Kajian Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung

`
KAJIAN QUERY FEVER PADA SAPI DI RUMAH POTONG
HEWAN CIBINONG: HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA
DAN JANTUNG

HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Query fever
pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan
Jantung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Hario Pranaditya Munif Adinegoro
B04090070

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO. Kajian Query fever pada Sapi di
Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung.
Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan MAWAR SUBANGKIT.
Query fever (Q fever) merupakan zoonosis yang disebabkan oleh agen
Coxiella bunetii dan saat ini sudah hampir tersebar luas ke seluruh dunia.
Ruminansia merupakan hewan yang paling beresiko terinfeksi Q fever. Penelitian
tentang kajian histopatologi penyakit Q fever pada organ jantung dan limpa sapi
dilakukan dari bulan Januari hingga Oktober 2013 di rumah potong hewan
Cibinong dan laboratorium histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor. Sampel yang digunakan adalah organ jantung dan limpa sapi yang

diambil secara acak masing-masing berjumlah 50 sampel. Metode imunohistokimia
dilakukan untuk menentukan sampel imunoreaktif dan non imunoreaktif. Hasil
penelitian menunjukkan 9 sapi imunoreaktif dan 41 sapi non imunoreaktif terhadap
antibodi anti C. burnetii. Gambaran lesio limpa menunjukkan deplesi pulpa putih,
kongesti pulpa merah, dan akumulasi sel radang. Gambaran lesio pada jantung
menunjukkan degenerasi otot jantung dan akumulasi sel radang. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gambaran spesifik pada organ
jantung dan limpa antara sapi imunoreaktif dan non imunoreaktif Q fever.
Kata kunci: Coxiella burnetii, imunohistokimia, sapi, Q fever.

ABSTRACT
HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO. Study on Query fever of Cattle at
Cibinong Slaughterhouse: Histopathology of Spleen and Heart. Supervised by
AGUS SETIYONO and MAWAR SUBANGKIT.
Query (Q) fever is a zoonoses caused by Coxiella burnetii agent and it has
been almost widespread around the world. The ruminants are highly risk animal
infected for Q fever disease. The study of Q fever disease on heart and spleen of
cattle histopathologically was carried out from January to October 2013 at
Cibinong slaughterhouse and histopathology laboratory, Faculty of Veterinary
Medicine, Bogor Agricultural University. Samples used were heart and spleen of

50 randomly slaughtered cattle. Immunohistochemical method was done to
determine the immunoreactive and non immunoreactive of samples. The results
showed that 9 samples were immunoreactive and 41 samples were not
immunoreactive to anti C. burnetii antibody. The lesions of spleen indicated
depletion of white pulp, congestion of red pulp, and accumulation of inflammatory
cells. The lesions of heart revealed degeneration of heart muscle and accumulation
of inflammatory cells. These results showed that there is no specific differences
histopathologically between immunoreactive and non immunoreactive samples of
heart and spleen of cattle due to Q fever.
Keywords: cattle, Coxiella burnetii, immunohistochemistry, Q fever.

KAJIAN QUERY FEVER PADA SAPI DI RUMAH POTONG
HEWAN CIBINONG: HISTOPATOLOGI ORGAN LIMPA
DAN JANTUNG SAPI

HARIO PRANADITYA MUNIF ADINEGORO

Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Penelitian: Kajian Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan
Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan Jantung
Nama
: Hario Pranaditya Munif Adinegoro
NIM
: B04090070

Disetujui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Pembimbing I

drh Mawar Subangkit, MSi, APVet

Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:

Judul Penelitian : Kajian Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan
Cibinong: Histopatologi Organ Limpa dan J antung
Hario
Pranaditya Munif Adinegoro
Nama
B04090070
NIM

Disetujui oleh

s. PhD


APVet

drh Mawar Subangkit, MSi, APVet
Pembimbing II

Diketahui oleh

,8 9 JAN
Tanggallulus:

GIWL ....Bセ@ ,:.f

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah Kajian
Query Fever pada Sapi di Rumah Potong Hewan Cibinong: Histopatologi Organ
Limpa dan Jantung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak drh Agus Setiyono MS PhD

APVet dan drh Mawar Subangkit MSi APVet selaku pembimbing, serta tim peneliti
Q fever (Wulandari Utami, Srimita K. Br. Sembiring, dan Andre Yudhi). Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Kasnadi, Bapak Soleh
SE, dan Bapak Endang selaku pegawai Laboratorium Histopatologi FKH IPB serta
dokter hewan dan pegawai di rumah potong hewan Cibinong yang telah membantu
penulis dalam memperoleh data penelitian. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayahanda Tulus Haryanto, ibunda Faridatun, adinda Ihza
Agam Muhammad, dan seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih
sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014
Hario Pranaditya Munif Adinegoro
B04090070

DAFTAR ISI
PRAKATA .............................................................................................. ....

vi


DAFTAR ISI ...............................................................................................

vii

DAFTAR TABEL ........................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ..........................................................................................

1

Tujuan ........................................................................................................

3

Manfaat ......................................................................................................


3

METODE PENELITIAN
Waktudan Tempat Penelitian .....................................................................

3

Bahan dan Peralatan ..................................................................................

3

Prosedur Penelitian ....................................................................................

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Sediaan immunohistokimia ........................................................

6


Pengamatan Sediaan haematoksilin-eosin ....................................................... 7
SIMPULAN ........................................................................... .....................

11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................

11

RIWAYAT HIDUP .....................................................................................

13

DAFTAR TABEL
1

Deskripsi gejala peradangan organ jantung antara sapi positif
dan sapi negatif Q fever
2 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ jantung antara
sapi positif dan sapi negatif Q fever

3 Deskripsi gejala peradangan organ limpa antara sapi positif dan
sapi negatif Q fever
4 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ limpa antara
sapi positif dan sapi negatif Q fever

7
8
9
9

DAFTAR GAMBAR

Imunoreaktif positif terhadap C. burnetii pada organ limpa (a) dan
organ hati (b)
2 Degenerasi otot jantung (a), akumulasi sel radang neutrofil (b),
serta akumulasi sel radang limfosit dan fibrosis (c). ……………
3 Gambaran deplesi pulpa putih (a), kongesti pulpa merah (b),
splenitis kronis (c), dan splenitis kronis aktif (d).…………
1

6
8
10

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Query fever (Q fever) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Coxiella burnetii yang merupakan bakteri obligat intraseluler. Q fever bersifat
zoonosis, yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia maupun sebaliknya
(Martens dan Samuel 2007). Penyakit ini umumnya cenderung menyerang hewan
ruminansia, walaupun pada beberapa kasus juga ditemukan pada satwa liar dan
hewan peliharaan lainnya. Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan hewan terinfeksi, melalui makanan asal ternak terinfeksi seperti daging,
susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen
penyebab. Penularan penyakit Q fever biasanya terjadi melalui aerosol (terhirup
partikel spora C. burnetii yang terbawa angin) atau kontak langsung dengan
jaringan sisa partus hewan yang terinfeksi (Ergas et al. 2006).
C. burnetii memiliki daya virulensi rendah tetapi memiliki infektivitas
tinggi. Hal ini berarti satu organisme patogen dalam jumlah tunggal dapat
menyebabkan infeksi pada inang. Selain itu, C. burnetii memiliki bentuk sporelike
yang sangat tahan terhadap panas, udara kering, dan beberapa senyawa antiseptik
standar. Hal ini memungkinkan C. burnetii untuk bertahan di lingkungan dalam
periode lama (minggu atau bulan) dalam kondisi ekstrim (Byrne 2007).
Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap wabah Q fever. Hal ini
didukung oleh banyaknya penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai peternak
yang memungkinkan seringnya kontak dengan hewan yang terinfeksi dan
penanganan bahan pangan asal ternak yang kurang baik. Di Indonesia, penyakit Q
fever pertama kali ditemukan pada tahun 1937 dengan adanya 188 serum sapi yang
positif mengandung antibodi terhadap C. burnetii (Kaplan dan Bertagna 1955).
Salah satu kendala penting adalah gejala klinis bentuk akut dari Q fever yang tidak
patognomonis, yaitu pneumonia, keguguran, dan gejala lainnya yang belum
didiagnosa sebagai Q fever (Mahatmi et al. 2007). Daging dan susu inang terinfeksi
membahayakan bagi manusia. Menurut Guatteo et al. (2011), konsumsi daging dan
susu ruminansia yang terinfeksi Q fever dan tidak dimasak dengan sempurna dapat
menjadi sumber infeksi bagi manusia.
Penelitian Q fever telah banyak dilakukan di negara maju dan bahkan
sekuensing genom dari C. burnetii telah dilakukan secara lengkap (Seshadri et al.
2003). Hal ini dilakukan karena C. burnetii berpotensi digunakan sebagai senjata
biologis (Raoult 2002). Q fever merupakan masalah kesehatan penting di beberapa
negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang,
Australia, Thailand, Korea, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia
Tenggara. Hasil survei di Jepang pada tahun 1954 menunjukkan bahwa 2.5% dari
sapi dan 1.7% dari kambing yang diperiksa terbukti mengandung antibodi terhadap
C. burnetii (Kitaoka dalam Htwe et al. 1992).
Hewan ruminansia terinfeksi Q fever biasanya melalui kontak dengan
hewan terinfeksi lainnya, baik kontak secara langsung dengan cairan tubuh hewan
yang terkontaminasi atau paparan aerosol dari bahan menular. Berdasarkan uji
laboratorium, ruminansia merupakan hewan yang paling beresiko terinfeksi Q fever.
Banyak kasus Q fever akut tidak menunjukkan gejala atau sangat ringan dan tetap

2
tidak diketahui. Gejala-gejala penyakit akut seperti flu, demam tinggi, menggigil,
kelelahan, malaise, mialgia, sakit tenggorokan, dan nyeri dada. Penyakit ini
umumnya berlangsung dari seminggu sampai lebih dari tiga minggu. Beberapa
studi menunjukkan bahwa risiko infeksi pada ruminansia bervariasi tergantung
pada usia, jenis, kemampuan reproduksi, tingkat produksi susu dan tahap laktasi
(McCuaghey et al. 2010).
Gejala klinis Q fever pada manusia meliputi bentuk akut yang tampak
seperti influenza. Sedangkan bentuk kronis umumnya berjalan dalam waktu yang
sangat lama, bahkan 20 tahun baru tampak adanya gejala seperti timbulnya sesak
nafas dan batuk kardial akibat endokarditis yang berakhir fatal (Marrie 2003).
Manifestasi klinis utama dari Q fever kronis adalah endokarditis pada inang dengan
valvulopati, infeksi pembuluh darah, hepatitis atau sindrom kelelahan kronis.
Endokarditis dilaporkan lebih dari 800 kasus pada berbagai penelitian antara
tahun 1949 dan 2005 (Tissout-Dupont dan Raoult 2007). Penelitian itu
dilaksanakan di UK dan Irlandia dengan 227 kasus, Perancis dengan 264 kasus,
Spanyol dengan 62 kasus, Israel dengan 35 kasus, Swiss dengan 21 kasus, Australia
dengan 18 kasus, dan Kanada dengan 10 kasus. Di Perancis, 5% penyakit Q fever
terjadi dalam bentuk endokarditis (Brouqui dan Raoult 2006). Kasus Q fever
endokarditis sering terjadi pada pasien dengan cardiac defect atau
immunocompromised (Maurin dan Raoult 1999). Diagnosis terhadap kasus ini
menyebabkan gagal jantung, hepatomegali, sindrom inflamasi, anemia, dan
leukopenia, serta penurunan fungsi hati (Houpikian et al. 2002). Sekarang, deteksi
C.
burnetii
endokarditis
menggunakan
metode
baru
bernama
autoimmunohistochemistry (Lepidi et al. 2006). Lepidi et al. (2006) mewarnai
sampel katup jantung dengan pewarnaan imunohistokimia yang menggunakan
antibody monoclonal dan hematoxylin counterstain. Terlihat dalam pewarnaan, C.
bunetii berada pada sitoplasma makrofag.
Limpa merupakan organ pertahanan sekunder terbesar yang mengandung
sel-sel limfosit dan menginisiasi respon imun terhadap antigen yang menginfeksi
melalui darah (Kuper et al. 2002; Nolte et al. 2002; Balogh et al. 2004; Cesta 2006).
Menurut Cesta (2006), Limpa berperan sebagai pusat sirkulasi sistemik. C. burnetii
yang masuk ke dalam tubuh dapat membahayakan tubuh, sehingga sel pertahanan
tubuh meresponnya agar dapat keluar dari tubuh. Limpa mengambil peranan
penting dalam kejadian ini, sehingga lebih beresiko terserang C. burnetii daripada
organ lain. Limpa dan jantung merupakan organ yang beresiko diserang infeksi C.
burnetii. Penelitian terhadap infeksi Q fever pada organ jantung dan limpa belum
banyak dilakukan di Indonesia, sehingga data yang didapat dari penelitian ini dapat
memberikan gambaran kejadian Q fever pada organ jantung dan limpa.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu deteksi
keberadaan Q fever pada organ yang terinfeksi adalah dengan metode pewarnaan
imunohistokimia (IHK). Metode pewarnaan imnunohistokimia merupakan metode
pewarnaan yang didasarkan pada kemampuan imunogenik dan reaksi enzimatik
dalam analisis lokalisasi antigen target. Reaksi imunologik akan ditandai dengan
adanya reaksi yang terjadi antara antigen dan antibodi, sedangkan reaksi enzimatis
ditandai dengan reaksi kimiawi antara enzim dan substrat. Beberapa keuntungan
penggunaan pewarnaan immunohistokimia adalah menurunkan kemungkinan
terjadi pewarnaan latar belakang dan meningkatkan spesifisitas pelabelan. Selain

3
itu pengambilan antigen akan meminimalkan terjadinya hasil negatif palsu
(Renshaw 2006).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan gambaran
histopatologi organ limpa dan jantung sapi positif dan negatif terhadap infeksi C.
burnetii.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan membandingkan
gambaran histopatologi organ limpa dan jantung sapi positif dan negatif terhadap
infeksi C. burnetii.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Januari hingga Oktober 2013. Pengambilan
sampel dilakukan di RPH Cibinong, kabupaten Bogor. Pembuatan sediaan
histopatologi dan pewarnaan imunohistokimia dilakukan di Laboratorium
Histopatologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Peralatan
Pengambilan Sampel Organ
Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel organ
limpa dan jantung sapi potong yang diduga terinfeksi C. burnetii, larutan formalin,
dan tabung tempat penyimpanan sampel organ.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Bahan dan alat untuk pembuatan sediaan histopatologi berupa gelas ukur,
tissue cassette, tissue basket, tissue tang, parrafin embedding console, gelas objek,
gelas penutup, automatic tissue processor, mikrotom, staining system, alat
fotomicrograph, mikroskop cahaya, dan software image.
Pewarnaan Imunohistokimia
Xylene, etanol 95%, etanol 100%, phospat buffer saline (PBS), H2O2 0.3%,
buffer sitrat, microwave, blocking agent (Kit), dan counterstain dengan Mayer
Hematoksilin.

4
Prosedur Penelitian
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengamati keadaan organ limpa
dan jantung yang diduga menderita Q fever secara makroskopis. Sampel yang
diduga terinfeksi diambil dengan memisahkan jaringan yang terinfeksi dari organ
dan dimasukkan kedalam tabung yang berisi cairan formalin sebelum mendapakan
tindakan lebih lanjut di laboratorium. Sampel yang diambil berjumlah 50 sampel
organ dari 50 ekor sapi.
Sampel organ yang telah diambil dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3
mm, dimasukkan ke dalam tissue cassette kemudian dilakukan proses dehidrasi
dengan merendam sediaan tersebut secara berurutan ke dalam etanol 80%, 90%,
etanol absolut I, etanol absolut II, xylene I, xylene II, parafin I, dan parafin II selama
masing-masing 2 jam. Proses perendaman dilakukan secara otomatis dalam
automatic tissue processor selama 20 jam.
Pembuatan Blok Parafin
Pertama jaringan dicuci dengan PBS, kemudian jaringan tersebut difiksasi
dengan menggunakan buffer neutral formalin 10%. Selanjutnya dilakukan proses
dehidrasi dengan menggunakan etanol bertingkat (80%, 96%, dan absolut).
Jaringan yang telah didehidrasi kemudian di-clearing menggunakan xylene 2 kali,
masing-masing 60 menit. Proses dilanjutkan dengan infiltrasi menggunakan parafin
lunak selama 60 menit pada suhu 48°C, kemudian dilakukan pemblokan dalam
parafin keras pada cetakan dan didiamkan selama sehari. Parafin yang sudah
mengeras ditempelkan pada holder untuk dilakukan pemotongan setebal 4–6 µm
dengan mikrotom rotari.
Pemotongan Jaringan dalam Blok Parafin
Jaringan dipotong dengan mikrotom dengan ketebalan 5 mikrometer. Hasil
potongan dimasukkan ke dalam air hangat 45°C dalam waterbath untuk
menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dengan gelas objek
kemudian dikeringkan dalam inkubator 60°C.
Proses Deparafinisasi
Slide direndam didalam xylene sebanyak 2 kali dengan durasi masingmasing selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan proses rehidrasi menggunakan
etanol bertingkat (absolut III, absolut II, absolut I, 96%, 80%) masing-masing 5
menit dan dibilas dengan menggunakan H2O selama 5 menit, setelah itu
dikeringkan.
Pewarnaan Imunohistokimia (IHK)
Pertama slide preparat dicuci dengan PBS pH 7.2, kemudian diinkubasi
menggunakan 3% H2O2 (DacoInc) selama 10 menit. Slide selanjutnya dicuci
dengan PBS pH 7.2 sebanyak 3 kali selama 5 menit. Bloking menggunakan serum
1% BSA (Sigma USA) selama 60 menit. Slide preparat yang telah dibloking
diinkubasi dengan antibodi primer rabbit anti C. burnetii antibody (FKH-IPB)
selama 24 jam pada suhu 4oC (1:100). Slide yang telah diinkubasi tersebut dicuci
sebanyak 3 kali selama 5 menit dengan menggunakan PBS pH 7.2, kemudian

5
ditetesi dengan antibodi sekunder berlabel biotin (DakoInc) dan inkubasi lagi
selama 1 jam (1:200). Selanjutnya dilakukan pencucian sebanyak 3 kali selama 5
menit dengan menggunakan PBS pH 7.2, kemudian ditetesi dengan SA-HKP
(streptavidin horse radis peroxidase) (DakoInc) selama 40 menit (1:500). Slide
dicuci lagi dengan menggunakan PBS pH 7.2 sebelum dilakukan proses aplikasi
kromogen untuk HRP yaitu DAB (diamonobenzidine) (DacoInc) dan dibilas
dengan H2O. Slide yang telah dibilas selanjutnya dicuci lagi sebanyak 3 kali selama
5 menit dengan menggunakan PBS pH 7.2. Proses selanjutnya dilakukan counter
straining selama 10 menit dengan menggunakan Mayer Hematoksilin (lab vision),
kemudian dilakukan pencucian dengan tap water dan dilanjutkan dengan proses
mounting menggunakan PermountTM serta gelas penutup.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Pewarnaan dimulai dengan merendam slide ke dalam pewarna Mayer
Hematoksilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan Lithium
Karbonat selama 15-30 kali, dibilas dengan air mengalir lagi. Selanjutnya jaringan
dicelupkan ke dalam pewarna Eosin selama 2 menit. Sediaan dicuci dengan celupan
alkohol 90% sebanyak 10 kali, alkohol absolut I 10 kali, alkohol absolut II selama
2 menit, xylene I selama 1 menit, xylene II selama 1 menit. Langkah berikutnya
dilanjutkan dengan menenetesi sediaan dengan perekat PermountTM kemudian
ditutup dengan gelas penutup. Sediaan yang telah jadi diperiksa di bawah
mikroskop untuk melihat bagus atau tidak gambaran histopatologinya.
Pengamatan Sampel yang Telah Diwarnai
Pertama, sampel yang telah diwarnai IHK diamati secara screening dan
dibedakan antara sapi positif dengan sapi negatif Q fever. Sampel yang diamati
secara screening terdiri dari sampel organ limpa, jantung, paru-paru, dan hati. Perlu
diketahui bahwa penentuan positif dan negatif Q fever didasarkan pada individu
sapi, bukan pada organ. Setelah itu, dilakukan pengamatan dengan pewarnaan HE
untuk mengamati dan membandingkan lesio histopatologi antara sapi positif dan
sapi negatif Q fever. Jika berbeda lesionya, maka lesio tersebut merupakan lesio
spesifik sapi positif Q fever. Namun, jika mirip, maka lesio tersebut bukan
merupakan lesio spesifik sapi positif Q fever. Pengamatan lesio histopatologi yang
dilakukan antara lain berupa degenerasi otot jantung yang ditandai dengan
pemucatan dan hilangnya pola lurik otot jantung, deplesi pulpa putih limpa yang
ditandai dengan inti sel pulpa putih mengecil, rusak atau bergabung, kongesti pulpa
merah limpa yang ditandai dengan akumulasi pigmen hemosiderin, infiltrasi sel
radang, dan keberadaan jaringan ikat pada otot jantung untuk membedakan antara
gejala radang akut, kronis, atau kronis aktif pada jantung dan limpa. Gejala radang
akut ditunjukkan dengan adanya akumulasi sel radang neutrofil, gejala radang
kronis ditunjukkan dengan akumulasi sel radang limfosit dan juga fibrosis, serta
gejala radang kronis aktif yang ditandai dengan akumulasi sel radang neutrofil dan
limfosit secara bersamaan.

6
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Sediaan Imunohistokimia
Pengamatan sampel dengan pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk
menguji imunoreaktivitas organ terhadap infeksi C. burnetii. Sebanyak 9 dari 50
sampel yang diamati menunjukkan hasil positif terhadap Q fever. Sampel positif
terdiri dari 8 sampel organ limpa dan 1 sampel organ hati. Sampel-sampel tersebut
yaitu 3C, 12C, 13C, 14C, 26C, 27C, 28C, 34C, dan 41C. Hasil penelitian sampel
organ limpa dan hati dengan metode peroxidase-based terhadap keberadaan antigen
C. burnetii disajikan pada Gambar 1.

a
b
Gambar 1 Imunoreaktif positif terhadap C. burnetii pada organ limpa dengan
perbesaran 1000× (a) dan organ hati dengan perbesaran 400× (b).
Kelainan yang terlihat dari hasil uji adalah warna coklat (kelainan pada
Gambar 1 ditunjuk oleh tanda panah). Warna coklat yang terbentuk merupakan
reaksi antara polyclonal rabbit anti-Coxiella burnetii antibody FKH IPB terhadap
C. burnetii yang terdapat dalam jaringan. Hasil negatif terhadap polyclonal rabbit
anti-Coxiella burnetii antibody FKH IPB ditunjukkan dengan tidak terlihatnya
warna coklat dalam jaringan. Hal ini berarti jaringan tidak bersifat imunoreaktif
terhadap antibodi. Hasil negatif yang diperoleh karena dalam jaringan memang
tidak terdapat antigen C. burnetii.
Dari hasil penelitian ini, terbukti bahwa infeksi C. burnetii dapat menyebar
di jantung dan limpa inang. Hal ini dikarenakan hewan yang terinfeksi C. burnetii
mengalami bakterimia. Menurut Maurin dan Raoult (1999), apapun rute infeksi C.
burnetii, agen menyebar secara hematogen dan ditemukan di berbagai organ
termasuk limpa, hati, paru-paru, sumsum tulang, dan saluran reproduksi.
Penyebaran hematogen ini dapat memungkinkan agen C. burnetii ini banyak
terakumulasi di limpa karena fungsi limpa sebagai organ perombak sel darah merah
tua dan juga organ pertahanan. Stein et al. (2005) menyebutkan bahwa walaupun
terjadi infeksi melalui rute aerosol, lesio akibat infeksi tersebut dapat ditemukan
pada organ selain paru-paru seperti hati dan limpa.

7
Metode pewarnaan imunohistokimia ini didasarkan pada kemampuan
imunogenik dan reaksi enzimatik dalam analisis lokasi antigen target. Reaksi
imunologik akan ditandai dengan adanya reaksi yang terjadi antara antigen dan
antibodi, sedangkan reaksi enzimatis ditandai dengan reaksi kimiawi antara enzim
dan substrat. Beberapa keuntungan penggunaan pewarnaan imunohistokimia
adalah menurunkan kemungkinan terjadi pewarnaan latar belakang dan
meningkatkan spesifisitas pelabelan. Selain itu, pengambilan antigen akan
meminimalkan terjadinya hasil negatif palsu (Renshaw 2006).

Pengamatan Sediaan Haematoksilin dan Eosin
Sediaan diwarnai dengan pewarnaan HE untuk melihat struktur jaringan
termasuk kerusakan yang terjadi pada jaringan. Kerusakan yang terjadi pada
jaringan sapi yang positif terinfeksi C. burnetii akan menunjukkan lesio yang
kemungkinan disebabkan oleh agen. Pewarnaan HE ini digunakan untuk
membandingkan lesio jaringan yang ditemukan pada sapi yang positif dan negatif
Q fever.
Histopatologi Jantung
Pengamatan HE yang dilakukan terhadap sampel organ jantung
menunjukkan hasil 47 normal, 2 gejala radang kronis, dan 1 gejala radang akut.
Secara umum, sampel organ jantung hanya sedikit yang menunjukkan tanda
peradangan. Peradangan pada jantung hanya terjadi pada sapi negatf Q fever. Hal
tersebut terjadi karena masuknya agen asing selain C. burnetii ke dalam tubuh dan
menyerang jantung. Deskripsi gejala peradangan organ jantung antara sapi positif
dan negatif Q fever disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Deskripsi gejala peradangan organ jantung antara sapi positif dan sapi
negatif Q fever
Gejala radang
Normal
Akut
Kronis
Kronis aktif

Sapi
Positif

Negatif

9/9
-

38/41
1/41
2/41
-

Pengamatan HE organ jantung menunjukkan gambaran lesio berupa
degenerasi otot jantung, akumulasi sel radang, dan fibrosis. Degenerasi otot jantung
cukup banyak ditemukan pada sampel organ jantung yang diamati. Hal ini dapat
dilihat dari 12 sampel yang menunjukkan gambaran lesio tersebut yang terdiri dari
2 sampel positif dan 10 sampel negatif Q fever. Sedangkan gambaran akumulasi sel
radang jarang ditemukan, karena hanya terlihat 3 dari 50 sampel menunjukkan
gambaran akumulasi sel radang. Akumulasi sel radang ini hanya terjadi pada sapi
negatif Q fever yang diduga berasal dari infeksi agen asing selain C. burnetii.

8
Deskripsi lesio histopatologi organ jantung antara sapi positif dan negatif Q fever
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ jantung antara sapi positif
dan sapi negatif Q fever
Lesio
Degenerasi otot jantung
Sel radang
Neutrofil
Limfosit
Fibrosis

Sapi
Positif

Negatif

2/9

10/41

-

1/41
2/41
1/41

Jantung sapi dapat mengalami lesio karena masuknya agen asing dan diet
pakan yang kurang baik. Lesio tersebut dapat berupa degenerasi otot jantung dan
akumulasi sel radang. Gambaran lesio histopatologi organ jantung disajikan pada
Gambar 2.

a
b
c
Gambar 2 Degenerasi otot jantung dengan perbesaran 400× (a), akumulasi sel
radang neutrofil dengan perbesaran 1000× (b), serta akumulasi sel
radang limfosit dan fibrosis dengan perbesaran 400× (c).
Degenerasi otot jantung (Gambar 2a) merupakan lesio yang umum. Baik
sapi positif maupun negatif Q fever menunjukkan lesio yang mirip. Gambar 2b
menunjukkan akumulasi sel radang neutrofil pada otot jantung, lesio ini dinamakan
radang akut. Gambar 2c menunjukkan akumulasi sel radang limfosit dan fibrosis
sehingga diduga gejala yang timbul berupa radang kronis. Menurut Valli (2007),
limfositosis yang terjadi pada ruminansia merespon terjadinya penyakit kronis.
Gambaran (b) dan (c) hanya dijumpai pada sapi negatif Q fever.
Otot jantung yang mengalami degenerasi akan kehilangan pola luriknya,
sehingga warna menjadi pucat. Kejadian ini dapat disebabkan oleh defisiensi
vitamin E dan atau unsur selenium (Se) (Maxie dan Robinson 2007). Defisiensi
terjadi kemungkinan hewan diberikan diet yang rendah kandungan vitamin E dan
selenium.
Akumulasi sel radang dapat terjadi karena masuknya agen asing ke dalam
tubuh dan menginfeksi jantung. Kejadian masuknya agen ini mendapat respon dari
sel pertahanan tubuh dan mengakibatkan terjadinya akumulasi sel radang di sekitar

9
area masuknya agen asing tersebut. Fibrosis ditandai dengan menebalnya jaringan
ikat yang ada di dalam struktur organ jantung jika dilihat secara mikroskopis.
Histopatologi Limpa
Peradangan pada limpa terjadi karena masuknya agen asing ke dalam tubuh
dan menyerang limpa. Peradangan tersebut dapat bersifat akut, kronis, atau kronis
aktif. Splenitis akut tidak terlihat pada sampel yang diamati. Splenitis kronis terlihat
pada 6 sampel, yaitu 2 dari sapi positif dan 4 dari sapi negatif Q fever. Sedangkan
splenitis kronis aktif terlihat pada 37 sampel yang terbagi menjadi 7 sapi positif dan
30 sapi negatif Q fever. Deskripsi gejala peradangan organ limpa antara sapi positif
dan negatif Q fever disajikan pada tabel 3.
Tabel 3 Deskripsi gejala peradangan organ limpa antara sapi positif dan sapi
negatif Q fever
Gejala radang
Normal
Akut
Kronis
Kronis aktif

Sapi
Positif

Negatif

2/9
7/9

6/41
4/41
31/41

Radang akut ditandai dengan akumulasi sel radang neutrofil. Radang kronis
ditandai dengan akumulasi sel radang limfosit (lebih sering terlihat pada pulpa
merah limpa). Radang kronis aktif gejalanya merupakan gabungan antara radang
akut dan kronis, yaitu terdapat akumulasi sel radang limfosit dan juga neutrofil
secara bersamaan.
Gambaran limpa yang diamati yaitu deplesi pulpa putih, kongesti pulpa
merah, splenitis kronis, dan splenitis kronis aktif. Gambaran deplesi pulpa putih
dapat terlihat pada 9 sampel yang berasal dari 4 sapi positif dan 5 sapi negatif Q
fever. Kongesti pulpa merah dapat terlihat pada 25 sampel, berasal dari 7 sapi positif
dan 18 sapi negatif Q fever.
Gambaran lainnya yang terlihat adalah akumulasi sel radang neutrofil dan
limfosit pada pulpa merah limpa. Sel radang neutrofil dapat terlihat pada 7 sapi
positif dan 30 sapi negatif Q fever. Sedangkan sel radang limfosit dapat terlihat pada
2 sapi positif dan 4 sapi negatif. Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ limpa
antara sapi positif dan sapi negatif Q fever disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Deskripsi gambaran lesio histopatologi organ limpa antara sapi positif dan
sapi negatif Q fever
Lesio
Deplesi pulpa putih
Kongesti pulpa merah
Sel radang
Neutrofil
Limfosit

Sapi
Positif

Negatif

4/9
7/9

5/41
18/41

7/9
2/9

31/41
4/41

10
Lesio pada limpa menunjukkan adanya deplesi pulpa putih, kongesti pulpa
merah, dan akumulasi sel radang. Lesio tersebut dapat disebabkan oleh banyak
faktor, seperti pakan, manajemen pemeliharaan, proses pemotongan, maupun
masuknya agen asing ke dalam tubuh sapi. Gambaran lesio histopatologi organ
limpa disajikan pada Gambar 3.

a

Gambar 3

b

c
d
Gambaran deplesi pulpa putih dengan perbesaran 400× (a), kongesti
pulpa merah dengan perbesaran 1000× (b), splenitis kronis dengan
perbesaran 400× (c), dan splenitis kronis aktif dengan perbesaran
1000× (d).

Gambar 3a menunjukkan lesio berupa deplesi pulpa putih yang ditandai
dengan celah antar sel yang terjadi pada pulpa putih dan juga inti sel pada pulpa
putih mengalami karyoreksis, karyolisis, dan karyopiknosis (Suttie 2006). Susunan
sel-sel pulpa putih normal adalah rapat. Namun, pada kejadian deplesi pulpa putih
susunannya merenggang akibat sel-sel yang tidak beraturan bentuknya. Gambar 3b
menunjukkan gejala kongesti pulpa merah yang ditandai dengan akumulasi pigmen
hemosiderin. Akumulasi pigmen hemosiderin di pulpa merah limpa ini merupakan
produk dari perombakan sel darah merah yang berlebihan karena terjadi kongesti
pembuluh darah limpa. Pigmen hemosiderin seringkali terakumulasi dalam
makrofag sehingga disebut hemosiderin-containing macrophages atau
hemosiderofag. Kejadian ini dapat berasosiasi dengan kejadian hemoragi dan
kongesti (Suttie 2006).
Gambar 3c menunjukkan akumulasi sel radang limfosit di pulpa merah.
Menurut Valli (2007), limfositosis yang terjadi pada ruminansia merespon
terjadinya penyakit kronis. Gambar 3d juga menunjukkan akumulasi sel radang

11
neutrofil yang merupakan tanda radang kronis aktif. Gambaran peradangan ini
dapat ditemukan baik pada sapi positif maupun sapi negatif Q fever. Valli (2007)
mengatakan bahwa limpa akan memberikan respon dengan cepat berupa infiltrasi
sel radang neutrofil dalam jumlah besar pada marginal zone dan area sinus pada
saat terjadi septisemia.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 dari 50 sampel positif Q fever. Lesio
sapi positif Q fever menunjukkan degenerasi otot jantung, akumulasi sel radang
pada jantung, deplesi pulpa putih limpa, kongesti pulpa merah limpa, dan akumulasi
sel radang pada limpa. Lesio tersebut bukan merupakan lesio spesifik Q fever
karena dapat ditemukan pada sapi negatif Q fever. Kelainan Q fever dapat dideteksi
dengan lebih tepat dengan metode IHK. Oleh karena itu, pewarnaan IHK baik untuk
mendeteksi Q fever.

DAFTAR PUSTAKA

Balogh R, Horvath G, Szakal AK. 2004. Immunoarchitecture of distinct reticular
fibroblastic domains in the white pulp of mouse spleen. J Histochem
Cytochem 52, 1287-98.
Brouqui P, Raoult D. 2006. New insight into the diagnosis of fastidious bacterial
endokarditis. FEMS Immunol Med Microbiol. 47:1–13.
Byrne WR. 2007. Q fever. Medical Aspects of Chemical and Biological Warfare.
523–527.
Cesta MF. 2006. Normal structure, function, and histology of the spleen. Toxicol
Pathol. 34:455-465
Ergas D, Keysari A, Edelstein V, Sthoeger ZM. 2006. Acute Q fever in Israel:
clinical and laboratory study of 100 hospitalized patients. I M A J. 8:337–
341.
Guatteo R, Seegers H, Taurel AF, Joly A, Beaudeau FO. 2011. Prevalence of
Coxiella burnetii infection in domestic ruminants: a critical review. Vet
Microbiol. 14(9):1–16.
Houpikian P, Habib G, Mesana T, Raoult D. 2002. Changing clinical presentation
of Q fever endokarditis. Clin Infect Dis. 34:E28–E331.
Htwe KK, Amano A, Sugiyama Y. 1992. Seroepidemiology of Coxiella bunetii in
domestic and companion animals in Japan. Vet Record. (1992):131490.
Kaplan MM, Bertagna P. 1955. The geographical distribution of Q fever. Bull. Wld.
Hlth. Org. 13:829-860.
Kuper DF, de Heer E, Loveren HV, Vos JG. 2002. Immune system. In Handbook
of Toxicologic Pathology (WM Haschek, CG Rousseaux, and MA Wallig,
eds.), Vol. 2, pp. 585-646. Academic Press, San Diego.

12
Lepidi H, Coulibaly B, Casalta JP, Raoult D. 2006. Autoimmunohistochemistry. A
new method for the histologic diagnosis of infective endokarditis. J Infect
Dis. 193:1711–1717.
Mahatmi H, Setiyono A, Soejoedono RD, Pasaribu FH. 2007. Deteksi Coxiella
burnetii penyebab Q fever pada sapi, domba dan kambing di Bogor dan Bali.
J Vet. :180-182.
Marrie, T.J. 2003. C. burnetii pneumonia. Eur Resp J. 21(4):713–719.
Martens K, Samuel JE. 2007. Bacteriology of Coxiella: rickettsial diseases: 257–
270.
Maurin M, Raoult D. 1999. Q fever. J. Clin. Microbiol Rev. 12(4):518–533.
Maxie MG, Robinson WF. 2007. Cardiovascular System. IN: Pathology of
Domestic Animals. Ed ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders
Elsevier.
Mc Caughey C, Murray LJ, Mc Kenna JP, Menzies FD, Mc Cullough SJ, O’Neill
HJ, Wyatt DE, Cardwell CR, Coyle PV. 2010. C. burnetii (Q fever)
seroprevalence in cattle. Epidemiol Infect. 138:21–27.
Nolte MA, Hamann A, Kraal G, Mebius RE. 2002. The strict regulation of
lymphocyte migration of splenic white pulp does not involve common
homing receptors. Immunology 106. 299-307.
Raoult D. 2002. Q fever: Still a mysterious disease. Q. J. Med. 95:491-492.
Renshaw S. 2006. Immunochemical Staining Techniques Chapter 4.
Immunohistochemistry: Methods Express. London (GB): Socion Pub Ltd.
Seshadri R, Paulsen IT, Eisen JA. 2003. Complete genome sequence of the Q fever
pathogen Coxiella burnetii. PNAS. 100(9):5455–5460.
Stein A, Luoveau C, Lepidi H, Ricci F, Baylac P, Davoust B, Raoult D. 2005. Q
fever Pneumonia: virulence of Coxiella burnetii pathovars in a murine
model of aerosol infection. J. Infect Immun. 73(4):2469–2477.
Suttie AW. 2006. Histopathology of the Spleen. Toxicol Pathol. 34: 466-503.
Tissot-Dupont, H., Raoult, D., 2007. Clinical aspects, diagnosis and treatment of Q
fever: Rickettsial diseases. 291–301.
Valli VEO. 2007. Hematopoietic System. In: Pathology of Domestic Animals. Ed
ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier.

13

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 30 Desember 1990 di kabupaten Brebes, Jawa
Tengah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara pasangan drs Tulus
Haryanto dan dra Faridatun. Pada tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa
di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis sebelumnya yaitu SD Negeri
Linggapura 01 pada tahun 1997, SMP Islam Ta’allumul Huda Bumiayu pada tahun
2003, dan SMA Negeri 1 Bumiayu pada tahun 2006. Selama masa perkuliahan,
penulis aktif dalam berbagai lembaga kemahasiswaan. Beberapa lembaga
kemahasiswaan yang pernah diikuti penulis yaitu anggota Badan Eksekutif
Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB, ketua komisi 1 DPM FKH IPB,
anggota MPM KM IPB, ketua umum DPM FKH IPB, anggota Badan Pengawas
Imakahi, dan ketua DPM KM IPB. Prestasi akademik yang pernah diraih penulis
selama perkuliahan yaitu 10 besar mahasiswa berprestasi pada Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor tahun 2013. Prestasi non akademik yang pernah
diraih adalah peserta Indonesia Leadership Camp UI 2013, delegasi DPM KM IPB
pada acara Musyawarah Kerja Nasional di UI, Rapat Koordinasi Nasional di
Universitas Mulawarman, dan Musyawarah Nasional di UGM dalam forum
lembaga legislatif mahasiswa Indonesia (FL2MI) tahun 2013.