DETERMINAN EKSPOR CRUDE PALM OIL INDONESIA PERIODE 2013:M01-2015:M12 PENDEKATAN ERROR CORECTION MODEL (ECM)

(1)

DETERMINANTS INDONESIA CRUDE PALM OIL EXPORT PERIOD 2013:M01-2015:M12

ERROR CORRECTION MODEL (ECM) APPROACH

Oleh :

EVA NURUL HUDA 20120430283

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(2)

ii

DETERMINANTS INDONESIA CRUDE PALM OIL EXPORT PERIOD 2013:M01-2015:M12

ERROR CORRECTION MODEL (ECM) APPROACH

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh :

EVA NURUL HUDA 20120430283

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(3)

xii

DAFTAR ISI

COVER ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vi

INTISARI……. ... vii

ABSTRAK…….. ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Landasan Teori ... 10

B. Penelitian Terdahulu ... 40

C. Kerangka Berfikir... 46

D. Hipotesis ... 47

BAB III. METODE PENELITIAN ... 48

A. Obyek Penelitian ... 48

B. Jenis Data ... 48

C. Teknik Pengumpulan Data ... 48


(4)

xiii

E. Metode Analisis Data ... 50

F. Analisis Data dan Uji Hipotesis ... 54

1. Uji Akar Unit ... 54

2. Uji Derajat Integrasi ... 56

3. Uji Kointegrasi ... 56

4. Uji Error Corection Model ... 57

5. Uji Asumsi Klasik ... 57

BAB IV. GAMBARAN UMUM ... 62

A. Profil Komoditas Minyak Kelapa Sawit ... 62

B. Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ... 66

C. Perkembangan Variabel yang Mempengaruhi Ekspor Minyak Kelapa Sawit ... 67

1. Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia ... 67

2. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah ... 68

3. Perkembangan Harga CPO Internasional ... 69

4. Perkembangan Produk Domestik Bruto Indonesia ... 70

BAB V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Uji Model dinamik ... 71

1. Uji Akar Unit ... 71

2. Uji Derajat Integrasi ... 72

3. Uji Kointegrasi ... 73

4. Uji Error Corection Model ... 75

B. Uji Asumsi Klasik ... 77

1. Uji Normalitas ... 77

2. Uji Multikolinearitas ... 78

3. Uji Heteroskedastisitas ... 78

4. Uji Autokorelasi ... 79

5. Uji Linearitas ... 79

C. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 81

1. Pengaruh Harga CPO Internasional terhadap Ekspor CPO Indonesia ... 83


(5)

xiv

2. Pengaruh Kurs Rupiah Terhadap Ekspor CPO Indonesia... 85

3. Pengaruh Term of Trade Terhadap Ekspor CPO Indonesia ... 85

4. Pengaruh Produksi Kelapa Sawit terhadap Ekspor CPO Indonesia ... 86

BAB VI. KESIMPULAN ... 89

1. Simpulan ... 89

2. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA


(6)

xv

DAFTAR TABEL

TABEL 1.1 Kontribusi Sektor Non Migas terhadap Cadangan Devisa

Indonesia Tahun 2012-2015 ... 4

TABEL 1.2 Negara Produsen Kelapa Sawit Terbear di Dunia Tahun 2015 ... 5

TABEL 1.3 Ekspor Minyak Kelapa Sawit Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2014 ... 6

TABEL 2.1 Teori Proporsional Faktor dengan Data Hipotesis ... 18

TABEL 5.1 Hasil Uji Unit Root ... 72

TABEL 5.2 Hasil Uji Derajat Integrasi ... 73

TABEL 5.3 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda ... 74

TABEL 5.4 Hasil Uji Kointegrasi ... 75

TABEL 5.5 Hasil Uji Error Corection Model ... 77

TABEL 5.6 Hasil Uji Normalitas ... 77

TABEL 5.7 Hasil Uji Multikolinearitas ... 78

TABEL 5.8 Hasil Uji Heterosgedastisitas ... 79

TABEL 5.9 Hasil Uji Autokorelasi ... 80

TABEL 5.10 Hasil Uji Linearitas ... 80


(7)

xvi

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 2.1 Kurva Isocost ... 15

GAMBAR 2.2 Kurva Isoquant ... 16

GAMBAR 2.3 Model Dasar Heckscher-Ohlin ... 18

GAMBAR 2.4 Kerangka dan Karakter Keseimbangan Umum Heckscher-Ohlin ... 21

GAMBAR 2.5 Kurva Permintaan ... 27

GAMBAR 2.6 Kurva Penawaran ... 28

GAMBAR 2.7 Model Penelitian ... 46

GAMBAR 4.1 Pohon Produksi Minyak Kelapa Sawit ... 65

GAMBAR 4.2 Volume Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Periode 2013:M01-2015:M12 ... 66

GAMBAR 4.3 Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia Periode 2013:M01-2015:M12 ... 67

GAMBAR 4.4 Nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika Periode 2013:M01-2015:M12 ... 68

GAMBAR 4.5 Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sawit Dunia Periode 2013:M01-2015:M12 ... 69

GAMBAR 4.6 Perkembangan Term of Trade Indonesia Periode 2013:M01-2015:M12 ... 70


(8)

PHNBEHATAH "9*rtGR C*REdTi#?{ MCIBEL

(gce{i

PETERMINA,Vfl$ J,^fFSrVg.9JX CRUP.E PALM

*IL

E-XPOfif

FE

*f*fr

2 # i 3 : &I# i-2 $ I 5 : btr t 2

: iralriL an I ll+1ln

a-.1 { !{ a+.e, {_ iii iF-n "J]! 1r) ! t{}}01 4rt ! 6q!-Jar&U*j

("i rr rr. i, ni l:!,, lr i-li rr..rl rlrr,rL r:n, i,r,. I-l, lliri-r n,'1i,4^;- r rr .rnr Ii.jl.r !i(r iL,iItr i/Iir!i r!i'r+i,ir\itrr uerer 4/r.,rrI1r\tl! Lat uLl-(tti

L]*l"r.1R F*r:gLrir ilri:gra:"rr St*eii llmu ilkcn*i::r Fai;iri:as El<,*ni.rrui U n ivers i ias lvi i.:I i ant;:-uldi v;',h

f

i:r g-1, *l=.ii #;i

I *nggal I Y dqustu\ Zti I {,

-4

,//,

(

,/

-

>:L-\,

Lilies_&[i atig!,-.,SE ".

E$L

A -- - -- -r - T:--^ D-,- ---::

nllgBurd { IIIr rEIlgLtJr

*rs. Hqriliv*nto i ,-

-- ^ r- Tl--- n,--- * Aiigg0tA I iiti t"€l"t$t4ii

Universitas iyah Y*gvakarta

Mengetahui

IV

L' ,., ' ' - 'i ; ,*. ,-,- ^, ', ';,

f a---LLral r rrrr fTLllEu-ii

Dekan Fakultas Ekonnrnr

{lilri$

3

oYz

c"G-rdl

S"Ks$,,X/"j

'-1

'ril

4


(9)

viii

determinants of Indonesian CPO exports is the approach of an error correction model (ECM). This study uses secondary data such as monthly time series data for the period 2013:M01-2015:M12.

The results of this study showed that variables International CPO price in the short and long term significant negative effect on Indonesia's CPO exports. Term of Trade in the short and long term significant positive effect on Indonesia's CPO exports. Production is evident in the short and long term positive and significant impact. While Exchange Rate in the short and long term not significant effect on Indonesia's CPO exports. Taken together the independent variable CPO prices International, Rupiah exchange rate against the dollar As, Terms of Trade and Production has a significant influence together to export CPO Indonesia, so it can be concluded that the testing of the hypothesis that the influence jointly variables free against Indonesian CPO exports unacceptable.


(10)

vii

menganalisis determinan ekspor CPO Indonesia adalah pendekatan Error

Corection Model (ECM). Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa data

bulanan time series selama kurun waktu tahun 2013:M01-2015:M12.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel Harga CPO Internasional dalam jangka pendek maupun panjang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia. Term of Trade terbukti dalam jangka pendek dan panjang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia. Sementara produksi terbukti dalam jangka pendek dan panjang berpengaruh positif dan signifikan. Sementara Variabel Kurs rupiah dalam jangka pendek dan panjang tidak berpengaruh signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia. Secara bersama-sama variabel bebas Harga CPO Internasional, Kurs rupiah terhadap Dolar AS, Term of Trade dan Produksi mempunyai pengaruh yang signifikan bersama-sama terhadap Ekspor CPO Indonesia, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengujian terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa adanya pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap Ekspor CPO Indonesia dapat diterima.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Hal ini didorong oleh semakin meningkatnya hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara suatu negara dengan negara lain baik di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya (Hady, 2001). Hampir setiap negara pada saat ini tidak bisa mengabaikan interaksi ekonominya dengan luar negeri. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak dan beragamnya kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Kapasitas produksi dari berbagai komoditi dalam negeri memiliki keterbatasan dalam meningkatkan jumlah dan jenis barang atau jasa yang diproduksi. Keadaan seperti inilah yang mendorong terjadinya kegiatan perdagangan luar negeri baik berupa barang maupun jasa antar negara.

Bagi negara berkembang khususnya Indonesia, sumber pembiayaan yang berupa penerimaan devisa yang berasal dan kegiatan ekspor memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan nasional. Salah satu upaya pemerintah untuk mendapatkan devisa dari luar negeri adalah dengan jalan mengekspor hasil-hasil sumber daya alam ke1uar negeri. Dari hasil devisa ini dapat digunakan untuk menambah dana pembangunan dalam negeri (Huda, 2006).


(12)

Salah satu sektor agroindustri Indonesia yang sangat berkembang dan memiliki prospek baik ke depan adalah industri komoditas kelapa sawit. Kelapa sawit yang diolah menjadi minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil

(CPO) memegang peran penting dalam perekonomian nasional yaitu sebagai

komoditi andalan ekspor non migas Indonesia penghasil devisa negara di luar minyak dan gas (Agustian, 2002).

Tabel 1.1

Kontribusi Sektor Non Migas terhadap Cadangan Devisa Indonesia Tahun 2012-2015

No Kelompok Hasil Industri 2012 2013 2014 2015 Th. 2015 Persen

1 Minyak Kelapa

Sawit 23.396.998.187 20.660.402.210 23.711.550.465 20.746.988.848 19.45 2 Biji Baja, Mesin

dan Otomotif 15.029.612.806 14.684.401.500 5.813.518.294 14.455.370.329 13.55 3 Tekstil 2.446.506.596 12.661.681.508 12.720.312.060 12.262.652.678 11.50 4 Elektronika 9.444.056.939 8.520.124.647 8.066.889.542 6.913.161.552 6.40 5 Pengolahan

Karet 10.818.624.551 9.724.133.106 7.497.549.404 6.171.408.596 5.79 6 Makanan dan

Minuman 4.652.902.475 5.379.821.652 5.554.396.593 5.597.294.145 5.25 7 Pulp dan Kertas 5.517.965.818 5.643.997.372 5.498.591.201 5.332.165.164 5.00 8 Peng. Kayu 4.539.877.317 4.727.650.015 5.202.156.290 5.188.507.332 4.86 9 Emas, perak,

logam mulia, dll 2.185.993.514 4.727.650.015 5.202.156.290 5.188.507.332 4.43 10 Kulit, Barang

Kulit 3.561.683.101 3.933.060.116 4.090.311.532 4.615.452.060 4.33 Sumber : Badan Pusat Statistik

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa industri minyak kelapa sawit sebagai penyumbang pendapatan terbesar mengungguli industri lain. Pada tahun 2015 nilai ekspor minyak kelapa sawit olahannnya mencapai US$ 20.746.9 juta. Dilihat peranannya, pada tahun 2015 peranan ekspor kelapa sawit mencapai 19.45 persen.


(13)

Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Selama 25 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 10,1 juta ha, yaitu dari 38.4594 ha pada tahun 1991 menjadi lebih dari 11 juta ha pada tahun 2015. Gambar 1 memperlihatkan perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia dari tahun 1991-2015. Areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta, mengalami pertumbuhan yang paling tinggi.

Gambar 1.2

Luas Area Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Kepemilikan Tahun 1990-2015

Sumber: Dirjen Perkebunan, 2016

Seiring dengan bertambahnya luas perkebunan kelapa sawit, total produksi minyak kelapa sawit Indonesia turut meningkat tajam. Selama 25 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan produksi minyak kelapa sawit sebesar 28,2 juta ha, yaitu dari 2,65 juta ton pada tahun 1991 menjadi 30,94


(14)

juta ha pada tahun 2015. Gambar 1 memperlihatkan perkembangan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dari tahun 1980-2015.

Gambar 1.3

Produksi Minyak Kelapa Sawit Tahun 1990-2015

Sumber: Dirjen Perkebunan, 2016

Dengan raihan total produksi yang menyentuh angka lebih dari 30 juta ton per tahunnya, menjadikan Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di Dunia dengan prosentase 54,51 persen dari total produksi dunia. Jauh melebihi produksi Malaysia yang duduk diperingkat kedua dengan total produksi 33,65 persen dari total seluruh produksi kelapa sawit dunia. Tabel 1.3 memperlihatkan data perkembangan Negara produsen minyak kelapa sawit dunia Tahun 2015.


(15)

Gambar1.4

Negara Produsen Kelapa Sawit Terbear di Dunia Tahun 2015

Sumber: Ditjen Perkebunan, 2016

Produksi minyak kelapa sawit Indonesia sebagian besar diekspor ke mancanegara dan sisanya dipasarkan di dalam negeri. Total ekspor minyak kelapa sawit 15 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 total volume ekspor CPO mencapai 4,68 juta ton, meningkat menjadi 26,4 juta ton pada tahun 2015. Tabel 1.3 memperlihatkan data perkembangan Ekspor minyak kelapa sawit Indonesia Tahun 2000-2015.

Gambar 1.5

Ekspor CPO Indonesia tahun 2000-2015


(16)

Ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia menjangkau lima benua yaitu Asia, Afrika, Autralia, Amerika dan Eropa dengan pangsa pasar utama Asia (Statistik Kelapa Sawit Indonesia, 2011). Negara yang menjadi tujuan ekspor CPO Indonesia diantaraya adalah Tiongkok, India, Pakistan, Belanda, Bangladesh, Mesir, Singapura, Malaysia, Jerman, Sri Lanka dan lain-lain

Tabel 1.3

Ekspor Minyak Kelapa Sawit Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2014 Negara Tujuan Berat Bersih (Ribu Ton) Negara Tujuan Nilai FOB (Juta US$) Tiongkok 2.357,3 Tiongkok 170,3 Singapura 789,1 Singapura 116,8

Malaysia 566,1 Malaysia 130,4

India 4.867,8 India 585,2

Pakistan 1.814,8 Pakistan 88,8

Bangladesh 1.043,3 Bangladesh 77,2

Sri Lanka 38,9 Sri Lanka 3,9

Mesir 1.010,3 Mesir 30,5

Belanda 1.218,9 Belanda 310,3

Jerman 186,5 Jerman 60,4

Lainnya 8.999,4 Lainnya 518,6

Jumlah 22.892,4 Jumlah 2.092,4

Sumber : Badan Pusat Statistik, dioalah.

Dari tabel 1.3 dapat diketahui bahwa pada tahun 2014 India merupakan negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit terbesar dari Indonesia. India menduduki peringkat pertama disusul dengan Tiongkok, Pakistan, Belanda, Bangladesh, Mesir, Singapura, Malaysia, Jerman, Sri Lanka dan lain-lain. Berdasarkan tabel 1.3 dapat dilihat juga nilai ekspor komoditas minyak kelapa sawit Indonesia ke negara pengimportir lewat nilai FOB. Berdasarkan nilai FOB yang berada di tabel 1.3 tahun 2014 menunjukan negara yang memiliki nilai ekspor tinggi komoditas minyak kelapa sawit


(17)

adalah India yang memiliki nilai FOB sebesar 585,2 juta US$, disusul oleh Belanda di posisi kedua dengan nilai FOB sebesar 310,3 juta US$, sedangkan pada posisi ke tiga ditempati Tiongkok dengan nilai FOB sebesar 170,3 juta US$.

Perkembangan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia dipengaruhi oleh harga minyak kelapa sawit (CPO), baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Faktor utama pendorong kenaikan permintaan minyak kelapa sawit (CPO) adalah harga yang relatif rendah dibandingkan dengan harga kompetitornya seperti minyak kedelai, minyak biji matahari, minyak kacang tanah, minyak kapas dan minyak lobak. (Abidin, 2008).

Variabel makroekonomi lain yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia adalah nilai tukar. Perubahan nilai tukar dapat mengubah harga relatif suatu menjadi lebih mahal atau lebih murah, sehingga nilai tukar terkadang digunakan sebagai alat untuk meningkatkan daya saing (mendorong ekspor). Perubahan posisi ekspor inilah yang kemudian berguna untuk memperbaiki posisi neraca perdagangan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor Crude Palm Oil Indonesia. Peneliti ingin mengangkat judul “Determinan Ekspor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia:


(18)

B. Batasan Masalah

1. Batasan masalah dalam penelitian yang akan penulis lakukan meliputi Determinan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia dengan analisis Error

Correction Model.

2. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan dalam model penelitian adalah volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia sebagai variabel dependen, sedangkan untuk variable independent adalah variabel Produksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Harga Kelapa Sawit Internasional

dan Term of Trade Indonesia.

3. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data bulanan Time Series

dari periode Januari 2013 sampai periode Desember 2015 C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh Produksi kelapa sawit terhadap ekspor CPO Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh Nilai tukar rupiah terhadap ekspor CPO Indonesia? 3. Bagaimana pengaruh harga CPO international terhadap ekspor CPO

Indonesia?

4. Bagaimana pengaruh Term of Trade terhadap ekspor CPO Indonesia? D.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengukur pengaruh Produksi CPO Indonesia terhadap ekspor CPO


(19)

2. Untuk mengukur pengaruh nilai tukar rupiah terhadap ekspor CPO Indonesia

3. Untuk mengukur pengaruh harga CPO international terhadap ekspor CPO Indonesia

4. Untuk mengukur pengaruh Term of Trade Indonesia terhadap ekspor CPO Indonesia

E. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan pemerintah dan pihak terkait lainnya sebagai pengambil keputusan untuk mengembangkan komoditas minyak kelapa sawit sebagai salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia

2. Menambah khasanah literatur mengenai studi komoditi minyak kelapa dan diharapkan mampu sebagai bahan referensi dalam penelitian di masa yang akan datang

3. Sebagai wahana bagi peneliti untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama kuliah.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI

1. Teori Perdagangan International

Perdagangan Internasional dapat diartikan sebagai system dimana negara-negara mengekspor dan mengimpor barang dan jasa pelayanan untuk mengembangkan spesialisasi dan spesialisasi meningkatkan produktivitas. Adapun perdagangan itu melibatkan satu Negara atau negara yang berbeda sehingga perbedaan itu mempuanyai konsekuensi ekonomis dan kesempatan untuk memperluas perdagangan dan suatu kesatuan untuk mengatur aliran barang dan system finansial harus menjamin kelancaran aliran barang dan jasa dalam perdagangan (Samuelson, 2003:350).

1.1.Teori Merkantilis

Para penganut merkantilisme berpendapat bahwa satu-satunya cara bagi suatu Negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkannya selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam-logam mulia, khususnya emas dan perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki oleh


(21)

suatu Negara maka semakin kaya dan kuatlah Negara tersebut. (Dominick Salvatore, 1997:23)

Dengan demikian pemerintah harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor dan mengurangi serta membatasi impor. Namun oleh karena setiap Negara tidak secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor dan juga karena jumlah emas dan perak adalah tetap pada suatu saat teretentu, maka suatu Negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan negara lain.

1.2 Teori Keunggulan Mutlak (Adam Smith)

Menurut Adam Smith, perdagangan natara dua negara didasarkan pada keunggulan absout (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien dari pada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditi yang memiliki hubungan absolute, dan menukarnya dengan komoditi lain yang memiliki kerugian absolute. Melalui proses ini, sumber daya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efisien. Output kedua komoditi yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan perdagangan. Jadi, berbeda dari


(22)

kaum merkantilis yang percaya bahwa sebuah negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan negara lainnya, Adam Smith justru percaya bahwa semua negra dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dan denan tegas menyarankan untuk menjalankan kebijakan laissez-faire yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sedikit mungkin intervensi pemerinta terhadap peekonomian. Terdapat pengecualian dalam kebiajakan laissez-faire ini, yakni proteksi terhadap berbagai industri pening sebagai pertahanan negara. (Salvatore, 1996:25).

1.3 Teori Keunggulan Komparatif (John Stuart Mill dan David Ricardo) Teori J.S. Mill menyatakan bahwa suatu Negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang dimiliki comparative disadvantage (suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar). Teori ini menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut. Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena pertukaran di mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori absolute advantage.


(23)

David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jika barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang tersebut dapat digunakan. Teori perdagangan internasional diketengahkan oleh David Ricardo yang mulai dengan anggapan bahwa lalu lintas pertukaran internasional hanya berlaku antara dua negara yang diantara mereka tidak ada tembok pabean, serta kedua Negara tersebut hanya beredar uang emas. Ricardo memanfaatkan hokum pemasaran bersama-sama dengan teori kuantitas uang untuk mengembangkan teori perdagangan internasional. Walaupun suatu Negara memiliki keunggulan absolut, akan tetapi apabila dilakukan perdagangan tetap akan menguntungkan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan (Tambunan, 2001:51).

1.4 Teori Heckscher-Ohlin

Heckscher-Ohlin dalam teori faktor proporsi menyatakan bahwa perbedaan dalam opportunity cost suatu Negara dengan Negara lain karena adanya perbedaan dalam jumlah factor produksi yang dimilikinya. Suatu Negara memiliki tenaga kerja lebih banyak daripada negara lain, sedang negara lain memiliki capital lebih banyak dari pada Negara tersebut sehingga dapat menyebabkan terjadinya pertukaran (Nopirin, 2013:214). Negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara


(24)

tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.

Penjelasan analisis teori H-O menggunakan dua kurva. Pertama adalah kurva isocost yaitu kurva yang melukiskan total biaya produksi sama serta kurva

isoquant yang melukiskan total kuantitas produk yang sama. Teori ekonomi

mikro menyatakan bahwa jika terjadi persinggungan antara kurva isoquant dan kurva isocost maka akan ditemukan titik optimal. Sehingga dengan menetapkan biaya tertentu suatu negara akan memperoleh produk maksimal atau sebaliknya dengan biaya yang minimal suatu negara dapat memproduksi sejumlah produk tertentu.

Penjelasan dengan menggunakan kedua kurva tersebut misalnya dengan contoh angka hipotesis perdagangan antara Indoensia yang padat labor dengan Singapura yang padat modal. Misalnya Indonesia memiliki tenaga kerja yang besar dan relatif sedikit kapital, maka untuk sejumlah pengeluaran uang tertentu akan memperoleh jumlah tenaga kerja lebih banyak daripada kapital. Sebagai contoh uang sejumlah Rp 100,00 dapat dibeli 20 unit tenaga atau 5 unit mesin, jadi 20 unit tenaga sama dengan 5 unit mesin.


(25)

Gambar 2.1 Kurva Isocost

Indonesia Singapura

Sumber: Ardiprawiro, 2013

Dalam gambar 2.1 dengan uang sebanyak 100 dapat dibeli kombinasi mesin, yang ditandai dengan titik-titik pada sumbu vertikal (tenaga) dan sumbu horizontal (mesin). Kalau kedua titik ini dihubungkan dengan suatu garis lurus merupakan suatu kurva yang disebut isocost, yakni berbagai kombinasi dua faktor produksi yang dapat dibeli dengan sejumlah uang tertentu. (Nophirin, 1991: 20).

Sudut arah isocost ini menunjukkan perbandingan harga antara tenaga kerja dan mesin yaitu 20:5 atau 4:1 yang berarti 4 unit tenaga nilainya sama dengan 1 unit mesin. Kemudian, negara Singapura lebih banyak mempunyai kapital/mesin dan relatif sedikit tenaga. Konsekuensinya di negara Singapura pengeluaran Rp 100,00 akan memperoleh tenaga 10 unit atau 20 unit mesin, harga 1 unit tenaga sama dengan 2 unit mesin. Dengan demikian perbandingan harga tenaga dengan mesin adalah 1:2. Negara Indonesia akan lebih murah apabila


(26)

memproduksi barang yang relatif menggunakan banyak tenaga dan sedikit kapital

(labor intensif) dan Negara Singapura lebih murah apabila memproduksi barang

yang relatif menggunakan banyak kapital dan sedikit tenaga kerja (capital

intensive) (Nophirin, 1991: 21).

Masalahnya tidaklah hanya mengenai barang yang akan dihasilkan oleh suatu negara tetapi bagaimana barang tersebut dihasilkan. Untuk mengetahui hal ini dapat diterangkan dengan kurva isoquant negara Indonesia dan Singapura untuk barang X dan Y (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Isoquant

Indonesia Singapura

Sumber: Ardiprawiro, 2013

Isoquant negara Indonesa terletak dekat sumbe vertikal (tenaga kerja) menunjukkan bahwa barang X yang dihasilkannya bersifat padat tenaga kerja


(27)

(labor intensive). Hal ini dikarenakan negara Indonesia lebih banyak memiliki faktor produksi tenaga kerja. Sedang isoquant negara Singapura mendekati sumbu horizontal (kapital) menunjukkan bahwa barang Y yang dihasilkan bersifat padat modal (capital intensive) karena negara Singapura relatif lebih banyak memiliki kapital.

Selanjutnya teori proporsional faktor Hecksher dan Ohlin (H-O) menggunakan asumsi 2 x 2 x 2 sebagai berikut:

a. Perdagangan internasional terjadi antara dua negara

b. Masing-masing negara memproduksi dua macam barang (misal, pakaian dan radio)

c. Masing-masing negara menggunakan dua macam faktor produksi, yaitu tenaga kerja dan kapital

Untuk memudahkan analisis manfaat perdagangan internasional (gain from trade) berdasarkan teori H-O, lihat tabel berikut:


(28)

TABEL 2.1

Teori Proporsional Faktor dengan Data Hipotesis

2 Negara Indonesia Singapura

2 Barang Pakaian Radio Pakaian Radio

2 Faktor Produksi

Tenaga Kerja

Kapital Tenaga Kerja

Kapital Proses Produksi Labor

Intensive Capital Intensiv Labor Intensive Capital Intensiv Proporsi Faktor Produksi 60 Unit (Banyak) 15 Unit (Sedikit) 30 Unit (Sedikit) 60 Unit (Banyak) Isoquant 100 Unit 20 Unit 100 Unit 20 Unit

Isocost $ 400 $ 600 $ 600 $ 400

Unit Cost $ 4(Murah) $ 30 (Mahal) $ 6 (Mahal) $ 20 (Murah)

Sumber : Ardiprawiro, 2013

Berdasarkan tabel di atas dan konsep titik singgung antara isocost dan isoquant sebagai suatu titil optimal untuk memproduksi sejumlah barang dapat digambarkan dengan grafik di bawah ini.

Gambar 2.3

Model Dasar Heckscher-Ohlin


(29)

Dari gambar di atas dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

a. Isoquant 100 unit pakaian dilakukan dengan padat tenaga kerja (labor intensive).

 Indonesia

Isoquant untuk 100 unit pakaian akan menyinggung isocost $ 400 pada titik A dengan kombinasi 34 tenaga kerja (TK) dan 3 kapital (K). Dengan demikian untuk memproduksi 100 unit pakaian yang padat karya di Indonesia akan lebih murah, ini disebabkan jumlah/proporsi faktor produksi yang dimiliki oleh Indonesia relatif banyak dan murah, sehingga unit costnya hanya $ 4.  Singapura

100 unit pakaian akan menyinggung isocost $ 600 pada titik B dengan kombinasi 20 unit TK dan 7 unit K. Dengan demikian untuk memproduksi 100 unit pakaian yang padat karya di Jepang relatif mahal karena faktor produksi TK relatif sedikit dan mahal, sehingga unit cost adalah $ 6.

b. Isoquant 20 unit radio dilakukan dengan padat modal (capital intensive).  Indonesia

Isoquant untuk 20 unit radio akan menyinggung isocost $ 600 pada titik C dengan kombinasi 20 tenaga kerja (TK) dan 10 kapital (K). Dengan demikian untuk memproduksi 20 unit radio yang padat karya di Indonesia akan lebih mahal, ini disebabkan jumlah/proporsi faktor produksi yang dimiliki oleh Indonesia relatif sedikit dan mahal, sehingga unit costnya hanya $ 20.


(30)

 Singapura

20 unit radio akan menyinggung isocost $ 400 pada titik B dengan kombinasi 10 unit TK dan 18 unit K. Dengan demikian untuk memproduksi 20 unit radio yang padat karya di Jepang relatif murah karena faktor produksi TK relatif banyak dan murah, sehingga unit cost adalah $ 20.

Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa harga/biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah faktor produksi yang dimiliki oleh masing-masing negara. Comparative advantage atau keunggulan komparatif dari suatu jenis produk yang dimiliki oleh masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimiliki. Masing-masing negara akan cenderung berspesialisasi produksi dan mengekspor barang tertentu karena negara itu memiliki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu karena negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal memproduksinya.

Karakter keseimbangan umum yang terkandung dalam teori Heckscher-Ohlin dapat divisualisasikan dan dirangkum melalui penggunaan gambar di bawah ini.


(31)

Gambar 2.4

Kerangka dan Karakter Keseimbangan Umum Heckscher-Ohlin

Sumber: Salvatore Dominick, 1997

Bermula pada sudut kanan bawah diagram, kita melihat bahwa distribusi kepemilikan faktor produksi atau distribusi pendapatan dan selera menentukan tinggi rendahnya permintaan atas komoditi-komoditi yang diperdagangkan. Permintaan faktor produksi selanjutnya dapat diderivasikan dari kurva permintaan komoditi final. Permintaan dan penawaran faktor-faktor produksi itulah yang akan menentukan harganya. Lebih lanjut, harga faktor-faktor produksi dan teknologi akan ikut menentukan harga komoditi final. Perbedaan harga relative komoditi (final) diantara Negara-negara yang terlibat dalam perdagangan akan menentukan keuntungan komparatif bagi masing-masing Negara dan juga pola perdagangan yang akan berlangsung di antara mereka. (Dominick Salvatore, 1997:130)

Permintaan turunan/derivative untuk faktor-faktor produksi Harga faktor produksi

Harga Komoditi

Teknologi

Permintaan komoditi Final

Selera

Distribusi Kepemilikan faktor-faktor produksi Penawaran faktor produksi


(32)

2. Faktor Pendorong dan Penghambat Perdagangan International

Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut:

1. Vent For Suplus

Teori Vent for Suplus pada intinya lebih menekankan pada sisi penawaran dengan dasar pemikiran yang sama dengan pemikiran yang melandasi teori penawaran. Teori ini menyatakan bahwa suatu Negara akan mengekspor produk-produk yang dibuat apabila terjadi kelebihan supply dipasar dalam negeri. Kelebihan stok dapat terjadi karena beberapa hal, misalnya konsumsi dalam negeri berkurang karena berbagai hal, sementara volume produksi tetap tidak berubah. Teori tersebut mengatakan bahwa suatu Negara akan mengekspor produk yang dibuatnya apabila terjadi exces supply (kelebihan stok) di dalam negeri. Kelebihan stok bisa terjadi karena berbagai hal misalnya, konsumsi dalam negeri berkurang, pendapatan masyarakat, atau karena produk tersebut sudah tidak diminati di dalam negeri, atau kelebihan stok akibat kondisi panen raya.

2. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri

3. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara 4. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi


(33)

5. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut.

6. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi.

7. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang.

8. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain.

9. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri.

Seringkali terdapat banyak hambatan dalam melakukan perdagangan internasional. Hambatan itu ada yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Kebijakan perdaganan luar negeri memiliki dua tujuan utama, yakni meningkatkan ekspor dan mengurangi ketergantungan pada impor. Untuk meningkatkan ekspor, kebijakan perdagangan luar negeri mempunyai sejumlah instrumen, diantaranya pemberian subsidi ekspor bagi eksportir yang sudah memiliki sertifikat ekspor, pemberian fasilitas kredit perbankan dengan suku bunga murah, dan pembebasan. Sedangkan kebijakan perdaganggan luar negeri yang bertujuan mengurangi impor juga memiliki sejumlah instrument diantaranya adalah pengenaan bea masuk terhadap impor dengan tarif, hal ini lazim disebut proteksi.

Menurut D.Salvatore (1997: 270) hambatan perdagangan internasional terdiri dari hambatan tarif dan nontarif. Penjelasannya sebagai berikut:


(34)

a. Hambatan Tarif

Tarif merupakan salah satu instrumen kebijakan perdagangan luar negeri yang membatasi arus perdagangan internasional, tarif adalah suatu pembebanan atas barang yang melintasi daerah pabean (daerah geografis). Tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial. Tarif ini merupakan kebijakan yang paling tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah.

Pengenaan tarif dimaksudkan untuk memproteksi produk dalam negeri. Dengan adanya tarif harga barang impor dalam mata uang nasional meningkat sehingga permintaan di pasar dalam negeri menurun dan hal tersebut mendorong produksi dalam negeri karena adanya kenaikan permintaan domestik atas barang hasil dalam negeri. Ada tiga macam jenis tarif yang biasa digunakan dalam perdagangan internasional yaitu:

1. Bea Ekspor (export duties) adalah pajak yang dikenakan terhadap barang yang diangkut atau diekspor menuju negara lain.

2. Bea Transito (transit duties) adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang melalui wilayah suatu negara dengan ketentuan bahwa barang tersebut sebagai tujuan akhirnya adalah negara lain.


(35)

3. Bea Impor (impor duties) adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap barang-barang yang masuk kedalam suatu negara dengan ketentuan bahwa negara tersebut sebagai tujuan akhir.

b. Hambatan Non Tarif

Instrumen kebijakan perdaganan internasional selain tarif adalah berupa kebijakan non tarif, yang terdiri dari:

1. Kuota

Kuota merupakan pembatasan secara kuantitatif tidak hanya terhadap impor, tetapi juga diterapkan oleh banyak negara terhadap ekspor, karena tujuan utama pengenaan kuota adalah untuk kepentingan konsumen di dalam negeri, yakni menjaga ketersediaan stok domestik.

2. Embargo

Adalah pelarangan impor dan ekspor jenis produk tertentu atau pelarangan secara total dalam perdagangan dengan negara tertentu sebagai suatu tambahan dalam kebijakan politik yang dilakukan pemerintah.

3. Kartel-kartel Internasional

Merupakan sebuah organisasi produsen komoditi tertentu dari berbagai negara yang sepakat untuk membatasi outputnya dan juga mengendalikan ekspor komoditi tersebut dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan.

4. Dumping


(36)

pasaran atau penjualan komoditi di luar negeri dengan harga yang jauh lebih murah dibanding dengan harga penjualan domestik.

5. Subsidi Ekspor

Adalah pembayaran langsung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi kepada para eksportir atau calon eksportir nasional, atau pemberian pinjaman kepada pengimpor asing dengan bunga rendah dalam rangka memacu ekspor suatu negara.

3. Teori Permintaan

Permintaan adalah berbagai kombinasi harga dan jumlah yang menunjukkan jumlah sesuatu barang yang ingin dan dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu (Nopirin, 2013:32)

Dalam teori penawaran berlaku suatu hukum yaitu hukum penawaran. Dalam hukum permintaan dikatakan bahwa, bila harga suatu barang naik, maka jumlah yang diminta konsumen akan barang tersebut akan menurun (ceteris

paribus). Kondisi sebaliknya, bila harga barang tersebut mengalami penurunan

(Ceteris paribus), berarti semua faktor-faktor lain yang mempengaruhi jumlah

yang diminta dianggap tidak berubah. Jumlah yang diminta tidak hanya bergantung pada harga saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti: pendapatan, selera, perkiraan (expectation), banyaknya konsumen serta harga barang lain. Perubahan dari faktor-fsktor tersebut dapat menyebabkan pergeseran pada kurva permintaan (Nopirin, 2013:32)


(37)

Gambar 2.5 Kurva Permintaan

Sumber: Nopirin, 2013

Gambar 2.1 merupakan gambar yang menunjukkan pergeseran kurva permintaan. Perubahan dari titik A ke B merupakan perubahan jumlah yang diminta karena harga turun. Sedangkan pergeseran kurva permintaan dari D0 ke D1

disebut perubahan permintaan karena faktor-faktor lain (selain harga) yang mempengaruhi jumlah yang diminta (ceteris paribusnya) berubah.

4. Teori Penawaran

Penawaran adalah berbagai kombinasi harga dan jumlah yang menunjukkan jumlah sesuatu barang yang dapat dijual oleh produsen pada berbagai tingkat harga untuk suatu periode tertentu (Nopirin, 2013:36)

Dalam teori penawaran berlaku suatu hukum yaitu hukum penawaran. Hukum penawaran adalah suatu pernyataan bahwa jika semua hal dibiarkan sama, ketika harga suatu barang meningkat maka jumlah penawarannya akan meningkat


(38)

pula. Jumlah barang yang ingin dijual tidak hanya bergantung pada harga saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti: teknologi, banyaknya produsen, harga faktor produksi, perkiraan (expectation) produsen serta harga barang lain. Perubahan dari faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan pergeseran pada kurva penawaran (Nopirin, 2013:32)

Gambar 2.6 Kurva Penawaran

Sumber: Nopirin, 2013

Gambar 2.2 merupakan gambar yang menunjukkan pergeseran kurva penawaran. Perubahan dari titik A ke B merupakan perubahan jumlah yang ditawarkan karena harga naik. Sedangkan pergeseran kurva penawaran dari S0 ke

S1 disebut perubahan penawaran karena faktor-faktor lain (selain harga) yang


(39)

5. Ekspor

Ekspor adalah benda-benda (termasuk jasa) yang dijual kepada penduduk negara lain ditambah dengan jasa-jasa yang diselenggarakan kepada penduduk negara tersebut, berupa pengangkutan dengan kapal, permodalan dan hal-hal lain yang membantu ekspor tersebut (Michael P. Todaro, 2000).

Sehubungan dengan ekspor suatu komoditas, Kindleberger dan Lindert menyatakan bahwa secara teoritis volume ekspor dari suatu negara merupakan selisih antara penawaran dan permintaan domestic (excess demand) bagi negara konsumen (Nurdin, 2008:40).

Ditinjau dari sudut pengeluaran, ekspor merupakan salah satu faktor terpenting dari GNP (Gross National Product), sehingga dengan berubahnya nilai ekspor maka pendapatan masyarakat secara langsung juga akan mengalami perubahan. Dilain pihak, tingginya ekspor suatu negara akan menyebabkan perekonomian tersebut akan sangat sensitif terhadap keguncangan-keguncangan atau fluktuasi yang terjadi di pasaran internasional maupun di perekonomian dunia. Suatu negara dapat mengekspor barang produksinya ke negara lain apabila barang tersebut diperlukan negara lain dan mereka tidak dapat memproduksi barang tersebut atau produksinya tidak dapat memenuhi keperluan dalam negeri. Faktor yang lebih penting lagi adalah kemampuan dari negara tersebut untuk mengeluarkan barang-barang yang dapat bersaing dalam pasaran luar negeri.


(40)

Maksudnya, mutu dan harga barang yang dapat diekspor tersebut haruslah paling sedikit sama baiknya dengan yang diperjual belikan dalam pasaran luar negeri. Secara umum boleh dikatakan bahwa semakin banyak jenis barang yang mempunyai keistimewaan yang sedemikian yang dihasilkan oleh suatu negara, semakin banyak ekspor yang dapat dilakukan (Sukirno, 2006).

Selanjutnya menurut Soekartawi (Nurdin, 2008:38), ekspor merupakan bagian dari perdagangan internasional bisa dimungkinkan oleh beberapa kondisi antara lain:

a. Adanya kelebihan produksi dalam negeri sehingga kelebihan tersebut dijual keluar negeri melalui kebijaksanaan ekspor.

b. Adanya permintaan luar negeri untuk suatu produk walaupun produk tersebut karena adanya kekurangan produk dalam negeri.

c. Adanya keuntungan yang lebih besar dari penjualan keluar negeri daripada penjualan di dalam negeri. Karena harga di pasar dunia yang lebih menguntungkan.

d. Adanya kebijaksanaan ekspor yang bersifat politik.

e. Adanya barter antar produk tertentu dengan produk lain yang diperlukan dan tak dapat diproduk di dalam negeri.

Soekartawi menyatakan alasan mendesak mengapa suatu negara perlu menggalakan ekspor adalah untuk meningkatkan kekayaan Negara yang berarti pula meningkatkan peningkatan pendapatan perkapita. Alasan lain perlunya


(41)

peningkatan ekspor bagi negara kita karena negara kita terus mengadakan impor, sehingga negara memerlukan devisa untuk membayar impor yang dilakukannya.

Berdasarkan teori tersebut, maka ekspor suatu komoditas ke pasaran international dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor domestik, harga luar negeri dan faktor permintaan dan penawaran domestik antarnegara. Selain itu secara implisit ekspor juga dipengaruhi oleh faktor nilai tukar (exchange rate) mata uang suatu negara dengan negara lain.

Sedangkan menurut Paul A.Samuelson dan William D.Nordhaus (1994:182-183) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi volume dan nilai ekspor suatu negara tergantung pada pendapatan dan output luar negeri, nilai tukar uang (kurs) serta harga relatif antara barang dalam negeri dan luar negeri.

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor 6.1 Produksi

Produksi adalah berkaitan dengan bagaimana sumber daya (input) digunakan untuk menghasilkan produk (output). Menurut Joesron dan Fathorozzi (2003), produksi merupakan hasil akhir dari proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa input. Lebih lanjut, Samuelson dan William (1986) mengartikan fungsi produksi adalah fungsi matematis yang menyatakan berapa jumlah suatu masukan dalam unit tertentu. Produksi dibedakan menjadi tiga yaitu: produksi total (total production) adalah banyaknya produksi yang dihasilkan dari


(42)

penggunaan total faktor produksi, produksi marginal (marginal Production) adalah tambahan produksi karena penambahan pengunaan satu unit faktor produksi, dan produksi rata-rata (average product) adalah rata-rata output yang dihasilkan per unit faktor produksi (Raharja dan Manurung, 2001).

Selanjutnya Sukirno (2006), mengatakan yang disebut sebagi fungsi produksi yaitu suatu perkaitan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakannya dimana fungsi produksi merupakan suatu hubungan fisik antara input sumber daya perusahaan (faktor-faktor produksi) dan keluarnya output yang berupa barang dan jasa per unit waktu atau dapat dibuat formulasinya sebagai berikut.

A = f (K, L, R, T) ……...………(2)

Keterangan:

A = barang yang diproduksi

K = kapital modal

L = labour/tenaga kerja

R = resouces/alam


(43)

Jika laju kenaikan jumlah produksi sekarang lebih besar dari pada jumlah produksi yang lalu maka peristiwa itu disebut skala produksi yang meningkat. Adanya kelebihan produksi dalam hal ini produksi pisang akan dapat menyebabkan anjloknya harga pisang

6.2 Nilai Tukar

Menurut Mankiw (2006:33), berbagai faktor yang dapat mempengaruhi impor suatu negara salah satunya adalah nilai tukar (kurs) yang menentukan jumlah mata uang domestik yang dibutuhkan untuk membeli mata uang asing. Kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan pembayaran ke luar negeri (impor), diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran internasional.

Kurs atau nilai tukar mata uang adalah perbandingan nilai atau harga mata uang luar negeri dalam satuan harga mata uang domestik. Nilai tukar satu mata uang mempengaruhi perekonomian apabila nilai tukar mata uang tersebut terapresiasi atau terdepresiasi. Bila nilai tukar mata uang rupiah terapresiasi, barang atau jasa luar negeri menjadi relatif lebih murah dibandingkan dengan barang atau jasa domestik, sebaliknya bila nilai tukar mata uang rupiah terdepresiasi maka barang atau jasa luar negeri relatif lebih mahal dibandingkan dengan barang atau jasa domestik. (Salvatore, 1997:74)


(44)

Nilai tukar terbagi atas nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai tukar riil (real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan jasa dari suatu negara dengan barang dan jasa dari negara lain (Mankiw, 2006).

Kurs valuta asing akan berubah-ubah sesuai dengan perubahan permintaan dan penawaran valuta asing. Permintaan valuta asing diperlukan guna melakukan pembayaran ke luar negeri (impor), diturunkan dari transaksi debit dalam neraca pembayaran internasional. Suatu mata uang dikatakan kuat apabila transaksi autonomous kredit lebih besar dari transaksi autonomous debit (surplus neraca pembayaran), sebaliknya dikatakan lemah apabila neraca pembayarannya mengalami defisit, atau bisa dikatakan jika permintaan valuta asing melebihi penawaran dari valuta asing (Nopirin, 2000). Kurs dollar Amerika Serikat memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap impor di Indonesia. Semakin tinggi nilai kurs akan menaikkan harga produk impor negara mitra dagang sehingga menurunkan daya saing produk-produk impor dan akhirnya akan menurunkan nilai impor. (Yuliadi, 2008)

Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual


(45)

barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Pohan, 2008).

6.3 Harga

Harga barang merupakan aspek pokok dalam pembahasan teori ekonomi dan pembentukan harga dari suatu barang terjadi di pasar melalui suatu mekanisme. Apabila pada suatu tingkat tertinggi kuantitas barang yang diminta melebihi kuantitas barang yang ditawarkan maka harga akan niak, sebaliknya bila kuantitas barang yang ditawarkan pada harga tersebut lebih banyak daripada kuantitas permintaan, maka harga cenderung turun. Tingginya harga mencerminkan kelangkaan dari barang tersebut. Sampai pada tingkat harga tertinggi konsumen cenderung menggantikan barang tersebut dengan barang lain yang mempunyai hubungan dekat dan relative lebih murah (Budiono, 2001).

6.4 Nilai Tukar Perdagangan (Terms of Trade)

Harga relatif barang dari suatu negara yang melakukan transaksi perdagangan dinamakan terms of trade (TOT), di mana perhitungannya diperoleh dari harga barang ekspor dibagi dengan harga barang impor. Terdapat beberapa konsep tentang TOT.

Konsep pertama merupakan konsep yang paling umum digunakan, yaitu net


(46)

barter terms of trade adalah perbandingan antara indeks harga ekspor dengan indeks harga impor. Kenaikan ekspor menunjukkan perbaikan di dalam nilai tukar perdagangan, artinya untuk sejumlah tertentu ekspor dapat diperoleh jumlah impor yang lebih banyak dengan melalui hubungan harga (Nopirin, 1995: 71). Forumulasinya dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

TOT = x 100

Dimana, Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan 100 adalah Indeks tahun dasar. Bila N >100 atau terjadi kenaikan net barter terms of trade maka berarti terjadi perkembangan perdagangan luar negeri yang positif karena dengan nilai ekspor tertentu diperoleh nilai impor yang lebih besar (Hady, 2001:77).

Konsep kedua adalah gross barter terms of trade, merupakan perbandingan

antara indeks volume impor dengan indeks volume ekspor. Konsep ini menjadi tidak penting karena kurang memberikan gambaran tentang perubahan harga. Oleh karena itu, apabila konsep terms of trade tanpa diberi penjelasan apa-apa maka yang dimaksud adalah konsep net barter terms of trade.

 Konsep ketiga adalah income terms of trade yang dapat dituliskan dengan

rumus sebagai berikut :


(47)

Dimana: N adalah net barter terms of trade; Px adalah Indeks harga ekspor; Pm adalah Indeks harga impor; dan Qx adalah Indeks kuantitas ekspor.

Berdasarkan konsep ini, kenaikan income terms of trade menunjukkan bahwa suatu negara dapat memperoleh jumlah impor yang lebih besar dengan dasar kenaikan nilai ekspornya. Bagi negara-negara yang sedang berkembang, selain variabel harga juga sangat penting untuk menilai terms of trade in i dengan mempertimbangkan volume ekspornya karena kenaikan harga ekspor yang tinggi mungkin diimbangi dengan turunnya volume ekspor.

Perbaikan pada Term of Trade (TOT) dapat timbul sebagai akibat dari kejadian berikut:

1) harga ekspor naik sedang harga impor tetap; 2) harga ekspor tetap sedang harga impor turun;

3) harga ekspor naik dengan proporsi yang lebih besar daripada naiknya harga impor;

4) harga ekspor turun dengan proporsi yang lebih kecil daripada turunnya harga impor.

Mekanisme bagaimana TOT dapat berpengaruh pada nilai tukar riil adalah dapat dilihat dari sebuah mekanisme sederhana yaitu perbaikan TOT akan meningkatkan aliran modal masuk yang berasal dari perdagangan yang selanjutnya dapat mengapresiasi nilai tukar riil dan sebaliknya. Memburuknya TOT akan mengakibatkan permintaan valuta asing meningkat sehingga akan mendepresiasi nilai tukar riil.


(48)

Terkait dengan jenis produksi yang diperdagangkan, maka secara umum nilai tukar perdagangan komoditi (commodity terms of trade atau net barter terms of trade) negaranegara berkembang cenderung mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu. Salah satu penyebab utamanya adalah sebagian besar atau bahkan semua kenaikan produktivitas yang terjadi di negara-negara maju dialirkan ke para pekerjanya dalam bentuk upah dan pendapatan yang lebih tinggi, sedangkan sebagian besar atau seluruh kenaikan produktivitas yang berlangsung di negara-negara berkembang diwujudkan sebagai harga-harga produk yang lebih murah (Salvatore, 1996 : 431).

7. Hubungan Produksi terhadap Ekspor

Komalasari (2009:65) menjelaskan bahwa peningkatan produksi berpengaruh secara positif terhadap penawaran ekspor. Saat produksi mengalami peningkatan maka ketersediaan barang dalam negeri meningkat, sehingga penawaran barang di dalam dan luar negeri juga meningkat. Hal inilah yang mengakibatkan apabila produksi meningkat, maka volume ekspor juga meningkat.

8. Hubungan Kurs terhadap Ekspor

Menurut Boediono (1997), apabila nilai rupiah terdepresiasi terhadap mata uang asing maka akan berdampak pada nilai ekspor yang naik sedangkan nilai impornya akan turun (apabila penawaran ekspor dan permintaan impor cukup elastis). Hal ini dikarenakan di pasaran internasional produk domestik kita menjadi


(49)

kompetitif. Dengan meningkatnya nilai ekspor bersih akan berdampak pada meningkatnya permintaan agregat riil sehingga berdampak pada meningkatnya investasi. Hal ini akan mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia dan meningkatkan volume impor bahan baku dan penolong serta barang modal yang dibutuhkan dalam proses produksi di dalam negeri.

Pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap ekspor ini menarik perhatian beberapa ekonom untuk menelitinya. Susilo (2001) misalnya menemukan bahwa fluktuasi nilai tukar memiliki dampak yang signifikan terhadap ekspor riil non migas pada jangka pendek. Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Huchet-Bourdon dan Korinek (2012) tentang pengaruh nilai tukar terhadap perdagangan antara negara Chilie dan New Zealand juga menghasilkan analisis yang sama, yaitu perubahan nilai tukar mempengaruhi neraca perdagangan pada perekonomian terbuka kecil (Huchet-Bourdon dan Korinek, 2012).

9.Hubungan Harga terhadap Ekspor

Menurut Budiono (2001:87), tingginya harga mencerminkan kelangkaan dari barang tersebut. Ketika sampai tingkat harga tertinggi konsumen cenderung menggantikan barang tersebut dengan barang lain yang mempunyai hubungan dekat dan relatif lebih murah. Hukum penawaran menyatakan apabila semakin tinggi harga, jumlah barang yang ditawarkan semakin banyak. Sebaliknya semakin rendah harga barang, jumlah barang yang ditawarkan semakin sedikit.


(50)

Menurut Lipsey (1995) harga dan kuantitas/jumlah permintaan suatu komoditi berhubungan secara negatif. Artinya semakin tinggi harga suatu komoditi maka jumlah permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang, cateris paribus. Untuk harga ekspor, Lipsey (1995) menyatakan bahwa suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan komoditi, harga yang ditawarkan berhubungan secara negatif dengan jumlah yang diminta, atau dengan kata lain semakin besar harga komoditi maka akan semakin sedikit kuantitas komoditi tersebut yang diminta. Sebaliknya harga berhubungan secara positif dengan penawaran. Semakin tinggi harga maka akan semakin banyak kuantitas yang ditawarkan.

10. Hubungan Term of Trade terhadap ekspor

Term of trade merupakan komponen dari harga ekspor dibagi dengan harga impor. Di dalam hal ini adalah harga barang-barang yang diperdagangkan di pasar dunia. Semakin tinggi term of trade suatu negara maka preferensi untuk melakukan ekspor semakin tinggi dan preferensi untuk melakukan impor juga semakin kecil. Hubungan term of trade dengan tingkat ekspor berlaku positif, semakin tinggi term of trade maka volume ekspor akan meningkat.

B. PENELITIAN TERDAHULU

Dinan Arya Putra (2013) membuat penelitian berjudul Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ekspor Tembakau Indonesia Ke Jerman. Alat analisis


(51)

yang digunakan adalah model Ordinary Least Square (OLS) dan Error correction

Model (ECM) dimana volume ekspor tembakau Indonesia ke Jerman sebagai

variabel dependen dan luas lahan tembakau, produksi tembakau, harga tembakau dunia, GDP riil Negara Jerman sebagai variabel independen. Berdasarkan uji Error Correction Model (ECM) dan asumsi klasik didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Luas lahan tembakau dalam jangka pendek berpengaruh negatif dan tidak signifikan sedangkan jangka panjang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perubahan ekspor tembakau Indonesia ke Jerman.

2. Produksi tembakau dalam jangka pendek berpengaruh negatif dan tidak signifikan sedangkan jangka panjang berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan ekspor tembakau Indonesia ke Jerman.

3. Harga tembakau dunia dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan ekspor tembakau Indonesia ke Jerman.

4. GDP Jerman dalam jangka pendek dan jangka panjang berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor tembakau Indonesia ke Jerman.

Munadi (2007) meneliti tentang permintaan ekspor minyak kelapa sawit indonesia ke India dengan menggunakan model ECM dimana variabel terdiri dari harga CPO dunia, harga minyak kedelai dan nilai tukar (Rp/USD). Hasil analisis regresi terhadap persamaan permintaan ekspor dengan menggunakan pendekatan ECM mengindikasikan permintaan ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia ke


(52)

India tidak terdapat hubungan dalam jangka panjang yang diindikasikan dengan pengaruh yang tidak nyata dari Faktor error correction model (ECM). Dalam jangka pendek permintaan ekspor kelapa sawit oleh India sangat dipengaruhi oleh rasio antara harga minyak kedelai dan harga minyak kelapa sawit dunia dengan elastis sebesar 2,74, Indeks produksi dengan elastisitas sebesar 2,69 dan koefisien penyesuaian yang direfleksikan dengan permintaan ekspor ke India tahun lalu sebesar 0,89. Penurunan pajak ekspor akan diikuti oleh meningkatnya jumlah minyak sawit yang diekspor. Penurunan pajak ekspor sebesar 10% akan meningkatkan harga minyak sawit dalam negeri sebesar 14.83%.

Anis Wulantoro (2009) meneliti tentang kebijakan dan pertumbuhan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Negara Belanda. Variabel yang digunakan adalah nilai tukar rupiah terhadap USD, harga ekspor minyak sawit Indonesia, harga pesaing Malaysia, produksi minyak sawit. Metode analisis yang digunakan adalah pengujian koefisien regresi yaitu autokorelasi dan multikolinearitas. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap USD tidak signifikan terhadap ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Negara Belanda. Dan harga ekspor minyak sawit Indonesia, harga pesaing Malaysia, produksi minyak sawit signifikan terhadap ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Negara Belanda.

Yuli Widianingsih (2009) meneliti tentang Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia Di Malaysia, Singapura


(53)

dan Cina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang dominan mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia ke tiga wilayah tersebut. Metode analisis yang digunakan adalah data panel dengan variabel sebagai berikut : harga ekspor biji kakao Indonesia, populasi penduduk Malaysia, Singapura dan Cina, nilai tukar mata uang negara pengimpor terhadap US$, dan pendapatan per kapita Malaysia, Singapura dan Cina. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura dan Cina dari tahun ke tahun terus meningkat meskipun jumlah permintaannya masih berfluktuatif. Dari hasil estimasi dengan menggunakan panel data melaui pendekatan fixed effect diketahui bahwa dari empat variabel yang digunakan terdapat satu variabel yang berpengaruh negatife dan tidak signifikan terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia yaitu variabel harga ekspor. Hal ini dikarenakan harga ekspor biji kakao Indonesia di pasar internasional lebih rendah dibanding harga pesaing. Sehingga peningkatan harga ekspor biji kakao di Indonesia tidak berpengaruh signifikan terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia. Faktor utama yang dominan mempengaruhi permintaan biji kakao di tiga Negara tersebut adalah jumlah penduduk. Hal ini menunjukan bahwa selera penduduk di ketiga Negara tersebut sangat besar terhadap coklat sehingga peningkatan jumlah pendudukyang terus terjadi memberikan peluang Indonesia terhadap peningkatan volume ekspor biji kakao


(54)

Sukmawati, Ainur (2011) melakukan penelitian dengan judul “Analisis factor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor mutiara di Indonesia Tahun 1996-2009”. Variable yang digunakan dalam penelitian ini adalah variable kurs, tingkat harga, populasi dan GDP percapita Negara tujuan ekspor menghasilkan kesimpulan bahwa Nilai tukar negara importir memiliki hubungan positif, artinya jika nilai tukar tinggi akan menyebabkan volume permintaan ekspor mutiara Indonesia meningkat. Variabel GDP per kapita negara importir memiliki pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi permintaan ekspor mutiara Indonesia. Variabel harga mutiara di negara tujuan ini juga signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor mutiara Indonesia pada taraf 10% dan populasi bukan faktor penentu yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan ekspor mutiara Indonesia.

Ambarianti, Marisa (2007) melakukan penelitian dengan judul “Analisis

Faktor-faktor yang mempengaruhi volume ekspor beras Indonesia” dengan variable independent terdiri dari produksi beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga beras eceran, dan konsumsi beras per kapita. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa semua variabel yang digunakan berpengaruh nyata secara bersama-sama dalam peningkatan dan penurunan volume ekspor beras Indonesia. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa dari keempat variabel eksogen terdapat dua variabel eksogen yang berpengaruh nyata terhadap volume ekspor beras Indonesia, yaitu produksi beras Indonesia (pada taraf 0,2) dan konsumsi beras per kapita (pada taraf 0,01). Sedangkan variabel eksogen yang tidak


(55)

berpengaruh nyata adalah nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan nilai P value 0,539 dan harga beras eceran dengan nilai P value 0,883.

Sultan (2014) meneliti tentang Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ekspor Cengkeh Di Indonesia Tahun 2001-2011. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis hubungan variabel antara Harga ekspor cengkeh Indonesia di pasar Internasional, nilai tukar dan GDP percapita Negara importer cengkeh dari Indonesia berpengaruh signifikan terhadap nilai Ekspor cengkeh Indonesia tahun 2001-2011. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor cengkeh Indonesia dengan periode analisis dari tahun 2001 hingga 2011 diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, hasil analisis model permintaan ekspor cengkeh Indonesia menunjukkan bahwa nilai tukar nominal rupiah terhadap Dollar, harga ekspor cengkeh Indonesia dan GDP perkapita negara importir, berpengaruh nyata dan signifikan terhadap permintaan ekspor cengkeh Indonesia. Kedua, meskipun masing-masing variabel bebas Nilai Tukar, Harga Ekspor dan GDP perkapita Negara importir menunjukan fluktuasi yang sangan beragam selama periode penelitian yang dibuktikan berdasarkan temuan data yang diperoleh, berbagai dinamika yang terjadi atas variabel-variabel tersebut tetap memberikan pengaruh positif terhadap permintaan ekspor cengkeh Indonesia di pasar internasional, dimana terdapat lima besar Negara importir yakni Amerika Serikat, Arab Saudi, Singapure, Vietnam dan India. Ketiga, hasil temua yang diperoleh setelah dilakukan analisis data dengan menggunakan metode dan


(56)

perangakat analisis yang terssedia, ditemukan output yang sesuai dengan dasar teori yang ada. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dasar teoritis yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan hipotesis dan hasil penelitian.

C. KERANGKA BERFIKIR

Dalam kerangka pemikiran perlu dijelaskan secara teoritis antara variabel independen dan variabel dependen. Dengan demikian maka model penelitian penulis dari penelitian ini adalah nilai ekspor minyak kelapa sawit indonesia (sebagai variabel dependen) dipengaruhi oleh Produksi, Kurs Rupiah, Harga CPO Internasional dan term of Trade (sebagai variabel independen).

Gambar 2.7 Model Penelitian


(57)

D. HIPOTESIS

Hipotesis merupakan jawaban sementara ataupu kesimpulan sementara untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian. Berdasarkan teori yang ada dan penelitian terdahulu, maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut:

1. Diduga Harga CPO Internasional mempunyai pengaruh negative dan signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia

2. Diduga Nilai Tukar Rupiah Terhadap dolar amerika mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia

3. Diduga Term of Trade mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia

4. Diduga Produksi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor CPO Indonesia


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN A.Obyek Penelitian

Obyek yang diteliti dalam penelitian ini adalah semua data mengenai variabel-varibael sebagai berikut: Jumlah ekspor Minyak kelapa sawit Indonesia, harga minyak kelapa sawit internasioanal, kurs rupiah terhadap Dolar Amerika, Term of Trade Indonesia dan Produksi minyak kelapa sawit dengan data runtut waktu (Time Series).

B.Jenis Data

Data yang yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diambil dari pihak lain atau merupakan data yang sudah diolah oleh pihak ketiga, secara berkala (time

series) untuk melihat perkembangan objek penelitian selama periode tertentu.

Periode pengamatan penelitian dilakukan dari periode Januari 2013 sampai periode Desember 2015 dengan mengambil data bulanan.

C.Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mencari data yang berhubungan dengan variabel penelitian. Data diperoleh dari website, journal dan laporan-laporan statistik terdahulu. Data-data tersebut dikumpulkan dari World Bank, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.


(59)

No Variabel Frekuensi Periode Sumber 1 Ekspor minyak

kelapa sawit Bulanan 2013M01-2015M12 BPS 2

Harga minyak kelapa sawit internasional

Bulanan 2013M01-2015M12 World Bank 3 Kurs Rupiah Bulanan 2013M01-2015M12 BI

4 Term of Trade

(ToT) Bulanan 2013M01-2015M12 World Bank

5 Produksi Bulanan 2013M01-2015M12 BPS

D.Definisi Operasional

Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka perlu diberikan definisi operasional sebagai berikut:

1. Ekspor minyak kelapa sawit adalah jumlah minyak kelapa sawit indonesia yang diekspor atau dijual ke luar negeri dan dinyatakan dalam ton.

2. Harga adalah Harga minyak kelapa sawit internasional yang terbentuk dari jumlah permintaan dan penawaran di pasar internasional dan dinyatakan dalam dolar Amerika.

3. Kurs Rupiah adalah nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang Dolar Amerika dan dinyatakan dalam rupiah.

4. Term of Trade adalah perbandingan kuantitatif (jumlah atau nilai) antara ekspor dan impor yang mencerminkan posisi perdagangan suatu negara untuk periode tertentu.

5. Produksi adalah jumlah minyak kelapa sawit yang diproduksi oleh Indonesia tiap tahunnya dan dinyatakan dalam ton.


(60)

E.Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan model analisis ekonometrika dengan analisis data time series periode Januari 2013 sampai periode Desember 2015. Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan Error Correction Model

(ECM), karena model ini mampu menguji konsisten tidaknya model empiris dengan teori ekonomi serta dalam pemecahannya terhadap variabel runtut waktu yang tidak stasioner dan regresi lancung (Spurious Regression) (Widarjono, 2013). Spurious Regression adalah regresi yang bermasalah, dimana hasil regresi yang signifikan dari data yang tidak berhubungan.

Error Correction Model (ECM) adalah suatu model yang digunakan

untuk melihat pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat (Widarjono, 2013). Menurut Sargan, Engle dan Granger, Error Correction Model (ECM) adalah merupakan teknik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang serta dapat menjelaskan hubungan anatara variabel bebas dengan variabel terikat pada waktu sekarang dan waktu lampau.

Error Correction Model (ECM) diterapkan ndalam analisis untuk data

runtun waktu karena kemampuan yang dimiliki ECM dalam meliputi banyak variabel untuk menganalisiss fenomena ekonomi jangka pendek dan jangka panjang serta mengkaji konsistensi model empiric dengan teori ekonometrika dan juga untuk menemukan solusi terhadap pesoalan perubah runtun waktu yang tidak stasioner dan regresi lancung dalam analisis ekonometrika (Widarjono, 2013).


(61)

Langkah dalam merumuskan model Error Correction Model (ECM) menurut Domowitz dan Elbadawi (dalam Widarjono, 2013) adalah sebagai berikut:

a. Melakukan spesifikasi hubungan yang diharapkan dalam model yang diteliti.

Eksport= α0+ α1Hargat + α2Kurst + α3TOTt + α4Produksit ... (1)

Keterangan :

Eksport = Nilai Ekpor Minyak Kelapa Sawit Indonesia

Hargat` = Harga Minyak Kelapa Sawit International

Kurst = Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar

TOTt = Term of Trade Indonesia

Produksit =Produksi kelapa sawit indonesia

α0 α1 α2 α3 α4 = Koefisien jangka pendek

b. Proses pembentukan variabel penyesuaian ketidakseimbangan menurut Domowitz dan Elbadawi yang didasarkan pada fungsi biaya kuadrat tunggal yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Ct= b1(Ekst – Ekst *) + b2{( Ekst – Ekst -1) – ft (Zt – Zt -1)}2 .... (2)

Persamaan (2)adalah fungsi biaya kuadrat, Eksport adalah nilai ekspor pada

periode t, sedangkan Zt merupakan vector variabel yang mempengaruhi

Ekspor dan dianggap dipengaruhi secara linear oleh Harga minyak kelapa sawit international, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, Term of


(62)

vector baris yang memberikan bobot kepada Zt – Zt-1. Komponen pertama

fungsi biaya tunggal di atas merupakan biaya ketidakseimbangan dan komponen kedua merupakan komponen biaya penyesuaian. Sedangkan b

adalah operasi kelambanan waktu. Zt adalah faktor variabel yang

mempengaruhi Ekspor.

c. Meminimalisasi fungsi biaya pada persamaan (2) terhadap variabel M dan menyamakan dengan nol, maka akan menghasilkan persamaaan berikut:

b0 [Ekst-Eks*1] + b1[(Ekst – Ekst-1) - ƒt (Zt– Zt-1)] = 0

Atau dapat ditulis menjadi persamaan sebagai berikut:

(b0 + b1) Eks1 = b0Eks*1 + b1-Ekst-1 + b1ƒt (Zt– Zt-1) ...(3)

Vektor Z terdiri dari variabel X ( Harga, Kurs, TOT dan produksi ) sehingga persamaan (3) tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: Ekst = bEks*t + (1 –b) Ekst-1 + (1 –b) ƒt (Zt– Zt-1) ...(4)

dimana b = b0/(b0 + b1)

ƒt terdiri dari ƒ1 = ƒHarga, ƒ2 = Kurs, ƒ3 = TOT, ƒ4 = Produksi

d. Mensubtitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (5) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut

LnEksport = b(α0 + α1Hargat + α2Kurst + α3TOTt + α4Prodt) + (1-b) Mt-1 +

(1-b) ƒt (Zt– Zt-1) ...(5)

Persamaan (5) merupakan analisis jangka pendek determinan ekspor minyak kelapa sawit meskipun hasil jangka pendek mampu membeikan prediksi pada jangka panjang. Namun, permasalahan utama muncul ketika model persamaan yang digunakan tidak stasioner, karena ketika model tidak


(63)

stasioner maka tidak bisa diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least Square) serta akan menghasilkan regresi lancung. Sebagai solusi,

digunakan kemungkinan perubahan (Δ), sehingga:

ΔlnEksdt = β0 + 1 lnHargat + 2 lnkurst + 3 lnTOTt + 4 lnProdt + β5 Δ lnHargat-1 + β6 Δ lnkurst-1 + β7 Δ lnTOTt-1 + β8 Δ

lnProdt-1 + ECT+ µt...(6)

ECT = ΔlnHargat-1 + Δlnkurst-1 + ΔlnTOTt-1+ ΔlnProdt-1 - ΔlnEksdt-1...(7)

Keterangan :

ΔLnEkspordt = Nilai Ekpor Minyak Kelapa Sawit (Ton)

LnHargat = Harga Minyak Kelapa Sawit (US$)

LnKurst = Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar

LnTOTt = Term of Trade Indonesia (Juta Rupiah)

LnProduksit =Produksi kelapa sawit Indonesia (Ton)

ΔLnHargat-1 = Kelambanan Harga Minyak Kelapa Sawit (US$)

ΔLnKurst-1 = Kelambanan Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar

ΔLnTOTt-1 = Kelambanan Term of Trade Indonesia

ΔLnProduksit-1 =Kelambanan Produksi kelapa sawit Indonesia (Ton)

β0 = Intercept/ konstanta

µt = Residual

∆ = Perubahan

t = Periode waktu


(64)

F. Analisis Data dan Uji Hipotesis 1. Uji Stasioner

Masalah model regresi yang melibatkan data deret berkala kadang memberikan hasil-hasil yang semu, atau bernilai meragukan, permukaan hasilnya terlihat baik tapi setelah diteliti lebih lanjut terlihat mencurigakan. Masalah yang ditemukan dalam time series adalah masalah stasioner data. Masalah stasioner ini menjadi penting mengingat regresi yang dilakukan dalam kondisi yang tidak stasioer akan menghasilkan regresi lancung

(spurious regression)

Indikasi dari regresi lacung ini dapat dilihat dari R-squared yang tinggi dan t-statistik yang kelihatan signifikan namun tidak memiliki arti jika dikaitkan dengan teori ekonomi. Tujuan uji stasioner ini adalah agar mean-nya stabil dan rendom errormean-nya=0 (nol) sehingga model regresi yang diperoleh mempunyai kemampuan prediksi yang andal dan tidak spurious.

Jadi, jika kita menggunakan data deret berkala, kita harus memastikan bahwa deret berkala individualnya bersifat stasioner atau terintegrasi bersama. Dalam melakukan uji stasioner ada dua tahap analisis yaitu:

a. Pengujian Akar Unit (Unit Root Test)

Sebelum melakukan analisa regresi dengan menggunakan data time-series, perlu dilakukan uji stationary terhadap seluruh variabel untuk mengetahui apakah variabel-variabel tersebut stationary atau tidak. Suatu


(65)

series dikatakan stationary apabila rata-rata, varian dan autocovariance

nilainya konstan dari waktu ke waktu.

Dalam analisis time series, informasi apakah data bersifat

stasionary merupakan hal yang sangat penting. Variabel-variabel ekonomi

yang terus menerus meningkat sepanjang waktu adalah contoh dari variabel yang tidak stationary. Dalam metode OLS, mengikutsertakan variabel yang non stationer dalam persamaan mengakibatkan standard

error yang dihasilkan menjadi bias dan menghasilkan kesimpulan yang

tidak benar. Banyak ditemukan bahwa koefisien estimasi signifikan tetapi sesungguhnya tidak ada hubungan sama sekali.

Terdapat beberapa metode pengujian unit root, dua diantaranya yang saat ini secara luas dipergunakan adalah Augmented Dickey-Fuller (1981) dan Phillips–Perron (1988) unit root test. Prosedur pengujian

stationary data adalah sebagai berikut :

a) Melakukan uji terhadap level series. Jika hasil uji unit root menunjukkan terdapat unit root, berarti data tidak stationary.

b) Selanjutnya adalah melakukan uji unit root terhadap first difference dari series.

c) Jika hasilnya tidak ada unit root, berarti pada tingkat first difference, series sudah stationary atau semua series terintegrasi pada orde I.

d) Jika setelah di-first difference-kan series belum stationary maka perlu dilakukan second difference.


(1)

2.4 UJI ERROR CORRECTION MODEL (ECM)

Dependent Variable: LOGEKS Method: Least Squares Date: 08/29/16 Time: 13:15

Sample (adjusted): 2013M02 2015M12 Included observations: 35 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -12.30010 8.706693 -1.412718 0.1684

LOGEXRATE -0.245866 0.166457 -1.477060 0.1504 LOGPRICE -0.424721 0.049960 -8.501167 0.0000

LOGPROD 1.975066 0.613668 3.218461 0.0032

LOGTOT 0.603822 0.249709 2.418109 0.0221

ECT(-1) 0.633593 0.163465 3.876022 0.0006 R-squared 0.959629 Mean dependent var 14.46844 Adjusted R-squared 0.952668 S.D. dependent var 0.109052 S.E. of regression 0.023725 Akaike info criterion -4.489758 Sum squared resid 0.016324 Schwarz criterion -4.223127 Log likelihood 84.57077 Hannan-Quinn criter. -4.397717 F-statistic 137.8668 Durbin-Watson stat 1.727811 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

2.5 UJI ASUMSI KLASIK

2.5.1 UJI NORMALITAS

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

-0.06 -0.04 -0.02 0.00 0.02 0.04

Series: Residuals

Sample 2013M02 2015M12 Observations 35

Mean -8.71e-15

Median 0.001618

Maximum 0.047443

Minimum -0.056481

Std. Dev. 0.021911

Skewness -0.360963

Kurtosis 3.278112

Jarque-Bera 0.872848


(3)

2.5.2 UJI MULTIKOLINEARITAS

LOGEKS LOGEXRATE LOGPRICE LOGPROD LOGTOT

LOGEKS 1 0.819373 -0.947297 0.888336 -0.752062

LOGEXRATE 0.819373 1 -0.773393 0.954941 -0.718585

LOGPRICE -0.947297 -0.773393 1 -0.850326 0.771856

LOGPROD 0.888336 0.954941 -0.850326 1 -0.856121


(4)

2.5.3 UJI HETEROGEDASTISITAS

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 2.490538 Prob. F(15,19) 0.0313

Obs*R-squared 23.20045 Prob. Chi-Square(15) 0.0800 Scaled explained SS 18.14267 Prob. Chi-Square(15) 0.2552

Test Equation:

Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 08/29/16 Time: 13:51 Sample: 2013M02 2015M12 Included observations: 35

Collinear test regressors dropped from specification

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -21.28071 8.603841 -2.473396 0.0230

LOGEXRATE 3.327517 1.255570 2.650205 0.0158 LOGEXRATE^2 -0.127149 0.046250 -2.749175 0.0128 LOGEXRATE*LOGPRICE -0.164796 0.074124 -2.223255 0.0385 LOGEXRATE*LOGPROD -0.001941 0.002346 -0.827199 0.4184 LOGEXRATE*LOGTOT 0.034852 0.063740 0.546790 0.5909 LOGEXRATE*ECT(-1) 0.298306 0.257222 1.159723 0.2605 LOGPRICE 1.780700 0.938700 1.896985 0.0731 LOGPRICE^2 -0.033482 0.024502 -1.366490 0.1877 LOGPRICE*LOGTOT 0.043024 0.072268 0.595335 0.5586 LOGPRICE*ECT(-1) -0.150335 0.069925 -2.149930 0.0447 LOGPROD*ECT(-1) -0.908010 0.831730 -1.091713 0.2886 LOGTOT^2 -0.065132 0.105668 -0.616382 0.5450 LOGTOT*ECT(-1) 0.414421 0.360937 1.148182 0.2651 ECT(-1) 9.624468 11.53427 0.834424 0.4144 ECT(-1)^2 -0.446249 0.171718 -2.598724 0.0176 R-squared 0.662870 Mean dependent var 0.000466 Adjusted R-squared 0.396715 S.D. dependent var 0.000714 S.E. of regression 0.000555 Akaike info criterion -11.85276 Sum squared resid 5.85E-06 Schwarz criterion -11.14175 Log likelihood 223.4233 Hannan-Quinn criter. -11.60732 F-statistic 2.490538 Durbin-Watson stat 2.401998 Prob(F-statistic) 0.031329


(5)

2.5.4 UJI AUTOKORELASI

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.739669 Prob. F(2,27) 0.1947

Obs*R-squared 3.995391 Prob. Chi-Square(2) 0.1356

Test Equation:

Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 08/29/16 Time: 13:50 Sample: 2013M02 2015M12 Included observations: 35

Presample missing value lagged residuals set to zero.

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.793988 8.710976 -0.091148 0.9280

LOGEXRATE -0.007742 0.165267 -0.046848 0.9630 LOGPRICE -0.025016 0.050568 -0.494707 0.6248

LOGPROD 0.033452 0.612358 0.054628 0.9568

LOGTOT 0.116299 0.258914 0.449180 0.6569

ECT(-1) 0.240168 0.306315 0.784055 0.4398 RESID(-1) -0.121739 0.341487 -0.356497 0.7242 RESID(-2) -0.482068 0.277591 -1.736617 0.0939 R-squared 0.114154 Mean dependent var -8.71E-15 Adjusted R-squared -0.115510 S.D. dependent var 0.021911 S.E. of regression 0.023142 Akaike info criterion -4.496685 Sum squared resid 0.014460 Schwarz criterion -4.141177 Log likelihood 86.69199 Hannan-Quinn criter. -4.373964 F-statistic 0.497048 Durbin-Watson stat 1.812858 Prob(F-statistic) 0.828296


(6)

2.5.5 UJI LINEARITAS

Ramsey RESET Test

Equation: UNTITLED

Specification: LOGEKS C LOGEXRATE LOGPRICE LOGPROD LOGTOT ECT(-1)

Omitted Variables: Squares of fitted values

Value df Probability

t-statistic 2.083447 28 0.0465

F-statistic 4.340753 (1, 28) 0.0465 Likelihood ratio 5.044327 1 0.0247 F-test summary:

Sum of Sq. df

Mean Squares

Test SSR 0.002191 1 0.002191

Restricted SSR 0.016324 29 0.000563 Unrestricted SSR 0.014133 28 0.000505 Unrestricted SSR 0.014133 28 0.000505 LR test summary:

Value df

Restricted LogL 84.57077 29 Unrestricted LogL 87.09294 28

Unrestricted Test Equation: Dependent Variable: LOGEKS Method: Least Squares Date: 08/29/16 Time: 13:51 Sample: 2013M02 2015M12 Included observations: 35

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 657.5351 321.6092 2.044516 0.0504

LOGEXRATE 8.180238 4.047383 2.021118 0.0529 LOGPRICE 14.14410 6.992818 2.022661 0.0528 LOGPROD -65.63552 32.45653 -2.022259 0.0528 LOGTOT -20.20387 9.989954 -2.022419 0.0528 ECT(-1) -21.25946 10.50924 -2.022931 0.0527 FITTED^2 1.179185 0.565978 2.083446 0.0465 R-squared 0.965047 Mean dependent var 14.46844 Adjusted R-squared 0.957558 S.D. dependent var 0.109052 S.E. of regression 0.022466 Akaike info criterion -4.576739 Sum squared resid 0.014133 Schwarz criterion -4.265670 Log likelihood 87.09294 Hannan-Quinn criter. -4.469358 F-statistic 128.8475 Durbin-Watson stat 1.760726 Prob(F-statistic) 0.000000