The Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Indigenous Papua and Plantling Media to The Growth of Agarwood (Gyrinops versteegii (gilg) Domke) Plantling from In-vitro Multiplication.

(1)

i

PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)

DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN PLANTLING GAHARU (Gyrinops versteegii (Gilg.) Domke) HASIL MULTIPLIKASI IN-VITRO

KUSRINER F. MBAUBEDARI

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-vitro adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Kusriner Fernando Mbaubedari NRP. E051060201


(3)

iii

ABSTRACT

KUSRINER F. MBAUBEDARI. The Effect of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) Indigenous Papua and Plantling Media to The Growth of Agarwood (Gyrinops versteegii (gilg) Domke) Plantling from In-vitro Multiplication. Under academic supervision of IRDIKA MANSUR and SUPRIYANTO

These research works were begun with field observation in Asai Natural Forest in July 2010, and experiments were conducted at Silviculture Laboratory, SEAMEO BIOTROP, Bogor, from November 2010 to June 2011. Acclimatization method was designed using completely randomized factorial design with four level planting media and three level AMF factors, and using three replicates. The objectives were to identify the species of AMF associated with Gyrinops versteegii collected from Asai Natural Forest, West Papua, to observe the compatibility of indigenous AMF Papua to G. versteegii plantling from in-vitro multiplication, on some media combination. The results showed that there were 7 species of AMF found from 5 sampling plots from Asai Natural Forest which are associated with G. versteghii; there were Glomus mossae, G. fasciculatum, G. aggregatum, Glomus sp.1, Glomus sp.2, Glomus sp.3, and Acaulospora longula. Application of AMF significantly affected to some growth parameters such as the survival percentage of plantling, height and diameter of stem, fresh weight of top and root, roots geometry, vigor, and plantling quality index as well as the presence of stomata. AMF consortium inoculums from Asai Natural Forest gave a better response to the growth of Gyrinops plantlings compared to Gigaspora margarita.


(4)

iv

RINGKASAN

KUSRINER F. MBAUBEDARI. Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Indigenous Papua dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-vitro.

Untuk mendapatkan pohon penghasil gubal gaharu yang baik, harus menggunakan bibit dari pohon gaharu potensial, yaitu bibit unggul dari pohon inang yang telah terbukti menghasilkan gubal gaharu di alam. Namun demikian produktifitas benih yang rendah menyebabkan kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam, padahal untuk tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan tersedia tepat waktu. Di sisi lain, selama ini bibit yang digunakan berasal dari biji atau semai hutan alam dimana jumlah bibit terbatas, kualitas bibit rendah dan peluang memperoleh gubal gaharu setelah penanaman relatif kecil karena bibit yang digunakan belum tentu berasal dari induk yang berpontesi menghasilkan gubal gaharu.

Kendala lain yang umumnya dihadapi adalah tidak semua pohon gaharu menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih serta biji gaharu bersifat rekalsitran, selain itu adanya penebangan pohon induk dewasa di alam oleh pencari gaharu menyebabkan hilangnya sumber benih. Rendahnya daya berbunga dan produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu pembiakan secara vegetatif menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan induk yang banyak, maka kultur in vitro gaharu menjadi alternatif teknologi perbanyakan gaharu unggul secara masal dan cepat.

Selain dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai, teknik ini berpotensi mempertahankan sifat genetis dari pohon induk penghasil gaharu. Namun demikian, ditemukan kendala dalam kultur jaringan gaharu yaitu memerlukan waktu yang lama untuk menginduksi akar plantlet baik secara in vitro maupun ex vitro di green house, sementara akar yang terbentuk umumnya relatif kecil, jumlahnya sedikit serta sulit berkembang. Problem lain adalah tahapan aklimatisasi plantling gaharu hasil in vitro ke media aklimatisasi merupakan tahapan kritis yang masih menjadi masalah karena plantling telah terbiasa tumbuh pada kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi sementara apabila diadaptasikan secara ex vitro dengan temperatur tinggi plantling akan mengalami dehidrasi, layu dan mati dikarenakan mekanisme buka tutup stomata yang rendah dan stomata tidak berfungsi optimal. Lingkungan tumbuh in vitro bersifat steril mengakibatkan imunitas plantling rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan


(5)

v

penyakit busuk akar oleh jamur pembusuk akar (lodoh). Akibatnya tingkat kematian plantling gaharu sangat tinggi, yaitu 75 % dari plantlet yang diadaptasikan ke media pertumbuhan plantling di green house. Kondisi ini menyebabkan kegagalan produksi bibit gaharu potensial asal kultur in vitro. Penyebab lainnya yaitu lapisan kutikula plantling tipis dan terbiasa menerima cahaya konstan, sedangkan pada ex vitro plantling mendapatkan cahaya tidak konstan dan intensitas cahaya tinggi. Faktor lainnya ialah dalam media in vitro nutrisi tersedia optimal sehingga plantlet bersifat heterotrop, sedangkan diluar media kultur plantling dituntut bersifat autotrop. Selain itu, plantling asal in vitro memiliki lignifikasi batang rendah sehingga cenderung bersifat vitrious (sukulen).

Aplikasi FMA pada plantling gaharu akan memacu ramifikasi akar dan batang plantling karena mikoriza memproduksi auksin IAA untuk menstimulir akar plantling serta menghasilkan enzim phospatase untuk pembentukan lignin. Hal tersebut dapat tercermin dari geometri akar yang terbentuk, dengan demikian diharapkan plantling menjadi lebih tahan dan vigor bibit meningkat, sedangkanbio-charcoal akan berperan dalam menyerap zat-zat toksis, pembenah media dalam menejemen unsur hara tanah dan memberikan efek gelap di sekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak rusak oleh cahaya dan IAA akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif plantling. Sementara itu dengan adanya lignit maka asam humat akan berperan menyediakan nutrisi hara secara autotropik bagi

plantling di media pertumbuhan.

Sejauh ini pemanfaatan FMA, kompos, bio-charcoal, dan lignit untuk perbaikan dan peningkatkan pertumbuhan bibit gaharu G. versteegii hasil multiplikasi in vitro yang mampu beradaptasi di greenhouse dan di lapangan belum dilakukan. Kerjasama sinergis beberapa perlakuan diharapkan dapat membuat terobosan baru dalam penyediaan bibit gaharu yang berkualitas (genetik, fisik dan fisiologis). Tuiuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang bersimbiosis dengan G. versteegii asal Papua dan uji kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling Gyrinops versteegii hasil multiplikasi in-vitro pada berbagai kombinasi media. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah data dan informasi keragaman FMA indigenous yang bersimbiosis dengan pohon G versteegii dan mendapatkan kombinasi FMA indigenous dengan kompos, bio-charcoal dan lignit yang efektif untuk produksi bibit gaharu bermutu serta peningkatan kualitas pertumbuhannya.


(6)

vi

Hasil isolasi dari trapping menunjukkan bahwa jumlah spora FMA alami bervariasi dari 2 hingga 5 spora /10 gram sampel tanah. Ditemukan 7 spesies FMA dari 5 plot pengambilan sampel di hutan alam Asai yang bersimbiosis dengan G. Versteegii, yaitu Glomus mossae, Glomus fasciculatum, Glomus aggregatum, Glomus sp1, Glomus sp2, Glomus sp3. dan Acaulospora longula. Tingkat kolonisasi FMA alam pada akar semai G. Versteegii sebesar 30 % hingga 80 % atau tingkat kolonisasi rendah hingga tinggi. Struktur kolonisasi FMA yang ditemui berupa hifa internal, vesikula, dan spora dalam akar. Inokulum FMA konsorsium asal Hutan Alam Asai memberikan respon positif terhadap parameter pertumbuhan plantling Gyrinops lebih baik dari pada FMA Gigasspora margarita. FMA berpengaruh nyata pada semua parameter diamati yaitu kolonisasi, persentase hidup, tinggi, diameter, jumlah akar primer dan sekunder, panjang akar primer dan sekunder, berat basah pucuk, berat basah akar, dan kekokohan bibit. Media berpengaruh nyata terhadap kolonisasi, tinggi, diameter, jumlah akar primer, panjang akar primer dan kekokohan bibit. Interaksi antara media dan FMA tidak berpengaruh terhadap semua parameter yang diamati. Namun demikian FMA konsorsium memberikan kontribusi relatif lebih baik dibanding FMA G. margarita maupun tanpa pemberian FMA (kontrol). Besarnya kontribusi FMA konsorsium memberikan pengaruh nyata terhadap berbagai parameter yang diamati diduga disebabkan karena secara alami FMA konsorsium telah membangun simbiosis dengan tanaman inang G. versteegii. Dalam penelitian ini keeratan hubungan antara FMA konsorsium dengan inang G. versteegii dapat dilihat dari besarnya nilai persentase kolonisasi FMA konsorsium (32,8 %) sedangkan G. margarita (18,7 %), PGR FMA konsorsium (7,1 %) sedangkan G. Margarita (2,1 %) dan DPU untuk FMA konsorsium (5,4 %) sedangkan DPU G. Margarita (1,5 %). Indikator lain yang dapat dipakai untuk untuk melihat hubungan simbiosis ini adalah nilai serapan hara P, dimana FMA konsorsium meningkatkan serapan hara P pada jaringan tanaman plantling G. versteegii lebih baik dari G. margarita.. Penggunaan inokulum konsorsium alami lebih menjanjikan untuk pertumbuhan suatu jenis yang diperbanyak secara in-vitro. Geometri akar menunjukan bahwa FMA berpengaruh terhadap panjang dan jumlah akar primer. FMA konsorsium menghasilkan panjang akar primer (7 cm) sedangkan G. Margarita (3.1 cm). FMA konsorsium menghasilkan jumlah akar primer (16,2 akar) sedangkan G. Margarita (11, 1 cm). Berdasarkan nilai kekokohan dan indeks mutu benih maka media tanah, pasir, kompos, bio-charcoal dan batu bara muda menghasilkan bibit G. Versteegii lebih siap di lapangan.


(7)

vii

@Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

viii

PENGARUH FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA)

DAN MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN PLANTLING GAHARU (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) HASIL MULTIPLIKASI IN-VITRO

KUSRINER F. MBAUBEDARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011


(9)

ix

Judul Penelitian : Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-Vitro

Nama : Kusriner F. Mbaubedari

NRP : E051060201

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc Dr. Ir. Supriyanto, DEA

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr


(10)

x


(11)

xi

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas Rahmat-Nya sehingga saya dapat menghasilkan tesis berjudul Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan Media Tumbuh terhadap Pertumbuhan Plantling Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) Hasil Multiplikasi In-vitro) ini dapat diselesaikan.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Negeri Papua atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi ke Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih juga disampaikan kepada Direktor Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) atas program pendidikan Pascasarjana BPPS T.A. 2006-2008 dan Pemerintah Propinsi Papua atas Program Beasiswa Otonomi Khusus T. A. 2009-2010.

Ucapkan terima kasih serta penghargaan yang tulus disampaikan kepada Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc dan Dr. Ir. Supriyanto, DEA selaku komisi pembimbing yang telah membantu mengarahkan, memberikan semangat dan perhatian khusus sejak awal penentuan topik penelitian tesis hingga penyelesaian karya ilmiah ini. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, M.S selaku penguji luar komisi yang karena kesediaannya sebagai penguji sehingga ujian tesis saya dapat terselenggarakan dengan baik.

Semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat untuk perkembangan teknik silvikultur gaharu dan mikoriza di Indonesia.

Bogor, 1 Agustus 2011 Kusriner Fernando Mbaubedari


(12)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serui, Kecamatan Yapen Selatan, Kabupaten Yapen Waropen, Propinsi Papua pada tanggal 17 Februari 1975. Penulis merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara dari ayah Fredrik Mbaubedari dan ibu Benselina Reba . Tahun 1995 penulis lulus dari SMUN 417 Serui, pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Cenderawasih melalui jalur seleksi lokal siswa berpotensi. Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasi (UNCEN). Penulis menamatkan pendidikan Sarjana tahun 2001. Selama menjadi mahasiswa S1, penulis bekerja sebagai asisten pada mata kuliah Silvika dan Ilmu Tanah Hutan, dan aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai pengajar pada Universitas Papua di Manokwari, Papua Barat,.


(13)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA --- xi

DAFTAR ISI --- xiii

DAFTAR TABEL --- xv

DAFTAR GAMBAR --- xvi

DAFTAR LAMPIRAN --- xvi

PENDAHULUAN --- 1

Latar Belakang --- 1

Perumusan Masalah --- 3

Tujuan --- 5

Manfaat --- 5

Hipotesis --- 5

Kerangka Pemikiran --- 6

TINJAUAN PUSTAKA --- 7

Gaharu --- 7

Proses Pembentukan Gaharu --- 8

Gaharu Unggul --- 10

Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu --- 10

Manfaat dan Nilai Ekonomi Gaharu --- 11

Mikoriza --- 12

Fungi Mikoriza Arbuskula --- 14

Manfaat Mikoriza --- 16

Mikoriza dan Gaharu G. versteegii --- 17

Bio-charcoal --- 17

Lignit (Batu Bara Muda) --- 19

METODE PENELITIAN --- 21

Tempat dan Waktu --- 21

Bahan dan Alat --- 21

Metode --- 21

Prosedur Pelaksanaan --- 22

Isolasi dan Identifikasi FMA --- 22

Produksi Inokulum FMA --- 25

Aplikasi FMA, Kompos, Bio-charcoal dan Lignit pada Plantling --- 25

Pengamatan dan Pengukuran --- 25

Analisa Data --- 27

HASIL --- 28

Kondisi Lokasi Pengambilan Sampel --- 28

Vegetasi --- 28

Keadaan Tanah --- 30


(14)

xiv

Potensi Fungi Mikoriza Arbuskular Alami di Semai G. versteegii di Hutan

Alam Asai --- 31

Keberadaan jenis FMA --- 31

Kolonisasi FMA alami pada semai G. versteegii --- 34

Aplikasi FMA pada Plantling Gaharu G. versteegii --- 36

Kondisi stomata plantlet dan plantling G. verstegii --- 36

Rekapitulasi hasil uji F terhadap berbagai parameter pengamatan --- 37

Kolonisasi akar pada plantling G. versteegii --- 39

Respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza (percentage growth respon, PGR) --- 43

Ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap fosfor (dependency of P uptake, DPU) --- 44

Persentase hidup plantling G. versteegii --- 46

Pertambahan tinggi plantling G. versteegii --- 48

Pertambahan diameter plantling G. versteegii --- 51

Geometri akar --- 53

Berat basah pucuk dan akar --- 57

Kekokohan plantling G. versteegii --- 59

Hubungan antara kolonisasi FMA dengan parameter pertumbuhan plantling G. versteegii --- 61

Searapan hara makro N, P dan K --- 61

Indeks mutu bibit --- 63

PEMBAHASAN --- 64

Pengaruh FMA --- 64

Pengaruh Media --- 68

Pengaruh interaksi media tumbuh dengan FMA --- --- 69

SIMPULAN DAN SARAN --- 70

DAFTAR PUSTAKA --- 71

LAMPIRAN --- 75


(15)

xv

DAFTAR TABEL

NO. Halaman

Teks

1. Keberadaan G. versteegii dan vegetasi lain dan pada lokasi pengambilan

sampel --- 28 2. Hasil analisis tanah di lokasi penelitian --- 30 3. Dokumentasi jenis spora FMA yang bersimbiosis dengan semai G.

versteegii dari hutan alam Asai, Manokwari Papua Barat --- 32 4. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh FMA terhadap pertumbuhan plantling

G. versteegii --- 38 5. Hasil análisis korelasi antara kolonisasi FMA dengan beberapa parameter


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

NO. Halaman

Teks

1. Kerangka pemikiran pengembangan bibit gaharu potensial --- 6 2. Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di

Papua, Indonesia dan dunia --- 8 3. Empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya gubal gaharu --- 9 4. Skema hirarki yang terdiri dari tipe-tipe mikoriza dan kategori interaksi

tumbuhan dengan cendawan lainnya --- 14 5. Pohon gaharu G. versteegii dan vegetasi lain yang tumbuh disekitar G.

versteegii (a) dan keberadaan semai G. Versteegii --- 29 6. Sebaran jumlah spora FMA per plot pengambilan sampel --- 34 7. Struktur kolonisasi FMA dengan akar semai G. versteegii --- 35 8. Stomata di daun muda (a) dan di daun tua (b) pada planlet G. versteegii asal

kultur in-vitro dalam keadaan membuka dan sedikit --- 37 9. Stomata daun muda (a) dan daun tua (b) pada plantling G. versteegii

dalam keadaan menutup dan jumlahnya lebih banyak --- 37 10. Visualisasi persentase kolonisasi FMA dengan plantling G. versteegii --- 39 11.` Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada akar G. versteegii

(angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang

dicobakan pada α=0,05) --- 40 12. Hasil uji Duncan pengaruh media terhadap persentase kolonisasi pada akar

plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada

perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 40 13. Visualisasi struktur kolonisasi FMA pada akar plantling G. versteegii ---- 41 14. Visualisasi respon plantling G. versteegii terhadap mikoriza --- 43 15. Hasil Uji Duncan PGR pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf

yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada

α=0,05). --- 44 16. Visualisasi ketergantungan plantling G. versteegii bermikoriza terhadap

fosfor --- 45 17. Hasil Uji Duncan DPU pada plantling G. versteegii (angka diikuti huruf

yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada


(17)

xvii

18. Visualisasi persentase hidup plantling G. versteegii sampai minggu ke-8 -- 46 19. Visualisasi kematian plantling G. versteegii akibat serangan busuk akar - 47 20. Hasil Uji Duncan hidup plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang

sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) 47 21. Visualisasi keadaan tinggi plantling G. versteegii pada berbagai kombinasi

media yang dicobakan --- 48 22. Hasil Uji Duncan terhadap tinggi plantling G. versteegii (angka diikuti

huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan

pada α=0,05) --- 49 23. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap tinggi plantling G.

versteegii. (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 49 24. Pengaruh kombinasi media tumbuh terhadap pertambahan tinggi plantling

G. Versteegii --- 50 25. Keragaan pertumbuhan tinggi plantling G. versteegii --- 50 26. Keragaan pertumbuhan plantling G. versteegii umur 8 MST dari semua

kombinasi perlakuan --- 51 27. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap pertumbuhan diameter plantling

G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan

antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 51 28. Hasil uji Duncan pengaruh media tumbuh terhadap diameter plantling G.

versteegii --- 52

29. Visualisasi pertambahan diameter plantling G. versteegii pada berbagai

kombinasi media tumbuh --- 53 30. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap jumlah akar primer dan

sekunder plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti

tidak ada perbedaan --- 53 31. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap jumlah akar primer plantling G.

versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 54 32. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap panjang


(18)

xviii

33. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap panjang akar primer dan sekunder plantling G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti

tidak ada perbedaan antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 55 34. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap panjang akar primer plantling

G. versteegii (Angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan

antar FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 56 35. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap panjang

akar primer dan sekunder plantling G. Versteegii --- 56 36. Keragaan panjang akar primer (A) dan akar sekunder (B) plantling G.

Versteegii --- 57

37. Hasil Uji Duncan terhadap berat basah akar dan pucuk plantling G. versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 58 38. Visualisasi pengaruh kombinasi FMA dan media tumbuh terhadap berat

basah akar dan pucuk plantling G. Versteegii --- 58 39. Hasil Uji Duncan pengaruh FMA terhadap kekokohan plantling G.

versteegii (angka diikuti huruf yang sama berarti tidak ada perbedaan antar

FMA yang dicobakan pada α=0,05) --- 59 40. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap kekokohan plantling G.

versteegii --- 59 41. Visualisasi pengaruh FMA dan media terhadap kekokohan plantling G.

versteegii --- ` 60

42. Hasil analisis serapan hara makro N pada jaringan tanaman plantling G.

Versteegii --- 62 43. Hasil analisis serapan hara makro P pada jaringan tanaman plantling G.

Versteegii --- 62 44. Hasil analisis serapan hara makro K pada jaringan tanaman plantling G.


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Persentase kolonisasi FMA hasil isolasi dari sampel tanah komposit semai pohon penghasil gaharu G. versteegii dari hutan

alam Asai Kabupaten Manokwari, Propinsi Papua Barat --- 75 Lampiran 2. Rekapitulasi Uji Signifikasi terhadap PGR dan DPU plantling G.

Versteegii --- 76

Lampiran 3. Uji Signifikasi terhadap PGR dan DPU plantling G. Versteegii --- 78 Lampiran 4. Hasil Uji Duncan persentase kolonisasi FMA pada plantling G.

versteegii --- 78 Lampiran 5. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai PGR plantling G. versteegii -- 78 Lampiran 6. Hasil Uji Duncan terhadap Nilai DPU plantling G. versteegii --- 79 Lampiran 7. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap persentase hidup

plantling G. versteegii --- 79 Lampiran 8. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Tinggi plantling G.

Versteegii --- 79 Lampiran 9. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Diameter plantling G.

versteegii --- 80

Lampiran 10. Hasil Uji Duncan t Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar Primer

plantling G. Versteegii --- 80 Lampiran 11. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Jumlah Akar

Sekunder plantling G. versteegii --- 80 Lampiran 12. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap Jumlah Akar Primer

plantling G. versteegii --- 80 Lampiran 13. Hasil Uji Duncan pengaruh media terhadap Panjang Akar Primer

plantling G. Versteegii --- 81

Lampiran 14. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar primer

plantling G. Versteegii --- 82 Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar

Sekunder plantling G. versteegii --- 83 Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Akar


(20)

xx

Lampiran 17. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Pucuk

plantling G. versteegii --- 83 Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Kekokohan Bibit

plantling G. versteegii --- 84 Lampiran 19. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata diameter plantling G.

versteegii menggunakan sitem skoring --- 84 Lampiran 20. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tinggi plantling G.

versteegii menggunakan sistem skoring --- 85 Lampiran 21. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tingkat kekokohan

plantling G. versteegii menggunakan sitem skoring --- 85 Lampiran 23. Nilai serapan hara N, P dan K pada plantling G. Versteegii --- 86 Lampiran 24. Hasil Analisis Media Tumbuh Plantling G. versteegii --- 87 Lampiran 25. Hasil analisis jaringan plantling G. versteegii pada kombinasi


(21)

21

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) bernilai ekonomi tinggi, berwarna khas, mengandung aroma resin wangi jika dibakar dan dapat digunakan untuk bahan parfum, dupa, obat-obatan, sabun mandi, kosmetik, dan pengharum ruangan. Dengan demikian gaharu merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Permintaan gaharu dunia saat ini diperkirakan 4000 ton pertahun namun Indonesia hanya mampu menyediakan 200 ton pertahun dari potensi gaharu Indonesia yang diperkirakan sebesar 600 ton pertahun. Potensi sebesar ini diambil dari hutan alam Papua, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Sumatera meliputi 98% dan sisanya 2% berasal dari perkebunan gaharu. Harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah (Mashur, 2011). Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170-573 ton/tahun dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 USD meningkat menjadi 85.987.500 USD pada tahun 2010. Menurut Menteri Kehutanan RI, untuk memenuhi permintaan pasar dunia, maka eksport gaharu Indonesia akan ditingkatkan menjadi 1000 ton/tahun yang didukung oleh pembangunan hutan tanaman gaharu (Zulkifli, 2011).

Indonesia telah dikenal sebagai salah satu negara penghasil gaharu di dunia, karena mempunyai lebih dari 25 jenis pohon penghasil gaharu yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. G versteegii, Gyrinops ladermanii dan Aquilaria filaria merupakan spesies penghasil gaharu yang dapat ditemukan di New Guinea (The State Papua New Guinea and West Papua in Indonesian) dan telah dikenal di dunia (Gunn et al., 2003).

Beragamnya permintaan produk berbahan baku gaharu dan tingginya harga gaharu diperdagangan internasional menyebabkan perburuan gaharu (Aquilaria filaria dan G. versteegii) menyebar sampai hutan-hutan alam Papua yang masih tersisa. Penebangan pohon secara tidak selektif menyebabkan pohon yang tidak mengandung gaharu pun ditebang. Hal tersebut disebabkan karena sulitnya mendekteksi keberadaan gubal gaharu pada pohon gaharu yang masih hidup. Untuk memproleh satu pohon penghasil gubal gaharu, pemburu gaharu dapat menebang 10 pohon gaharu. Sisa pohon gaharu di


(22)

daerah-22

daerah penghasil utama gaharu semakin lama semakin menipis antara lain Sumatera (26%), Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), dan Papua (37%) (Asgarin 2011). Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam mengakibatkan Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. dimasukkan dalam Apendix II (produksi gaharu harus berasal dari perkebunan gaharu) pada konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) di Bangkok (Cites, 2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, menyebabkan Kementerian Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota ekspor gaharu menjadi hanya 125 ton/tahun.

Eksploitasi gaharu tanpa upaya budidaya menyebabkan potensi gaharu di hutan alam semakin berkurang. Pola ini dapat diperbaiki melalui upaya konservasi, pembangunan hutan tanaman gaharu yang didukung dengan tersedianya bibit unggul dan teknologi bioproses gaharu yang efektif serta aplikasi bioteknologi pupuk hayati dan bahan organik dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapangan melalui produksi bibit berkualitas.

Pohon berpotensi menghasilkan gaharu dapat diperbanyak melalui kultur jaringan dan dikembangkan dengan mikoriza untuk memacu pertumbuhannya pada media yang tepat. Media tersebut dapat berupa, kompos, bio-charcoal dan lignit (batubara muda). FMA diketahui berperan mengurangi stress yang disebabkan karena minimnya hara, aerasi tanah kurang baik, struktur tanah padat, pH rendah, salinitas tinggi dan logam beracun (Sieverding, 1991). Meningkatkan penyerapan unsur hara makro P, N dan beberapa hara mikro (Baghel et al., 2009). Hifa mikoriza mampu memfilter logam berat dan tidak meneruskannya ke tanaman (Smith and Read, 1997), melindungi perakaran tanaman dari patogen berbahaya (Liu, 1991), perlindungan dari senyawa-senyawa radio nuklir (Pfleger and Linderman, 1996) dan salinitas tanah (Delvian et al, 2001) serta memproduksi hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman. Dengan adanya auksin proses penuaan akar menjadi lambat.

Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis dan diolah melalui proses pirolisis. Teknologi ini telah lama digunakan oleh suku Indian Maya ribuan tahun silam. Manfaat bio-charcoal adalah untuk menurunkan emisi rumah kaca, meningkatkan simpanan karbon dalam tanah, soil conditioner dan soil managment, meningkatkan porositas tanah dan aktifitas mikroba tanah, menyerap kontaminan toksis, menetralkan keasaman tanah serta mencegah penyakit busuk akar yang disebabkan oleh serangan patogen jamur (Steiner, 2007 ; Lehman, 2007 ; Supriyanto, 2010), sedangkan lignit


(23)

23

(batubara muda) adalah batubara tidak bernilai ekonomis yang ditimbun di lokasi tambang sebagai limbah. Diduga lignit mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur organik dari proses dekomposisi tumbuhan dalam tanah, sedimen rawa dan gambut sehingga dapat memperkaya media pertumbuhan bibit. Adanya peran potensial dari mikoriza, kompos, bio-charcoal dan lignit, maka berpotensi dapat dimanfaatkan untuk memperkaya media pertumbuhan plantling gaharu G. versteegii.

Perumusan Masalah

Untuk mendapatkan pohon penghasil gubal gaharu yang baik, harus menggunakan bibit dari pohon gaharu potensial, yaitu bibit unggul dari pohon inang yang telah terbukti menghasilkan gubal gaharu di alam, artinya sangat dipengaruhi oleh sifat genetik, kemudian diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya. Namun demikian produktifitas benih yang rendah menyebabkan kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam, padahal untuk tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan tersedia tepat waktu. Di sisi lain, selama ini bibit yang digunakan berasal dari biji atau semai hutan alam dimana jumlah bibit terbatas, kualitas bibit rendah dan peluang memperoleh gubal gaharu setelah penanaman relatif kecil karena bibit yang dipakai belum tentu berasal dari induk yang berpontesi menghasilkan gubal gaharu.

Kendala lain yang umumnya dihadapi adalah tidak semua pohon gaharu menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih serta biji gaharu bersifat rekalsitran, selain itu adanya penebangan pohon induk dewasa di alam oleh pencari gaharu menyebabkan hilangnya sumber benih. Rendahnya daya berbunga dan produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu pembiakan secara vegetatif menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan induk yang banyak, maka kultur in vitro gaharu menjadi alternatif teknologi perbanyakan gaharu unggul secara masal dan cepat.

Selain dapat menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang memadai, teknik ini berpotensi mempertahankan sifat genetis dari pohon induk penghasil gaharu. Namun demikian, ditemukan kendala dalam kultur jaringan gaharu yaitu memerlukan waktu yang lama untuk menginduksi akar plantlet baik secara in vitro maupun ex vitro di green house, sementara akar yang terbentuk umumnya relatif kecil, jumlahnya sedikit serta sulit berkembang. Problem lain adalah tahapan aklimatisasi plantling gaharu hasil in vitro ke media aklimatisasi merupakan tahapan kritis yang masih menjadi masalah karena


(24)

24

plantling telah terbiasa tumbuh pada kondisi lingkungan dengan kelembaban tinggi sementara apabila diadaptasikan secara ex vitro dengan temperatur tinggi plantling akan mengalami dehidrasi, layu dan mati dikarenakan mekanisme buka tutup stomata yang rendah dan stomata tidak berfungsi optimal. Lingkungan tumbuh in vitro bersifat steril mengakibatkan imunitas plantling rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit busuk akar oleh jamur pembusuk akar (lodoh). Akibatnya tingkat kematian plantling gaharu sangat tinggi, yaitu 75 % dari plantlet yang diadaptasikan ke media pertumbuhan plantling di green house. Kondisi ini menyebabkan kegagalan produksi bibit gaharu potensial asal kultur in vitro. Penyebab lainnya yaitu lapisan kutikula plantling tipis dan terbiasa menerima cahaya konstan, sedangkan pada ex vitro plantling mendapatkan cahaya tidak konstan dan intensitas cahaya tinggi. Faktor lainnya ialah dalam media in vitro nutrisi tersedia optimal sehingga plantlet bersifat heterotrop, sedangkan diluar media kultur plantling dituntut bersifat autotrop. Selain itu, plantling asal in vitro memiliki lignifikasi batang rendah sehingga cenderung bersifat vitrious (sukulen).

Aplikasi FMA pada plantling gaharu akan memacu ramifikasi akar dan batang plantling karena mikorhia memproduksi auksin IAA untuk menstimulir akar plantling serta menghasilkan enzim phospatase untuk pembentukan lignin. Dengan demikian diharapkan plantling menjadi lebih tahan dan vigor bibit meningkat, sedangkan bio-charcoal akan berperan dalam menyerap zat-zat toksis, pembenah media dalam menejemen unsur hara tanah dan memberikan efek gelap disekitar akar plantling sehingga auksin IAA di akar tidak rusak oleh cahaya dan IAA akan berperan optimal mendukung perkembangan akar adventif

plantling. Sementara itu dengan adanya lignit maka asam humat akan berperan menyediakan nutrisi hara secara ototropik bagi plantling di media pertumbuhan.

Sejauh ini pemanfaatan FMA, kompos, bio-charcoal, dan lignit untuk perbaikan dan peningkatkan pertumbuhan bibit gaharu G. versteegii hasil multiplikasi in vitro yang mampu adaptasi di green house dan lapangan belum dilakukan. Kerjasama sinergis beberapa komponen perlakuan diharapkan dapat membuat terobosan baru dalam penyediaan bibit gaharu yang berkualitas (genetik, fisik dan fisiologis). Dari uraian di atas, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :


(25)

25

1. Bagaimana keragaman jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang bersimbiosis dengan gaharu G. versteegii asal Papua?

2. Bagaimana kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii hasil multiplikasi in-vitro.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

(1) Mengetahui jenis-jenis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) indigenous yang bersimbiosis dengan G. versteegii asal Papua.

(2) Uji kompatibilitas FMA indigenous Papua terhadap plantling G. versteegii hasil multiplikasi in-vitro pada berbagai kombinasi media.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah data dan informasi keragaman FMA indigenous yang bersimbiosis dengan pohon G. versteegii dan mendapatkan kombinasi FMA indigenous dengan kompos, bio-charcoal dan lignit yang efektif untuk produksi bibit gaharu bermutu serta peningkatan kualitas pertumbuhannya. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, ditetapkan hipotesis sebagai berikut :

a. Ditemukan lebih dari satu jenis FMA indigenous yang bersimbiosis dengan gaharu alami G. versteegii di Papua.

b. Kompatibilitas FMA indigenous Papua dapat meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan plantling gaharu Gyrinops versteegii hasil multiplikasi in vitro pada berbagai kombinasi media.


(26)

26

Kerangka Pemikiran

POTENSI GAHARU

KELANGKAAN & TERANCAM PUNAH

KONSERVASI EX-SITU & IN-SITU (PERKEBUNAN GAHARU)

VEGETATIF KONVENSIONAL

(STEK, CANGKOK ) GENERATIF/IN PLANTA BIJI & SEMAI

PROBLEM PERAKARAN; AKLIMATISASI; PERTUMBUHAN LAMBAT

PERSENTASE HIDUP RENDAH

PERKEBUNAN GAHARU POTENSIAL/UNGGUL

BIBIT BERKUALITAS (GENETIK, FISIK, FISIOLOGIS)

JUMLAH BESAR PERMINTAAN & HARGA

PASAR TINGGI

PENEBANGAN TIDAK SELEKSTIF

KUOTA DIKUARANGI 125 TON/THN

DEPHUT, 2005 APPENDIKS II

CITES, 2004

PROBLEM PERAKARAN ; PROBLEM PERBANYAKAN

INPUT MEDIA

(KOMPOS; BIO-CHARCOAL & LIGNIT)

VEGETATIF BIOTEK KULTUR JARINGAN

INPUT BIOFERTILIZER (FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR) PRODUKSI BIBIT UNGGUL

DALAM JUMLAH BESAR

JUMLAH ANAKAN ALAM RENDAH; BIJI DAN BIBIT TIDAK UNGGUL; REKALSITRAN;


(27)

27

TINJAUAN PUSTAKA Gaharu

Gaharu berasal dari bahasa Sangsekerta disebut “aguru” yang artinya

“tenggelam” atau bahasa Melayu yang artinya “harum” (Sumarna, 2007). Dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama ”agarwood, eaglewood, aloeswood”

(Gunn et al., 2003), yaitu sebutan untuk hasil hutan non kayu yang berupa damar wangi (aromatic resin) dari genus Aquilaria dan genus lain pada famili Thymelaeaceae, sedangkan gubal gaharu adalah substansi aromatik berupa gumpalan kayu berwarna coklat muda, coklat kehitaman sampai hitam yang terbentuk pada pohon gaharu akibat infeksi mikroorganisme penyebab penyakit.

Family Thymelaceae ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae, Thymelaeiodeae, Gilgiodaphniodeae. Beberapa genus anggota Thymeleaceae penghasil gaharu adalah Aetoxylon sp, Aquilaria spp., Enkleia sp, Gonystilus sp dan Wilkstromeia sp (Hou, 1960). Diantara genus pohon tersebut, Aquilaria spp. diketahui sebagai penghasil gubal gaharu yang terbaik, demikian juga 2 jenis Gyrinops spp., yaitu G. versteegii dan G. ledermanii (Rahayu & Sitomorang, 2004).

Telah diketahui ada 24 spesies Aquilaria spp. tersebar di hutan tropis Asia mulai dari Banglades, India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Singapura, Kamboja, Cina Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam spesies diantaranya yaitu Aquilaria beccariana, A. cumingiana, A. filaria, G. versteegii, A. malaccensis, A. microcarpa dan A. hirta ditemukan di wilayah Indonesia Asia (Hou, 1960; Cites, 2004), sedangkan 7 spesies Gyrinops spp., 6 diantaranya terdapat di Indonesia timur dan satu spesies terdapat di Srilangka, 20 spesies Gonystilus tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Serawak, Sabah, Philipina, Indonesia, Kepulauan Salomon dan Kepulauan Nikobar (Parman dan Mulyaningsih, 1996).

Pohon penghasil gaharu Gyrinops spp. memiliki distribusi yang cukup luas pada ras geografi. G. moluccana ditemukan di Maluku dan Halmahera, G. Versteegii ditemukan di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tengara Barat dan Propinsi Papua, sedangkan G. ladermanii, G. salicifolia, G. audate dan G. podocarpus ditemukan di Propinsi Papua dan Papua New Guinea. Di Pulau Papua sendiri distribusi populasi G. ladermanii lebih banyak ditemukan di Papua New Guinea, sedangkan G. versteegii populasi terbanyak di propinsi Papua Indonesia (Hou, 1960) (Gambar 1).


(28)

28

Gambar 2. Distribusi pohon penghasil gaharu Aquilaria spp. dan Gyrinops spp. di Papua, Indonesia dan dunia.

Proses Pembentukan Gubal Gaharu

Gubal gaharu sering disebut dengan istilah “gaharu” adalah substansi aromatik

berupa gumpalan berwarna coklat muda, coklat kehitaman sampai hitam (Hou, 1960). Proses terbentuknya gaharu pada pohon penghasil gaharu diduga sebagai akibat proses patogenesis yang diawali dengan rangsangan luka pada batang pohon, cabang atau ranting dan pengaruh fisik lainnya. Menurut Goodman et al. (1986) gubal gaharu diduga terkait dengan mekanisme ketahanan inang terhadap rangkaian proses yang terjadi pada patogenis tumbuhan berupa metabolit sekunder dari golongan senyawa aromatik. Metabolit beraroma harum ini umumnya dari golongan sesquiterpenoid dapat terbentuk pada pohon gaharu akibat adanya luka atau induksi dari mokroorganisme yang menginfeksinya atau interaksi faktor biotik dan abiotik.

Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan pathogen yang kompatibel dimana menurut Agrios (1997) keberhasilan proses infeksi oleh suatu pathogen sehingga dapat menginduksi gaharu dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor : 1). Inang yang rentan, yaitu jenis pohon gaharu; 2) Patogen yang virulen, artinya organisme pathogen yang potensial menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu; 3) Lingkungan yang mendukung dan 4) Peranan manusia dalam memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon inang.


(29)

29

Seperti layaknya flora lain yang dapat mempertahankan diri, pohon gaharupun akan mempertahankan diri dengan cara memperbaiki luka yang ada dan menyembuhkan jaringan yang sakit atau rusak dengan memproduksi resin atau menangkal cendawan. Proses ke arah tersebut merupakan upaya mempertahankan diri sehingga akan menyebabkan terjadinya gubal gaharu yang mengandung damar wangi (Soehartono, 2001). Gubal gaharu sebenarnya adalah resin pohon yang tidak dieksudasikan keluar melainkan terdeposit dalam jaringan kayu. Resin yang terdeposit ini mengakibatkan kayu yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak dan hitam serta wangi. Resin ini dari golongan sesquiterpen yang mudah menguap (Ishihara et al., 1991) dan merupakan senyawa fitoaleksin, yaitu senyawa yang dibentuk oleh tumbuhan sebagai respon terhadap gangguan misalnya infeksi mikroorganisme (Kunoh, 1990).

Gambar 3. Empat faktor yang mempengaruhi terbentuknya gubal gaharu (Agrios, 1997) Umumnya di alam pohon akan menghasilkan gubal gaharu setelah berumur lebih dari 20 tahun, karena pada umur ini diameter batang pohon sudah cukup besar dan struktur batangpun sudah cukup permanen dan baik untuk produksi gubal gaharu. Menurut Giano (1986) dalam Zinch and Compton (2001), pada umur ini hanya 10 persen dari batang tanaman atau pohon yang dapat menghasilkan gaharu, sedangkan menurut Sumarna (2007), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat diinokulasi mikroba untuk pembentukan gubal pada umur 5 tahun atau pada saat telah terbentuk organ reproduktif (berbunga dan berbuah).

MANUSIA

(pohon gaharu)

INANG

MANUSIA


(30)

30 Gaharu Unggul

Gaharu unggul adalah pohon gaharu yang terbukti di alam memiliki gubal gaharu yang kemudian akan diperbanyak sebagai bibit unggul (clone) untuk kepentingan budidaya (Sitorus, 2006). Kegiatan ini meliputi seleksi, baik seleksi in planta (pada pohon) dan seleksi in vitro di laboratorium. Seleksi in planta pada pohon gaharu di alam telah terbukti menghasilkan gubal gaharu yang dapat digunakan untuk keperluan breeding dan perbanyakan bibit unggul secara in vitro, stek atau cangkok.

Hal ini penting karena berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan oleh PUSLITBANG Kehutanan dan SEAMEO BIOTROP di hutan alam pada beberapa daerah penghasil gaharu di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua menunjukan bahwa tidak semua pohon penghasil gaharu di hutan alam dapat menginduksi gaharu. Pada umumnya dari pohon-pohon gaharu dewasa berumur 25 – 50 tahun di hutan-hutan alam hanya 10 % saja yang dapat memproduksi gubal gaharu (Isnaini, 2003).

Sementara itu, jumlah ekspor gaharu Indonesia pada tahun 1985 sekitar 1487 ton, namun pada tahun 1995 ekspor gaharu Indonesia kurang menjadi 300 ton sehingga CITES telah memasukan A. malaccensis ke dalam daftar appendix II (Barden, 2000) akibatnya kuota ekspor gaharu dibatasi 250 ton/tahun. Namun demikian sejak tahun 2000 Indonesia hanya mampu memasok gaharu 15 % dari kuota CITES.

Semakin sulitnya mendapatkan gaharu di hutan alam mengakibatkan Aquilaria spp. dan Gyrinops spp dimasukkan dalam Apendix II pada konvensi CITES tahun 2004 di Bangkok (CITES, 2004). Kekuatiran akan punahnya spesies gaharu di Indonesia, menyebabkan Departemen Kehutanan Indonesia sejak tahun 2005 menurunkan kuota ekspor gaharu menjadi hanya 125 ton/tahun.

Perbanyakan Pohon Penghasil Gaharu

Bibit gaharu untuk kepentingan budidaya dapat diperoleh dari semai di alam, perkecambahan biji, stek, cangkokan dan kultur jaringan (Sumarna, 2007). Kendala utama yang dihadapi dalam upaya pengembangan gaharu melalui upaya budidaya di Indonesia adalah produktifitas benih di alam rendah. Produktifitas benih yang rendah menyebabkan kesulitan memperoleh anakan pohon gaharu dalam jumlah banyak di alam padahal untuk tujuan budidaya yang luas sangat diperlukan bibit berkualitas dalam jumlah cukup dan tersedia tepat waktu, oleh karena itu model perkembangbiakan vegetatif melalui stek pucuk dan kultur jaringan merupakan alternative yang baik untuk perbanyakan gaharu unggul.


(31)

31

Kendala lain yang umumnya terdapat hampir disebagian besar daerah di Indonesia dan Papua adalah tidak semua pohon gaharu menghasilkan buah setiap tahun, belum adanya kebun bibit unggul dan kebun benih (Sitomorang, 2000). Rendahnya daya berbunga dan produktifitas berbuah menyebabkan masalah regenerasi secara generatif, sementara itu pembiakan secara vegetatif dengan menggunakan stek dan cangkok membutuhkan bahan induk yang banyak. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik alternatif perbanyakan gaharu secara masal dan cepat.

Manfaat dan Nilai Ekonomi Gaharu

Gaharu telah dimanfaatkan oleh manusia menjadi komoditi perdagangan sekitar 800 tahun yang lalu karena memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Pohon gaharu memiliki nilai ekonomi karena produk kayunya, gubal gaharu yang mengandung resin wangi, kemendangan, serpih/ ampas gaharu dan serbuk gaharu. Minyak gaharu merupakan produk gaharu yang paling mahal di Amerika, Eropa, Timur Tengah, India, Tibet dan China.

Gaharu memiliki berbagai ragam manfaat, namun pada dasarnya gaharu dapat dikelompokan ke dalam 4 manfaat besar, yaitu :

1. Manfaat dibidang industri parfum dan kosmetik, seperti : gas parfum dan minyak gaharu, sabun, sampo dan bedak serta pengharum ruangan (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Boruah & Singh, 2000).

2. Manfaat dibidang kesehatan dan obat-obatan, seperti : anti asmatik, anti mikrobia, stimulant kerja saraf dan pencernaan, liver, hepatitis, penghilang rasa sakit, kanker, paru-paru, rematik, cacar, malaria, sakit perut, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin serta perangsang birahi (Hayne, 1987; Barden et al., 2000; Boruah & Singh, 2000).

3. Manfaat di bidang agama dan kepercayaan, seperti : upacara-upacara religius pada umat Hindu, Budha dan Islam, pengharum ruangan sembayang, abu dan batang kemenyan dibakar ketika melakukan ritual kepercayaan, benda-benda rohani seperti rosario dan tasbih (Barden et al., 2000).

4. Manfaat lain : kayu gaharu kualitas kemedangan untuk perabot rumah tangga seperti meja, kursi, rak buku, hiasan dinding, ukiran serta kulit kayu untuk pembuatan pakaian adat, noken dan cawat pada sebagian masyarakat di Papua (Sumarna, 2007).

Harga gubal gaharu bervariasi dari Rp 5.000.000 - 15.000.000,-/kg tergantung dari kualtitas, bentuk dan corak, warna dan aroma. Gaharu kemedangan bervariasi dari Rp


(32)

32

50.000 – 500.000,-/kg ; bubuk gaharu atau ampas gaharu yang diperoleh dari sisa pembersihan gubal gaharu bervariasi dari Rp 10.000,- sampai Rp 50.000,-/kg. Bervariasinya harga juga ditentukan berdasarkan rantai perdagangan dan negara pemesan (Sumarna, 2007). Menurut Mashur (2011) harga gaharu di Indonesia berkisar Rp 100.000-150.000.000 per kg tergantung kualitasnya. Sementara itu harga gaharu super di China dapat mencapai Rp 400 juta per kilogram dan 300 juta per kilogram di Timur Tengah. Total ekspor gaharu Indonesia dalam lima tahun terakhir berkisar 170-573 ton/tahun dengan perkiraan perolehan devisa negara pada tahun 2006 sebesar 26.086.350 USD meningkat menjadi 85. 987.500 USD pada tahun 2010 (Zulkifli, 2011).

Mikoriza

Mikoriza berasal dari kata Myces artinya cendawan dan Rhiza artinya akar (Sieverding, 1991). Brundrett et. al (2004) menyarankan definisi baru mikoriza sebagai suatu asosiasi simbiotik yang esensial bagi kedua partner, antara suatu cendawan (terspesialisasi untuk hidup dalam tanah dan tumbuhan) dan akar (atau organ yang mengadakan kontak-substrat lainnya) dari suatu tumbuhan hidup, yang terutama bertanggungjawab untuk transfer hara. Mikoriza terjadi dalam suatu organ tumbuhan yang terspesialisasi dimana hubungan kontak yang dekat berasal dari perkembangan cendawan-tumbuhan yang tersinkronisasi.

Menurut Sylvia (2004) mikoriza merujuk pada suatu asosiasi atau simbiosis antara tumbuhan dan cendawan yang mengkoloni korteks akar selama periode pertumbuhan aktif. Simbiosis ini dicirikan oleh pergerakan hara dua arah (bi-directional movement) yaitu karbon mengalir dari tumbuhan ke cendawan dan hara inorganik dari cendawan ke tumbuhan dalam suatu linkage antara akar dan tanah yang mengindikasikan adanya peran kritis bagi tanaman terutama pada kondisi lingkungan yang tidak mendukung pertumbuhan yang optimal.

Mikoriza memberikan manfaat berupa bahan materi dan jasa. Materi yang diberikan yaitu unsur hara, sedangkan jasa yang diberikan yaitu perlindungan terhadap patogen, perlindungan terhadap kekeringan, perlindungan dari logam berat dan senyawa-senyawa radio nuklir serta dalam membantu pembentukkan struktur tanah (Pfleger and Linderman, 1996).

Langkah awal dalam pengembangan cendawan mikoriza adalah melakukan seleksi untuk mendapatkan isolat yang infektif yaitu mampu menembus dan menyebar ke dalam akar dan efektif yaitu mampu mempertinggi pertumbuhan atau toleransi tanaman terhadap


(33)

33

tekanan lingkungan. Hal ini disebabkan karena individu isolat FMA secara genetik sangat bervariasi dalam sifatnya sehingga perlu screening isolat untuk keefektifan dengan mengombinasi inang dan media tumbuh yang kompatibel dengan sistem produksi pembibitan. Sumber isolat FMA tersebar seluruh kondisi tanah yang bervegetasi. Pengambilan tanah-akar di bawah tegakan tanaman/pohon (daerah rhizosfer) yang diduga terkoloni oleh FMA merupakan cara yang sering dilakukan untuk mendapatkan inokulum FMA. Dalam suatu campuran tanah-akar ini belum dapat diketahui secara pasti baik jenis, jumlah, potensi kualitas maupun pengaruhnya terhadap tanaman, sehingga perlu identifikasi, pemurnian, dan uji efektifitasnya. Selanjut menurutnya untuk membedakan antara spesifiksitas (specificity) yaitu kemampuan bawaan (innate ability) untuk mengkoloni, keinfektifan (infectiveness) yaitu jumlah kolonisasi, dan keefektifan (effectiveness) yaitu respon tumbuhan terhadap kolonsiasi. Dengan demikian penilaian haruslah didasarkan atas faktor-faktor ini (Sylvia, 2004).

Menurut Brundrett et al. (2004), mikoriza harus merupakan asosiasi mutualistik

balanced”, dimana cendawan dan tumbuhan mengubah bahan pokok yang diperlukan untuk pertumbuhan dan daya hidupnya. Selanjutnya Brundrett (2004) mengusulkan skema klasifikasi hirarkis simbiosis mikoriza sebagaimana pada Gambar 3.

Asosiasi mutualistik menempati kuadran saling menguntungkan (++), dan berbeda dengan kuadran relatif menguntungkan (+) dan berbahaya (-). Pada kuadran atas (++)

BERMANFAAT BAGI CENDAWAN BERMANFAAT BAGI TUMBUHAN BERBAHAYA BAGI TUMBUHAN BERBAHAYA BAGI CENDAWAN + + + E n d o p h y ti s me Fakultatif obligat C en d awa n An tag o n is + E k sp lo it ati f B alan ce d Antagonisme tumbuhan Parasitisme Mikoriza

Gambar 4. Skema hirarki yang terdiri dari tipe-tipe mikoriza dan kategori interaksi tumbuhan dengan cendawan lainnya (Brundrett et al., 2004).


(34)

34

merupakan ketergantungan tanaman yang meningkat, dimulai dari mikoriza fakultatif dan tumbuhan non-mikoriza dengan titik kulminasinya pada tumbuhan berasosiasi mikoriza obligat, sedangkan garis kedua searah sumbu vertikal mewakili sifat berbahaya atau menguntungkan terhadap cendawan. Parasitik dan asosiasi antagonistik menempati dua kuadran lainnya dengan tumbuhan-cendawan.

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sering disebut juga endomikoriza, ada juga yang menggunakan istilah Vesicular-Arbuskula Mikoriza (V-AM). Istilah FMA digunakan untuk membedakan tipe mikoriza ini dari ektomikoriza, karena disini biasanya tidak ada sarung (sheath) miselium cendawan di sekitar akar seperti yang terdapat pada sekeliling akar ektomikoriza. Fungi Mikoriza Arbuskula merupakan cendawan yang penyebarannya sangat luas di dunia mulai dari daerah padang pasir, temperit, tropika dan dapat berasosiasi lebih dari 90% tanaman yang ada di bumi. VAM telah diketahui di dalam akar tanaman lebih dari 100 tahun yang lalu, tetapi struktur reproduktifnya baru diketahui 30 tahun terakhir. Cendawan VA mikoriza telah berhasil diekstraksi dan ditumbuhkan pada tanaman hidup di pot kultur (Gardeman, 1963). Diversitas FMA tidak mengikuti keanekaragaman tanaman namun keanekaragaman spesies tanaman mungkin diatur oleh tipe FMA. Alasan mengapa FMA dapat meningkatkan penyerapan hara dalam tanah (Abbott & Robson, 1992), karena hifa dari FMA dapat menjangkau dan mengambil hara dari dalam tanah dan selanjutnya mensuplai hara ke tanaman melalui akarnya, meningkatkan penyerapan hara dan konsentrasi hara pada permukaan penyerapan, merubah secara kimia sifat-sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman. Dengan demikian menyebabkan terjadinya peningkatan penyerapan unsur hara, kondisi ini banyak terjadi pada tanaman yang mempunyai akar yang kasar, tersebar tipis dan sedikit rambut akarnya. Kapasitas pengambilan hara dapat ditingkatkan jika terjadi kolonisasi mikoriza pada akar karena akar yang dikolonisasi diperpanjang, ukuran percabangan serta diameter akar diperbesar dan luas permukaan absorpsi akan diperluas. Hormon pertumbuhan seperti auksin, sitokinin dan gibberelin bagi tanaman dapat juga meningkat. Akar sebagai penyerap unsur hara dan air akan bertahan lebih lama karena dengan meningkatnya auksin, maka proses penuaan akar menjadi lambat (Karagiannidis et al., 1995).

Resistensi terhadap kekeringan lebih baik pada tanaman yang bermikoriza daripada yang tidak bermikoriza. Tanaman bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode


(35)

35

kekeringan berakhir karena hifa FMA masih mampu menyerap air pada pori-pori tanah pada saat akar tanaman sudah tidak mampu. Hifa dapat mengambil air relatif lebih banyak karena penyebarannya di dalam tanah sangat luas.

Menurut Daniels dan Menge (1981) dan Abbott & Robson (1992), kemampuan meningkatkan penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman berbeda antara spesies dan strain FMA, setiap spesies FMA mempunyai innate effectiveness atau kemampuan spesifik. Keefektivan diartikan sebagai kemampuan FMA dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman pada kondisi tanah yang kurang menguntungkan. Beberapa faktor yang berhubungan dengan keefektivan dari suatu spesies FMA, yaitu FMA mampu untuk membentuk hifa yang ekstensif dan penyebaran hifa yang baik di dalam tanah, FMA mampu untuk membentuk infeksi yang ekstensif pada seluruh sistem perakaran yang berkembang dari suatu tanaman, FMA mempunyai hifa yang mampu menyerap fosfor dari larutan tanah.

Manfaat Mikoriza

Manfaat mikoriza di alam ini sudah tidak dapat disangkal lagi karena telah banyak ditulis para pakar. Menurut Brundrett et al. (1996), manfaat dari mikoriza dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu manfaat bagi tanaman, manfaat bagi ekosistem dan manfaat bagi manusia

a. Manfaat mikoriza bagi tanaman

Meningkatkan pasokan unsur hara tanaman dengan memperbesar volume tanah yang dapat dikelolah oleh akar tanaman, meningkatkan pasokan hara dengan jalan menyerap bentuk-bentuk hara yang secara normal tidak tersedia bagi tanaman, beberapa jenis cendawan ektomikoriza dan ericoid memiliki kapasitas untuk membongkar senyawa-senyawa fenolik yang ada dalam tanah (Smith and Read, 1997), senyawa-senyawa fenolik diyakini dapat mengganggu berlangsungnya serapan hara oleh tanaman, kolonisasi akar oleh ektomikoriza dan FMA dapat memberikan perlindungan terhadap serangan cendawan parasitik dan nematoda memungkinkan terjadinya perpindahan hara dari tanaman yang sudah mati ke tanaman yang masih hidup.

b. Manfaat mikoriza bagi ekosistem

Hifa-hifa yang ada di dalam tanah berperan penting dalam pendauran hara dengan cara membantu mencegah kehilangan hara dari sistem, khususnya ketika akar tanaman sedang tidak aktif, hifa merupakan saluran yang digunakan untuk memindahkan karbon dari akar tanaman ke jazad renik lainnya yang terlibat dalam proses daur hara. Dengan kata lain


(36)

36

bekerjasama dengan anggota lain dari rantai pangan dekomposisi tanah, cendawan mikoriza dapat menyumbangkan simpanan karbon dalam tanah dengan jalan mengubah kualitas dan kuantitas bahan organik tanah (hifa mikoriza berperan penting dalam memperbaiki struktur tanah (Grifftiths et. al., 1992), FMA juga dapat bersinergis dengan mikroba potensial lainnya, seperti bakteri penambat N bebas dan bakteri pelarut fosfat (Barea et al. 1992). Serta sinergis dengan jasad – jasad renik selulotik seperti Trichoderma sp. Berdasarkan kemampuan tersebut, maka FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di sekitar perakaran tanaman.

c. Manfaat mikoriza bagi umat manusia

Cendawan ektomikoriza secara ekonomis dan nutrisi merupakan sumber pangan yang penting artinya bagi umat manusia. Tubuh Buah dari fungi ektomikorhiza Scleroderma sinnamariense yang bersimbiosis dengan tanaman melinjo dapat dijadikan sebagai bahan pangan. Jamur ektomikoriza juga telah digunakan sebagai obat-obatan dan pewarna alami. Cendawan juga memiliki nilai keindahan/estetika dan merupakan bagian penting dalam budaya, tradisi dan cara menghargai alam oleh umat manusia (Mansur, 2010). Keragaman cendawan merupakan bio-indikator kualitas lingkungan, cendawan yang telah beradaptasi dengan kondisi tanah lokal diperlukan untuk pertanian, hortikultura dan kehutanan.

Mikoriza dan Gaharu G. versteegii

Sejauh ini kajian mengenai keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula pada G. versteegii asal Papua baru dilaporkan oleh Worabai (2009) yang telah berhasil mengidentifikasikan 3 jenis spora indigenous yakni Glomus sp., Acaulospora sp., dan Scutellospora sp. dengan persen kolonisasi akar tertinggi 16,84% dan terendah adalah 8,77%. Sementara itu, uji pemanfaatan FMA untuk memacu pertumbuhan tanaman penghasil gaharu ini belum pernah dilakukan.

Pemanfaatan FMA pada gaharu oleh Sumarna, 2007 melaporkan bahwa aplikasi mikorhiza ternyata menghasilkan bibit tanaman gaharu lebih cepat mencapai kondisi siap tanam dalam kisaran waktu 2–3 bulan sejak proses perkecambahan benih. Selain itu bibit yang diperoleh relatif lebih sehat, tahan gangguan penyakit dan hama akar dibanding tanpa perlakuan mikorhiza. Bibit bermikorhiza memiliki kemampuan hidup di lapangan jauh lebih tinggi dibandingkan bibit tak bermikorhiza. Hal ini didukung hasil penelitian Karyaningsih (2009), dimana pemberian FMA jenis G. margarita mampu membentuk


(37)

37

kolonisasi, sporalisasi dan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan semai gaharu A. crassna.

Sampai saat ini aplikasi FMA untuk pertumbuhan plantling gaharu Papua G versteghii belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan uji pemanfaatan FMA untuk memacu dan meningkatkan pertumbuhan bibit gaharu ini.

Bio-Charcoal

Bio-charcoal adalah arang yang dibuat dari material biologis atau bahan organik apapun yang diolah melalui proses pirolisis (pembakaran dengan suplai oksigen yang minimal). Bio-charcoal telah digunakan untuk kegiatan pertanian dalam rangka meningkatkan produktifitas lahan dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan sejak suku Indian Maya menggunakan teknik tebang, cincang dan bakar (Steiner et al., 2004). Baru-baru ini, telah diteliti oleh banyak peneliti bahwa bio-charcoal mampu menurunkan emisi gas rumah kaca dari tanah dan dapat meningkatkan produksi padi (IRRI), jagung (University of Georgia di Atlanta), Singkong (Terra Pretta, Brazil), karena bio-charcoal dapat berfungsi sebagai manajer tanah dan pembenah tanah (Steiner, 2007).

Fungsi dari penambahan bio-charcoal tersebut di dalam tanah adalah untuk meningkatkan kesuburan tanah (pembenah tanah), meningkatkan aktifitas mikroba tanah dan menurunkan emisi karbon ke udara. Lehman (2007) telah menunjukkan hasil penelitiannya bahwa bio-charcoal dapat digunakan untuk meningkatkan struktur dan kesuburan tanah yang pada gilirannya meningkatkan produksi biomassa.

Peranan bio-charcoal sebagai soil conditioner meliputi perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi. Pengaruh bio-charcoal terhadap sifat fisik tanah antara lain meningkatkan stabilitas struktur dan peningkatan kandungan air tanah, peningkatan porositas dan aerase tanah, menjadikan media lebih porous serta meningkatkan kapasitas luasan permukaan. Peranan pada sifat kimia tanah akibat penambahan bio-charcoal ke dalam tanah yaitu peningkatan pH tanah, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa dan penurunan ion Al+ dan H+. Adapun pengaruh bio-charcoal terhadap aktifitas biologi tanah antara lain sebagai aktifator mikoriza dan rhizobium. Pemberian arang sekam terhadap bakteri penambat nitrogen dan cendawan mikoriza mampu meningkatkan jumlah bintil akar pada tanaman leugum, meningkatkan jumlah spora dan tingkat kolonisasi Glomus etunicatum (Ogawa, 1994; Glaser at al., 2002 ; Braida et al., 2003 diacu Ahmad, 2006).

Di Indonesia teknologi bio-charcoal juga telah digunakan pada system perladangan berpindah, namun teknik tersebut hanya menghasilkan 2% arang karena dibakar dengan


(38)

38

suplai oksigen yang berlebihan (tempat terbuka). Pemanfaatan bio-charcoal dibidang kehutanan telah dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan Indonesia pada tanamaan Acacia mangium, Shorea leprosulla dan Pinus merkusii berumur 2,5-3 tahun menunjukan pengaruh sangat nyata terhadap indikator pertumbuhan (tinggi, diameter, biomasa dan akar tanaman) (Siregar, 2010). Sementara itu hasil uji coba pemanfaatan bio-charcoal untuk produksi FMA menggunakan inang Shorgum bicolour menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap jumlah spora (Supriyanto, 2010).

Lignit (Batubara Muda)

Lignit disebut juga batubara muda atau batubara cokelat, tidak ekonomis digunakan sebagai bahan bakar. Lignit memiliki kelembaban yang tinggi dan kandungan karbon yang rendah. Dengan adanya masalah tersebut, apabila terdapat lapisan batubara lignit dalam penambangan batubara, maka penambang hanya mengambil lapisan yang berkualitas tinggi, sedangkan lignit akan disingkirkan atau ditimbun kembali di lokasi tambang. Batubara dengan mutu yang rendah, seperti lignit dan sub-bitumen biasanya lebih lembut dengan materi yang rapuh, berwarna suram seperti tanah dan memiliki kelembaban tinggi dengan demikian energinya rendah.

Lignit (batu bara muda) mengandung zat-zat humat (asam humat) sebagai unsur organik utama yang banyak terdapat dalam air alami, bahan-bahan yang tahan degradasi yang dihasilkan selama dekomposisi dari tumbuhan yang terjadi sebagai endapan dalam tanah, sedimen rawa. Asam humat adalah salah satu senyawa yang terkandung dalam humat substance yang merupakan hasil dekomposisi bahan organik, utamanya bahan nabati yang terdapat dalam batu bara muda, tanah gambut, kompos atau humus (Senn dan Kigman, 1973).

Asam humat merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik, berwarna hitam, kecoklatan, relatif tahan terhadap degradasi serta mengandung muatan negatif yang dapat dipengaruhi pH (Stevenson, 1994). Proses pembentukan batubara muda dapat melalui dekomposisi flora dan fauna yang merupakan bagian dari transformasi biokimia organik sebagai titik awal. Dalam pertumbuhan gambut, sisa tumbuhan akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Setelah tumbuhan mati, proses degradasi biokimia lebih berperan. Proses pembusukan akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini bekerja dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan seperti selulosa, protoplasma dan pati. Melalui proses itu terjadi perubahan dari kayu menjadi lignit dan batubara berbitumen. Dalam suasana kekurangan


(39)

39

oksigen terjadi proses biokimia yang berakibat keluarnya air (H2O) dan sebagian unsur karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan methan (CH4).

Indonesia termasuk negara dengan sumber tambang batubara terbesar di dunia. Cadangannya diperkirakan 36 ton. Hanya saja 50 – 85 persennya berkualitas rendah. Ini dilihat dari nilai kalori pembakarannya yang rendah, dan kadar sulfur serta airnya yang tergolong tinggi ( Sukandarrumudi, 2006).

Asam humat merupakan komponen organik, yang dapat berasosiasi menjadi ion yang aktif serta bersiaft kolodial dan relatif stabil. Berperan besar dalam memperbaiki kesuburan tanah, baik secara kimia, fisika dan biologi tanah. Memperbaiki strukjtur tanah, meningkatkan kapasitas memegang air dan Kapasits Tukar Kation (KTK) tanah, menurunkan kalarutan unsur beracun seperti Fe dan Al karena muatan negatif dan gugus fungsional karboksil (- COOH) dan hidroksil (-OH).

Pemanfaatan batubara muda sebagai pembenah tanah telah dilakukan oleh Karyanigsih, 2009 dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemanfaatan batubara muda dan Glomus margarita sebagai pembenah tanah dalam media pertumbuhan berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan pertumbuhan semai gaharu A. crassna, kolonisasi dan jumlah spora G. margarita.


(40)

40

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Survey pohon penghasil gaharu G. versteegii untuk kajian keragaman FMA indigenous, dilaksanakan dalam bulan Juli 2010 pada hutan alam di daerah Asai Kabupaten Manokwari Papua Barat. Survey dilakukan bersama-sama dengan masyarakat pencari gaharu dengan cara jelajah lokasi penelitian sejauh 1 km. Setiap pohon induk gaharu yang ditemukan dalam jarak pandang 10 meter kiri dan kanan jalan dijadikan sebagai plot pengambilan contoh semai dan tanah untuk isolasi dan identifikasi keberadaan mikorizanya. Dalam survey ini juga dicatat vegetasi lain yang tubuh pada radius 2 meter dari pohon induk gaharu.

Kegiatan isolasi FMA, identifikasi, multiplikasi FMA dilakukan pada Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Aplikasi FMA, bio-charcoal, kompos dan lignit pada plantling gaharu dilaksanakan di Laboratorium Mikoriza dan greenhouse SEAMEO BIOTROP. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari awal Nopember 2010 sampai dengan bulan Juni 2011.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah inokulum FMA komposit hasil trapping asal Manokwari, Papua Barat. Plantlet G. versteegii asal Papua yang telah dikembangkan di SEAMEO BIOTROP melalui teknik kultur jaringan, Pueraria (Pueraria javanica), kompos, lignit (batubara muda) asal Desa Sukajaya Kabupaten Sukabumi, zeolit, tanah, pasir, KOH 1%, KOH 10%, HCl 2%, H2O2 2%, Glyserin 50 %,

Acid Fushin 0,02 %, larutan PVLG, larutan Melzer’s reagen, aquades, pot plastik hitam, polybag 10 x 15 cm, kertas nitroselulosa, sungkup plastik, paranet dan label.

Alat-alat yang digunakan meliputi: camera digital, pH-fertility meter, mikroskop binokuler/dissecting microscope, sentrifus, termohydrometer, saringan

berukuran 425 μm, 125 μm, 60 μm dan 45 μm, pinset spora, cawan petri, gelas becker,

kaca obyek dan cover glass, pipet, jarum ose, timbangan analitik, oven, autoclave, magnetic stirrer, pacul, ayakan tanah 1 mm, dan alat tulis.


(41)

41

Metode

Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 2 faktor (4x3). Perlakuan dan taraf perlakuan yang diberikan sebagai berikut.

I. Faktor Perlakuan 1 ; Media (M)

Mo Tanah : Pasir (control) (v/v) 1 : 1

M1 Tanah : Pasir : Kompos (v/v) : Bio-Charcoal (v/v) 1 : 1 : 0,5 : 0,2 M2 Tanah : Pasir : Lignit (v/v) : Bio-Charcoal (v/v) 1 : 1 : 0,4 : 0,2 M3 Tanah : Pasir : Kompos:Lignit (v/v) : Bio-Charcoal 1 : 1 : 0,5 : 0,4 : 0,2 II.Faktor Perlakuan 2 ; FMA (F)

F0 Tanpa Inokulum FMA 0

F1 Inokulum FMA indigenous (konsorsium) 10 g F2 Inokulum FMA spora tunggal(Gigaspora sp) 10 g

Dari taraf perlakuan yang diberikan, diperoleh 12 kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali sehingga diperlukan 36 bibit hasil kultur jaringan. Kombinasi media merupakan hasil uji pendahuluan untuk mengukur parameter tingkat kesuburan dan tingkat keasaman kombinasi lignit, bio-charcoal, kompos dan tanah menggunakan alat ukur pH-fertility meter. Media disterilkan menggunakan autoclave dengan tekanan 15 atm pada suhu 120 0C selama 2 jam. Lignit yang digunakan, terlebih dahulu digerus lalu diayak menjadi tepung menggunakan ayakan berukuran 10 mm. Sebelum ditanam, media disiram dengan air hingga kapasitas lapang lalu diperam selama satu minggu. Khusus untuk kombinasi media yang menggunakan lignit, media disiram dengan KOH 1% sebanyak 10 ml untuk mempercepat pelarutan asam humat dari lignit Prosedur Pelaksanaan

Isolasi dan Identifikasi FMA

a. Pengambilan Sampel Tanah dari Semai G. versteegii

Pengambilan sampel tanah komposit dari bawah tegakan G. verstegii sebanyak 5 (lima) plot. Dari setiap plot diambil satu sampel rizosfer tanah untuk ekstraksi FMA dan satu sampel tanah untuk analisis sifat tanah, masing-masing sebanyak 1 kg dengan kedalaman 0 – 20 cm. Semai G. veerstegii yang diambil berukuran tinggi 75 – 100 cm. b. Ekstraksi Spora FMA dengan Teknik penyaringan basah (Metode Gardeman and


(42)

42

 Tanah yang telah diambil dari lapangan ditimbang sebanyak 10 gr, lalu dimasukkan ke dalam gelas piala 500 atau 1000 ml atau bekas botol air mineral 1 L dan ditambahkan 500 ml air, agregat tanah dipecahkan dan tanah tersebut diaduk dengan tangan agar spora terbebas dari tanah.

 Larutan dibiarkan selama kurang lebih 15-30 detik tergantung tekstur tanahnya sampai partikel-partikel tanah mengendap, selanjutnya supernatant dituang ke dalam penyaring bersusun berturut-turut 425 μm, 125 μm, 69 μm, 45 μm. Tanah pada penyaring disemprot dengan air mengalir. Penyemprotan dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak struktur spora.

 Akar-akar dipisahkan dari tanah jika ada, untuk kemudian diamati kemungkinan adanya spora pada akar atau kolonisasi infeksi perakaran melalui pewarnaan (staining) akar.

 Supernatant keruh hasil penyaringan dari penyaring dengan ukuran 45 dan 69 µ m masing-masing dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi. Kemudian larutan sukrosa 60 % ditambahkan ke dalam tabung sentrifusi dengan perbandingan supernatant keruh dan sukrosa adalah 3 : 1 (v/v), kemudian disentrifusikan pada kecepatan putar 1200-1300 rpm selama 5 menit.

 Hasil sentrifusi dituangkan ke penyaring yang sesuai, lalu dibilas dengan air perlahan-lahan agar tidak terjadi plasmolisis spora. Selanjutnya supernatant dituang pada kertas saring, lalu dikeringanginkan dan diamati di bawah mikroskop. Jumlah spora dihitung dan diidentifikasi jenis FMA-nya.

c. Pewarnaan akar (staining) (Metode Phillips dan Hayman, 1970 hasil modifikasi Supriyanto, 2009).

 Sampel akar diambil dan dipotong akar kecil diameter ≤ 2 mm yaitu akar serabut/akar rambut sebanyak kurang lebih 2 gram

 Akar dicuci hingga bersih untuk menghilangkan kotoran berupa tanah, serasah, kompos, pasir dan lain-lain.

 Fiksasi akar dilakukan dengan cara merendam potongan akar dalam larutan FAA

 Bilas larutan fiksator (FAA) dalam air mengalir hingga larutan fiksator hilang.

 Hilangkan komponen tanin dan fenol dalam akar dengan merendam dalam larutan KOH 10% (v/v) dengan cara dipanaskan selama 5-10 dihitung sejak mendidih.

 Pindahkan akar-akar tersebut dalam saringan plastik dan bilas dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan KOH 10 %, tanin dan fenol.


(43)

43

 Rendam akar-akar yang sudah dihilangkan tanin dan fenolnya dalam hydrogen peroksida (H2O2 2% w/v) selama 5-10 menit.

 Bilas akar-akar tersebut dengan air mengalir untuk menghilangkan larutan hydrogen peroksida dengan menggunakan saringan plastik.

 Rendam akar-akar tersebut dalam larutan HCl 2% (v/v) selama 10-30 menit atau sampai akar berwarna putih. Larutan HCl digunakan untuk penjernih (clearing) komponen sitoplasma.

Staining akar-akar tersebut dalam larutan asam fushin 0,2 % dan larutan lacto-glycerol, lalu dipanaskan selama 5-10 menit dihitung sejak mendidih.

 Akar-akar tersebut dibilas dengan air mengalir hingga larutan asam fushin hilang.

 Kemudian akar direndam dalam larutan destaining glyserin 50 % untuk menghilangkan kelebihan larutan staining asam fushin 0,2 %

 Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop binukuler untuk mengetahui keberadaan hifa, vesikula, spora intra radikal dan arbuskula

 Untuk pembuatan preparat awetan, maka akar-akar tersebut dipotong dengan ukuran 1 cm dan letakan di atas kaca preparat yang sudah ditetesi larutan PVLG kemudian ditutup dengan cover glass. Spesimen dibiarkan hingga kering lalu diamati dan dilakukan pemotretan dengan dissecting microscope/stereo

 Kolonisasi perakaran dilihat berdasarkan kolonisasi oleh struktur FMA (hifa eksternal, hifa internal, spora intradikal, vesikula dan arbuskula).

d. Identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi spora hasil ekstraksi. Peubah yang diamati dalam mendeskripsikan spora meliputi bentuk spora, ukuran spora, warna spora, ornamen/asesoris permukaan spora, substanding hifa dan Bulbous suspensor; Pembuatan preparat spora untuk identifikasi menggunakan glass slide, cover glass, polyvinyl alcohol-lactic acid-glycerol (PVLG) dan larutan pewarna Melzer’s. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop yang dihubungkan dengan kamera CCTV dan USB converter untuk dapat diamati di komputer, dan dapat dilakukan pengambilan gambar (capturing).

Produksi Inokulum FMA

Teknik penangkaran/trapping yang digunakan mengikuti metoda Brundrett et al., (1996), menggunakan pot plastik dengan media tanah contoh dari bawah tegakan gaharu sebanyak 100 gram dan zeolit steril. Pueraria javanica digunakan sebagai tanaman inang.


(1)

101

Lampiran 13. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap Panjang Akar primerer

plantlingG. versteegii

Media N

Subset

1 2

M0 9 2.2889a

M3 9 4.2222b

M2 9 5.1111b

M1 9 6.1111b

Sig. .391 .158

M1, M2 dan M3 berbeda dengan M0

Lampiran 14. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar Primer

plantlingG. Versteegii

FMA N

Subset

1 2

F2 12 1.7917a

F0 12 2.1250a

F1 12 7.0417b

Sig. .699 1.000


(2)

102

Lampiran 15. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Panjang Akar Sekunder

plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2

F2 12 .2917a

F0 12 .5417a

F1 12 1.6250b

Sig. .220 1.000

F1 berbeda dengan F2,F0

Lampiran 16. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Akar

plantlingG. versteegii

FMA N

Subset

1 2

F0 12 .0150a

F1 12 .0267a .0267b

F2 12 .0575b

Sig. .483 .072

F0 berbeda dengan F2

Lampiran 17. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Berat Basah Pucuk

plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2

F0 12 .1300a

F2 12 .1617a

F1 12 .2617b

Sig. .468 1.000


(3)

103

Lampiran 18. Hasil Uji Duncan Pengaruh FMA terhadap Kekokohan Bibit plantling G. versteegii

FMA N

Subset

1 2 3

F1 12 3.5967b

F2

12 2.9742a

F0

12 2.5775a

Sig.

1 1 1

Lampiran 19. Hasil Uji Duncan Pengaruh media terhadap kekokohan plantlingG. versteegii

Media N

Subset

1 2 3

M0 9 2.5744

M1 9 2.6511

M2 9 3.1944

M3 9 3.7778

Sig. .702 1.000 1.000

M3 berbeda dengan M0,M1 dan M2

Lampiran 20. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata diameter plantling G. versteegii menggunakan sitem skoring

Perlakuan Diameter rata2 selang Nilai Selang Score

M0F0 0.63 0.11 0.63-0.0.74 1

M0F2 0.79 0.11 0.74-0.86 2

M1F0 0.84 0.11 0.86-0.97 3

M0F1 0.86 0.11 0.97-1.07 4

M2F0 0.91 0.11 1.07-1.19 5

M1F2 0.91 0.11 1.19-1.30 6

M2F2 1.04 0.11 130-1.41 7

M1F1 1.06 0.11 1.41-1.52 8

M3F0 1.21 0.11 1.52-1.63 9

M2F1 1.36 0.11 1.63-1.74 10

M3F2 1.40 0.11


(4)

104

Lampiran 21. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tinggi plantling G. versteegii menggunakan sistem skoring

Perl Tinggi rata2 selang Nilai selang score

M3F1 1.98 0.26 1.98-2.24 1

M3F2 2.14 0.26 2.24-2.52 2

M2F1 2.23 0.26 2.52-2.78 3

M2F2 2.73 0.26 2.78-3.04 4

M1F1 2.81 0.26 3.04-3.31 5

M2F0 2.99 0.26 3.31-3.57 6

M1F2 3.07 0.26 3.57-3.83 7

M0F1 3.29 0.26 3.83-4.09 8

M3F0 3.33 0.26 4.09-4.36 9

M0F0 4.07 0.26 4.36-4.62 10

M0F2 4.21 0.26

M1F0 4.61 0.26

Lampiran 22. Indeks Mutu Bibit berdasarkan rata-rata tingkat kekokohan plantling G. versteegii menggunakan sitem skoring

Perlakuan

Nilai Kekokohan

rata2 selang Nilai selang Score

M3F1 1.98 0.26 1.98-2.24 10

M3F2 2.14 0.26 2.24-2.52 9

M2F1 2.23 0.26 2.52-2.78 8

M2F2 2.73 0.26 2.78-3.04 7

M1F1 2.81 0.26 3.04-3.31 6

M2F0 2.99 0.26 3.31-3.57 5

M1F2 3.07 0.26 3.57-3.83 4

M0F1 3.29 0.26 3.83-4.09 3

M3F0 3.33 0.26 4.09-4.36 2

M0F0 4.07 0.26 4.36-4.62 1

M0F2 4.21 0.26


(5)

105

Lampiran 23. Hasil Analisis Media Tumbuh Plantling G. versteegii

No. Parameter

Pengujian Metoda Satuan

Nomor dan Kode Contoh

2712 2713 2714 2715

M0 M1 M2 M3

1 *pH H2O

SNI 03-6787-2002

5.0 5.9 4.6 5.3

CaCl2 4.6 5.7 4.4 5.1

2 *C Org SNI 13-4720-1998 (Walkey & Black) % 0.57 3.04 3.22 3.83 3 *N Total SNI 13-4721-1998 (Kjeldahl) % 0.08 0.19 0.23 0.28

4 Rasio C/N 7.1 16.0 14.0 13.7

5 P Tersedia SL-MU-TT-05 (Bray I/II) ppm 4.53 75.22 7.40 19.68 6 P2O5 Total SL-MU-TT-06 (HCl 25%) mg/100g 136.11 123.97 97.39 131.89

Kation-kation dapat ditukar

7 KTK SL-MU-TT-07 e (Ekstrak Penyangga NH

4OAc 1,0 N pH 7,0) cmol/kg 12.61 19.04 16.54 19.99

Keterangan :

- Contoh uji dihitung terhadap contoh kering 1050C - cmol/kg  me/100g


(6)

106

Lampiran 24. Nilai serapan hara N, P dan K pada plantling G. versteegii

M0 F0 M0 F1 M0 F2 M1 F0 M1 F1 M1 F2 M2 F0 M2 F1 M2 F2 M3 F0 M3 F1 M3 F2

N Total 0.17 1.16 0.21 0.33 0.96 0.35 0.43 1.38 0.44 0.51 0.66 0.90

P Total 0.03 0.10 0.04 0.04 0.08 0.05 0.06 0.13 0.05 0.10 0.08 0.09

K Total 0.13 0.55 0.23 0.33 0.57 0.32 0.46 0.71 0.29 0.36 0.40 0.48

Lampiran 25. Hasil analisis jaringan plantling G. versteegii pada kombinasi perlakuan media tumbuh

No. Parameter

Pengujian Metoda Satuan

Nomor dan Kode Contoh

2716 2717 2718 2719 2720 2721 2722 2723 2724 2725 2726 2727 M0 F0 M0 F1 M0 F2 M1 F0 M1 F1 M1 F2 M2 F0 M2 F1 M2 F2 M3 F0 M3 F1 M3 F2 1

Biomasa (Bobot kering)

Oven 600C, 48 jam,

(Grafimetri) g 0.0655 0.1876 0.0437 0.0901 0.1886 0.0858 0.1292 0.3394 0.1136 0.1200 0.1385 0.1907 2 N Total (Kjeldahl) % 4.08 4.05 6.19 4.72 3.66 5.09 4.05 3.36 4.06 3.88 4.27 4.74 3 P Total

SL-MU-TT-14 (HNO3-HClO4, Spektrofotometri)

% 0.75 0.54 0.99 0.45 0.45 0.55 0.43 0.38 0.40 0.80 0.55 0.49

4 K Total

SL-MU-TT-14 (HNO3-HClO4, Flamefotometri)

% 3.58 2.95 3.35 3.70 3.01 3.75 3.54 2.09 2.55 2.96 2.88 2.54