STATUS PENGUASAAN TANAH OLEH MASYARAKAT DI SEPANJANG PESISIR PANTAI (Studi Di Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung)

(1)

(Skripsi)

Oleh

FEBRIANDA IRZA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

1. Tim Penguji

Ketua : Sudirman Mechsan, S.H., M.H. ………..

Sekretaris/Anggota : Upik Hamidah, S.H., M.H. ………..

Penguji Utama : Nurmayani, S.H., M.H. ………..

2. P.j. Dekan Fakultas Hukum

DR. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(3)

KABUPATEN TANGGAMUS PROVINSI LAMPUNG)

Nama Mahasiswa : Febrianda Irza Nomor Pokok Mahasiswa : 0742011146

Bagian : Hukum Administrasi Negara

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Sudirman Mechsan, S.H,.M.H. Upik Hamidah, S.H, M.H

NIP 19500529 198603 1001 NIP 19600606 1998703 2012

2. Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara

Nurmayani, S.H., M.H. NIP 19611219198803 2002


(4)

Syukuri apa yang kita miliki,Lakukan yang terbaik dan

jadikan kesalahan sebagai pelajaran menuju kesuksesan

Sebaik-baik kamu adalah orang yang

belajar Al-qur an dan mengajarkannya


(5)

Segala puji kepada Allah, Robb yang telah memberiku

kesempatan

sehingga dapat mempersembahkan sebuah karya yang

kupersembahkan untuk :

• Papaku Hi.Irhan Zailan, yang selalu bersujud mendoakan kesuksesan anak-anaknya.

• Mamaku Hj.Mardiah, selalu ku ingat kasih sayangmu yang selalu menjaga dan mengasihi kami.

• Kakekku tercinta Among Zailan dan Keluarga besar di Kenali Lampung Barat yang telah memberikan support trimakasih.

Kakak-kakakku tercinta Atin Yudhius Irza dan Kaka Mey Siswanti serta Udo Erika Irza dan Kaka Dewi Febriyanti yang selalu memberikan nasihat dan Semangat kepada ku. • Adikku tercinta Satria Gusti Irza dan Dzulyadian Utama

thanks supportnya.

• Keluarga besar di Pekon Kenali, dan nakan-ku yang lucu Muhammad Faiza Pranata Irza.

Kekasih ku tercinta Rifda Chairani, yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada saya terimakasih.

• Sahabat-sahabat ku dan teman-temanku semua yang telah membantu dan memberikan support untuk karya ku ini thanks bro.


(6)

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 11

Februari 1989 dan merupakan anak ketiga dari empat

bersaudara yang merupakan anak dari keluarga Bapak

Irhan Zailan dan Ibu Mardiah.

Pendidikan yang telah diselesaikan adalah Sekolah Dasar

Negeri 1 Tanjung Baru Bandar Lampung lulus pada tahun

2001. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Bandar Lampung yang diselesaikan

pada tahun 2004, lalu penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri

10 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2007.

Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Lampung. Penulis melakukan penelitian pada Kepolisian Daerah

Lampung, Penasihat Hukum, dan Akademisi Fakultas Hukum Unila sebagai

objek bahan penulis skripsi. Mengikuti Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di

Universitas Brawijaya (UNBRAW) Malang, Poltabes Bali, perusahan Sampoerna


(7)

(Studies in the Coastal District Kiluan Tanggamus Lampung Province)

By

FEBRIANDA Irza

Pursuant to Article 12 of Government Regulation No. 16 of 2004 that land from land reclamation arise or result from the coastal waters, tidal wetlands, lakes, rivers and the former is controlled by the state. Mastery of the tidal area of coastal areas by the public, private and government control of land is country, namely in terms of land-¬ land directly controlled by the state lands that are not right, not the customary rights lands, not lands of the , nor the forest lands. Granting of land rights remains possible in coastal areas which are protected areas. However, because the main function of these areas for conservation, then ¬ prudential caution and rigor in the granting of land rights should be further enhanced. Current land tenure and use of coastal areas almost 50% more than the existing coastal area, it is possible to continue to rise and will likely continue to increase with increasing population growth and development to take advantage of existing natural resources.

The problems studied are What is the status of land ownership by the communities along the coast of Lampung Province Kiluan Tanggamus District. What is the impact of land tenure law communities along the coast. Approach to the problem used in this study is to approach the normative and empirical approaches. The sources of data in the study are derived from primary data obtained directly from field research in the form of descriptions and explanations of the parties concerned in this study while secondary data derived from the research literature through legislation, literature, books -books and official documents.


(8)

any region in the protected area along the coast which is the coastal and border areas because of lack of socialization and supervision of the Local Government agencies. Until now, control of land by the people who build homes with the stage construction in coastal areas is not legal and not found the evidence legally mastery, even if there is only evidence of physical control in the form of a seal, the Deed of Sale and Purchase (AJB) in Under hand made by the people themselves, no papers that describe the population control over land in the coastal region which has been approved by government officials, both in letter and Certificate of the State Land Use (SKPTN) issued by the Head of Village or Head local. Physical evidence is not evidence of rights. Therefore, it can be concluded that the land ownership status Kiluan coastal residents are illegal. If the acquisition and use of land in coastal areas Kiluan beach by the community are not disciplined in accordance with the legislation in force, it is feared will add to the damage and no spatial regularity.

Advice, the District Government must change the culture Tanggamus omission and more careful in supervising the existence of communities along the coast Kiluan. Tanggamus District Government should provide guidance on the introduction of Spatial Planning District / City and the provisions of border community residents around the coast to coast a better understanding and grasp of the existence of a coastal border area of land controlled by the State and the local protected areas.


(9)

STATUS PENGUASAAN TANAH OLEH MASYARAKAT DI SEPANJANG PESISIR PANTAI

(Studi Di Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung)

Oleh

FEBRIANDA IRZA

Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 bahwa tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil dari reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai oleh negara. Penguasaan daerah pasang surut kawasan pesisir pantai oleh masyarakat, swasta dan pemerintah merupakan penguasaan terhadap tanah negara, Peraturan mengenai penggunaan tanah di kawasan pantai, hal tersebut telah diatur pada Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 yang kemudian diperbaruhi pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, yang intinya bahwa di daerah pantai sepanjang 100 meter dari pasang tertinggi kearah darat merupakan kawasan sempadan pantai yang merupakan kawasan perlindungan setempat.Pemberian hak atas tanah tetap dimungkinkan pada kawasan pesisir pantai yang merupakan kawasan lindung. Namun, karena fungsi utama kawasan tersebut untuk konservasi, maka kehati-hatian dan kecermatan dalam pemberian hak atas tanah harus lebih di tingkat kan l agi . Saat ini penguasaan dan penggunaan tanah terhadap kawasan pesisir pantai hampir mencapai 50 % lebih dari kawasan pesisir yang ada, dimungkinkan akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan pembangunan dan pertambahan penduduk untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.

Permasalahan yang diteliti adalahBagaimana status penguasaan tanah oleh masyarakat di sepanjang pesisir Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Apakah dampak hukum penguasaan tanah masyarakat di sepanjang pesisir pantai.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Adapun sumber data dalam penelitian yaitu Data primer berasal dari yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang berupa keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari pihak-pihak terkait dalam penelitian ini sedangkan data sekunder berasal dari penelitian


(10)

dokumen-dokumen resmi.

Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa penguasaan tanah oleh masyarakat yang membangun rumah tempat tinggal dengan kontruksi panggung di kawasan pantai tersebut tidak legal dan tidak ditemukan bukti-bukti penguasaan secara yuridis, kalaupun ada hanya bukti penguasaan fisik dalam bentuk surat segel, Akta Jual Beli (AJB) di bawah tangan yang dibuat oleh penduduk itu sendiri, tidak ada surat-surat penduduk yang menerangkan penguasaan atas tanah di kawasan pantai tersebut yang dilegalisasi oleh aparat pemerintah, baik dalam surat keterangan maupun Surat Keterangan Pemakaian Tanah Negara (SKPTN) yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau Camat setempat. Alat bukti penguasaan fisik bukan merupakan alat bukti hak. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa status penguasaan tanah warga masyarakat pesisir pantai Kiluan adalah ilegal. Apabila penguasaan dan penggunaan tanah pada daerah kawasan pesisir Pantai Kiluan oleh masyarakat tidak ditertibkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dikhawatirkan akan menambah kerusakan dan tidak keteraturan tata ruang.

Saran, Pemerintah Kabupaten Tanggamus harus merubah budaya pembiaran dan lebih teliti dalam melakukan pengawasan terhadap keberadaan masyarakat sepanjang wilayah pesisir pantai Kiluan. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten Tanggamus memberikan pengarahan sosialisasi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan ketentuan sempadan pantai agar warga masyarakat sekitar pesisir pantai lebih mengerti dan memahami tentang keberadaan kawasan sempadan pantai yang merupakan tanah yang dikuasai oleh Negara dan merupakan kawasan perlindungan setempat.


(11)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terdiri dari 17.508 buah pulau besar dan kecil yang secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai puluhan kilometer. Masing-masing kawasan pesisir pantai pada pulau-pulau diatas memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pesisir pantai sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor campur tangan manusia. Diperkirakan 60% penduduk Indonesia hidup dan bermukim di daerah pantai. Dari 64.439 desa di Indonesia, terdapat 4.735 desa yang dapat dikategorikan sebagai desa pantai. Bahkan, masyarakat yang bermukim di wilayah kota pantai sudah mencapai sekitar 100 juta orang (Agus Maryono dalam website www. pusdata. pu .go.id.).

Secara historis, penyebaran dan peningkatan jumlah penduduk yang menguasai kawasan pantai di Indonesia dimulai oleh para pedagang/nelayan atau para penyiar agama yang sering berlayar baik dari negara lain maupun yang berpindah-pindah dari pulau yang satu ke pulau-pulau lainnya. Secara berangsur-angsur sebagian dari mereka menetap dan menguasai lahan pada kawasan pesisir pantai.


(12)

Sampai saat ini sulit untuk melakukan pendataan kepemilikan lahan di kawasan pesisir pantai, karena sejarah, kondisi sosial-budaya dan faktor lain yang mengakibatkan masyarakat tradisional penghuni pesisir pantai berpindah-pindah. Pada perkembangan kepemukiman masyarakat pesisir pantai tersebut, saat ini perubahan status fungsi dan kepemilikan kawasan pesisir pantai. Di wilayah-wilayah pesisir dihadapkan pada masalah-masalah belum adanya pengaturan oleh pemerintah tentang status kepemilikan tanah, pengerukan dan reklamasi muara sungai dan pantai.

Pengetahuan tentang status fungsi dan kepemilikan tanah pada kawasan pesisir pantai sangat penting dalam mengupayakan koordinasi terpadu dalam pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Berdasarkan perkembangan pembangunan wilayah perkotaan dan desa pantai, peruntukan dan kepemilikan tanah pada kawasan pesisir pantai sangat bervariasi, sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan tingkat peradaban masyarakat setempat. Oleh karenanya, perubahan-perubahan fungsi dari status kepemilikan tanah tersebut harus diluruskan dan didukung dengan penyempurnaan peraturan perundangan.

Kawasan pesisir pantai dikenal kaya akan sumberdaya alam yang meliputi; sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya buatan dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati antara lain meliputi terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya non hayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan darat laut tempat instalasi bawah air yang terkait


(13)

dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di kawasan pesisir pantai (Sugeng Budiharsono, 2002).

Kawasan pesisir pantai tersebut harus dijaga kelestariannya dengan melakukan pendayagunaan sumberdaya pesisir serta pemanfaatan fungsi wilayah secara terencana, rasional, bertanggung jawab, serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung serta kelestarian lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja, melalui penataan ruang sebagai dasar bagi perencanaan pembangunan agar pemanfaatan sumber daya alam di kawasan pesisir pantai tersebut dapat dilaksanakan secara berkesinambungan tanpa merusak ekosistem yang ada.

Peningkatan jumlah penduduk desa sebagai akibat tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, baik yang berasal dari warga desa maupun dari kaum pendatang, ternyata membawa berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah meningkatnya kebutuhan akan tanah baik sebagai tempat hunian maupun tempat usaha. Pertumbuhan desa yang semakin berkembang, sementara luas tanah terbatas menyebabkan timbulnya berbagai masalah perdesaan seperti okupasi (pendudukan) liar, dan sebagainya. Salah satu daerah yang dijadikan sasaran untuk okupasi (pendudukan) liar adalah daerah sempadan pantai. Pendudukan di daerah sempadan pantai jelas akan mengancam keselamatan fungsi dan pelestarian pantai.

Pantai bagi daerah perdesaan memiliki fungsi dan manfaat antara lain sebagai fungsi menahan erosi, transportasi, wisata, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi serta ekologis. Namun, fungsi Pantai di perdesaan jarang dipertahankan, justru fenomena kebalikannya yang berkembang dewasa ini.


(14)

Perkembangan pembangunan di beberapa daerah kawasan pesisir pantai demikian cepat sehingga aktivitas manusia dalam penguasaan dan penggunaan sumberdaya alam di atasnya seperti pertanian, perikanan, pariwisata, permukiman sering terjadi tumpang tindih. Sehingga tidak jarang manfaat atau nilai guna ekosistem tersebut menjadi turun.

Ditambah lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki wewenang atas sebagian wilayah pesisir laut, hal ini tentu saja memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir dan kelautannya bagi kesejahteraan masyarakatnya dan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Namun disisi lain kemungkinan menciptakan eksploitasi sumberdaya hanya untuk memacu pertumbuhan daerah.

Pada umumnya penguasaan dan panggunaan tanah dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, hal ini mengingat pada kawasan tersebut telah terjadi pembangunan permukiman penduduk serta infrastuktur perdesaan yang ada di sepanjang kawasan pesisir pantai Kiluan . Kawasan tersebut dipandang daerah yang memiliki letak strategis karena letak jalan berbatasan langsung dengan pantai.

Saat ini penguasaan dan penggunaan tanah terhadap kawasan pesisir pantai hampir mencapai 50 % lebih dari kawasan pesisir yang ada, dimungkinkan akan terus meningkat dan dipastikan akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan pembangunan dan pertambahan penduduk untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.


(15)

Dari gambaran tersebut, apabila penguasaan dan penggunaan tanah di kawasan pesisir terus berlanjut, maka akan dikwatirkan keberadaan hutan mangrove dan pasir yang mempunyai fungsi ekologi dan sosial ekonomis menjadi terganggu. Menurut Susilo (dalam tesis Hotman Manurung 2002), hutan magrove mampu menjaga keseimbangan alam serta akan berfungsi melindungi alam sekitar hutan, begitu juga pasir pantai akan melindungi terjadinya abrasi laut akibat terjangan ombak yang datang.

Kondisi di atas menimbulkan polemik tersendiri bagi pemerintah, khususnya Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga non departemen yang menangani bidang pertanahan dalam menentukan kebijakan yang ada. Selain itu bagi Pemerintah Kabupaten Tanggamus permasalahan yang dihadapi adalah mengatur penataan ruang. Oleh karena itu, apabila status penguasaan dan penggunaan tanah pada daerah kawasan pesisir Pantai Kiluan oleh masyarakat tidak ditertibkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dikwatirkan akan menambah kerusakan dan tidak keteraturan tata ruang. Perlunya pengaturan status penguasaan dan penggunaan tanah daerah kawasan pesisir pantai dalam rangka memberikan kepastian hukum, sehingga memperjelas orientasi rencana tata ruang Kabupaten Tanggamus kedepan.

Hak penguasaan atas tanah diatur dalam UUPA sekaligus ditetapkan jenjang hierarki hak-hak penguasaan atas tanah sebagai berikut :

1. Hak bangsa indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik;

2. Hak menguasai dari negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek publik;


(16)

3. Hak ulayat masyarakat hukum adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek perdata dan publik.

4. Hak-hak perorangan/individu, semuanya beraspek perdata, terdiri atas; a. Hak-hak atas tanah sebagai hak individual yang semuanya secara

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, dalam Pasal 16 dan 53.

b. Wakaf, yaitu hak milik yang diwakafkan dalam Pasal 49. c. Hak jaminan atas tanah yang tersebut hak tanggungan dalam Pasal 25, 33, 39, dan 51.

Apabila hal tersebut dikaitkan dengan penguasaan tanah kawasan pesisir pantai maka dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Penguasaan dalam arti fisik

Penguasaan dalam arti fisik yakni adanya hubungan senyatanya dengan tanah. Misalnya menempati, menggunakan, m em akai, mengga rap dan lai n-l ain (Soedi ro, 2000).

Penguasaan secara fisik terhadap daerah pasang surut kawasan pesisir pantai diindikasikan dengan telah berdirinya permukiman, industri pabrik dan wisata oleh masyarakat, swasta dan pemerintah, yang akhirnya membentuk suatu pola pemukiman, industri dan wisata.

Timbulnya permukiman dikawasan pesisir pantai tersebut bertentangan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menyatakan bahwa pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung,


(17)

baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Selain bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman pada kawasan pantai juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (6), 5, 14 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang intinya bahwa kawasan pantai terdapat kawasan sempadan pantai yang merupakan salah satu bentuk kawasan perlindungan setempat.

Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Pasal 10 tentang Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Nasional :

(1) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 meliputi : a. kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya; b. kawasan perlindungan setempat;

c. kawasan suaka alam; d. kawasan pelestarian alam; e. kawasan cagar budaya;

f. kawasan rawan bencana alam; g. kawasan lindung lainnya.

(2) Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut c. kawasan resapan air


(18)

(3) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi :

a. sempadan pantai; b. sempadan sungai;

c. kawasan sekitar danau /waduk kawasan sekitar mata air; d. kawasan terbuka hijau kota termasuk didalam nya hutan kota.

(4) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. cagar alam;

b. suaka margasatwa;

(5) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :

a.taman nasional; b.taman hutan raya; c. taman wisata alam.

(6) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tidak terbagi lagi dalam kawasan yang lebih kecil.

(7) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi antara lain kawasan rawan letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, serta gelombang pasang dan banjir.

(8) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi :

a. taman buru; b. cagar biosfir;

c. kawasan perlindungan plasma nutfah; d. kawasan pengungsian satwa;


(19)

Kemudian pada Pasal 34 disebutkan bahwa :

(1) Kriteria kawasan lindung untuk sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf a yaitu daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

(2) Kriteria kawasan lindung untuk sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b adalah :

a.Garis sempadan sungai bertanggul ditetapkan dengan batas lebar sekurang-kurangnya 5 (lima) meter di sebelah luar sepanjang kaki tanggul.

b.Garis sempadan sungai tidak bertanggul ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan sosial ekonomis oleh Pejabat yang berwenang. c. Garis sempadan sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul yang berada

di wilayah perkotaan dan sepanjang jalan ditetapkan tersendiri oleh pejabat yang berwenang.

(3) Kriteria kawasan lindung untuk kawasan sekitar danau/waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf c yaitu daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. (4) Kriteria kawasan lindung untuk kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (3) huruf d yaitu kawasan di sekitar mata air dengan jari-jari sekurang-kurangnya 200 meter.

(5) Kriteria kawasan lindung untuk kawasan terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e adalah :

a.lokasi sasaran kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota antara lain di kawasan permukiman, industri, tepi sungai/ pantai/jalan yang berada di kawasan perkotaan;

b.hutan yang terletak di dalam wilayah perkotaan atau sekitar kota dengan luas hutan minimal 0,25 hektar;

c.hutan yang terbentuk dari komunitas tumbuhan yang berbentuk kompak pada satu hamparan, berbentuk jalur atau merupakan kombinasi dari bentuk kompak dan bentuk jalur.

d.jenis tanaman untuk hutan kota adalah tanaman tahunan berupa pohon-pohonan, bukan tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik maupun jenis asli atau domestik;


(20)

e.jenis tanaman untuk kawasan terbuka hijau kota adalah berupa pohon-pohonan dan tanaman hias atau herba, dari berbagai jenis baik jenis asing atau eksotik maupun jenis asli atau domestik.

Peraturan mengenai penggunaan tanah di kawasan pantai, hal tersebut telah diatur pada Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 yang kemudian diperbaruhi pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, yang intinya bahwa di daerah pantai sepanjang 100 meter dari pasang tertinggi kearah darat merupakan kawasan sempadan pantai yang merupakan kawasan perlindungan setempat.

b. Penguasaan dalam arti yuridis

Pasal 60 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, Penguasaan dalam arti yuridis dapat dilihat dengan adanya bukti-bukti penguasaan yang dimiliki oleh masyarakat, swasta dan pemerintah di daerah pasang surut kawasan pantai tersebut.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 11 angka (2) menyatakan tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil dari reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai oleh negara. Penguasaan daerah pasang surut kawasan pesisir pantai oleh masyarakat, swasta dan pemerintah merupakan penguasaan terhadap tanah negara, yaitu dalam arti tanah-tanah yang langsung dikuasai oleh negara yang bukan tanah-tanah hak, bukan tanah-tanah hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum, dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan.


(21)

Pasal 15 P eraturan Pem eri nt ah No. 16 Tahun 2004, menegaskan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan waduk, dan atau sempadan sungai harus memperhatikan; (a) kepentingan umum; dan (b) keterbatasan daya dukung, pengembangan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.

Pemberian hak atas tanah tetap dimungkinkan pada kawasan pesisir pantai yang merupakan kawasan lindung, namun, karena fungsi utama kawasan tersebut untuk konservasi, maka kehati-hatian dan kecermatan dalam pemberian hak atas tanah harus lebih ditingkatkan l agi .

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul“ Status Penguasaan TanahOleh Masyarakat Di Sepanjang Pesisir Pantai (Studi Di Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung)”

A. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana status penguasaan tanah oleh masyarakat di sepanjang pesisir Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung ?


(22)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Topik penelitian ini adalah bagian dari kajian Hukum Administrasi Negara yang ruang lingkupnya membahas tentang bagaimana status penguasaan tanah oleh masyarakat di sepanjang pesisir Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Penelitian dilaksanakan di Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.

B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui status penguasaan tanah disepanjang pesisir Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.

b. Untuk mengetahui dampak hukum masyarakat di sepanjang pesisir pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, yaitu kegunaan penelitian ini dapat berguna untuk menambah dan memperluas ilmu pengetahuan dalam bidang Administrasi Negara dan menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam status penguasaan tanah di sepanjang pesisir pantai.


(23)

2. Secara praktis, untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan serta bentuk sumbangan yang dapat diberikan dalam rangka pengabdian kepada masyarakat umumnya dan khususnya kepada pihak-pihak yang terkait untuk menertibkan penguasaan tanah oleh masyarakat dan menjadi bahan acuan dalam pengelolaan kawasan di sepanjang pesisir Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanah

1. Pengertian Tanah

Pengertian tanah bahasa kita dapat dipakai dalam berbagai arti. Maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut

digunakan. Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis,

sebagai suatu pengertian yang telah diberikan batasan resmi oleh Pasal 4 UUPA,

UUPA menyatakan bahwa : “atas dasar hak menguasai Negara sebagai yang

dimaksud dalam Pasal 2 UUPA ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Ayat 1 menyebutkan bahwa tanah dalam pengertian

yuridis adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas.

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah digunakan atau dimanfaatkan. Diberikan dan dipunyainya tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna, jika penggunaannya tebatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja. Untuk keperluan apapun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagian


(25)

tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya. Oleh karena itu didalam ayat (2) dinyatakan, bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan

bumi yang bersangkutan, yang disebut “tanah”akan tetapi juga tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya (Budi Harsono, 1970:152).

Hak atas tanah itu adalah tanah dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang mengunakan yang bersumber dari pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawah tanah dan air serta ruang yang ada diatasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pemegang hak atas tanah hanya diperbolehkan mengunakannya. Pasal 4 Ayat (2) UUPA dengan kata-kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”.

Tanah sebagai mana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah meliputi bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang terbatas dan merupakan objek dari pendaftaran tanah. adi yang dimaksud dengan tanah dalam tulisan ini adalah permukaan bumi yang terbatas dan merupakan objek pendaftaran tanah yang mana tujuan akhir dari pendaftaran tanah tersebut adalah untuk mendapatkan kepastian hukum dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah (Muchtar Wahid, 2008: 145).


(26)

Bidang tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang yang berbatas. Sebagaimana diketahui bahwa dalam konsep hukum perdata Hak kepemilikan atas tanah merupakan hubungan hukum kepemilikan secara hakiki diakui keberadaannya, dijunjung tinggi, dihormati, dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Hak kepemilikan merupakan sumber kehidupan dan kehidupan bagi pemiliknya, oleh karenanya orang yang mempunyai hak yang sah secara hukum harus mendapatkan perlindungan oleh negara (Muchtar Wahid, 2008).

2. Penggunaan Tanah

Pasal 1 angka (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah menyatakan bahwa penggunaan tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Sedangkan penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsol idasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

Mieke Komar Kantaatmadja dalam website www.tatagunatanah.blogspot.com menyatakan bahwa dasar-dasarpenatagunaan tanah meliputi:

1. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;

2. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;


(27)

3. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;

4. Perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan tanah;

5. Penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;

6. Penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga merupakan subsistem dari sistem pembangunan;

7. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, sosial, politik, hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan secara koordinatif;

8. Penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis; 9. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang

pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.”

Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara dengan baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatanjawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya.

Tata guna tanah, pada hakekatnya merupakan usaha pengaturan penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk pembangunan baik sektoral, regional maupun lokal. Pembangunan mencakup berbagai aspek, maka tata guna tanah bertujuan untuk mewujudkan rencana penggunaan tanah yang dapat mengakomodasikan kebutuhan tanah untuk


(28)

berbagai kegiatan pembangunan dengan persyaratan-persyaratan (S.B. Silalahi, 1993:80) :

a. Sistem perencanaan penggunaan tanah harus akomodatif terhadap pembangunan yang telah memperoleh prioritas, karena proyek-proyek yang diprioritaskan itu tentunya proyek-proyek yang akan mendatangkan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat banyak;

b. Tidak ada pemborosan dalam menggunakan tanah;

c. Penggunaan tanah harus sesuai dengan tuntutan fisik tanah dan lingkungan hidup, sehingga dapat menunjang pembangunan yang berkelanjutan;

d. Penggunaan tanah harus sesuai dengan nilai ekonomi tanah;

e. Penggunaan tanah harus sejalan sesuai dengan peraturan perundangan yang

berlaku.”Peruntukan tanah merupakan keputusan terhadap suatu bidang tanah guna dimanfaatkan bagi tujuan penggunaan tertentu. Tujuan keputusan tersebut adalah untuk mengarahkan lokasi dan perkembangan kegiatan pembangunan sehingga tercapai kedaan yang seimbang dan serasi (Hasni, 2008:30).

Penggunaan tanah perkotaan, terutama untuk melakukan kegiatan pokok/usaha yang memerlukan tanah yang relatif tidak luas baik untuk kegiatan perkantoran, toko, perdagangan, industri/pabrikpabrik, pendidikan, bengkel dan juga permukiman. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.

Pasal 15 PP Nomor 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa, penggunaan dan pemanfaatan tanah di daerah sempadan sungai harus memperhatikan:

a. Kepentingan umum;

b. Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.


(29)

3. Penguasaan Tanah

Menurut Boedi Harsono (1997:22), pengertian “penguasaan” dan “menguasai”

(tentang tanah) dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik.

Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi wewenang bagi pemegang haknya untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Pengertian ini dipakai dalam aspek perdata. Sedangkan pengertian penguasaan dalam aspek publik adalah pengertian sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA dinyatakan bahwa Hak Menguasai dari Negara memberi wewenang untuk:

a. Mengatur persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.Selanjutnya menurut Oloan Sitorus (2004:13), Hak Penguasaan Atas Tanah (HPAT) berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Pengertian penguasaan yang dimaksud dalam HPAT berisi kewenangan yang luas, tidak sekedar berisi kewenangan hak untuk menggunakan dan atau menjadikan tanah sebagai jaminan yang merupakan kewenangan perdata.

Kewenangan privat yang dimaksud dalam penguasaan pada HPAT adalah dalam bentuk penguasaan yuridis yang dilandasi hak. Pada umumnya penguasaan yuridis tersebut menguasai secara fisik tanah yang dihaki, tetapi ada juga penguasaan yuridis yang walaupun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya: (a) ketika tanah disewakan, maka penyewalah yang menguasai secara fisik; (b) ketika tanah dikuasai pihak


(30)

penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut kembali tanah yang bersangkutan secara fisik

kepadanya; sedangkan dalam hal “(a)”

penguasaan fisik itu akan kembali ketika hubungan sewa-menyewa sudah berakhir (Oloan Sitorus, 2004:13).

Kewenangan publik yang menjadi isi dari arti penguasaan terdapat pada ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa hubungan hukum antara Negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat di wilayah Indonesia diberi pranata hukum Hak Menguasai Negara (HMN) (Oloan Sitorus, 2004:14).

Selanjutnya masih menurut Oloan Sitorus (2004:14) kewenangan privat dan (sekaligus) publik yang terkandung dari pengertian penguasaan dalam hak penguasaan atas tanah dapat ditemukan pada Hak Bangsa dan Hak Ulayat. Hak Bangsa sebagai bentuk hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam Hukum Tanah Nasional ditemukan dalam Pasal 1 butir 2 UUPA yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia.

Penguasaan sempadan pantai oleh masyarakat merupakan penguasaan terhadap tanah Negara, yaitu dalam arti tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang bukan tanah-tanah hak bukan tanah-tanah hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan (Boedi Harsono, 1997:242).


(31)

Terhadap penguasaan tanah Negara tersebut masyarakat mencoba membuktikan kepemilikan tanah, mulai dengan keterangan lisan,memakai semacam dokumen atau dengan sertipikat. Dokumen yang dipakai bermacam-macam antara lain Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), girik, petuk, kekitir, pipil, Surat Keterangan Camat, perjanjian jual beli dibawah tangan, Akta Jual Beli, Surat Keterangan Tanah dari Kepala Desa, kuitansi pembelian dan lain-lain. Orang yang tidak memiliki dokumen bukti kepemilikan mencoba membuktikan haknya dengan kesaksian orang lain, penguasaan yang cukup lama tanpa ada keberatan dari orang lain, atau diakui kepemilikannya oleh orang lain.

4. Penguasaan Tanah oleh Instansi Pemerintah

Pasal 6 UUPA jo Penjelasan Umum Angka III (1) UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya merupakan perangkat hukum yang mengatur bidang pertanahan, dan menciptakan Hukum Tanah Nasional yang tunggal

didasarkan pada hukum adat. Hukum adat sebagai dasar UUPA, adalah “hukum

aslinya golongan rakyat Indonesia yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berazaskan keseimbangan serta diliputi

oleh suasana keagamaan”.

Hukum adat sebagai konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional, adalah konsepsi yang komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Dalam hal ini diakui oleh UUPA bahwa hak-hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, dalam pengertian ini, keperluan tanah tidak


(32)

dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara. Dalam konteks fungsi sosial ini, kepentingan perseorangan dan kepentingan masyarakat haruslah saling imbang mengimbangi sebagai dwi tunggal. Pengertian ini merupakan penyangkalan terhadap hak subjektif dari tanah yang dikemukakan oleh Leon Duguit, yang

menyatakan bahwa “pemakaian sesuatu hak atas tanah hanya memperhatikan kepentingan suatu masyarakat semata-mata dan mengingkari keberadaan hak

individu” (A.P. Parlindungan, 1996: 60).

Keberadaan hak subjektif diakui oleh UUPA disamping hak masyarakat atas tanah; dengan cara negara memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi setiap pemegang hak atas suatu bidang tanah. Perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam pendayagunaan dan pemanfaatan tanah tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan pendayagunaan dan pemanfaatan tanah aset instansi pemerintah telah diatur dalam UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap tanah asset instansi pemerintah dan kepastian

hukum dalam “kepemilikannya” perlu didasari oleh dasar-dasar pengelolaan hak yang sah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.


(33)

Data yuridis dan data teknis tersebut keduanya harus “teridentifikasi” dengan

baik, agar data-data tersebut selalu dalam keadaan mutakhir. Oleh karenanya

kepada setiap pemegang hak atas tanah dikenakan suatu “kewajiban” untuk selalu

mendaftarkan perubahan-perubahan yang dimaksudkan kepada Kantor Pendaftaran Tanah. Perubahan mana dapat terjadi karena dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum tertentu oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diantaranya adalah perolehan hak, pelepasan hak, dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya yang bermaksud mengalihkan hak atas tanahnya.

Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Disamping itu tanah juga memiliki karakteristik yang bersifat multi-dimensi, multi-sektoral, multi-disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis.

Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/ atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang

dihaki. “Sesuatu” disini adalah yang boleh, wajib, dan/atau dilarang untuk

diperbuat itulah yang merupakan tolok pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Negara yang bersangkutan. Kita juga mengetahui, bahwa hak-hak penguasaan atas tanah itu dapat diartikan sebagai lembaga hukum,jika belum dihubungkan dengan tanah dan subjek tertentu. Hak-hak penguasaan atas tanah dapat juga merupakan hubungan hukum konkret


(34)

(subjective recht), jika sudah dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang haknya (A.P. Parlindungan, 1996: 60).

Ketentuan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas tanah. Namun hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang hak.

Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA, sebagai peraturan dasar yang menjadi acuan dari keberadaan berbagai peraturan perundangan bidang pertanahan juga mengakui prinsip-prinsip yang menggariskan bahwa negara menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan pengakuan atas hak-hak atas tanah yang ada di masyarakat (Muchtar Wahid, 2008: 31).

Hal ini menunjukan bahwa tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas tanah. Hal ini Pemerintah, kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang di dalamnya mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang


(35)

semuanya diletakan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

Sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 UUPA terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah maka hak-hak privat yang terkristalisasi dalam berbagai hak harus tunduk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam hal ini hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.

Mengingat pengambilalihan tanah menyangkut hak-hak individu atau masyarakat, maka pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal. Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keppres No.55 Tahun 1991.

Pada dasarnya masyarakat tidak keberatan jika tanah miliknya harus diambilalih untuk kepentingan pembangunan yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan bersama, Namun praktek-praktek pengambilalihan tanah selama ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk keuntungan sendiri dengan berkedok ‘kepentingan umum”, telah menciptakan keraguan pada masyarakat


(36)

Semua Hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melebihi batas tidak diperkenankan. Pemerintah menetapkan luas maksimum dan/ atau minimum tanah yang dapat dipunyai oleh suatu keluarga atau badan hukum. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya.

Pengelolaan barang milik negara/daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan memperhatikan azas-azas sebagai berikut:

a. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah-masalah di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang dan gubernur/bupati/walikota sesuai fungsi, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing;

b. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan;

c. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik negara/daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar.

d. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah diarahkan agar barang milik negara/daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal;

e. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik negara/daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat;

f. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik negara/daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah serta penyusunan Neraca Pemerintah.


(37)

Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah termasuk salah satunya tanah. Dalam ketentuan tersebut hal-hal penting yang terkait dengan pengelolaan tanah antara lain :

1. Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

2. Pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah mempunyai wewenang:

a. Menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah;

b. Menetapkan penggunaan, pemanfaatan atau pemindahtanganan tanah dan bangunan;

c. Menetapkan kebijakan pengamanan barang milik daerah;

d. Mengajukan usul pemindahtanganan barang milik daerah yang memerlukan persetujuan DPRD;

e. Menyetujui usul pemindahtanganan dan penghapusan barang milik daerah sesuai batas kewenangannya;

f. Menyetujui usul pemanfaatan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan.

Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Pengaturan mengenai pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (ketentuan mengenai pertanahan). Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 dinyatakan bahwa barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/ lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.


(38)

Terkait dengan permasalahan pertanahan dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 dinyatakan bahwa penetapan status penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang yang bersangkutan. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang wajib menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan) kepada:

a. Pengelola barang untuk barang milik negara; atau

b. Gubernur/bupati/walikota melalui pengelola barang untuk barang milik daerah.

Pasal 17 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 dinyatakam Pengelola barang menetapkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan. Gubernur/bupati/walikota menetapkan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang harus diserahkan oleh pengguna barang karena sudah tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan.

Dalam menetapkan penyerahan, pengelola barang Pasal 15 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan untuk menyelenggarakan dan menunjang tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan;


(39)

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa praktek-praktek pengambilalihan tanah selama ini harus benar-benar digunakan untuk kepentingan umum dan dalam pelaksanaannya diminimalkan suasana yang dapat menciptakan keraguan pada masyarakat setiap kali ada kegiatan pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum.

Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya;

b. Dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi barang milik negara/daerah; dipindahtangankan

Pengelolaan atas penyerahan tanah dan/atau bangunan harus jelas dalam status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi pemerintah lainnya hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan adanya kepentingan-kepentingan seseorang atau kelompok tertentu yang akan memanfaatkan ketidak jelasan status tanah tersebut.

Terkait dengan pemanfaatan tanah dalam BAB VI Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2006 dinyatakan hal-hal antara lain :

a. Pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.


(40)

b. Pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.

c. Pemanfaatan barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang; d. Pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan

pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum.

Berdasarkan pernyataan di atas, pemanfaatan barang milik negara/daerah harus dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada di sekitarnya dan untuk menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pengguna barang/kuasa pengguna barang dilakukan oleh pengguna barang dengan persetujuan pengelola barang.

B. Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah wewenang mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi dan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah dan air serta ruang yang ada di atasnya. Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan itu bukan kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pemegang hak atas tanah hanya diperbolehkan menggunakannya dan itupun ada batasnya yaitu sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan itu (Boedi Harsono, 1997:17).

Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai adalah hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa atau apa yang disebut hak-hak primer yaitu hak yang diberikan oleh Negara (Boedi Harsono, 1997:220).


(41)

a. Hak Milik (HM)

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat fungsi sosial tanah (Pasal 20 UUPA).

Turun-temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama pemilik hak tersebut masih hidup, tetapi dapat diwariskan berturut-turut dan atau diturunkan kepada orang lain. Maksud terkuat dan terpenuh adalah untuk membedakan hak milik dengan hak atas tanah lainnya, yaitu untuk menunjukan bahwa hak miliklah yang paling kuat dan penuh. Menurut Pasal 22 UUPA, bahwa Hak Milik terjadi: (1) menurut Hukum Adat, (2) karena Penetapan Pemerintah, dan (3) karena ketentuan Undang-undang.

Sedangkan Hak Milik hapus bila (Pasal 27 UUPA):

1. Tanahnya jatuh kepada Negara, karena:

a. Pencabutan hak yang digunakan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat;

b. Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya; c. Diterlantarkan;

d. Melanggar prinsip nasionalitas, yaitu hak milik jatuh kepada orang asing.

2. Tanahnya musnah

b. Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang lagi dengan waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 35 UUPA). Bangunan tersebut bisa rumah sebagai tempat hunian maupun rumah tempat usaha


(42)

(rumah toko atau rumah tempat usaha /kantor), bangunan tempat kegiatan olahraga, bangunan tempat kegiatan pariwisata serta bangunan-bangunan lainnya (Oloan Sitorus, 2006:136).

Pasal 21 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah, menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah: (a) tanah Negara, (2) tanah Hak Pengelolaan, (c) tanah Hak Milik. Jangka waktu HGB maksimal adalah 30 (tigapuluh) tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, selanjutnya setelah masa perpanjangan HGB tersebut berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGB diatas tanah yang sama (Pasal 25 PP Nomor 40 tahun 1996).

HGB dapat terjadi karena: (a) penetapan pemerintah, bagi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (b) perjanjian yang berbentuk otentik karena penetapan pemerintah antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB, untu tanah milik (Pasal 37 UUPA). HGB dapat beralih dan dialihkan. Peralihan HGB terjadi karena: (a) jual beli, (b) tukar menukar, (c) penyertaan dalam modal, (d) hibah dan (e) pewarisan (Pasal 34 Ayat (2) PP Nomor 40 Tahun 1996).

Pasal 40 UUPA menyatakan bahwa HGB hapus karena: (a) jangka waktunya berakhir, (b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, (c) dilepaskan oleh pemegang haknya sbelum jangka waktunya berakhir, (d) dicabut untuk kepentingan umum, (e) diterlantarkan, (f) tanahnya musnah, (g) ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2 yakni karena pemegang HGB tidak melepaskan atau mengalihkan kepada yang berhak dalam waktu 1 (satu) tahun disebabkan pemegang hak tidak lagi berwenang sebagai subyek HGB.


(43)

c. Hak Pakai (HP)

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh Negara, yang memberi wewenang dan kewajiban kepada pemegangnya seperti yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya oleh pejabat yang berwenang (Pasal 41 ayat (1) UUPA).

Pasal 41 PP Nomor 40 tahun 1996 menyatakan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah: (a) tanah Negara, (2) tanah Hak Pengelolaan, (c) tanah Hak Milik. Jangka waktu HP maksimal adalah 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperl uan tertentu, selanjutnya setelah masa perpanjangan HP tersebut berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HP diatas tanah yang sama (Pasal 45 PP Nomor 40 tahun 1996).

Pasal 55 PP 40 Tahun 1996 menyatakan bahwa Hak Pakai hapus karena: (a) jangka waktunya berakhir, (b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, (c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, (d) dicabut untuk kepentingan umum, (e) diterlantarkan, (f) tanahnya musnah, (g) ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2 yakni karena pemegang HP tidak melepaskan atau mengalihkan kepada yang berhak dalam waktu 1 (satu) tahun disebabkan pemegang hak tidak lagi berwenang sebagai subyek Hak Pakai.

1. Pemberian Hak Atas Tanah

Pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak dan perubahan hak.


(44)

a. Perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya suatu hak atas tanah tanpa mengubah syarat-syarat dalam pemberian hak tersebut, yang permohonannya dapat diajukan sebelum jangka waktu berlakunya hak atas tanah yang bersangkutan berakhir.

b. Pembaharuan hak adalah pemberian hak atas tanah yang sama kepada pemegang hak yang sama yang dapat diajukan setelah jangka waktu berlakunya hak yang bersangkutan berakhir.

c. Perubahan hak adalah penetapan pemerintah mengenai penegasan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan pemegang haknya, menjadi tanah negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah jenis lainnya.

Pemberian hak milik harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). Tujuan diadakannya pemberian hak atas tanah adalah agar lebih mengarah kepada catur tertib dibidang pertanahan, yaitu tertib hukum pertanahan, tertib administrasi pertanahan, tertib pemeliharaan pertanahan dan tertib penggunaan pertanahan. Hak atas tanah adalah hak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu:

1. Hak atas tanah primer (originair)

Hak atas tanah primer (originair) yaitu hak atas tanah yang langsung diberikan oleh negara kepada subyek hak seperti:

a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan 2. Hak atas tanah sekunder


(45)

Misalnya:

a. Hak Guna Bangunan b. Hak Pakai

c. Hak Usaha Bagi Hasil d. Hak menumpang

2. Objek pendaftaran tanah

UUPA mengharuskan mendaftarkan semua hak atas tanah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), dan Pasal 38 ayat (1), maka menjadikan semua hak atas tanah menjadi objek pendaftaran tanah. Objek pendaftaran tanah menurut Pasal 10 Paraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, maupun Peraturan pengganti dalam Pasal 9 meliputi :

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai

2. Tanah hak pengelola 3. Tanah Wakaf

4. Hak milik atas satuan rumah susun 5. Hak tanggungan

6. Tanah Negara

Selain hak-hak atas tanah yang telah disebutkan di atas, hak-hak lain tidak termasuk dalam obyek pendaftaran tanah. Sebagaimana disebut macam-macam hak atas tanah yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, seperti hak membuka dan memungut hasil hutan, bukanlah hak atas tanah dalam arti sebenarnya, karena tidak memberri wewenang untuk menggunakan tanah seperti disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, hak-hak tersebut merupakan bentuk


(46)

“pengejawantahan” hak ulayat dalam hubungan warga masyarakat hukum adat

yang bersangkutan dengan tanah ulayatnya. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 46 UUPA yang mengatur hal membuka tanah dan memungut hasil hutan. Hak-hak tersebut adalah hak-hak dalam hukum adat yang menyangkut tanah, bukan hak atas tanah.

Dalam hal tanah Negara pendaftaran tanahnya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang berangkutan dalam daftar buku tanah, dan untuk tanah Negara tidak diterbitkan sertifikat hak atas tanah.

C. Pesisir Pantai

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian kawasan pesisir pantai yaitu daerah tertentu yg mempunyai ciri tertentu, seperti tempat tinggal, pertokoan, industri, dan sebagainya,berupa tanah datar berpasir di pantai (di tepi laut) yang berbatasan daratan dengan laut atau massa air lainnya dan bagian yang dapat pengaruh dari air tersebut.

Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Menurut pendapat para ahli mengartikan kawasan pesisir pantai sebagai berikut : 1. Suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, yang memiliki ciri

geosfer yang khusus, kearah darat dibatasi oleh sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan arah ke laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat (Boedi Harsono, 1997).


(47)

2. Wilayah pesisir/pantai adalah suatu hal yang lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut (shore) yang meluas kearah daratan hingga batas pengaruh marin masih dirasakan (Muchtar Wahid, 2008).

3. Klasifikasi pantai menurut Valentin, 1952 (Muchtar Wahid 2008), dasar klasifikasinya adalah perkembangan garis pantai maju atau mundur. Pantai maju dapat disebabkan oleh pengangkatan pantai atau progradasi oleh deposisi, sedangkan pantai mundur disebabkan pantai tenggelam atau retrogradasi oleh erosi.

Berdasarkan pengertian dan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

pengertian kawasan pesisir pantai adalah “Suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, menuju kearah darat yang dibatasi oleh sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan arah ke laut dibatasi oleh proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat yang lebarnya bervariasi, yang mencakup tepi laut”.

D. Status Tanah Di Sepanjang Pesisir Pantai

Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa status tanah di sepanjang pesisir pantai telah ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan sebagai berikut : a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

menyatakan bahwa pemerintah daerah memiliki wewenang atas sebagian wilayah pesisir laut, hal ini tentu saja memberikan peluang yang lebih besar bagi daerah untuk mengelola dan memanfaatkan potensi pesisir dan kelautannya bagi kesejahteraan masyarakatnya dan untuk meningkatkan pendapatan daerah.

b. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menyatakan bahwa pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau


(48)

lingkungan hunian dan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

c. Pasal 1 ayat (6), 5, 14 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang intinya bahwa kawasan pantai terdapat kawasan sempadan pantai yang merupakan salah satu bentuk kawasan perlindungan setempat.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Pasal 10 tentang Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Nasional

e. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004, Pasal 11 angka (2) menyatakan tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil dari reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai oleh negara.


(49)

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat empiris serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Pendekatan Yuridis Normatif (Library Research)

Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu undang-undang tentang status penguasaan tanah oleh masyarakat di sepanjang pesisir pantai dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan status penguasaan tanah oleh masyarakat di sepanjang pesisir pantai.


(50)

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum terhadap objek penelitian sebagai pola perilaku yang nyata dalam masyarakat yang ditujukan kepada penerapan hukum yang berkaitan dengan status penguasaan tanah oleh masyarakat di sepanjang pesisir pantai dan identifikasi permasalahannya.

Dipergunakannya pendekatan normatif dan pendekatan empiris karena penelitian ini berdasarkan jenisnya merupakan kombinasi antara penelitian normatif dengan empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk dan tujuannya adalah penelitian deskriptif danproblem identification, yaitu dengan mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian Maleong (2005: 60).

B. Sumber Data

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang berupa keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dari pihak-pihak terkait dalam penelitian ini.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian pustaka melalui peraturan perundang-undangan, literatur, buku-buku dan dokumen-dokumen resmi.


(51)

Data sekunder terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yaitu antara lain meliputi: 1) UUD 1945.

2) Undang Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Pasal 10 tentang Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Nasional.

5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 6) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004Penatagunaan Tanah.

7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 8) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional.

b. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku ilmu hukum, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum serta bahan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan.

c. Bahan Hukum tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan primer dan bahan sekunder meliputi kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.


(52)

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan membaca, mempelajari, dan mengutip buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian.

b. Studi Lapangan

Dilakukan dengan pengamatan langsung ditempat yang dijadikan obyek penelitian, dengan melakukan wawancara langsung kepada informan, wawancara ini dipergunakan untuk mengumpulkan data primer yaitu dengan cara wawancara terarah ataudirective interview dengan beberapa warga Desa Kiluan, Kepala Desa Kiluan dan Pegawai Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Staff Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Bagian Pertanahan Tanggamus.

Wawancara langsung telah dilakukan kepada :

1. Bapak Kadek Sukresene (42 Tahun) Kepala Desa Kiluan. 2. Bapak Zahrudin (46 Tahun) warga Desa Kiluan.

3. Bapak Sulaiman (40 Tahun) warga Desa Kiluan. 4. Bapak Yunus Faisol (42 Tahun) warga Desa Kiluan.

5. Ibu Dewi Febrianti (25 Tahun) Pegawai Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Staff Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa Konflik dan Bagian Pertanahan Tanggamus.


(53)

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:

a. Pemeriksaan data yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejalasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun

dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya. c. Penyusunan data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai

dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut.

D. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian yang bersifat sosial adalah analisis secara deskriptif kualitatif, yaitu proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain analisis deskriptif kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data dalam bentuk uraian kalimat.


(54)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penguasaan tanah oleh masyarakat yang membangun rumah tempat tinggal dengan kontruksi panggung di kawasan pantai yang berada di Desa Kiluan tersebut tidak ditemukan bukti-bukti penguasaan secara yuridis, kalaupun ada hanya alat bukti penguasaan secara fisik dalam bentuk surat segel, Akta Jual Beli (AJB) atau Sporadik di bawah tangan yang dibuat oleh penduduk itu sendiri, tidak ada surat-surat penduduk yang menerangkan penguasaan atas tanah di kawasan pantai tersebut yang dilegalisasi oleh aparat pemerintah, baik dalam Surat Keterangan Tanah maupun Surat Keterangan Pemakaian Tanah Negara (SKPTN) yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau Camat setempat.

2. Penguasaan tanah masyarakat disepanjang pesisir pantai memiliki dampak negatif dari berbagai aspek yang besar dan penting mencakup Aspek Hukum, Aspek Sosial, Aspek Lingkungan.


(55)

B. Saran

Sebagai upaya untuk menunjang program pemerintah dalam hal Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota , hendaknya pemerintah mengusahakan beberapa hal yaitu :

1. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten Tanggamus lebih teliti dalam melakukan pengawasan terhadap keberadaan masyarakat sepanjang wilayah pesisir pantai kiluan. Supaya masyarakat mematuhi Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

2. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten Tanggamus memberikan pengarahan sosialisasi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan ketentuan sempadan pantai agar warga masyarakat sekitar pesisir pantai lebih mengerti dan memahami tentang keberadaan kawasan sempadan pantai yang merupakan kawasan perlindungan setempat.


(56)

Oleh

FEBRIANDA IRZA Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(57)

(Skripsi)

Oleh

FEBRIANDA IRZA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(58)

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 11

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian...12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah ... 14

1. Pengertian tanah... 14

2. Penggunaan tanah... 16

3. Penguasaan tanah ...………... 19

4. Penguasaan tanah oleh instansi pemerintah………... 21

B. Hak atas tanah ... 30

1. Pemberian hak atas tanah ... 33

2. Objek pendaftaran tanah ... 35

C. Pesisir pantai………...…... 36

D. Status tanah disepanjang Pesisir pantai………... 37

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ……… 38

B.Sumber Data ……….... 39

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ……….... 41


(59)

A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus... 43

1. Deskripsi Letak, Luas dan Batas Admninistrasi………... 43

B. Gambaran Umum Wilayah Lokasi Penelitian Desa kiluan……….. 46

1. Filosofi Desa Kiluan………46

2. Kondisi Alam………... 46

A.Topografi……….46

B. Iklim………47

C. Geologi………... 47

3. Keadaan Penduduk………... 48

4. Penguasaan Tanah……… 48

5. Pemilikan Tanah……….. 49

6. Penggunaan Tanah……….. 49

C. Status Penguasaan Tanah Masyarakat di Sepanjang Pesisir Pantai... 51

D. Dampak HukumPenguasaan Tanah Masyarakat di Sepanjang Pesisir Pantai... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(60)

A. BUKU-BUKU

Abdurrahman, 1983, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Penerbit Alumni.Bandung.

Ali, Zainuddin, 2005,Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

A.P, Parlindungan,Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung. 1989

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, SuatuPendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

____________, 1990,Komentar atas UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.

____________, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

____________, 1991,Landreform di Indonesia Suatu Perbandingan, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Bagus Lorens, 2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Harsono, Budi, 2003, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit

Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta.

Hasni. 2008. “Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah”.Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Maleong, Lexy J, 2005, Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Ruchiyat, Eddy, 1986, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.


(61)

Sitorus O. 2004. “Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah”. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Sitorus, O. dan H.M Zaki S. 2006. “Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi”.Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Silalahi, S.B. (1991).Tanah dan Pembangunan.STPN, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Wahid, Muchtar. 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Republika. Jakarta.

www.tatagunatanah.blogspot.com. “Landasan Hukum Tata Guna Tanah ”.

7 Februari 2009

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAIN

1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang - Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

3) Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

4) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

5) Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang.

6) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Pasal 10 tentang Pola

Pemanfaatan Ruang Wilayah Nasional.

8) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004Penatagunaan Tanah.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.


(62)

C. SUMBER LAIN

Badan Pusat Satistik,Tanggamus Dalam Angka, 2009.

Dinas Kelautan dan Perikanan,Penyusunan Rencan Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung, 2010

Dinas Kelautan dan Perikanan,Rencana Tata Ruang Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka, 2003

Pemerintah Provinsi Lampung,Atlas Sumber Daya Wilayah Pesisir Provinsi Lampung,1999


(1)

STATUS PENGUASAAN TANAH OLEH MASYARAKAT DI SEPANJANG PESISIR PANTAI

(Studi Di Pantai Kiluan Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung) (Skripsi)

Oleh

FEBRIANDA IRZA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 11

C. Tujuan dan Kegunaan penelitian...12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanah ... 14

1. Pengertian tanah... 14

2. Penggunaan tanah... 16

3. Penguasaan tanah ...………... 19

4. Penguasaan tanah oleh instansi pemerintah………... 21

B. Hak atas tanah ... 30

1. Pemberian hak atas tanah ... 33

2. Objek pendaftaran tanah ... 35

C. Pesisir pantai………...…... 36

D. Status tanah disepanjang Pesisir pantai………... 37

BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Masalah ……… 38

B.Sumber Data ……….... 39

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ……….... 41


(3)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Tanggamus... 43

1. Deskripsi Letak, Luas dan Batas Admninistrasi………... 43

B. Gambaran Umum Wilayah Lokasi Penelitian Desa kiluan……….. 46

1. Filosofi Desa Kiluan………46

2. Kondisi Alam………... 46

A.Topografi……….46

B. Iklim………47

C. Geologi………... 47

3. Keadaan Penduduk………... 48

4. Penguasaan Tanah……… 48

5. Pemilikan Tanah……….. 49

6. Penggunaan Tanah……….. 49

C. Status Penguasaan Tanah Masyarakat di Sepanjang Pesisir Pantai... 51

D. Dampak HukumPenguasaan Tanah Masyarakat di Sepanjang Pesisir Pantai... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Abdurrahman, 1983, Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Penerbit Alumni.Bandung.

Ali, Zainuddin, 2005,Sosiologi Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

A.P, Parlindungan,Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit Mandar Maju, Bandung. 1989

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian, SuatuPendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

____________, 1990,Komentar atas UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.

____________, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

____________, 1991,Landreform di Indonesia Suatu Perbandingan, Penerbit Mandar Maju, Bandung.

Bagus Lorens, 2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Harsono, Budi, 2003, UUPA Bagian Pertama Jilid Pertama, Penerbit Kelompok Belajar “ESA”, Jakarta.

Hasni. 2008. “Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah”.Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Maleong, Lexy J, 2005, Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Ruchiyat, Eddy, 1986, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Penerbit Alumni, Bandung.


(5)

Sitorus O. 2005. “Pemberian Hak Atas Tanah Yang Berwawasan

Lingkungan”. dalam Bhumi Nomor 17 Tahun 6, Februari 2005.

Yogyakarta : STPN.

Sitorus O. 2004. “Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah”. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Sitorus, O. dan H.M Zaki S. 2006. “Hukum Agraria Di Indonesia Konsep Dasar dan

Implementasi”.Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

Silalahi, S.B. (1991).Tanah dan Pembangunan.STPN, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Wahid, Muchtar. 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Republika. Jakarta.

www.tatagunatanah.blogspot.com. “Landasan Hukum Tata Guna Tanah ”.

7 Februari 2009

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAIN

1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang - Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

3) Undang - Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

4) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 5) Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang.

6) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 7) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 Pasal 10 tentang Pola

Pemanfaatan Ruang Wilayah Nasional.

8) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004Penatagunaan Tanah.

9) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.


(6)

10)Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

C. SUMBER LAIN

Badan Pusat Satistik,Tanggamus Dalam Angka, 2009.

Dinas Kelautan dan Perikanan,Penyusunan Rencan Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Lampung, 2010

Dinas Kelautan dan Perikanan,Rencana Tata Ruang Pesisir Teluk Lampung dan Teluk Semangka, 2003

Pemerintah Provinsi Lampung,Atlas Sumber Daya Wilayah Pesisir Provinsi Lampung,1999