MASYARAKAT MADANI DALAM PERSPEKTIF NURCHOLISH MADJID

ABSTRACT

CIVIL SOCIETY IN PERSPECTIVE
NURCHOLISH MADJID

GEMA STIAWAN

Since first coming to Indonesia in the 1990s, civil society and the
responses received great appreciation from intellectual circles in Indonesia.
Intellectual circles in Indonesia began to search for and study the concepts that
come from the West. Various translations of the meaning of civil society
emerging from intellectual circles in Indonesia. One translation of the meaning of
civil society is civil society. This term was introduced by Anwar Ibrahim, and
later developed by Indonesian intellectuals. But these efforts can be said to fail,
because the definition of civil society is still close to the origin.

This study uses qualitative research methods with descriptive type. Where
is the data source used in this study are the data obtained from literature studies
and documentation study, namely by studying and analyzing the books, articles,
magazines, websites etc. related to this research. Data collection techniques using
documentary techniques. Meanwhile, in analyzing the data using content analysis

techniques and interpretation methods hermeunetic

As an intellectual, Nurcholish Madjid always release the ideas of an
independent, universal and inclusive. Including ideas about civil society. This is
not independent of Nurcholish Madjid mindset that is open, modern and universal,
especially in religious and political discourse. This mindset can not be separated

from his family background, education and environment interact figures that she
admires. Thus forming a figure that has Nurcholish Madjid typical thinking. This
can be seen in the conception of civil society that he remove it.

Nurcholish Madjid provide different conceptions of other intellectuals of
understanding of civil society. Using as reference the classical Islamic life as the
foundation of civil society. Nurcholish Madjid managed to create a conception of
civil society that stands alone and different from the civil society that come from
the West. Conception of civil society was initiated by the Nurcholish Madjid, a
collaboration of ideas and Nurcholish Madjid about modernity with Islamic
theology is based on inclusiveness, which is typical of him.

According to Nurcholish Madjid have 6 (six) characteristics or conditions

of a society can be said as a civil society, the six traits are: adherence to the law,
tolerance, respect for the principles of pluralism, egalitarianism, an award based
on merit, and openness of participation of all communities. According to
Nurcholish Madjid, the sixth feature must be created, so that if the six traits or
conditions can be implemented it will create a civilized order of society or civil
society.

Keywords: civil society

.

ABSTRACT

CIVIL SOCIETY IN PERSPECTIVE
NURCHOLISH MADJID

GEMA STIAWAN

Since first coming to Indonesia in the 1990s, civil society and the
responses received great appreciation from intellectuals in Indonesia. Intellectuals

in Indonesia began to search for and study the concepts that come from the West.
Various translations of the meaning of civil society emerging from intellectual
circles in Indonesia. One translation of the meaning of civil society is civil

society. This term was introduced by Anwar Ibrahim, and later developed by
Indonesian intellectuals. But these efforts can be said to fail, because the
definition of civil society is still close to the origin of the concept of civil society.

Different definitions of civil society initiated by Nurcholish Madjid.
Nurcholish Madjid made the classical Islamic life as a picture of modern life or
civilized society. Drafts issued by Nurcholish Madjid this makes the concept of
civil society that initially did not differ significantly with the initial concept of
civil society, a concept that stands alone and has a distinct historical foundation of
civil society that come from the West.

This study uses qualitative research methods with descriptive type. Where
is the data source used in this study are the data obtained from literature studies
and documentation study, namely by studying and analyzing the books, articles,
magazines, websites etc. related to this research. Data collection techniques using
documentary techniques. Meanwhile, in analyzing the data using content analysis

techniques and interpretation methods hermeunetics.

Results in this study is to determine what kind of picture of the concept of
civil society in the perspective of Nurcholish Madjid. As a thinker as well as
theologians, Nurcholish Madjid not quit thinking with a view religiouns. This
view is not free from family influence, educational environment and the people
who interact and admired by Nurcholish Madjid. Of understanding of civil
society, Nurcholish Madjid made the lives of the people of Medina at the time of
the prophet as an example of modern life that can be applied to the present. It is
not released from Nurcholish Madjid fascination with classical Islamic life.

Key word: civil society

ABSTRAK

MASYARAKAT MADANI DALAM PERSPEKTIF
NURCHOLISH MADJID

GEMA STIAWAN


Sejak pertamakali masuk ke Indonesia pada tahun 1990-an, civil society
mendapat apresiasi dan respon besar dari kalangan intelektual di Indonesia.
Kalangan intelektual di Indonesia mulai mencari dan mempelajari konsep yang
datangnya dari Barat ini. Berbagai terjemahan dari makna civil society
bermunculan dari kalangan intelektual di Indonesia. Salah satu terjemahan makna
dari civil society adalah masyarakat madani. Istilah ini diperkenalkan oleh Anwar
Ibrahim dan kemudian dikembangkan oleh intelektual Indonesia. Namun usaha
tersebut dapat dikatakan gagal, karena definisi dari masyarakat madani masih
mendekati konsep asal yaitu civil society.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe
penelitian deskriptif. Dimana Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini
adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan studi dokumentasi, yaitu
dengan mempelajari dan menganalisa buku-buku, artikel-artikel, majalah-majalah,
website-website dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data menggunakan teknik dokumenter. Sedangkan dalam
menganalisis data menggunakan teknik analysis content dan metode tafsir
hermeunetik.

Sebagai seorang intelektual, Nurcholish Madjid selalu mengeluarkan

gagasan-gagasan yang independen, universal dan inklusif. Termasuk gagasannya
mengenai masyarakat madani. Hal ini tidak terlepas dari pola pikir Nurcholish
Madjid yang terbuka, modern dan universal terutama dalam wacana keagamaan
dan politik. Pola pikir ini tidak terlepas dari latar belakang keluarga, pendidikan
lingkungan

berinteraksi

dan

tokoh-tokoh

yang

dikaguminya.

Sehingga

membentuk seorang sosok Nurcholish Madjid yang mempunyai pemikiran yang
khas. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsepsi masyarakat madani yang beliau

keluarkan.

Nurcholish Madjid memberikan konsepsi yang berbeda dari intelektual
lainnya dalam memaknai masyarakat madani. Dengan menggunakan referensi
kehidupan Islam klasik sebagai landasan dari masyarakat madani. Nurcholish
Madjid berhasil menciptakan sebuah konsepsi masyarakat madani yang berdiri
sendiri dan berbeda dengan civil society yang berasal dari Barat. Konsepsi
masyarakat madani yang digagas oleh Nurcholish Madjid tersebut, merupakan
kolaborasi dari ide-ide Nurcholish Madjid mengenai Keislaman dan kemodernan
dengan dilandasi dengan teologi inklusif yang merupakan ciri khas beliau.

Menurut Nurcholish Madjid ada 6 (enam) ciri atau syarat suatu masyarakat
dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, keenam ciri tersebut adalah: patuh
terhadap

hukum,

adanya

toleransi,


menjunjung

prinsip

pluralisme,

egalitarianisme, penghargaan berdasarkan prestasi, serta keterbukaan partisipasi
seluruh masyarakat. Menurut Nurcholish Madjid, keenam ciri tersebut haruslah
diciptakan, sehingga apabila keenam ciri atau syarat tersebut dapat diterapkan
maka akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang berperadaban atau masyarakat
madani.

Kata Kunci : civil society, masyrakat madani

BAB I
PENDAHULUAN

A.


Latar Belakang Masalah

Sejak pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1990-an, istilah civil
society telah mendapat apresiasi yang sangat besar dalam wacana publik
Indonesia. Begitu banyak cendekiawan, kaum intelektual dan LSM
membicarakan dan mencari makna dari konsep civil society. Civil society
menjadi tema yang sangat menarik diperbincangkan dalam acara seminar,
diskusi bahkan penelitian. Hal ini terbukti dari penelitian Ahmad Baso
seorang intelektual yang concern dalam mengamati perkembangan civil
society di Indonesia.

Hendro Prasetyo (2002:69) Penelitian Ahmad Baso terhadap tulisan-tulisan
mengenai gagasan civil society pada kalangan Muslim intelektual di
Indonesia, tercatat sekitar 80-an yang secara eksplisit menyebut istilah civil
society. Dari penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Baso tersebut, dapat
dilihat bahwa meskipun tergolong baru di Indonesia istilah civil society telah

2

diterima di Indonesia, hal ini dikarenakan bahwa gagasan-gagasan pokok

yang ada didalamnya seperti pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia
(HAM) merupakan persoalaan utama yang dihadapi di Indonesia pada saat
itu, terutama pada era orde baru.

Berbeda di tempat asalnya yaitu di Eropa Barat, konsep mengenai civil
society di Indonesia ternyata mengalami penerjemahan dan pemaknaan yang
beragam terutama pada kalangan intelektual Muslim. M. Dawam Rahardjo
(1999:133) menjelaskan bahwa berbagai pemikiran dan kajian terhadap
istiliah civil society di Indonesia telah mengalami berbagai terjemahan
seperti: ”masyarakat sipil”, “masyarakat warga/kewargaan” dan “masyarakat
madani”. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan latar belakang sosial, politik
dan budaya dari kalangan Muslim itu sendiri.

Perbedaan mengenai penerjemahan makna mengenai civil society khususnya
pada kalangan umat muslim, menggambarkan begitu luasnya makna dari
civil society itu sendiri. Seperti apa yang diungkapkan oleh Hendro Prasetyo
(2002:7) ” civil society dapat mengejawantahkan dalam ruang-ruang publik
yang sangat beragam, misalnya ekonomi, politik, budaya, pendidikan,
pengetahuan dan lain sebagainya”. Namun demikian perbedaan latar
belakang sosial-politik dapat dikatakan lebih dominan dalam mempengaruhi

pemaknaan dari civil society dikalangan umat muslim, khususnya pada masa
orde baru.

Rezim orde baru yang penuh dengan otoritarian dimana negara
menghegemoni secara dominan dihampir seluruh proses kehidupan

3

ekonomi, politik dan kenegaraan yang dibuktikan dengan masih sangat
kecilnya partisipasi politik pada masa itu. Dalam hal ini penguatan civil
society sangat dibutuhkan di indonesia.

Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia mempunyai peran
penting dalam penguatan civil society di Indonesia. Umat Islam mempunyai
potensi yang besar untuk menentukan format dan kehidupan politik di
Indonesia dan diharapkan dapat menjadi kekuatan pengimbang dari
kekuatan negara yang cenderung dominatif dan otoriter. Berbicara mengenai
Umat Islam di Indonesia memang begitu menarik dan berbeda dengan
negara-negara atau masyarakat Muslim di dunia. Seperti apa yang dikatakan
oleh Serif Mardin.

Menurut Mardin, masyarakat Muslim, khususnya di kawasan Timur Tengah
kurang memiliki prasyarat bagi terbentuknya civil society. Faktor-faktor
penting yang menghambatnya adalah tidak adanya nilai individualisme,
masih kuatnya model kepemimpinan kharismatik, kurangnya ikatan hukum
dan belum terbentuknya komunitas yang plural. Berbeda dengan kondisi
umat Islam di Indonesia, yang terdiri dari komunitas yang plural dan adanya
hukum serta menghargai hak-hak pribadi dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia. (Hendro Prasetyo,2002:11)

Masyarakat madani merupakan salah satu penerjemahan konsep dari civil
society yang begitu menarik untuk dibahas. Sejak pertama kalinya
diperkenalkan oleh Anwar Ibrahim, konsep ini mendapat respon yang begitu
luar biasa oleh para kalangan inelektual Muslim di Indonesia. Banyak

4

kalangan yang kemudian mencoba memperdalam dan mempelajari konsep
masyarakat madani. Namun usaha tersebut dapat dikatakan tidak berhasil
karena gambaran konsep masyarakat madani yang dijelaskan masih lebih
mendekati konsep asal, yaitu konsep civil society.

Pada saat intelektual lain mengalami kesulitan dalam melepaskan konsep
masyarakat madani dengan konsep civil society. Nurcholish Madjid
kemudian dengan wawasan mengenai sejarah Islam klasik memberikan
landasan yang bersifat spritual dan religius. Beliau memberikan landasan
normatif yang diambil dari sejarah Islam dengan menjadikan kehidupan
masyarakat Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw sebagai prototype
sebuah masyarakat modern yang berperadaban. Seperti yang dikatakan oleh
Nurcholish madjid sebagai berikut:
Bukanlah suatu kebetulan bahwa wujud nyata masyarakat madani itu
untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia merupakan hasil
usaha utusan Tuhan untuk akhir zaman, Nabi Muhammad, Rasulullah
saw. Sesampai Nabi di kota hijrah, yaitu Yastrib, Beliau mengganti
nama itu menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, Nabi Muhammad
saw telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam
membangun masyrakat madani, yaitu masyarakat yang berperadaban
(ber-madaniyah) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada
ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan
peraturan. (Hendro Prasetyo, 2002:172)
Landasan normatif yang dikatakan oleh Nurcholish Madjid tersebut secara
otomatis memberikan pembedaan yang jelas antara konsep civil society
yang merupakan konsep dari Barat dengan masyarakat madani yang
mempunyai landasan khasanah Islam klasik. bahkan Beliau menjadikan
masyarakat Madinah pada masa kepemimpinan Rasullullah saw sebagai
protype dari sebuah masyarakat yang modern dan kemudian Nurcholish

5

Madjid menolak dengan tegas Islam dijadikan sebagai Ideologi dari negara
dan tidak mendukung adanya partai Islam.

Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji secara analitis tentang perspektif
Nurcholish madjid mengenai masyarakat madani, maka penulis mencoba
untuk mencari tahu mengenai basis sosial, lingkungan keluarga, pendidikan
dan karir dari Nurcholish Madjid, siapa-siapa sajakah yang menjadi panutan
atau sumber rujukan beliau, intelektual lain yang sependapat dengan beliau
dan pengikut-pengikut beliau.

Kemudian penulis mencoba untuk mengungkapkan gagasan-gagasan
masyarakat madani dari Nurcholish madjid, mulai dari apa yang di
maksudkan dengan masyarakat madani Nurcholish Madjid, wilayah
gagasan-gagasan

masyarakat

madani

menurut

beliau,

sehingga

menghasilkan gagasan masyarakat masyarakat madani dalam perspektif
Nurcholish Madjid.

6

B.

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan pokok yang akan
diteliti adalah :
“Seperti apakah gagasan masyarakat madani dalam perspektif Nurcholish
Madjid ?”

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai gagasan masyarakat madani dalam perspektif
Nurcholish Madjid.

D.

Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya
kajian dalam bidang study pemikiran dalam jurusan ilmu pemerintahan
Fisip Unila.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan lebih
lanjut

bagi

penelitian

serupa.

Terutama

literature/pemikiran tentang Nurcholish Madjid.

dalam

bidang

study

BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

A.

Tinjauan Sejarah dan Pengertian Masyarakat Madani

1. Sejarah Masyarakat Madani
Konsep masyarakat madani, tidak terlepas dengan konsep civil society.
Karena masyarakat madani merupakan salah satu istilah dari penerjemahan
konsep civil society. Seperti apa yang dikatakan AS Culla.
Istilah masyarakat madani sebenarnya hanya salah satu diantara
beberapa istilah yang seringkali digunakan orang dalam penerjemahan
civil society. Disamping masyarakat madani, padanan kata yang lain
yang sering digunakan adalah masyarakat warga/kewargaan,
masyarakat sipil, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya. (AS
Culla, 2002:3)
Konsep civil society sendiri berasal dari peradaban masyarakat barat inti dari
konsep ini adalah penolakan terhadap otoritarianisne dan totalitarianisme.
Konsep Civil Society pertama kali diperkenalkan oleh seorang orator, politsi
dan filosof Roma yaitu Cicero yang berasal dari bahasa Latin yaitu societas
civilis yang pada masa itu masih disamakan dengan negara (the state) yang
merupakan sekelompok masyarakat yang mendominasi seluruh kelompok
lain.

8

Sekitar abad 15 sampai dengan abad 17 banyak ahli yang mencoba untuk
menggagas konsep dari civil society seperti Thomas Hobbes yang
berpendapat bahwa perjanjian masyarakat diadakan oleh individu-individu
untuk membentuk suatu masyarakat politik atau negara. John Locke dengan
konsep Masyarakat politik (political society). Kemudian dilanjutkan dengan
JJ. Rousseau denagan teori kontrak sosialnya.(Ahmad Fathan Aniq:2008)

Pada abad 18 konsep mengenai civil society berkembang dengan pesat. Pada
masa ini para ahli mulai mencoba membedakan antara masyarakat sipil dan
negara. Dalam AS Culla (2002:89) Adam Ferguson dan Thomas Paine lebih
memberi penekanan terhadap makna dari civil society dimana mereka mulai
membedakan antara negara dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil dinilai
sebagai anti tesis dari negara dan harus memiliki kekuatan yang lebih kuat
untuk mengontrol negara.

Menurut Hegel dalam Ken Kusumandaru (2004:12) civil society tidak bisa
dibiarkan begitu saja tanpa adanya kontrol yang jelas. Hegel kemudian
memberi pembedaan antara masyarakat politik (the state) dan masyarakat
sipil (civil society). Hegel memaknai civil society sebagai masyarakat
borjuis.

Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Hegel, Alexis de Tocqueville
dalam AS Culla (2002:92) berpendapat adanya legitimasi negara untuk
mengontrol civil society akan menyebabkan timbulnya negara despotik.
Dalam artikel Ahmad Fathan Aniq Tocqueville mengatakan:

9

Masyarakat sipil tidak secara a priori subordinatif terhadap negara,
tetapi lebih dari itu ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik
cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang
menghadapi intervensi negara dan tidak hanya berorientasi pada
kepentingan sendiri tetapi juga terhadap kepentingan publik. (Ahmad
Fathan Aniq:2008)
Pencarian mengenai konsepsi civil society sempat terhenti dalam waktu yang
lama. Wacana civl society kembali mengemuka ketika terjadi gerakan
perlawanan yang terjadi di Polandia dibawah pimpinan Lech Walesa yang
melakukan perlawanan terhadap dominasi pemerintahan Jendral Jeruzelski.
Dalam perlawanannya kelompok gerakan tersebut memakai istilah civil
society sebagai dasar gerakan perlawanan. Keberhasilan dari gerakan
tersebut kembali memicu perbincangan mengenai civil society diberbagai
negara termasuk negara-negara di Asia dan Afrika.

Hendro Prasetyo (2000:79) Istilah civil society pertama kali muncul di
Indonesia pada abad 19 tepatnya pada tahun 1988 melalui konferensi yang
diselenggarakan oleh Monash University Australia pada tanggal 25-27
November 1988 dengan tema “State and Cicil Society in Contemporary
Indonesia.

Semenjak saat itu wacana mengenai civil society berkembang begitu cepat
dikalangan intelektual Indonesia. Berbagai terjemahan dan pengertian civil
society dikeluarkan oleh para intelektual Indonesia dengan argumen dan
pandangannya masing-masing. Salah satu istilah atau penerjemahan dari
civil society yang paling populer dan diterima oleh masyarakat Indonesia
adalah “masyarakat madani”.

10

2. Tinjauan Masyarakat Madani

Istilah masyarakat madani pertama kali diperkenalkan oleh mantan
Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim dalam ceramahnya
pada simposium Nasional pada Festival Istiqlal di Jakarta pada tanggal 26
September 1995. Kemudian istilah tersebut dipopulerkan oleh Nurcholish
Madjid. Anwar Ibrahim menggambarkan konsep masyarakat madani sebagai
berikut:
Sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan
kestabilan masyarakat. Masyarakat mendorong daya usaha serta
inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, ekonomi, dan
teknologi. Sistem sosial yang cakap dan seksama serta pelaksanaan
pemerintahan mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau
keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predectability
sertaketulusan atau transparency sebagai satu sistemnya. (Hendro
Prasetyo, 2002:157-158)
Menurut Nurcholish Madjid masyarakat madani secara istilah berasal dari
kata Arab al-madaniyah yang artinya “peradaban”. Sedangkan secara
etimologis kata madinah berarti “kota”. Dalam bahasa Inggris istilah yang
sama dengan ini adalah civility yang berarti “keadaban”, sedangkan dalam
bahasa Arab modern terjemahan cvil society adalah al-mujtama’ al-madani.
Nurcholish Madjid juga menyatakan istilah ini pun dipergunakan dalam
bahasa Ibrani menjadi madinah, madinat atau medinat dan mengalami
perubahan makna menjadi negara. Dalam bahasa Ibrani nama resmi Israel
adalah Madinat Israel. (Hendro Prasetyo, 2002:173)

Nurcholish

Madjid

menjadikan

masyarakat

Madinah

pada

masa

kepemimpinan Rasullulah saw sebagai rujukan atau prototype negara yang

11

modern. Dalam artikel Ahmad fathan Aniq Nurcholish madjid mengartikan
konsep masyarakat madani yaitu:
Masyarakat yang berperadaban (ber-“madaniyyah”) karena tunduk
dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang
dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan. Ia pada hakikatnya
adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawless)
Arab jahiliyah, dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang
penguasa seperti yang selama ini menjadi pengertian umum tentang
negara. Oleh karena itu, menurutnya konsep masyarakat madani bisa
disetarakan dengan konsep civil society.

B.

Tinjauan Tentang Perspektif
Perspektif adalah sudut pandang, sudut pandang dalam melihat, menilai
sesuatu dan bersifat subjektif karena perspektif itu sangat tergantung oleh
“siapa” yang melakukannya. Dengan demikian perspektiflah yang mendasari
opini

kemudian

membentuk

mindset

atau

pola

pikir

seseorang.

(www.google.com\pengertian perspektif\anomali perspektif\edo:2008)

Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang
sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal
berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan
asumsi dasar yang menjadi dasarnya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang
lingkup apa yang dipandangnya.

Perspektif dapat membimbing seseorang untuk menentukan bagian yang
relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk
dipandang secara rasional. Secara ringkas dapat disi mpulkan bahwa
perspektif adalah sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi

12

cara pandang manusia, sehingga menghasilkan tindakan dalam suatu
konteks situasi atau hal tertentu

Sedangkan pada Wikipedia English dijelaskan makna dari perspektif adalah
“one’s “point of view”, the choice of a context for opinions, beliefs and
experiences”, “the related experience of the narrator”. Dari beberapa
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa perspektif merupakan suatu
sudut pandang seseorang dalam melihat suatu fenomena atau peristiwa dan
bersifat subjektif.

C.

Kerangka Pikir
Sejak masuknya wacana civil society di Indonesia, wacana ini mendapat
respon positif. Hal ini dikarenakan bahwa gagasan-gagasan pokok yang ada
didalamnya seperti pluralisme, demokrasi dan hak asasi manusia (HAM)
merupakan persoalaan utama yang dihadapi di Indonesia pada saat itu,
terutama pada era orde baru. Kaum-kaum intelektual Indonesia berusaha
untuk mengkaji konsep yang lahir dari budaya barat ini.

Berbeda di tempat asalnya yaitu di Eropa Barat, konsep mengenai civil
society di Indonesia ternyata mengalami penerjemahan dan pemaknaan yang
beragam terutama pada kalangan intelektual Muslim, salah satunya adalah
masyarakat madani. Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh Anwar
Ibrahim, namun konsep tersebut hampir sama dengan konsep civil society
yang muncul dari Barat.

13

Konsep masyarakat madani tersebut kemudian disempurnakan oleh Dawam
Rahardjo. Namun tidak berbeda jauh dengan Anwar Ibrahim. Masyarakat
madani dalam perspektif Dawam Rahardjo masih tidak berbeda jauh dengan
civil society. Nurcholish Madjid kemudian mencoba untuk mencari landasan
dan pengertian dari masyarakat madani. Dengan menjadikan kehidupan
Islam klasik sebagai referensinya, Nurcholish Madjid menjadikan kehidupan
masyarakat Madinah pada zaman kehidupan Nabi Muhammad saw sebagai
prototype dari kehidupan yang berperadaban.

Konsep masyarakat madani yang digagas Nurcholish Madjid tersebut
membuat istilah masyarakat madani terlepas dari konsep civil society,
meskipun ada prinsip-prinsip yang sama. Dengan pengertian masyarakat
madani dalam perspektif Nurcholish Madjid membuat konsep yang awalnya
dikembangkan oleh Anwar Ibrahim ini terlepas dari konsep civil society
yang berasal dari Barat. Hal ini juga membuktikan bahwa Islam juga
mempunyai referensi mengenai kehidupan modern.

Latar belakang mengenai basis sosial, lingkungan keluarga, pendidikan dan
karir dari Nurcholish Madjid serta panutan atau sumber rujukan beliau,
intelektual lain yang sependapat dengan beliau dan pengikut-pengikut
beliau, menjadi faktor utama dalam pembentukan pemikiran beliau. Hal
tersebut juga berpengaruh terhadap pemikiran Nurcholish Madjid dalam
memaknai konsep masyarakat madani.

14

Melihat deskripsi diatas, penulis mencoba mengetahui dan mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai gagasan masyarakat madani dalam perspektif
Nurcholish Madjid.

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir

Tokoh-tokoh yang
mempengaruhi pemikiran
Nurcholish Madjid

Teman-teman
yang
mempengaruhi
pemikiran
Nurcholish
Madjid

Pemikiran Nurcholish
Madjid

Perspektif Nurcholish Madjid
Tentang Masyarakat Madani
1. Patuh terhadap hukum
2. Adanya toleransi
3. Menjunjung prinsip pluralisme
4. Egalitarianisme
5. Penghargaan berdasarkan prestasi
6. Keterbukaan partisipasi seluruh masyarakat

Periodeisasi
pemikiran
Nurcholish
Madjid

BAB III
METODE PENELITIAN

A.

Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif. Menurut Moh Nazir
(1988:63), penelitian deskriptif merupakan suatu penelitian yang bertujuan
untuk membuat deskripsi, gambaran atau tulisan secara sistematis, faktual
dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena
yang diselidiki.

Metode penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif
sebagai

prosedur

pemecahan

masalah

yang

diselidiki

dengan

menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian berdasarkan
fakta yang tampak atau bagaimana adanya secara utuh. M. Hadari dan
Martini Hadari (1992:60), bahwa analisis kualitatif digunakan untuk
menjelaskan, mendeskripsikan hasil penelitian dengan susunan kata dan
kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Alasan peneliti menggunakan tipe penelitian ini adalah karena peneliti ingin
membuat deskripsi, gambaran atau tulisan secara sistematis, faktual dan

16

aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena
mengenai pandangan Nurcholish Madjid terhadap masyarakat madani.

B.

Fokus Penelitian
Fokus penelitian sangat penting dalam suatu penelitian yang bersifat
kualitatif, karena fokus penelitian memegang peranan penting dalam
memandu serta mengarahkan jalannya suatu penelitian sehingga dapat
memisahkan data yang dibutuhkan dengan data yang dibuang. Antara
rumusan masalah dan fokus penelitian sangat terkait karena permasalahan
penelitian dijadikan acuan penentuan fokus penelitian dapat berubah dan
berkurang sesuai dengan data yang ada di lapangan. (Nawawi, 1992:46)

Pada penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian pada pemikiran
Nurcholish Madjid dalam memandang masyarakat madani. Dalam Artikel
yang ditulisnya, Nurcholish Madjid mengungkapkan prinsip-prinsip yang
terdapat dalam masyarakat madani yaitu:
1. Patuh terhadap hukum.
2. Adanya toleransi.
3. Menjunjung prinsip pluralisme.
4. Egalitarianisme.
5. Penghargaan berdasarkan prestasi.
6. Keterbukaan partisipasi seluruh masyarakat.
Alasan peneliti memfokuskan terhadap pemikiran atau perspektif Nurcholish
Madjid terhadap masyarakat madani adalah karena gagasan Nurcholish
Madjid mengenai masyarakat madani termasuk salah satu gagasan beliau

17

yang kontroversial dan masih menjadi perdebatan dikalangan intelektual
hingga saat ini.

C.

Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam suatu penelitian kepustakaan biasanya
adalah sumber sekunder, dalam arti bahwa peneliti memperoleh bahan dari
tangan kedua dan bukan data orisinil dari tangan pertama dilapangan.
Namun demikian data pustaka pada tingkat tertentu terutama dilihat dari
sudut pandang metode sejarah, juga bisa berarti sumber primer apabila ia
ditulis secara langsung oleh tangan pertama atau oleh pelaku sejarah itu
sendiri (Zed, 2004: 5). Jadi jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Data primer, yaitu data yang dikumpulkan dari tangan pertama dan
diolah oleh organisasi atau perorangan. Yaitu buku-buku, tulisan-tulisan
dan pernyataan-pernyataan langsung dari Nurcholish madjid. Buku-buku
karangan Nurcholish Madjid yang bisa menjadi sumber data primer.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh suatu organisasi atau
perorangan melalui pihak lain yang telah mengumpulkan dan
mengolahnya. Yaitu dari pihak lain yang membahas buku-buku, tulisantulisan dari Nurcholish Madjid atau kutipan-kutipan yang ada disumber
lain.

D.

Sumber Data

18

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh
dari studi kepustakaan dan studi dokumentasi, yaitu mempelajari,
melakukan pencatatan, pengutipan terhadap sumber-sumber data dan
informasi yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan diteliti yang
diambil dari buku-buku, artikel-artikel, majalah-majalah, website-website
dan lain sebagainya yang berhubungan dengan penelitian. Sebagai seorang
pemikir yang produktif, banyak karya-karya yang dihasilkan oleh
Nurcholish Madjid baik buku-buku maupun artikel. Adapun buku-buku
karangan Nurcholish yang relevan dengan penelitian ini adalah antara lain :


Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987, 1988)



Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta, Paramadina, 1992)



Islam, Agama Kemanusiaan (Jakarta, Paramadina, 1995)



Islam, Agama Peradaban (Jakarta, Paramadina, 1995)



Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta, Paramadina, 1999)



Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat; Kolom-Kolom di Tabloid
Tekad (Jakarta, Paramadina, 1999)



Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi
(Jakarta, Paramadina, 2002)



Indonesia Kita (Jakarta, Gramedia, 2004)



Menembus Batas Tradisi (Jakarta, Kompas, 2006)



Ensikopedia Nurcholish Madjid (Az-Zaytun, 2009)



Menuju Masyarakat Madani (artikel),dll

Data-data yang diambil merupakan perspektif atau sudut pandang dari
Nurcholish madjid mengenai masyarakat madani yang diambil dari

19

kumpulan risalah, pidato ataupun buku-buku karangan Beliau atau yang
memuat tentang pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid.Selain itu juga
buku-buku yang ditulis oleh para tokoh luar yang berbicara dan membahas
pemikiran dari Nurcholish Madjid dan juga sumber-sumber lainnya yang
memuat latar belakang ataupun biografi dari Nurcholish madjid.

E.

Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan metode penelitian yang dipakai, maka teknik pengumpulan
data yang tepat dalam penelitian ini adalah teknik dokumenter, hal ini
dilakukan dengan cara membaca literature, karya tulis ilmiah serta catatancatatan hasil perkuliahan penulis, untuk memperoleh teori-teori yang ada
kaitannya dengan penelitian ini. Dalam teknik dokumenter ini instrument
yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan pernyataan-pernyataan yang
berkaitan dengan masyarakat madani.Dengan menggunakan panduan
pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya.

F.

Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini sangat penting untuk memahami secara benar teknik
apa yang digunakan untuk menganalisis data yang didapatkan. Dalam
menganalisis penelitian literartur ada metode yang bisa digunakan untuk
menganalisis data, salah satunya adalah content analysis (analisis data).
Menurut Winarno Surakhmad (Ruhliana, 2007:32), sebuah penelitian yang
menggunakan metode analisis data terdapat empat tahapan yang harus
dilalui, yaitu :

20

1. Pengumpulan data, pengumpulan data dilakukan dengan teknik
dokumentasi atau penelitian kepustakaan. Pengumpulan data tersebut
disertai dengan pemiliahan, rechecking dan reduksi data yang
relevan.
2. Agar reduksi data dan objektivitas data dalam penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan,

maka

penilaian

data

tersebut

akan

dilakukan melalui tahap : (a) pengkategorian data yang dilaksanakan
dengan system pencatatan yang relevan; dan (b) memberikan kritik
penilaian terhadap data yang diperoleh, dengan maksud untuk
mengontrol apakah data tersebut relevan digunakan.
3. Interpretasi data. Tahap ini dimaksudkan untuk memberikan
penafsiran lebih jauh terhadap data yang telah tersedia dengan cara
menarik hubungannya dengan permasalahan yang telah dirumuskan.
Data tersebut coba dipahami dalam kerangka analisis dan
pendekataan teori yang telah disusun sebelumnya, untuk selanjutnya
dicari pemaknaannya terhadap keseluruhan masalah.
4. Penarikan kesimpulan. Setelah data yang dinilai dan ditafsirkan
berdasarkan kerangka analisis dan teori yang ada, maka dilakukanlah
penarikan kesimpulan.

Dari tahapan-tahapan diatas penulis merasa diskursus ke filsafatan,
berkenaan dengan pemahaman teks, terdapat sebuah metode yang cukup
representative dalam membahas permasalahan interpretasi teks, yaitu
hermeneutik karena setiap pengarang, teks dan pembaca tidak lepas dari

21

konteks sosial, politis, psikologis, teologis dan konteks lainnya dalam ruang
dan waktu tertentu.

Menurut Imam Ghanafie Al-jauhari (10:1999), dalam memahami sebuah
teks yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga
transformasi makna, karena sebuah ungkapan dalam bentuk pendapat dan
tulisan kadangkala kebenaran serta maksudnya berada jauh didepan. Dan
bukan hanya berhenti pada sekedar apa yang diucapkan pada waktu itu.
Artinya isi maksud dan pengertian yang diharapkan pengarang dapat secara
utuh ditangkap oleh pembaca.

Metode yang digunakan dalam melakukan analisa dari pemikiran
Nurcholish Madjid ini, peneliti manafsirkan data yang didapat dengan
menggunakan metode hermeneutik. Hermeneutik adalah sebuah metode
filsafat , secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani,
hermeneuien yang berarti „menafsirkan’. Maka, kata benda hermenia secara
harfiah dapat diartikan sebagai „penafsiran’ atau interpretasi.(Sumaryono,
1999: 23). Menurut Palmer (Sumaryono, 1999: 24), hermeutik dapat
diartikan sebagai „proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti’.
Pada bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara
berlebihan.Karena

pada

kenyataannya

keseluruhan

filsafat

adalah

interpretasi. Sebagaimana terdapat dalam kesusastraan, dalam filsafat pun
tidak ada aturan yang baku untuk interpretasinya.

22

Syarat dalam melakukan interpretasi, seseorang harus terlebih dahulu
mengerti dan memahami.Namun keadaan „lebih dahulu mengerti’ ini bukan
didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah.Ada
kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan
dua moment dalam satu proses.
Mengerti dan interpretasi selanjutnya akan menimbulkan „lingkaran
hermeneutik’. Hermeneutik adalah sebuah metode pemikiran kefilsafatan
yang bersifat tidak mematri atau menyegel atau bahkan memenjarakan jalan
pikiran kita dalam berspekulasi maupun membuat analisis kefilsafatan.
(Sumaryono,1999:142). Menurut Emilio Betti (Al-jauhari,1999:28) bahwa
tugas orang yang melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan
mengerti, yaiu dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi.

Seseorang yang melakukan interpretasi harus dapat mengenal pesan dan
kecondongan dari sebuah teks, kemudian ia harus meresapi isi teks sehingga
yang pada awalnya “yang lain’ kini menjadi “aku” penafsir sendiri. Maka
mengerti

secara

sungguh-sungguh

hanya

dapat

berkembang

bila

berdasarkan atas pengetahuan yang benar, yaitu berpilar dengan
menggunakan makna yang terkandung dalam teks tersebut, dan pembaca
diharuskan keluar dari pendiriannya agar terbuka terhadap pendirian
pengarang.

Untuk mencapai sebuah interpretasi yang objektif, menurut Betti (Nafisul.A
dan A. Fahrudin, 2003: 40) bahwa tujuan utamnya adalah mengklarifikasi
perbedaan esensial antara penafsiran dan peran penafsir dalam penyerahan

23

makna terhadap objek.Penafsiran terhadap objek menurut betti merupakan
sebuah objektivikasi dari semangat manusia yang diekspresikan dalam
bentuk pikiran yang sehat. Betti kemudian menawarkan empat moment
dalam proses hermeneutika yang akan memfasilitasi pemahaman, yaitu :
1.

Penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik dari pembicaraan
atau teks.

2.

Dalam mengkritik “moment”, penafsir harus menghindari dari
kepentingan sosial, ideology, komitmen atau sumber-sumber yang
intoleran yang bisa menghalangi pemahaman.

3.

Penafsir harus menempatkan dirinya dalam posisi seseorang untuk
dipahami, dengan menggunakan imajinasi dan wawasan.

4.

Melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk
memperoleh hasil yang ingin dicapai baik berupa ungkapan atau teks.

Hans Georg Gadamer (Palmer, 2003: 237) untuk melakukan penafsiran pada
sebuah teks atau tulisan, perlu melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.

Proses peleburan. Dimana baik interpreter maupun teks bersama-sama
meleburkan dirinya agar terdapat suatu kebutuhan untuk menemukan
suatu cara badi dialog untuk saling member dan menerima (take and
give).

2.

Membawa teks keluar dari alienasi, dimana ia mendapatkan dirinya
(sebagai bentuk tertulis) kembali kedalam suasana kekinian.

3.

Ketika sebuah teks yang ditransmisikan menjadi sebuah objek bagi
interpretasi, ia mendapatkan suatu pertanyaan bagi penafsir dimana ia

24

mencoba untuk menjawabnya melalui interpretasi. Disinilah letak
proses memahami sebuah teks yang berarti memahami pertanyaan ini.
4.

Selanjutnya penafsir memahami teks dalam bentuk pertanyaan yang
dihawabnya, jelas penafsir harus mencari dengan menelisik dibalik
teks (kontekstual) agar dapat menafsirkannya.

Dalam hermeneutika ada kesamaan pola umum yang dikenal sebagai pola
hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks dan si pembaca
(penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam
memahami sebuah teks baik itu teks kitab suci maupun teks umum dituntut
untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa
yang ada dibalik teks.

Pemahaman umum yang dikembangkan, teks selain produk yang dibuat
oleh

pengarang

juga

merupakan

produk

budaya

episteme

suatu

masyarakat.Karenanya konteks historis dari teks menjadi sesuatu yang
sangat signifikan untuk dikaji.Dengan demikian, urgensi hermenetika dan
penerapannya memiliki peran yang cukup besar dalam menafsirkan suatu
pengalaman manusia yang diungkapkan dalam bentuk bahasa atau tulisan
yang tampak asing bagi pembaca.

BAB V
PEMBAHASAN

A. Kerangka Pemikiran Nurcholish Madjid
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan gambaran umum Nurcholish Madjid.
Mulai dari latar balakang keluarga, pendidikan, hingga teman-teman yang
mempengaruhi serta membantu dalam membentuk konstruksi berpikir Beliau.
Hal tersebut diharapkan mampu memberi gambaran bagi peneliti untuk
memahami pola pemikiran Nurcholish Madjid, khususnya pemikiran
Nurcholish Madjid dalam menerjemahkan konsep masyarakat madani.

Sebagai seorang cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid memiliki wawasan
yang begitu luas. Pemikiran-pemikirannya secara garis besar dapat
diklasifikasikan menjadi keislaman, keindonesian dan kemodernan. Seperti
apa yang dikatakan oleh M. Syafi’i Anwar dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
sebagai berikut:
Kalau diamati dengan seksama dan sabar, pemikiran Nurcholish pada
dasarnya merupakan dialektika tiga ide dalam kesatuan, yakni:
keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Dialektika dan kesatuan
tiga ide besar itu, melahirkan ide-ide pendukung (supporting ideas)
yang berfungsi memperkuat konstruksi seluruh bangunan ide, yakni
neo-modernisme, integrasi dan pembangunan. Adapun untuk

93

mempersatukan seluruh konstruksi bangunan ide adalah teologi
inklusif. (M. Syafi’i Anwar)
Analisis M. Syafi’i Anwar ini secara sederhana kemudian digambarkan dalam
sebuah kerangka pemikiran Nurcholish Madjid, yaitu sebagai berikut:

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Nurcholish Madjid

KEISLAMAN

Integrasi

Neo-modernisme

KEINDONESIAN

KEMODERNAN
Pembangunan
Teologi Inklusif

Analisis dari pemikiran Nurcholish Madjid yang dilakukan oleh Syafi’i Anwar
diatas sangat menarik. Hal tersebut juga bermanfaat bagi peneliti dalam
memahami pemikiran Nurcholish Madjid yang begitu luas. Apabila melihat
diagram pemikiran Nurcholish Madjid diatas, lalu kemudian berada dimana
pemikiran Nurcholish Madjid mengenai masyarakat madani? Untuk itu

94

peneliti mencoba memasukan analisis peneliti dalam mencari gagasan
masyarakat madani Nurcholish Madjid berdasarkan diagram diatas.
Peneliti berpendapat bahwa perspektif Nurcholish Madjid dalam memaknai
masyarakat madani berada dalam ide-ide kemodernan Nurcholish Madjid
yang kemudian berkolerasi dengan ide-ide keislamannya. Hal ini didasarkan
pada pandangan Nurcholish Madjid dalam memahami tentang modernisasi.
Menurut Nurcholish Madjid modernisasi merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari dan juga merupakan keharusan sejarah (historical necessity).

Nurcholish Madjid mencoba memberi keyakinan bahwa Islam itu tidak
bertentangan dengan modernisasi. Dengan mengutip pendapat dari dua ahli
sosiologi agama yaitu Marshall Hodgson dan Ernest Gellner, Nurcholish
Madjid ingin menumbuhkan rasa percaya diri umat Islam dalam merespon
modernisasi.

Namun,

walaupun

Nurcholish

Madjid

terbuka

dengan

modernisasi, beliau tetap apresiasi terhadap tradisi dan intelektual Islam klasik
yang kaya akan wawasan. Syafi’i Anwar mengatakan dalam artikelnya
sebagai berikut:
Berbeda dengan modernis lainnya, Nurcholish sangat menekankan
perlunya apresiasi terhadap tradisi dan intelektual klasik Islam yang
kaya dimensi itu, sambil menggunakannya untuk memperkaya
wawasan intelektual Islam yang baru. Itulah sebabnya ia sangat
apresiatif dengan jargon klasik kalangan ulama yang terkenal, yakni al
muhafazah „ala al-qadim al-salih wa „l-akhdi b‟il-jadid al-aslah
(memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang
baik. (M. Sayafi’i Anwar)
Apresiasi Nurcholish Madjid terhadap warisan Islam klasik inilah yang
membedakan beliau dengan intelektual modernis lainnya. Dengan menghargai
prinsip ini, Nurcholish Madjid dengan mudah dapat mencari makna

95

masyarakat madani yang berbeda dengan konsep awalnya, yaitu civil society.
Dengan metode seperti ini, Greg Barton menyebutkan Nurcholish Madjid
sebagai pelopor gerakan neo-modernis di Indonesia.

Neo-modernis merupakan gerakan yang diformulasikan oleh Fazlur Rahman.
Pada intinya gerakan neo-modernis merupakan sebuah gerakan yang
menganjurkan kaum Muslimin, dalam menyambut abad modern, harus lebih
mengkaji dunia barat serta gagasan-gagasannya secara objektif. Kemudian
pada saat yang sama juga mendalami ajaran-ajaran dan gagasan-gagasan
keagamaannya sendiri.

Dengan demikian dapat terlihat dengan jelas dimana letak gagasan masyarakat
madani Nurcholish Madjid diantara gagasan Nurcholish Madjid yang begitu
luas. Peneliti berpendapat bahwa dengan berdasarkan pada diagram pemikiran
Nurcholish Madjid yang dibuat oleh Syafi’i Anwar gagasan masyarakat
madani yang dikeluarkan oleh Nurcholish Madjid itu terletak pada ide
kemodernan dan keislaman Nurcholish Madjid yang kemudian melahirkan
gerakan neo modernisme.

Nurcholish Madjid mencoba untuk memahami civil society yang berasal dari
Barat, kemudian mencari referensi dari sejarah Islam klasik. Sehingga
melahirkan sebuah konsep masyarakat madani khas Nurcholish Madjid yang
berbeda dengan konsep masyarakat madani menurut Anwar Ibrahim serta
Dawam Rahardjo.

96

B. Masyarakat Madani dalam Perspektif Nurcholish Madjid
Seperti sudah dibahas sebelumnya, bahwa konsep masyarakat madani berawal
dari terjemahan civil society yang masuk di Indonesia pada tahun 1990.
Konsep civil society tersebut kemudian mengalami islamisasi melalui Anwar
Ibrahim. Anwar Ibrahim menerjemahkan konsep civil society menjadi
masyarakat madani yaitu sebuah sistem tatanan masyarakat yang subur yang
diasakan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Gambaran mengenai
masyarakat madani yang dijelaskan oleh Anwar Ibrahim, dapat dikatakan
masih terlalu umum.

Penerjemahan konsep civil society menjadi masyarakat madani yang
dilakukan oleh Anwar Ibrahim, ternyata mendapat respon dari kalangan
intelektual Muslim di Indonesia. Respon tersebut datang dari kalangan
Muslim modernis yang berusaha mencari landasan dan visi dari konsep
masyarakat madani. Namun menurut Hendro Prasetyo, usaha tersebut dapat
dikatakan tidak berhasil, karena gambaran konsep masyarakat madani yang
dijelaskan masih lebih mendekati konsep asal, yaitu konsep civil society.
(Hendro Prasetyo, 2002:167)

Pada saat intelektual lain mengalami kesulitan dalam mencari landasan
historis dari konsep masyarakat madani. Nurcholish Madjid dengan mudah
dapat menelusuri dan menemukan landasan yang tepat untuk konsep
masyarakat madani. Nurcholish Madjid menjadikan kehidupan masyarakat

97

Madinah pada saat kepemimpinan Nabi Muhammad saw sebagai landasan
historis dan prototype dari konsep masyarakat madani.

Berbeda dengan konsep masyarakat madani yang digagas oleh Anwar Ibrahim
dan Dawam Rahardjo yang masih identik dengan konsep civil society.
Gagasan masyarakat madani yang dikeluarkan oleh Nurcholish Madjid, sangat
berbeda dengan konsep civil society yang berasal dari Barat. Nurcholish
Madjid berhasil memberikan warna dan landasan yang berbeda dari konsep
civil society. Nurcholish Madjid berhasil menciptakan konsep masyarakat
madani yang berdiri sendiri dari konsep civil society.

Menurut Nurcholish Madjid, masyarakat madani adalah suatu masyarakat
dengan civility (keadaban) sebagai mana yang pernah dilakukan Nabi
Muhammad dengan mendirikan negara kota Madinah. Lebih lanjut Nurcholish
Madjid menggambarkan masyarakat madani dalam sebuah artikelnya yang
berjudul “Asas-Asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat Madani”
menulis sebagai berikut:
Bukanlah suatu kebetulan bahwa wujud nyata dari masyarakat madani
itu untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia merupakan
hasil usaha utusan Tuhan untuk akhir zaman, Nabi Muhammad saw.
Sesampai Nabi di kota hijrah, yaitu Yastrib (Yunani:Yethroba), Beliau
mengganti nama itu menjadi Madinah. Melalui tindakan itu, Nabi saw,
telah merintis dan memberi teladan kepada umat manusia dalam
membangun masyarakat madani, yaitu masyarakat yang berperadaban
(ber-madaniyah) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada
ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan
peraturan. (Abudin Nata (ed), 2002:2)
Wawasan kesejarahan dan sosiologis yang dimiliki oleh Nurcholish Madjid,
memungkinkan Beliau untuk memberi landasan sosio-historis terhadap konsep
masyarakat

madani

dengan

mudah.

Dalam

setiap

gagasan

yang

98

dikeluarkannya, Nurcholish Madjid selalu mengaitkan dengan wawasan
kesejarahan Islam klasik. Sehingga tidak menjadi hal yang sulit apabila
Nurcholish Madjid berusaha untuk mencari landasan sosio-historis dalam
mencari makna dari masyarakat madani.

Nurcholish

berpandangan

kepemimpinan

Nabi

bahwa

Muhammad

masyarakat
saw

Madinah

merupakan

sebuah

pada

saat

gambaran

masyarakat yang ideal dan beradab. Nabi Muhammad berhasil melakukan
reformasi total terhadap masyarakat Madinah yang pada saat itu masih tidak
kenal hukum menjadi masyarakat yang adil, demokratis dan patuh terhadap
hukum. Nurcholish Madjid menggambarkan proses tersebut secara singkat,
sebagai berikut:
Adalah Nabi Muhammad, Rasulullah saw sendiri yang memberi
teladan kepada umat manusia kearah pembentukan masyarakat
berperadaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Makkah tanpa
hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberinya petunjuk untuk
hijrah ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km
sebelah utara Makkah. (Nurcholish Madjid, 1999:163)
Menurut Nurcholish Madjid, langkah awal yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad dalam menciptakan sebuah masyarakat yang berperadaban yaitu
merubah nama kota tersebut dari Yastrib menjadi Madinah. Langkah tersebut
dianggap Nurcholish Madjid bukanlah suatu kebetulan. Menurut Nurcholish
Madjid, perubahan nama tersebut menunjukkan semacam perjuangan
Muhammad saw dalam menciptakan masyarakat yang teratur.
Nurcholish Madjid menulis sebagai berikut: “Tindakan Nabi saw mengubah
nama Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan
niat atau proklamasi, bahwa Beliau bersama pendukung Beliau yang terdiri

99

dari kaum Muhajirin dan Anshar hendak mendirikan dan membangun
masyarakat beradab”. (Nurcholish Madjid, 1999:164)
Analisis Nurcholish Madjid tersebut diatas tidak terlepas dari pengertian
secara leksikal dari kata Madinah. Menurut Nurcholish Madjid, istilah
Madinah secara ilmu kebahasan mengandung makna “peradaban”. Hal ini
didasarkan bahwa dalam bahasa Arab “peradaban” dinyatakan dalam katakata “madaniyah” atau “tamaddun”, selain dari kata-kata “hadlarah”.
Nurcholish Madjid juga menyebutkan bahwa perkataan Arab Madinah, berasal
dari kata kerja “madana-yamdunu” yang berarti mendirikan bangunan.
(Nurcholish Madjid, 2004:46)

Nurcholish Madjid kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya kata Madinah
itu mempunyai