Tanah latosol TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah latosol

Tanah latosol merupakan tanah yang umum terdapat di daerah tropika basah dengan curah hujan 2000‒7000 mmtahun dengan bulan kering kurang dari tiga bulan atau tanpa bulan kering Cahyono 1985. Penyebaran latosol di Indonesia meliputi Sumatera bagian timur, Sumatera Barat, Lampung, Jawa, Bali, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Utara Dudal 1959 dalam Cahyono 1985. Luas latosol di pulau Jawa mencapai 2,291 juta ha 21,77 dan di seluruh Indonesia mencapai 17,170 juta ha 9 Satari dan Overdal 1968 dalam Cahyono 1985. Tanah latosol terbentuk dari proses latosolisasi yakni proses penghancuran di bawah curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropis dan semi tropis sehingga mengintensifkan kegiatan kimia terutama bahan organik. Tanah latosol memiliki ciri berwarna merah atau kuning terutama pada horizon B, bila lapisan atas tererosi akan berwarna coklat atau kelabu Supardi 1983. Latosol mempunyai sifat fisik yang baik antara lain konsistensi gembur, kemantapan agregat baik dan mempunyai struktur mikro yang baik, hal ini berpengaruh terhadap drainase dan aerasi tanah. Tanah ini memiliki solum dalam, porus gembur sehingga baik untuk perkembangan akar tanaman. Latosol tergolong miskin akan basa-basa dapat dipertukarkan dan hara lain yang disebabkan oleh kadar bahan organik yang kurang dan sifat liat-hidro- oksida. Latosol memiliki respon yang kurang baik terhadap pemupukan dan pengapuran Supardi 1983. Kesuburan tanah latosol umumnya sangat rendah sampai sedang, memiliki kandungan mineral primer kecuali kuarsa dan unsur hara yang rendah, memiliki fiksasi ion fosfat yang tinggi serta bereaksi sedang hingga sangat masam Cahyono 1985. 2.2 Fungi mikoriza arbuskula FMA Fungi mikoriza arbuskula FMA merupakan satu kelompok fungi tanah biotrof obligat yang tidak dapat melestarikan pertumbuhan dan reproduksinya bila terpisah dari tanaman inang Simanungkalit 2006. FMA dapat berasosiasi dengan sebagian besar tumbuhan seperti angiospermae, beberapa gimnospermae, pteridofita dan briofita. Sampai saat ini FMA diketahui memiliki 15 genus yakni Ambispora, Archaeospora, Intraspora, Geosiphon, Acaulospora, Kuklospora, Acaulospora, Diversispora, Otospora, Entrophospora, Gigaspora, Scutellospora, Pacispora, Glomus dan Paraglomus Blaszkowski 2003. Asosiasi FMA terdiri dari hifa eksternal, spora, vesikel dan arbuskula Brundrett et al. 1994. Hifa eksternal berfungsi untuk pengambilan nutrisi, propagasi dan pembentukan spora. Spora berfungsi sebagai propagul. Vesikel berfungsi sebagai penyimpan makanan Brundrett et al. 1994. Genus Gigaspora dan Scutellospora tidak memiliki vesikel. Struktur arbuskula memiliki peranan sebagai tempat pertukaran nutrisi antara tanaman dan fungi Brundrett et al. 1994. Peranan FMA untuk tanaman dan tanah menurut Simanungkalit 2006 adalah untuk meningkatan pertumbuhan, serapan hara dan hasil tanaman. Perbaikan serapan hara karena simbiosis FMA tidak hanya pada fosfat, tetapi juga unsur lain seperti Cu dan Zn. FMA juga berfungsi sebagai pengendali hayati dan pembenah tanah. Adanya glomalin menyebabkan partikel-partikel tanah melekat satu sama lain. Glomalin merupakan glikoprotein yang mengikat partikel-partikel tanah, dikeluarkan oleh FMA melalui hifa Simanungkalit 2006. 2.3 Arang tempurung kelapa Arang merupakan produk kaya karbon yang dihasilkan dari pembakaran bahan organik seperti kayu, rumput, pupuk dan limbah pertanian pada kondisi yang rendah oksigen Lehmann 2007. Arang tempurung kelapa memiliki kandungan utama selulosa dan lignin yang diduga sama dengan kayu, kayu umumnya sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik dalam bentuk wood vinegar Hidayati 2008. Arang tempurung kelapa memiliki kemampuan melepaskan unsur hara P dan K yang lebih baik jika dibandingkan dengan arang yang terbuat dari kayu, sekam padi dan serbuk gergaji Soemeinaboedhy 2007. Hal itu disebabkan oleh kandungan P dan K total arang tempurung kelapa lebih tinggi dibandingkan dengan arang lainnya.

2.4 Pengaruh arang terhadap FMA dan tanah