Karakter Fisiologi Genotipe Hibrida pada Kondisi Cekaman Kekeringan

adalah berkurangnya kerapatan stomata. Selain itu, Kumar et al. 2006 melaporkan bahwa meningkatnya produksi bahan kering pada kondisi kekeringan terkait dengan pemeliharaan kadar air relatif daun yang tinggi pada pembungaan. Pengurangan bahan kering pada IR-20 pada cekaman kekeringan, karena terjadi pengurangan kadar air relatif daun. 200 400 600 800 1000 BI4 85 A BP 3 BI4 85 A BP 15 BI5 99 A BP 15 IR6 4 Lim bo to H ip a 7 K er apa ta n s tom at a mm -2 Pengairan normal Cekaman kekeringan Gambar 9 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kerapatan stomata Jongdee et al. 2002 menyatakan bahwa kemampuan memelihara status potensial air daun selama cekaman kekeringan nampaknya penting untuk stabilitas produksi pada lingkungan yang mengalami kekeringan. Venuprasad et al. 2011 melaporkan bahwa pemberian cekaman kekeringan yang lama yaitu 78 – 97 hari setelah tanam pada galur-galur padi Near Isogenic NILs menunjukkan terjadinya penurunan kadar air relatif daun. Penurunan kadar air relatif daun NILs peka menunjukkan kecenderungan penurunan yang tinggi dibanding NILs toleran, walaupun perbedaan ini tidak nyata secara statistik. Pada 97 hari setelah tanam kadar air relatif nyata lebih tinggi pada galur toleran dibanding galur peka IR77298-14-1-2-B. Sama dengan hasil penelitian ini, penelitian pada tanaman kacang tunggak menunjukkan kultivar toleran dapat mempertahankan kadar air relatif daun lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar peka kekeringan Gunes et al. 2008; Jain dan Chattopadhyay 2010. 65 70 75 80 85 90 BI4 85 A BP 3 BI5 99 A BP 15 IR6 4 Lim bo to H ip a 7 K A RD Pengairan normal Cekaman kekeringan Gambar 10 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kadar air relatif daun B.2. Klorofil Akibat cekaman kekeringan kandungan klorofil daun pada genotipe hibrida dan varietas cek menunjukkan penurunan kecuali pada varietas Limboto Gambar 11. Banyak peneliti telah melaporkan bahwa cekaman kekeringan dapat menyebabkan terganggunya aktivitas fotosistem II, akibat penurunan kandungan klorofil Pieters dan Souki 2005. Defisit air secara nyata mengurangi laju fotosintesis daun bendera selama pengisian biji. Degradasi kandungan klorofil juga berkaitan dengan proses senesen. Cekaman kekeringan pada genotipe toleran dapat mempercepat laju senesen. Yang et al. 2003 menyatakan bahwa pada kondisi pengairan yang baik, kandungan klorofil daun bendera menurun secara perlahan dengan menuanya daun. Laju penurunan meningkat setelah tanaman terekspos pada defisit air. Defisit air yang meningkat menyebabkan peningkatan penuaan daun. Induksi senesen yang terjadi lebih awal akibat defisit air mungkin berhubungan dengan reduksi serapan N dari tanah dan meningkatnya sintesis ABA Davies dan Zhang 1991. Penurunan fotosintesis akibat defisit air berhubungan dengan senesen lebih awal dan menurunnya kandungan klorofil Siddique et al. 1999. Izanloo et al. 2008 melaporkan bahwa pada kondisi defisit air kultivar gandum toleran kekeringan RAC875 menunjukkan daun yang lebih tebal, luas daun bendera yang lebih kecil dan kadar klorofil lebih tinggi dibandingkan dengan Kurki dan Excalibur. Kandungan klorofil yang tinggi pada RAC875 mungkin refleksi ketebalan daun pada kultivar tersebut. Daun yang tebal akan memiliki kerapatan kloroplas yang lebih tinggi per satuan luas dan karena itu kadar klorofil tinggi per satuan luas daun. Varietas cek Limboto diduga memiliki strategi seperti ini daun yang tebal, sehingga kandungan klorofil daun tetap tinggi pada akhir cekaman kekeringan. 2.935 3.947 3.328 2.789 3.174 3.720 2.832 3.734 3.379 4.178 1.072 1.464 1.227 1.030 1.204 1.399 1.060 1.369 1.211 1.492 1 2 3 4 5 6 BI4 85 A BP 3 k on tro l K ek er in gan BI5 99 A BP 15 k on tro l K ek er in gan IR6 4 k on tro l K ek er in gan Lim bo to k on tro l K ek er in gan H ip a 7 kon trol K ek er in gan K lor of il mg g -1 Klorofil a Klorofil b Gambar 11 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap kandungan klorofil B.3. Karbohidrat Total Kandungan karbohidrat pada batang, pelepah dan daun genotipe padi hibrida lebih rendah akibat cekaman kekeringan, sedangkan pada akar cenderung lebih tinggi dibanding tanpa cekaman kekeringan kontrol. Kandungan karbohidrat daun genotipe BI485ABP3 dan BI599ABP15 pada kondisi cekaman kekeringan lebih rendah dibanding kontrol berturut-turut 82.89 dan 79.75 mg g -1 , sedangkan kontrol berturut-turut 86.80 dan 96.83 mg g -1 . Sama halnya dengan kandungan karbohidrat daun pada varietas IR64, Limboto dan Hipa 7, juga cenderung rendah pada kondisi cekaman kekeringan tetapi lebih tinggi dibanding genotipe BI485ABP3 dan BI599ABP15 berturut-turut 113.08, 106.89 dan 119.63 mg g -1 , dibanding kontrol. Kandungan karbohidrat daun varietas IR64, Limboto dan Hipa 7 pada kontrol berturut-turut 130.02, 116.37, 134.09 mg g -1 . Sementara itu akibat cekaman kekeringan, karbohidrat pelepah dan batang genotipe hibrida terutama BI599ABP15 mengalami penurunan yang sangat tinggi dibanding kontrol yaitu berturut-turut 53.9 dan 56.7 persen. Kandungan karbohidrat batang genotipe BI599ABP15 pada kondisi cekaman kekeringan juga lebih rendah 84.85 mg g -1 bila dibanding kandungan karbohidrat batang pada genotipe BI485ABP3 109.22 mg, varietas cek IR-64 125.09 mg g -1 , Limboto 146.53 mg g -1 dan Hipa 7 149.07 mg g -1 . Kandungan karbohidrat akar baik pada genotipe hibrida maupun varietas cek akibat cekaman kekeringan, cenderung lebih tinggi dibanding kontrol. Genotipe BI485ABP3, BI485ABP15, varietas IR-64, Limboto dan Hipa 7 akibat cekaman kekeringan memiliki kandungan karbohidrat akar berturut-turut 102.55, 111.18, 101.20, 105.19 dan 106.25 mg g -1 , sedangkan pada kontrol memiliki kandungan karbohidrat akar berturut-turut 88.60, 104.93, 85.02, 105.18, dan 100.55 mg g -1 Gambar 12. Gambar 12 Pengaruh cekaman kekeringan di lahan sawah terhadap karbohidrat non struktural 171.76 195.86 159.03 150.37 178.13 109.22 84.85 125.09 146.53 149.07 50 100 150 200 250 300 BI4 85 A BP 3 BI5 99 A BP 15 IR6 4 Lim bo to H ip a 7 K a rbohi dr a t m g gl ukos a g bk -1 104.93 85.02 105.18 100.55 88.60 102.55 111.84 101.20 105.19 106.25 50 100 150 200 250 300 BI4 85 A BP 3 BI5 99 A BP 15 IR6 4 Lim bo to H ip a 7 Akar Batang 86.80 96.83 130.02 116.37 134.09 119.63 113.08 79.75 82.89 106.89 50 100 150 200 250 300 K a rb o h id ra t m g g lu k o sa g b k -1 154.02 292.70 115.34 118.16 119.66 134.88 89.80 115.38 99.20 80.86 50 100 150 200 250 300 Pengairan normal Cekaman kekeringan Daun Pelepah Kandungan karbohidrat yang lebih rendah baik pada batang, pelepah dan daun pada kondisi cekaman kekeringan disebabkan oleh karena realokasi asimilat pra-antesis yang cepat dari daun dan batang ke biji selama fase pengisian biji. Yang et al. 2003 menyatakan bahwa defisit air selama pengisian biji pada padi menginduksi senesen lebih awal, penurunan fotosintesis, meningkatnya remobilisasi cadangan C pra-simpan dari batang ke biji dan memperpendek periode waktu pengisian biji serta memperbaiki produksi biji. Pada saat dimulainya penghentian pengairan 9 hari setelah antesis sekitar 75 14 C ditemukan di batang, dan sekitar 8 di biji. Setelah 24 hari penghentian pengairan 33 hari setelah antesis, 14 C pada batang berkurang menjadi 35-37 pada kekeringan moderat, 17-19 pada kekeringan parah dan 52-58 pada kondisi pengairan yang baik. Namun sebaliknya 14 Tingginya karbohidrat pada akar, merupakan respon tanaman untuk pertumbuhan akar menembus hardpan pada kondisi cekaman kekeringan. Asch et al. 2004 melaporkan bahwa proporsi total bahan kering yang dialokasikan ke bagian akar atau pucuk tergantung pada laju menurunnya kekeringan tanah. Lebih lanjut Gregory et al. 1996 menyatakan bahwa alokasi asimilat pada akar adalah tinggi pada awal fase vegetatif tetapi menurun dengan nyata pada pembungaan C pada biji meningkat 45-46 pada perlakuan kekeringan moderat, 62-66 pada kekeringan parah, dan hanya 19- 22 pada pengairan yang baik pada 33 hari setelah antesis. Rata-rata laju pengisian biji pada tanaman yang mengalami kekeringan moderat dan kekeringan parah, meningkat 17-20 dan 36-39. Yang et al. 2002 menyatakan bahwa remobilisasi dan senesen adalah proses yang terjadi bersamaan pada padi. Proses tersebut dipercepat oleh cekaman kekeringan yang terjadi selama pengisian biji dan kemungkinan berhubungan dengan level ABA yang tinggi, meningkatnya aktivitas α-amilase, dan aktivasi yang tinggi dari sukrosa-fosfat sintase pada tanaman padi. Yang et al. 2003 menyatakan bahwa percepatan daun senesen berkorelasi dengan persentase pengisian biji yang tinggi dan produksi tinggi, pada galur padi tipe baru. Dwyer et al. 1995 telah mengamati pada jagung bahwa realokasi cepat karbohidrat dari batang ke biji menyebabkan bobot biji yang tinggi, dibanding pada jagung dengan karakter ”stay green”. dan hampir tidak berarti pada antesis. Kawata dan Soejima 1974 menunjukkan bahwa produksi akar setelah pembungaan memainkan peranan penting pada periode pengisian biji. Simpulan 7. Terdapat perbedaan respon antar genotipe hibrida akibat perlakuan cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan secara nyata menurunkan panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, bobot gabah per rumpun dan hasil gabah per hektar. 8. Genotipe BI485ABP12, BI485ABP15 dan BI559ABP15 terpilih sebagai genotipe toleran kekeringan dan potensial dikembangkan di lahan sawah tadah hujan, karena pada kondisi cekaman kekeringan: a. Penurunan panjang akar yang relatif lebih kecil 17.6 – 26.9 persen dibanding dengan varietas cek peka IR64 33.6 persen. b. Menghasilkan bobot gabah per rumpun, indeks panen dan daya hasil gabah per hektar yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe lainnya. Selain itu memiliki umur panen lebih cepat, periode pengisian biji yang pendek serta memiliki indeks toleransi ≥80 persen dan indeks kepekaan terhadap kekeringan ≤0.50. c. Mampu menghasilkan gabah masing-masing sebesar 2.82, 2.58 dan 2.72 ton ha -1 , yang relatif sama dengan Limboto yaitu 2.73 ton ha. Hipa 7 hanya menghasilkan 2.04 ton dan IR64 hanya mampu menghasilkan 1.42 ton gabah ha -1 d. Bobot gabah per rumpun genotipe tersebut hanya menurun masing-masing sebesar 9.5, 16.1 dan 15.6 persen, sedangkan IR64 mencapai 52.7 persen. . 9. Genotipe toleran kekeringan yang diwakili oleh BI599BP15 pada kondisi cekaman kekeringan memiliki kerapatan stomata yang lebih rendah, tetap mempertahankan kadar air relatif daun yang tinggi serta kandungan karbohidrat non struktural yang lebih rendah pada batang, pelepah dan daun dibanding genotipe hibrida yang peka BI485BP3 dan varietas cek peka IR64. UJI DAYA HASIL PENDAHULUAN UDHP GENOTIPE PADI HIBRIDA Preliminary Yield Trial of Hybrid Rice Genotypes Abstrak Penelitian bertujuan mengetahui daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan di lahan sawah irigasi dan saat mengalami kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Penelitian ini dilakukan: i di lahan sawah irigasi Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi, pada bulan November 2011 sampai Februari 2012 dan ii di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Indramayu, pada bulan April sampai Juli 2012. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan 3 ulangan. Sebanyak 8 genotipe padi hibrida BI485ABP3, BI485ABP5, BI485ABP10, BI485ABP12, BI485ABP15, BI599ABP5, BI599ABP15 dan BI665ABP6 dan 2 varietas cek Hipa 7 dan Ciherang digunakan pada percobaan di lahan sawah irigasi, 4 genotipe hibrida BI485ABP3, BI485ABP12, BI485ABP15 dan BI599ABP15 dan 3 varietas cek Hipa 7, IR64 dan Limboto digunakan pada percobaan di lahan sawah tadah hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe BI485ABP12, BI485ABP15 dan BI559ABP15 yang diuji di lahan sawah irigasi, menyamai daya hasil varietas unggul Ciherang yaitu berturut-turut 5.63, 6.87 dan 6.30 ton gabah ha -1 . Genotipe BI599ABP15 yang diuji di lahan sawah tadah hujan pada tingkat kekeringan parah mampu menghasilkan gabah 0.90 ton ha -1 , sedangkan Hipa 7 varietas hibrida yang sudah dilepas untuk lahan sawah tadah hujan dan Limboto varietas cek toleran kekeringan hanya menghasilkan masing-masing 0.34 dan 0.29 ton ha -1 . Kata kunci: daya hasil, padi hibrida, sawah irigasi, sawah tadah hujan Abstract Two experiments were conducted at: i irrigated lowland, village of Bojong, sub district Cikembar, Sukabumi, from November 2011 until February 2012, and ii rainfed lowland, village of Sanca, sub district Gantar, Indramayu, from April until July 2012. The objective of the experiment was to determine yield of hybrid rice genotypes tolerant to drought. A randomized block design with three replications was used. The treatment consisted of 8 hybrid rice genotypes BI485ABP3, BI485ABP5, BI485ABP10, BI485ABP12, BI485ABP15, BI599ABP5, BI599ABP15 and BI665ABP6 and 2 checks varieties Hipa 7 and Ciherang for experiment in lowland irrigated, 4 hybrid genotypes BI485ABP3, BI485ABP12, BI485ABP15 and BI599ABP15 and 3 check varieties Hipa 7, IR64 and Limboto for experiment in rainfed lowland. The yield of genotype BI485ABP12, BI485ABP15 and BI559ABP15 under irrigated lowland, showed non significant with Ciherang and Hipa 7 check varieties, i.e 5.63, 6.87 and 6.30 ton grain ha -1 , respectively. BI599ABP15 genotype under severe drought rainfed lowland yielded 0.90 ton grain ha -1 , whereas Hipa 7 hybrid variety, suitable for rainfed lowland and Limboto check of drought tolerant variety reached 0.34 and 0.29 ton grain ha -1 , respectively. Keywords: yelded, hybrid rice, irrigated lowland, rainfed lowland Pendahuluan Padi hibrida merupakan teknologi alternatif dalam upaya meningkatkan produktivitas padi. Penelitian di beberapa negara tropis menunjukkan padi hibrida mempunyai keunggulan hasil lebih dari satu ton per hektar dibanding padi inbrida Virmani dan Kumar 2004. Salah satu komponen yang menunjang keberhasilan pengembangan padi hibrida adalah tersedianya varietas unggul yang mempunyai heterosis tinggi, yang mampu meningkatkan potensi hasil sebesar 15-20. Pengujian daya hasil padi hibrida sejak tahun 1982 hingga 2011 menunjukkan keunggulan dibanding padi inbrida dalam hal produktivitas gabah kering dan umur Suprihatno 1989; Villa et al. 2011. Penelitian padi hibrida terus dilakukan untuk meningkatkan produksi padi yaitu dengan perakitan padi hibrida berpotensi hasil tinggi dan umur genjah serta toleran kekeringan untuk lahan marjinal seperti lahan sawah tadah hujan. Perakitan dengan metode pemuliaan tanaman untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas yang tinggi belum cukup untuk dinilai sebagai kultivar. Hal tersebut dikarenakan genotipe-genotipe padi harus mampu beradaptasi dan stabil pada suatu lokasi atau berbagai lokasi pada berbagai musim, sehingga dapat menilai suatu genotipe dapat dilepas sebagai suatu kultivar unggul. Nilai kestabilan pada genotipe- genotipe padi harus tinggi karena mencerminkan kondisi genetik pada padi yang homogenitasnya tinggi dan konsisten di berbagai lokasi atau lingkungan tumbuh yang berbeda. Pentingnya sifat kestabilan dan daya adaptasi suatu genotipe padi, menjadikannya sebagai syarat untuk pelepasan kultivar Harsanti et al. 2003. Genotipe padi hibrida yang potensial untuk dikembangkan di lahan sawah tadah hujan, telah diidentifikasi melalui serangkaian pengujian pada lingkungan terkendali. Pengujian dengan menggunakan PEG 6000 dan cekaman kekeringan di pot serta simulasi di lapangan, telah berhasil mengidentifikasi beberapa genotipe padi hibrida toleran kekeringan yaitu genotipe BI485ABP12, BI485ABP15 dan BI559ABP15. Genotipe tersebut perlu diuji pada kondisi in- situ uji lapangan untuk mendapatkan genotipe dengan sifat-sifat padi hibrida berdaya hasil tinggi, baik pada lingkungan tumbuh yang optimal maupun sub optimal. Pengujian di lahan sawah tadah hujan dan sawah irigasi diperlukan agar karakter-karakter yang baik dapat diekspresikan sesuai kondisi lingkungan tumbuhnya, sehingga seleksi dapat dilakukan pada genotipe berpotensi hasil tinggi. Penampilan relatif dari berbagai genotipe biasanya bervariasi pada lingkungan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara genotipe dengan lingkungan, sehingga menyulitkan untuk mengidentifikasi genotipe yang ideal. Adaptabilitas merupakan kemampuan tanaman untuk tetap menghasilkan pada berbagai lingkungan, karena itu hasil adalah suatu kriteria penting untuk mengevaluasi daya adaptasi Nor dan Cady 1979. Pengujian pada skala kecil diharapkan dapat memberikan informasi daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan dan berpotensi dikembangkan di lahan sawah tadah hujan dalam skala yang lebih luas. Penelitian bertujuan untuk mengetahui daya hasil pendahuluan genotipe padi hibrida toleran kekeringan di lahan sawah irigasi dan saat mengalami kekeringan di lahan sawah tadah hujan. Bahan dan Metode A. Uji Daya Hasil Pendahuluan UDHP di Lahan Sawah Irigasi Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Februari 2012, di lahan sawah irigasi Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Iklim di lokasi penelitian termasuk beriklim sedang dengan suhu rata- rata 18-32 °C dan curah hujan berkisar 1 200 – 2 200 mm tahun -1 Penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah dua kali, untuk pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak percobaan setiap unit perlakuan . Metode Penelitian Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok 3 ulangan dan genotipe varietas yang diuji terdiri atas 8 genotipe padi hibrida yaitu BI485ABP3, BI485ABP5, BI485ABP10, BI485ABP12, BI485ABP15, BI599ABP5, BI599ABP15, BI665ABP6, dan 2 varietas cek yaitu Ciherang dan Hipa 7. Pelaksanaan Percobaan 2.0 m x 1.5 m, dengan jarak antar perlakuan 50 cm, dan antar kelompok 100 cm. Bibit hasil persemaian dipindahtanam setelah berumur 21 hari, bibit ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1 bibit per lubang. Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP-36 125 kg, dan KCl 100 kg per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal, sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam. Sistem pengairan merupakan irigasi non teknis dan pengairan tanaman dilakukan sesuai dengan karakter sawah yang digunakan. Pengairan dipertahankan dalam kondisi optimal selama fase pertumbuhan hingga panen. Tinggi air pada petakan disesuaikan fase pertumbuhan tanaman. Pengamatan dilakukan pada lima rumpun tanaman sampel. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi, jumlah gabah total, persentase gabah hampa, bobot 1 000 butir, bobot gabah per rumpun, umur berbunga 50 dan umur panen 85 menguning. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5 dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1.

B. UDHP di Lahan Sawah Tadah Hujan Waktu dan Tempat

Percobaan dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012, di lahan sawah tadah hujan Desa Sanca, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Iklim di lokasi penelitian termasuk beriklim panas dengan suhu rata-rata 32 - 35 °C dan curah hujan berkisar 1 000 – 2 400 mm tahun -1 Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok 3 ulangan dan genotipevarietas yang diuji terdiri atas 4 genotipe padi hibrida yaitu BI485ABP3 kategori peka kekeringan, BI485ABP12, BI485ABP15 dan BI599ABP15 . Metode Penelitian kategori toleran kekeringan, dan 1 varietas hibrida yaitu Hipa 7 varietas yang sudah dilepas sesuai untuk lahan sawah tadah hujan, serta 2 varietas inbrida yaitu IR-64 cek peka kekeringan dan Limboto cek toleran kekeringan. Pelaksanaan Percobaan Diambil sampel tanah untuk dianalisis sifat fisik dan kimia antara lain penetapan kadar air tanah pada kapasitas lapangan pF 2.54 dan titik layu permanen pF 4.20 berdasarkan metode pressure platemembrane apparatus Sudirman et al. 2006. Selain itu dilakukan analisis tekstur, kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation dan kadar NPK Lampiran 7. Penyiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah dua kali, untuk pelumpuran tanah yang baik. Ukuran petak percobaan setiap unit perlakuan 3.00 m x 1.75 m, dengan jarak antar perlakuan 50 cm, dan antar kelompok 100 cm. Bibit hasil persemaian dipindahtanam setelah berumur 21 hari, bibit ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, 1 bibit per lubang. Pemupukan dilakukan dengan Urea 300 kg, SP-36 125 kg, dan KCl 100 kg per hektar. Seluruh pupuk SP-36 dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea diberikan tiga kali, masing-masing pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara optimal, sedangkan penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan landak dan cara manual pada saat tanaman berumur tiga dan lima minggu setelah tanam. Sistem pengairan bersumber dari air hujan, karena itu dilakukan pencatatan terhadap curah hujan dan kondisi kadar air tanah selama penelitian berlangsung. Dua buah penangkar curah hujan dipasang di lokasi penelitian. Pengukuran terhadap kadar air tanah di lapangan dilakukan dengan pendekatan bobot tanah kering oven. Pengamatan dilakukan pada lima rumpun tanaman sampel. Peubah yang diamati adalah tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan produktif, bobot kering tanaman bagian atas biomasa, umur berbunga 50, panjang malai, jumlah gabah total, persentase gabah isi dan bobot gabah per rumpun. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam uji F sesuai rancangan yang digunakan. Jika sidik ragam menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5 dilanjutkan dengan uji DMRT menggunakan fasilitas uji SAS 9.1. Hasil dan Pembahasan A. UDHP di Lahan Sawah Irigasi A.1. Curah Hujan Komponen iklim yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman padi antara lain adalah curah hujan. Jumlah, distribusi dan frekuensi hujan yang tidak sesuai selama musim tanam padi, mempengaruhi pertumbuhan dan hasil. Tanaman padi sawah sering mengalami kekeringan akibat pasokan air yang terbatas. Curah hujan yang memadai penting untuk memenuhi kebutuhan air tanaman selama fase pertumbuhan terutama pada periode-periode kritis tanaman. Distribusi dan frekuensi hujan selama percobaan musim tanam Oktober 2011– Februari 2012 disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 8. Distribusi dan frekuensi curah hujan selama fase pertumbuhan tanaman padi cukup baik, yang memenuhi standar kebutuhan air untuk padi sawah yaitu 200 mmbulan Fagi dan Las 1998. Keadaan curah hujan baik dari aspek jumlah maupun sebaran selama fase pertumbuhan maupun pematangan adalah berada pada tingkat ketersediaan air yang ideal sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan pencapaian hasil maksimal padi hibrida. Tabel 26 Distribusi dan frekuensi hujan selama penanaman padi hibrida di lahan sawah irigasi, Desa Bojong, Kecamatan Cikembar, Sukabumi BulanTahun a Curah hujan mm Frekuensi hujan hari Oktober 2011 96.3 11.0 November 2011 207.9 23.0 Desember 2011 284.4 21.0 Januari 2012 499.0 26.0 Februari 2012 383.4 18.0 Keterangan: a Curah hujan yang ada, jika disesuaikan dengan kebutuhan air untuk tanaman padi sawah, maka ketersediaan air di lokasi percobaan ini, tidak menjadi masalah. = Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Observatori Geofisika Pelabuhan Ratu, Sukabumi.