23
kualitas pendidikan perpustakaan yang belum optimal. Masalah-masalah mendasar ini melibatkan banyak pihak, tidak hanya kelompok pustakawan
namun juga dari pihak pemerintah dan masyarakat. Prioritas utama kepustakawanan Indonesia seharusnya merujuk kepada
persoalan-persoalan yang telah mengakar, sedangkan sertifikasi dinilai sebagai salah satu cara saja dalam memastikan profesionalitas seseorang.
Saran 1:
Kompleksnya persoalan dunia kepustakawanan di Indonesia tidak melulu tanggung jawab PNRI sebagai lembaga pembina perpustakaan. Seluruh pihak
yang terkait, khususnya pustakawan sendiri harus memiliki pemahaman yang jelas tentang persoalan yang ada dan bersama-sama dengan lembaga
pendidikan dan asosiasi profesi. Namun sebagai lembaga yang memiliki posisi strategis dalam pengembangan perpustakaan di Indonesia, PNRI dapat
proaktif menjadi wadah di mana segala persoalan kepustakawanan dikumpulkan, dianalisis, dan dipecahkan secara bersama-sama. Ini dapat
diwujudkan dengan menciptakan program atau kegiatan yang sifatnya merangkul berbagai pihak untuk pengembangan kepustakawanan.
Demikian juga dengan asosiasi profesi, perlu lebih proaktif menyuarakan persoalan-persoalan di lapangan, serta berani ‘menembus’ level pengambil
kebijakan untuk menegakkan ‘wajah’ profesi pustakawan. Asosiasi profesi perlu lebih sering muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai kelompok
yang memiliki perhatian terhadap penegakan hak-hak masyarakat dalam mendapatkan informasi.
Pustakawan sendiri tidak cukup hanya dengan menyadari bahwa ada masalah Bagaimanapun juga masalah pustakawan harus dipecahkan oleh pustakawan
juga. Kenyataan di lapangan bahwa minimnya minat pustakawan untuk bergabung ke organisasi profesi juga menandakan bahwa sebagian besar
pustakawan hanya menyerahkan nasibnya kepada orang lain, hanya berharap orang lain lah yang mengatasi persoalannya. Pola pikir seperti ini harus
dihilangkan dengan cara menunjukkan bahwa ada manfaat berarti jika bergabung ke organisasi profesi. Dan ini semua adalah tugas kolektif, bukan
tanggung jawab pribadi.
2. Sertifikasi sebagai alat, sekaligus tujuan
Sertifikasi dimaknai secara beragam oleh pustakawan, yakni sebagai alat untuk meningkatkan visibilitas dan kompetensi; sebagai proses verifikasi atau
mekanisme untuk memastikan kualitaskompetensi; serta sebagai pengakuan profesi dari berbagai pihak sekaligus untuk keseteraan dengan profesi lain. Sertifikasi juga
dianggap sebagai legalitas untuk bertindak sebagai profesional sekaligus untuk menentukan ‘harga’ diri sendiri. Keragaman pemaknaan ini sangat tergantung kepada
pengalaman sehari-hari pustakawan, dan posisinya sebagai bagian dari kelompok pustakawan.
Interpretasi 2
Pemahaman pustakawan terhadap sertifikasi bukan persoalan benar atau salah mengingat program ini masih dalam wacana. Pustakawan cenderung memaknai
24
sertifikasi berdasarkan pengetahuan mereka tentang sertifikasi guru, di mana yang paling banyak diberitakan tentang sertifikasi guru adalah berujung pada tunjangan.
Pemaknaan pustakawan tentang sertifikasi pun senada dengan pengertian sertifikasi yang
diterapkan dalam sertifikasi guru, yakni sebagai proses pembuktian bahwa seorang guru telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan. Proses pembuktian ini dapat saja melalui suatu uji kompetensi guru sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Sejalan pula
dengan pernyataan Carolyn H. Lindberg 1990 yang mengatakan bahwa istilah sertifikasi adalah proses untuk memverifikasi bahwa seorang individu memiliki
kualitas untuk melakukan praktek profesi yang ditekuninya.
Jika dikaitkan dengan pendapat para informan yang tertuang dalam coding di atas, dan pendapat Pendit 2001 tentang otonomi, dapat dikatakan bahwa konsep
pustakawan tentang pentingnya sertifikasi menjadi rancu dengan persoalan-persoalan kepustakawanan yang diungkapkan pustakawan sendiri. Persoalan kepustakawanan
didominasi masalah pengakuan dan profesionalisme, dan sertifikasi dianggap sebagai salah satu jalan keluar. Di sisi lain, sertifikasi justru merupakan gambaran otonomi
dan bukti pengakuan sebagai profesi. Dalam konteks ini, sertifikasi dapat sebagai alat, sekaligus sebagai tujuan.
Yang menarik dalam penelitian ini adalah tidak ada pustakawan yang mendasarkan pendapatnya pada UU No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, padahal
UU ini merupakan payung hukum yang menjadi dasar atau acuan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dalam membenahi berbagai persoalan kepustakawanan.
Fakta ini menggambarkan bahwa UU ini belum popular di kalangan pustakawan dan belum
menjadi acuan
pustakawan dalam
menanggapi isu-isu
seputar kepustakawanan.Berbeda dengan di negara yang telah menjalankan program
sertifikasi, di mana dasar hukumnya adalah mengacu ke UU tentang kepustakawanan di negara tersebut.
Kesimpulan 2:
Sertifikasi dimaknai sebagai alat dan proses uji kompetensi atau verifikasi atas kualitas seorang pustakawan untuk mendapatkan pengakuan sebagai
profesional. Walaupun diyakini sebagai salah satu cara untuk memastikan keprofesionalan pustakawan, konsep sertifikasi masih sesuatu yang rancu di
kalangan pustakawan.
Saran 2 :
Disarankan agar dalam mempersiapkan program sertifikasi ini, prioritas utama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia adalah melakukan sosialisasi awal
terkait pelaksanaan program ini. Sosialisasi ini perlu dilakukan secara merata dan simultan dengan memanfaatkan segala macam jalur komunikasi, termasuk
komunikasi interaktif di internet.
3. Peningkatan kompetensi dan eksistensi profesi