Kajian Histopatologi Limpa dan Jantung Sapi yang Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor

KAJIAN HISTOPATOLOGI LIMPA DAN JANTUNG SAPI
YANG TERINFEKSI Coxiella burnetii DI RUMAH POTONG
HEWAN TERPADU KOTA BOGOR

WULANDARI UTAMI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Histopatologi
Limpa dan Jantung Sapi yang Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong
Hewan Terpadu Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Wulandari Utami
NIM B04090042

.
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
WULANDARI UTAMI. Kajian Histopatologi Limpa dan Jantung Sapi yang
Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor.
Dibimbing oleh AGUS SETIYONO dan MAWAR SUBANGKIT.
Coxiella burnetii merupakan agen penyebab zoonosis Query fever. Penyakit
ini meyerang berbagai jenis hewan termasuk sapi potong. Gejala yang
ditimbulkan oleh infeksi C. burnetii bersifat subklinis sehingga sulit didiagnosa.
Penelitian tentang infeksi C. burnetii pada sapi dilakukan sejak bulan Februari
hingga Oktober 2013 di RPH Terpadu Kota Bogor. Penelitian dilakukan untuk
mengetahui adanya infeksi C. burnetii serta membandingkan gambaran
histopatologi organ limpa dan jantung sapi yang terinfeksi dan tidak terinfeksi C.

burnetii. Sampel organ berupa limpa, jantung, hati, ginjal, dan paru-paru diambil
dari 50 individu sapi, kemudian dilakukan pembuatan sediaan histopatologi dan
diwarnai dengan teknik pewarnaan imunohistokimia dan hematoksilin dan eosin.
Hasil pewarnaan imunohistokimia menunjukkan 5 sampel yang imunoreaktif
terhadap antibodi poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB. Hasil positif
ditemukan pada organ limpa, hati, dan ginjal. Pewarnaan hematoksilin dan eosin
pada sediaan limpa yang positif terinfeksi C. burnetii menunjukkan lesio berupa
akumulasi pigmen hemosiderin, deplesi folikel limfoid, infiltrasi sel radang
limfosit, makrofag, neutrofil, dan eosinofil, serta edema. Lesio yang sama juga
ditemukan pada sediaan limpa yang negatif terinfeksi C. burnetii, sehingga lesio
dianggap tidak patognomonis. Tidak ditemukan lesio pada sediaan jantung yang
positif terinfeksi C. burnetii, namun ditemukan lesio pada sediaan jantung yang
negatif terinfeksi C. burnetii berupa degenerasi miokardium, regenerasi
miokardium, dan kongesti ringan.
Kata kunci: Coxiella burnetii, histopatologi, imunohistokimia, jantung, limpa

ABSTRACT
WULANDARI UTAMI. Histopathological Study on Spleen and Heart of Cattle
Infected by Coxiella burnetii at Bogor Slaughterhouse. Supervised by AGUS
SETIYONO and MAWAR SUBANGKIT.

Query fever is a zoonotic disease caused by Coxiella burnetii. This agent
infects any kinds of animal including cattle. In many cases report, there are no
clinical signs appear during the infection of C. burnetii. Then, it is also difficult to
diagnose this disease. The study about infection of C. burnetii in cattle was carried
out from February to October 2013 at Bogor Slaughterhouse. The aim of this
study was to know the infection of C. burnetii and compare the histopathological
finding of spleen and heart of infected cattle. A total of 50 samples of cattle spleen,
heart, liver, kidney, and lung were collected, and processed for
immunohistochemical and hematoxyllin and eosin staining. The result of
immunohistochemical staining showed 5 samples were immunoreactive to
polyclonal rabbit anti-Coxiella burnetii antibody FKH IPB in the spleen, liver,
and kidney. The histopathological finding indicated hemosiderin pigment deposits,
lymphoid follicle depletion, infiltration of lymphocyte, macrophage, neutrophil,
and eosinophil cells, and oedema. No lesion appeared in heart with positive
infection of C. burnetii, however myocardial degeneration, myocardial
regeneration, and myocardial congestion were found in heart with negative
infection of C. burnetii.
Keywords: cattle, Coxiella burnetii, heart, immunohistochemistry, spleen

KAJIAN HISTOPATOLOGI LIMPA DAN JANTUNG SAPI YANG

TERINFEKSI Coxiella burnetii DI RUMAH POTONG HEWAN
TERPADU KOTA BOGOR

WULANDARI UTAMI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Kajian Histopatologi Limpa dan Jantung Sapi yang Terinfeksi
Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor
Nama
: Wulandari Utami

NIM
: B04090042

Disetujui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Pembimbing I

drh Mawar Subangkit, MSi APVet
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

Judul Skripsi: Kajian Histopatologi Limpa dan Jantung Sapi yang Terinfeksi
Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor

Nama
: Wulandari Utami
: B04090042
NIM

Disetujui oleh

drh Mawar Subangkit MSi APVet
Pembimbing IT

drh A

Tanggal Lulus:

0 7 JAN 20 14

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari sampai Oktober 2013 ini

adalah Q fever, dengan judul Kajian Histopatologi Limpa dan Jantung Sapi yang
Terinfeksi Coxiella burnetii di Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada drh Agus Setiyono, MS PhD APVet dan drh
Mawar Subangkit, MSi APVet yang telah membimbing penulis mulai dari
pemilihan materi penelitian hingga penulisan skripsi. Terima kasih atas segala
masukan dan sarannya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ayahanda Syahruddin S, ibunda
Humaerah, adinda Ayu Syafitri, adinda Sri Rezki Khairunnisa, adinda Noviana
Maharani, keluarga besar penulis di Kabupaten Bulukumba dan Kota Palopo,
teman-teman Geochelone FKH 46, serta teman-teman IKAMI Sulawesi Selatan
atas doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis selama ini. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Tim Peneliti Q Fever (Srimita Kristiani Br. Sembiring,
Andre Yudhi, dan Hario Pranaditya Munif AN), Bambang Rifky Yudyantoro,
dokter hewan dan staf Rumah Potong Hewan Terpadu Kota Bogor, serta staf
Laboratorium Histopatologi FKH IPB (Pak Kas, Pak Sholeh, dan Pak Endang)
yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen dan staf di Institut Pertanian
Bogor, terkhusus di Fakultas Kedokteran Hewan yang telah dengan ikhlas
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan sebagai bekal penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini serta bekal di kemudian hari. Semoga skripsi ini

bermanfaat. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Bogor, Januari 2014
Wulandari Utami

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

3

Tujuan Penelitian

3

Manfaat Penelitian

3

METODE PENELITIAN


3

Waktu dan Tempat Penelitian

3

Peralatan Penelitian

4

Bahan Penelitian

4

Prosedur Penelitian

4

HASIL DAN PEMBAHASAN


6

Pengamatan Sediaan Imunohistokimia

6

Pengamatan Sediaan Hematoksilin dan Eosin

8

SIMPULAN DAN SARAN

15

Simpulan

15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

RIWAYAT HIDUP

19

DAFTAR TABEL
1 Hasil pengamatan sediaan dengan pewarnaan IHK menggunakan
antibodi poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB
2 Hasil pengamatan lesio pada sediaan histopatologi limpa yang positif dan
negatif terhadap infeksi C. burnetii
3 Hasil pengamatan lesio pada sediaan histopatologi jantung yang positif dan
negatif terhadap infeksi C. burnetii

6
9
13

DAFTAR GAMBAR
1 Hasil pewarnaan IHK dengan metode LSAB, kromogen DAB, antibodi
poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB, dan counterstain Mayer
Hematoksilin pada organ limpa
2 Hasil pewarnaan IHK dengan metode LSAB, kromogen DAB, antibodi
poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB, dan counterstain
Mayer Hematoksilin pada organ ginjal
3 Hasil pewarnaan IHK dengan metode LSAB, kromogen DAB, antibodi
poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB, dan counterstain
Mayer Hematoksilin pada organ hati
4 Limpa dengan akumulasi pigmen hemosiderin
5 Limpa yang mengalami deplesi pulpa putih
6 Limpa yang diinfiltrasi sel radang neutrofil dan eosinofil
7 Limpa yang diinfiltrasi sel radang limfosit dan makrofag
8 Limpa yang mengalami edema
9 Limpa yang mengalami hemoragi di sekitar pembuluh darah
10 Limpa yang mengalami hemoragi pada trabekula
11 Jantung yang mengalami degenerasi otot
12 Jantung yang mengalami regenerasi otot
13 Jantung yang mengalami kongesti

7

7

8
9
10
10
11
11
12
13
14
14
15

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang rentan terkena wabah Query fever (Q
fever). Hal ini dikarenakan Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar
mata pencaharian penduduknya adalah petani dan peternak. Pertanian sering
diiringi dengan kegiatan yang berkontak langsung dengan hewan terutama
ruminansia besar (Rasmana 2007). Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013 tentang penetapan jenis penyakit hewan
menular strategis (PHMS) ditetapkan 22 jenis PHMS di Indonesia, salah satunya
Q fever. Masuknya Q fever dalam daftar PHMS menjadi bukti kekhawatiran
pemerintah Indonesia terhadap bahaya Q fever.
Coxiella burnetii (C. burnetii) adalah agen penyebab terjadinya Q fever. Q
fever merupakan zoonosis yang sangat menular pada hewan maupun manusia
(Setiyono et al. 2008). Bakteri C. burnetii merupakan mikroorganisme Gram
negatif yang bersifat obligat intraseluler pada inangnya (Maurin dan Raoult 1999).
Menurut Center for Diseases Control and Prevention (CDC 2013), C. burnetii
tergolong dalam kelompok B yaitu mikroorganisme berbahaya yang berpotensi
menjadi senjata biologi. C. burnetii mempunyai daya tahan yang sangat tinggi di
alam dan dosis infeksius yang rendah (Setiyono et al. 2008).
Menururt Angelakis dan Raoult (2010) transmisi penyakit Q fever pada
hewan sangat dipengaruhi oleh siklus hidup caplak. Transmisi Q fever pada
hewan terjadi melaui rute aerosol, perkutan, oral, seksual, transplasenta, dan
transmamari. Transmisi penyakit Q fever pada manusia dapat terjadi melalui rute
aerosol, oral, seksual, dan dipengaruhi oleh umur.
Hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain ruminansia (sapi,
kambing, dan domba), unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta
hewan liar (Maurin dan Raoult 1999; Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan
Raoult 2010). Rodensia, caplak, serangga, bahkan ikan juga merupakan sumber
penularan penting bagi penyakit Q fever (Marrie 2003). Beberapa hewan yang
terinfeksi C. burnetii dapat mengalami bakteremia. Hal ini mengakibatkan caplak
dapat bertindak sebagai vektor Q fever selama proses makan dari caplak tersebut
(Maurin dan Raoult 1999). Sumber infeksi utama C. burnetii pada manusia adalah
hewan ternak seperti sapi, kambing dan domba (Fournier et al. 1998).
Manifestasi klinis dari infeksi C. burnetii terdiri dari 2 bentuk yaitu akut dan
kronis. Fournier et al. (1998) menyatakan bahwa bentuk akut Q fever pada
manusia dapat berupa demam, hepatitis, pneumonia, ruam pada kulit, dan gejala
pada syaraf, sedangkan bentuk kronis Q fever berupa endokarditis, kondisi ini
dapat terjadi sebagai kelanjutan dari bentuk akut Q fever. Infeksi kronis C.
burnetii sering terjadi 6 bulan setelah onset. Endokarditis merupakan manifestasi
klinis yang paling sering ditemukan pada kasus Q fever kronis (Fournier et al.
1998; Maurin dan Raoult 1999; Angelakis dan Raoult 2010).
Infeksi C. burnetii pada hewan sering bersifat subklinis. Selama terjadi
infeksi akut, C. burnetii dapat ditemukan di darah, paru-paru, limpa, dan hati.
Infeksi kronis C. burnetii pada hewan menyebabkan agen dapat ditemukan pada
feses dan urin (Angelakis dan Raoult 2010). Menurut Setiyono et al. (2008)

2
kambing dan domba yang terinfeksi C. burnetii akan menunjukkan gejala klinis
berupa gangguan reproduksi seperti abortus. Kambing, domba, dan sapi
merupakan hewan yang dapat bertindak sebagai carrier subklinis, sehingga dapat
menyebarkan bakteri melalui sekreta dan eksretanya (OIE 2010). Stein et al.
(2005) melakukan penelitian berupa mencit yang diinfeksi C. burnetii melaui rute
aerosol. Mencit menunjukkan gejala klinis berupa rambut yang kusut dan inaktif
pada 4 hingga 7 hari setelah infeksi. Pengamatan sediaan histopatologi
menunjukkan mencit mengalami pneumonia, hepatitis, dan splenitis.
Diagnosa Q fever berdasarkan kemunculan gejala klinis sulit dilakukan. Hal
ini disebabkan gejala klinis sering kali bersifat polimorfik, nonspesifik, dan akut.
Beberapa kasus lain justru tidak menunjukkan gejala sama sekali atau bersifat
subklinis (Fournier et al. 1998). Diperlukan diagnosa secara laboratoris untuk
peneguhan diagnosa awal (Setiyono et al. 2008). Beberapa teknik diagnosa Q
fever dengan imunodeteksi yang sering digunakan yaitu pewarnaan
imunohistokimia, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau enzymelinked immunofluorescent assay, dan uji dot immunoblotting (Fournier et al.
1998).
Salah satu teknik diagnosa yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
keberadaan C. burnetii di dalam sel atau jaringan adalah pewarnaan
imunohistokimia (IHK). IHK merupakan suatu teknik yang dilakukan untuk
mendeteksi keberadaan berbagai macam komponen yang terdapat di dalam sel
atau jaringan dengan menggunakan prinsip reaksi ikatan antigen dan antibodi
(Porter et al. 2011). Penggunaan antibodi primer yang bersifat monoklonal atau
poliknonal yang spesifik berikatan dengan antigen yang terdapat pada jaringan.
Antibodi primer berikatan dengan antibodi sekunder yang dapat divisualisasikan
oleh kromogen dalam bentuk warna (Subangkit 2012). Menurut Key (2009)
terdapat 2 tipe pewarnaan IHK yaitu pewarnaan IHK secara langsung (direct
method) dan tidak langsung (indirect method). Pewarnaan IHK secara langsung
melibatkan hanya satu antibodi, sedangkan pewarnaan IHK secara tidak langsung
melibatkan lebih dari satu antibodi. Terdapat beberapa jenis pewarnaan IHK
secara tidak langsung misalnya metode peroxidase anti-peroxidase (PAP)
complex, metode avidin-biotin complex (ABC), dan metode labeled streptavidinbiotin (LSAB).
Sapi potong termasuk komoditi ternak yang banyak diminati peternak di
Indonesia. Hewan ini berpotensi menjadi reservoir dan inang C. burnetii.
Pemotongan sapi potong dengan baik dan benar dalam skala besar dilakukan di
Rumah Potong Hewan (RPH). RPH merupakan tempat pemotongan hewan yang
didatangkan dari berbagai daerah. RPH dapat menjadi salah satu sarana baru
penyebaran penyakit Q fever ke berbagai daerah. Salah satu RPH yang memiliki
aktivitas pemotongan sapi yang cukup tinggi adalah RPH Terpadu Kota Bogor.
Berdasarkan data lapangan diketahui RPH Terpadu Kota Bogor dapat memotong
sekitar 30 sampai 40 ekor sapi setiap harinya.
Pengamatan sediaan histopatologi individu yang diduga terinfeksi C.
burnetii dilakukan pada 2 organ yaitu limpa dan jantung. Limpa merupakan organ
limfatik terbesar dalam tubuh yang memiki fungsi penting dalam sistem imun dan
sirkulasi sistemik. Limpa dilindungi oleh jaringan ikat yang disebut kapsula dan
trabekula. Jaringan limpa berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan syaraf
(Cesta 2006). Limpa terdiri atas 2 kompartemen yaitu pulpa merah dan pulpa

3
putih. Menurut Cesta (2006) pulpa merah terdiri dari 2 subkompartemen yaitu
bingkai limpa dan sinus venosus. Bingkai limpa disusun oleh serat retikular, sel
retikular, dan makrofag. Pulpa merah merupakan filter darah yang mengeliminasi
material asing dan berbahaya serta eritrosit yang sudah tua (Krieken dan Orazi
2007). Fungsi limfatik limpa dijalankan oleh pulpa putih. Pulpa putih terdiri atas 3
subkompartemen yaitu periarteriol lymphoid sheath (PALS), folikel, dan zona
marginal (Ross dan Pawlina 2011). Pulpa putih disusun oleh limfosit, makrofag,
sel dendritik, sel plasma, arteriol, dan kapiler dalam jaringan retikular (Cesta
2006). Jantung merupakan organ yang berfungsi memompa darah yang kaya
oksigen dan nutrisi melalui sistem sirkulasi, selain itu juga memompa darah yang
telah dioksigenasi ke sistem sirkulasi pulmonum. Jantung terbagi menjadi bagian
dextra dan sinistra, setiap bagian terdiri dari atrium dan ventrikel. Dinding jantung
secara histologi memiliki 3 lapisan yaitu epikardium, miokardium, dan
endokardium (Maxie dan Robinson 2007).
Perumusan Masalah
Penelitian ini mengkaji mengenai histopatologi organ limpa dan jantung
sapi yang diduga telah terinfeksi C. burnetii di RPH Terpadu Kota Bogor.
Pengambilan sampel (limpa, jantung, hati, ginjal, dan paru-paru) dilakukan pada
50 individu sapi. Organ tersebut diwarnai menggunakan metode imunohistokimia
(IHK) untuk mendeteksi adanya infeksi C. burnetii. Pewarnaan hematoksilin dan
eosin (HE) pada sampel organ limpa dan jantung untuk melihat lesio yang
ditimbulkan oleh C. burnetii pada organ tersebut dan membandingkan dengan
sediaan yang tidak terinfeksi C. burnetii.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya kejadian Q fever pada sapi
di RPH Terpadu Kota Bogor. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui dan
membandingkan gambaran histopatologi organ limpa dan jantung yang terinfeksi
dan tidak terinfeksi C. burnetii melalui pengamatan terhadap sediaan histopatologi
dari sapi di RPH Terpadu Kota Bogor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mendeteksi adanya penyakit Q fever pada
sapi di RPH Terpadu Kota Bogor. Mengetahui gambaran histopatologi penyakit Q
fever pada sampel limpa dan jantung dari individu yang positif atau negatif
terinfeksi C. burnetii.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari 2013. Pembuatan dan
pengamatan sediaan histopatologi dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga

4
Oktober 2013. Kegiatan pengambilan sampel organ hewan yang diduga terinfeksi
C. burnetii bertempat di RPH Terpadu Kota Bogor. Pembuatan dan pengamatan
sediaan histopatologi dilakukan di Laboratorium Histopatologi, Departemen
Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Peralatan Penelitian
Alat yang digunakan dalam proses penelitian ini yaitu sarung tangan,
gunting, pinset, botol sampel, kertas label tissue cassette, keranjang jaringan,
automatic tissue processor, Paraffin Embedding Console, cetakan blok parafin,
mikrotom putar, penangas air, inkubator, refrigerator, gelas objek, chamber, gelas
penutup, tissue, heater, gelas piala, pipet tetes, dan mikroskop cahaya.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam proses penelitian ini yaitu sampel organ
(limpa, jantung, hati, ginjal, dan paru-paru sapi), parafin cair, etanol bertingkat
(absolut, 96%, 80%, 70%), xylene, pewarna Mayer Hematoksilin, pewarna Eosin,
Litium Karbonat, mounting medium (Permount®), poly-L-lysine, akuades, PBS
(Phosphate Buffer Saline), H2O2 0.3%, FBS (Fetal Bovine Serum) 1%, antibodi
primer (polyclonal antibody rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB), kit
pewarnaan imunohistokimia yang terdiri dari biotin, streptavidine, dan
diamminobenzidine (DAB).
Prosedur Penelitian
Persiapan Pengambilan Sampel
Pembuatan surat izin dari Dinas Peternakan Kota Bogor untuk melakukan
pengambilan sampel di RPH yang berlokasi di kota Bogor. RPH tersebut adalah
RPH Terpadu Kota Bogor. Pembuatan surat pengantar dari institusi yaitu Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor kepada RPH Terpadu Kota Bogor.
Proses Pengambilan Sampel
Sampel berupa limpa, jantung, hati, ginjal, dan paru-paru diambil sesaat
setelah proses penyembelihan dilakukan, dilakukan dengan melihat adanya lesio
atau penyimpangan terhadap organ tersebut (organ dari hewan yang diduga
terinfeksi C. burnetii). Sampel diambil dari 50 individu dan dilakukan selama 2
minggu. Sampel organ diambil sebesar 1×1×2 cm setiap organ, lalu disimpan
dalam botol sampel berisi BNF 10% dan diberi kertas label. Hal ini bertujuan
untuk mengawetkan sampel agar tidak rusak selama penyimpanan.
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Sampel organ dipotong dengan ketebalan kurang lebih 3 mm, dimasukkan
ke dalam tissue cassette, lalu keranjang jaringan. Sampel organ tersebut kemudian
didehidrasi dalam etanol 70%, 80%, 90%, 96%, 96%, absolut I, absolut II,
kemudian clearing dengan xylene I dan xylene II, dan infiltrasi parafin dengan
parafin I dan parafin II masing-masing selama 2 jam. Proses tersebut dilakukan
secara otomatis menggunakan automatic tissue processor.

5
Jaringan diletakkan pada cetakan blok parafin yang telah diisi dengan
sedikit parafin cair agar jaringan terfiksir dengan sempurna. Letak jaringan diatur
sedemikian rupa agar selalu berada di tengah-tengah cetakan. Cetakan diisi penuh
dengan parafin cair kemudian didiamkan hingga mengeras.
Blok parafin berisi jaringan sebaiknya dimasukkan ke dalam refrigerator
dengan suhu 4 ºC agar konsistensinya lebih padat sehingga pemotongan lebih
mudah dan hasilnya lebih baik. Jaringan dipotong (trimming) menggunakan
mikrotom dengan ketebalan 5 µm, selanjutnya diletakkan dalam penangas air
berisi akuades dengan suhu kurang lebih 45 ºC untuk menghilangkan lipatan pada
jaringan akibat proses pemotongan. Potongan blok jaringan diangkat
menggunakan gelas objek, didiamkan pada suhu ruangan hingga kering, lalu
disimpan dalam inkubator dengan suhu kurang lebih 60 ºC. Clearing
menggunakan xylene I dan xylene II masing-masing selama 2 menit,
deparafinisasi dengan etanol absolut selama 2 menit, etanol 95% dan 80%
masing-masing selama 1 menit, lalu dicuci dengan air selama 1 menit.
Pewarnaan Imunohistokimia
Tipe pewarnaan IHK yang digunakan pada penelitian ini yaitu LSAB
(labeled streptavidin biotin). Coating slide yaitu melapisi gelas objek dengan
poly-L-lysine untuk menjaga agar jaringan tetap menempel pada gelas objek
selama proses pewarnaan IHK. Pembukaan epitop antigen pada jaringan (antigen
retrieval) dengan merendam sediaan dalam PBS selama 30 menit pada suhu 95 ºC,
didinginkan hingga mencapai suhu 37 ºC, lalu dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali
masing-masing selama 5 menit. Blocking endogenous peroxidase yaitu penutupan
enzim endogenous peroxidase untuk mencegah timbulnya warna yang tidak
spesifik pada saat pewarnaan. Blocking endogenous peroxidase dilakukan dengan
meneteskan 0.3% H2O2 pada sediaan, didiamkan selama 30 menit pada suhu
ruang, lalu dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit.
Blocking normal serum yaitu penutupan serum normal jaringan agar serum
normal tidak mengikat warna yang dapat mengganggu interpretasi hasil
pewarnaan IHK. Blocking normal serum dilakukan dengan meneteskan FBS 1%
pada sediaan, didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang, lalu dicuci dengan
PBS sebanyak 3 kali masing-masing selama 5 menit. Antibodi primer (antibodi
poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB) diinkubasikan selama 1 malam
pada suhu 4 ºC, kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing
selama 5 menit.
Inkubasi biotin dan streptavidin dilakukan masing-masing selama 30 menit
pada suhu ruang, kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali masing-masing
selama 5 menit. Pewarnaan dengan DAB kromogen dilakukan selama kurang
lebih 15 detik, lalu sediaan direndam dalam akuades selama 5 menit. Counterstain
dengan pewarna Mayer Hematoksilin dilakukan selama 1 menit (kurang lebih 10
celupan) kemudian sediaan direndam pada akuades. Counterstain akan
memberikan warna biru pada inti sel sehingga akan kontras dengan warna antigen
yang dimunculkan oleh kromogen.
Sediaan didehidrasi dengan etanol 70%, 80%, 96%, etanol absolut I, absolut
II, dan absolut III masing-masing selama 2 menit. Clearing dengan xylene I,
xylene II, dan xylene III masing-masing selama 2 menit. Mounting atau covering
yaitu pemasangan gelas penutup pada gelas objek, dilakukan dengan meneteskan

6
mounting medium pada sediaan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Sediaan
diamati menggunakan mikroskop cahaya.
Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin
Proses pewarnaan umum Hematoksilin dan Eosin (HE) dimulai dengan
memasukkan sediaan ke dalam pewarna Mayer Hematoksilin selama 8 menit,
kemudian dicuci dengan air selama 30 detik. Sediaan dimasukkan ke dalam
Litium Karbonat selama 15 sampai 30 detik kemudian dicuci dengan air selama 2
menit. Setelah itu sediaan dimasukkan ke dalam pewarna Eosin selama 2 sampai 3
menit, kemudian dicuci lagi dengan air selama 30 sampai 60 detik.
Sediaan didehidrasi dengan etanol 70%, 80%, 96%, etanol absolut I, absolut
II, dan absolut III masing-masing selama 2 menit. Clearing dengan xylene I,
xylene II, dan xylene III masing-masing selama 2 menit. Mounting atau covering
yaitu pemasangan gelas penutup pada gelas objek, dilakukan dengan meneteskan
mounting medium pada sediaan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Sediaan
diamati menggunakan mikroskop cahaya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Sediaan Imunohistokimia
Sediaan diwarnai dengan pewarnaan IHK untuk mendeteksi adanya individu
yang positif terinfeksi C. burnetii. Hasil positif dintunjukkan pada 5 dari 50
sampel yang menunjukkan hasil positif. Hasil positif ditemukan pada 2 sampel
limpa, 2 sampel ginjal, dan 1 sampel hati. Hasil positif berarti jaringan bersifat
imunoreaktif terhadap antibodi yang digunakan dan ditunjukkan dengan adanya
warna coklat dalam jaringan.
Tabel 1 Hasil pengamatan sediaan dengan pewarnaan IHK menggunakan antibodi
poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB
Organ
Limpa
Jantung
Hati
Ginjal
Paru-paru

Infeksi Coxiella burnetii
+a

-b

2
0
1
2
0

48
50
49
48
50

a)
Jumlah sediaan yang bersifat imunoreaktif terhadap antibodi poliklonal rabbit anti-Coxiella
burnetii FKH IPB
b)
Jumlah sediaan yang bersifat non imunoreaktif terhadap antibodi poliklonal rabbit anti-Coxiella
burnetii FKH IPB

Pada infeksi akut, C. burnetii dapat ditemukan pada darah, jantung, limpa,
dan hati (Angelakis dan Raoult 2010). Menurut Maurin dan Raoult (1999),
makrofag merupakan target sel bakteri C. burnetii. Makrofag merupakan sel
radang yang memiliki fungsi fagositosis. C. burneti masuk ke dalam sel makrofag

7
menggunakan antigen spesifik. Stein et al. (2005) menyebutkan bahwa walaupun
terjadi infeksi melalui rute aerosol, lesio akibat infeksi tersebut dapat ditemukan
pada organ selain paru-paru seperti hati dan limpa. Kejadian ini dikarenakan
infeksi C. burnetii pada paru-paru akan mengaktivasi alveolar makrofag.
Makrofag ini akan melakukan proses fagositosis terhadap C. burnetii. Infeksi pada
paru-paru ini akhirnya menyebar ke seluruh tubuh hewan secara hematogen.
Hewan yang terinfeksi C. burnetii akan mengalami bakteremia. Hal ini
mengakibatkan apa pun rute infeksi C. burnetii, melalui penyebaran secara
hematogen agen akan ditemukan di berbagai organ termasuk limpa, hati, paruparu, sumsum tulang, dan saluran reproduksi (Maurin dan Raoult 1999).

Gambar 1

Hasil pewarnaan IHK dengan metode LSAB, kromogen DAB,
antibodi poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB, dan
counterstain Mayer Hematoksilin pada organ limpa. Pewarnaan =
IHK, bar = 20 µm

Gambar 2 Hasil pewarnaan IHK dengan metode LSAB, kromogen DAB,
antibodi poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB, dan
counterstain Mayer Hematoksilin pada organ ginjal. Pewarnaan =
IHK, bar = 20 µm
Hasil negatif terhadap antibodi ditunjukkan dengan tidak terlihat warna
coklat dalam jaringan. Hal ini berarti jaringan tidak bersifat imunoreaktif terhadap
antibodi. Hasil negatif yang diperoleh disebabkan dalam jaringan memang tidak
terdapat antigen C. burnetii.

8

Gambar 3

Hasil pewarnaan IHK dengan metode LSAB, kromogen DAB,
antibodi poliklonal rabbit anti-Coxiella burnetii FKH IPB, dan
counterstain Mayer Hematoksilin pada organ hati. Pewarnaan =
IHK, bar = 20 µm
Pengamatan Sediaan Hematoksilin dan Eosin

Pewarnaan HE merupakan jenis pewarnaan umum yang menggunakan 2
jenis pewarna yaitu pewarna yang bersifat basa (hematoksilin) dan asam (eosin).
Teknik pewarnaan HE digunakan untuk melihat struktur umum jaringan.
Hematoksilin yang bersifat basa akan mewarnai inti sel yang bersifat asam. Eosin
yang bersifat asam akan mewarnai semua bagian sel yang tidak terwarnai oleh
Hematoksilin termasuk sitoplasma sel yang bersifat basa (BC Biolibrary 2008).
Pewarnaan HE bertujuan untuk melihat struktur jaringan termasuk
kerusakan yang terjadi pada jaringan. Kerusakan yang terjadi pada jaringan dari
individu yang positif terinfeksi C. burnetii akan menunjukkan lesio yang
kemungkinan disebabkan oleh agen. Pewarnaan HE ini digunakan untuk
membandingkan lesio jaringan yang ditemukan pada individu yang positif dan
negatif terinfeksi C. burnetii.
Histopatologi Limpa
Sebanyak 5 sampel limpa dari individu positif terhadap infeksi C. burnetii
diamati secara mikroskopis. Hasil pengamatan terhadap sediaan HE limpa yang
dinyatakan positif terinfeksi agen C. burnetii menunjukkan beberapa lesio.
Sampel limpa positif menunjukkan lesio berupa akumulasi pigmen hemosiderin,
deplesi folikel limfoid (pulpa putih), infiltrasi sel radang limfosit, makrofag,
neutrofil, dan eosinofil, serta edema.
Akumulasi pigmen hemosiderin ditemukan pada 1 dari 5 sampel limpa yang
positif terinfeksi C. burnetii. Akumulasi pigmen hemosiderin terlihat pada pulpa
merah dan pulpa putih limpa (Gambar 4). Menurut Valli (2007), akumulasi
pigmen hemosiderin pada pulpa merah terjadi pada bingkai limpa, sedangkan
pada pulpa putih terjadi pada zona marginal dan folikel. Hemosiderin merupakan
bentuk penyimpanan besi (Fe). Salah satu fungsi limpa yaitu mengeliminasi sel
darah merah yang sudah tua, sehingga ditemukannya sedikit hemosiderin pada
limpa merupakan hal yang normal. Apabila ditemukan pigmen hemosiderin dalam

9
Tabel 2 Hasil pengamatan lesio pada sediaan histopatologi limpa yang positif dan
negatif terhadap infeksi Coxiella burnetii
Infeksi Coxiella burnetii
Lesio
+a
-b
Hemoragi
0/5
2/45
Akumulasi pigmen hemosiderin
1/5
7/45
Deplesi folikel limfoid
4/5
10/45
Infiltrasi sel radang
Limfosit
2/5
6/45
Makrofag
2/5
6/45
Neutrofil
5/5
23/45
Eosinofil
1/5
15/45
Edema
1/5
2/45
a)

Jumlah lesio yang terdapat pada sediaan histopatologi limpa yang positif terinfeksi Coxiella
burnetii
b)
Jumlah lesio yang terdapat pada sediaan histopatologi limpa yang negatif terinfeksi Coxiella
burnetii

jumlah besar, maka kejadian tersebut merupakan indikasi kondisi patologis.
Pigmen hemosiderin seringkali terakumulasi dalam makrofag sehingga disebut
hemosiderin-containing macrophages atau hemosiderofag. Kejadian ini dapat
berasosiasi dengan kejadian hemoragi dan kongesti (Suttie 2006). C. burnetii
dapat ditemukan di pembuluh darah dan berpotensi mengakibatkan arterial emboli.
Emboli dapat mengakibatkan kongesti hingga hemoragi dan tidak hanya
ditemukan pada limpa tetapi juga pada organ lain seperti ginjal dan otak (Maurin
dan Raoult 1999).

Gambar 4 Limpa dengan akumulasi pigmen hemosiderin, pigmen hemosiderin
(tanda panah) terakumulasi pada pulpa merah dan marginal zone.
Pewarnaan = HE, bar = 20 µm
Deplesi folikel limfoid ditemukan pada 4 dari 5 sampel limpa yang positif
terinfeksi C. burnetii. Deplesi folikel limfoid (Gambar 5) dapat diketahui dengan
melihat kerapatan sel pada pulpa putih. Pulpa putih yang mengalami deplesi
memiliki folikel dengan kerapatan sel yang lebih rendah dibanding folikel normal.
Menurut Suttie (2006) deplesi folikel limfoid menunjukkan ciri berupa kondensasi
atau penggumpalan kromatin (piknosis), karyoreksis, dan karyolisis nukleus
limfosit serta adanya peningkatan jumlah makrofag pada daerah PALS dan folikel.

10
Deplesi folikel limfoid terjadi karena sel-sel limfoid mengalami sitolisis. Valli
(2007) menyebutkan bahwa pada saat terjadi bakteremia, limpa akan membesar,
mengalami kongesti akut, dan terjadi degenerasi folikel limfoid. C. burnetii
merupakan salah satu agen mikrobiologi yang dapat mengakibatkan terjadinya
deplesi pada folikel limfoid. Peningkatan jumlah makrofag dalam folikel
merupakan respon tubuh terhadap kejadian inflamasi.

Gambar 5

Limpa yang mengalami deplesi pulpa putih, pulpa putih yang
mengalami deplesi (D) mengalami penurunan kerapatan sel dengan
piknosis (tanda segitiga) dan karyoreksis (tanda panah) nukleus
limfosit. Pewarnaan = HE, bar = 20 µm
Pada limpa yang positif terinfeksi Coxiella burnetii ditemukan 2 dari 5
sampel diinfiltrasi oleh sel radang limfosit dan makrofag, 1 dari 5 sampel
diinfiltrasi sel radang eosinofil, dan semua sampel diinfiltrasi sel radang neutrofil.
Sel radang menginfiltrasi limpa pada pulpa merah dan pulpa putih. Apabila
terdapat sel radang neutrofil (Gambar 6) pada limpa, maka limpa diindikasikan
mengalami peradangan yang bersifat akut (splenitis akut) dan atau adanya infeksi
bakterial. Infeksi bakterial yang terjadi disebabkan oleh bakteri C. burnetii.
Radang yang bersifat sistemik akan memicu limpa untuk memberikan respon
peradangan. Pada saat terjadi septisemia, limpa akan memberikan respon dengan

Gambar 6

Limpa yang diinfiltrasi sel radang neutrofil (tanda panah) dan
eosinofil (tanda segitiga) pada pulpa merah merupakan indikasi
terjadinya splenitis akut disertai infeksi parasit. Pewarnaan = HE,
bar = 20 µm

11
cepat berupa infiltrasi sel radang neutrofil dalam jumlah besar pada marginal zone
dan area sinus (Valli 2007). Infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag (Gambar
7) merupakan indikasi terjadinya radang yang bersifat kronis (splenitis kronis).
Menurut Leiva et al. (2005) salah satu kejadian yang dapat mengundang infiltrasi
sel radang makrofag yaitu adanya peradangan kronis pada jaringan. Peradangan
dengan infiltrasi sel radang limfosit, makrofag, dan neutrofil merupakan indikasi
peradangan tersebut bersifat kronik aktif. Infiltrasi sel radang eosinofil merupakan
indikasi infeksi parasit pada hewan. Menurut Pack (2007) jumlah eosinofil akan
meningkat selama infeksi parasit dan alergi. Infiltrasi sel radang merupakan lesio
dari banyak penyakit dan salah satu respon pertahanan sistem imun.

Gambar 7

Limpa yang diinfiltrasi sel radang limfosit (tanda segitiga) dan
makrofag (tanda panah) pada pulpa merah merupakan indikasi
terjadinya splenitis kronis. Pewarnaan = HE, bar = 20 µm

Gambar 8 Limpa yang mengalami edema, daerah kosong merupakan daerah
tempat akumulasi cairan transudat akibat terjadinya edema.
Pewarnaan = HE, bar = 50 µm
Ditemukan edema (Gambar 8) pada 1 dari 5 sampel limpa dari individu
yang terinfeksi C. burnetii. Edema tampak sebagai ruang kosong yang tidak
beraturan pada pulpa merah limpa sehingga jaringan tampak longgar. Edema
merupakan suatu kondisi cairan tertimbun dalam ruang interstisium atau rongga
tubuh. Edema dapat terjadi akibat resiko kejadian kongesti. Kongesti terjadi akibat

12
gangguan sirkulasi porta dan sistemik, serta respon tubuh terhadap anemia
hemolitik akut (Valli 2007).
Sediaan limpa yang bereaksi negatif terhadap antibodi memperlihatkan lesio
yang sama dengan lesio pada sediaan yang positif disertai dengan hemoragi. Lesio
yang ditemukan dapat diakibatkan oleh berbagai faktor. Akumulasi pigmen
hemosiderin sering berkaitan dengan kejadian hemoragi dan kongesti. Menurut
Valli (2007) hemosiderin akan ditemukan dalam jumlah besar pada kondisi
anemia. Peningkatan akumulasi hemosiderin merupakan salah satu perubahan
yang terjadi pada limpa hewan yang mengalami anemia hemolitik. Kongesti yang
terjadi dalam waktu lama akan menyebabkan edema pada jaringan. Deplesi pulpa
putih dapat terjadi akibat infeksi agen asing atau pengaruh bahan kimiawi. Deplesi
pulpa putih merupakan salah satu penyebab infiltrasi sel radang pada limpa.
Sebagian besar infiltrasi sel radang ini didominasi neutrofil sebagai respon
terjadinya radang akut. Menurut Gough (2007) infiltrasi sel radang neutrofil juga
dapat terjadi akibat kejadian nekrosa jaringan, akumulasi toksin, infeksi bakteri
lain, fungi, protozoa, dan virus. Terdapat beberapa kejadian yang dapat
mengundang infiltrasi sel radang makrofag pada jaringan yaitu peradangan kronis,
infeksi virus, fungi, dan parasit. Peningkatan jumlah infiltrasi sel radang limfosit
pada jaringan dapat terjadi pada kondisi fisiologis seperti post vaksinasi dan stress,
serta pada kondisi patologis seperti peradangan kronis dan adanya neoplasia.

Gambar 9 Limpa yang mengalami hemoragi (tanda panah) perivaskular, eritrosit
terlihat berada di luar pembuluh darah dan terdapat akumulasi pigmen
hemosiderin (tanda segitiga) di sekitar pembuluh darah. Pewarnaan =
HE, bar = 50 µm
Lesio hemoragi ditemukan di sekitar pembuluh darah (perivaskular) pulpa
merah (Gambar 9) dan daerah trabekula (Gambar 10). Hemoragi perivaskular
berupa keluarnya darah dari pembuluh darah (ekstravasasi) akibat kerusakan
dinding pembuluh darah. Kerusakan ini dapat terjadi akibat trauma, infeksi agen
patogen lain, kelemahan dinding pembuluh darah atau bahan toksik. Eritrosit
ditemukan di dalam trabekula limpa.
Lesio yang ditemukan pada limpa dari individu positif terinfeksi C. burnetii
juga ditemukan pada limpa dari individu yang tidak terinfeksi C. burnetii. Lesiolesio yang ditemukan merupakan lesio histopatologi umum limpa. Hal ini berarti
lesio tersebut tidak patognomonis terhadap infeksi C. burnetii.

13

Gambar 10 Limpa yang mengalami hemoragi (tanda panah) pada trabekula,
eritrosit terlihat memenuhi ruang di dalam trabekula. Pewarnaan =
HE, bar = 50 µm
Histopatologi Jantung
Hasil pengamatan terhadap sediaan histopatologi jantung hanya
menunjukkan lesio pada sediaan negatif terhadap infeksi Q fever. Hal ini dapat
disebabkan infeksi agen Q fever belum terjadi dalam waktu yang lama (kronis),
sehingga tidak ditemukan lesio infeksi C. burnetii pada jantung.
Tabel 3 Hasil pengamatan lesio pada sediaan histopatologi jantung yang positif dan
negatif terhadap infeksi Coxiella burnetii
Infeksi Coxiella burnetii
Lesio
+a
-b
Degenerasi otot
Regenerasi otot
Kongesti
Tidak ada

0/5
0/5
0/5
5/5

3/45
2/45
16/45
24/45

a)

Jumlah lesio yang terdapat pada sediaan histopatologi jantung yang positif terinfeksi Coxiella
burnetii
b)
Jumlah lesio yang terdapat pada sediaan histopatologi jantung yang negatif terinfeksi
Coxiella burnetii

Lesio yang ditemukan pada sediaan jantung dengan hasil uji negatif terhadap
infeksi C. burnetii yaitu degenerasi otot jantung (miokardium), regenerasi
miokardium, dan kongesti pada miokardium. Degenerasi miokardium (Gambar
11) secara mikroskopis terlihat miokardium yang lebih pucat. Miokardium yang
mengalami degenerasi akan kehilangan pola luriknya, sehingga warna menjadi
pucat. Menururt Maxie dan Robinson (2007) degerasi miokardium dapat
disebabkan oleh defisiensi vitamin E dan atau unsur selenium (Se). Defisiensi
terjadi kemungkinan hewan diberikan diet yang rendah kandungan vitamin E dan
unsur Se. Reaksi terhadap kerusakan atau gangguan pada miokardium sering
dalam bentuk degenerasi, nekrosa, peradangan, dan penyembuhan langsung.
Degenerasi miokardium merupakan respon dari berbagai penyebab yang
nospesifik seperti anemia dan toksemia (Maxie dan Robinson 2007).

14

Gambar 11 Jantung yang mengalami degenerasi miokardium (tanda panah)
terlihat lebih pucat. Pewarnaan = HE, bar = 50 µm
Regenerasi miokardium (Gambar 12) merupakan proses perbaikan terhadap
miokardium. Proses regenerasi miokardium dapat diketahui dengan melihat
susunan inti sel miokardium. Pada miokardium yang mengalami regenerasi, inti
sel terlihat lebih besar dan berjejer membentuk garis. Leri et al. (2005)
menyatakan bahwa regenerasi merupakan salah satu cara untuk menjaga
homeostasis miokardium.

Gambar 12 Jantung yang mengalami regenerasi (tanda panah) miokardium, inti
sel miokardium terlihat lebih besar dan berderet membentuk garis.
Pewarnaan = HE, bar = 50 µm
Kongesti pada miokardium (Gambar 13) merupakan kondisi darah yang
tergenang di kapiler atau vena akibat lambatnya aliran darah. Kongesti disebut
sebagai heperemia pasif. Pada jantung yang mengalami kongesti, terjadi dilatasi
kapiler jantung sehingga akan penuh dengan sel darah merah. Menurut Valli
(2007) kongesti terjadi akibat gangguan sirkulasi porta dan sirkulasi sistemik.
Kongesti yang ditemukan pada sediaan jantung berupa kongesti ringan. Tidak
begitu banyak bagian jantung yang kapilernya yang terisi sel darah merah.
Lesio yang ditemukan pada sediaan histopatologi jantung berupa degenerasi
miokardium, regenerasi miokardium, dan kongesti ringan. Tidak ditemukan lesio
pada sediaan histopatologi jantung yang positif terinfeksi C. burnetii, sehingga
tidak dapat dilakukan perbandingan terhadap lesio yang ditimbulkan agen Q fever
pada sediaan histopatologi jantung.

15

Gambar 13 Jantung yang mengalami kongesti (tanda panah), eritrosit terlihat
menumpuk pada vena dan kapiler jantung. Pewarnaan = HE, bar =
50 µm

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan gambaran histopatologi hasil pewarnaan IHK, ditemukan 5 dari
50 sampel positif terinfeksi C. burnetii. Hasil pengamatan lesio pada limpa dan
jantung dengan pewarnaan HE tidak menunjukkan lesio yang spesifik atau
patognomonis terhadap infeksi C. burnetii pada sapi di RPH Terpadu Kota Bogor.
Lesio yang ditemukan pada sediaan histopatologi limpa yang positif terinfeksi C.
burnetii berupa akumulasi pigmen hemosiderin, deplesi pulpa putih, edema, dan
infiltrasi sel radang. Tidak ditemukan lesio pada sediaan histopatologi jantung
yang positif terinfeksi C. burnetii.
Saran
Perlu dilakukan penelitian Q fever lebih lanjut dikaitkan dengan daerah asal
serta jenis sapi yang dipotong di RPH Terpadu Kota Bogor. Hal ini perlu dan penting
untuk mengetahui penyebaran Q fever, sehingga dapat disusun program pencehagan
dan pengendalian Q fever dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Acha PH, Szyfres B. 2003. Zoonosis and Communicable Disease Common to
Man and Animals, Vol II. Chlamidioses, Rickettsioses and Viroses. Ed ke-3.
Washington (US): World Health Organization.
Angelakis E, Raoult D. 2010. Review Q Fever. J Vet Microbiol. 140:297-309.

16
[BC Biolibrary] The British Columbia Biolibrary. 2008. Hematoxylin and eosin
staining of tissue sections [internet]. [diunduh 2013 Juli 7]. Tersedia pada:
http://www.bcbiolibrary.icapture.ubc.ca/pathologists-researchers/docs/BL.LAB.
GN.006.01
[CDC] Center for Disease Control and Prevention. 2013. Q fever [internet].
[diunduh 2013 Juli 7]. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/qfever/symptoms/
index.html
Cesta MF. 2006. Normal structure, function, and histology of the spleen. Toxicol
Pathol. 34:455-465.
Fournier PE, Marrie TJ, Raoult D. 1998. Diagnosa of Q fever. J Clin Microbiol.
36(7):1823-1834.
Gough A. 2007. Differential Diagnosis in Small Animal Medicine. Oxford (GB):
Blackwell Publishing.
[Kementan RI] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2013. Keputusan
Menteri Pertanian tentang penetapan jenis penyakit hewan menular strategis
nomor 4026/Kpts./OT.140/3/2013. Indonesia (ID): Kementerian Pertanian
Republik Indonesia.
Key M. 2009. Immunohistochemistry Staining Methods. In: Education Guide
Immunohistochemical Staining Methods. Ed ke-5. Kumar GL dan Rudbeck L,
editor. California (US): Dako North America.
Krieken JHJM, Orazi A. 2007. Spleen. In: Histopathology for Pathologist. Ed ke3. Philadelphia (US): Williams & Wilkins.
Leiva M, Lloret A, Pena T, Roura X. 2005. Therapy of ocular and visceral
leishmaniasis in a cat. Vet Ophthalmol. 8:71–75.
Leri A, Kajstura J, Anversa P. 2005. Cardiac stem cells and mechanisms of
myocardial regeneration. Physiol Rev. 85:1373-1416.
Marrie TJ. 2003. Coxiella burnetii pneumonia. J Eur Resp. 21:713-719.
Maurin M, Raoult D. 1999. Q fever. Clin Microbiol Rev. 12:518-553.
Maxie MG, Robinson WF. 2007. Cardiovascular System. In: Pathology of
Domestic Animals. Ed ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders
Elsevier.
[OIE] Office International des Epizootics. 2010. Q fever [internet]. [diunduh 2013
Juli 7]. Tersedia pada: http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_
standards/tahm/2.01.12_Q-FEVER.pdf
Pack PE. 2007. Anatomi dan Fisiologi. Wibisono TD, Setio H, Rudiyanto,
Waluyo B, Sarjoko D, Arghisa A, Herawati N, Tyas VP, Wulandari, editor.
Bandung (ID): Pakar Raya. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology.
Porter SR, Czaplicki G, Mainil J, Guattéo R, Saegerman C. 2011. Q fever: current
state of knowledge and perspectives of research of neglected zoonosis. Int J
Microbiol [internet]. [diunduh 2013 September 29]. Tersedia pada:
www.hindawi/com/journals/ijmb/2011/248411/.
Rasmana ID. 2008. Q-fever: suatu tinjauan perkembangan teknik diagnostik dan
permasalahannya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ross MH, Pawlina W. 2011. Histology: A Text and Atlas. Ed ke-6. Philadephia
(US): Williams & Wilkins.
Setiyono A, Handharyani E, Mahatmi H. 2008. Seroprevalensi Q fever pada
domba dan kambing di wilayah Jawa Barat. JITV. 13(1):61–66.

17
Stein A, Luoveau C, Lepidi H, Ricci F, Baylac P, Davoust B, Raoult D. 2005. Q
fever pneumonia: Virulence of Coxiella burnetii Pathovars in a Murine Model
of Aerosol Infection. Infect Immun. 73(4):2469-2477.
Subangkit M. 2012. Kajian diagnostik patologi marek’s menggunakan metode
imunohistokimia [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suttie AW. 2006. Histopathology of the spleen. Toxicol Pathol. 34:466-503.
Valli VEO. 2007. Hematopoietic System. In: Pathology of Domestic Animals. Ed
ke-5. Maxie MG, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier.

18

19

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 10 Agustus 1991 di Kota Makassar, Sulawesi
Selatan. Penulis merupakan putri pertama dari 4 bersaudara pasangan Syahruddin
S dan Humaerah. Pada tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa program
studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Pendidikan formal yang pernah
ditempuh penulis sebelumnya yaitu SD Negeri 2 Unggulan Maros pada tahun
1997, SMP Negeri 2 Maros pada tahun 2003, dan SMA Negeri 1 Maros pada
tahun 2006.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif menjadi asisten praktikum dalam
beberapa mata kuliah yang diselenggarakan di FKH IPB. Penulis pernah menjadi
asisten praktikum pada mata kuliah Histologi Veteriner II pada tahun ajaran
2011/2012, Patologi Sistemik II pada tahun ajaran 2013/2014, dan Pengelolaan
Kesehatan Hewan dan Lingkungan pada tahun ajaran 2013/2014. Penulis juga
aktif dalam berbagai lembaga kemahasiswaan. Beberapa lembaga kemahasiswaan
yang pernah diikuti penulis yaitu paduan suara Gita Klinika FKH IPB, kepala
divisi Event Organizer STERIL FKH IPB, bendahara Himpunan Minat dan
Profesi (HIMPRO) Satwaliar FKH IPB, dan staf divisi Komunikasi dan Informasi
(Kominfo) Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) cabang
FKH IPB.
Prestasi akademik yang pernah diraih penulis selama masa perkuliahan yaitu
Mahasiswa Berprestasi Peringkat V pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2013. Penulis pernah menjadi Juara II Turnamen
Bulutangkis FKH Open pada tahun 2011 dan semifinalis Olimpiade Mahasiswa
IPB (OMI) 2013 cabang olahraga Bulutangkis.