UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT KEPOLISIAN DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

(1)

DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ANAK PEREMPUAN

Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan

SKRIPSI

Oleh :

RENI PRISTIYANI

NPM. 0671010080

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA


(2)

iv

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Disini penulis mengambil judul : Upaya Penegakan Hukum Aparat Kepolisian Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

Penyusunan skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Di samping itu dapat memberikan bekal tentang hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum dalam mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP., selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Soetrisno, S.H., M.Hum selaku WADEK II Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur yang ramah dalam menjawab pertanyaan dari mahasiswa ataupun memberikan saran kepada mahasiswa.


(3)

v

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur.

5. Prof. Dr. Wahyono, S.H., M.S., selaku Pembimbing Utama yang selalu memberi kemudahan dan solusi kepada penulis.

6. Ibu Wiwin Yulianingsih, S.H., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang selalu memberikan dukungan, masukan, dan kesabaran dalam memberikan pengarahan terhadap penulis.

7. Bapak Eko Wahyudi, S.H., Fauzul S.H.I., M.Hum, serta Ibu Yana Indawati, S.H, M.Kn dan Mas Anienda Tien. F, S.H., MH yang selalu bersikap fleksibel dan tidak terkesan formil kepada mahasiswa-mahasiswanya sehingga menjadikan penulis lebih terbuka dalam berkomunikasi.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen program studi Ilmu Hukum yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.

9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur yang sabar dan ramah dalam melayani mahasiswa/i. 10.Kedua Orang tuaku, yakni Mudayani selaku Ayah dan Suciati selaku Ibu,

yang selalu memberikan bantuan, doa, saran dan kritik, serta dukungan di setiap langkah yang penulis kerjakan. Thank you for love and goodness light my days, and sharing your life and stories with me.

11.Kakek dan Nenekku yang tercinta, yang selalu sabar dalam menuntun dan membimbing penulis agar selalu mensyukuri segala nikmat dan anugerah yang telah diberikan oleh ALLAH SWT.


(4)

vi

12.Kakak dan Adikku yang selalu ada in times of need dan yang selalu membuat penulis lebih berfikir dewasa dalam menilai dan melakukan segala hal. Thanks for being there.

13.Teman-teman mahasiswa/i Fakultas Hukum angkatan 2006, khususnya Maya Dyah, Leny Eka, Gheza Dorkas, Hartyan Romanda, Ruben, Rio, Adi Adrian, Pringgo, Wawan, Yudi dan seluruh teman-teman Fakultas Hukum yang selalu ada dihati yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu.

14.Especially for Novy ”Mpot” Rachmawati, Lucia ”Oneng” Eirene, Ainur

”Adek” Rizqi, Dony ”Oom” Eko Setiawan, Wahib ”Abang” Syarif, Fajar ”Boss” Amin, I Putu ”Gembel” Satrya Dharma, Rudy ”Kirunz” Setiawan, dan Sigit ”Kolonk” Purnomo yang sudah menjadi sahabat terbaik dan penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih kurang sempurna, karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan penulis untuk memperbaiki dan menyempurnakan skripsi ini yang selanjutnya.

Surabaya, Mei 2010


(5)

vii

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI . ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ………. 5

1.5. Kajian Pustaka ……… 6

1.6. Metodelogi Penelitian ... 9

BAB II BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT

KEPOLISIAN ATAS TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN


(6)

viii

2.1. Aparat Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan ... 15 2.1.1. Proses Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Tindak

Pidana Perdagangan Anak Perempuan ... 19 2.1.2. Data Kriminalitas Mengenai Perdagangan Anak

Perempuan di Kepolisian Resor Surabaya Selatan .. 24 2.1.3. Skema Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana

Perdagangan Anak Perempuan ... 25 2.1.4. Uraian Skema Proses Penyidikan Terhadap Korban

Tindak Pidana Perdagangan Anak ... 26 2.1.5. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Aparat Kepolisian

dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan ... 28 2.2. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan

Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak ... 31 2.2.1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Perempuan Korban Perdagangan Anak Yang Terdapat dalam Instrumen Hukum Nasional ... 33

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN 3.1. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak ... 40


(7)

ix

Perempuan ... 41 3.3. Kasus Perdagangan Anak Perempuan Di Wilayah Kepolisian

Resor Surabaya Selatan

3.3.1. Fakta Hukum ... 44 3.3.2. Pertimbangan Hukum ... 45 3.3.3. Analisa Hukum ... 47 3.4. Faktor-Faktor Anak Perempuan Menjadi Korban Tindak

Pidana Perdagangan Orang ... 48 3.5. Sanksi Pidana Pelaku Perdagangan Anak Sebagai Bentuk

Pertanggungjawaban Pidana ... 53

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan ... 60 4.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat (2) dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 (untuk selanjutnya disingkat Keppres RI No. 36 Th. 1990) tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi.

Perdagangan orang bukanlah hal baru di zaman ini sebelum merdeka pun sudah banyak terjadi dalam bentuk perbudakan. Perdagangan orang sendiri sebenarnya telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Bisnis perdagangan orang saat ini banyak menjerat anak. Bisnis seperti ini merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Lebih ironis lagi bahwa


(9)

praktik perdagangan orang ini ternyata banyak terjadi di negara ini. Orang sebagai “obyek dagang” dalam transaksi ini yang mayoritas adalah anak perempuan. Berbagai survei, penelitian, dan pengamatan menunjukkan kasus perdagangan orang cenderung meningkat dan kian memprihatinkan.

Dewasa ini perdagangan anak perempuan sering di jumpai dalam bentuk prostitusi, tenaga dan bekerja, pengemis, dan sebagainya yang terjadi pada wanita dan anak-anak. Kenyataannya, dalam masyarakat sekarang ini banyak sekali terjadi eksploitasi terhadap anak, contoh yang paling konkrit sering kita jumpai di perempatan jalan. Kita melihat banyak anak-anak perempuan yang mengemis maupun mengamen di jalanan. Berkaitan dengan persoalan tersebut di atas bahwa anak-anak yang dipakai sebagai obyek eksploitasi tenaga dan bekerja, ada pula yang di pakai sebagai obyek eksploitasi seksual komersial.

Tindak pidana perdagangan anak perempuan ini sudah ada aturan yang lebih khusus mengaturnya, akan tetapi aparat penegak hukum belum sepenuhnya merespon dengan baik, seperti halnya kasus yang terjadi khususnya di Surabaya ditemukan fakta-fakta tindak eksploitasi anak perempuan di bawah umur 18 tahun oleh beberapa orang untuk dipekerjakan di tempat-tempat hiburan atau prostitusi yang khususnya berada di kawasan gang Doli Surabaya.

Pekerja anak perempuan dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk unruk anak merupakan masalah yang kompleks, berdimensi sosial, ekonomi dan budaya, karena dipengaruhi faktor kemiskinan, lemahnya pencatatan


(10)

3

kelahiran, faktor pendidikan, faktor budaya, perkawinan dini, pekerjaan menyerupai perbudakan, kebijakan hukum yang bias gender. 1

Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat kepolisian dalam melindungi korban perdagangan anak belum maksimal. Upaya yang mereka lakukan bisa dikategorikan hanya penangganan sesaat, temporer, dan justru tidak memperhatikan trauma psikis dan gangguan psikologis yang besar kemungkinan menimpa korban perdagangan anak. Dampak yang diderita pasca menjadi korban perdagangan anak, yaitu mereka mengalami trauma sehingga tidak mau untuk diajak berkomunikasi dengan orang lain, perasaan malu dan menyesali diri sendiri secara berlebihan, serta mengalami rasa sakit akibat tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh germo atau oleh orang yang menyewanya.

Untuk itu, maka diperlukanlah suatu perlindungan hukum terhadap anak-anak sebagai korban perdagangan, karena anak adalah harapan bangsa dan calon penerus cita-cita bangsa. Upaya perlindungan terhadap anak-anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak itu dewasa. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh dan menyeluruh, seperti yang tertulis dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (untuk selanjutnya disingkat UU No. 23 Th. 2002), yang menentukan :

“Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

a. non-diskriminasi;

1 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan I, Citra Aditya Bakti,


(11)

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Dewasa ini diperkirakan kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak semakin banyak, anak-anak perempuan membutuhkan suatu bentuk perlindungan khusus. Negara kita sebenarnya telah banyak memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dalam menandatangani Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention On The Right

of The Children) sebagai hasil Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

(untuk selanjutnya disingkat PBB) pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keppres RI No. 36 Th. 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya dilaksanakan dan diterapkan secara efektif, kesigapan aparat pemerintah dan aparat hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam perlindungan anak.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang dalam penelitian ini adalah :

1. Apa bentuk upaya penegakan hukum aparat Kepolisian terhadap tindak pidana perdagangan anak perempuan ?


(12)

5

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak ?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk penegakan hukum aparat kepolisian terhadap perdagangan anak perempuan sebagai korban.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan perdagangan anak perempuan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan anak perempuan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah : a. Manfaat Teoritis

1. Dapat mengetahui bentuk upaya penegakan hukum yang diberikan oleh aparat kepolisian terhadap tindak pidana anak perempuan.

2. Dapat pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk

pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan anak perempuan serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan anak perempuan.

3. Untuk pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan hukum pidana khususnya tentang kasus tindak pidana perdagangan anak perempuan.


(13)

b. Manfaat Praktis

1. Penelitian skripsi ini diharapkan diharapkan dapat memberikan gambaran secara jelas dan mendetail mengapa perdagangan anak perempuan perlu diberantas.

2. Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukkan maupun saran bagi semua pihak, baik kepada pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat dalam menanggani tindak pidana perdagangan anak perempuan.

1.5. Kajian Pustaka

Sehubungan dengan kajian tentang masalah upaya penegakan hukum aparat Kepolisian dalam menangani tindak pidana perdagangan anak, maka dapat dikemukakan konsep-konsep berikut ini.

a. Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, arti penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun kenyataan di indonesia kecendrungannya adalah demikian.2

Menurut Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran badan pembentuk Undang-undang.yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukm dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan hukum.3

2 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,

Jakarta, 1986, h. 3

3 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,


(14)

7

Suharto yang dikutip oleh R. Abdussalam menyebutkan bahwa penegakan hukum adalah, suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan aparat penegak hukum baik tindakan pencegahan maupun penindakan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku guna menciptakan suasana aman, damai, dan tertib demi kepastian hukum dalam masyarakat.4

b. Tindak Pidana Perdagangan Anak

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat dikatakan juga perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, namun perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu.5

Pada hakekatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur yang lahir karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana, yakni antara lain6

: 1. Kelakuan atau akibat (perbuatan).

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. 4. Unsur melawan hukum yang obyektif.

5. Unsur melawan hukum yang subyektif”.

4 R. Abdussalam, Penegakan Hukum di Lapangan oleh Polri, Gagas Mitra Catur Gemilang,

1997, h. 18

5 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 54


(15)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) juga menyebutkan mengenai pengertian dari perbuatan pidana, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat (1), ”barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana”, akan tetapi tentang penentuan perbuatan menganut Azas Legalitas yang menentukan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

Secara konseptual perdagangan anak perempuan dapat dipahami sebagai suatu aktifitas yang meliputi proses perekrutan, pengangkatan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, yaitu penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi ataupun memberi atau menerima bayaran serta manfaat tertentu sehingga memperoleh persetujuan dari orang-orang yang memegang kendali atas orang lain yang rentan tereksploitasi.

Bentuk-bentuk eksploitasi disini meliputi, eksploitasi seksual, eksploitasi tenaga dan pekerja, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh.7

Sampai sekarang, terdapat kecenderungan penyempitan makna perdagangan anak perempuan yang seringkali hanya dilihat dari aspek pelacuran. Padahal fakta menunjukkan bahwa perdagangan anak

7 Ahmad Sofian, et al, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera

Utara, dalam Setiadi dan Wini Tamtiari (ed.), Cetakan I, PSKK UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta, 2004, h. 9


(16)

9

perempuan bukan hanya untuk tujuan pelacuran, tapi memiliki makna yang luas. Hal ini tidak terlepas dari tingginya permintaan terhadap anak-anak untuk berbagai tujuan.8

c. Pertanggungjawaban Pidana

Hukum pidana menentukan yang dinamakan dengan

pertanggungjawaban pidana yang dibatasi dengan ketentuan-ketentuan UU pertanggungjawaban menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah menentukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang ditentukan dalam UU dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang atau diharuskan. Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidanakan jika tidak ada kesalahan.9

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

”toerker baarheid criminal resposibility, criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana dimaksud untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.10

1.6. Metodelogi Penelitian Hukum A.Jenis Dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan “metode penelitian hukum normatif”, yaitu mengkaji

8

Ibid. h. 11-12

9 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h. 153

10 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,


(17)

hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang”.11

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.12 Jadi dalam penelitian ini menggunakan

metode penelitian hukum normatif dan tipe penelitian menggunakan penelitian hukum diskriptif.

B. Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder. “Data Sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bila perlu bahan hukum tersier. Data sekunder pada dasarnya adalah data normatif terutama yang bersumber dari perundang-undangan”.13

a. “Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim)”.14 Bahan

penelitian ini terdiri dari beberapa perundang-undangan :

1. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 194

11 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004, h. 52. 12Ibid, h. 50. 13Ibid, h. 151. 14Ibid, h. 82.


(18)

11

2. Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-undang.

Berdasarkan teori diatas, maka Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah :

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Pidana;

3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana;

4) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

5) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 6) Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian negara

Republik Indonesia;

7) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia;

8) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

9) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

b. ”Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik)”15


(19)

c. ”Bahan Hukum tersier, yaitu : bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, (contohnya : Rancangan Undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia)”.16

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis data ini adalah data sekunder yaitu studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, Undang-undang, KUHP, Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan tindak pidana perdagangan anak khususnya anak perempuan.

D.Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis, kemudian hasilnya akan dimanfaatkan untuk membahas permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini.17

E.Sistematika Penulisan

Skripsi dengan judul ”Upaya Penegakan Hukum Aparat Kepolisian Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan Studi Kasus di Kepolisian Resor Surabaya Selatan”, dalam pembahasannya dibagi menjadi IV (empat) bab, sebagaimana yang diuraikan dibawah ini :

16Ibid, h. 82 17Ibid, h. 127


(20)

13

Bab I, adalah merupakan Pendahuluan dan di dalamnya menguraikan tentang ltar belakang masalah dan berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat penelitian sebagai sasaran yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada Kajian Pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi, yang kemudian diuraikan definisi yang berkaitan dengan judul di atas. Selanjutnya diuraikan tentang Metode Penelitian yang merupakan salah satu syarat mutlak dalam setiap penelitian, yang intinya mengemukakan tentang jenis dan tipe penelitian, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta metode analisis data, dengan pertanggungjawaban sitematika.

Bab II, merupakan pembahasan mengenai rumusan masalah yang ada pada bab I, yaitu: bentuk upaya penegakan hukum aparat kepolisian atas tindak pidana perdagangan anak perempuan, yang meliputi : proses penyelidikan dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan, proses penyidikan dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan, skema proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perdagangan anak perempuan, uraian skema proses penyidikan terhadap korban tindak pidana perdagangan anak perempuan, kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam penanganan tindak pidana perdagangan anak perempuan. Serta membahas mengenai upaya perlindungan hukum terhadap anak perempuan korban tindak pidana perdagangan anak.


(21)

Bab III, berisi tentang pembahasan rumusan masalah yang kedua dan ketiga, yaitu: pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan anak perempuan, kasus perdagangan anak perempuan di wilayah Kepolisian Resor Surabaya Selatan, serta faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan anak, khususnya anak perempuan.

Bab IV, mengakhiri semua pembahasan dan analisa dari keseluruhan bab sebelumnya (dari bab I, II, dan III), maka pada bab ini dapat dibuat bebrapa kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka disarankan beberapa hal sebagai masukan tentang hal-hal mengenai upaya penegakan hukum aparat kepolisian dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan yang diangakat dalam penelitian ini.


(22)

15

BAB II

BENTUK UPAYA PENEGAKAN HUKUM APARAT KEPOLISIAN ATAS TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN

2.1. Aparat Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Aparat kepolisian yang dalam hal ini adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap kasus perdagangan anak, di dalam melaksanakan tugasnya selaku penegak hukum dipengaruhi faktor seperti yang disebutkan di atas. Dengan demikian, untuk menentukan berhasil atau tidaknya pemecahan suatu kasus perdagangan anak tidak hanya tergantung dari satu faktor saja, semua faktor saling berhubungan erat dan mempengaruhi satu sama lain.

Menurut Soerjono Soekanto, arti penegakan hukum adalah, keserasian hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk meciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan walaupun kenyataan di

indonesia kecenderungannya adalah demikian.18

Satjipto Rahardjo, menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran badan pembentuk undang-undang, yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kepastian hukm dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan

hukum.19

18 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,

Jakarta, 1986, h. 3

19 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,


(23)

Berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, maka digunakan teori mengenai penegakan hukum, yang menyatakan bahwa

faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain20 :

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau

diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (untuk selanjutnya disebut UU PTPPO) merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menerapkan penegakan hukum. Mencari dan menemukan kebenaran materiil mempunyai posisi penting dalam penegakan hukum, khususnya hukum pidana.

Pengaturan UU PTPPO ini dimaksudkan untuk menjalankan fungsi hukum pidana itu sendiri yakni mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Berkaitan dengan hal ini, secara khusus sebagai bagian dari hukum publik, hukum pidana berfungsi21 :

1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau

memperkosa kepentingan hukum tersebut;

20Soerjono Soekanto, op. cit. h. 5

21 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 15.


(24)

17

2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;

3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka Negara

melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.

Perlindungan yang dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia adalah melalui instansi-instansi pemerintahan yang memiliki kewenangan, dalam hal ini adalah aparat kepolisian yang dituntut perannya sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni :

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang

berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional

yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Penerapan dan upaya penegakan hukum oleh aparat kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana perdagangan anak perempuan diawali dengan adanya informasi, laporan atau aparat kepolisian mengetahui sendiri bahwa diduga telah terjadi tindak pidana perdagangan anak perempuan.

Tindakan Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang pertama kali dalam menangani tindak pidana perdagangan anak perempuan yaitu melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana perdagangan anak perempuan yang dilakukan oleh penyelidik.


(25)

Berdasarkan tindakan penyelidikan tersebut, aparat kepolisi melakukan penyidikan, yang dilakukan oleh penyidik. Tindakan penyidikan yaitu merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangkanya.

Untuk selanjutnya, proses penyidikan oleh aparat kepolisian berupa Berita Acara Pemeriksaan (untuk selanjutnya disebut BAP), kemudian diserahkan ke kejaksaan. Berdasarkan BAP, maka kejaksaan membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri.

Aparat kepolisian menduduki posisi yang paling terdepan dalam proses peradilan pidana. Aparat kepolisian yang pertama kali akan menindaklanjuti segala pengaduan atau laporan atau telah diketahui sendiri tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana. Aparat kepolisian merupakan aparat yang menyaring apakah dugaan telah terjadi pengaduan atau laporan tersebut.

Pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHAP) bagi aparatur penegak hukum antara lain untuk mengadakan persiapan dan kesiapan berkenaan berlakunya KUHAP, untuk mencapai kesatuan pengertian penghayatan dan sinkronisasi dalam pelaksanaan di lapangan. Penyidik yang akan berdiri digaris terdepan dalam pelaksanaan penegak hukum perlu memperhitungkan akan terjadinya masalah-masalah yang tidak dapat dihindari, terutama pada tahap-tahap permulaan

berlakunya KUHAP.22

22 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta,


(26)

19

2.1.1.Proses Penyelidikan dan Penyidikan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik, dalam rangka penegakan hukum di masyarakat.

Tindakan aparat Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang pertama kali dalam menangani tindak pidana perdagangan anak perempuan yaitu melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana perdagangan anak perempuan yang dilakukan oleh penyelidik. Penyelidik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 KUHAP yaitu :

“Penyelidik adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”.

Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian penyelidikan terdapat dalam Pasal 1 ayat (5) KUHAP adalah :

“Serangkaian tindakan peyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Berpegang dari ketentuan di atas, jelas bahwa yang berwenang menjalankan tugas sebagai penyelidik hanyalah anggota Polri yang ditunjuk


(27)

berdasarkan undang-undang dimaksud, sehingga pejabat lain tidak berwenang untuk melakukan penyelidikan.

Dari adanya informasi, laporan atau aparat kepolisian mengetahui sendiri bahwa diduga telah terjadi tindak pidana perdagangan anak perempuan, maka untuk selanjutnya dilakukan proses penyelidikan yang diserahkan pada pihak Reserse Kriminal (untuk selanjutnya disebut reskrim) Kepolisian Resor Surabaya Selatan Unit V Perlindungan Perempuan dan Anak (untuk selanjutnya disebut PPA) antara lain :

1. Para anggota reskrim unit V PPA yang dibantu dengan Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian (untuk selanjutnya disebut SPK) menuju ke Tempat Kejadian Perkara (untuk selanjutnya disebut TKP).

2. Melakukan pemeriksaan sidik jari yang ditinggalkan oleh pelaku.

3. Memeriksa saksi yang secara tidak sengaja melihat kejadian tersebut dan

dimintai keterangannya.

4. Mencari barang bukti yang tertinggal di TKP.

Berdasarkan tindakan penyelidikan tersebut, aparat kepolisian melakukan penyidikan, yang dilakukan oleh penyidik. Tindakan penyidikan yaitu merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti dan menemukan tersangkanya.

Menurut pasal 1 ayat (2) KUHAP menyebutkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah :

“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti


(28)

21

yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.”

Tahap penyelidikan dan penyidikan oleh penyidik pihak reskrim Kepolisian Resor Surabaya Selatan, berdasarkan dalam Pasal 7 ayat 1 KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang adanya tindak

pertama.

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.

c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

d. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memerikasa tanda

pengenal diri tersangka.

e. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan.

f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi.

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara.

i. Mengadakan penghentian penyelidikan.

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung

jawab.

Berdasarkan ketentuan tersebut serta ketentuan-ketentuan lainnya yang tercantum dalam KUHAP mengenai penyidikan dari suatu tindak pidana yang menjadi landasan serta pegangan bagi setiap penyidik dan penyelidik dalam hal utama adalah membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. Jelaslah bahwa yang menjadi tujuan untuk menemukan tersangkanya dimulai dengan penyelidikan untuk mencari dan

mengumpulkan bukti sehingga diperoleh “bukti permulaan yang cukup”.23

23 Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Perempuan dan Anak,


(29)

Untuk memperjelas pengertian penyidikan, dapat diuraikan bahwa yang disebut penyidik menurut pasal 1 ayat (2) KUHAP, adalah : “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.

Proses penyidikan terdiri atas :

1. Penangkapan

2. Penahanan

3. Penggeledahan

4. Penyitaan.

Adapun dalam praktek untuk proses penyidikan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak perempuan, antara lain :

A.Umum :

1. Dibuatkan Sprindik untuk tim yang menanggani;

2. Identifikasi permasalahan terhadap kasus yang ditangani;

3. Membuat Ren Sidik;

4. Polisi Wanita (untuk selanjutnya disebut Polwan) dilibatkan dalam

penanganan kasus tindak pidana perdagangan anak;

B.Khusus :

1. Pemanggilan Saksi;

2. Penyampaian informasi, informasi yang dibutuhkan korban adalah


(30)

23

• Tahapan penanganan perkara pidana khususnya berkenaan dengan

hak dan kewajiban korban;

• Kemungkinan untuk mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma;

• Bentuk perlindungan yang dibutuhkan korban selama dalam proses

sidik.

3. Bila korban, saksi dan tersangka berada di luar negeri :

• Membuat laporan lengkap dan permintaan penangkapan dengan

negara yang bersangkutan melalui Interpol juga Kedutaan Besar (untuk selanjutnya disebut Kedubes) negara setempat.

• Agar Interpol menerbitkan Red Notice terhadap tersangka.

• Mengecek hubungan ekstradisi antara Indonesia dengan Negara

setempat.

• Bila ingin melakukan pemeriksaan, lakukan koordinasi dengan

pihak imigran dan kepolisian setempat.

4. Memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban sesuai dengan

UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (untuk selanjutnya disebut UU no. 13 th. 2006).

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh penyidik atau penyidik pembantu dalam melakukan penyidikan adalah sebagai berikut :

1. fasilitas apa saja yang terdapat pada saat korban ditampung.

2. tanggal, jam dan lokasi pintu masuk pada negara atau daerah tujuan, siapa yang mengantar, dengan angkutan apa dan apakah melalui pemeriksaan petugas perbatasan pada saat masuk negara tujuan.


(31)

3. identitas apakah atau dokumen perjalanan apakah yang digunakan korban, dimana dokumen itu sekarang dan rincian lengkap tentang dokumen tersebut.

4. selama dalam perjalanan ke negara tujuan apakah dokumen yang menyangkut

dirinya, dibawa sendiri atau dibawa oleh orang lain, kalau tidak dibawa sendiri lalu siapa yang membawa.

5. saat kedatangan, siapa yang menghadiri atau menjemput, bagaimana kondisi

bangunan atau tempat penampungan korban di tempat tujuan.

6. korban pada saat disekap mengalami kekerasan seksual, fisik atau tekanan psikologis dan pemerasan.

7. gambaran rinci tentang tersangka.

2.1.2. Daftar Kriminalitas Mengenai Perdagangan Anak Perempuan di Kepolisian Surabaya Selatan

Data-data mengenai tindak pidana perdagangan anak perempuan periode Januari 2009 sampai dengan Januari 2010 di Kepolisian Resor Surabaya Selatan, yaitu :

Tabel.1

Data Kriminalitas di Polres Surabaya Selatan

No. JENIS

KEJAHATAN

UU TELAH

TERUNGKAP

BELUM TERUNGKAP

KET

1. Eksploitasi

Seksual

21/2007 2 - 100%

2. Eksploitasi

Tenaga dan Bekerja

21/2007 - - -


(32)

25

2.1.3.Skema Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Sumber : Kantor Satuan Reskrim Kepolisian Resor Surabaya Selatan Unit V PPA. Adanya Informasi, Laporan, atau

Aparat Kepolisian Mengetahui Sendiri dari Hasil Lidik

Penangkapan Tersangka Dan

Penyitaan Barang Bukti

Korban mengalami kekerasan, maka dilakukan visum di Lab forensik

• SPDP ke KEJARI

• IjinSita/ Geledah ke Pengadilan Negeri • Penyidikan/BAP • Melengkapi Administrasi Penyidikan • Dilakukan Penahanan • Dibuatkan Pemberitahuan Keluarga Perpanjangan Penahanan Selama 40 Hari ke

Kejaksaan Negeri Dikirim Kejaksaan Dan BP Dinyatakan P.21 Tersangka Dan Barang Bukti Dilimpahkan ke Kejaksaan dilakukan dilanjutkan K I R I M M E N G A J U K A N Berkas Selesai


(33)

2.1.4.Uraian Skema Proses Penyidikan Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak

Adapun dalam praktek untuk proses penyidikan terhadap pelaku dan atau tersangka tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Polres Surabaya Selatan adalah sebagai berikut :

1. menerima informasi, laporan dari masyarakat tentang adanya tindak

pidana tersebut, yang kemudian dilakukan tindakan pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan sita terhadap tersangka dan atau pelaku tindak kejahatan perdagangan terhadap anak-anak. Atau pihak reskrim mengetahui sendiri tentang adanya tidak pidana perdagangan anak perempuan dari hasil lidik.

2. melakukan penyitaan terhadap barang bukti oleh para penyidik / penyidik

pembantu, yaitu misalnya berupa :

a. Uang, kartu kredit, cek dan dokumen yang berhubungan dengan

pembayaran yang dilakukan korban kepada pelaku.

b. KTP, tiket, kupon, kwitansi, kartu penumpang, label koper perjalanan.

c. Paspor, Visa, surat-surat perjanjian.

d. Dalam kasus Eksploitasi Seksual, artikel-artikel apa saja yang

berhubungan dengan pakaian seragam, alat bantu seks, kondom, gambar atau bacaan porno.

e. Benda apa saja yang mungkin telah digunakan sebagai alat untuk

menyiksa, seperti benda-benda yang digunakan untuk menyerang, menahan atau memenjarakan korban yaitu pentungan, cambuk, tali,


(34)

27

sarung tangan, gembok, dan lain-lainnya.

f. Senjata yang tidak diperkirakan dapat digunakan untuk menyerang,

seperti gantungan baju, asbak rokok, dan lain-lainnya.

3. Kemudian barang bukti tersebut dibawa ke Laboratorium Forensik Polda

Jatim untuk segera dilakukan visum, apabila korban mengalami kekerasan.

4. Yang dilanjutkan dengan :

• Penyidikan/BAP, dimana di dalam melakukan proses penyidikan

maupun BAP tersebut waktunya tidak tentu, untuk semua kasus.

• Melengkapi administrasi penyidikan, berupa :

a. surat perintah penangkapan;

b. surat perintah penyidikan;

c. surat perintah penggeledahan;

d. surat perintah penyitaan;

e. surat pemberitahuan kepada keluarga bahwa telah dilakukan

penahanan;

f. surat perintah penahanan.

• Dilakukan penahanan untuk proses penyidikan.

• Dibuatkan pemberitahuan keluarga oleh pihak kepolisian.

5. Mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke

Kejaksaan Negeri yang gunanya sebagai pemberitahuan kepada pihak Kejaksaan akan dilakukan penyidikan oleh pihak kepolisian. Dan dilakukan ijin sita/geledah yang dibuat oleh pihak kepolisian, dimana


(35)

hasil sita/geledah tersebut sebagai barang bukti untuk di bawa ke Pengadilan Negeri.

6. Mengajukan perpanjangan penahanan selama 40 (empat puluh) hari ke

Kejaksaan Negeri, apabila masih ada kepentingan (berkas perkara belum lengkap). Berkas perkara yang belum lengkap dinyatakan P.19, dikembalikan ke pihak kepolisian untuk segera dilengkapi dikarenakan BAP dinilai belum lengkap oleh pihak Kejaksaan.

Apabila semua berkas perkara selesai dan telah dilengkapi oleh pihak kepolisian, kemudian dikirim ke Kejaksaan Negeri dan berkas perkara dinyatakan P.21 (lengkap), dilanjutkan dengan pengiriman tahap 2 yaitu pengiriman tersangka, barang bukti, dan BAP tersebut untuk dilimpahkan ke Kejaksaan.

2.1.5.Kendala-Kendala Yang Dihadapi Aparat Kepolisian dalam

Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam tindak pidana perdagangan anak perempuan dengan tujuan untuk dilacurkan, hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan kedudukan atau posisi aparat kepolisian itu sendiri. Kedudukan aparat kepolisian adalah paling depan dalam menangani proses perkara pidana. Proses di aparat kepolisian merupakan awal dari proses perkara pidana ke aparat penegak

hukum selanjutnya, yakni kejaksaan, pengadilan, dan lembaga


(36)

29

pidana sangat mempengaruhi penanganan perkara pidana bagi aparat penegak hukum selanjutnya.

Suatu proses perkara pidana untuk mendapatkan dan menemukan sebuah kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil. Pengungkapan suatu tindak pidana yang diduga telah terjadi, diperlukan beberapa hal yang harus dibuktikkan oleh aparat hukum, khususnya kepolisian.

Penyidikan dilakukan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan. Penyidikan merupakan tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan tentang24 :

1. tindak pidana apa yang telah dilakukan;

2. kapan tindak pidana itu dilakukan;

3. dimana tindak pidana itu dilakukan;

4. dengan apa tindak pidana itu dilakukan;

5. bagaimana tindak pidana itu dilakukan;

6. mengapa tindak pidana itu dilakukan;

7. siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan pihak reserse kriminal (selanjutnya disebut reskrim) Kepolisian Resor Surabaya Selatan, Kamis 6 Mei 2006, Pukul 16.00, secara umum kendala-kendala yang dihadapi oleh

24 Ibid, h. 7


(37)

aparat kepolisian dalam mengungkap dan menangani tindak pidana perdagangan anak, yaitu antara lain sebagai berikut25 :

1. kurangnya kemampuan dikalangan aparat kepolisian dalam mengungkap

telah terjadi tindak pidana perdagangan anak;

2. kurangnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh aparat kepolisian;

3. kurang sadarnya warga masyarakat dalam melaporkan bahwa telah

terjadi tindak pidana perdagangan anak.

Kendala yang paling sulit dihadapi oleh aparat kepolisian dalam tindak pidana perdagangan anak ada 2 (dua) yaitu :

1. menemukan tersangka yang belum tertangkap;

2. menemukan alat bukti yang belum diketemukan.

Pasal 21 butir 1 KUHAP menyatakan, aparat kepolisian dalam melakukan penahanan, pertama kali harus ada “bukti permulaan yang cukup”. Belum diketemukannya bukti-bukti permulaan yang cukup, maka akan menyulitkan aparat kepolisian melakukan penahanan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan anak perempuan.

2.2.Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan anak perempuan tidak hanya dilakukan dengan cara memberikan sanksi pidana terhadap pelaku, melainkan juga dengan memberikan perlindungan hukum


(38)

31

terhadap para korbannya yaitu anak-anak khususnya anak perempuan yang sering dijadikan obyek eksploitasi.

Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi tentang hak asasi manusia. Sesuai dengan isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD 1945 alinea ke-4, menyebutkan bahwa :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Pancasila”.

Setiap orang yang menjadi Warga Negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 28G ayat (1) dan (2), yakni :

(1)Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yand berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2)Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memeperoleh suaka politik dari negara lain.

Pasal 28 H ayat (2), juga menentukan bahwa : “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Perlindungan hukum terhadap anak perempuan korban tindak pidana perdagangan anak dalam proses peradilan pidana dimaksudkan, agar


(39)

terpenuhi hak-haknya sebagai anak yang merupakan salah satu tujuan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Dalam mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya, yaitu adanya kerjasama dan tanggung jawab antara negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua serta adanya sarana dan prasarana yang mendukung. Sifat yang khusus dari anak, terdapat pembedaan perlakuan dalam hukum acara dan ancaman pidananya.

Dalam usaha perlindungan terhadap anak dapat dilakukan dengan cara26:

1. Perlindungan secara langsung

Perlindungan secara langsung merupakan usaha yang berkaitan dengan kepentingan anak antara lain pencegahan dari segala sesuatu yang merugikan atau pengorbanan kepentingan anak disertai pengawasan supaya anak berkembang dengan baik dan penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya dan luar dirinya.

2. Perlindungan tidak langsung

Dalam hal ini yang ditangani bukanlah anak secara langsung, tetapi para partisipan lainnya dalam perlindungan anak. Seperti orang tua, petugas, pembina, dan lain sebagainya. Usaha-usaha perlindungan anak yang tidak langsung tersebut antara lain :

26 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Madar Maju, Bandung,


(40)

33

a. Mencegah orang lain merugikan kepentingan anak melalui peraturan

perundang-undangan.

b. Meningkatkan pengertian hak dan kewajiban anak.

c. Pembinaan mental, fisik, sosial para partisipan lain, dalam rangka perlindungan anak.

d. Penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.

2.2.1.Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Perempuan Korban Perdagangan Anak Yang Terdapat dalam Instrumen Hukum Nasional

Upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan anak perempuan tidak hanya dilakukan dengan cara menangkap dan menghukum para pelaku saja, melainkan juga disertai dengan perlindungan hukum terhadap korban dari perdagangan anak itu sendiri.

Perlindungan hukum bagi anak perempuan korban perdagangan anak di Indonesia secara materiil sudah terpenuhi, hal ini terlihat pada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur masalah tindak pidana perdagangan orang, yaitu :

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(untuk selanjutnya disebut UU no. 23 th. 2002)

UU no. 23 th. 2002 mengatur beberapa pasal yang diterapkan mengenai perlindungan terhadap anak sebagai korban dalam tindak pidana perdagangan anak, yaitu :

Pasal 59 memberikan perlindungan khusus kepada anak. Perlindungan tersebut adalah sebagai berikut:


(41)

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Pasal 68 merumuskan bahwa :

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan,

penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,

melakukan, menyuruhlakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Korban perdagangan anak berdasarkan UU no. 23 th. 2002, perlu diberikan perlindungan secara khusus, antara lain :

a. perlindungan berkaitan dengan identitas diri korban, terutama selama

proses persidangan. Bertujuan agar korban terhindar dari berbagai ancaman atau intimidasi dari pelaku yang mungkin terjadi selama proses persidangan berlangsung.

b. Jaminan keselamatan dari aparat berwenang. Korban harus

diperlakukan dengan hati-hati oleh aparat penegak hukum agar keselamatannya terjamin sehingga dapat memberikan kesaksian.

c. Bantuan medis, psikologis, hukum, dan sosial, terutama untuk

mengembalikan kepada keluarga dan komunitasnya.


(42)

35

2. UU no. 13 th. 2006

Beberapa pasal yang menyangkut masalah pemberian

perlindungan terhadap korban kejahatan tertentu diterangkan juga dalam UU no. 13 th. 2006. Dalam hal ini, tindak pidana perdagangan anak termasuk merupakan tindak pidana yang dapat mengakibatkan korban dan saksinya dihadapkan pada posisi yang membahayakan jiwa dari anak-anak tersebut, karena sifat kejahatan ini bersifat internasional.

Mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap anak perempuan korban perdagangan anak diterangkan dalam pasal 5 ayat (1).

Pasal 5 menerangkan bahwa :

(1) Seorang saksi dan korban berhak:

a.Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,

dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b.Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c.Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d.Mendapat penerjemah;

e.Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g.Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h.Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapat identitas baru;

j. Mendapatkan tempat kediaman baru;

k.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas


(43)

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU no. 39 th.1999)

Perlindungan terhadap anak perempuan korban perdagangan anak disebutkan dalam Pasal 3 dan Pasal 65 UU no. 39 th. 1999.

Pasal 3 menerangkan bahwa :

”Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.” Dari pasal 3 tersebut diambil kesimpulan bahwa, setiap orang mempunyai harkat dan martabat yang sama, berhak memperoleh perlindungan hukum atas hak asasi manusia, tanpa adanya diskriminasi. Pasal 65 menerangkan bahwa :

”setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.”

4. UU no. 21 th. 2007 tentang UU PTPPO

Pasal-pasal yang berkaitan dengan pemberian perlindungan hukum terhadap anak perempuan korban perdagangan anak, yaitu Pasal 43, Pasal 44, Pasal 48 dan Pasal 51 ayat (1).


(44)

37

”Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam

perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap anak perempuan korban perdagangan anak tetap digunakan UU no. 13 th. 2006, kecuali dalam UU ini menentukan lain (dalam UU ini mengatur sendiri).

Pasal 44 menerangkan bahwa :

(1)Setiap dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang

berhak memperoleh kerahasiaan identitas.

(2)Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga pada

keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban.

Pasal 48 menerangkan bahwa :

(1)Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli

warisnya berhak memperoleh restitusi.

(2)Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:

a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b.Penderitaan;

c.Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis;

dan/atau

d.Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat

perdagangan orang. Pasal 51 menerangkan bahwa :

(1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,

rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari

pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami

penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

Setiap korban pada asasnya dapat menuntut ganti kerugian terhadap pelaku, namun ganti kerugian itu memerlukan proses lebih lanjut atau


(45)

setidak-tidaknya dapat mengajukan gabungan perkara gugatan ganti kerugian. Proses ini tidak dilalui oleh korban kejahatan hak asasi manusia oleh karena telah ditentukan bahwa hak korban dicantumkan dalam amar putusan pengadilan. Salah satu perbedaan yang essensil dengan korban kejahatan kriminalitas biasa bahwa korban kejahatan hak asasi manusia mendapatkan ganti kerugian dari negara yang disebut hak untuk mendapatkan kompensasi.

Upaya perlindungan korban dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia bersama dengan mitranya Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi masyarakat, Lembaga Pengabdian Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan perseorangan yang peduli dengan masalah ini. Pemerintah memberikan perlindungan kepada warga negaranya di manapun dia berada, baik di dalam maupun di luar negeri. Perwakilan RI di luar negeri adalah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab memberikan perlindungan kepada warga Negara Indonesia (untuk selanjutnya disebut WNI) sebagaimana diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 21 Undang-Undang No. 7 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Perlindungan yang diberikan selain layanan kesehatan, konseling, dan bantuan administratif, juga termasuk memberikan penampungan yang aman serta mengusahakan pemulangannya ke Indonesia.

Pasal 19, merumuskan bahwa:

“Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan


(46)

39

Pasal 21, merumuskan bahwa :

“Dalam hal warga negara Indonesia terancam bahaya nyata, Perwakilan

Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan,

membantu, dan menghimpun mereka di wilayah yang aman, serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara.”


(47)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK PEREMPUAN

3.1. Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Pasal 55 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 56 KUHP memberikan pengertian tentang pelaku diatur dan menerangkan, sebagai berikut :

Pasal 55 merumuskan bahwa :

(1)Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana :

ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan;

ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

(2)Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56 merumuskan bahwa :

Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan : ke-1. Mereka dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

ke-2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Berdasarkan pasal 55 dan pasal 56 KUHP diatas yang dimaksud dengan pelakunya adalah mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan dan membantu melakukan.

Sedangkan Dalam pasal 1 angka 4 UU PTPPO yang dimaksud dengan pelaku adalah :


(48)

41

”Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.”

Bahwa dari uraian pasal 1 angka 4 UU PTPPO diatas, selain orang perseorangan sebagai subyek hukum dapat dikenai sanksi pidana.

Dalam kasus perdagangan anak perempuan, pelaku terbagi pada :

1. pelaku perekrutan (mengajak, menampung atau membawa korban);

2. pengiriman (mengangkut, melabuhkan atau memberangkatkan

korban);

3. pelaku penyerahterimaan (menerima, mengalihkan atau memindah

tangankan korban);

4. Dalam lingkup hubungan antara majikan dan pekerja, dapat juga dikategorikan sebagai sebagai pelaku ketika seorang majikan menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif. Kondisi yang sering terjadi adalah tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang.

3.2. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Penjelasan mengenai pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana, walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana.27 ada hubungan erat antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana, yang berarti bahwa perbuatan

27 Dwijdja, Priyatno. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Koorporasi Di Indonesia. CV. Utomo Bandung. 2004. h. 30


(49)

pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya ada peratnggungjawaban pidana, dan tidak mungkin ada pertanggungjawaban pidana kalau tidak ada perbuatan pidana.28

Hukum pidana menentukan yang dinamakan pertanggungjawaban pidana dibatasi dengan ketentuan-ketentuan undang-undang pertanggungjawaban menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah menentukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang ditentukan dalam undang-undang dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang atau diharuskan. Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidanakan jika tidak ada kesalahan.29

Seseorang dikatakan mempunyai kesalahan apabila perbuatan yang dilakukannya, pada waktu itu dianggap tercela oleh masyarakat karena merugikan masyarakat padahal orang tersebut mengetahui bahwa perbuatannya buruk tetapi tetap melakukannya.30 Ada 2 bentuk kesalahan dalam melakukan perbuatan, yaitu pertama, kesengajaan (dolus) merupakan perbuatan yang diinsyafi sebagai demikian atau yang dilakukan dengan kesengajaan, sedangkan kedua, kelalaian (culpa) yaitu merupakan perbuatan

yang dilakukan dengan kelalaian.31

28 Ibid. h. 36

29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, h. 153 30 Ibid. h. 157


(50)

43

Menurut Moeljatno, kesengajaan adalah pengetahuan yaitu adanya hubungan batin atau pikiran dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Sehingga ada 2 bentuk kesengajaan, yaitu32 :

1. Kesengajaan secara kepastian.

2. Kesengajaan secara kemungkinan.

Unsur-unsur suatu kesalahan harus dihubungkan dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan, dengan demikian untuk adanya kesalahan terdakwa harus33 :

1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum).

2. Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab.

3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau

kealpaan.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.

Menurut Barda Nawawi, bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas diketahui terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Berarti harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu unsur-unsur tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang dirumuskan oleh pembuat UU untuk tindak pidana yang bersangkutan. Pengertian Subyek tindak pidana dapat meliputi 2 hal yaitu siapa yang melakukan dan siapa yang

dapat dipertanggungjawabkan.34

Menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat.

Dalam KUHP tidak ada, ketentuan tentang arti kemampuan

32 Ibid. h. 177

33 Ibid. h. 164


(51)

bertanggungjawab, yang berhubungan dengan hal itu adala Pasal 44 ayat (1) KUHP, bahwa :

”barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, tidak dipidana.”

3.3. Kasus Perdagangan Anak Perempuan Di Wilayah Kepolisian Resor Surabaya Selatan

3.3.1. Fakta Hukum

Berikut ini adalah satu kasus nyata perdagangan anak perempuan yang terjadi di Surabaya dan berhasil diungkap Kepolisian Resor Surabaya Selatan, yang kasus posisinya adalah sebagai berikut :

“Anton (bukan nama sebenarnya) sebagai tersangka I, membujuk 2 orang korban melati (bukan nama sebenarnya) 15 tahun, dan mawar (bukan nama sebenarnya) 16 tahun, untuk diajak bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (untuk selanjutnya disebut PSK) dengan janji akan mendapatkan gaji besar. Kemudian tersangka I menawarkan kepada Andi (bukan nama sebenarnya) sebagai tersangka II, yang datang dari Jayapura ke Surabaya dengan tujuan untuk mencari perempuan yang akan dibawa ke Jayapura untuk dijadikan PSK. Dari perbuatannya mencari perempuan untuk dijadikan PSK tersebut, Tersangka I mendapatkan uang imbalan sebesar Rp. 400.000,- untuk satu orang anak perempuan yang akan dijadikan PSK, jadi Tersangka I menerima total Rp. 800.000,- dari Tersangka II. Namun pada saat


(52)

45

Tersangka II akan berangkat menuju Jayapura bersama dengan 2 orang korban, Tersangka II ditangkap oleh petugas Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

3.3.2. Pertimbangan Hukum

Kasus yang terjadi antara Anton dan Andi, dengan korban Melati dan Mawar merupakan kasus perdagangan anak perempuan. Sebagaimana yang telah kita ketahui anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya juga melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Bahwa setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Kasus di atas dapat dikatakan sebagai perdagangan anak perempuan karena mengandung unsur-unsur di dalam Pasal 2 dan Pasal 17 UU PTPPO yang dapat memberatkan tersangka.

Dari kasus di atas kedua tersangka telah melakukan tindak pidana pencurian perdagangan anak perempuan dengan tujuan untuk di


(53)

eksploitasi, dikarenakan mengandung unsur dalam perdagangan anak, yaitu :

1. “Perekrutan” : kedua tersangka telah melakukan tindakan yang

meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa atau memisahkan korban dari keluarga atau komunitasnya.

2. ”Pengiriman” : kedua tersangka memiliki niat memberangkatkan

atau melabuhkan korban dari satu tempat ke tempat lain.

3. ”Eksploitasi” : kedua tersangka melakukan tindakan dengan

persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,

seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum

memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

Perdagangan anak perempuan ini merupakan tindak pidana yang memiliki sifat yang melanggar hak asasi manusia. Sanksi yang dapat diberikan dari pihak penyidik reskrim oleh kedua pelaku perdagangan anak perempuan di atas berdasarkan pertimbangan hukum yang ada, adalah : kedua pelaku akan dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun.


(54)

47

3.3.3. Analisa Kasus

Kasus tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan oleh kedua tersangka Anton dan Andi dengan korban Melati dan Mawar, adalah :

1. Bahwa kedua tersangka telah melanggar pasal 2, yaitu :

”Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,

penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000 (enam ratus juta rupiah).”

2. Mengandung unsur-unsur Pasal 2 yaitu :

-Setiap orang, yang dimaksud setia orang dalam kasus tindak pidana

perdagangan anak ini adalah tersangka Anton dan Andi.

-Melakukan Perekrutan terhadap kedua korban yang dilakukan oleh

kedua tersangka dengan tujuan mengajak kedua korban menjadi PSK

-Transportasi, kedua tersangka memiliki niat melakukan

pemindahan kepada korban yang berhasil direkrut kepada orang lain atau ke tempat tertentu.

-Perpindahan, kedua tersangka memiliki niat memindahkan korban

di dalam satu negara, atau masih dalam satu lintas negara yaitu dari Surabaya menuju Jayapura.


(55)

3. Jadi kesimpulannya, yaitu :

Berdasarkan hasil analisa kasus di atas, maka unsur yang dapat dipersangkakan oleh tersangka Anto dan Andi telah terpenuhi sehingga dapat diduga keras telah melakukan tindak pidana perdagangan anak perempuan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UU PTPPO.

3.4.Faktor-Faktor Penyebab Anak Perempuan Menjadi Korban Tindak Pidana Perdagangan Anak Perempuan

Perdagangan anak khususnya anak perempuan, merupakan masalah yang sangat kompleks, karena masalah perdagangan anak perempuan telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kejahatan perdagangan anak di bawah umur pada hakekatnya adalah suatu rangkaian pelaksanaan penegakan hukum yang berada dalam suatu sistem yang meliputi beberapa elemen dari tujuan hukum, yakni

kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit)

dan keadilan (gerechtigkeit).

Pengertian perdagangan anak secara konseptual dapat dipahami sebagai suatu aktifitas yang meliputi proses perekrutan, pengangkatan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, yaitu


(56)

49

penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi ataupun memberi atau menerima bayaran serta manfaat tertentu sehingga memperoleh persetujuan dari orang-orang yang memegang kendali atas orang lain yang rentan tereksploitasi.

Bentuk-bentuk eksploitasi disini meliputi, eksploitasi dengan cara memprostitusikan anak atau bentuk eksploitasi seksual, eksploitasi tenaga dan pekerja, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan

perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh.35

Istilah kejahatan perdagangan anak di bawah umur sebagai bentuk perbudakan masa kini disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 9 huruf c Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (untuk selanjutnya disebut UU no. 26 th. 2000) yang menyebutkan bahwa : ”perbudakan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan”, Pasal 9 huruf c tersebut di atas memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud perbudakan adalah termasuk perdagangan manusia khususnya wanita dan anak.

Pasal 7 huruf (b) UU no. 26 th. 2000, kejahatan perdagangan anak di bawah umur merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kualifikasi kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Berdasarkan ketentuan ini maka perdagangan anak di bawah umur bukan suatu tindak pidana kriminalitas biasa sehingga perlu perhatian yang serius untuk penanggulangannya.

35 Ahmad Sofian, Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera Utara. dalam Setiadi dan Wini Tamtiari (ed.). Cetakan I. PSKK UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta, 2004, h. 9


(57)

Pengaturan hukum perdagangan terhadap anak di bawah umur yang diatur dalam peraturan yang berbeda pada hakikatnya merupakan suatu perkembangan yang positif, namun tetap dirasakan belum memadai dan belum sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat. Pengaturan yang berbeda dan tidak dalam satu sistem akan dapat menyulitkan dan rumit dalam penerapannya. Salah satu kendala sederhana untuk menanggulangi kejahatan ini adalah belum diketahui secara pasti pengertian yuridis dari kejahatan memperniagakan dan mengenai batasan tentang usia di bawah umur.

Mengenai pengertian anak sampai saat ini belum ada pendapat yang sama tentang pengertian anak di Indonesia. Terdapat pengertian yang berbeda-beda baik secara hukum pidana, hukum perdata, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan sebagainya. Sehingga bila akan menentukan suatu pengertian anak, maka harus melihat persoalan yang melibatkannya terlebih dahulu.

Menurut UU PTPPO Pada Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (2) yang dimaksud dengan pengertian anak, bahwa :

”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Pengertian perdagangan anak seringkali hanya dilihat dari aspek pelacuran. Perdagangan anak bukan hanya untuk tujuan pelacuran. Terdapat 5 Jenis perdagangan anak yang ada di Indonesia36 :

36 Ibid. h. 11-12


(1)

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan

Peran Reskrim Kepolisian Resor Surabaya Selatan dalam upaya penegakan hukum tindak pidana perdagangan anak perempuan terhadap pelaku, diawali atau dimulai dengan adanya laporan, informasi dari masyarakat, atau aparat kepolisian mengetahui sendiri tentang adanya tindak pidana perdagangan anak perempuan, yang kemudian dilakukan penyelidikan, serta penyidikan (penyitaan barang bukti, saksi-saksi,dan sebagainya) untuk selanjutnya dilakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan terhadap pelaku dan atau tersangka tindak pidana perdagangan anak perempuan.

Perlindungan hukum bagi anak perempuan korban perdagangan anak dengan tujuan untuk dilacurkan di Indonesia secara materiil sudah terpenuhi terlihat pada banyaknya UU yang mengatur masalah tindak pidana perdagangan orang, yaitu pada : Pasal 59 dan Pasal 68 dalam UU no. 23 th. 2002, Pasal 5 dalam UU no. 13 th. 2006, Pasal 3 dan Pasal 65 dalam UU no. 39 th. 1999, Serta Pasal 43, Pasal 44, Pasal 48 dan Pasal 55 ayat (1) dalam UU PTPPO.

Faktor yang melatarbelakangi para pelaku melakukan tindak pidana perdagangan anak yaitu : Kemiskinan, Kurangnya kesadaran masyarakat, Keinginan cepat kaya, budaya, Kurangnya pencatatan kelahiran, Kurangnya pendidikan, Lemahnya sistem penegakan hukum.


(2)

61

Perlindungan hukum terhadap korban sendiri mempunyai arti yaitu perlindungan yang diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku guna untuk melindungi anak yang mengalami penderitaan psikis, mental fisik, seksual, ekonomi, dan atau social, yang diakibatkan dari tindak pidana perdagangan anak. Sehingga bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana perdagangan anak perempuan berupa sanksi pidana sebelum adanya UU PTPPO yaitu : Pasal 297 dan 324 KUHP, Pasal 83 dan Pasal 88 UU no. 23 th. 2002 tentang Perlindungan Anak. Setelah UU PTPPO disahkan dan diberlakukan maka segala hal yang mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perdagangan anak perempuan terdapat dalam Pasal 2, 3, 4, 5, 6 dan 17. 4.2. SARAN

Berdasarkan dari kesimpulan di atas mengenai hal yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan anak perempuan penulis memberikan saran:

1. Peran reskrim Kepolisian Resor Surabaya Selatan dalam upaya penegakan hukum tidak hanya menggunakan perangkat hukum untuk menangani tindak pidana perdagangan anak perempuan, melainkan juga dalam penanggulangan kejahatan perdagangan anak dengan melakukan kebijakan yang meliputi:

a. Tindakan pencegahan atau preventif, Tugas Polri yang bersifat preventif yaitu mengatur atau melakukan tindakan-tindakan yang


(3)

62

berupa usaha-usaha, kegiatan, pekerjaan untuk tidak terganggunya ketertiban, keamanan, ketenangan, ketentraman masyarakat.

b. Tindakan represif, Tugas yang bersifat represif adalah tugas-tugas kepolisian yang berupa menindak terhadap pelanggar hukum untuk diproses peradilan sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. Diharapkan peran serta pemerintah, aparat kepolisian, masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarakat dalam meminimalisir tindak perdagangan anak perempuan dengan melakukan upaya tindakan penindakan hukum kepada pelaku (trafficker) serta memberikan upaya tindakan perlindungan hukum terhadap korban.

3. Dari hasil penelitian ini diharapkan kita semua dapat meningkatkan kepedulian terhadap anak perempuan yang dilacurkan dengan berusaha sedapat mungkin mencegah penjualan anak-anak perempuan atau pemaksaan terhadap anak perempuan untuk menjadi pekerja seks. Misalnya dengan Advokasi Legislatif. Pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum dalam hal ini Polri agar lebih sensitif gender dan berkeadilan gender dalam menangani anak perempuan korban perdagangan orang. Memberikan layanan dan penanganan sosial pada perempuan yang sudah dieksploitasi oleh jaringan perdagangan orang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti. Bandung, 2001.

Abdussalam. R. Penegakan Hukum di Lapangan Oleh POLRI. Gagas Mitra Catur Gemilang. 1997.

Atmasasmita, Ramli. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Rafika Aditama. Bandung. 1994.

---, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Mandar Maju. Bandung. 2001.

Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Gandhi, Lapian L.M. Trafficking Perempuan dan Anak. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2006.

Harsono, Irawati. Penangganan POLRI Terhadad Kasus Perdagangan Perempuan dan Anak. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. Jakarta. 2004.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Edisi Revisi. Sinar Grafika. Jakarta. 2001

Kansil. CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2000.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 1993.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004.

Nasir. Moh. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1999.

Prakoso, Djoko, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum. Bina Aksara. Jakarta. 1987.

Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar Baru. Bandung.

Saraswati, Rika. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia. Cetakan I. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2009.


(5)

Sofian, Ahmad et al. Menggagas Model Penanganan Perdagangan Anak: Kasus Sumatera Utara. dalam Setiadi dan Wini Tamtiari (ed.). Cetakan I. PSKK UGM dan Ford Foundation. Yogyakarta. 2004.

Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. 1983.

---, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers. Jakarta. 1990.

Suyanto, Bagong. Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya, Edisi 2. Airlangga University Press, Surabaya. 2003.

Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Cetakan I. Rafika Aditama. Bandung. 2005

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. 1997.

Tumanan, Sampe Randa, Penegakan Hukum Oleh Aparat Kepolisian (Studi Kasus Tentang Produktifitas Penanganan Perkara Pidana di Polwiltabes Surabaya, Polres Selatan, Timur, dan Utara). Lembaga Penelitian Umum. Surabaya. 1993.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Fokus Media, 2010.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Fokus Media, 2010.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.


(6)