Akuntabilitas dan pengakuan versus kegagalan lembaga pendidikan perpustakaan

21 interpretasi terhadap data dan informasi yang diperlolehnya; bukan sekadar mencari isu pokok dari dalam data itu. Itu sebabnya, dalam selective coding dilakukan interpretasi teoritis sebagai bagian dari upaya peneliti memahami dan menemukan makna di dalam keseluruhan proses penelitian ini. Berikut ini hasil selective coding, perangkuman, dan penyimpulan penelitian ini.

1. Akuntabilitas dan pengakuan versus kegagalan lembaga pendidikan perpustakaan

Di kalangan pustakawan yang menjadi sumber informasi informan dalam penelitian ini, tersirat bahwa kepustakawanan Indonesia mempunyai persoalan mendasar yang menjadi sumber keterpurukan profesi pustakawan. Pada coding di atas kita dapat melihat tiga hal yang menjadi pokok permasalahan kepustakawanan Indonesia, yakni: pengakuan profesi, kegagalan ilmu pendidikan dan informasi, fungsional versus sertifikasi. Persoalan-persoalan di bidang kepustakawanan ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor, baik dari kalangan pustakawan sendiri maupun dari pihak luar pustakawan seperti pihak pemerintah dan masyarakat umum. Kesadaran pustakawan akan tidak adanya pengakuan terhadap profesinya nampaknya didasari pada kenyataan bahwa di lembaga pendidikan tinggi, pekerjaan pustakawan cenderung dianggap sebagai pekerjaan teknis, dan bukan professional. Pendapat ‘tidak diakui’ ini juga didasari pada fakta lemahnya posisi tawar pustakawan di lingkungan pendidikan tinggi seperti dikatakan informan berikut: Posisi tawar kita itu sangat lemah di pendidikan tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan dosen.Karenanya sulit mengharap pengakuan apalagi menuntut penghargaan dari lembaga. Sedangkan kegagalan pendidikan ilmu perpustakaan didasari pada pengalaman bahwa di lapangan, kompetensi yang diperoleh dari lembaga pendidikan kurang relevan, serta tidak adanya ilmuwan di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Lalu masalah fungsional versus sertifikasi muncul akibat ketidakjelasan konsep sertifikasi yang tengah disiapkan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Munculnya ide sertifikasi tidak dapat dikatakan sebagai solusi tepat, melainkan hanya sebagai alternatif meningkatkan profesionalisme pustakawan.Ide ini pun masih mendapat pro dan kontra diantara pustakawan. Lagi-lagi, persoalannya adalah ketidakjelasan konsep sertifikasi tersebut. Pustakawan juga menyadari bahwa sertifikasi bukanlah jaminan untuk mendapatkan pengakuan sebagai professional. Persoalan utama yang mendesak adalah membenahi dan mengatasi berbagai persoalan yang telah mengakar, yakni cara mengelola pendidikan perpustakaan, seperti dikatakan informan berikut: Persoalan utama kepustakawanan Indonesia adalah bahwa profesi ini tidak punya kewibawaan. Perpustakaan itu belum mengakar di bumi Indonesia. Ini diakibatkan oleh beberapa hal, yakni: kegagalan ilmu perpustakaan dan pengelola perpustakaan meyakinkan masyarakat Indonesia atas fungsi perpustakaan. Ilmu perpustakaan tidak berkembang dan tidak punya ilmuwan di bidang perpustakaan. Kebanyakan pekerjaan pustakawan adalah pekerjaan pribadi, bukan pekerjaan profesi organisasi. Pustakawan adalah orang yang memiliki kompetensi, jadi seharusnya ada kesepakatan antara pustakawan dan sekolah perpustakaan. Setelah disepakati, lalu menyusun kurikulum supaya kompetensi yang telah disepakati itu dapat dicapai. Lalu dicari dosen yang bisa mengajar sesuai kurikulum itu. Persoalan kita adalah, sekolah perpustakaan di Indonesia tidak mempunyai tujuan yang jelas, mau menghasilkan lulusan yang seperti apa? Sehingga tidak dapat menentukan kurikulum yang jelas dan kompetensi pengajar yang relevan. Nah, semua 22 ini harus diatasi dengan melihat akar permasalahan, bukan dengan sertifikasi Interpretasi 1 Seorang pustakawan menganggap dirinya profesional jika mendapat pengakuan dan penghargaan dari lingkungannya, baik dari kelompok profesinya sendiri, dari lembaganya, dan dari masyarakat umum pengguna perpustakaan. Di pendidikan tinggi, pustakawan cenderung membandingkan posisinya dengan kelompok dosen. Hal ini senada dengan kajian Ruth Kraemer 1948 yang mengatakan bahwa merujuk pada peran guru sebagai penyelenggara pendidikan, pustakawan juga berusaha membenarkan kebutuhan mereka akan perlunya perlindungan hukum melalui sertifikasi untuk menekankan posisi mereka sebagai anggota dari institusi pendidikan. Pustakawan sangat berkepentingan dalam perluasan layanan kepada kelompok masyarakat, meningkatkan bantuan dalam penelitian ilmiah, serta mengembangkan minat agar aktif dalam pendidikan orang dewasa sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai professional. Dari hasil kajiannya, Kraemer 1948 mengatakan bahwa sertifikasi akan memberikan rasa percaya diri bagi pustakawan dalam memberikan layanan yang baik, melindungi pustakawan yang kompeten, meningkatkan prestise profesi, dan ‘mengasuransikan’ pustakawan berkualitas. Namun profesionalisme tidak melulu soal sertifikasi. Seperti dikatakan Pendit 2001 bahwa penting sekali bagi sebuah profesi untuk memiliki otonomi, sebab seorang yang professional seharusnya juga seorang yang otonom. Otonomi pustakawan penting dipahami dari sisi posisi dan hubungan sosial, karena sangat relevan dengan kondisi yang dihadapi pustakawan Indonesia saat ini. Menurut Pendit 2001 ada dua alasan tentang ini. Pertama, karena saat ini para pustakawan Indonesia berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang apa sebenarnya peran mereka dalam perubahan masyarakat yang sangat mendasar, termasuk khususnya ide tentang demokratisasi, masyarakat madani dan perubahan dalam pemerintahan daerah otonomi daerah. Kedua, pustakawan berkegiatan di bidang informasi yang saat ini terus menerus berubah dengan cepat, sehingga ada pertanyaan tentang jati diri profesi ini di hadapan profesi-profesi lainnya. Berbeda dengan negara-negara yang telah menjalankan program sertifikasi, pendapat bahwa lembaga pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia gagal, merupakan temuan dalam penelitian ini. Di negara lain, seperti Amerika, Inggris, Kanada, dan Philipine tidak menganggap bahwa kualitas lembaga pendidikan perpustakaan rendah atau tidak memenuhi kualifikasi untuk menghasilkan pustakawan professional. Sertifikasi di berbagai negara tersebut tidak berkaitan dengan kualitas pendidikan, hanya sebagai upaya mendapatkan pengakuan sebagai sebuah profesi. Persoalan status kepegawaian pustakawan di berbagai negara juga tidak terlalu menonjol, seperti halnya yang terjadi di Indonesia, yakni konsep ‘fungsional’ dan sertifikasi. Jadi, fokusnya bukan ke status kepegawaian, namun ke status telah bersertifikasi atau tidak. Kesimpulan 1: Pustakawan pendidikan tinggi menyadari masalah-masalah yang mendominasi kepustakawanan Indonesia bersifat mendasar, yakni: kurangnya pengakuan dan gagalnya lembaga pendidikan perpustakaan sebagai lembaga yang memproduksi pustakawan. Kondisi ini diakibatkan tidak adanya visi yang jelas, serta pendidikan perpustakaan tidak mengakar di bumi pertiwi. Pemahaman ini didasari pada pengalaman tidak diakui sebagai profesi akibat 23 kualitas pendidikan perpustakaan yang belum optimal. Masalah-masalah mendasar ini melibatkan banyak pihak, tidak hanya kelompok pustakawan namun juga dari pihak pemerintah dan masyarakat. Prioritas utama kepustakawanan Indonesia seharusnya merujuk kepada persoalan-persoalan yang telah mengakar, sedangkan sertifikasi dinilai sebagai salah satu cara saja dalam memastikan profesionalitas seseorang. Saran 1: Kompleksnya persoalan dunia kepustakawanan di Indonesia tidak melulu tanggung jawab PNRI sebagai lembaga pembina perpustakaan. Seluruh pihak yang terkait, khususnya pustakawan sendiri harus memiliki pemahaman yang jelas tentang persoalan yang ada dan bersama-sama dengan lembaga pendidikan dan asosiasi profesi. Namun sebagai lembaga yang memiliki posisi strategis dalam pengembangan perpustakaan di Indonesia, PNRI dapat proaktif menjadi wadah di mana segala persoalan kepustakawanan dikumpulkan, dianalisis, dan dipecahkan secara bersama-sama. Ini dapat diwujudkan dengan menciptakan program atau kegiatan yang sifatnya merangkul berbagai pihak untuk pengembangan kepustakawanan. Demikian juga dengan asosiasi profesi, perlu lebih proaktif menyuarakan persoalan-persoalan di lapangan, serta berani ‘menembus’ level pengambil kebijakan untuk menegakkan ‘wajah’ profesi pustakawan. Asosiasi profesi perlu lebih sering muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai kelompok yang memiliki perhatian terhadap penegakan hak-hak masyarakat dalam mendapatkan informasi. Pustakawan sendiri tidak cukup hanya dengan menyadari bahwa ada masalah Bagaimanapun juga masalah pustakawan harus dipecahkan oleh pustakawan juga. Kenyataan di lapangan bahwa minimnya minat pustakawan untuk bergabung ke organisasi profesi juga menandakan bahwa sebagian besar pustakawan hanya menyerahkan nasibnya kepada orang lain, hanya berharap orang lain lah yang mengatasi persoalannya. Pola pikir seperti ini harus dihilangkan dengan cara menunjukkan bahwa ada manfaat berarti jika bergabung ke organisasi profesi. Dan ini semua adalah tugas kolektif, bukan tanggung jawab pribadi.

2. Sertifikasi sebagai alat, sekaligus tujuan