
Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan
untuk menyimpan, mengelola, menganalisis, dan mengaktifkan atau memanggil
kembali data yang mempunyai referensi keruangan, untuk berbagai tujuan yang
berkaitan pemetaan dan perencanaan. Kedua macam teknologi ini sangat
bermanfaat dalam pengelolaan informasi keruangan mengenai kondisi permukaan
(dan dekat permukaan) bumi. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya,
teknologi tersebut cenderung diintegrasikan demi peningkatan efisiensi perolehan
serta akurasi hasil pemetaannya, sebagai masukan dalam proses perencanaan dan
pengelolaan wilayah.
Bidang penginderaan jauh menggunakan citra sebagai data yang masih perlu
dianalisis dan diinterpretasi untuk menghasilkan informasi turunan. Informasi
turunan ini biasanya berupa peta dengan tema isi yang sesuai dengan kebutuhan
kajian. Citra digital penginderaan jauh dapat berupa system perekaman oleh
satelit, airborne scanner, dan juga pesawat ulang alik. Sistem satelit hingga saat
ini dipandang sebagai sistem penginderaan jauh antariksa yang paling mapan dan
mendapat perhatian besar untuk dikembangkan menjadi sistem yang sepenuhnya
operasional. Berdasarkan misinya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu satelit cuaca dan satelit sumberdaya. Berdasarkan cara
orbitnya, satelit penginderaan jauh dapat dikelompokkan satelit geostasioner
(satelit sinkron bumi) dan satelit sinkron matahari. Satelit geostasioner diorbitkan
pada ketinggian 36 000 km di atas bumi pada posisi geostasioner, yang merekam
wilayah yang sama terus menerus sepanjang hari, tetapi dengan liputan yang
sangat luas, sebagai contoh adalah satelit cuaca seperti GOES dan GMS. Satelit
sinkron matahari (satelit berorbit polar) mengorbit bumi dengan ketinggian
berkisar antara 600 – 1000 km, dengan melewati atau hampir melewati kutub,
selalu bergerak memotong arah rotasi bumi sehingga dapat meliput hampir
seluruh bagian permukaan bumi. Hampir semua satelit sumberdaya adalah satelit
sinkron matahari, seperti Landsat, SPOT, ERS, dan JERS (Danoedoro 2012).
11
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan
Selatan. Kota Banjarbaru secara geografis terletak di antara 3o25’40” Lintang
Selatan - 3o28’37” Lintang Selatan dan 114o41’22” Bujur Timur - 114o54’25”
Bujur Timur, dengan luas 371.3 km2 (37 130 ha). Wilayah penelitian meliputi 5
wilayah kecamatan pada wilayah adminsitratif Kota Banjarbaru yaitu Banjarbaru
Utara, Banjarbaru Selatan, Landasan Ulin, Liang Anggang dan Cempaka, , yang
masing-masing terdiri atas empat kelurahan. Penelitian dilakukan September 2014
sampai bulan April 2015. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta Batas Administrasi Kota Banjarbaru
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
yang dilengkapi dengan software ArcGIS 9.3, Erdas 9.1, Google Earth Pro, dan
Microsoft Excel. Peralatan penunjang lainnya adalah GPS dan kamera digital.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah citra Landsat 8 path/row: 117/062
dengan tanggal akuisisi 25 Agustus 2014, peta batas administrasi Kota Banjarbaru
dari BAPPEDA Kota Banjarbaru, data kependudukan dari BPS Kota Banjarbaru,
12
data klimatologi berupa suhu udara dan kelembaban relatif dari Stasiun Klas I dan
II BMKG Kota Banjarbaru, data nilai tanah dari BPN Provinsi Kalimantan
Selatan.
Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data spasial dan
statistik Kota Banjarbaru, pembentukan data spasial, survey lapangan / observasi
dan analisis spasial dalam rangka menentukan prioritas ruang terbuka hijau Kota
Banjarbaru, masing-masing tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Pengumpulan Data :
Peta citra, peta batas administrasi, data
klimatologi (suhu udara dan
kelembaban udara relatif), data
kependudukan, dan data nilai tanah
Pembentukan Data Spasial :
Klasifikasi penutupan lahan, kerapatan
vegetasi, sebaran indeks kenyamanan
(THI), kepadatan penduduk , dan nilai
tanah
Survey
Lapangan
Analisis Spasial :
Tumpang-tindih Peta
(Overlay) dan
Pembobotan (Scoring)
Prioritas Ruang
Terbuka Hijau
Kota Banjarbaru
Gambar 3 Tahapan penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data, data yang dikumpulkan secara ringkas dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Matrik Jenis Data, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik
Analisis Data dan Output Penelitian
Jenis Data
Peta Citra
Landsat 8
Peta Batas
Administratif
Kota Banjarbaru
Teknik
Sumber Data Pengumpulan
Data
- Pustaka
Landsat 8
dan
observasi
lapang
BAPPEDA
Kota
Banjarbaru
Teknik
Output
Analisis Data Penelitian
- Klasifikasi
terbimbing
- Peta jenis
penutupan lahan
(Land Cover)
- Analisis
- Peta Kerapatan
band 4 dan Vegetasi
5 pada citra
13
Teknik
Output
Teknik
Sumber Data Pengumpulan
Analisis Data Penelitian
Data
- Analisis
- Peta Suhu Udara
band 10 dan
11 dari citra
- Hasil
Analisis
Peta indeks
Peta suhu udara Hasil
analisis
regresi
dan
kenyamanan
analisis
- Pustaka
analisis
(THI)
Data klimatologi BMKG
spasial
berupa suhu dan
Banjarbaru
kelembaban
udara
- Hasil
Analisis
Rekomendasi
Peta jenis
Hasil
analisis
Spasial
lokasi prioritas
penutupan lahan,
analisis
ruang terbuka
peta kerapatan
hijau
vegetasi, dan
peta THI
Jenis Data
Data kepadatan
penduduk
BPS Kota
Banjarbaru
- Pustaka
Peta Zona Nilai
Tanah Kota
Banjarbaru
BPN
Provinsi
Kalimantan
Selatan
- Pustaka
Metode Analisis Data
Deskripsi Kondisi Umum Wilayah dan Metode-Metode Penyediaan
Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi atau gambaran
umum lokasi penelitian berkaitan kondisi fisik, topografi, rencana tata ruang
wilayah, dan kondisi ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru serta perbandingan
terhadap metode-metode yang telah ada dalam penyediaan ruang terbuka hijau di
Indonesia yang kemudian diaplikasikan terhadap Kota Banjarbaru dengan cara
pengumpulan data sekunder, tabulasi, dan studi pustaka.
Pembentukan Data Spasial
Pembentukan data spasial meliputi aspek biologi (kerapatan vegetasi dan
tipe tutupan lahan), aspek fisik (indeks kenyamanan/THI), aspek sosial (kepadatan
penduduk), dan aspek ekonomi (nilai tanah). Pengolahan citra Landsat 8 diawali
dengan koreksi geometrik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas citra yang
semaksimal mungkin sesuai dengan keadaan aslinya. Koreksi terhadap distorsi
geometri tersebut dapat dilakukan dengan transformasi koordinat citra ke
koordinat bumi dan resampling citra. Langkah selanjutnya adalah pemotongan
(cropping) citra berdasarkan batas wilayah administrasi Kota Banjarbaru. Secara
14
garis besar, tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial dijelaskan
pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial
1. Kerapatan Vegetasi
Salah satu perhitungan kerapatan vegetasi yang umum dipakai dan efektif
untuk mengidentifikasikan aspek kerapatan dan kondisi kehijauan vegetasi di
suatu wilayah adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), dengan
cara menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman
terutama bagian daun. Secara matematis, nilai NDVI berkisar antara -1 sampai +1,
dimana semakin rapat kondisi vegetasi pada suatu wilayah maka akan memiliki
nilai NDVI yang cenderung mendekati nilai +1, sedangkan nilai NDVI perairan
bebas akan cenderung bernilai negatif. Persamaan untuk menghitung NDVI
adalah sebagai berikut:
NDVI = (NIR – VIS)/(NIR+VIS)
(1)
Dimana NIR merupakan reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared
dan VIS merupakan reflektansi kanal cahaya tampak/red. Pada citra Landsat 8,
band 5 adalah kanal NIR (Near Infrared) dan band 4 adalah kanal merah (Red)
yang keduanya mempunyai resolusi spasial 30 m. Pembagian objek-objek
permukaan berdasarkan nilai NDVI yang sudah ditetapkan oleh USGS serta
dijabarkan pada Tabel 2. Langkah selanjutnya adalah reklasifikasi tingkat
kerapatan vegetasi menjadi 5 kelas berdasarkan kriteria dari Dewanti et al. (1999)
15
yaitu kerapatan vegetasi sangat jarang (≤20%), jarang (21-40%), sedang (4160%), padat (61-80%), dan sangat padat (≥80%).
Tabel 2 Pembagian Objek Permukaan Berdasarkan Nilai NDVI
Objek Permukaan
Awan es, awan air, salju
Batuan dan lahan kosong
Padang rumput dan semak belukar
Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis
Sumber: USGS 2013
Nilai NDVI