EFFECT OF LAND AND APPLICATION SYSTEM TOWARD BAGASSE MULCH SOIL RESPIRATION OF THE LAND CROPPING CANE (Saccharum officinarum L.) PT GUNUNG MADU PLANTATIONS (GMP) PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTA

(1)

ABSTRACT

EFFECT OF LAND AND APPLICATION SYSTEM TOWARD BAGASSE MULCH SOIL RESPIRATION OF THE LAND CROPPING

CANE (Saccharum officinarum L.)

PT GUNUNG MADU PLANTATIONS (GMP)

By

Budi Cahyono

PT Gunung Madu Plantations (GMP) sugar cane plantations has been conducted an intensive land management since 1975. In order to maintain product and sustainable soil fertility is necessary to maintanance land management, such as minimum tillage and the utilization of residual sugar factory as mulch, for example, is bagasse. Tillage systems and mulching bagasse treatment will affect the activity of soil

microorganisms that can be measured by soil respiration. Research was carried out since July 2010, soil respiration observations performed at 21 and 24 months after the first rotun, in April and July 2012. The study was designed as a split plot in a

randomized block design (RBD) with 5 replications. The main plot tillage system that consists of no-tillage (t0) and intensive tillage (t1). The subplots were bagasse mulch application, which consists of non-bagasse mulch (m0) and bagasse mulch 80 t ha-1 (m1). Before anova data were analyzed by Bartleet test and Tukey test at confidence level of 1% and 5%. Main values were analyzed by Least Significant Differences


(2)

Budi Cahyono

(LSD) at 1% and 5%. The results showed that tillage systems and bagasse mulch application did not significant by effect on soil respiration in both the morning and afternoon observation. The main values of soil respiration in the plant were in mulch and tillage, mulch and no tillage respectired. There were no correlation effect betwen soil respiration and soil organic-C, soil pH, soil temperature and soil moisture.


(3)

ABSTRAK

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU

(Saccharum officinarum L.) PT. GUNUNG MADU PLANTATIONS (GMP)

Oleh Budi Cahyono

Perkebunan tebu dan pabrik gula PT Gunung Madu Plantations (GMP) telah melakukan pengelolaan tanah secara intensif sejak tahun 1975. Untuk mempertahankan produksi dan kesuburan tanah perlu dilakukan pengelolaan tanah yang berkelanjutan, antara lain dengan sistem olah tanah minimum dan pemanfaatan sisa pabrik gula sebagai mulsa, contohnya adalah bagas. Perlakuan sistem olah tanah dan pemberian mulsa bagas akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme tanah yang dapat diukur dengan respirasi tanah.

Penelitian dilaksanakan sejak Juli 2010, pengamatan respirasi tanah dilakukan pada 21 dan 24 bulan setelah rotun pertama, yaitu pada bulan April dan Juli 2012. Penelitian ini dirancang secara split plot dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 kali ulangan. Petak utama yaitu sistem olah tanah yang terdiri dari dari tanpa olah tanah (t0) dan olah tanah intensif (t1). Anak petak adalah aplikasi mulsa bagas, yang terdiri dari tanpa mulsa bagas (m0) dan mulsa bagas 80 t ha-1 (m1). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam pada taraf 1% dan 5%,


(4)

Budi Cahyono

yang sebelumnya telah diuji homogenitas ragamnya dengan uji Bartlett dan aditivitasnya dengan uji Tukey, dan dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf 1% dan 5%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap respirasi tanah baik pada pagi dan sore hari. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa respirasi tanah tidak mempunyai korelasi dengan C-Organik tanah, pH tanah, suhu tanah dan kelembaban tanah.


(5)

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU

(Saccharum officinarum L.) PT. GUNUNG MADU PLANTATIONS (GMP)

Oleh

BUDI CAHYONO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

Judul Skripsi : PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP

RESPIRASI TANAH PADA LAHAN

PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) PT. GUNUNG MADU PLANTATIONS

Nama Mahasiswa : Budi Cahyono No. Pokok Mahasiswa : 0814013099

Jurusan : Agroteknologi

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI I. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.S., M.Agr.Sc. NIP 196305081988112001 NIP 196305091987032001

2. Ketua Jurusan Agroteknologi

Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. NIP 196411181989021002


(7)

MENSAHKAN

I. TIM PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si. __________

Sekretaris : Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.S., M.Agr.Sc. __________

Penguji

Bukan Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc. __________

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ganjar Asri 14/III, Kecamatan Metro Barat, Kota Metro pada tanggal 12 Maret 1989. Penulis adalah anak ke sembilan dari sebelas bersaudara dari pasangan Bapak Sapar dan Ibu Gemi.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 9 Metro Barat, Kota Metro pada tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di SMPN 3 Metro, Kota Metro dan diselesaikan pada tahun 2005. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di MAN 2 Metro, Kota Metro pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan

Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Gedung Jaya,

Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan pada bulan Juli-Agustus 2011. Penulis juga melaksanakan Praktik Umum di PT. Great Giant Pineapple

Terbanggi Besar, Lampung Tengah pada bulan Januari-Februari 2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah mengikuti kegiatan keorganisasian fakultas, yaitu Forum Studi Islam (FOSI) sebagai anggota Biro Baca Qur’an (BBQ).


(9)

(10)

i

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Sistem Olah Tanah dan Aplikasi Mulsa Bagas terhadap Respirasi Tanah Pada Lahan Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.)

PT. Gunung Madu Plantations (GMP)”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku pembimbing pertama yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan berupa ilmu pengetahuan dan mau bersabar membimbing penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M.S., M.Agr.Sc., selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan ilmu kepada penulis selama melaksanakan penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc., selaku penguji, atas kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(11)

5. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Kepala Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, M.Sc., selaku pembimbing akademik, atas semua bimbingan, nasehat, dan motivasi yang telah diberikan.

7. PT. Gunung Madu Plantations yang memberikan tempat untuk penelitian. 8. Bapak dan Ibuku yang telah pulang ke pangkuan Allah SWT., yang telah

mendidik penulis sehingga penulis menjadi dewasa.

9. Kakak-kakakku Warsini, Sunaryo, Supriyanto, Kusnandar, Teguh Budi Santoso, Minar Subowo, Winarno, Sugeng Wijatmoko, dan adik-adikku Febrisa Wulandari dan Nifas Tri Lestari.

10. Kakak-kakak ipar dan keponakan-keponakanku yang tidak disebutkan satu persatu.

11. Seluruh dosen dan karyawan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

12. Teman-teman Jurusan Agroteknologi angkatan 2007, 2008, 2009 dan 2010 yang tidak disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

13. LSW Community Wastudiawan, Asep, Sujarman, Dwi Apri, Aris, Andika, Yogi, dan Toni, semoga persahabatan kita akan terus terjalin.

Semoga karya yang penulis ciptakan ini dapat berguna bagi kita semua dan sebagai tanda pengabdian kepada almamater tercinta. Amiin ya robbalalamin. Bandar Lampung, Maret 2013

Penulis


(12)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2Tujuan Penelitian . ... 4

1.3Kerangka Pemikiran ... 5

1.4Hipotesis . ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1Sistem Olah tanah ... 11

2.2Hasil Samping Pabrik Gula ... 14

2.3Tanaman tebu ... 16

2.4Respirasi Tanah ... 18

2.5Pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Terhadap Respirasi Tanah ... 20

III. METODE PENELITIAN ... 21

3.1Tempat dan Waktu Penelitian ... 21

3.2Bahan dan Alat ... 21

3.3Metode Penelitian ... 22

3.4Pelaksanaan Penelitian ... 22

3.5Variabel Pengamatan ... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28


(13)

4.2 Uji Korelasi Respirasi Tanah dengan C-organik Tanah,

pH Tanah, Suhu Tanah dan Kelembaban Tanah ... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

PUSTAKA ACUAN ... 36


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan permasalahan akibat pengolahan tanah jangka panjang. ... 6 2. Bagan solusi perbaikan tanah terdegradasi di PT GMP. ... 8 3. Sejarah Pertanaman tebu yang digunakan dalam penelitian. ... 23 4. Respirasi tanah pada lahan pertanaman tebu saat tanaman tebu

berumur 21 bulan setelah perlakuan. ... 31 5. Respirasi tanah pada lahan pertanaman tebu saat tanaman tebu

berumur 24 bulan setelah perlakuan. ... 31 6. Tata letak percobaan di lapangan. ... 43


(15)

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tebu. Kebutuhan masyarakat terhadap gula semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk, sehingga

produksinya perlu ditingkatkan. Salah satu perkebunan gula yang ada di Lampung adalah PT Gunung Madu Plantations (GMP). Perusahaan ini didirikan pada tahun 1975, merupakan pelopor usaha perkebunan dan pabrik gula di luar Jawa, khususnya Lampung. Areal perkebunan tebu dan pabrik gula PT GMP terletak di Desa Gunung Batin, Lampung Tengah—sekitar 90 km arah utara kota Bandar Lampung, dengan jenis tanah ultisol (PT GMP, 2009).

Pemanfaatan lahan secara intensif di perkebunan tebu akan berpengaruh pada kondisi lahan. Pengelolaan tanah yang terlalu sering akan mengakibatkan menguatnya oksidasi bahan organik. Selain berakibat pada penurunan bahan organik terjadi juga penurunan ruang pori tanah karena hancurnya agregat tanah yang terbentuk

sebelumnya (Soepardi, 1983). Selain pengolahan tanah, hal lain yang potensial mengurangi bahan organik adalah pengangkutan sisa tanaman, pembakaran dan erosi tanah.


(16)

2

Salah satu usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah bagi pertumbuhan tanaman adalah penambahan bahan organik. Pemberian bahan organik ke tanah akan

berpengaruh baik pada sifat fisik, biologi dan kimia tanah. Pengaruh terhadap sifat fisik diantaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologi tanah adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan besar pada fiksasi dan transfer hara tertentu seperti N, P dan S. Pengaruh pada sifat kimia tanah adalah

meningkatkan kapasitas tukar kation, menetralkan toksisitas unsur tertentu dalam tanah dan sebagai buffer (Gaur, 1980 dan Soepardi, 1983).

Pada agroindustri gula, pengolahan tebu menjadi gula menghasilkan hasil samping berupa ampas (bagas), blotong, abu ketel dan serasah. Hasil samping tersebut memiliki potensi besar sebagai sumber bahan organik. Bagas yang dihasilkan oleh pabrik gula sekitar 32% dari bobot tebu yang digiling dan akan tersisa sekitar 1,6 % setelah dipakai untuk bahan bakar (Toharisman, 1991). Hasil penelitian Kurniawan dalam Toharisman (1991) menunjukkan bahwa kadar bahan organik ampas tebu sekitar 90%. Selain dalam bagas, bahan organik juga terdapat pada blotong yang kandungan karbonnya sekitar 20% pada blotong karbonasi dan 50-70% pada blotong sulfitasi.

Selama ini teknik pengelolaan lahan yang telah dilakukan di PT GMP adalah pengolahan tanah secara intensif. Pengolahan tanah sebanyak 3 kali dan

pengaplikasian bahan organik berbasis tebu (bagas, blotong, dan abu) telah dilakukan sejak tahun 2004. Penggunaan pupuk anorganik dalam mencukupi kebutuhan unsur


(17)

hara tanaman tebu, penggunaan pestisida dalam mengendalikan gulma dan hama penyakit yang terdapat pada tanaman tebu (PT GMP, 2009).

Meskipun pekerjaan mengolah tanah secara teratur dianggap penting dalam budidaya tanaman, tetapi pengolahan tanah secara intensif dapat menyebabkan terjadinya degradasi tanah yang diikuti dengan kerusakan struktur tanah, peningkatan terjadinya erosi tanah dan penurunan kadar bahan organik tanah yang berpengaruh juga terhadap keberadaaan biota tanah (Umar, 2004). Oleh karena itu, untuk merehabilitasi tanah perkebunan gula PT GMP perlu diusahakan antara lain dengan memanfaatkan mulsa berbasis limbah tebu (bagas) dan sistem pengolahan tanah konservasi.

Segala perlakuan yang diberikan ke tanah akan mempengaruhi tanah di bawahnya, yang salah satunya adalah mikroorganisme tanah. Salah satu variabel untuk mengetahui aktivitas mikroorganisme tanah adalah respirasi tanah. Respirasi tanah merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya kehidupan mikroorganisme yang melakukan aktivitas hidup dan berkembang biak dalam suatu masa tanah.

Mikroorganisme dalam setiap aktivitasnya membutuhkan O2 atau mengeluarkan CO2 yang dijadikan dasar untuk pengukuran respirasi tanah. Laju respirasi maksimum terjadi setelah beberapa hari atau beberapa minggu populasi maksimum mikrobia dalam tanah, karena banyaknya populasi mikrobia mempengaruhi keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan mikrobia. Oleh karena itu, respirasi tanah lebih

mencerminkan aktivitas metabolik mikroorganisme daripada jumlah, tipe,


(18)

4

yang baik dengan parameter lain yang berkaitan dengan aktivitas mikroorganisme tanah seperti bahan organik tanah dan rata-rata jumlah mikroorganisme (Anas, 1989). Berhubungan dengan hal ini, respirasi tanah yang mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah dapat digunakan sebagai salah satu indikator dari pengaruh sistem perawatan yang dilakukan terhadap lahan pertanaman di PT GMP.

Masalahnya apakah sistem olah tanah dan pemberian mulsa bagas yang dimulai pada tanah yang sudah dikelola secara intensif sejak tahun 1975 tersebut dapat

mempengaruhi respirasi tanah yang diukur pada 21 dan 24 bulan setelah perlakuan pada tanaman tebu ratun pertama.

Berdasarkan masalah yang ada, penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh sistem olah tanah terhadap respirasi tanah?

2. Bagaimana pengaruh pengaplikasian mulsa bagas terhadap respirasi tanah? 3. Apakah terdapat interaksi antara sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas


(19)

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh sistem olah tanah terhadap respirasi tanah

2. Mengetahui pengaruh pengaplikasian mulsa bagas terhadap respirasi tanah

3. Mengetahui interaksi antara sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap

respirasi tanah

1.3 Kerangka Pemikiran

Degradasi tanah atau penurunan kualitas tanah saat ini merupakan masalah utama yang dihadapi di Indonesia termasuk wilayah sumatra. Salah satu faktor yang

menyebabkan penurunan kualitas tanah ini adalah pengelolaan tanah yang berlebihan (intensif) dalam jangka panjang dapat menjadikan suatu lahan terdegradasi yang berpengaruh juga terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Manik et al. (1998) melaporkan bahwa penerapan sistem olah tanah intensif dapat menyebabkan

kepadatan tanah yang tinggi, terutama pada lapisan bawah bajak (kedalaman 30 cm), menurunkan jumlah pori makro dan pori aerasi, serta lapisan atas (permukaan tanah) sangat peka terhadap erosi. Sistem olah tanah seperti ini akan mempercepat

degradasi tanah, tingkat kesuburan tanah akan menurun akibat pencucian hara dan erosi, yang selanjutnya dapat menurunkan produktivitas lahan (Hanolo et al., 1996). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan tanah intensif dapat mengubah kelimpahan dan komposisi (keanekaragaman) organisme tanah. Umar (2004)


(20)

6

jangka panjang dapat mengurangi kandungan bahan organik tanah, infiltrasi, meningkatkan erosi, memadatkan tanah, dan mengurangi biota tanah.

Selain pengolahan tanah, pemberian mulsa sebagai penutup tanah juga akan

mempengaruhi iklim mikro tanah. Menurut Suwardjo (1981), perlakuan pemberian mulsa dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah, tetapi pengolahan tanah secara teratur tidak banyak meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah, meskipun diberi mulsa. Dengan adanya peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah maka respirasi tanah akan mengalami peningkatan juga.

Gambar 1. Bagan permasalahan akibat pengolahan tanah jangka panjang Pengolahan tanah intensif secara terus menerus

Degradasi tanah

Sifat biologi Sifat kimia

Sifat fisik

Pemadatan tanah, dan rawan erosi

Mengurangi bahan organik tanah

Menurunkan KTK tanah dan kandungan hara

Respirasi tanah menurun Mikroorganisme berkurang


(21)

Seperti yang dilihat pada Gambar 1, pengolahan tanah yang berlebihan (intensif) dalam jangka panjang dapat menjadikan suatu lahan terdegradasi yang berpengaruh juga terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kegiatan ini juga berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme tanah yang dicirikan oleh respirasi tanah. Pengolahan tanah secara intensif tanpa adanya suatu usaha untuk memperbaikkan kondisi suatu tanah dapat menjadikan tanah tersebut terdegradasi. Menurut Suwardjo (1981), perlakuan tanpa olah tanah dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah. Aktivitas mikroorganisme yang tinggi akan menunjukkan tingkat respirasi yang tinggi. Salah satu upaya yang dapat diterapkan dalam meningkatkan produksi tebu yaitu dengan merubah sistem olah tanah dan dapat memanfaatkan limbah padat pabrik gula yaitu bagas, blotong dan abu (BBA). Perubahan sistem olah tanah menjadi tanpa olah tanah dan ditambah dengan pengaplikasian limbah padat pabrik gula berupa BBA di lahan pertanaman tebu diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang selanjutnya dapat meningkatkan aktivitas


(22)

8

Gambar 2. Bagan solusi perbaikan tanah terdegradasi di PT GMP

Seperti yang terlihat pada Gambar 2, perubahan sistem olah tanah menjadi tanpa olah tanah dan ditambah dengan pengaplikasian limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong dan abu (BBA) di lahan pertanaman tebu diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dam biologi tanah yang selanjutnya dapat meningkatkan produksi gula. Kegiatan ini diharapkan juga dapat meningkatkan respirasi tanah yang dapat

dijadikan indikator kesuburan tanah.

Pada lahan TOT permukaan tanah kurang terganggu akibat adanya residu tanaman yang menutupi permukaan, dan sedikitnya 30% sisa tanaman sebelumnya masih berada dipermukaan tanah. Dengan adanya penutupan mulsa ini kandungan bahan organik tanah (BOT) dapat meningkat yang disebabkan karena adanya dekomposisi

Degradasi tanah

Sistem olah tanah Penambahan bahan organik

Tanpa olah tanah Limbah padat pabrik gula

Sifat fisik tanah Sifat biologi tanah Sifat kimia tanah

Respirasi tanah tinggi Peningkatan BOT


(23)

mulsa yang dilakukan oleh mikroorganisme tanah (Utomo, 2006). Menurut Utami (2004), semakin tinggi kandungan bahan dan masukan bahan organik ke dalam tanah akan meningkatkan kandungan C-organik tanah yang akan diikuti oleh peningkatan aktivitas mikrooganisme tanah.

Bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah di PT GMP adalah limbah padat pabrik gula yang dihasilkan selama produksi di PT GMP tersebut. Produksi limbah padat pabrik gula berupa bagas, blotong, dan abu (BBA) dengan perbandingan 5:3:1 berpotensi digunakan sebagai bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas tanah di PT GMP. Hasil penelitian Arioen (2009) menunjukkan bahwa formulasi bagas : blotong : abu dengan perbandingan 5:3:1 setelah dikomposkan selama 40 hari menghasilkan C/N akhir terkecil yaitu 36, dibandingkan dengan formulasi 5:1:1 dan 6:1:1 masing-masing menghasilkan C/N ratio 39% dan 41%.

Dosis aplikasi BBA yang telah digunakan di PT GMP yaitu 80 t ha-1 BBA segar, sedangkan yang sudah menjadi kompos 40 t ha-1. Aplikasi BBA dilakukan setelah olah tanah pertama. Pemberian bahan organik berbasis tebu diharapkan mampu untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui ketersediaan unsur hara yang cukup bagi tanaman dan meningkatkan populasi mikroorganisme tanah. Selain itu, aplikasi BBA diharapkan juga mampu meningkatkan respirasi tanah, karena respirasi mikroorganisme tanah mencerminkan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah.


(24)

10

1.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Respirasi tanah lebih tinggi pada lahan dengan sistem olah tanah intensif 2. Respirasi tanah lebih tinggi pada lahan yang diaplikasikan mulsa bagas

3. Terdapat interaksi antara sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap respirasi tanah


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Olah Tanah

Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik terhadap tanah untuk

menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan pokok pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat tumbuh bagi bibit, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa-sisa tanaman dan memberantas gulma, setiap upaya pengolahan tanah akan menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat tanah, tingkat perubahan yang terjadi sangat ditentukan oleh jenis alat

pengolahan tanah yang digunakan (Fahmudin dan Widianto, 2004).

Pengolahan tanah dilakukan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman. Namun pada kenyataannya pengolahan tanah yang dilakukan secara terus menerus ternyata menimbulkan dampak negatif terhadap produktivitas lahan. LIPTAN (1995) menyatakan bahwa disamping mempercepat kerusakan sumber daya tanah seperti meningkatkan laju erosi dan kepadatan tanah, pengolahan tanah intensif memerlukan biaya yang tinggi. Untuk mengatasi


(26)

12

konservasi yang diikuti oleh pemberian mulsa yang diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian.

Istilah pengolan tanah secara konvensional mengacu pada pengolahan tanah pada era ini, bukan pada era sebelumnya. Karakteristik pengolahan tanah pada era ini adalah, a). pengolahan tanah intensif (OTI), secara horizontal tanah yang diolah mencakup seluruh permukaan tanah, secara vertikal tanah yang diusik mencapai kedalaman 30 sampai 50 cm, b). alat yang digunakan adalah alat berat sehingga dapat memadatkan tanah, c). laju dekomposisi bahan organik sangat tinggi sehingga terjadi pemiskinan karbon organik di satu pihak, dan di pihak lain pelepasan karbondioksida

menimbulkan efek rumah kaca.

Meskipun penelitian jangka pendek menunjukkan bahwa produksi tanaman merespon berpengaruh merugikan produksi tanaman karena kerusakan tanah yang

ditimbulkannya. Pada umumnya pengolahan tanah dilakukan dua kali, yaitu

pengolahan tanah primer dengan dibajak untuk membongkar tanah dengan kedalaman 30 sampai 50 cm, kemudian diteruskan dengan pengolan tanah sekunder untuk

menggemburkan tanah dengan kedalaman 10 sampai 15 cm. Alat-alat seperti a). bajak singkal (moldboard plow), b). bajak piring (‘standard’dan „vertikal discplow’), c). „subsoiler’, d). Garu piring, e). „rotary tiller’, menjadi alat standar dalam

pengolahan tanah pada era ini. Meskipun alat ini tidak menjadi monopoli pengolahan tanah pada era ini.


(27)

Beberapa bukti menunjukkan bahwa pengolahan tanah intensif dapat meningkatkan produksi tanaman (Raimbault, 1991; Weill, 2003), meningkatkan kekasaran

permukaan, memecah kerak tanah, meningkatkan infiltrasi (Doolette and Smyle, 1990), tetapi pengaruh tersebut bersifat jangka pendek (Awadhwal dan Smith,1989). Sedangkan menurut Utomo (1995), sistem olah tanah konservasi (OTK) merupakan suatu olah tanah yang berwawasan lingkungan, hal ini dibuktikan dari hasil penelitian jangka panjang pada tanah Ultisol di Lampung yang menunjukkan bahwa sistem OTK (olah tanah minimum dan tanpa olah tanah) mampu memperbaiki kesuburan tanah lebih baik daripada sistem olah tanah intensif.

Adapun perbedaan sistem olah tanah pada indikator kualitas lingkungan adalah sebagai berikut:

Table 1. Perbedaan sistem olah tanah pada indikator kualitas lingkungan. Olah tanah konservasi Olah tanah intensif

1. Infiltrasi meningkat Infiltrasi menurun 2. Erosi tanah menurun Erosi tanah meningkat

3. Bahan organik tanah meningkat Bahan organik tanah menurun 4. Sifat fisika, kimia dan biologi

tanah meningkat

Sifat fisika, kimia dan biologi tanah menurun

5. Produktivitas tanaman meningkat Produktivitas tanaman menurun 6. Biaya produksi menurun Biaya produksi meningkat 7. Pendapatan petani jangka panjang

meningkat

Pendapatan petani jangka panjang menurun

8. Pencemaran air (sedimen, pupuk, pestisida) menurun

Pencemaran air (sedimen, pupuk, pestisida) meningkat

9. Pemanasan global menurun Pemanasan global meningkat Sumber: Utomo (2006).


(28)

14

2.2 Hasil Samping Pabrik Gula

Menurut Suwardjo dan Dariah (1995), mulsa adalah berbagai macam bahan seperti jerami, serbuk gergaji, lembaran plastik tipis, tanah lepas-lepas dan sebagainya yang dihamparkan di permukaan tanah dengan tujuan untuk melindungi tanah dan akar tanaman dari pengaruh benturan air hujan, retakan tanah, kebekuan, penguapan dan erosi.

Sedangkan menurut Hakim et al. (1986), mulsa adalah setiap bahan yang dipakai di permukaan tanah untuk menghindari kehilangan air melalui penguapan atau untuk menekan pertumbuhan gulma. Bahan mulsa antara lain sisa tanaman, pupuk kandang, limbah industri kayu (serbuk gergaji), kertas dan plastik.

Limbah padat pabrik gula berpotensi besar sebagai sumber bahan organik yang berguna untuk kesuburan tanah. Ampas tebu (bagas) merupakan limbah padat yang berasal dari perasan batang tebu untuk diambil niranya. Limbah ini banyak

mengandung serat dan gabus. Ampas tebu ini memiliki aroma yang segar dan mudah untuk dikeringkan sehingga tidak menimbulkan bau busuk. Bagas dapat

dimanfaatkan sebagai mulsa atau diformulasikan dengan blotong dan abu (BBA) sebagai kompos. Kandungn C/N rasio dalam bagas mencapai 130 dengan kadar air 60%. Ampas (bagas) tebu mengandung 52,67% kadar air, 55,89% C-organik; N-total 0,25 %; 0,16% P2O5; dan 0,38% K2O. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah (Kurnia, 2010).


(29)

Menurut Purnomo et al. (1995), aplikasi mulsa bagas 8 t ha-1 mampu meningkatkan serapan fosfor dibandingkan dengan tanpa aplikasi mulsa. Afandi et al. (1995), menambahkan bahwa pemberian mulsa 4 t ha-1 berpengaruh nyata terhadap pori aerasi dibandingkan dengan tanpa aplikasi mulsa.

Bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kuaitas tanah di PT GMP adalah limbah padat pabrik gula yang dihasilkan selama produksi di PT GMP tersebut. Produk utama yang dihasilkan di perkebunan tebu adalah batang tebu yang dapat di proses menjadi 6-9% gula dan 91-94 limbah. Limbah padat yang dihasilkan selama proses produksi, antara lain: ampas tebu (bagas) yang merupakan hasil dari proses ekstraksi cairan tebu pada batang tebu, blotong (filter cake) yang hasil samping proses penjernihan nira gula, dan abu ketel (ash) yang merupakan sisa pembakaran atau kerak ketel pabrik gula (Slamet, 2007).

Penelitian mengenai penggunaan hasil samping industri gula menunjukkan pengaruh yang sangat baik. Hasil penelitian Ismail (1987) mengenai penggunaan “bioearth” yang merupakan kompos campuran blotong, bagas dan abu ketel menunjukkan bahwa adanya pengaruh kompos tersebut terhadap peningkatan ketersediaan hara N, P dan K dalam tanah, kadar bahan organik, pH serta kapasitas menahan air. Hasil percobaan Riyanto (1995) yang menggunakan kompos casting bagas menunjukkan bahwa pemberian 4-6 ton/ha dapat mengurangi dosis 50% pupuk NPK standar yang diberikan di Jatitujuh.


(30)

16

2.3 Tanaman Tebu

Perkebunan tebu (Saccharum officinarum L.) tersebar luas di daerah Sumatera yang kebanyakan tanahnya bereaksi masam yang biasanya diklasifikasikan sebagai Ultisol dan Oxisol. Sama halnya dengan sistem pertanian tradisional, pembukaan awal lahan perkebunan tebu dilakukan dengan jalan menebang dan membakar tumbuhan hutan. Pada waktu sepuluh tahun setelah pembakaran hutan, biasanya produksi tebu sudah mulai menurun karena kesuburan tanah yang telah menurun.

Pada beberapa perkebunan tebu di daerah Lampung, pengapuran dan pemupukan N, P, K masih umum dilakukan untuk memperoleh produksi tebu yang diharapkan. Pada beberapa perkebunan tebu di Australia, pengapuran pada tanah masam (kahat Ca dan Mg) memberikan hasil tebu yang sangat memuaskan (Edwards dan Bell, 1989), walaupun sebenarnya tebu cukup toleran terhadap keracunan Al dan pH tanah rendah. Untuk jangka pendek, pengapuran dan pemupukan pada tanah masam

merupakan cara termudah dan tercepat untuk menangani masalah kesuburan tanah (Setijono dan Soepardi, 1985), namun tindakan ini masih belum memecahkan masalah lainnya yaitu rendahnya kandungan bahan organik tanah (BOT). Usaha mempertahankan kandungan BOT merupakan kunci utama dalam menghindari kerusakan fisik tanah antara lain perbaikan agregat tanah, perkolasi air tanah, infiltrasi tanah dan kelembaban air tanah. Dengan demikian BOT dapat melindungi kerusakan tanah akibat erosi dan aliran permukaan, kekeringan. Hasil mineralisasi bahan oragnik meningkatkan ketersediaan beberapa hara dalam tanah dan


(31)

Seresah daun tebu (daduk) dan ampas tebu (bagas) merupakan sisa produksi yang biasanya tidak dikembalikan ke dalam tanah dikarenakan “kualitas" nya rendah yaitu kandungan haranya rendah, nisbah C:N dan kandungan Si tinggi. Bahan organik berkualitas rendah ini bila dimasukkan ke dalam tanah akan menimbulkan immobilisasi N dalam tanah.

Walaupun daduk tebu memiliki kualitas rendah karena nisbah C :N sekitar 120 :1, tetapi bila dikembalikan ke dalam tanah akan mengurangi jumlah pemupukan N sebesar 40 kg ha-1 th-1 karena adanya imobilisasi N sehingga dapat mengurangi kehilangan N akibat pencucian dan penguapan. Ampas tebu mengandung 0.3 % N, 0.34 % P, 0.14 % K, 42.5 % C dan nisbah C :N sekitar 142 :1. Tingginya nisbah C:N pada bagas ini menyebabkan bahan tersebut lama dilapuk sehingga mungkin masih bermanfaat untuk mempertahankan kandungan BOT bila dikembalikan ke dalam tanah secara tepat. Dengan demikian jumlah bagas yang tertumpuk di sekitar pabrik akan berkurang dan diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya kebakaran pada musim kemarau.

Pengukuran potensi limbah tebu untuk perbaikan kesuburan tanah dan kecepatan mineralisasinya masih belum banyak dilakukan. Di lain pihak, informasi ini sangat diperlukan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mempelajari peran bahan organik sisa panen tebu dalam memperbaiki status BOT dan produksi tebu. Hasil dari percobaan ini diharapkan bermanfaat untuk perbaikan strategi pengelolaan tanah masam pada perkebunan tebu di daerah


(32)

18

yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dengan mempengaruhi berbagai sifat tanah. Sampai pada waktu dimana masalah erosi masih belum mendapat perhatian sungguh-sungguh, pengolahan tanah yang dilakukan pada umumnya dengan jalan mengolah seluruh luas tanah yang dipersiapkan untuk suatu pertanaman tertentu, yang dikenal sebagai sistem konvesional (Kurniatun, 2000).

2.4 Respirasi Tanah

Respirasi tanah dilakukan oleh mikroorganisme tanah baik berupa bakteri maupun cendawan . Interaksi antara mikroorganisme dengan lingkungan fisik di sekitarnya mempengaruhi kemampuannya dalam respirasi, tumbuh, dan membelah. Salah satu faktor lingkungan fisik tersebut adalah kelembaban tanah yang berkaitan erat dengan respirasi tanah (Cook dan Orchard, 2008). Respirasi tanah merupakan salah satu hal yang penting yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pemanasan global di masa depan (Wang et al., 2003). Respirasi tanah yang berkaitan dengan suhu tanah

digunakan sebagai salah satu kunci karakteristik tanah atau bahan organik dan bertanggung jawab dalam pemanasan global (Subke, 2010).

Dari sisi pertanian, pengetahuan mengenai respirasi tanah dapat digunakan sebagai dasar untuk menduga hasil pertanian tahunan (Jia dan Zhou, 2009). Keberadaan mikoriza sebagai organisme penyubur tanah alami pada lahan pertanian salah satunya dipengaruhi dari respirasi tanah dan suhu tanah (Moyano et al. 2007). Selain itu, menurut Tingey et al. (2006), respirasi tanah menunjukkan respon akar tanaman dan organisme tanah pada kondisi lingkungan dan ketersediaan C dalam tanah.


(33)

Pengamatan mengenai respirasi tanah dapat dilakukan dengan menggunakan empat macam cara yaitu metode open-flow infrared gas analyzer, metode ruang tertutup, metode ruang tertutup dinamis, dan metode penyerapan basa (Bekku et al., 1997). Setiap metode memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Pengamatan respirasi tanah paling sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan metode ruang tertutup di mana NaOH digunakan sebagai bahan perangkap CO2 yang dihasilkan dari respirasi tanah. Nilai CO2 yang dihasilkan dapat ditentukan dengan menggunakan suatu rumus tertentu (Cook dan Orchard, 2008).

Selama proses dekomposisi terjadi pelepasan CO2 yang pada umumnya dilaporkan bahwa CO2 tersebut sebagian besar dilepaskan ke atmosfer sebagai salah satu gas rumah kaca, sedangkan CO2 yang tersimpan dipermukaan bumi sangat bermanfaat bagi tanaman maupun mikroorganisme tanah. Kuantitas CO2 yang terakumulasi dalam jaringan tanaman dapat memberikan gambaran tentang fungsi tanaman sebagai sink CO2 atmosfer. Limbah bahan organik tanaman dapat meningkatkan kandungan CO2 internal tanaman, karena selama proses dekomposisi terjadi pelepasan CO2 yang secara langsung dapat masuk dalam sel tanaman melalui stomata. Menurut

Lundegardh dalam Sutejo, Kartasaputra dan Saroatmodjo (1991), CO2 yang

dihasilkan di dalam tanah oleh mikroorganisme mendekati jumlah yang diperlukan tanaman untuk proses fotosintesis. Dalam satu kilogram tanah dapat membebaskan sekitar 5-30 mg karbon dalam bentuk CO2 (Walksman dan Starkey dalam Sutejo et al., 1991), jumlah tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, jenis bahan


(34)

20

ketersediaan C, N, P, dan K, kelembaban tanah dan suhu tanah, aerasi, adanya senyawa-senyawa penghambat (Rao, 1994).

2.5 Pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Terhadap Respirasi Tanah

Tujuan dari pengelolaan tanah secara konvensional adalah untuk menggemburkan permukaan tanah, memperdalam daerah perakaran, memasukkan sisa tanaman ke dalam tanah, dan mengurangi kemampatan di permukaan tanah. Pada pengelolaan tanah secara minimum efek samping dari pengelolaan tanah dikurangi, dan

memerlukan energi yang lebih sedikit, dan diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk.

Konsekuensi utama dari pengelolaan tanah adalah tersebarnya bahan organik, kapur, dan pupuk. Akibatnya, ketersediaan bahan organik bagi mikroorganisme meningkat. Dengan demikian, aktivitas dan jumlah mikroorganisme akan bertambah.

Pengelolaaan lahan yang memberikan keuntungan pada tanah yang bertekstur ringan, karena bahan organik tidak lapuk terlalu cepat. Dengan demikian dapat

meningkatkan kadar bahan organik tanah (Popov, Romeyko, Plishko, dan Bityukova, 1982). Pengolahan tanah dangkal (10 cm), tidak besar pengaruhnya terhadap

aktivitas mikroorganisme tanah, dan hampir sama dengan aktivitas mikroorganisme pada tanah tanpa diolah sama sekali.


(35)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di PT Gunung Madu Plantations (GMP), Lampung Tengah, dan secara goegrafis terletak pada garis lintang 40- 40’LS dan garis bujur 1050-13’BT dengan ketinggian 45 m diatas permukaan laut. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian ini telah dilaksanakan sejak Juni 2010, pengamatan lapang dilakukan pada bulan April dan Juli 2012 pada lahan pertanaman tebu ratun pertama.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah padat pabrik gula yaitu bagas, BBA (bagas, blotong dan abu) dengan perbandingan 5:3:1, pupuk urea, pupuk TSP dan pupuk MOP, Fenolptalin, metil orange, KOH 0,1 N, HCl 0,1 N, dan bahan lain untuk analisis C-organik, dan pH tanah.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples plastik dengan diameter 14 cm, plastik, batu, spidol, label, kardus, botol film, gelas erlenmeyer, gelas ukur, biuret, alat tulis, soil moisture tester, termometer tanah, dan alat untuk analisis tanah.


(36)

22

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan pola split plot yang diulang sebanyak 5 kali ulangan. Petak utama yaitu sistem olah tanah yang terdiri dari dari tanpa olah tanah (t0) dan olah tanah intensif (t1). Anak petak adalah aplikasi mulsa bagas, yang terdiri dari tanpa mulsa bagas (m0) dan mulsa bagas 80 t ha-1 (m1). Dengan demikian terbentuk 4 kombinasi perlakuan.

Adapun kombinasi perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut: t0m0= tanpa olah tanah + tanpa mulsa bagas

t0m1= tanpa olah tanah + mulsa bagas 80 t ha-1 t1m0= olah tanah intensif + tanpa mulsa bagas t1m1= olah tanah intensif + mulsa bagas 80 t ha-1

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam pada taraf 1% dan 5%, yang sebelumnya telah diuji homogenitas ragamnya dengan uji Bartlett dan aditivitasnya dengan uji Tukey. Rata-rata nilai tengah diuji dengan uji BNT pada taraf 1% dan 5%. Untuk mengetahui hubungan antara respirasi dengan C-organik tanah, pH tanah, kelembaban tanah, dan suhu tanah akan dilakukan uji korelasi.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

(1) Sejarah Lahan Percobaan

Percobaan ini dimulai pada tahun 2010, pada lahan pertanaman tebu yang telah digunakan selama 25 tahun dan mengggunakan sistem pengolahan lahan yang biasa


(37)

diterapkan di PT GMP. Percobaan dilakukan dengan penggunaan dua sistem olah tanah, yaitu sistem olah tanah intensif dan tanpa olah tanah, serta aplikasi limbah padat pabrik gula jangka panjang dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020. Pada akhir musim tanam pada Juni 2010, lahan dibersihkan dan dibagi menjadi 20 petak percobaan berukuran masing-masing 25 m x 40 m dengan menandainya dengan tali, dan tidak memiliki jarak pemisah antar petak percobaan.

Penelitian ini merupakan penelitian pada tahun kedua (rotun pertama). Lahan penelitian yang digunakan sebelumnya telah diberakan selama 1 tahun, dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 (Gambar 3).

Tahun Pertama

Gambar 3. Sejarah pertanaman tebu yang digunakan dalam penelitian 0 Bulan (pengolahan

tanah, penmberian perlakuan dan tanam)

5 Bulan 9 Bulan 12 Bulan (panen)

0 Bulan (tebu rotun pertama)

5 Bulan 9 Bulan (pngambilan sampel pertama)

12 Bulan (panen dan pengambilan sampel kedua Tahun kedua (rotun pertama)


(38)

24

(2) Pengolahan Tanah

Penelitian ini menggunakan dua perlakuan olah tanah yaitu olah tanah intensif (OTI) dan tanpa olah tanah (TOT). Pada petak olah tanah intensif (OTI), tanah diolah sesuai dengan sistem pengolahan tanah yang diterapkan di PT GMP yaitu sebanyak 3 kali pengolahan, yaitu yang pertama menggunakan bajak piringan yang berfungsi mencacah tunggul tebu, memecah dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah kedua tetap menggunakan bajak piringan, tetapi arah kerjanya tegak lurus dengan

pengolahan tanah pertama, berfungsi untuk menghaluskan tanah dan sekaligus untuk menyacah ulang tunggul tebu. Pengolahan tanah yang ketiga menggunakan bajak singkal yang berfungsi untuk membalikkan tanah bawahan ke atas dan sekaligus memecahkan lapisan kedap air sehingga mendapatkan tanah yang mampu mendukung perkembangan akar tanaman. Aplikasi BBA sebanyak 80 t ha-1 dilakukan pada saat pengolahan tanah yang kedua, yaitu dicampur atau diaduk dengan tanah menggunakan traktor. Mulsa bagas diaplikasikan setelah penanaman tebu dengan dosis 80 t ha-1 untuk petak yang diperlakukan dengan mulsa bagas yang diaplikasikan secara manual. Pada petak OTI, gulma dikendalikan secara manual dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang

menggunakan mulsa bagas. Sedangkan petak yang tidak menggunakan mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang dari petak percobaan.

Pada petak tanpa olah tanah (TOT), tanah tidak diolah sama sekali. Campuran bagas, blotong, dan abu (BBA) diaplikasikan dengan cara ditebar di permukaan dengan dosis 80 t ha-1 bersamaan pada saat aplikasi BBA pada petak OTI. Untuk plot yang


(39)

diaplikasikan mulsa, mulsa bagas diaplikasikan setelah tebu ditanam dengan dosis 80 t ha-1. Sama seperti petak OTI, gulma pada petak TOT dikendalikan secara manual dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang tidak menggunakan mulsa bagas. Sedangkan untuk petak yang tidak menggunakan mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang dari petak percobaan.

Semua perlakuan diaplikasikan pupuk urea dengan dosis 300 kg ha-1, pupuk TSP 200 kg ha-1, pupuk MOP 300 kg ha-1, dan aplikasi bagas, blotong, dan abu (BBA) segar (5:3:1) 80 t ha-1.

(3) Analisis Tanah

Analisis C-organik dan pH tanah dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Lampung, sedangkan kelembaban tanah dan suhu tanah dilakukan di lokasi percobaan pada saat pengambilan sampel tanah dengan menggunakan alat soil moisture tester dan termometer tanah.

3.5 Variabel Pengamatan

(1) Respirasi Tanah, Metode Verstraete (Anas, 1986)

Pengukuran respirasi tanah langsung dilakukan di lapangan, dengan mengambil sampel sebanyak 2 kali. Pengambilan sampel dilakukan pada saat tanaman tebu berumur 21 bulan dan 24 bulan setelah perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi dan sore hari. Pengambilan sampel respirasi tanah dilakukan diantara baris tanaman tebu. Pengukuran respirasi tanah dilakukan dengan menutup permukaan


(40)

26

tanah menggunakan toples yang di dalamnya telah diberikan botol film yang berisi 10 ml KOH 0,1 N. Untuk kontrol dilakukan hal yang sama, tetapi permukaan tanah ditutup dengan plastik sehingga KOH tidak dapat menangkap CO2 yang keluar dari tanah. Agar tidak terjadi kebocoran, toples dibenamkan ke dalam tanah 2-3 cm. Pengukuran ini dilakukan selama 2 jam. Pengukuran respirasi tanah dilakukan dengan meletakkan 2 buah toples pada setiap petak percobaan, dimana 1 toples sebagai perlakuan dan 1 toples lainnya sebagai kontrol.

Setelah pengukuran di lapangan selesai, KOH hasil pengukuran dititrasi di

laboratorium untuk menentukan kuantitas C-CO2 yang dihasilkan. Titrasi dilakukan dengan cara memindahkan KOH hasil pengukuran kedalam gelas erlenmeyer dan ditambahkan 2 tetes fenolptalin, sehingga warna berubah menjadi merah muda dan kemudian dititrasi dengan HCl sampai warna merah muda hilang (larutan berwarna bening), volume HCl yang diperlukan dicatat. Kemudian kedalam larutan

ditambahkan 2 tetes metil orange sehingga larutan berwarna kuning, dan larutan dititrasi kembali dengan HCl hingga warna kuning berubah menjadi warna merah muda. HCl yang digunakan berhubungan langsung dengan jumlah CO2 yang difiksasi. Pada kontrol juga dilakukan hal yang sama. Jumlah CO2 dihitung dengan mengunakan formula:


(41)

Keterangan:

C-CO2 = mg jam-1 m-2

a = ml HCl untuk contoh tanah, (setelah ditambahkan metil orange) b = ml HCl untuk kontrol, (setelah ditambahkan metil orange)

t = normalitas HCl

T = waktu pengukuran (jam) r = jari-jari tabung toples (cm)

(2) Pengamatan Variabel Pendukung

Variabel pendukung yang diamati adalah:

1. C-organik (metode Walkley and Black) 2. pH tanah dengan perbandingan 1 : 2,5 3. Suhu tanah

4. Kelembaban tanah

2 2 12 r T t b a CO C        


(42)

41

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sistem olah tanah pada pertanaman tebu tidak mempengaruhi respirasi tanah pada saat tanaman tebu berumur 21 dan 24 bulan setelah perlakuan. 2. Aplikasi mulsa bagas pada pertanaman tebu tidak mempengaruhi respirasi tanah pada saat tanaman tebu berumur 21 dan 24 bulan setelah perlakuan. 3. Tidak terdapat interaksi antara sistem olah tanah dan pemberian mulsa bagas terhadap respirasi tanah

5.2 Saran

Dari hasil penelitian perlu dilakukan penelitian yang sama pada saat pergantian tanaman tebu yang baru dengan waktu pengamatan di bawah 1 minggu setelah perlakuan pengolahan tanah untuk melihat perubahan pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap respirasi tanah secara berkelanjutan.


(1)

diterapkan di PT GMP. Percobaan dilakukan dengan penggunaan dua sistem olah tanah, yaitu sistem olah tanah intensif dan tanpa olah tanah, serta aplikasi limbah padat pabrik gula jangka panjang dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020. Pada akhir musim tanam pada Juni 2010, lahan dibersihkan dan dibagi menjadi 20 petak percobaan berukuran masing-masing 25 m x 40 m dengan menandainya dengan tali, dan tidak memiliki jarak pemisah antar petak percobaan.

Penelitian ini merupakan penelitian pada tahun kedua (rotun pertama). Lahan penelitian yang digunakan sebelumnya telah diberakan selama 1 tahun, dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 (Gambar 3).

Tahun Pertama

Gambar 3. Sejarah pertanaman tebu yang digunakan dalam penelitian 0 Bulan (pengolahan

tanah, penmberian perlakuan dan tanam)

5 Bulan 9 Bulan 12 Bulan (panen)

0 Bulan (tebu rotun pertama)

5 Bulan 9 Bulan (pngambilan sampel pertama)

12 Bulan (panen dan pengambilan sampel kedua Tahun kedua (rotun pertama)


(2)

(2) Pengolahan Tanah

Penelitian ini menggunakan dua perlakuan olah tanah yaitu olah tanah intensif (OTI) dan tanpa olah tanah (TOT). Pada petak olah tanah intensif (OTI), tanah diolah sesuai dengan sistem pengolahan tanah yang diterapkan di PT GMP yaitu sebanyak 3 kali pengolahan, yaitu yang pertama menggunakan bajak piringan yang berfungsi mencacah tunggul tebu, memecah dan membalikkan tanah. Pengolahan tanah kedua tetap menggunakan bajak piringan, tetapi arah kerjanya tegak lurus dengan

pengolahan tanah pertama, berfungsi untuk menghaluskan tanah dan sekaligus untuk menyacah ulang tunggul tebu. Pengolahan tanah yang ketiga menggunakan bajak singkal yang berfungsi untuk membalikkan tanah bawahan ke atas dan sekaligus memecahkan lapisan kedap air sehingga mendapatkan tanah yang mampu mendukung perkembangan akar tanaman. Aplikasi BBA sebanyak 80 t ha-1 dilakukan pada saat pengolahan tanah yang kedua, yaitu dicampur atau diaduk dengan tanah menggunakan traktor. Mulsa bagas diaplikasikan setelah penanaman tebu dengan dosis 80 t ha-1 untuk petak yang diperlakukan dengan mulsa bagas yang diaplikasikan secara manual. Pada petak OTI, gulma dikendalikan secara manual dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang

menggunakan mulsa bagas. Sedangkan petak yang tidak menggunakan mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang dari petak percobaan.

Pada petak tanpa olah tanah (TOT), tanah tidak diolah sama sekali. Campuran bagas, blotong, dan abu (BBA) diaplikasikan dengan cara ditebar di permukaan dengan dosis 80 t ha-1 bersamaan pada saat aplikasi BBA pada petak OTI. Untuk plot yang


(3)

diaplikasikan mulsa, mulsa bagas diaplikasikan setelah tebu ditanam dengan dosis 80 t ha-1. Sama seperti petak OTI, gulma pada petak TOT dikendalikan secara manual dan sisa tumbuhan gulma dikembalikan ke lahan sebagai mulsa untuk petak yang tidak menggunakan mulsa bagas. Sedangkan untuk petak yang tidak menggunakan mulsa bagas, sisa tumbuhan gulma dibuang dari petak percobaan.

Semua perlakuan diaplikasikan pupuk urea dengan dosis 300 kg ha-1, pupuk TSP 200 kg ha-1, pupuk MOP 300 kg ha-1, dan aplikasi bagas, blotong, dan abu (BBA) segar (5:3:1) 80 t ha-1.

(3) Analisis Tanah

Analisis C-organik dan pH tanah dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Lampung, sedangkan kelembaban tanah dan suhu tanah dilakukan di lokasi percobaan pada saat pengambilan sampel tanah dengan menggunakan alat soil

moisture tester dan termometer tanah.

3.5 Variabel Pengamatan

(1) Respirasi Tanah, Metode Verstraete (Anas, 1986)

Pengukuran respirasi tanah langsung dilakukan di lapangan, dengan mengambil sampel sebanyak 2 kali. Pengambilan sampel dilakukan pada saat tanaman tebu berumur 21 bulan dan 24 bulan setelah perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi dan sore hari. Pengambilan sampel respirasi tanah dilakukan diantara baris tanaman tebu. Pengukuran respirasi tanah dilakukan dengan menutup permukaan


(4)

tanah menggunakan toples yang di dalamnya telah diberikan botol film yang berisi 10 ml KOH 0,1 N. Untuk kontrol dilakukan hal yang sama, tetapi permukaan tanah ditutup dengan plastik sehingga KOH tidak dapat menangkap CO2 yang keluar dari

tanah. Agar tidak terjadi kebocoran, toples dibenamkan ke dalam tanah 2-3 cm. Pengukuran ini dilakukan selama 2 jam. Pengukuran respirasi tanah dilakukan dengan meletakkan 2 buah toples pada setiap petak percobaan, dimana 1 toples sebagai perlakuan dan 1 toples lainnya sebagai kontrol.

Setelah pengukuran di lapangan selesai, KOH hasil pengukuran dititrasi di

laboratorium untuk menentukan kuantitas C-CO2 yang dihasilkan. Titrasi dilakukan

dengan cara memindahkan KOH hasil pengukuran kedalam gelas erlenmeyer dan ditambahkan 2 tetes fenolptalin, sehingga warna berubah menjadi merah muda dan kemudian dititrasi dengan HCl sampai warna merah muda hilang (larutan berwarna bening), volume HCl yang diperlukan dicatat. Kemudian kedalam larutan

ditambahkan 2 tetes metil orange sehingga larutan berwarna kuning, dan larutan dititrasi kembali dengan HCl hingga warna kuning berubah menjadi warna merah muda. HCl yang digunakan berhubungan langsung dengan jumlah CO2 yang

difiksasi. Pada kontrol juga dilakukan hal yang sama. Jumlah CO2 dihitung dengan


(5)

Keterangan:

C-CO2 = mg jam-1 m-2

a = ml HCl untuk contoh tanah, (setelah ditambahkan metil orange) b = ml HCl untuk kontrol, (setelah ditambahkan metil orange)

t = normalitas HCl

T = waktu pengukuran (jam) r = jari-jari tabung toples (cm)

(2) Pengamatan Variabel Pendukung

Variabel pendukung yang diamati adalah:

1. C-organik (metode Walkley and Black) 2. pH tanah dengan perbandingan 1 : 2,5 3. Suhu tanah

4. Kelembaban tanah

2 2 12 r T t b a CO C        


(6)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sistem olah tanah pada pertanaman tebu tidak mempengaruhi respirasi tanah pada saat tanaman tebu berumur 21 dan 24 bulan setelah perlakuan. 2. Aplikasi mulsa bagas pada pertanaman tebu tidak mempengaruhi respirasi tanah pada saat tanaman tebu berumur 21 dan 24 bulan setelah perlakuan. 3. Tidak terdapat interaksi antara sistem olah tanah dan pemberian mulsa bagas terhadap respirasi tanah

5.2 Saran

Dari hasil penelitian perlu dilakukan penelitian yang sama pada saat pergantian tanaman tebu yang baru dengan waktu pengamatan di bawah 1 minggu setelah perlakuan pengolahan tanah untuk melihat perubahan pengaruh sistem olah tanah dan aplikasi mulsa bagas terhadap respirasi tanah secara berkelanjutan.


Dokumen yang terkait

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP INFILTRASI TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI PT GUNUNG MADU PLATATIONS (GMP) LAMPUNG TENGAH

3 44 32

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE 2

0 18 54

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP POPULASI DAN BIOMASSA CACING TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) RATOON KE-2

2 9 58

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

0 6 50

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

2 14 44

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP BIOMASSA KARBON MIKROORGANISMETANAH (C-MIK) PADA LAHAN PERTANAMANTEBU (Saccharum officinarum L.) TAHUN KE-5

0 9 52

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP ASAM HUMAT DAN FULVAT PERTANAMAN TEBU (Saccharumofficinarum L.) RATOON KETIGA DI PT GUNUNG MADU PLANTATIONS

1 10 52

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA LAHAN PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L) AKHIR RATOON KEDUA DAN AWAL RATOON KETIGA

0 0 5

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP RESPIRASI TANAH PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum Officanarum L) TAHUN KE-5 PLANT CANE DI PT GUNUNG MADU PLANTATIONS

0 0 6

PENGARUH SISTEM OLAH TANAH DAN APLIKASI MULSA BAGAS TERHADAP INFILTRASI PADA PERTANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) RATOON KEDUA

0 0 7