Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

”Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.” Bahwa dari uraian pasal 1 angka 4 UU PTPPO diatas, selain orang perseorangan sebagai subyek hukum dapat dikenai sanksi pidana. Dalam kasus perdagangan anak perempuan, pelaku terbagi pada : 1. pelaku perekrutan mengajak, menampung atau membawa korban; 2. pengiriman mengangkut, melabuhkan atau memberangkatkan korban; 3. pelaku penyerahterimaan menerima, mengalihkan atau memindah tangankan korban; 4. Dalam lingkup hubungan antara majikan dan pekerja, dapat juga dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang majikan menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang sering terjadi adalah tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.

3.2. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Penjelasan mengenai pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana, walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. 27 ada hubungan erat antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana, yang berarti bahwa perbuatan 27 Dwijdja, Priyatno. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Koorporasi Di Indonesia . CV. Utomo Bandung. 2004. h. 30 pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya ada peratnggungjawaban pidana, dan tidak mungkin ada pertanggungjawaban pidana kalau tidak ada perbuatan pidana. 28 Hukum pidana menentukan yang dinamakan pertanggungjawaban pidana dibatasi dengan ketentuan-ketentuan undang-undang pertanggungjawaban menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah menentukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang ditentukan dalam undang-undang dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang atau diharuskan. Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidanakan jika tidak ada kesalahan. 29 Seseorang dikatakan mempunyai kesalahan apabila perbuatan yang dilakukannya, pada waktu itu dianggap tercela oleh masyarakat karena merugikan masyarakat padahal orang tersebut mengetahui bahwa perbuatannya buruk tetapi tetap melakukannya. 30 Ada 2 bentuk kesalahan dalam melakukan perbuatan, yaitu pertama, kesengajaan dolus merupakan perbuatan yang diinsyafi sebagai demikian atau yang dilakukan dengan kesengajaan, sedangkan kedua, kelalaian culpa yaitu merupakan perbuatan yang dilakukan dengan kelalaian. 31 28 Ibid. h. 36 29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 153 30 Ibid. h. 157 31 Ibid. h. 160 Menurut Moeljatno, kesengajaan adalah pengetahuan yaitu adanya hubungan batin atau pikiran dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Sehingga ada 2 bentuk kesengajaan, yaitu 32 : 1. Kesengajaan secara kepastian. 2. Kesengajaan secara kemungkinan. Unsur-unsur suatu kesalahan harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan, dengan demikian untuk adanya kesalahan terdakwa harus 33 : 1. Melakukan perbuatan pidana sifat melawan hukum. 2. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab. 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. 4. Tidak adanya alasan pemaaf. Menurut Barda Nawawi, bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas diketahui terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu unsur-unsur tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang dirumuskan oleh pembuat UU untuk tindak pidana yang bersangkutan. Pengertian Subyek tindak pidana dapat meliputi 2 hal yaitu siapa yang melakukan dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. 34 Menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat. Dalam KUHP tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan 32 Ibid. h. 177 33 Ibid. h. 164 34 Dwidja, Priyatno, op. cit. h.51 bertanggungjawab, yang berhubungan dengan hal itu adala Pasal 44 ayat 1 KUHP, bahwa : ”barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

3.3. Kasus Perdagangan Anak Perempuan Di Wilayah Kepolisian Resor Surabaya Selatan