Analisis Keragaman Genetik Regeneran Mutan Berdasarkan Penanda Molekular ISSR Analisis Similaritas Analisis Gerombol Analisis Komparasi antara Dua Penanda

23 matrik kesamaan antar galur mutan yang dihitung berdasarkan Dice algoritme yang terdapat dalam paket program NTSYSpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System versus 2.02 Rohlf 1998.

2. Analisis Keragaman Genetik Regeneran Mutan Berdasarkan Penanda Molekular ISSR

Produk ISSR hasil pemotretan gel berupa pola pita DNA dengan ukuran tertentu. Ukuran DNA ditentukan dengan membandingkan marka dengan berat molekul 1 kb DNA ladder. Perbedaan antar individu tanaman ditunjukkan dengan adanya jumlah pita dan jarak migrasinya. Pita-pita DNA diubah menjadi data biner dengan melakukan skoring data. Pita diskor ”1” jika ada pita atau diskor ”0” jika tidak ada pita. Berdasarkan pada muncul tidaknya pola pita yang diperoleh pada tahap ini, kemudian dihitung matrik kesamaan antar galur mutan yang dihitung berdasarkan Dice algoritme yang terdapat dalam paket program NTSYSpc Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis System versus 2.02 Rohlf 1998.

3. Analisis Similaritas

Data biner hasil marka ISSR dan data morfologi dilakukan analisis dengan menggunakan UPGMA Unweighted pair group method with aritmathic means dengan fungsi SIMQUAL menjadi dendrogram NTSYSpc 2.02 for windows Rohlf 1998. Hasil analisis tersebut menggambarkan hubungan kekerabatan antara tanaman yang satu dengan yang lain berdasarkan jarak genetik.

4. Analisis Gerombol

Analisis gerombol clustering semua data baik morfologi, data ISSR dan data gabungan masing-masing dianalisis dengan menggunakan Sequential, Agglomerative, Hierarchical and Nested SAHN-UPGMA Unweighted pair group method, arithmetic average pada program NTSYSpc versi 2.02.

5. Analisis Komparasi antara Dua Penanda

Untuk mengetahui tingkat keselarasan koefisien kesamaan antara dua penanda morfologi dengan profil DNA dari analisis molekular kemudian dibandingkan dan dianalisis tingkat keselarasannya dengan menggunakan 24 MXCOMP NTSYS-pc versi 2.02. Tingkat keselarasan pengelompokan ditentukan berdasarkan kriteria goodness of fit, yakni tingkat kesamaan nilai matriks similarity coefficient dengan interpretasi kesesuaian matriks korelasi dua data adalah sangat sesuai r ≥ 0.9, sesuai 0.8 ≤ r ≤ 0.9, tidak sesuai 0.7 ≤ r ≤ 0.8, dan sangat tidak sesuai r 0.7. 6. Analisis Perbandingan Nilai Rata-rata antara Populasi Mutan M-15 dengan Populasi Kontrol M-00 Sebelum dan Sesudah dilakukan Seleksi dengan Uji t Seleksi pertama dilakukan terhadap tunas yang memiliki karakter kedudukan daun tegak dan seleksi kedua dilakukan pada dua karakter yaitu karakter kedudukan daun tegak dan karakter diameter tajuk. Analisis statistik berdasarkan pada nilai rata-rata, standar deviasi, dan ragam dari masing-masing populasi pada karakter jumlah daun, tinggi tunas, dan diameter tajuk pada tanaman in vitro. Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis perbandingan nilai rata-rata antar populasi dengan uji t. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program MINITAB 14 Iriawan Septin 2006. 7. Analisis Perbandingan Nilai Varian antar Dua Populasi Mutan M-15 dengan Populasi Kontrol M-00 Sebelum dan Sesudah dilakukan Seleksi dengan Uji F Perhitungan varian dilakukan untuk melihat penyebaran suatu data. Uji rasio varian antar populasi digunakan untuk menguji kesesuaian varian populasi M-15 dengan populasi kontrol M-00 sebelum dan sesudah dilakukan seleksi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program MINITAB 14 Iriawan Septin 2006. 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan Kalus Kalus merupakan sekumpulan sel yang tidak terorganisir, hanya sel-sel parenkim yang berasal dari eksplan awal Gunawan 1987. Inisiasi kalus diawali dengan pengambilan eksplan nodul dari bagian dasar plantlet Gambar 4A. Kalus terbentuk akibat adanya pelukaan atau irisan pada permukaan eksplan. Potongan nodul ditanamn dalam media MS + 0.05 mg L -1 2,4-D + 1 mg L -1 BAP Gambar 4B dan berhasil membentuk kalus berwarna bening kekuning-kuningan serta memiliki tekstur remah Gambar 4C. Gambar 4. Tahapan perbanyakan bahan tanam dan inisiasi kalus. [A] Tanda panah menunjukkan eksplan yang digunakan untuk induksi kalus; [B] Inisiasi kalus dalam media MS + 0.05 mg L -1 2,4-D + 1 mg L -1 BAP; [C] Kalus yang akan diiradiasi sinar γ Zat pengatur tumbuh 2,4-D dikenal sebagai auksin sintetik yang digunakan untuk induksi kalus sebab memiliki kemampuan untuk untuk mendorong pembelahan sel dalam jaringan pada beberapa tanaman George Sherrington 1996, namun dalam pembentukan kalus nenas ini diperlukan adanya auksin 2,4-D dan sitokinin BAP. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Alagumanian et al. 2004 yang menyatakan bahwa penggunaan BAP dapat mendorong pertumbuhan kalus pada eksplan daun dan potongan batang Solanum trilobatum L. dan kalus yang dihasilkan berwarna hijau serta memiliki tekstur kompak. Auksin dan sitokinin berperan dalam induksi dan proliferasi kalus Aftab et al. 2008. A B C 26 Pengaruh Pemberian Mutagen Sinar Gamma terhadap Regenerasi Kalus Nenas in Vitro Kalus-kalus berumur 6 MST dalam media induksi kalus, selanjutnya diberi mutagen sinar gamma pada dosis 0 Gy, 15 Gy, 25 Gy dan 35 Gy, kemudian diregenerasikan dalam media induksi tunas. Media regenerasi tunas menggunakan media MS Lampiran 1 dengan zat pengatur tumbuh 0.5 mg L -1 NAA Naphthalene Acetic Acid dan 1.5 mg L -1 kinetin. Penggunaan kinetin dapat menginduksi tunas pada kalus nenas Akbar et al. 2003; Khar et al. 2005. Zat pengatur tumbuh memegang peranan dalam kultur in vitro tanaman monokotil dan penambahan sitokinin secara nyata dapat mempengaruhi regenerasi tanaman Bhaskaran Smith 1990. [A] [B] [C] [D] Gambar 5 Morfologi kalus 8 minggu setelah iradiasi sinar gamma γ dalam media induksi. [A] Kalus yang diradiasi sinar γ pada dosis 0 Gy ; [B] Kalus yang diradiasi sinar γ pada dosis 15 Gy; [C] Kalus yang diradiasi sinar γ pada dosis 25 Gy ; [D] Kalus yang diradiasi sinar γ pada dosis 35 Gy Pertumbuhan kalus pada 8 MST dalam media induksi tunas tidak menunjukkan gejala-gejala keracunan. Eksplan kalus mampu tumbuh menjadi 27 nodul terlebih dahulu, kemudian membentuk tunas dengan ukuran yang relatif kecil, kompak, dan padat Gambar 5. Berdasarkan hasil uji F Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan berbagai dosis iradiasi sinar gamma menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada parameter persentase kalus berwarna hijau, persentase kalus bertunas, dan jumlah tunas per kalus pada 8 MST. Keragaman yang terjadi pada generasi MV 1 akibat iradiasi sinar gamma dapat disebabkan oleh akumulasi pengaruh kerusakan fisiologis, mutasi gen, dan mutasi kromosom namun kerusakan fisiologis kontribusinya lebih besar daripada mutasi gen maupun kromosom pada MV 1 Nwachukwu et al. 2009. Tabel 2 Nilai F-hitung pada karakter fenotipik dalam media regenerasi pada 8 MST No. Karakter Dosis iradiasi Nilai rata-rata Ragam Uji F 1. Persentase kalus hijau 95.00 a 232.87 3.27 15 80.36 b 305.55 25 85.71 ab 453.26 35 79.35 b 491.51 2. Persentase kalus bertunas 0 55.36 a 988.47 11.98 15 58.93 a 1404.75 25 46.43 a 851.47 35 11.96 b 276.56 3. Jumlah tunas per kalus 0 6.65 a 5.61 8.80 15 5.42 a 2.08 25 3.31 b 2.72 35 3.47 b 7.12 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan α = 0.05, berbeda nyata; berbeda sangat nyata Pemberian mutagen sinar gamma dapat mempengaruhi terbentuknya tunas. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan pada perlakuan dosis iradiasi sinar gamma 15 Gy adalah 5.42 tunas yang tidak berbeda nyata dengan kontrol sebanyak 6.65 tunas Tabel 2. Dosis iradiasi sinar gamma yang lebih besar menyebabkan jumlah tunas yang terbentuk rendah sebab proses diferensiasi tunas terhambat akibat perlakuan dosis radiasi dan frekuensi terbentuknya tunas menurun sejalan dengan peningkatan dosis radiasi Zhen 1998 yang mengakibatkan terganggunya kondisi fisiologis jaringan kalus. Penyerapan sinar pengion dalam materi biologi 28 akan melibatkan proses fisika dan kimia yang dapat menghasilkan peroksida H 2 O 2 dan dapat menyebabkan kerusakan gen Ismachin 1988. Perlakuan pemberian mutagen sinar gamma berpengaruh nyata terhadap variabel persentase kalus membentuk tunas Gambar 6. Peningkatan dosis iradiasi sinar gamma menyebabkan penurunan persentase daya regenerasi kalus membentuk tunas. Variabel persentase kalus bertunas yang diamati berbeda nyata artinya perlakuan dosis iradiasi dapat berpengaruh terhadap regenerasi tunas dari kalus. Peningkatan perlakuan dosis iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan penurunan persentase daya regenerasi kalus membentuk tunas. Gambar 6 Rata-rata persentase kalus hijau, persentase kalus bertunas, dan jumlah tunas dalam media regenerasi akibat pemberian mutagen sinar gamma pada 8 MST Iradiasi sinar gamma pada dosis 15 Gy masih dapat merangsang pembentukan tunas, sedangkan dosis iradiasi yang lebih tinggi dapat menghambat munculnya tunas. Pemberian iradiasi pada dosis rendah memberi efek dapat mendorong pertumbuhan tanaman IAEA 1985. Tunas-tunas yang terbentuk dalam media regenerasi tunas selama 8 MST memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga perlu dilakukan subkultur kedalam media MS tanpa pemberian zat pengatur tumbuh untuk pembesaran dan pemanjangan tunas selama 8 minggu 29 Gambar 7. Eksplan yang telah beregenerasi dalam media MS yang mengandung sitokinin dapat dipindah ke media lain tanpa zat pengatur tumbuh MS0. Tabel 3 Nilai F- hitung pada karakter fenotipik dalam media pembesaran MS0 pada 8 MST No. Karakter Dosis iradiasi Nilai rata-rata Ragam Uji F 1. Jumlah tunas 5.08 a 12.46 7.38 15 2.80 b 2.59 25 0.89 c 0.58 35 2.65 b 7.13 2. Jumlah daun 10.71 a 72.93 10.01 15 6.72 ab 11.36 25 0.00 c 0.00 35 4.75 b 23.81 Keterangan : Angka-angka yang diberi huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan α = 0.05. Hasil uji F menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas yang tumbuh dalam media MS0. Pemberian dosis iradiasi 35 Gy tidak berbeda nyata dengan dosis 15 Gy terhadap variabel jumlah tunas dan jumlah daun Tabel 3, namun tunas yang dihasilkan pada 35 Gy berukuran sangat kecil, berdaun tipis, dan keriting. Pemberian dosis iradiasi 25 Gy diperoleh nilai rata-rata dan ragam yang terendah pada karakter jumlah tunas dan jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan 25 Gy menghambat pertumbuhan tunas dan daun dan tidak dapat meningkatkan keragaman. Hal ini kemungkinan telah terjadi kerusakan seluler pada jaringan meristem, sehingga pertumbuhan menjadi terhambat. Pemberian mutagen sinar gamma pada dosis 35 Gy, terlihat nilai ragam yang tinggi yaitu 7.13 pada karakter jumlah daun dan 23.81 pada karakter jumlah tunas Tabel 3. Hal ini menunjukkan bahwa dosis 35 Gy dapat meningkatkan keragaman pada karakter jumlah daun dan jumlah tunas, namun keragaman yang terjadi tidak dapat digunakan untuk seleksi karena karakter tunas dan daun yang dihasilkan abnormal yaitu bentuk daun yang sangat kecil, tipis, dan keriting. 30 Gejala abnormalitas yang terjadi akibat pemberian mutagen sinar gamma kemungkinan disebabkan oleh adanya radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa penting dalam proses metabolisme serta terbentuknya senyawa hidrogen peroksida yang bersifat toksik. Keadaan ini menyebabkan terjadinya kerusakan fisiologis dan menyebabkan proses pembelahan dan diferensiasi sel menjadi terhambat pada akhirnya memacu kerusakan jaringan Ismachin 1989. Kemampuan Regenerasi Tunas Mutan pada Tahap Multiplikasi dan Pembesaran secara In Vitro Regeneran yang tetap hidup pada tahap induksi dan pembesaran, selanjutnya dilakukan seleksi dan disubkultur kedalam media multiplikasi untuk melihat kemampuan bermultiplikasi dari masing-masing regeneran. Tahap multiplikasi merupakan tahap pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar yang tumbuh dari mata tunas adventif secara bersama-sama Wattimena et al. 1992. Gambar 7 Rata-rata jumlah tunas dan daun regeneran dalam media MS0 pada 8 MST 31 Iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya keragaman pertumbuhan tunas. Pengaruh yang signifikan berdasarkan analisis statistika diantara populasi tunas somaklon dalam media in vitro menunjukkan terjadinya keragaman. Nilai standar deviasi dari masing-masing somaklon menunjukkan besarnya tingkat keragaman dalam populasi somaklon tersebut. Menurut Miglani 2006, jika dua atau lebih genotipe ditumbuhkan pada kondisi lingkungan yang sama kondisi in vitro sehingga menghasilkan pertumbuhan yang berbeda, maka kedua individu tersebut mempunyai genotipe yang berbeda. Untuk mengetahui adanya variasi dari suatu populasi harus dilakukan pengukuran dan analisis mengikuti kaidah statistika. Populasi yang bervariasi mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dilihat dari nilai rata-rata, ragam, dan standar deviasi Baihaki 1999. Tabel 4. Jumlah tunas dan jumlah daun regeneran hasil iradiasi sinar gamma pada media multiplikasi pada 8 MST Karakter Populasi regeneran M-00 M-15 M-25 M-35 Jumlah tunas x 4.06 5.00 tn 4.69 tn 10.31 s 1.79 2.12 1.22 2.19 2 3.20 4.50 1.50 4.80 KK 44 42.40 26 21 Jumlah daun X 16.12 13.93 0.00 0.00 S 2.57 3.96 0.00 0.00 2 6.62 15.67 0.00 0.00 KK 15.9 28.42 Keterangan : Angka-angka nilai tengah x yang diberi tanda , berbeda nyata menurut uji Dunnet 5, s = standar deviasi; 2 = ragam; KK=koefisien keragaman; M-00, M-15, M-25 dan M-35 merupakan regeneran hasil perlakuan dosis sinar gamma berturut-turut 0, 15, 25 dan 35 Gy. Berdasarkan hasil uji Dunnett 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata jumlah tunas pada populasi regeneran kontrol M-00 menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang tidak berbeda nyata dengan regeneran asal perlakuan radiasi 15 Gy M-15 dan 25 Gy M-25, namun berbeda nyata dengan regeneran asal 35 Gy M-35. Rata-rata jumlah daun yang dihasilkan pada populasi kontrol M-00 lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya Tabel 4. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma pada kultur kalus in vitro 32 berpengaruh nyata terhadap karakter morfologi terutama jumlah tunas dan jumlah daun. Nilai ragam yang dihasilkan pada M-15 untuk karakter jumlah tunas dan jumlah daun lebih besar daripada populasi M-00 Tabel 4. Hal ini membuktikan bahwa pada dosis 15 Gy telah terjadi keragaman pada karakter jumlah tunas dan jumlah daun. Peningkatan keragaman populasi dasar dapat dilakukan dengan melalui induksi mutasi secara fisik dengan iradiasi sinar gamma Micke Donini 1993. Mutasi dapat dikatakan sebagai perubahan materi genetik pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen Sleper Poehlman 2006 sehingga dapat menyebabkan terjadinya keragaman genetik. Hal ini dapat terjadi karena sinar gamma dapat mentransfer energi ke dalam molekul-molekul dalam sel tanaman terutama DNA yang mengandung informasi genetik sehingga terjadi mutasi titik Lamseejan et al. 2000. Populasi regeneran M-25 dan M-35 Gy terlihat belum membentuk daun Tabel 4, hal ini kemungkinan telah terjadi kerusakan yang parah, sehingga kemampuan untuk tumbuh dan membentuk daun juga semakin rendah. Keragaman yang diakibatkan oleh iradiasi sinar gamma bersifat acak, sehingga dalam kelompok yang sama dapat terjadi keragaman individu. Pertumbuhan tunas regeneran M-15 dalam media multiplikasi memiliki rata-rata jumlah daun yang lebih rendah daripada kontrol pada 8 MST Tabel 4. Van Harten 1998, menyatakan bahwa spesies tanaman, tingkat ploidi, perbedaan tahap perkembangan, kondisi fisiologis tanaman juga dapat menyebabkan perbedaan respon terhadap radiasi. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh iradiasi terhadap beberapa karakter yang ditampilkan oleh masing-masing individu. Semakin tinggi dosis radiasi sinar gamma cenderung menyebabkan jumlah daun berkurang bahkan tidak terbentuk daun. Jika radiasi merusak materi genetik dan sel akan menyebabkan proses transkripsi tidak dapat berjalan normal sehingga molekul organik yang diperlukan untuk pembelahan sel tidak dapat disintesis, akhirnya pembelahan sel akan terhenti dan sel kehilangan viabilitasnya Neary et al. 1957 diacu Tangpong et al. 2009. Tunas-tunas dalam media multiplikasi selanjutnya disubkultur ke dalam media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh untuk pembesaran. Semakin 33 lama eksplan berada dalam media yang mengandung sitokinin, diduga kandungan sitokinin endogen eksplan akan semakin tinggi. Sitokinin yang tinggi akan menyebabkan tunas kerdil dan kumpulan tunas tidak normal, dan kelainan ini dapat di atasi dengan dengan penanaman tunas dalam media basal selama 1 bulan Yip et al. 1992 diacu dalam Laksamana et al. 1997, selain itu ketidaknormalan tunas tersebut akan hilang saat eksplan dipindah ke media MS tanpa zat pengatur tumbuh Nursandi 2005. K1 K2 M-151 M-152 M-153 M-154 M-155 M-156 M-157 M-251 M-252 M-253 M-351 M-352 M-353 M-354 Gambar 8 Karakter morfologi regeneran mutan in vitro dalam media pembesaran MS0 pada 8 MST. Keterangan : K1= klon PK hasil kultur in vitro organogenesis langsung asal eksplan tunas yang tumbuh dari stek daun; K2=tunas hasil perbanyakan in vitro melalui kultur kalus tanpa mutagen; M-151, M-152, M-153, M-154, M-155, M-156, M-157 = tunas mutan dengan dosis iradiasi sinar γ 15 Gy; M-251, M-252, M-253 = tunas mutan dengan dosis iradiasi sinar γ 25 Gy; M-351, M-352, M-353, M-354 = tunas mutan dengan dosis iradiasi sinar γ 35 Gy 34 Pertumbuhan regeneran mutan dalam MS0 pada 8 MST, menunjukkan adanya perbedaan morfologi masing-masing individu untuk karakter tinggi tunas tinggi, sedang, pendek, bentuk ujung daun runcing, membulat, roset, bentuk daun normal, roset, ketegapan tanaman terkulai, tegak, terbuka, dan warna daun hijau tua, hijau muda, albino, diameter tajuk lebar, agak lebar, dan sempit akibat terjadinya mutasi. Penggunaan mutagen fisik melalui iradiasi sinar gamma menyebabkan terjadinya perubahan didalam sel dan menyebabkan munculnya keragaman dari berbagai bentuk morfologi tunas dan daun nenas in vitro. Perubahan dapat terlihat dari kemampuan tumbuh, perubahan bentuk, persentase eksplan yang hidup pasca radiasi maupun munculnya fenotipe yang berbeda dari tanaman kontrol Harahap 2005. Secara visual keragaman pertumbuhan tanaman akibat iradiasi sinar gamma menjadi lebih besar dan ada beberapa yang abnormal seperti pada dosis 25 Gy dan 35 Gy Gambar 9. Karakter morfologi abnormalitas biasanya terlihat dari ukuran daun plantlet yang kecil, ruas tanaman yang pendek dengan daun panjang, ujung daun meruncing, plantlet dengan banyak cabang, bentuk daun yang menyimpang, daun berwarna kekuningan dan nekrosis Sharabash 1998. Terjadinya abnormalitas pada populasi yang diiradiasi menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pada tingkat genom, kromosom dan DNA atau gen yang sangat besar sehingga proses fisiologis yang dikendalikan secara genetik di dalam tanaman menjadi tidak normal dan menimbulkan variasi-variasi genetik baru Soeranto 2003. Jumlah daun dan tinggi tanaman pada nenas sangat berkaitan dengan vigoritas dan kemampuan plantlet dalam penyerapan hara, dan kemampuan hidup plantlet saat diaklimatisasi Rosmaina 2007. Pada perlakuan iradiasi 15 Gy, regeneran memiliki kedudukan daun lebih tegak dibandingkan dengan kontrol Gambar 8. Menurut van Harten 1998, perubahan gen atau kromosom dapat terjadi akibat mutagen fisik atau kimia. Perubahan morfologi daun akibat iradiasi sinar gamma kemungkinan disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada gen yang berperan dalam mengendalikan morfologi daun dan tanaman Ketmaro 2007 diacu dalam Tangpong et al. 2009. 35 Tabel 5 Keragaman 16 regeneran contoh pada nenas in vitro hasil perlakuan radiasi sinar gamma No. Regene ran Asal usul seleksi Ciri khusus mutan 1. K-1 Tunas kontrol hasil induksi tunas langsung secara in vitro Tunas tinggi, daun panjang, lebar, daun terkulai normal, diameter tajuk lebar 2. K-2 Tunas kontrol hasil induksi tunas melalui kalus secara in vitro Tunas tinggi, daun lebar, daun terkulai normal, diameter tajuk lebar 3. M-151 Regeneran no. 1 dari dosis 15 Gy Ujung daun meruncing,warna daun hijau tua, tegak, diameter tajuk sempit 4. M-152 Regeneran no. 2 dari dosis 15 Gy Ujung daun membulat, warna daun hijau muda, tegak, diameter tajuk agak lebar 5. M-153 Regeneran no. 3 dari dosis 15 Gy Ujung daun membulat, warna daun hijau muda, tegak, diameter tajuk sempit 6. M-154 Regeneran no. 4 dari dosis 15 Gy Ujung daun meruncing, warna daun hijau tua, pendek terkulai, diameter agak lebar 7. M-155 Regeneran no. 5 dari dosis 15 Gy Ujung daun membulat, warna daun hijau muda, roset, diameter tajuk agak lebar 8. M-156 Regeneran no. 6 dari dosis 15 Gy Ujung daun meruncing, daun lebar, warna daun hijau, tegak, diameter tajuk agak lebar 9. M-157 Regeneran no. 7 dari dosis 15 Gy Daun membulat, warna daun hijau, roset, diameter tajuk agak lebar 10. M-251 Regeneran no. 1 dari dosis 25 Gy Kalus berwarna putih kekuningan, tunas sangat kecil, diameter tajuk sempit 11. M-252 Regeneran no. 2 dari dosis 25 Gy Kalus berwarna putih kehijauan, tunas sangat kecil, diameter tajuk sempit 12. M-253 Regeneran no. 3 dari dosis 25 Gy Tunas pendek, roset, warna daun hijau muda, diameter tajuk sempit 13. M-351 Regeneran no. 1 dari dosis 35 Gy Tunas pendek, daun roset, daun banyak, daun agak keriting, hijau pucat, diameter tajuk agak lebar 14. M-352 Regeneran no. 2 dari dosis 35 Gy Tunas pendek, daun roset, daun banyak, daun keriting, hijau pucat, vitrifikasi, diameter tajuk agak lebar 15. M-353 Regeneran no. 3 dari dosis 35 Gy Tunas pendek, daun roset, daun banyak, daun keriting, hijau tua, diameter tajuk agak lebar 16. M-354 Regeneran no. 4 dari dosis 35 Gy Tunas pendek, roset, daun banyak, keriting, albino, diameter tajuk agak lebar Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanaman mengalami perubahan pada morfologi tunas dan daun Tabel 5. Pemberian mutagen sinar gamma dapat menyebabkan perubahan pada daun dan ukuran tanaman seperti daun variegata dan tanaman kerdil Pongchawee et al. 2007, selain itu keragaman morfologi dapat terjadi sebagai akibat pemberian dosis radiasi sinar gamma Lee et al. 2002. Perubahan juga terjadi pada karakter warna daun, bentuk daun, warna bunga, dan lebar kanopi pada tanaman Saintpaulia African violet yang diberi iradiasi sinar gamma Wongpiyasatid et al. 2007. Terjadinya perubahan morfologi daun kemungkinan disebabkan adanya perubahan pada gen yang mengendalikan morfologi daun dan tanaman Ichigawa 1970 diacu dalam Tangpong et al. 2009. 36 Klon PK asal stek crown 0 Gy 15 Gy 15 Gy 15 Gy 15 Gy 15 Gy 15 Gy 15 Gy 25 Gy 35 Gy 35 Gy Gambar 9 Keragaman bentuk daun regeneran hasil induksi mutasi dengan sinar gamma Tanaman hasil perlakuan iradiasi sinar gamma memperlihatkan karakter morfologi yang berbeda Tabel 5. Keragaman juga ditemukan pada warna daun diantaranya ditemukan hijau muda dan albino. Defisiensi klorofil sering terjadi akibat mutasi Karp 1993. Pengaruh yang ditampilkan bersifat individual, namun terdapat gambaran umum perubahan terhadap beberapa peubah hasil perlakuan radiasi sinar gamma. Walaupun radiasi sinar gamma banyak bersifat merusak namun hasil penelitian ini terdapat tanaman nenas yang mampu tumbuh dan memiliki karakter agronomi yang diharapkan, yaitu tanaman tinggi, tegak, dan jumlah daun relatif banyak. Regeneran M-35 memiliki jumlah daun yang sangat banyak, namun bentuk daun keriting, tipis, dan roset, kualitas tunas yang dihasilkan kurang baik Gambar 9. Keragaman yang diinduksi dari iradiasi sinar gamma dan kultur in vitro bersifat spontan dan random sehingga sifat yang dimunculkan dari suatu karakter tertentu terkadang tidak dikehendaki karena bersifat merugikan, seperti yang terjadi pada tanaman pisang yang diiradiasi sinar gamma dalam kultur in vitro menyebabkan terjadinya abnormalitas daun sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan sempurna. Mutasi dapat menyebabkan perubahan karakteristik 37 seperti ukuran, proses fisiologi, kandungan kimia atau produktivitias, yang sulit diidentifikasi. Pengaruhnya kadang-kadang pengukuran sulit dilakukan karena seringkali suatu populasi tanaman lebih baik daripada tanaman secara individual Sleper Poehlman 2006. Keragaman Mutan Terseleksi dalam MS0 dengan Menggunakan Penanda Morfologi Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi jumlah daun, bentuk tunas, tinggi tunas, kedudukan daun, dan warna daun yang diubah menjadi data biner dengan skoring data berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan pada setiap variabel. Bila ada nilai pada kriteria tersebut diskor “1” atau tidak ada nilai diskor “0” Lampiran 8. Koefisien Kemiripan 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 K1 K2 M-151 M-154 M-153 M-152 M-156 M-155 M-157 M-251 M-252 M-253 M-351 M-352 M-354 M-353 Gambar 10 Dendrogram kemiripan morfologi hasil analisis gerombol dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan karakter morfologi dari 16 regeneran nenas in vitro Hasil pengamatan terhadap karakter-karakter tersebut di atas menunjukkan adanya keragaman fenotipik, selanjutnya dilakukan analisis dengan NTSYS versi 2.02 terhadap 16 regeneran yang mewakili keragaman bentuk yang diperoleh Gambar 10. Matriks koefisien kemiripan morfologi antara 16 regeneran kontrol dan mutannya diturunkan dari matriks simqual menunjukkan rentang nilai 38 kemiripan berkisar antara 0.20-1.00 20-100 atau keragaman morfologi 0-80 Lampiran 5. Regeneran M-153 dengan M-151 memiliki keragaman sebesar 29, sedangkan M-153 dengan M-154, meskipun memiliki bentuk morfologi yang mirip namun telah terjadi keragaman sebesar 14. Regeneran M-155 dan M-157 yang sama-sama memiliki tunas pendek memiliki keragaman 0, Sedangkan regeneran M-351 dengan M-354 memiliki keragaman sebesar 43. Berdasarkan hasil pengujian terlihat bahwa telah terjadi keragaman pada karakter morfologi akibat mutasi. Terlihat adanya kandidat mutan yang memiliki struktur kedudukan daun tegak, jumlah daun banyak, dan diameter tajuk sempit. Hal ini menunjukkan bahwa pemuliaan mutasi dapat menciptakan keragaman genetik pada karakter kuantitatif Siddiqul et al. 2009. Penanda morfologi ini juga telah dilakukan dan secara nyata dapat membedakan aksesi pisang Uma et al. 2006. Penyebab munculnya keragaman pada kultur in vitro juga dapat disebabkan oleh adanya variasi somaklonal dan perubahan jumlah genom. Variasi somaklonal dapat terjadi dalam kultur in vitro, karena adanya transposable genetic elements yang menempel pada sekuen DNA yang menyebabkan perubahan fenotipik. Perubahan jumlah genom terjadi melalui mekanisme endoreduplikasi terjadi duplikasi jumlah kromosom pada tahap profase, endomitosis tidak terjadi pembelahan pada tahap anafase dan restitusi tidak terjadi pembagian pada metafase I atau II pada pembelahan meiosis. Keragaman Mutan Terseleksi dalam MS0 dengan berdasarkan Penanda Molekular ISSR Hasil amplifikasi DNA telah dilakukan terhadap 16 regeneran kontrol dan mutannya dengan menggunakan 19 primer, namun hanya 5 primer yang menghasilkan pita DNA polimorfisme Tabel 6. Primer terseleksi diantaranya primer PKBT 2, PKBT 4, PKBT 6, PKBT 7, dan PKBT 9. Jumlah pita yang dihasilkan sebanyak 21 pola pita dengan ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi berkisar 250 bp – 1000 bp dan menghasilkan pita yang polimorfik 76.2. Xia et al. 2007 menyatakan bahwa tingkat polimorfisme pita yang 39 dihasilkan dapat menunjukkan adanya keragaman keragaman genetik dalam suatu populasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh pita DNA terbagi dalam dua kelompok, yaitu pita yang menunjukkan polimorfik dan pita monomorfik Tabel 6. Secara umum, hasil amplifikasi dengan 5 primer ini sudah memperlihatkan polimorfisme DNA. Pola pita ISSR hasil amplifikasi lima primer ISSR terseleksi dengan menggunakan DNA regeneran kontrol dan mutan dapat dilihat pada Gambar 11. Tabel 6 Jumlah pita hasil amplifikasi lima primer pada analisis ISSR Primer Ukuran pita pb Jumlah pita monomorfik Jumlah pita polimorfik Jumlah pita PKBT 2 250 – 750 1 2 3 PKBT 4 250 – 1.000 1 2 3 PKBT 6 750 – 1.000 4 4 PKBT 7 250 – 1.000 1 5 6 PKBT 9 575 – 1.000 2 3 5 5 23.8 16 76.2 21 100 Jumlah pita yang dihasilkan bergantung pada berapa banyak potongan DNA yang dihasilkan dari PCR. Terjadinya polimorfisme DNA pita pada penelitian ini menunjukkan telah terjadi mutasi. Muhammad Othman 2005 menyatakan bahwa polimorfisme pita DNA berdasarkan muncul dan tidaknya pita dapat disebabkan terjadinya delesi atau insersi. Keragaman pola pita yang dihasilkan menunjukkan keragaman regeneran nenas in vitro kontrol dan mutannya pada tingkat DNA. Joshi dan Gopalakrishna 2007 menyatakan bahwa pita polimorfisme yang tinggi dihasilkan dengan primer ISSR sebagai akibat induksi mutasi. Polimorfisme yang tinggi menunjukkan bahwa mutan-mutan tersebut telah mengalami perubahan pada tingkat DNA, selanjutnya data yang diperoleh dari penanda morfologi dan molekular dapat menunjukkan hubungan perubahan genom Miri et al. 2009. Mohr Schoffer 1995 menyatakan bahwa radiasi pengion iradiasi gamma akan menghasilkan ion dan radikal dalam bentuk hidroksil OH - . Jika radikal hidroksil menempel pada rantai nukleotida dalam DNA, maka utas tunggal atau ganda DNA akan patah, sehingga akan mengalami perubahan gen. 40 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Gambar 11 Pola pita 16 regeneran kontrol dan mutan PKBT 2 PKBT 6 PKBT 7 [PKBT 9 1000 bp 250 bp PKBT 4 1000 bp 250 bp 250 bp 1000 bp 250 bp 1000 bp 1000 bp 250 bp 41 Keterangan : 1=K1, 2=K2, 3= M-151, 4=M-152, 5= M-153, 6= M-154, 7= M-155, 8= M-157, 9= M-251, 10= M-252, 11= M-253, 12= M-254 , 13= M-351, 14= M-352, 15= M-353, 16= M-354 Jumlah pita yang terbentuk dari ke 16 regeneran terlihat pola pita pembeda DNA ada yang sama dan ada juga yang tidak sama untuk masing-masing regeneran. Diduga susunan oligonukleotida sudah berubah pada untai DNA yang terjadi secara acak. Amplifikasi DNA dilakukan untuk melihat polimorfisme DNA 16 regeneran dan kontrol tunas nenas in vitro dengan menggunakan primer ISSR. Primer yang tidak menghasilkan pita DNA mengindikasikan bahwa primer- primer tersebut tidak mempunyai homologi dengan DNA cetakan sehingga tidak ditemukan adanya sekuen yang coco Tao et al. 1993 diacu dalam Bhagyawat Srivastana 2008. Kerusakan DNA akibat iradiasi sinar gamma dapat berupa transisi atau transversi antara purin dan pirimidin, tali utas tunggal ataupun ganda akan patah Van Harten 1988. Ada tidaknya pita DNA hasil amplifikasi pada setiap primer sangat dipengaruhi : a. Kemurnian dan konsentrasi DNA cetakan template. DNA cetakan mengandung senyawa-senyawa polisakarida dan senyawa fenolik serta konsentrasi DNA cetakan yang terlalu kecil seing menghasilkan pita DNA amplifikasi yang samar-samar atau tidak jelas. b. Sebaran situs penempelen primer pada DNA cetakan. c. Adanya kompetisi tempat penempelan primer pada DNA cetakan yang menyebabkan satu fragmen diamplifikasi dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit. Hasil analisis NTSYS untuk ke 16 genotipe tunas nenas yang diuji menunjukkan bahwa nilai koefisien kemiripan berkisar antara 0.72 – 0.96 atau keragaman genetik berkisar antara 4 - 28 Gambar 12. Regeneran K1 hasil induksi tunas langsung in vitro mempunyai kekerabatan dekat dengan K2 hasil induksi tunas melalui kalus dengan koefisien keragaman genetik sebesar 9. Pemberian mutagen sinar gamma menyebabkan perubahan pada tingkat DNA. Regeneran asal dosis iradiasi 15 Gy terlihat bahwa M-152 mengelompok dengan regeneran M-155 dan memiliki keragaman genetik sebesar 12, sedangkan M-151 dan M-352 memiliki keragaman genetik 9. Keragaman genetik antara M-156 dan M-353 sebesar 10. 42 Pola pita antar regeneran bersifat individual tanaman, meskipun berasal dari perlakuan dosis iradiasi sinar gamma yang sama, maka pola pita DNA yang dihasilkan belum tentu sama. Hal ini menunjukkan bukti adanya mutasi genetik pada regeneran nenas in vitro yang disebabkan oleh induksi mutasi dengan sinar gamma, sehingga menyebabkan variasi pola pita DNA berdasarkan marka ISSR. Koefisien kemiripan 0.72 0.78 0.84 0.90 0.96 K1 K2 M-151 M-352 M-152 M-155 M-354 M-153 M-154 M-251 M156 M-353 M-157 M-252 M-253 M-351 Gambar 12 Dendrogram kemiripan genotipik hasil analisis gerombol dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan pola pita ISSR dari 16 regeneran nenas in vitro dengan menggunakan 5 primer Regeneran M-151 dan M-152 memiliki keragaman genetik sebesar 24, M-151 yang memiliki kedudukan daun tegak seperti halnya M-154 memiliki keragaman genetik sebesar 33. Regeneran M-153 yang memiliki struktur mirip dengan M-151, ternyata memiliki keragaman genetik sebesar 36 Lampiran 6. Masing-masing regeneran yang berasal dari dosis yang sama, memiliki keragaman genetik yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya mutasi terjadi secara acak dan menyebabkan perubahan susunan beberapa basa DNA yang terjadi akibat mutasi pada sel somatik sehingga terjadi perubahan genotipenya. 43 Keragaman Mutan Terseleksi dalam MS0 berdasarkan Penanda Gabungan antara Penanda Morfologi dan Penanda Molekular ISSR Hasil analisis berdasarkan penanda morfologi dan ISSR menunjukkan terdapat perbedaan rentang nilai koefisien keragaman, dimana rentang nilai koefisien keragaman penanda ISSR penanda gabungan penanda morfologi. Berdasarkan matriks kesamaan pada penanda gabungan antara morfologi dan ISSR menunjukkan terdapat perbedaan rentang nilai keragaman berkisar 12 - 44 Gambar 13. Tabel 7 Nilai koefisien keragaman tertinggi dan terendah pada penanda morfologi, ISSR dan data gabungan Koefisien keragaman Data morfologi Data ISSR Data gabungan Nilai tertinggi 100 42 62 Regeneran K1-M-351; K2-M- 251,M-253,M-253, M- 351, M-354; M-151- M-352; M-152-M- 252,M-253; M-153- M-352,M-354; M- 154-M-352,M-354 M-151 – M-353 M-152 – M- 252 Nilai teredah 14 4 12 Regeneran M-151-M-154; M- 152- M-156; M-153-M- 154 M-252 – M-253 M-155 – M- 157 Koefisien kemiripan 0.56 0.64 0.72 0.80 0.88 K1 K2 M-151 M-153 M-154 M-152 M-155 M-157 M-156 M-353 M-251 M-252 M-253 M-351 M-352 M-354 Gambar 13 Dendrogram kemiripan gabungan hasil analisis gerombol dengan metode pengelompokan UPGMA berdasarkan penanda morfologi dan pola pita ISSR dari 16 regeneran nenas in vitro dengan menggunakan 5 primer 44 Analisis Komparasi antara Penanda Morfologi dan ISSR Berdasarkan hasil analisis komparasi antara matrik kemiripan penanda morfologi dan ISSR menunjukkan nilai korelasi r = 0.76. Nilai korelasi ini berdasarkan kriteria goodness of fit, yaitu tingkat keselarasan nilai matriks pada dua data, diinterpretasikan tidak sesuai 0.7 ≤ r ≤ 0.8. Berdasarkan uji Z mantel α 0.05 didapatkan korelasi yang sangat tidak nyata, karena pada tingkat korelasi tersebut didapatkan p = 1, dimana nilai p 0.05 menunjukkan nilai korelasi yang diperoleh tidak nyata. Hal ini menggambarkan bahwa bahwa pengelompokkan berdasarkan karakter morfologi tidak sejalan dengan pengelompokan secara genetik berdasarkan penanda molekular ISSR. Perubahan yang terjadi pada tingkat DNA tidak seluruhnya diekspresikan dalam bentuk perubahan morfologi, karena suatu gen dapat diekspresikan melalui proses transkripsi dan translasi. Transkripsi merupakan transfer informasi genetik dari DNA ke RNA, sedangkan translasi penerjemahan informasi genetiknyang terdapat RNA ke dalam polipeptida protein, namun adanya perubahan pada tingkat morfologi merupakan cerminan adanya perubahan pada tingkat DNA atau enzim protein. Seleksi, Analisis Perbandingan Nilai Rata-rata dengan Uji-t dan Analisis Perbandingan Nilai Varian Populasi Kontrol dan Mutan dengan uji F Upaya untuk memperoleh genotipe-genotipe dengan karakter-karakter yang unggul dapat dilakukan melalui rangkaian seleksi dan pengujian dalam program pemuliaan. Dalam program seleksi untuk memperoleh peluang mendapatkan genotipe yang unggul, kriteria seleksi yang sesuai merupakan hal yang penting dalam keberhasilan pemanfaatan keragaman genetik yang ada dalam program. Penilaian keberartian seleksi ditentukan tidak saja oleh luasnya variabilitas genetik, namun juga oleh nilai rata-rata penampilan karakternya yang tinggi Masnenah et al. 1997. Keragaman genetik suatu karakter yang luas biasanya diartikan bahwa seleksi terhadap karakter tersebut berlangsung efektif sehingga dipandang mampu meningkatkan potensi karakter tersebut pada generasi selanjutnya, namun tidak cukup berarti bila rata-rata penampilan karakternya rendah. 45 Setelah diperoleh keragaman genetik pada karakter morfologi kedudukan daun tegak dan diameter tajuk akibat mutagen sinar gamma, selanjutnya dilakukan seleksi dari populasi dasar sebelum seleksi. Seleksi dilakukan untuk memperoleh karakter yang diinginkan Sutjahjo et al. 2005 yaitu karakter dengan kedudukan daun tegak dan diameter tajuk sempit namun jumlah daun banyak dan tunas tinggi. Tabel 8, menunjukkan bahwa nilai rata-rata untuk karakter jumlah daun dan tinggi tunas pada populasi mutan M-15 sebelum dilakukan seleksi tidak berbeda nyata dengan populasi kontrol M-00, tetapi karakter diameter tajuk sebelum seleksi terlihat berbeda nyata dengan kontrol, namun nilai ragam pada ketiga karakter tersebut masih tinggi. Hal ini kemungkinan masih adanya efek fisiologis sehingga perlu dilakukan seleksi lanjutan dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman mutan yang secara genetik telah mengalami perubahan pada karakter struktur kedudukan daun tegak dan diameter tajuk sempit. Tabel 8 Pengamatan karakter kuantitatif regeneran mutan hasil iradiasi sinar gamma pada umur 16 MST sebelum dan sesudah seleksi S1 satu karakter=kedudukan daun tegak dan S2 dua karakter : kedudukan daun tegak dan diameter tajuk 0.9 cm Karakter Sebelum Seleksi Uji t varians Seleksi S1 Uji t varians Seleksi S2 Uji t varians M-00 M-15 M-15 M-15 JD x 30.69 25.66 tn 23.17 28.71 tn s 7.58 8.16 7.13 6.26 2 57.46 66.59 tn 50.84 tn 39.19 tn TT x 2.64 1.88 tn 2.37 tn 2.70 tn s 0.82 0.73 0.63 0.42 2 0.67 3.53 tn 0.40 tn 0.18 DT x 2.71 0.91 0.68 0.76 s 0.85 0.46 0.25 0.16 2 0.72 0.21 0.06 0.03 Keterangan : Angka-angka nilai rata-rata x ;s = standar deviasi; M-00, M-15merupakan regeneran hasil perlakuan dosis sinar gamma berturut-turut 0 Gy dan 15 Gy. JD=jumlah daun; TT=tinggi tunas; DT=diameter tajuk; tn = tidak nyata; = nyata. Seleksi pertama S1 dilakukan terhadap satu karakter yaitu karakter morfologi struktur kedudukan daun tegak, sehingga diperoleh 24 regeneran mutan dari populasi M-15 yang memiliki nilai rata-rata untuk karakter tinggi tunas tidak berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan karakter jumlah daun dan diameter tajuk 46 memiliki nilai tengah yang berbeda nyata dengan populasi kontrol. Pada seleksi S1 terjadi penurunan nilai tengah dan ragam pada karakter diameter tajuk namun penurunan juga terjadi pada nilai tengah jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa seleksi S1 ini belum efektif untuk mendapatkan regeneran mutan dengan struktur kedudukan daun tegak dan diameter tajuk sempit, dengan karakter tinggi tunas dan jumlah daun yang tidak berbeda nyata dengan kontrol normal. Seleksi kedua dilakukan terhadap dua karakter sekaligus yaitu karakter kedudukan daun tegak dan diameter tajuk sempit. Seleksi dilakukan terhadap 24 regeneran terpilih dari seleksi pertama. Pemilihan genotipe berdasarkan pada diameter tajuk yang tidak lebih dari 0.9 cm Tabel 8 menunjukkan terjadi peningkatan nilai rata-rata untuk karakter jumlah daun, tinggi tunas, dan diameter tajuk, namun pada nilai ragam ketiga karakter mengalami penurunan. Seleksi yang sudah dilakukan berhasil mendapatkan tanaman mutan yang memiliki karakter struktur kedudukan daun tegak, diameter tajuk sempit tetapi jumlah daun dan tinggi tanaman tidak berbeda nyata dengan tanaman kontrol normal. Berdasarkan hasil seleksi pada dua karakter sekaligus maka diperoleh 7 mutan yang memiliki nilai rata-rata jumlah daun 28.71 helai, nilai rata-rata tinggi tunas 2.70 cm, dan nilai rata-rata diameter tajuk 0.76 cm. 47 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pemberian mutagen sinar gamma 15 Gy pada kultur kalus in vitro nenas klon PK IPB dapat meningkatkan keragaman pada karakter struktur kedudukan daun, bentuk daun, warna daun, jumlah daun, tinggi tunas, dan diameter tajuk tanaman in vitro. Perubahan juga telah terjadi pada tingkat DNA dengan pola pita ISSR. Pengelompokan 16 regeneran kontrol dan mutan berdasarkan penanda morfologi dan ISSR menggunakan analisis kemiripan dan analisis gerombol diperoleh hasil pengelompokan yang berbeda. Regeneran mutan M-151 dan M-154 berdasarkan penanda morfologi memiliki keragaman genetik 43 dan 29 dengan regeneran kontrol K2. Berdasarkan marka molekular ISSR, M-151 dan M-154 memiliki keragaman genetik 14 dan 29 dengan K2. Analisis data gabungan diperoleh informasi bahwa regeneran M-151 keragaman genetik 26, dan M-154 memiliki keragaman genetik 29 dengan K2. Seleksi yang dilakukan hanya pada karakter kedudukan daun tegak diperoleh genotipe mutan sebanyak 24, sedangkan seleksi yang dilakukan pada dua karakter sekaligus kedudukan daun tegak dan diameter tajuk 0.9 cm, maka diperoleh genotipe mutan sebanyak tujuh regeneran yang potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman nenas yang memiliki karakter dengan struktur kedudukan daun tegak, diameter tajuk sempit sedangkan karakter tinggi tunas dan jumlah daun tidak berbeda nyata dengan tanaman kontrol normal. Mutan-mutan ini berasal dari populasi dengan pemberian mutagen sinar gamma dosis 15 Gy. Saran Perlu dilakukan pengujian lanjutan pada tahap aklimatisasi dan di lapangan dengan melakukan pengamatan terhadap berbagai karakter vegetatif dan generatif agar diperoleh data yang akurat bahwa regeneran tersebut adalah mutan nenas klon PK harapan IPB yang memiliki morfologi kedudukan daun tegak, diameter tajuk sempit, dan kualitas buah yang tetap baik seperti tanaman aslinya. 48 DAFTAR PUSTAKA Aftab F, Akram S, Iqbal J. 2008. Estimation of fixed oils from various explants and in vitro callus cultures of jojoba Simmondsia chinensis. Pak.J.Bot. 40:1467-1471. Akbar MA, Karmakar BK, SK Royl. 2003. Callus induction and high-frequency plant regeneration of pineapple Ananas comosus L. Merr.. Plant. Tiss. Cult . 13 : 109-116. Alagumanian S, Perumal VS, Balachandar R, Rameshkannan K, Rao MV. 2004. Plant regeneration from leaf and stem explants of Solanum trilobatum L. Curr.Sci . 86: 1478-1480. Ali A, Naz S, Alam SS, Iqbal J. 2007. In vitro induced mutation for screening of red rot Colletotrichum falcatum resistance in sugarcane Saccharum officinarum . Pak. J. Bot. 39 : 1979-1994. Apriyani SI. 2005. Analisis Keragaman Nenas Koleksi PKBT Berdasarkan Penanda Morfologi dan Penanda RAPD. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Asiedu R., Ter Kuile N, Mujeeb AK. 1989. Diagnostic Marker in Wheat Wide Crosses. In : A Muzeeb-Kaze and LA Stich Editor. Review of Advance in Plant Biotechnology, 1985-1988. 2 nd International Sympsosium on Genetic Manipulation in Crops. CYMMIT. Mexico. p.293-299. Baihaki A. 1999. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. [Diktat Kuliah dan Praktikum]. Kerjasama antara Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian Departemen Pertanian dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Barboza , SBSC, Caldas LS, Souza ELAC. . 2004. Micropropagation of Pineapple hybrid PExSC-52 and cultivar Smooth Cayenne. Plant Physiol. 39. Bartholomew DP, Paull RE, Rohbarch KG. 2003. The Pineapple : Botany, Production and Uses. CABI Press, New York. USA. Bhagyawant SS, Srivastava N. 2008. Genetic fingerprinting of chickpea Cicer arietinum L. germplasm using ISSR markers and their relationships. African J. Biotech . 7: 4428-4431. Bhaskaran S, Smith RH. 1990. Regeneration in cereal tissue culture- a review. Crop Sci . 30: 1328-1336. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2008. Produksi buah-buahan di Indonesia. Jakarta. 49 Brar DS. 2002. Moleculer marker assisted breeding. In: Moleculer Techniques in Crop Improvement edited by S.M. Jain, D.S. Brar and B.S. Ahloowalia. Kluwer Academic Publishers. London. Broertjes C, van Harten AM. 1988. Applied Mutation Breeding for Vegetatively Propagated Crops. Development in Crop Science 12. Elsevier. London. p. 286-287. Cabral JRS, Coppens d’Eeckenbrugge, Matos AP de. 2000. Introduction of selfing in pineapple breeding. [Abstrak]. In : III International Pineapple Symposium ISHS Acta Hort 666. Cassels AC, Doyle BM. 2003. Genetic Engineering and Mutation Breeding for Tolerance to Abiotic and Biotic Stresses:Science, Technology and Safety. Bulg. J. Plant Physiol ., Special Issues. p. 52-82. Chordokar KR, Clark GM. 1986. Physiological and morphologocal responses of Pinus strobus L. and Pinus sylvestris L. seedling subjected to level continous gamma irradiation at radiactive waste disposal area Env. Exp. Bot 26:259-270. Collins JL. 1968. Pineapple. Botany, Cultivatin and Utilization. Leobard Hill. London. 294p. Coppens d’Eeckenbrudgge G, leal F, Duval MF, Malezieux E. 2001. Pineapple. Di dalam: Rasdan MK, editor. Tropical Plant Breeding. Sciencia Publisher, Inc. CIRAD. USA. P. 402-424. Crowder LV. 1993. Genetika Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Kusdiarti L. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta. 201 hal. Datta SK, Misra P, Mandal AKA. 2005. In vitro Mutagenesis – A Quick Method for Establishment of Solid Mutant in Chrysanthemum. Curr. Sci. 88: 153- 158. De Wet LAR, Baker NP, Peter CI. 2008. The long and the short of gene flow and reproductive isolation: Inter-Simple Sequence Repeat ISSR markers support the recognition of two floral forms in Pelargonium reniforme Geraniaceae. Bio Syst Eco. 36 : 684–690. Didin. 2009. Identifikasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketidakseragamaan Ukuran Buah Nenas Ananas comosus L. Merr di Kebun Nenas PT Great Giant Pineapple Terbanggi Besar Lampung Tengah.[Laporan Magang]. Dongre AB, Bahndarkar M, Banerjee S. 2007. Genetic diversity in tetraploid and diploid cotton Gossypium spp. using ISSR and microsatellite DNA markers. Indian J. Biotech. 6 : 349-353. 50 Donini. 1982. Mutagenesis applied to improve fruit trees: techniques, methods and evaluation or radiastion induced mutation. In : Induced Mutation in Vegetatively Propagated Plants II, IAEA, Vienna. Donini B, Mannino P, Ancora G. 1990. Mutation Breeding Programme for the Genetic Improvement of Vegetatively Propagated Plant in Italy. In: Plant Mutation Breeding for Crop Improvement Proceeding of an International Symposium organized by IAEA – FAO Vienna, 18-22 Juny 1990. Falconer DS. 1970. Introduction to Quantitative Genetic. Edenburg: Oliver and Boys. FAOSTAT. 2007. Database. Food and Agriculture Organization of The United Nation. http:faostat.fao.orgsite340DesktopDefaulth.aspx?PageID=340 . Fu XP, Ning GG, Gao L, Bao MZ. 2008. Genetic diversity of Dianthus accessions as assessed using two molecular marker systems SRAPs and ISSRs and morphological traits. Sci Hort. 117 : 263–270. Fuentes JL, Santiago L, Valdes Y, Guerra M. 2004. Mutation induction in zygotic embryos of avocado Persea americana Mill. Biotec. Aplic. 21:82-84. Gandonou CH, Abrini J, Idaomar M, Senhaji NS. 2005. Response of sugarcane Saccharum sp. varieties to embryogenic callus induction and in vitro salt stress. African J. Biotech. 4: 350-354. George EF, Sherrington PD. 1996. Plant Propagation by Tissue Culture : the Technology. 2. Ed. Exegetic Limited. London. Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas PAU Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Hale LP, Groer PK, Trinh CT, Gottfried MR. 2005. Treatment with Oral Bromelian Decreases Colonic Inflamnation in the IL-10 Deficient munne model of imflammatory bowe disease. Clinical Immunology 116 : 135-142. Hamad AM, Taha RM. 2008. Effect of Benzylaminopurine BAP on in vitro proliferation and growth of pineapple Ananas comosus L. Merr. cv. Smooth Cayenne. J. Applied Sci. 1-4p. Harahap F. 2005. Induksi Mutasi pada Kultur in vitro Tanaman Manggis Garcinia mangostana L. dengan Radiasi Sinar Gamma. Prosiding APISORA 2005. Badan Tenaga Nuklir Nasional. Jakarta. Hartana A. 1992. Genetika Tumbuhan. Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 51 Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Applications. Cambridge University Press. UK. Hartmann HD, Kester DE, Davies FT, Geneve RL. 1997. Plant Propagation Principle and Practice. 6 th edition. Prentice-Hall International, Inc. London. IAEA. 1985. Mutation Breeding for Disease Resistance Using in-vitro Culture Techniques. IAEA. Vienna. Iriawan N, Septin SP. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit Andi. Yogyakarta. 469p. Ismachin M. 1988. Pemuliaan Tanaman dengan Mutasi Buatan. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi. BATAN. Jakarta. Jianbin HU, Xiaoxi Gao, Jun LIU, Conghua XIE, Jianwu LI. 2008. Plant regeneration callus of Amorphophallus albus and analysis of somaclonal variation of regenerated plants by RAPD and ISSR markers. Botanical Studies 49: 189-197. Karp A, Kresovich S, Bhat KV, Ayad WG, Hodkin T. 1993. Molecular tool in plant genetic resources conservation : a guide to the technologyes. IPGRI Technical Bulletin No. 2. Italy. Khar A, Bhutani RD, Yadav N, Chowdhury VK. 2005. Effect of explant and genotipe on callus culture and regeneration in onion Allium cepa L.. Akdeniz Univ Ziraat Fak Dergisi . 18: 397-404. Kuan CS, Yu CW, Lin ML, Hsu HT. 2005. Foliar Application of Aviglycine Reduces Natural Flowering in Pineapple. Hort. Sci. 40: 123-126. Lakshamanan P, Lee CL, Goh CJ. 1997. An efficient in vitro method for mass propagation of a woody ornamental Ixora coccinea L. Plant Cell Reports 16:572-577. Lamseejan S, Jompuk P, Wongpiyasatid A, Deeseepan S, Kwanthamachart P. 2000. Gamma-rays induced morfological changes in Chrysanthemum Chrysanthemum morifolium. Kasetsart J. Nat Sci 34: 417-544. Lapade AG, Veluz AMS, Marbella LJ, Barrida AC, Rama MG. 2002. Status of Mutation Breeding in Vegetatively Propagated Crops in the Philippines. 8p. In FNCA Workshop on Mutation Breeding, Beijing, 20-23 Agt. 2002. Lee Y II, Lee IS, Lim YP. 2002. Variation in sweetpotato regenerates from gamma ray irradiated embryogenic callus. J. Plant Biotech 4: 163-170. 52 Leal F, Coppens G. 1996. Pineapple. In J. Janick and J.N. Moore eds. Fruit Breeding Volume I. Tree and Tropical Fruit. John Wiley, and Son Inc. New York. p:515 – 557. Ling APK, Jing APKL, Chia JY, Hussein S, Harun AR. 2008. Physiological Responses of Citrus sinensis to Gamma Irradiation. J. World Applied Sci. 5: 12-19. Litz RE, Gray DJ. 1992. Organogenesis and Somatic Embryogenesis. In. Improving Vegetatively Propagated Crops eds. A.J. Abbot and R.K. Atkin. Academic Press. London. Maluszynski M, Ahloowalia BS, Sigurbjornsson B. 1995. Application of In Vivo and In Vitro Mutation Techniques for Crop Improvement. Euphytica 85: 303-315. Masami W. 2002. Molecular mechanism of cell death by radiation. Nippon acta radiological 62:540-544. Masnenah E, Murdaningsih HK, Setiamihardja R, Astika W, Baihaki A. 1997. Parameter genetik karakter ketahanan terhadap penyakit karat kedelai dan beberapa karakter lainnya. Zuriat 8: 57-63. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor. IPB Press. 276 hal. McCaskill AR, Giovannoni JJ. 2002. Use of Moleculer Markers for Fruit Crop Improvement. In: Moleculer Techniques in Crop Improvement eds. S.M. Jain, D.S. Brar and B.S. Ahloowalia. Kluwer Academic Publishers. London. Medina JD, Garcia HS. 2005. Pineapples. http:wwwfao.orgesESCen2095321038index.html : Micke A, Donini B. 1993. Induced Mutation. In: Plant Breeding Principles and Prospects Eds. M.D. Hayward, N.O. Bosemark and I. Romagosa. Chapmann and Hall. London. Miglani GS. 2006. Mendelian Gentics. Di dalam : Dashek WV and Harrison M, editor. Plant Cell Biol Sci. Publisher USA. Miri SM, Mousavi A, Naghavi MR, Mirzali M, Talaei AR, Khiabani BN. 2009. Analysis of induced mutants of salinity resistan banana Musa acuminata cv. Dwarf Cavendish using morphological and molecular markers. Iranian J.Biotech 72: 86-92. Mohr H, Schopfer. 1995. Plant Physiology. Springer-Verlag. Berlin. 53 Muhammad AJ, Othman RY. 2005. Characterization of Fusarium wilt-resistant and Fusarium wilt-susceptible somaclones of banana cultivar Rastali Musa AAB by random amplified polymorphic DNA and retrotransposon markers. Plant Mol Bio. Rep. 23: 241-249. Nagatomi S. 1996. Application of Irradiation in In Vitro Techniques on Induced Mutation in Horticultural Crops. Pros. Sem. on Mutation Breeding. In Horticultural Crops for Regional Nuclear Cooperation in Asia. 3-10 November 1996. Thailand. 14p. Nakasone HY, Paull RE. 1999. Tropical Fruits. CAB International. p. 292-327. Nasution MA. 2008. Analisis parameter genetik dan pengembangan kriteria seleksi bagi pemuliaan nenas Ananas comosus L. Merr. di Indonesia. [Disertasi]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nomomura T, Ikegami Y, Morikawa Y, Matsuda Y, Toyoda H. 2001. Induction of morphologically changed petals from mutagen-treated apical buds of rose and plant regeneration from varied petal-derived calli. Plant Biotech. 183: 233-236. Nursandi F. 2006. Studi perbanyakan in vitro tanaman nenas Ananas comosus L. Merr. dan analisis kestabilan genetik berdasarkan karakter morfologi, isozim dan RAPD [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nwachukwu EC, Mbanaso ENA, Nwosu KI. 2009. The development of new genotype of white yam by mutation induction using yam mini-tubers. Induced Plant Mutations in the Genomics Era. FAO. Rome. p. 309-312. Pongchawee K, Pradisa R, Pisatcharoenchai W. 2007. Induced mutation in Anubias spp. Through in vitro irradiation. Thai Fishers Gazette 60 : 493-497. Patade VY, Suprasanna P, Bapat VA. 2008. Gamma Irradiation of Embryogenic Callus Cultures and In vitro Selection for Salt Tolerance in Sugarcane Saccharum officinarum L.. Agric. Sci. in China 7: 1147-1152. Petty GJ, Stirling GR, Bartholomew PD. 2002. Pest of Pineapple, In Tropical Fruit Pest and Pollinators. J.E. Pena, J.L. Sharp aand M. Wysoki Eds. CABI Publishing. 157-195. Pharmawati M, Yana G, McFarlane IJ.Application of RAPD and ISSR markers to analyse molecular relationships in Grevillea Proteaceae. Australian Systematic Botany 17 : 49–61. 54 Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant Regeneration by organogensis from callus and cell suspension culture. In: Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Fundamental Methods. Springer. London. Ploetz RC, Zentmyer GA, Nishijima WT, Rohrbach KG, Ohr HD. 1996. Compendium of Tropical Fruit Diseases. APS Press. P. 45-68. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas dan Lembaga Sumberdaya Informasi. Bogor. IPB. Predieri S, Magli M, Zimmerman RH. 1997. Pear mutagenesis : In vitro treatments with gamma rays and field selection for vegetative form traits. Euphytica 93:227-237. Qosim W, Purwanto R, Mattimena GA, Witjaksono. 2007. Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap kapasitas regenerasi kalus nodular tanaman manggis. Hayati J. Bio. 14 : 140-144. Raina SN, Rani V, Kojima. T, Ogihara Y, Singh KP, Devarumath RM.2001. RAPD and ISSR Fingerprints as useful genetic markers for analysis of genetic diversity, varietal identification, and phylogenetic realtionships in peanut Arachis hypogaea cultivars and wild species. Genom 44: 763-772. Rohlf FJ. 1998. Ntsys-pc: Numerical Taxonomic and Multivariate Analysis System. Version 2.0. User Guide, Exeter Software. Exeter Publishing Co.Ltd. Rosmaina 2007. Optimasi BATDZ dan NAA untuk Perbanyakan Masal Nenas Ananas comosus L.Merr. Kultivar Smooth Cayenne Melalui Teknik In Vitro . Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Samad MA, Begum S, Majid MA. 1998. Somaclonal variation and irradiation in sugarcane calli for selection against red rot, water-logged conditions and delayed or non-flowering characters. In In vitro techniques for selection of radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions. IAEA. Shanghai, China. SAS Institute. 2002. The SAS Release 6.12. Guide’s for user. Lousiana. USA. Selvaraj NS, Natarajan B, Ramaraj. 2001. Studies on Induced Mutations in Garlic. Mutation Breeding Newsl . 40-41. Sharabash MT. 1998. Radiation induced variation in potato for toleranace to salinity using tissue culture technique. In In vitro techniques for selection of radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions. IAEA. Shanghai, China. 55 Sheidai M, Aminpoor H, Noormohammadi Z, Farahani F. 2008. RAPD Analysis of Somaclonal Variation in Banana Musa acuminate L. cultivar Valery. Acta Biologica Szegediensis . 52: 307-311. http:www.sci.u-szeged.huABS Siddiqul MA, Khan IA, Khatri A. 2009. Induced quantitative variability by gamma rays and ethylmethane sulphonate alone and in combination in rapeseed Brassica napus L.. Pak. J. Bot. 41: 1189-1995. Sleper DA, Poehlman JM. 2006. Breeding Field Crops. Fifth edition. Blackwell Publishing. 433p. Soedibyo MT. 1992. Pengaruh umur petik buah nenas subang terhadap mutu. J Hort . 2:36-42. Soedjono S. 2003. Aplikasi mutasi induksi dan variasi somaklonal dalam pemuliaan tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 22: 70-78. Soeranto H. 2003. Peran iptek nuklir dalam pemuliaan tanaman untuk mendukung industri pertanian. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional BATAN. Jakarta. Soniya EV, Banerjee NS, Das MR. 2001. Genetic Analysis of Somaclonal Variation among Callus-Derived Plants of Tomato. Cur Sci 80:1213-1215. Sugiyama M. 1999. Organogenesis In Vitro. Opinion in Plant Biol. 2: 61-64. Sutjahjo HS, Sujiprihati S, Syukur M. 2005. Pengantar Pemuliaan Tanaman. [Diktat Kuliah]. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tangpong P, Taychasinpitak T, Jompuk C, Jompuk P. 2009. Effect of acute and chronic irradiation in vitro culture of Anubias congensis N.E. Brown. Kasetsart J. Nat.Sci.. 43:449-457. Terzopoulos PJ, Bebeli PJ. 2008. Genetic diversity analysis of Mediterranean faba bean Vicia faba L. with ISSR markers. Field Crops Research 108 : 39–44. Uma S, Siva SA, Saraswati MS, Manickavasagam M, Durai P, Selvarajan R, Sathiamoorthy S. 2006. Variation and intraspesicfic relationships in Indian wild Musa balbisiana BB population as evidenced by random amplified polymorphic DNA. Genet Resour Crop Evol. 53: 349-355. Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Applications. Cambridge: Cambridge University. 353p. Van Tran A. 2006. Chemical analysis and pulping study of pineapple crown leaves. Industrial Crops and Products 24: 66–74. 56 Vesco , LLD, Pinto ADA, Zaffari GR, Nodari RO, Reis MSD, Guerra MP. 2001. Improving Pineapple Micropropagation Protocol Through Explant Size and Medium Composition Manipulation. Fruits 56 : 143-154. Vos P, Hogers R, Bleeker M, Reijans M, Van de Lee T, Hornes M, Frijters A. In Pot J, Peleman J, Kuiper M, Zabeau M. 1995. AFLP: a New Technique for DNA Finger Printing. Nucleic Acids Researc. 23 21 : 4407 - 4404. Wattimena GA, Mattjik NA. 1992. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. Dalam Tim Laboratorium Kultur Jaringan ed.. Bioteknologi Tanaman, PAU. Bioteknologi. IPB. Bogor. Wattimena GA, Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin E, Wiendy NMA, Ernawati A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Insitut Pertanian Bogor. Wee YC, Thongtham MLC. 1997. Ananas comosus L. Merr. Dalam Buah- buahan yang dapat dimakan. ed. M.W. Verheij and R.E. Coronel. Prosea. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Ravalski JA, Tingey SV. 1990. DNA Polymorphisms Amplified by Arbitrary Primer are Useful as Genetic Markers. Nucleic Acid Researc. 1822 : 6531-6535. Wongpiyasatid A, Thinnok T, taychasinpitak T, Jompuk P, Chusreeaeom, Lamseejan S. 2007. Effect of acute gamma irradiation on adventitious plantlet regeneration and mutation from leaf cuttings of african violet Saintpaulia ionantha. Kasetsart J. Nat.Sci.. 414:633-640. Xia T, Chen S, Chen S, Zhang D, Zhang D, Gao Q, Ge X. 2007. ISSR analysis of genetic diversity of the Qinghai-Tibet Plateau endemic Rhodiola chrysanthemifolia Crassulaceae. Biochem. Systematics and Ecology 35 : 209-214. Ye YM., Zhang JW, Ning GG, Bao MZ. 2008. A comparative analysis of the genetic diversity between inbred lines of Zinnia elegans using morphological traits and RAPD and ISSR markers. Sci. Hort. 118 : 1–7. Yee E., Kidwell KK, Sills GR, Lumpkin TA. 1999. Diversity Among Selected Vigna angularis Azuki Accessions on the Basis of RAPD and AFLP Marker. Crop Sci. 39: 268-275. Yeoman MM. 1986. Plant Cell Culture Technology. Botanical Monographs. Vol. 23. Blackwell Scientific Publication. London. Zhen HR. 1998. In vitro technique for selection of radiation induced mutants of garlic. In In vitro techniques for selection of radiation induced mutations adapted to adverse environmental conditions. IAEA. Shanghai, China. 57 Zietkiewicz E, Rafalski A, Labuda D. 1994. Genome Finger Printing by Simple Sequence Repeats SSR-anchored Polymerase Chain Reaction Amplification. Genomics 20 : 176 – 183. 58 Lampiran 6 Matriks koefisien kemiripan morfologi KM antar 16 regeneran nenas in vitro K1 K2 M-151 M-152 M-153 M-154 M-155 M-156 M-157 M-251 M-252 K1 1.00 K2 0.71 1.00 M-151 0.57 0.57 1.00 M-152 0.43 0.43 0.57 1.00 M-153 0.29 0.57 0.71 0.57 1.00 M-154 0.43 0.71 0.86 0.43 0.86 1.00 M-155 0.29 0.29 0.43 0.71 0.29 0.29 1.00 M-156 0.29 0.57 0.43 0.86 0.71 0.57 0.57 1.00 M-157 0.29 0.29 0.43 0.71 0.29 0.29 1.00 0.57 1.00 M-251 0.31 0.00 0.31 0.15 0.15 0.15 0.31 0.00 0.31 1.00 M-252 0.14 0.14 0.14 0.00 0.29 0.29 0.14 0.14 0.14 0.77 1.00 M-253 0.14 0.00 0.14 0.00 0.14 0.14 0.29 0.00 0.29 0.62 0.71 M-351 0.00 0.00 0.14 0.29 0.29 0.14 0.29 0.29 0.29 0.15 0.14 M-352 0.14 0.14 0.00 0.14 0.00 0.00 0.43 0.14 0.43 0.31 0.29 M-353 0.14 0.29 0.29 0.57 0.29 0.29 0.57 0.57 0.57 0.31 0.29 M-354 0.00 0.00 0.00 0.29 0.00 0.00 0.43 0.29 0.43 0.46 0.43 59 Lampiran 7 Matriks koefisien kemiripan genetik KG penanda ISSR antar antar 16 regeneran nenas in vitro K1 K2 M-151 M-152 M-153 M-154 M-155 M-156 M-157 M-251 M-252 M K1 1.00 K2 0.91 1.00 M-151 0.86 0.86 1.00 M-152 0.82 0.73 0.76 1.00 M-153 0.77 0.69 0.64 0.69 1.00 M-154 0.64 0.71 0.67 0.64 0.75 1.00 M-155 0.80 0.80 0.75 0.88 0.69 0.77 1.00 M156 0.77 0.77 0.64 0.69 0.80 0.81 0.76 1.00 M-157 0.77 0.77 0.72 0.77 0.80 0.75 0.83 0.87 1.00 M-251 0.74 0.74 0.77 0.81 0.71 0.85 0.87 0.77 0.90 1.00 M-252 0.61 0.70 0.64 0.61 0.67 0.76 0.69 0.81 0.89 0.79 1.00 M-253 0.67 0.67 0.61 0.67 0.71 0.73 0.74 0.86 0.93 0.83 0.96 M-351 0.70 0.70 0.73 0.70 0.74 0.69 0.69 0.74 0.89 0.79 0.92 M-352 0.78 0.78 0.91 0.70 0.74 0.76 0.69 0.67 0.81 0.86 0.75 M-353 0.64 0.64 0.58 0.64 0.76 0.77 0.71 0.90 0.90 0.80 0.85 M-354 0.75 0.83 0.70 0.75 0.64 0.80 0.81 0.86 0.79 0.76 0.80 60 Lampiran 8 Matriks koefisien kemiripan data gabungan penanda morfologi dan penanda ISSR antar antar 16 regeneran nenas in vitro K1 K2 M-151 M-152 M-153 M-154 M-155 M-156 M-157 M-251 M-252 M-25 K1 1.00 K2 0.83 1.00 M-151 0.74 0.74 1.00 M-152 0.67 0.61 0.69 1.00 M-153 0.60 0.65 0.67 0.65 1.00 M-154 0.57 0.71 0.73 0.57 0.78 1.00 M-155 0.62 0.62 0.63 0.82 0.56 0.62 1.00 M-156 0.60 0.70 0.56 0.75 0.77 0.74 0.70 1.00 M-157 0.60 0.60 0.62 0.75 0.64 0.61 0.88 0.77 1.00 M-251 0.60 0.50 0.62 0.60 0.55 0.65 0.70 0.55 0.73 1.00 M-252 0.43 0.49 0.44 0.38 0.54 0.60 0.50 0.59 0.63 0.78 1.00 M-253 0.47 0.42 0.43 0.42 0.52 0.55 0.59 0.57 0.71 0.76 0.87 1.00 M-351 0.43 0.43 0.50 0.54 0.59 0.51 0.55 0.59 0.68 0.59 0.63 0.72 M-352 0.54 0.54 0.56 0.49 0.49 0.51 0.60 0.49 0.68 0.68 0.58 0.67 M-353 0.46 0.51 0.47 0.62 0.60 0.62 0.67 0.79 0.79 0.65 0.65 0.73 M-354 0.47 0.53 0.43 0.58 0.43 0.55 0.68 0.67 0.67 0.67 0.67 0.65 61 Lampiran 9 Data biner gabungan morfologi dan pita DNA dari 5 primer ISSR pada 16 regeneran kontrol dan mutan Karakter Subkarakter Regeneran K1 K2 M-151 M-152 M-153 M-154 M-155 M156 M-157 M-251 M- Jumlah daun 1. sedikit 0-8 daun 1 1 2. sedang 9 - 18 daun 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 3. banyak 18 daun 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Ketinggian tunas 1. pendek 0-1.3 cm 1 1 1 2. sedang 1.4-2.0 cm 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 3. tinggi 2 cm 1 1 1 1 Bentuk tunas 1. tunggal 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 2. roset 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Warna daun 1. hijau tua 1 1 1 1 1 1 1 2. hijau muda 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 3. albino 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 Bentuk daun 1. meruncing 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 2. bulat 0 1 0 0 1 1 0 1 0 0 3. keriting 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Kedudukan daun 1. terkulai 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2. terbuka 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 3. tegak 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 Diameter tajuk 1. lebar 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2. agak lebar 0 0 0 1 0 0 1 1 1 0 3. sempit 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 lanjutan Molekular Primer Regeneran K1 K2 M-151 M-152 M-153 M-154 M-155 M156 M-157 M-251 ISSR PKBT2 1 1 PKBT2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 PKBT2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 ISSR PKBT4 0 1 1 1 PKBT4 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 PKBT4 1 1 1 1 1 1 1 1 ISSR PKBT6 1 1 1 1 1 1 1 1 PKBT6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 PKBT6 1 1 1 1 1 1 PKBT6 1 1 1 ISSR PKBT7 0 1 1 1 PKBT7 0 1 1 1 1 PKBT7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 PKBT7 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 PKBT7 1 1 1 1 1 1 62 PKBT7 1 1 1 ISSR PKBT9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 PKBT9 1 1 1 1 1 PKBT9 1 1 1 1 1 1 1 PKBT9 1 1 1 1 1 PKBT9 1 1 1