Konsep Penguasaan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan di Indonesia

5

1. Konsep Penguasaan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan di Indonesia

Hak Menguasai Negara selanjutnya disebut HMN sebagaimana dimaksud Pasal 33 UUD 1945 kemudian diimplementasikan dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA. Berdasarkan amanat pasal tersebut, di mana politik agraria nasional berpusat pada kekuasaan yang teramat besar dari negara terhadap penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan segala sumber-sumber agraria. Rumusan yang sedemikian rupa memberikan petunjuk bahwa adanya suatu ketentuan tentang bagaimana berbuat atau bertindak handel, berpikir denhen dan berkehendak willen di atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Politik hukum agraria rezim Orde Baru justru mengembangkan proses marginalisasi posisi UUPA sebagai undang-undang induk Basic Law, dengan mengeluarkan undang-undang pokok lain yang bersifat sektoral, di antaranya UUKPP 1967. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah munculnya “sektoralisme” kekuasaan dan pengelolaan sumber kekayaan alam sebagai agen langsung dari pelaksanaan HMN. Konteks penguasaan dan pengelolaan sumber kekayaan alam yang diatur dalam Pasal 1 UUKPP 1967 menegaskan bahwa : “Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ada tiga unsur penting yang tertuang dalam Pasal 1 UUKPP 1967 yaitu : Pertama, segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang maha esa, adalah kekayaan nasional bangsa Indonesia. Kedua, dikuasai dan digunakan oleh negara. Ketiga, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga unsur tersebut menggambarkan bahwa semangat untuk melakukan eksploitasi terhadap bahan galian yang ada di Indonesia sangat besar, dan menggambarkan secara implisit bahwa dominasi negara terhadap bahan tambang tidak lagi sebatas “menguasai, melainkan termasuk memiliki kewenangan untuk “menggunakan” bahan tambang dengan dalih untuk kemakmuran rakyat. 6 Mengingat lokasi pertambangan terletak di daerah pedalaman yang nota benenya sudah pasti tidak ada tanda kepemilikan hak atas tanah, tetapi yang jelas lahan itu pasti ada yang memilikinya, yaitu komunitas masyarakat adat. Di sini timbul pertanyaan, siapa yang berhak atas ganti kerugian tersebut ? Pertanyaan ini timbul karena pemerintah kita selama ini menganut paham positifis. Apabila hal ini terjadi sudah pasti masyarakat lokal akan dirugikan dan mereka harus merelakan haknya dikuasai, dinikmati dan meninggalkan wilayah tersebut lebih lanjut lihat Pasal 26 UUKPP 1967. Pada sisi lainnya, Pasal 27 ayat 1-4 memuat mekanisme penentuan ganti rugi yang tidak memungkinkan adanya pilihan bagi pemilik tanah selain melepaskan hak mereka. Selain itu UUKPP 1967 ini juga secara tegas memberi ancaman pidana bagi pemilik tanah jika merintangi atau mengganggu usaha pertambangan meskipun hal itu dilakukan dalam upaya mempertahankan haknya. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 32 ayat 2 UUKPP.

2. Konsep Penguasaan dan Kepemilikan Tanah Ulayat Menurut Hukum Adat Minangkabau