Sistem sukarela dan berjenjang

25 Interpretasi 3 Harapan pustakawan akan sertifikasi tidak terlepas dari pengalamannya sehari-hari dalam menjalani profesi tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh pustakawan di negara lain, seperti dikatakan Carolyn H. Lindberg 1990 yang menegaskan bahwa argumenterhadap ide sertifikasi bagi pustakawan, adalah: sebagai jaminan kompetensi melalui pengujian; sebagai metode pemberian status professional; dan sebagai sarana untuk mendefinisikan yang manaatau apa pekerjaan professional dan mana yang tidak. Sedangkan Maria Conchelos dalam Lindberg, 1990 mengatakan bahwa sertifikasi pustakawan akan memberikan peluang bagi pustakawan untuk lebih memperkenalkan profesi mereka pada masyarakat umum sekaligus juga menentukan standar tinggi untuk motivasi mereka melakukan peningkatan kegiatan pendidikan berkelanjutan. Poin lain dikatakan oleh Diana D. Shonrock 2007 di mana sertifikasi pustakawan dianggap sebagai cara untuk mengenali karyawan yang telah mencapai tingkat tertentu dalam hal pengetahuan dan ketrampilan di bidang kepustakawanan. Shonrock juga yakin bahwa program sertifikasi memiliki manfaat bagi individu, perpustakaan, dan masyarakat pengguna perpustakaan. Temuan berbeda dalam hal ini adalah bahwa pustakawan menganggap bahwa sertifikasi akan menguatkan eksistensi asosiasi profesi. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di negara lain, di mana program sertifikasi justru sangat mengandalkan asosiasi profesi yang sudah mapan. Kesimpulan 3: Pustakawan mengharapkan bahwa sertifikasi memberikan manfaat bagi pustakawan, lembaga perpustakaan, lembaga pendidikan, dan masyarakat.Pengharapan ini dimaknai sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai persoalan kepustakawanan.Manfaat bagi pustakawan lebih mengacu kepada peningkatan kompetensi, sedangkan manfaat bagi lembaga berkaitan dengan eksistensi profesi. Dengan peningkatan kompetensi dan eksistensi profesi, diharapkan kesejahteraan juga akan meningkat. Saran 3 : Disarankan agar Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai lembaga pembina perpustakaan lebih proaktif dalam menjalin kerja sama dengan berbagai pihak terkait agar dalam pelaksanaan program sertifikasi ini sedapat mungkin dapat mengakomodir harapan pustakawan. Setidaknya memberi pemahaman kepada pustakawan apa tujuan pokok sertifikasi, dan bahwa pengembangan profesi ini harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya lembaga saja.

4. Sistem sukarela dan berjenjang

Sama halnya dengan keragaman pemahaman tentang makna sertifikasi, pendapat tentang proses pelaksanaan sertifikasi pun demikian. Pustakawan tidak menjelaskan dengan rinci tahap demi tahap sertifikasi melainkan hanya sebatas mengajukan persyaratan pokok. Hal utama yang harus dipastikan adalah penetapan skema dan kriteria pustakawan yang akan disertifikasi. Pustakawan menyarankan beberapa alternatif pilihan, seperti mengadopsi sistem sertifikasi guru yang dianggap lebih mapan. Demikian juga halnya dengan pelaksana sertifikasi, di mana pustakawan merekomendasikan berbagai lembaga sebagai tim sertifikasi, antara lain: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, asosiasi profesi, lembaga pendidikan 26 perpustakaan, perguruan tinggi terkait, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan, masyarakat sebagai pengguna perpustakaan. Sedangkan untuk asesor diusulkan pustakawan senior, stake holders di universitas, dan tokoh masyarakat yang dianggap memiliki perhatian dan pemahaman terhadap pengembangan kepustakawanan. Berbeda dengan di Philipina misalnya di mana sertifikasi merupakan sesuatu yang wajib jika ingin mendapat status ‘pustakawan profesional’, pustakawan dalam penelitian ini mengatakan bahwa sistem sertifikasi sebaiknya sukarela, tidak dapat dipaksakan. Interpretasi 4 Proses sertifikasi yang berlaku di sebuah profesi tidak dapat diadopsi secara total untuk profesi lain karena masing-masing profesi memiliki karakter yang berbeda. Rekomendasi pustakawan untuk mengadopsi sistem sertifikasi gurudosen didasarkan pada pemahamannya yang masih sangat terbatas tentang ide sertikasi pustakawan. Usulan mengenai pihak-pihak yang sebaiknya dilibatkan dalam pelaksanaan sertifikasi tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pustakawan di negara lain. Walaupun meragukan eksistensi dan kinerja asosiasi profesi, namun pustakawan tetap menilai bahwa asosiasi profesi merupakan lembaga yang terkait erat dengan program sertifikasi. Sedangkan PNRI dianggap sebagai lembaga utama yang memiliki dominasi kuat dalam pelaksanaan program tersebut. Kesimpulan 4: Penetapan prosedur atau skema sertifikasi yang jelas harus menjadi prioritas sebelum maju ke tahap berikutnya. Prosedur ini perlu mempertimbangkan berbagai status kepegawaian pustakawan di berbagai lembaga, serta karakter lulusan dari berbagai lembaga pendidikan tinggi. Harus jelas persyaratan untuk mengikuti sertifikasi serta sanksi-sanksi terkait pelanggaran persyaratan tersebut. Saran 4 : Disarankan agar penyusunan materi, skema, prosedur dan segala sesuatunya terkait sertifikasi betul-betul melibatkan pihak-pihak berkompeten tanpa mengusung kepentingan lain selain fokus pada pengembangan pustakawan. Untuk itu PNRI harus membuka diri terhadap segala masukan dan harus mampu meyakinkan pihak-pihak yang akan terlibat bahwa fokus PNRI adalah pada pengembangan kepustakawanan. Melakukan dialog interaktif dan membuka saluran komunikasi online merupakan salah satu cara efektif yang dapat ditempuh dan dilaksanakan sesegera mungkin.

5. Kompetensi hard skills, soft skills, social skills