53
Tabel 9 Prevalensi jumlah sampel yang mengandung cemaran mikroba melebihi batas SNI 01 – 6366 – 2000
Asal N
Pengujian TPC
E. coli S. aureus
Salmonella Jakarta
16
62.5 31.3
87.5
Bekasi 11
63.6 27.3
54.5
Bogor 8
100 12.5
62.5
Serang 18
94.4 27.8
100 11.1
Rata-Rata 80.125
24.725 76.125
2.775
Prevalensi sampel daging ayam beku asal daerah Jakarta, Bekasi, Bogor dan Serang dengan cemaran E. coli melebihi batas standar yang diperbolehkan berdasar
SNI 01-6366-2000 berturut-turut masing-masing sebesar 31.3 ; 27.3 ; 12.5 dan 27.8.
Seratus persen sampel daging ayam beku yang berasal dari Serang memiliki cemaran S. aureus melebihi batas yang diperbolehkan berdasar SNI 01-6366-2000.
Kemudian diikuti sampel daging ayam beku yang berasal dari daerah Jakarta sebesar 87.55, dari Bogor sebesar 62.5 dan dari Bekasi sebesar 54.5. Sementara
sampel daging ayam beku yang tercemar Salmonella hanya berasal dari daerah Serang yaitu sebesar 11.1.
Gambar 5 menunjukkan prevalensi jumlah sampel daging ayam beku yang mengandung cemaran mikroba melebihi batas SNI 01-6366-2000 berdasarkan daerah
asal.
54
Gambar 5 Prevalensi jumlah sampel daging ayam beku yang mengandung cemaran mikroba melebihi batas SNI 01 – 6366 - 2000
Pengujian makanan yang kita konsumsi terhadap keberadaan cemaran mikroba sangat penting, karena banyak kasus keracunan akibat mengkonsumsi bahan makanan
yang tercemar mikroba penyebab penyakit. Menurut Kozacinski et al. 2006, jumlah total kuman yang ditemukan pada daging ayam adalah selalu tinggi, hal ini
mengakibatkan tingginya resiko pembusukan yang menyebabkan pangan tidak layak dikonsumsi. Sebuah penelitian yang dilakukan di Malang menunjukkan jumlah
bakteri pada daging ayam yang dijual di Pasar Dinoyo adalah 2.35x 10
9
kolonigram, sedangkan jumlah bakteri pada daging ayam yang dijual di Pasar Besar Malang
adalah 36,4 x 10
6
kolonigram Wahyudi 2004. Kozacinski et al. 2006 dalam penelitiannya mengenai kualitas mikrobiologis
daging ayam di Kroasia menyebutkan bahwa jumlah total kuman TPC yang ditemukan pada potongan daging ayam berkisar antara 2.30-5.41 x 10
10
cfug, lebih tinggi pada fillets yang berkisar antara 4.72 ± 0.38 x 10
10
cfug dan lebih rendah pada dada ayam dengan kulit yaitu sebesar 3.67 ± 0.88 x 10
10
cfug. Kim et al. 2003 pada penelitiannya menyatakan bahwa dari 165 sampel daging ayam yang diteliti,
55
jumlah total kuman yang 10
2
cfug sebanyak 18.2, 10
3
-10
4
cfug sebanyak 59.4 dan 10
4
–10
5
cfug sebanyak 22.4. Menurut Nugroho 2004, tahap-tahap yang berpotensi terjadinya pencemaran
silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di RPA dapat terjadi pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu,
pengeluaran jerohan, pendinginan, grading serta pemotongan. Dalam bidang mikrobiologi pangan dikenal istilah bakteri indikator sanitasi.
Bakteri indikator sanitasi adalah bakteri yang keberadaannya dalam pangan menunjukkan bahwa pangan tersebut pernah tercemar oleh kotoran manusia atau
hewan, karena bakteri-bakteri tersebut umumnya adalah bakteri yang lazim hidup pada usus manusia dan hewan. Bakteri yang paling banyak digunakan sebagai
indikator sanitasi adalah E. coli karena bakteri ini adalah bakteri komensal pada usus manusia dan hewan dan umumnya bukan patogen. E. coli adalah bakteri Gram
negatif berbentuk batang, tidak membentuk spora dan merupakan flora normal di usus. Meskipun demikian, beberapa jenis E. coli dapat bersifat patogen, yaitu
serotipe E. coli Enteropatogenik, E. coli Enteroinvasif, E. coli Enterotoksigenik dan E. coli Enterohemoragik.
Menurut Sudarwanto 2007, E. coli selalu diperiksa dalam bidang higiene pangan karena E. coli merupakan mikroorganisme yang keberadaannya dalam
makanan menjadi parameter penanganan yang tidak higienis. Hasil pengujian sampel daging ayam beku yang dilalulintaskan melalui
Pelabuhan Penyeberangan Merak terhadap cemaran S. aureus tidak jauh berbeda dengan penelitian Harmayani et al. 1996 dalam Djaafar dan Rahayu 2007 yang
menyebutkan daging ayam mentah yang digunakan sebagai bahan sate pada suatu industri jasa boga telah tercemar S. aureus sebanyak 1.60 x 10
6
cfug. Selain itu, Kozacinski et al. 2006 dalam penelitiannya mengenai kualitas mikrobiologis daging
ayam di Kroasia menemukan prevalensi S. aureus sebesar 30.30. S. aureus merupakan bakteri yang selalu ada di mana-mana seperti udara, debu,
air, susu, makanan dan peralatan makan, tubuh manusia dan hewan seperti kulit, rambutbulu, bahkan di dalam saluran pernafasan individu sehat Stehulak 1998.
56
Kejadian kontaminasi S. aureus pada pangan asal hewan sangat memungkinkan, mengingat bakteri agen penyakit ini dijumpai di mana-mana. Menurut Soejoedono
1997, pada manusia S. aureus dijumpai pada permukaan kulit, saluran pencernaan maupun saluran pernafasan. Sudarwanto 2007 juga menyatakan bahwa sumber S.
aureus terbanyak adalah dari manusia karena 50 dari jumlah orang sehat mengandung S. aureus pada rongga hidung.
Adanya sejumlah besar S. aureus dalam produk makanan mengindikasikan jeleknya penanganan dan sanitasi Anonim 2001. Pencemaran S. aureus pada daging
ayam dapat terjadi pada berbagai tahap pemrosesan. Sebelum ayam disembelih, maka S. aureus terdapat pada permukaan kaki, bulu dan kulit yang merupakan bagian tubuh
yang kontak dengan tanah, debu dan feses. Selain itu S. aureus juga ditemukan pada berbagai lokasi saluran pernafasan ayam hidup. Tahap-tahap yang berpotensi
terjadinya kontaminasi S. aureus adalah pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jeroan dan
pendinginan Bailey et al. 1987. Pada tahap scalding, Staphylococcus dapat diisolasi agak sering dari air untuk
scalding maupun karkasnya walaupun dalam jumlah sedikit. Namun demikian pada tahap scalding peluang pencemaran silang lebih kecil kejadiannya dibandingkan
tahap tahap berikutnya seperti pencabutan bulu, pengeluaran jerohan dan tangki pendinginan. Selain itu, pencemaran Staphylococcus dapat pula terjadi pada tahap
pengolahanpemasakan. Pencemaran pada tahap ini dapat terjadi pada saat pemotongan, deboning, penggilingan, atau penanganan lain oleh peralatan maupun
operator yang menjadi sumber pencemar Nugroho 2004. S. aureus memproduksi toksin yang disebut enterotoksin karena menimbulkan
radang lambung usus gastroenteritis. Bakteri S. aureus mudah mati oleh panas 66 C dalam 12 menit. Namun penghancuran enterotoksinnya memerlukan panas yang
tinggi, pada 120 C selama 30 menit Forrest et al. 1975. Batas minimal jumlah
toksin S. aureus yang dapat menyebabkan keracunan atau penyakit pada manusia adalah 1µ g FDA 2008. Untuk membentuk toksin yang dapat meracuni bahan
makanan diperlukan minimal 10
6
kumang makanan Sudarwanto 2007.
57
Ditemukannya Salmonella pada sampel daging ayam beku yang berasal dari Serang dapat terjadi melalui 2 jalur, yang pertama merupakan kontaminasi primer
yang berasal dari hewan potong terinfeksi intravital. Sementara yang kedua adalah kontaminasi sekunder melalui tangan pekerja, peralatan, air maupun limbah cair.
Dosis minimal infeksi Salmonella adalah sebesar 10
5
– 10
6
sel hidupg makanan Sudarwanto 2007.
Beberapa penelitian terhadap cemaran Salmonella pada daging ayam juga telah dilakukan di beberapa negara. Sebuah penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui prevalensi Salmonella pada daging ayam yang dijual di Hanoi yang
dilakukan oleh Huong et al. 2006 menunjukkan bahwa dari 262 sampel yang diambil, 48.9 ditemukan terkontaminasi Salmonella. Selain itu Beli et al. 2001
menyebutkan bahwa Salmonella ditemukan pada 6.5 sampel daging ayam yang diperiksa selama kurun waktu 1996–1998 di Albania. Goncagul et al. 2005 dalam
penelitiannya yang mengambil tema tentang prevalensi Salmonella dalam daging ayam di Turki menyebutkan bahwa dari 315 sampel daging ayam diperoleh
prevalensi sebesar 18.09. Selain itu juga didapatkan prevalensi Salmonella sebesar 10.60 oleh Kozacinski et al. 2006 dalam penelitiannya mengenai kualitas
mikrobiologis daging ayam di Kroasia. Dari hasil penelitian-penelitian tersebut, prevalensi Salmonella dalam daging
ayam berkisar antara 6.5-48.9. Tingginya prevalensi Salmonella dalam daging ayam menyebabkan peluang terjadinya infeksi cukup tinggi.
Salmonella adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang bukan pembentuk spora yang terdiri lebih dari 2.500 serotipe yang semuanya diketahui bersifat patogen
baik pada manusia maupun pada hewan. Oleh karenanya Salmonella disebut zero tolerance organism in food Sunil et al. 2008. Salmonella adalah bakteri indikator
keamanan pangan. Artinya, karena semua serotipe Salmonella yang diketahui di dunia ini bersifat patogen, maka adanya bakteri ini di dalam makanan dianggap
membahayakan kesehatan manusia. Oleh karenanya SNI 01-6366-2000 mensyaratkan tidak adanya bakteri ini dalam daging ayam.
58
Hasil pengujian daging ayam beku yang dilalulintaskan melalui Pelabuhan Penyeberangan Merak menunjukkan bahwa sebagian besar mutu mikrobiologis
daging ayam di bawah standar SNI 01-6366-2000. Sehubungan dengan hal itu, hal- hal yang dapat dilakukan konsumen pada saat berbelanja adalah membeli daging pada
kios atau toko yang resmi, memilih daging yang berwarna cerah segar, tidak gelap, kehitaman, lembab dan tidak bau. Daging dipilih yang mempunyai kemasan utuh,
bersih dan berlabel, sebaiknya juga memilih daging yang disimpan pada lemari pendingin show case atau freezer. Selain itu, daging dibeli pada akhir berbelanja
dan segera dibawa ke rumah untuk langsung dimasakdiolah atau disimpan dalam freezer.
Konsumen juga diharapkan menyimpan daging pada suhu di bawah 4 C masa
simpan daging pada suhu -1 – 2 C selama 1- 2 hari, sedangkan daging beku bisa
disimpan pada suhu dibawah -18 C selama 6 bulan. Hal penting lainnya yang perlu
diperhatikan adalah
cuci tangan
sebelum menangani,
mempersiapkan, mengolahmemasak makanan. Menggunakan pakaian yang bersih apron untuk
menghindari pencemaran, menutup luka pada tangan dengan plester yang kedap air. Konsumen juga sebaiknya menghindari bersin dan batuk langsung di depan makanan,
mengusahakan ruang tempat mengolah makanan dapur bebas dari insekta dan rodensia lalat, kecoa, tikus serta menggunakan peralatan yang bersih untuk
menyimpan, mempersiapkan, mengolah dan memasak makanan. Sementara bagi produsen diharapkan dapat menerapkan prinsip – prinsip
Hazard Analysis Critical Control Point HACCP. Selain itu produsen juga bisa melakukan klorinasi sesuai dengan aturan yang diijinkan pada proses pencucian
karkas dengan tujuan mengurangi jumlah kuman yang terdapat dalam daging ayam.
Hubungan Tingkat Cemaran Mikroba dengan Kondisi Daging Ayam, Alat Angkut dan Profil Pengemudi
Untuk melihat keterkaitan antara tingkat cemaran mikroba dengan kondisi daging ayam, alat angkut dan profil pengemudi, dilakukan kategorisasi. Berdasarkan
kuisioner, didapatkan hasil yang yang seragam tentang kondisi daging ayam yaitu
59
mengenai kemasan, warna dan bau, demikian pula dengan suhu alat angkut, sehingga hanya digunakan peubah pendidikan, pengetahuan tentang higiene daging dan
kebersihan alat angkut yang dilihat hubungannya dengan tingkat cemaran mikroba TPC, E. coli, S. aureus dan Salmonella.