Pandangan nurcholish Madjid dalam etika beragama

(1)

DALAM ETIKA BERAGAMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Mencapai gelar (S 1) Sarjana Ushuluddin

Oleh

Fandi Rosadi

NIM. 203033102162

Di bawah bimbingan,

Agus Darmaji, M.Fils

NIP. 19610827 199303 1 002

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010 M


(2)

Beragama” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1) pada Jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 16 September 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua merangkap Anggota, Sekretaris merangkap anggota,

Drs. Rifqi Muchtar H., M.A. Devi Afritasari, Lc NIP. 19690822 199703 1 002 NIP. 19720320 200003 2 001

Anggota:

Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F., MA Drs. Samsuri, M.Ag NIP. 19500804 198603 1 002 NIP. 19590405 198903 1 003

Pembimbing,

Agus Darmaji, M.Fils NIP. 19610827 199303 1 002


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 20 September 2010

Fandi Rosadi


(4)

KATA PENGANTAR

Seiring perjalan waktu dan atas karunia Allah Yang Maha Kuasa, dengan selesainya skripsi ini, penulis mempersembahkan puji kepada Allah SWT, Tuhan sekalian alam, yang dengan hidayah dan inayah-Nya, sehingga semuanya mudah untuk penulis lalui. Shalawat dan salam diaturkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menuntun umatnya dari zaman kebodohan (jahiliyah) hingga saat ini, semoga kita umatnya kelak di hari kiamat mendapatkan syafaat beliau, amin.

Dalam hal ini penulis mengangkat judul tentang “Pandangan Nurcholish Madjid dalam Etika Beragama”. Skripsi ini disusun untuk menambah khazanah keilmuan khususnya dalam bidang al-Qur’an dan tafsirnya.

Penulis sangat yakin bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin hadir tanpa ada pihak-pihak yang membantu, untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

3. H. Drs. Harun Rasyid, MA, ketua program non regular Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Agus Darmadji, M. Fils pembimbing penulis, yang dengan penuh kesabaran dan kasih sayang memberikan arahan kepada penulis, sehingga


(5)

v

penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga Bapak senantiasa diberikan nikmat sabar dan selalu menjadi suri tauladan bagi kami.

5. Para dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, terima kasih atas segala ilmu yang diberikan. Semoga menjadi ilmu yang berkah dan manfaat di dunia dan di akhirat.

6. Pimpinan Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

7. Yang tercinta kedua orang tua penulis, bapak Tating Kurniawan dan ibunda Rohilah, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan sepenuh hati, tak henti-hentinya mendoakan penulis setiap malam dan waktu.

8. Adik-adik penulis: Yulita Azharani, Fatiah Nurul Utami, yang terus memberikan dorongan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi. 9. Teman-teman kelas penulis: Ahmad Sanusi, Firdaus Akbar, Heri, dan

seluruh teman-teman yang ada di kelas AF 2003, yang telah banyak memberikan motivasi serta gagasan dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Ciputat, 03 Juni 2010


(6)

vi

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Tinjauan Pustaka` ... 8

E. Metode Penelitian... 9

F. Sistematika Penulisan... 10

BAB II SEKITAR TRADISI INTELEKTUAL NURCHOLIS MADJID A. Sosio Historis Nurcholis Madjid ... 12

B. Riwayat Hidup Nurcholis Madjid ... 15

BAB III GAMBARA UMUM TENTANG ETIKA A. Pengertian Etika ... 20

1. Unsur penting dalam etika ... 22

2. Teori-teori tentang baik dan buruk (etika) ... 23

B. Aliran-aliran Etika... 25


(7)

vii

3. Perbedaan dan Persamaan Etika Barat dan Islam ... 41

BAB IV ETIKA BERAGAMA A. Pengertian Etika Beragama ... 44

B. Tradisi Salaf Sebagai Bahan Rujukan ... 47

C. Pluralisme Sebagai Aplikasi atas Etika ... 50

D. Kesalehan Sosial ... 56

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 61

B. Saran-saran... 62


(8)

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari, sering terdengar pembicaraan mengenai etika. Kata-kata yang terdengar di antaranya adalah “tindakan yang tidak etis”, “perbuatannya melanggar etika”, dan lain sebagainya. Etika dipandang sebagai suatu peraturan tak tertulis di tengah-tengah masyarakat, yang menuntut untuk ditaati meskipun tidak ada sanksi atau hukuman yang menimpa jika melanggarnya.

Etika itu sendiri adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pemikirannya. Persoalan etika adalah persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia, dalam segala aspeknya, baik individu maupun masyarakat, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dirinya, maupun dengan alam di sekitarnya, baik dalam kaitannya dengan eksistensi manusia di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya maupun agama.1

Perbuatan manusia itu sendiri banyak sekali yang dilakukan atas dasar kebiasaan dalam hidup dan kehidupannya. Dalam hal ini etika perbuatan telah ditentukan oleh adat kebiasaan yang sudah berjalan dalam jangka waktu yang lama.

1

Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 1999), Cet. Ke-1, h. 83


(9)

Etika erat kaitan dengan ajaran agama, karena orang yang beragama diharapkan lebih beretika. Tidak jarang dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa masalah iman dikaitkan dengan perbuatan baik (amal saleh). Hal ini menunjukkan adanya jalinan dan korelasi antara iman dan etika. Sebaliknya, murka Tuhan yang diturunkan pada suatu kaum bukan akibat syirik yang mereka lakukan, tetapi lebih karena kejahatan dan kemunkaran mereka. Banyak perintah Tuhan tidak hanya berhenti pada ritual belaka, tapi terkait dengan perbuatan-perbuatan baik. Begitu juga halnya dengan yang dilarang agama, seringkali memiliki muatan akidah yang sangat kental.2

Seperti yang telah disinggung di atas, al-Qur’an dan hadis membicarakan berbagai macam permasalahan, salah satunya adalah masalah etika. Etika Islam ditemukan dalam sumber yang merentang luas mulai dari tafsir al-Qur’an hingga kalam, komentar filosofis atas Aristoteles hingga teks mistik sufi.3

Sayangnya, begitu banyaknya sumber yang merentang luas untuk etika dan begitu penting pula posisi etika dalam Islam, tetapi hal itu tidak diiringi oleh perhatian para ulama dan intelektual muslim. Bidang ini hampir tak tersentuh dalam wacana-wacana keilmuan Islam, baik filsafat, ilmu kalam, maupun fikih. Filsafat Islam, kendati sangat terpengaruh oleh tradisi pemikiran Yunani yang kaya dengan pemikiran etika, tak banyak membahas persoalan-persoalan etika.

2

Ayat tersebut berbunyi(

4

:

ﻘ ا

)

ﻴﻈ

ﻖ ﺧ

ﻚﻧإو

yang artinya Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung. (al-Qalam: 4). Sedangkan hadis yang dimaksud yang sering dikutip banyak orang adalah hadis yang berbunyi:

ﺜ ﺑ

ﺎ ﻧإ

قﻼﺧﻷا

مرﺎﻜ

)

ﻩاور

ﻚ ﺎ

(

yang artinya Aku hanya diutus untuk menyemperunakan akhlak yang

mulia. (HR. Imam Malik). 3

Sayyed Hossen Nasr dan Oliver Leaman, (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tiara Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 1276


(10)

Etika sama artinya dengan moral atau akhlak, yang berarti: adat kebiasaan, kesusilaan, budi pekerti, norma atau peraturan hidup.

Adapun yang membedakan arti kata etika, moral dan akhlak dalam pemakaiannya, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh M. Said berikut:

Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penggunaannya ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai seperti baik dan buruk, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai dan kode. Orang menyebut perbuatan yang bermoral dan immoral, atau orang menyebut sistem nilai, norma etik atau kode etik yang membedakan ialah kata akhlak yang berarti tabiat, watak, budi pekerti.4 Etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama, yang mengatakan bagaimana manusia harus hidup bukanlah etika melainkan ajaran moral. Etika hanya ingin mengerti mengapa seseorang mengikuti ajaran moral tertentu, atau bagaimana seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Jadi etika sekaligus lebih dan kurang dari ajaran moral. Kurang karena etika tidak berwenang menetapkan apa yang boleh dilakukan manusia dan apa yang tidak boleh. Wewenang itu dikuasai oleh berbagai pihak yang memberikan ajaran moral. Lebih karena etika berusaha untuk mengerti mengapa dan atas dasar apa manusia hidup menurut norma-norma tertentu. Ajaran moral dapat diibaratkan buku petunjuk bagaimana harus memperlakukan sepeda motor kita dengan baik, sedangkan etika memberikan pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor itu sendiri.5

Di Indonesia, cendekiawan yang menaruh perhatian terhadap masalah etika masih belum banyak. Salah satu di antara orang yang menaruh perhatian

4

M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradaya Pramita, 1976), h. 23 5

Franz Magnis Suseno, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), h. 13-14


(11)

terhadap permasalahan etika, khususnya etika beragama adalah Nurcholish Madjid, pencetus sekaligus pendiri Yayasan Paramadina.

Nurcholish Madjid adalah seorang pencinta tradisi keilmuan Islam sejati, dan kursus-kursus yang diadakannya itu adalah tempat orang awam mengenal dan menikmati pengetahuan yang luas, khasnya dari disiplin-disiplin tradisional fikih, tasawuf, kalam, dan filsafat, walaupun serba sedikit.6

Salah satu pemikiran Nurcholish Madjid yang ingin penulis telaah adalah etika beragama yang bertujuan untuk mengerti dan memahami ajaran Islam secara benar, dan itu berarti juga mengerti dan memahami dimensi-dimensi keuniversalan ajaran Islam. Kelebihan Islam ialah segi kesamaannya yang menakjubkan dari ujung ke ujung dunia Islam yang kesamaan itu telah mendasari gejala yang sangat menonjol antara sesama muslim di mana saja, yaitu solidaritas dan persaudaraan dalam iman. Argumen tersebut hanya berarti penegasan bahwa memang sungguh-sungguh ada pola penyesuaian setempat untuk masalah setempat, tanpa kehilangan benang merah kesamaan universal antara seluruh kaum Muslim di muka bumi. Pola penyesuaian setempat untuk masalah setempat itu adalah seluruhnya absah, sepenuhnya Islami.7

Selain pemikiran tersebut, masih terdapat pemikiran-pemikiran lain dari Nurcholish Madjid mengenai etika beragama dalam Islam. Dengan mempertimbangkan etika tersebut, seseorang yang ingin menjalankan ajaran agama, dapat lebih terfokus dan yakin mengenai ajaran yang terkandung di

6

Syu’ba Asa, “Nurcholish, Hari Baik untuk Pergi”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke-1, h. 70

7

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin & Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke5, h. lxxiv


(12)

dalamnya. Bagaimana etika yang terdapat dalam ajaran agama, terutama agama Islam, dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Persoalan yang sering muncul adalah, bagaimana penerapan etika tersebut dalam kehidupan beragama? Hal ini menjadi pertanyaan besar, karena terjadi paradoks ketika orang yang taat beragama justru tidak menunjukkan etikanya ketika berhadapan dengan orang yang berbeda agama. Banyak kekerasan yang dilakukan oleh orang yang beragama terhadap agama lain, justru karena dilandasi oleh pemahaman atau penafsiran seseorang atas agama itu sendiri.

Hal menarik lainnya adalah - dalam etika beragama - apakah penerapan etika itu hanya dilakukan terhadap orang-orang seagama atau kepada orang-orang yang beragama lain? Karena sering kali seseorang akan bersikap ramah ketika bertemu atau bersosialisasi dengan sesama, baik itu agama, suku, ras, maupun antar golongan. Namun berbeda jika mereka berinteraksi dengan beda komunitas, sering kali timbul perselisihan yang tidak jarang berakhir dengan pertengkaran maupun konflik horizontal hanya karena perbedaan tersebut. Pertanyaan penting lainnya adalah apakah etika yang dimaksud itu adalah etika yang bersumber dari agama, atau etika yang memberikan arahan kepada seseorang bagaimana seharusnya hidup beragama itu sendiri?

Sebagaimana penulis telah singgung sebelumnya, bahwa etika lebih banyak berasal dari kebiasaan yang berlangsung lama di dalam masyarakat, apakah dalam hal ini agama juga memberikan kontribusi dalam etika tersebut? Karena banyak individu atau golongan yang sering menyalahartikan dengan ajaran yang berasal dari agama atau kelompoknya untuk melakukan tindak kekerasan terhadap individu atau golongan lain.


(13)

Pertanyaan-pertanyaan di atas membutuhkan jawaban yang jelas. Untuk itu, penulis berusaha untuk menggali pemikiran Nurcholish Madjid tentang etika beragama. Hal ini penulis anggap penting, karena banyak peristiwa kekerasan yang justru mengatasnamakan agama, dengan mengganggu ketentraman agama lain.

Dari hasil penelusuran penulis terhadap literatur karya Nurcholish Madjid, memang tidak ditemukan secara spesifik karya yang membahas secara khusus mengenai etika beragama. Untuk itu, penulis berusaha menggali pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang berkaitan dengan etika beragama dalam berbagai karyanya. Dengan penelaahan tersebut, penulis berharap dapat menangkap pandangan Nurcholish Madjid mengenai etika beragama.

Namun demikian, keterbatasan literatur tersebut tidak menjadikan penulis menyerah untuk menggali pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika beragama. Dengan mengumpulkan berbagai karya yang dihasilkannya, kemudian melakukan telaah terhadap karya-karya tersebut, penulis berharap menemukan garis besar pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika beragama.

Dari pemaparan tersebut di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian

dalam rangka penulisan skripsi dengan judul “PANDANGAN NURCHOLISH

MADJID DALAM ETIKA BERAGAMA.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam rangka untuk membatasi agar tidak melebarnya pembahasan pada penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah ruang lingkup permasalahan pada pandangan Nurcholish Madjid dalam etika beragama.


(14)

Etika yang dimaksud di sini adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang seharusnya diperbuat.

Adapun beragama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana menjalankan suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci.

Selanjutnya rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: bagaimana pandangan Nurcholis Madjid mengenai etika beragama?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalan untuk mengetahui pemikiran Nurcholis Madjid tentang etika beragama.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan mengenai pandangan

Nurcholis Madjid mengenai etika.

2. Untuk menambah khasanah keilmuan, khususnya di bidang filsafat

mengenai etika.

3. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Filsafat Islam(S.Fil.I)

pada Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(15)

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai seorang pemikir dan pembaharu di Indonesia, Nurcholish Madjid mempunyai karya-karya yang menjadi bahan penelitian oleh orang-orang yang tertarik dengan beliau. Salah satunya adalah Sutisna dalam skripsinya Pluralisme dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Skripsi, Akidah Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2004). Dalam skripsinya tersebut, Sutisna menjelaskan

gagasan-gasan pluralisme sangat dominan dalam pemikiran Nurcholish Madjid. Jika dipahami lebih komprehensif tentang gagasan pluralisme yang dilontarkan Nurcholish Madjid, akan didapati pemahaman yang sarat dengan nuansa inklusif. Inti dari gagasan pluralisme Nurcholish Madjid adalah untuk memandang positif terhadap kemajemukan.

Kemudian, Fauzi yang membahas Hubungan Islam dan Negara perspektif Nurcholish Madjid (Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Dalam skripsinya tersebut, Fauzi menjelaskan bahwa hubungan Islam dan Negara ada sejak adanya agama Islam. Selama itu pula hubungan antara keduanya menunjukkan pola beragama. di era Nabi dan para sahabat khulafa al-Rasyidin, hubungan Islam dan Negara bersifat integral. Di mana Islam adalah aturan-aturan dan hukum yang mengikat seluruh umatnya. Sedangkan Negara adalah bagian sarana untuk menjalankan hukum-hukum dan aturan itu. Setelah era Nabi dan sahabatnya berlalu, hubungan yang bersifat integral sudah tidak ditemui lagi, termasuk di Indonesia.

Selanjutnya, Anwar Sodik dengan judul Tauhid dan Nilai-nilai Kemanusiaan dalam Pandangan Nurcholish Madjid (Skripsi, Aqidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). Dalam skripsinya tersebut, dapat


(16)

disimpulkan bahwa seseorang tidaklah dikatakan bertauhid, kecuali jika disertai dengan sikap pasrah (Islam) dan keimanan yang murni. Yaitu tidak menyekutukan Tuhan kepada sesuatu yang pada dirinya tidak memiliki kualitas ilahiah. Dengan model pemahaman dan sikap bertauhid semacam itu, maka secaha inheren akan berdampak pada kualitas makna tauhid itu sendiri, yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Lalu tulisan Muhammad Afifi dengan judul Teologi Islam Agama-agama; Analitis Kritis Pemikiran Nurcholish Madjid (Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003). Dalam tulisannya dapat diambil kesimpulan bahwa Afifi ingin melihat sejauh mana keabsahan pandangan teologi Nurcholish Madjid tentang agama-agama, dilihat dari kacamata doktrin Islam (al-Qur’an) serta relevansi dalam konteks saat ini.

Pada pembahasan kali ini, penulis mencoba untuk membahas pandangan Nurcholish Madjid dalam etika beragama. Hal ini penulis lakukan, karena tema ini belum pernah dibahas sebelumnya dalam skripsi terdahulu.

E. Metode Penelitian.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melakukan studi kepustaakan (library research) yang terdiri dari sumber primer yaitu dengan merujuk kepada sumber buku-buku Nurcholis Madjid seperti Indonesia Kita, Islam Doktrin & Peradaban, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Tradisi Islam; Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan Indonesia,. Selain itu penulis juga menggunakan sumber sekunder meliputi pemikiran Nurcholish Madjid yang ditulis oleh orang


(17)

lain serta buku-buku filsafat, ensiklopedi, kamus, jurnal, majalah dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah etika.

Setelah penulis mengumpulkan data-data dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder, penulis kemudian melakukan telaah atas karya-karya tersebut untuk menemukan pemikiran Nurcholish Madjid tentang etika beragama. Meskipun tidak ada karya yang khusus membahas tentang etika beragama, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk berusaha sekuat tenaga menemukan pokok pikiran Nurcholis Madjid tersebut.

Dalam penyusunan dan menyelesaikan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yakni melalui penyajian data pendapat filosof dan Nurcholis Madjid mengenai etika, untuk kemudian penulis analisa lalu dijadikan sebuah kesimpulan. Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada

buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), dengan

penulis Hamid Nasuhi et.all. terbitan CeQDA, Cet. Ke-2, 2007.

F. Sistematika Penulisan

Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan sistematika sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan

Bab IITradisi Intelektual Nurcholis Madjid, yang membahas tentang sosio historis Nurcholis Madjid, riwayat hidup Nurcholis Madjid


(18)

Bab III Gambara Umum Tentang Etika, yang membahas tentang pengertian etika, aliran-aliran etika yang terdiri dari Barat dan Islam, perbedaan dan persamaan etika Barat dan Islam

Bab IV Etika Beragama yang terdiri dari pengertian etika beragama,

tradisi salaf sebagai bahan rujukan, pluralisme sebagai aplikasi atas etika, kesalehan sosial


(19)

TRADISI INTELEKTUAL NURCHOLIS MADJID

A. Sosio Historis Nurcholis Madjid

Membincangkan karakter, sikap, komitmen, pemikiran dan gagasan seorang tokoh tidak terlepas dari latar belakang kehidupan, baik sosial maupun intelektual yang pernah digeluti dan dilalui oleh tokoh tersebut. Hal ini pun tentu berlaku kepada Nurcholish Madjid sebagai seorang tokoh pemikir dan pembaharu di Indonesia.

Ayah Nurcholis Madjid, Abdul Madjid, adalah seorang petani di desa kecil tamatan sekolah rakyat (SR) dan salah seorang santri kesayangan Kiai Hasjim Asy’ari yang sempat dinikahkan oleh sang Kyai dengan salah seorang cucunya – yang kemudian diceraikannya dan menikah lagi dengan perempuan lain pilihan sang Kyai yang tidak lain putri dari teman baik sang Kyai, Kyai Abdullah Sajad,1 merupakan orang yang paling mempengaruhi kesadaran, sikap dan fikiran Nurcholish di kemudian hari.

Abdul Madjid sebagai kiai dan atau ulama yang lahir dari rahim NU termasuk orang yang melawan arus mainstream, di mana ia tidak masuk dalam jaringan ulama NU dan juga menolak bergabung dengan partai politik NU, alih-alih penolakannya itu ia justru bergabung dan menjadi pendukung setia partai Masyumi2 yang merupakan ibu kandung partai NU sebelum akhirnya berpisah mengambil jalannya masing-masing.

1

Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia,

(Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. Ke-1, hal. 122 2

Dedi Djamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal. 126


(20)

Sikap yang diambil Abdul Madjid ini berpengaruh tidak hanya terhadap dirinya tetapi juga terhadap kehidupan Nurcholish. Pengaruh positifnya, pandangan Masyumi yang modernis lewat ayahnya akan masuk secara sadar atau tidak ke dalam kehidupan keluarga, dan selanjutnya akan melebur ke dalam fikiran dan kesadaran Nurcholish kecil. Sedangkan pengaruh negatifnya, secara kultural, karena lingkungan Nurcholish adalah lingkungan NU yang tradisionalis yang saat itu bersebarangan secara politis dan kultural, maka Nurholish mendapat perlakuan dari lingkungannya secara sinis, dikucilkan dan dicemooh. Seperti yang terjadi pada saat ia belajar di pesantren Darul Ulum, terutama oleh kawan sebayanya. Nurcholish diejek dengan julukan sebagai “anak Masyumi kesasar”. Sikap dan perlakuan teman-temannya ini membuat Nurhcolish tidak bertahan lama sekolah di Pesantren Darul Ulum, ia memutuskan untuk pindah ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo.3

Perkenalan Nurcholish dengan lingkungan dan pemikiran kaum modernis lebih intens dan intim setelah kepindahannya ke Jakarta untuk melakukan studi di IAIN, terutama setelah ia menjadi anggota HMI, yang selanjutnya ia pimpin langsung selama dua periode berturut-turut, tahun 1966-196 dan 1969-1971. Selama di Jakarta ia bertemu dan berkenalan langsung secara tatap muka, maupun melalui tulisan atau ceramah dengan tokoh-tokoh utama Masyumi, dan sebaliknya tokoh dan pendukung Masyumi pun mengenal pribadi dan pandangan Nurcholish, sehingga terjadi hubungan yang erat di antara mereka yang berujung pada dianugerahkannya gelar atau julukan “Natsir Muda” pada Nurcholish, sebagai penghormatan dan kekaguman loyalis-loyalis Masyumi terhadap pribadi dan

3

Selain disebabkan oleh faktor ideologi politik, alasan lainnya yang menyebabkan kepindahan Nurcholish adalah faktor kesehatan. Nurcholish, Dialog Keterbukaan, hal. 271


(21)

terutama pandangan-pandangan Nurcholish yang dianggap identik atau setidaknya dekat dengan pandangan-pandangan M. Natsir. Tapi suasana bulan madu antara Masyumi dan Nurcholish ini dikejutkan oleh gebrakan Nurcholish pada 3 Januari 1970 ia menyajikan makalah yang dari judulnya begitu dingin tapi secara substansial cukup meriuhkan perbincangan intelektual: “Masalah Integarasi Umat dan Keperluan Pembaharuan Pemikiran Islam”, yang disampaikan pada acara halal bihalal HMI, PII, Persami dan GPI.4 Isi makalah ini mengakibatkan rusaknya suasana bulan madu antara Nurcholish dan pendukung Masyumi, sehingga berakhir dengan perseteruan dan perceraian di antara mereka, serta penganuliran julukan “Natsir Muda” bagi Nurcholish.5

Perubahan sikap Nurcholish ini tidak terlepas dari perkembangan sosio-politik Indonesia yang menuntut adanya reevaluasi dan reformasi visi dan misi perjuangan umat Islam, di mana dalam pandangan Nurcholish sikap dan respon yang diambil umat Islam saat itu tidak kondusif dan kontra produktif bagi masa depan umat Islam sendiri, yang mengakibatkan semakin meningkatkan kecurigaan dan ketegangan pemerintah dan militer terhadap umat Islam.

Perubahan diri Nurcholish ini juga disinyalir dipengaruhi lawatannya ke negeri Paman Sam untuk memenuhi undangan program “Profesional Muda dan Tokoh Masyarakat” dan ke beberapa negara Arab yang berlangsung dua kali,

4

Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandi Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal. 128

5

Yang menarik, perlakuan kurang baik dari sebagian besar pendukung Masyumi ini tidak membuat hubungan emosional Nurcholish terhadap Masyumi berubah, ini terbukti dengan pernyataannya:

“Saya bukan orang Muhammadiyah. Saya jika dilihat dari segi kultural lebih banyak NU-nya dari pada Muhammadiyah. Tetapi training saya kan di Gontor, HMI dan sebagainya. Saya dan ibu saya kan Masyumi. Jadi, kalau ada sesuatu yang boleh diidentifikasikan diri saya itu adalah masyumi, yakni “anak Masyumi”. Bukan Muhammadiyah, bukan NU, atau orang NU yang menjadi Masyumi. Lihat Nurcholish Madjid, “Sekapur Sirih” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), Cet. Ke-1, hal. xvii


(22)

yang pertama atas undangan pemerintah Saudi Arabia untuk membawakan makalah, keberangkatan yang kedua sebagai hadiah pemerintah Saudi Arabia sebagai tamu resmi pelaksanaan ibadah haji yang diberikan atas penyajian makalah pada kali undangan pertama.6

Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish bermukim di salah satu kamar masjid Al-Azhar, yang disediakan secara khusus oleh Buya Hamka. Di tempat ini Nurcholish mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan menulisnya langsung di bawah bimbingan Buya Hamka, sastrawan dan penulis handal dan produktif, yang saat itu memimpin Majalah Gema Islam di mana tulisan-tulisan Nurcholish banyak menghiasi kolom majalah tersebut. Dan juga berkesempatan melatih keahlian berorasi di bawah bimbingan H. Amirudin Siregar yang menjadi sekretaris jenderal pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI).7

B. Riwayat Hidup Nurcholis Madjid

Nurcholis Madjid dilahirkan di kampung kecil di desa Mojo Anyar, Jombang Jawa Timur, pada tanggal 17 Maret 1939. seperti ayahnya ia disekolahkan di Sekolah Rakyat (SR) pada pagi hari dan di Madrasah pada sore hari.8

Nurcholis lahir dari seorang petani, dari Jombang. Ia adalah Haji Abdul Madjid, salah satu murid dari K.H. Hasyim Asyari. Abdul Madjid, yang

6

Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal. 126-127

7

Dedy Jamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia, hal. 129

8

Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Ke-1, h. 72


(23)

memberikan pengetahuan awal pada anaknya (Nurcholish). Walaupun pendidikan beliau hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR), namun demikian pengetahuannya amat luas. Abdul Madjid menguasai keilmuan dalam hal agama dan pengetahuan umum, dan ia juga sangat mengakar dengan tradisi pesantren. Abdul Madjid sering disapa dengan sapaan Kiayi Haji (KH), walaupun secara pribadi beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai Kyai atau ulama.9

Ia (Abdul Madjid) mendirikan sekolah Madrasah dan dinamakan dengan Madrasah Al Wathoniyah, bertempat di Mojo Anyar, Jombang. Sekolahnya dibuka pada sore hari karena diperuntukkan bagi para siswa yang pagi harinya sekolah di Sekolarh Rakyat (SR).

Abdul Madjid tetap tinggal di Jombang sehingga dirinya tidak banyak dikenal di Jakarta. Kalaupun beliau di kemudian hari banyak dikenal pada tingkat nasional, itu karena kepiawaian anaknya (Nurcholish) sebagai intelektual muda yang cukup terkemuka. Sikap Abdul Madjid yang sangat sederhana, rendah hati namun sangat besar pengaruh terhadap anaknya.10

Dalam dunia pendidikan pertamanya, Nurcholish sudah memperlihatkan kemampuan akademisnya. Ia selalu mendapatkan nilai tinggi. Hal ini membuat kagum sang ayah walaupun di sisi lain ada rasa malu (tidak enak), karena ayahnya sebagai pendiri sekolah tersebut.11

Di usia remaja, kurang lebih pada usia 14 tahun, Cak Nur sapaan akrab Nuecholis Madjid dikirim ayahnya untuk melanjutkan studi di pesantren Darul

9

Kita ketahui bersama bahwa pada saat itu hanya ada sekolah Rakyat yang bersifat sekuler, sehingga belum tersedianya sekolah yang mengajarkan pengetahuan keagamaan secara modern atau perpaduan antara pengetahuan keagamaan dengan pengetahuan umum, istilah sekarang sekolah terpadu. Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. Ke-1, h. 72

10

Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 72 11


(24)

Ulum Rejoso Jombang. Namun di pesantren itu ia hanya bertahan 2 tahun, karena ada persolaan yang membuatnya selalu risih. Beliau selalu diejek oleh teman-temannya yang kebetulan secara umum santri dari kalangan Nahdhatul Ulama (NU). Sedangkan NU pada saat itu sudah keluar dari Partai Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Abdul Madjid berpendirian tetap bertahan di Masyumi, itulah yang menyebabkan Nurcholish Madjid dikucilkan dari teman-temannya.12

Nurcholish dipindahkan oleh ayahnya ke Pesantren Gontor, di Ponorogo, Jawa Timur. Gontor sebagai institusi pendidikan yang cukup modern banyak sekali memengaruhi diri Nurcholish, terutama budaya keterbukaan, rasional, dan modern. Gontor menciptakan pendidikan yang cukup liberal, di mana tradisi belajar klasik dipadukan dengan gaya modern barat.13

Pesantren Gontor mengajarkan dua bahasa dunia, yaitu Bahasa Arab dan bahasa Inggris. Gontor sebagai tempat pendidikan yang memberikan nuansa berbeda dengan pendidikan pesantren pada umumnya yang ada di Jawa, sehingga membuat Gontor begitu popular hingga pada tingkat Nasional. Pendidikan Gontor yang sangat berkualitas menjadi andalan bagi kelanjutan belajar Nurcholish Madjid. Dengan kecerdasannya sehingga ia begitu mudah untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi.14

Nurcholish pada tahun 1961 dengan bermodalkan surat (memo) dari gurunya, ia pergi ke Jakarta untuk masuk IAIN Syarif Hidayatullah. Ia masuk

12

Ini adalah sikap Abdul Madjid yang tetap setia pada gurunya (Hasyim Ashari) dan ia pun berpendapat bahwa kalau mau berpolitik ya tempatnya di Masyumi bukannya di NU.

13

Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 75 14

Kurikulum Gontor ditempuh untuk jangka waktu enam tahun dengan tiga tahun yang terakhir mempelajari metode-metode pengajaran. Maka sangat lazim bahwa alumni Gontor masih menetap di pesantren paling tidak untuk satu tahun lagi untuk mengajar. Adapun keberlangsungan ekonomi para guru sepenuhnya bergantung pada pesantren. Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, 75


(25)

pada Fakultas Adab, jurusan Sastra Arab. Pada tahun 1968 ia menyandang gelar sarjana dengan predikat terbaik.

Setelah lulus dari IAIN, Nurcholish banyak disibukkan dengan tugasnya sebagai ketua HMI dan sebagai intelektual muda yang banyak menggulirkan ide-ide penyegaran keagamaan ummat.

Pada tahun 1973 datang dua (2) orang intelektual terkemuka ke Indonesia, yaitu Leonard Binder dan Fazlur Rahman. Kedatangan dua intelektual senior ini untuk mencari peserta seminar dan lokakarya yang bertempat di University of Chicago yang didanai oleh Ford Foundation. Sebenarnya kedua orang ini pilihannya jatuh pada HM Rasyidi, namun HM Rasyidi sudah terlalu tua sehingga pilihan berikutnya jatuh pada Nurcholish Madjid.15

Untuk mengikuti program itu Nurcholish harus menjadi pegawai negeri sipil (PNS) terlebih dahulu. Ia pun dilantik menjadi tenaga LIPI yang menurut Komaruddin Hidayat pilihannya sebagai tenaga LIPI sangat tepat untuk menunjang intelektualnya. Karena di LIPI dibiasakan ilmiah, empris, dan rasional, serta pergaulannya dengan para ilmuan yang relatif setia dengan etika keilmuan.16

Selesainya di program tersebut, Nurcholish meminta pada Leonard Binder agar ia dapat kembali ke Chicago untuk melanjutkan studi ke Pasca sarjana. Sebetulnya minat awal Nurcholish dalam kajian politik di bawah bimbingan Leonard Binder, namun Fazlur Rahman mengajarknya untuk studi kajian ke-Islaman di bawah bimbingannya.17

15

Greg Burton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 84 16

Untuk kepentingan karir keilmuan dan pembentukan sikap yang ilmiah, serta lingkungan kerja yang kebetulan di sebuah lembaga penelitian LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Dia (Cak Nur) sangat beruntung mendapatkan tempat kerja dengan minat dan bakat intelektualnya, Lihat Komaruddin Hidayat “Kata Pengantar”, Islam Agama Peradaban, h. xiii

17


(26)

Selama di Chicago, Nurcholish semakin jelas arah dan bentuknya yang sangat dipengaruhi oleh gagasan Neo Modernisme Fazlur Rahman. Ia berusaha memadukan tradisi Islam klasik dengan dunia modern, atau dengan kata lain menjadi modern dengan tetap mengapresiasi tradisi. Hal ini bisa kita lihat dari karya-karya Nurcholish yang selalu bercorak keislaman dan kemodernan.18

Nurcholis menyelesaikan kuliahnya di Chicago pada tahun 1984 dengan predikat Cum Laude, dengan judul disertasi, Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibn Taymiya Dalam Ilmu Kalam dan Filsafat: Masalah Akal dan Wahyu dalam Islam).

18

Muhammad Afif, Teologi Islam tentang Agama-agama: Studi Kritis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid, Tesis, Sarjana Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, (tidak diterbitkan), h. 29


(27)

GAMBARA UMUM TENTANG ETIKA

A. Pengertian Etika

Ketika membahas sebuah definisi kata, maka harus dilihat dari segi etimologis maupun terminologis. Secara etimologis, ada beberapa pendapat dalam memberikan arti etika. Menurut K. Bertens berpendapat bahwa istilah etika berasal dari Yunani kuno. Kata Yunani Ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara pikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah kebiasaan.1 Hasbullah Bakry memberikan arti etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang artinya adat kebiasaan. Dalam bahasa Latin disebut mores

jamak dari mos yang artinya moral, adat kebiasaan. Dalam bahasa Arab disebut

akhlaq artinya budi pekerti. Dalam bahasa Indonesia disebut tata sulia.2 Sedangkan Suprihadi Sastrosupono memberikan arti etika berarti kesediaan jiwa atau kesusilaan. Tepatnya to ethos artinya kebiasaan, adat istiadat, kesusilaan. Lebih banyak lagi etika diartikan sebagai norma, kaidah, peraturan hidup, dan perintah, sedang moral berarti adat kebiasaan.3

Memperhatikan beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa etika sama artinya dengan moral atau akhlak, yang berarti: adat kebiasaan, kesusilaan, budi pekerti, norma atau peraturan hidup. Dari definisi yang ada, etika lebih diartikan sebagai sebuah aturan yang ingin membuat hidup manusia lebih baik dibandingkan dengan tiadanya aturan tersebut.

1

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), Cet. Ke-3, h. 4 2

Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1978), Cet. Ke-5, h. 62 3

Suprihadi Sastrosupono, Etika Sebuah Pengantar, (Bandung: Alumni, 1983), h. 8


(28)

Adapun yang membedakan arti kata etika, moral dan akhlak dalam pemakaiannya, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh M. Said berikut:

Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penggunaannya ada sedikit perbedaan. Moral dan moralitas dipakai utnuk perbuatan yang sedang dinilai seperti baik dan buruk, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai dan kode. Orang menyebut perbuatan yang bermoral dan immoral, atau orang menyebut sistem nilai, norma etik atau kode etik yang membedakan ialah kata akhlak yang berarti tabiat, watak, budi pekerti, watak.4

Secara terminologis, ada beberapa pendapat tentang pengertian atau batasan etika. Menurut K. Bertens etika ialah ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral akhlak, 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan akhlak, 3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.6 Ahmad Amin menjelaskan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan apa yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang seharusnya diperbuat.7 Sedangkan Hasbullah Bakry menjelaskan etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan melihat perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.8

Dari pengertian yang diungkapkan oleh beberapa ahli di atas, walaupun mereka mengungkapkan dalam bahasa yang berbeda, namun pada prinsipnya

4

M. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Pradaya Pramita, 1976), h. 23 5

K. Bertens, Etika, h. 4 6

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-4, h. 227

7

Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Maruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), Cet. Ke-3, h. 3

8


(29)

sama, antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a) Etika membicarakan mana yang baik dan mana yang buruk b) Etika membahas apa dan bagaimana perbuatan manusia

c) Etika mengandung nilai dan norma yang dapat dijadikan peraturan hidup dan kehidupan manusia.

1. Unsur penting dalam etika

Di dalam mempelajari etika banyak sekali unsur-unsur yang dapat dijabarkan tetapi penulis membatasinya hanya pada beberapa unsur pokok, di antaranya:

a. Hati Nurani

Penghayatan tentang baik dan buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret. Hati nurani ini memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu.9 Dalam hati nurani itu ada dua suara, suara was-was dan suara hati. Masing-masing dari dua suara adalah kecenderungan yang tertekan, karena pada manusia itu ada keinginan yang baik dan keinginan yang buruk. Apabila keinginan buruk itu ditekan maka terdengar suara was-was dan bujukan mengajak ke arah keburukan dan bila keinginan baik ditekan terdengar suara hati, menderita karena keburukan yang menguasai kebaikan. Kekuatan hati nurani memberi petunjuk akan perbuatan wajib dan menakutinya dari kemaksiatan, menggiring dengan mendorong menyempurnakan perbuatan yang baik dan menahan diri dari

9


(30)

perbuatan yang buruk dan menyusulnya dengan gembira dan senang waktu ditaati dan terasa perih dan sakit waktu dilanggar.10

b. Nilai

Unsur ini dianggap paling penting sebab merupakan kumpulan sikap, perasaan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik buruk, benar-salah, patut tidak patut, mulia-hina, maupun penting tidak penting.

c. Norma

Peraturan atau kaidah sebagai tolak ukur untuk mencapai sesuatu yang membatasi gerak manusia yang bersifat larangan atau merupakan patokan, dasar atau ukuran, aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksud untuk mendorong bahkan menekan orang per-orang secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.

Dengan demikian setelah dipelajari dan ditelaah etika itu membicarakan tentang baik dan buruk, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, serta norma yang berlaku di dalamnya dan hati nurani untuk menjaga tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari.

2. Teori-teori tentang nilai baik dan buruk (etika)

Untuk membicarakan tentang teori-teori etika ada banyak teori tetapi penulis membatasinya dengan memperkenalkan beberapa pandangan di antaranya:

10


(31)

Pertama, hedonisme, mengerjakan sesuatu dianggap baik bila mengandung kenikmatan dan kepuasan bagi manusia. Manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan.

Kedua, vitalisme, baik dan buruk ditentukan oleh ada tidak adanya kekuatan hidup yang dikandung oleh objek yang dinilai. Manusia yang kuat, ulet, cerdas, itulah yang baik, manusia mengandung daya hidup yang besar.

Ketiga, utilitarianisme, menyatakan bahwa yang baik adalah yang berguna.11 Bagi Bentham, utilitarianisme merupakan perkembangan hedonisme. Baginya etika harus memperhitungkan jumlah kenikmatan dikurang jumlah penderitaan tentang hasil perbuatan, itulah yang menentukan nilai perbuatan. Menanggung derita dalam melakukan kebaikan adalah tidak baik. Jadi, mesti dihitung lebih dahulu, banyak mana kenikmatan ataukah penderitaan yang terdapat di dalam perbuatan itu.

Dari pemahaman-pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengambil pemahaman tentang perbuatan baik, perlu adanya tinjauan dari berbagai segi kenikmatan, kekuatan hidup, kegunaan hidup. Jadi jelaslah bahwa ukuran baik dan buruk yang dibicarakan etika ternyata ada perbedaan masing-masing dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Namun demikian, perbedaan yang ada tentang ukuran baik dan buruk yang dibicarakan oleh etika tidak serta merta menafikan tujuan pemaknaan etika itu sendiri. Masing-masing pemahaman yang ada berusaha untuk memberikan makna yang baik bagi manusia dalam melaksanakan suatu etika.

11

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Haji sejak Thales sampai Copra, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), cet. Ke-7, h. 40


(32)

B. Aliran-aliran Etika 1. Barat

Dalam filsafat etika, terdapat beberapa uraian sistematis tentang hakikat moralitas atau etika dan peranannya dalam hidup manusia. Di antaranya adalah:

a. Hedonisme

Sokrates menyatakan bahwa perlunya pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Yang penting ialah mempergunakan kesenangan dengan baik dan tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana menggunakan kuda atau perahu tidak berarti meninggalkannya, tapi menguasainya menurut kehendak kita.12

Adapun Epikuros melihat bahwa kesenangan sebagai tujuan kehidupan manusia. Menurut kodratnya setiap manusia mencari kesenangan, tapi pengertiannya tentang kesenangan lebih luas dari pada pandangan Aristipkos. Walaupun tubuh manusia merupakan ‘asas serta akar’ segala kesenangan dan akibatnya kesenangan badani harus dianggap paling hakiki, namun Epikuros mengakui adanya kesenangan yang melebihi tahap badani. Dalam sepucuk surat ia menulis: “Bila kami mempertahankan kesenangan adalah tujuannya, kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa” (surat kepada Menoikeus). Tapi kesenangna rohani itu hanyalah bentuk yang diperhalus dari kesenangan badani. Ia juga tidak membatasi kesenangan pada kesenangan aktual saja.

12


(33)

Dalam menilai kesenangan menurut Epikuros, kita harus memandang kehidupan sebagai keseluruhan termasuk juga masa lampau dan masa depan.13

Dalam pandangan aliran ini, tujuan hidup adalah bagaimana menikmatinya dengan sebaik mungkin. Pemenuhan kebutuhan materi lebih diutamakan dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan ruhani. Karena dengan memenuhi kebutuhan materi adalah yang paling logis, sebab hal tersebut bisa dirasakan.

b. Eudaimonisme

Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles. Ia menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini – dalam terminologi modern kita bisa mengatakan: makna terakhir hidup manusia – adalah kebahagiaan (eudaimonia). Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memecahkan semua kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai kebahagiaan.14

Dalam paham ini, kebahagiaan yang ingin dituju dalam hidup bisa diperoleh dengan berbagai cara, tergantung bagaimana manusia

13

K. Bertens, Etika, h. 237 14


(34)

memandang kebahagiaan itu sendiri. Masing-masing individu memiliki interpretasi yang berbeda akan makna kebahagiaan. Namun pada intinya adalah, bahwa manusa hidup di dunia harus bahagia, dengan persepsinya masing-masing.

c. Utilitalirisme

Pemikiran tentang utilitalirisme menurut bentuk yang lebih matang berasal dari filsuf Inggris Jeremy Bentham. Utilitalirisme dimaksudkan sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Ia tidak ingin menciptakan suatu teori moral abstrak, tetapi mempunyai maksud sangat konkret. Ia berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi yang disebut hak-hak kodrati. Karena itu ia beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan, umpamanya, dalam sistem hukum Inggris sudah ketinggalan zaman dan harus diganti. Bentham mengusulkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdsarkan kesusahan atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap para korban dan masyarakat. Suatu pelanggaran yang tidak merugikan orang lain sebaiknya tidak dianggap sebagai tindkaan kriminal, seperti misalnya pelanggaran seksual yang dilakukan atas dasar suka sama suka.15

Utilitalirisme diperhalus dan diperkukuh lagi oleh filsuf Inggris besar, John Stuart Mill. Ada dua pendapatnya yang patut diperhatikan,

15


(35)

yaitu pertama ia mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan hewan, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu dari pada kesenangan orang tolol. Yang kedua adalah bahwa kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali bertindak sebagai pelaku utama. Raja dan seorang bawahan dalam hal ini harus diperlakukan sama. Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Dengan demikian suatu perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama.16

Dengan demikian utilitalirisme berusaha untuk memberikan makna tentang etika yang lebih logis, dengan memberikan ukuran maupun takaran terhadap sesuatu sesuai dengan sebab dan akibatnya. d. Deontologi

Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau intelegensia adalah baik, jika digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, tapi jika dipakai

16


(36)

oleh kehendak yang jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keutamaan bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat.

Pendapat lain dikemukakan oleh William David Ross yang menerima teori deontologi, tapi ia menambahkan sebuah nuansa yang penting. Kewajiban itu selalu merupakan kewajiban prima face (pada pandangan pertama), artinya, suatu kewajiban-untuk-sementara, dan hanya berlaku sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Misalnya jika terjadi konflik antara dua kewajiban yang tidak bisa dipenuhi sekaligus. Di satu pihak saya wajib mengatakan yang benar dan di lain pihak saya wajib menyelamatkan yang tidak bersalah. Ross mengatakan bahwa kewajiban untuk mengatakan kebenaran merupakan kewajiban prima face yang berlaku sampai ada kewajiban yang lebih penting. Kita tahu semua akan menyetujui bahwa kewajiban untuk menyelamatkan teman di sini merupakan kewajiban yang jauh lebih mendesak. Karena itu kewajiban pertama itu di sini tidak berlaku lagi.17

Ross menyusun sebuah daftar kewajiban yang semuanya merupakan kewajiban prima face:

1) Kewajiban kesetiaan, kita harus menepati janji yang diadakan dengan bebas.

2) Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi hutang moril dan materiil.

17


(37)

3) Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang berbuat baik terhadap kita.

4) Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan. 5) Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang

membutuhkan bantuan kita.

6) Kewajiban mengembangkan dirinya: kita harus

mengembangkan dan meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, intelegensi, dan sebagainya.

7) Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan Ross dalam bentuk negatif).18

Dari apa yang telah penulis uraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa etika Barat lebih mengedepankan pemenuhan kebutuhan manusia yang diperoleh dengan berbagai aturan maupun norma, agar manusia merasa bahagia. Bahagia yang ditekankan di sini adalah bahagia dengan terpenuhinya berbagai kebutuhan jasmani.

2. Islam

Setelah membahas etika dalam pandangan Barat, penulis kemudian membahas tentang etika dalam Islam. Etika dalam filsafat Islam merupakan bagian yang amat penting karena hakikat manusia itu adalah pada moral atau akhlaknya. Jika akhlaknya baik, maka akan baik juga umat manusia secara

18


(38)

keseluruhan. Bahkan Nabi menegaskan bahwa dia diutus ke dunia ini tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia. Artinya, sikap dan tindak tanduk seseorang adalah unsur yang utama dalam dirinya. Etika atau filsafat akhlak sebenarnya mengkaji hal itu secara lebih terinci dan mendalam. Para filosof Islam bahkan ada yang mengkhususkan dirinya mendalami etika, seperti al-Kindi, Ibn Miskawih, dan Ibn Bajah. 19

Menurut al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filsuf wajib menempuh hidup susila. Hikmah

sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (Paradoks Sokrates). Manusia harus menjauhi diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa, Sokrates dipuji sebagai contoh zahid (asketis).

Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama

(tijarat bi al-dîn) untuk memperkaya diri dan para filsuf yang

memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara. Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Sokrates. Dalam kesesakan jiwa, filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian, dan hikmah dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata Negara. Sebagai filsuf, al-Kindi prihatin, kalau-kalau syariat kurang menjamin

19

Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. Ke-1, hal. 210


(39)

perkembangan kepribadian secara wajar. Oleh karena itu, dalam akhlak dia mengutamakan kaedah Stoa dan Sokrates.

Filsafat moral menurut al-Razi ditemukan pada bukunya, yaitu al-Tibb al-Ruhani dan al-Sirat al-Falsafiyyah. Dalam buku tersebut diungkapkan bahwa pekerjaan yang terakhir adalah pembenaran atas tingkah laku kehidupan dari perspektif kefilsafatan, karena dia telah disalahkan oleh beberapa orang tidak mengharapkan tinggal pada teladan tuannya, Sokrates. Dia berpikir bahwa kehidupan yang benar tidak berlebihan, tetapi pertengahan antara dua ekstrem tidak ada pertapaan, maupun juga banyak kegemaran pada kesenangan-kesenangan. Ada dua perbatasan, yaitu ketinggian dan kerendahan. Batas ketinggian yang mana melebihi ahli filsafat, yang tidak akan pergi untuk menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan. Hal itu tidak dapat dihasilkan, kecuali oleh ketidakbenaran perbuatan dan mengerjakan sesuatu yang bertentangan yang sudah semestinya. Kerendahan adalah apakah makan tidak merugikannya atau menyebabkan sakit, dan untuk memakai apakah cukup untuk melindungi kulitnya, dan lain-lain, di antara perbatasan, salah satu dapat tinggal tanpa menjadi tidak berguna yang telah disebutkan oleh ahli filsafat. 20

Al-Razi mengklaim, bahwa dalam kehidupan praktis, dia tidak melebihi dua perbatasan tersebut. Dia tidak tinggal pada pelayanan raja seperti menteri-menteri atau laki-laki yang bersenjata, tetapi dia seorang dokter dan penasehat. Dia tidaklah rakus, maupun pada konflik dengan orang lain, tetapi pada pertentangan, dia sudah sangat toleran seperti menganggap

20


(40)

kebenaran yang semestinya. Dia tidak pernah melebihi untuk minum, makan, atau menikmati kehidupan. Seperti cintanya pada ilmu pengetahuan dan belajar, itu adalah semua kebaikan yang diketahui untuk setiap orang.

Mengenai filsafat etika al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihyâ ‘Ulûmuddîn. Dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali adalah teori tasawufnya itulah.

Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhalluq bi-akhlâqillâhi ‘alâ taqâtil basyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al-isyâfu bi-shifîtir-rahmân ‘alâ taqâlil-basyariyah.

Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama, dan sebagainya.

Dalam Ihyâ ‘Ulûmuddîn itu al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal

al-tahârah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi al-Ghazali semua amal ibadat yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.

Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Allah.


(41)

Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama seklai.

Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.

Bagaimana cara ber-taqarrub kepada Allah itu, al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langung memengaruhi rohani. Di antaranya yang terpenting ialah al-muqârabah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhâsabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.

Menurut al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan sa’âdah). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.

Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi itu ialah apabila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan

ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin (musyâhadat al-qalbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan.


(42)

Al-Ghazali menyatakan dengan terus terang bahwa ia telah beberapa kali mengalami penyaksian itu. 21

Sifat akali menurut Ibnu Bajah adalah faktor rohani yang menggerakkan manusia pada kesusilaan. Sebagian dari akhlak manusia sama saja dengan akhlak hewan. Misalnya sifat berani dari singa, sifat sombong dari merak, sifat rakus, sifat malu, sifat patuh, dan sebagainya. Akan tetapi, sifat akali manusia yang menjadi pangkal ilmu mereka adalah sifat kesempurnaan yang mutlak yang dapat mengatasi sifat-sifat hewani tersebut. Oleh sebab itu manusia yang tidak mengindahkan sifat keutamaannya (akalnya) itu berarti dia hanya mencukupkan dirinya pada sifat-sifat hewaninya saja. Tentu saja keutamaannya akan menjadi hilang apabila sifat hewani itu sangat erat hubungannya dengan alat-alat jasmaniah seperti makan, seksual, dan sebagainya.

Tegasnya, yang dimaksudkan dengan sifat akali dalam etikanya ini ialah sifat yang mengutakan pertimbangan rohani yang tinggi, yakni akal, daripada pertimbangan rohani yang rendah, yakni sifat-sifat (naluri) hewani.22

Al-Farabi menulis buku tentang etika, yang berjudul Risâlah fî al-Tanbîh ‘alâ Subu al-Sa’âdah dan Tahsîl al-Sa’âdah. Dia memberikan tawaran terhadap konsep moral. Konsep moral tersebut berhubungan erat dengan jiwa dan politik. Sifat utama yang harus diperhatikan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga Negara ada empat sifat, yaitu: 23

21

Poerwantana, et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. Ke-4, h. 172-173

22

Poerwantana, et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, h. 187-188 23


(43)

a. Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga diperoleh dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui belajar dan mengajar.

b. Keutamaan pemikiran, yaitu orang memungkinkan mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan.

c. Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Keutamaan ini berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran. Kedua keutamaan tersebut terjadi dengan tabiatnya dan dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia.

d. Keutamaan amaliah, dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-pertanyaan yang memuaskan dan merangsang. Cara lain adalah dengan pemaksaan.

Al-Farabi juga menyatakan agar bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengan-tengah. Hal itu juga ditentukan dengan memperhatikan zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal itu, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi syarat tersebut. Contoh, berani merupakan sifat terpuji yang terletak di antara dua sifat tercela, membabi buta (tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karâm) terletak antara dua sifat tercela, kikir dan boros (tabdzir). Memelihara kehormatan diri (iffah) terletak di antara dua sifat tercela, keberandalan (khalâa’ah) dan tidak ada rasa kenikmatan. 24

Pandangan etika Ikhwan al-Shafa’ bersifat rasional. Oleh karena itu, untuk suatu tindakan harus berlangsung bebas merdeka yakni seseorang harus

24


(44)

melepaskan diri dari ketergantungan pada materi, harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai kepada ekstase. Percaya tanpa usaha, mengetahui tanpa berbuat sia-sia. Hal-hal yang harus menjadi karakteristik pribadi adalah kesabaran dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih saying, keadilan, rasa syukur, mengutakaman kebajikan, dan gemar berkorban untuk orang lain. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman, dan kepalsuan, kecintaan yang membara sesama manusia, dan keramahan terhadap alam, binatang liar sekalipun.

Petunjuk utama manusia bagi pengenalan tentang dunia haruslah merupakan pengetahuan tentang dirinya sendiri. Bagi Ikhwan al-Shafa’, psikologi menjadi pengantar metafisika dan kosmologi, dan juga bagi semua ilmu pengetahuan. Berkat renungan manusia terhadap kondisinya di dunia ini akan tersingkaplah kepadanya, bahwa ia berada dalam posisi antara dua yang ekstrim, yaitu sangat kecil dan keluasaan yang tak terbatas, tubuhnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, masa hidupnya tidak terlalu lama dan tidak pula terlalu singkat, dan dunia ini muncul tidak terlalu dini dan tidak terlalu melambat. Dalam hal pengetahuan manusia ini, Ikhwan berkesimpulan

agnostic, yaitu akal manusia berkemampuan meliputi secara utuh, atau bentuk murni yang telah dipisahkan dari materi. Untuk itu, ikhwan menawarkan solusi agar tunduk kepada para Nabi, yang merupakan penyambung lidah tuhan, dan mengakui ajaran mereka tanpa ragu-ragu.

Moral atau akhlak menurut Ibn Maskawih adalah suatu sikap mental (hâl li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Asal sikap mental itu ada kalanya sangat penting


(45)

menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan tersebut akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan. 25

Manifestasi watak manusia banyak dijumpai dengan sifat-sifat yang kurang terpuji. Karena itulah kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji, sebaliknya juga bisa membawa seseorang untuk memiliki sifat-sifat tercela. Oleh karena itu, Ibn Maskawih menolak pendapat sebagian filsuf Yunani yang mengatakan bahwa akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Maka dia menegaskan akhlak dapat berubah yang paling utama adalah melalui pendidikan. Jadi, banyak ditemukan di tengah-tengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat dengan malaikat dan ada pula yang lebih dekat pada hewan.

Ibn Maskawih berbeda pendapat dalam mengartikan kata al-insan

dengan pendapat ulama pada umumnya yang mengatakan bahwa al-insan

berasal dari kata al-nisyan, yang berarti pelupa. Sedangkan ia berpendapat bahwa kata al-insân (manusia) berasal dari al-uns , yang berarti jinak. Oleh karena itu, manusia merupakan micro cosmos yang di dalam dirinya terdapat persamaan-persamaan dengan apa yang terdapat pada macro cosmos. Panca indera yang dimiliki manusia mempunyai daya-daya khas dan mempunyai indera bersama (his al-musytarak) yang berperan sebagai pengikat sesame indera. Ciri-ciri idnera bersama berfungsi sebagai penerima citra-citra inderawi secara serentak, tanpa zaman dan pembagian. Citra-citra tersebut tidak saling bercampur dan saling mendesak. Kemudian daya-daya indera

25


(46)

beralih ke tingkat daya khayal yang terletak di bagian depan otak. Dari daya khayal naik ke daya piker sehingga dapat berhubungan dengan Akal Aktif untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi.

Menurut Ibn Maskawih, membagi masalah akhlak pada tiga hal yaitu:

pertama, kebaikan (al-khair) adalah suatu keadaan di mana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan ini adakalanya umum, yaitu kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia; dan kebaikan khusus, yaitu kebaikan bagi seseorang secara pribadi yang disebut dengan kebahagiaan.26

Kedua, kebahagiaan (al-sa’âdah), yaitu ada dua pendapat di kalangan filsuf Yunanni: pendapat pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan karena selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan maka selama itu pula ia tidak akan memeroleh kebahagiaan. Pandangan kedua yang diwakili Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja kebahagiaan tersebut berbeda-beda menurut masing-masing orang. Untuk itu, Ibn Maskawih mengkompromikan dua pendapat tersebut karena pada diri manusia ada dua unsur yaitu jiwa dan badan. Kebahagiaan itu ada dua tingkat, yaitu ada manusia yang terkait dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan dengannya tapi ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu ia berusaha memperolehnya; ada pula manusia yang melepaskankan diri dari keterkaitannya kepada benda dan memeroleh kebahagiaan lewat

26


(47)

jiwa. Walaupun begitu kebahagiaan yang lebih dekat kepada benda tidak diingkarinya, tetapi sebagai tanda kekuasaan Allah. Kebahagiaan lewat benda menurutnya mengandung kepedihan, penyesalan, dan menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Sedangkan kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.

Ketiga, keutamaan (al-fadhîlah) adalah cinta kepada semua manusia (mahabbah al-insân li al-nâs kâffah) sebab tanpa adanya cinta suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Cinta tidak akan tampak bekasnya kecuali jika manusia berada di tengah-tengah masyarakat dan saling berintegrasi di dalamnya. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan uzlah

(memencilkan diri dari masyarakat) dipandang sebagai sikap yang memetingkan diri sendiri dan belum dapat dinilai bahwa ia telah memiliki sifat terpuji maupun tercela. Bagaimana suatu masyarakat yang bobrok dapat berubah menjadi baik bila orang-orang yang terbaik melakukan uzlah tanpa mau memberikan pertolongan demi perbaikan masyarakat tersebut. Dari situlah sifat uzlah dipandang dengan identik zalim dan bakhil. Jadi, pandangan Ibn Maskawih tentang akhlak adalah akhlak manusia dalam konteks masyarakat. 27

Penyakit moral adakalanya yang bisa mengakibatkan kematian dari segala hal yang menimpa jiwa dan yang menyebabkannya cemas adalah rasa takut, terutama perasaan takut akan mati yang menggerogoti pikiran orang-orang bodoh dan sombong yang tidak memahami sifat asasi kematian, tetapi

27


(48)

merasa yakin bahwa dengan perceraian tubuh mereka, mereka sama sekali tidak akan hidup lagi. Penyakit moral lain yang lebih menyedihkan yang menimpa jiwa adalah rasa sedih. Rasa sedih ini timbul dari kebodohan, baik kebodohan terhadap kesementaraan kondisi kehidupan kita, yakni ketidaktahuan tentang apa yang merupakan kebahagiaan kita yang sejati; maupun kesia-siaan untuk mencemaskan harta benda keduniawian yang menjadi tanda kesengsaaraan. Rasa sedih tersebut yang paling baik diobati dengan filsafat.

Karena pentingnya akan pembinaan akhlak, Ibn Maskawih memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak. Sebab masa kanak-kanak merupakan mata rantai jiwa hewan dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani, dan ufuk manusiawi dimulai. Oleh karena itu, anak-anak harus dididik akhlak mulia dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yaitu daya keinginan, daya marah, dan daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak didik dalam hal adab makan, minum, berpakaian dan lain-lainnya. Sifat berani dan kendali diri diterapkan untuk mengarahkan daya marah yang dimilikinya. Daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga akal pada akhirnya dapat menguasai segala tingkah laku.

3. Perbedaan dan Persamaan Etika Barat dan Islam

Dari beberapa penjelasan yang sudah penulis cantumkan di atas, terdapat beberapa perbedaan antara etika Barat dan Islam. Perbedaan tersebut di antaranya adalah bahwa dalam etika Barat, lebih ditekankan pada aspek


(49)

rasio, di mana segala hal yang berkenaan dengan etika harus dapat dicerna oleh akal pikiran manusia. Adapun dalam etika Islam, segala hal yang berkenaan dengan etika disandarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagai sumber ajaran agama Islam.

Selain itu perbedaan yang mencolok antara etika Barat dan etika Islam adalah terletak pada orientasinya. Jika etika Barat lebih ditekankan pada kehidupan manusia di dunia, dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani manusia agar tercapai bahagia, maka etika Islam selain menekankan pada kehidupan dunia juga kehidupan di akhirat. Kebahagiaan yang ingin dicapai dalam Islam tidak hanya terbatas pada kehidupan dunia saja. Karena dalam Islam dikenal konsep mengenai kehidupan setelah mati, sehingga kebahagiaan yang hendak diraih, tidak bisa dilepaskan dari dua kehidupan tersebut. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani memang tidak bisa dinafikan begitu saja, namun hal tersebut bukan berarti seluruh energi terkuras habis untuk mengejar pemenuhan kebutuhan jasmani, namun harus diimbangi pula dengan pemenuhan kebutuhan rohani, sebagaimana telah dijabarkan adalam ajaran agama.

Terlepas dari perbedaan yang terdapat dalam etika Barat dan Islam, kedua-duanya memiliki persamaan. Persamaan tersebut di antaranya adalah bahwa baik etika Barat maupun etika Islam sama-sama menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki keinginan untuk memeroleh kebahagiaan. Jika dalam dunia Barat kebahagiaan lebih banyak diukur dengan akal pikiran, pemenuhan berbagai kebutuhan jasmani, maka dalam Islam kebahagiaan tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan dalam


(50)

al-Qur’an dan al-Sunnah. Kebahagiaan dalam Islam tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan jasmani, namun juga mempertimbangkan kebutuhan manusia akan kebahagiaan ruhani, yang diperoleh melalui ajaran yang ada dalam agama.

Etika Barat dan etika Islam sama-sama ingin memberikan aturan, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dalam rangka sebagai pegangan manusia menjalani kehidupan di dunia, dan kehidupan setelah mati berdasarkan konsep dalam Islam.


(51)

ETIKA BERAGAMA

A. Pengertian Etika Beragama

Pada sub bab ini, penulis berusaha untuk mengkombinasikan dua pengertian dari etika dan agama. Dengan penggabungan dua pengertian tersebut, nantinya akan diperoleh pengertian baru.

Telah disebutan sebelumnya mengenai pengertian etika yang diungkapkan oleh beberapa ahli yang penulis kemukakan pada bab sebelumnya, meskipun diungkapklan dalam bahasa yang berbeda, namun pada prinsipnya sama, antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a) Etika membicarakan mana yang baik dan mana yang buruk b) Etika membahasa apa dan bagaimana perbuatan manusia

c) Etika mengandung nilai dan norma yang dapat dijadikan peraturan hidup dan kehidupan manusia.

Kata beragama dalam Kamus Bahasa Indonesia yaitu antara lain: 1. Menganut (memeluk) agama, 2. Beribadat, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama), 3. Sangat memuja-muja; gemar sekali pada; mementingkan.1

Sedangkan agama itu sendiri secara etimologis istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a artinya tidak dan gama

artinya kacau. Dari pengertian seperti ini, agama dapat diartikan sebagai suatu institusi penting yang mengatur kehidupan manusia agar tidak terjadi kekacauan.

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ke-3, hal. 12


(52)

Istilah agama juga dapat disamakan dengan kata religi yang berasal dari bahasa latin religio yang berasal dari akar kata religare yang berarti mengikat.2

Secara mendasar dan umum agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam ghaib -khususnya dengan Tuhannya- mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya.3 Sedangkan secara lebih khusus dengan memperhatikan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci.

Sebagai suatu sistem keyakinan maka agama berbeda dengan sistem keyakinan dan isme-isme lainnya karena landasan keyakinan agama adalah konsep suci (sacred) dan ghaib (supranatural) yang dibedakan dari yang duniawi

(profane) dan hukum-hukum alamiah (natural). Selain itu hal lain yang membedakan agama dengan isme-isme lainnya adalah karena ajaran-ajaran agama selalu bersumber pada wahyu Tuhan atau wangsit-dalam agama-agama lokal dan primitif- yang diturunkan kepada nabi sebagai pesuruh-Nya. Adapun ciri yang mencolok dari agama yang berbeda dengan isme-isme adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhannya.

Agama dalam perspektif sosiologi adalah gejala yang umum dan dimiliki oleh sebuah masyarakat yang ada di dunia ini.4 Dari pengertian ini agama

2

Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung:Remaja Rosda Karya, 2000), h.13. 3

Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad Fedyani Sifuddin, (Jakarta: PT Rajawali Press, 1988), Cet. Ke-1, h. v

4


(53)

merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari sistem sosial suatu masyarakat untuk membentuk memecahkan persoalan-persoalan yang tidak mampu dipecahkan oleh masyarakat itu sendiri. Selain pengertian di atas ternyata masih banyak pengertian agama yang diberikan oleh para ahli sosiologi yang satu sama lain saling berbeda-beda, yaitu di antaranya :

Emile Durkheim mendefinisikan agama adalah sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan hal yang suci. Kepercayaan dan praktek tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat.5 Sebagai tambahan Durkheim mengatakan bahwa semua kepercayaan agama mengenal pembagian semua benda yang ada di bumi ini - baik yang berwujud nyata maupun yang berwujud ideal - ke dalam dua kelompok yang saling bertentangan yaitu hal yang bersifat profan dan hal yang bersifat suci (sacred).

J. Milton Yinger mengatakan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan praktek di mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir hidup ini.6

Definisi agama dalam kajian sosiologi adalah definisi yang bersifat empiris, artinya kajian agama dalam sosiologi tidak pernah memberikan definisinya secara evaluatif (menilai), mengenai baik dan buruknya, benar dan tidaknya agama atau agama-agama bukanlah wilayah kajian sosiologi. Wilayah kajian sosiologi hanya memberikan definisi tentang agama yang sifatnya deskriptif (menggambarkan apa adanya), mengungkapkan apa yang dimengerti dan apa yang dialami masyarakat bisa bersifat positif atau sebaliknya negatif. Ia

5

Dyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, (Jakarta: Gremedia, 1984), h. 19

6


(54)

(agama) mungkin mendukung kesinambungan eksistensi masyarakat atau malah berperan menghancurkannya.7

Bagi para penganut aliran fungsionalisme, mereka dengan sengaja memberikan sorotan dan tekanan khusus atas apa yang ia lihat dari agama. Jelasnya ia melihat agama dari fungsinya. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik di lingkup lokal, regional maupun nasional. Maka tinjauan teori fungsional yang dipentingkan adalah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama atau agama-agama, cita-cita masyarakat (akan terciptanya suatu keadilan, kedamaian dan kesejahteran jasmani dan rohani dapat terwujud).8

Dari beberapa definisi mengenai etika dan beragama di atas, dapat disimpulkan bahwa etika beragama adalah aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam menjalankan ajaran-ajaran yang terdapat dalam suatu agama. Dengan kata lain, etika beragama merupakan tuntunan bagi seseorang yang memeluk suatu agama tentang bagaimana sebaiknya ia menjalankan ajaran yang terkandung di dalam agama yang dianutnya tersebut.

B. Tradisi Salaf Sebagai Bahan Rujukan

Perkataan Arab “salaf” secara harfiah berarti “yang lampau”. Biasanya ia dihadapkan dengan perkataan “khalaf”, yang makna harfiahnya ialah “yang belakangan”. Kemudian, dalam perkembangan semantiknya, perkataan “salaf” memeroleh makna sedemikian rupa sehingga mengandung konotasi masa lampau

7

Thomas F O’dea, Sosiologi Agama : Suatu Pengantar Awal,terj. Tim Penerjemah Yasogama (Jakarta : Rajawali Press, 1995), Cet. Ke-6, h 30

8


(55)

yang berkewenangan atau berotoritas, sesuai dengan kecenderungan banyak masyarakat untuk melihat masa lampau sebagai masa yang berotoritas. Ini melibatkan masalah teologis, yaitu masalah mengapa masa lampau itu mempunyai otoritas, dan sampai di mana kemungkinan mengidentifikasi secara historis masa salaf itu.9

Mengenai masa lampau ini, menurut Cak Nur, para pemikir Islam tidak banyak menemui kesulitan. Masa lampau itu otoritatif karena dekat dengan masa hidup Nabi. Sedangkan semuanya mengakui dan meyakini bahwa Nabi tidak saja menjadi sumber pemahaman ajaran agama Islam, tetapi sekaligus menjadi teladan realisasi ajaran itu dalam kehidupan nyata. Maka sangat logis pandangan bahwa yang paling mengetahui dan memahami ajaran agama itu ialah mereka yang berkesempatan mendengarnya langsung dari nabi, dan yang paling baik dalam melaksanakannya ialah mereka yang melihat praktik-praktik Nabi dan meneladinya. Selain logis, hadis-hadis pun banyak yang dapat dikutip untuk menopang pandangan itu.10

Lebih lanjut, Cak Nur menguraikan empat pendapat mengenai perbedaan pendapat tentang kesalafan (dalam arti otoritas dan kewenangan) masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Empat pendapat tersebut adalah:

1. Kaum Sunni berpendapat bahwa masa keempat khalifah itu adalah benar-benar otoritatif, berwenang dan benar-benar-benar-benar salaf. Kaum Sunni boleh dikata kelanjutan langsung atau tidak langsung dari masyarakat Islam masa Dinasti Umayyah, dengan berbagai unsur kompromi akibat usaha

9

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Paramadina, 2005), Cet. Ke-5, hal. 374-375

10


(56)

rekonsiliasi keseluruhan umat Islam mengatasi sisa-sisa pengalaman traumatis fitnah-fitnah sebelumnya.

2. Bani Umayyah atau kaum Umawi sendiri, dalam masa-masa awalnya, mengakui hanya masa-masa Abu Bakar, Umar dan Utsman, tanpa Ali, sebagai masa salaf yang berkewenangan dan otoritatif.

3. Sedangkan kaum Khawarij, yaitu kelanjutan dari sebagian kelompok pendukung Ali – yang mereka itu menunjukkan gelagat persetujuan atas pembunuhan Utsman tapi kemudian kecewa dengan Ali dan membunuhnya – hanya mengakui masa-masa Abu Bakar dan Umar saja yang berwenang dan otoritatif, sehingga boleh disebut sebagai masa salaf. 4. Kemudian terdapat kaum Rafidah dari kalangan Syi’ah yang menolak

keabsahan masa-masa kekhalifahan pertama itu kecuali masa Ali.11

Dalam perkembangan lebih lanjut paham Sunni, golongan salaf tidak saja terdiri dari kaum Muslim masa Nabi dan empat khalifah yang pertama, tetapi juga meliputi mereka yang biasa dinamakan sebagai kaum tabi’in (kaum pengikut, yakni, pengikut para sahabat Nabi, yang merupakan generasi kedua umat Islam). Bahkan bagi banyak sarjana Sunni golongan salaf itu juga mencakup generasi ketiga, yaitu generasi tabi’untuk al-tabi’in (para pengikut dari para pengikut).12

Salah satu karakteristik kuat umat salaf ialah kesadaran hukumnya yang tinggi. Kesadaran hukum itu merupakan kelanjutan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada para pemegang kewenangan atau otoritas (ulu al-amr, wali al-amr). Dengan perkataan lain, kesadaran hukum itu tumbuh akibat adanya rasa iman yang melandasi orientasi etis dalam hidup sehari-hari. Maka konsep

11

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, hal. 375-376 12


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil analisa yang penulis lakukan terhadap berbagai teori mengenai etika dan agama, kemudian menelusuri tulisan-tulisan Nurchulish Madjid mengenai etika maupun mengenai agama, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Etika beragama yang ingin dikemukakan oleh Nurcholish Madjid melalui karya-karyanya adalah etika dalam hidup beragama. Kenyataan bahwa Indonesia adalah negara pluralis membuat Nurcholish Madjid menginginkan kehidupa yang penuh dengan semangat pluralisme.

Nurcholish Madjid secara pasti dan tegas mengangkat pluralisme sebagai jawaban atas implementasi tingkat keimanan seseorang. Tetapi ia menolak jika pluralisme dipahami hanya sebatas pernyataan bahwa masyarakat Indonesia itu majemuk. Menurutnya, pluralisme tidak bisa hanya berhenti pada pengakuan akan kemajemukan itu. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within bonds of civility).

Implikasi dari etika beragama menurut Nurcholis Madjid terwujud dalam kesahehan sosial. Kesalehan sosial lebih dipahami sebagai bentuk aplikasi keimanan dan ketakwaan seseorang dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat. Semakin tinggi tingkat ketakwaan dan keimanan seorang muslim, tentu saja


(2)

kesalehan sosial yang dimilikinya semakin tinggi pula. Dan ibadah adalah salah satu untuk meningkatkan ketakwaan dan keimanan seseorang.

Menurut Nurcholish Madjid, melalui ibadah, seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individual dan kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya mewujudkan kehidupan bersama yang sebaik-baiknya di dunia ini. Akar kesadaran itu adalah keinsafan yang mendalam akan pertanggungan jawab semua pekerjaan kelak di hadapan Tuhan dalam pengadilan Ilahi yang tak terelakkan, yang di situ seseorang tampil mutlak hanya sebagai pribadi. Maka karena sifatnya yang amat pribadi (dalam seginya sebagai hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya), ibadah dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif.

B. Saran-saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan dalam penyusunan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang dapat menambah khazanah intelektual ke-Islaman, baik di lingkungan akademik maupun secara nasional. Hal ini mengingat bahwa masih banyak pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang belum mendapatkan perhatian dari para peneliti, sehingga belum bisa memberikan sumbangsih kepada masyarakat menuju arah hidup yang lebih baik.

2. Adanya perhatian dari berbagai kalangan mengenai pemikiran-pemikiran Nurcholih Madjid kemudian mengaplikasikannya dalam kehidupan


(3)

sehari-63

hari. Dengan demikian, diharapkan dapat membantu memperbaiki kehidupan masyarakat, khususnya dalam etika beragama. Kemajemukan penduduk Indonesia, hendaknya dipandang bukan sebagai salah satu penghambat untuk menciptakan pluralism di tengah-tengah masyarakat, melainkan justru sebagai salah satu pendorong untuk menciptakan kerukunan antar umat dan memeliharanya dengan baik.


(4)

Afif, Muhammad, Teologi Islam tentang Agama-agama: Studi Kritis terhadap Pemikiran Nurcholish Madjid, Tesis, Sarjana Pemikiran Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, (tidak diterbitkan)

Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Maruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, Cet. Ke-3

Asy’arie, Musa, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI,l 1999, Cet. Ke-1, h. 83

Bakhtiar, Amsal, Tema-tema Filsafat Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, Cet. Ke-1

Bakry, Hasbullah, Sistematika Filsafat, Jakarta: Wijaya, 1978, Cet. Ke-5 Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, Cet. Ke-3

Burton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, terj. Jakarta: Paramadina, 2000, Cet. Ke-1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, Cet. Ke-3

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus EF (Ed), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta : Gramedia, 1998

Johnson, Dyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M. Z. Lawang, Jakarta: Gremedia, 1984

Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung:Remaja Rosda Karya, 2000

Karni, Asrori S., Pesan-pesan Takwa Nurhcolish Madjid; Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2000, Cet. Ke-1

Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. Ke-1

---, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta: Penerbit Paramadina dan Tabloit Tekad, 2001

---, Islam Doktrin & Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. Ke-5

---, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989, Cet. Ke-3


(5)

65

---, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1999, Cet. Ke-5

---, Tradisi Islam; Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia,

Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. Ke-1

Malik, Dedy Djamaluddin dan Ibrahim, Idi Subandi, Zaman Baru Islam Indonesia, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, Cet. Ke-1

Marwan Saridjo, Cak Nur; Di Antara Sarung dan Dasi & Musdah Mulisa Tetap Berjilbab, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005, Cet. Ke-2

Nafis, Muhammad Wahyuni dan Rifki, Achmad, Kesaksian Intelektual, Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. Ke-1

Nasr, Sayyed Hossen dan Oliver Leaman, (ed), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tira Mizan, Bandung: Mizan, 2003

O’dea, Thomas F., Sosiologi Agama : Suatu Pengantar Awal,terj. Tim Penerjemah Yasogama, Jakarta : Rajawali Press, 1995, Cet. Ke-6

Poerwantana, et.al., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994, Cet. Ke-4

Hendro, Puspito, Sosiologi Agama, Yogyakarta:Kanisius,1983

Robertson, Roland, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad Fedyani Sifuddin, Jakarta: PT Rajawali Press, 1988, Cet. Ke-1 Said, M., Etika Masyarakat Indonesia, Jakarta: Pradaya Pramita, 1976

Sastrosupono, Suprihadi, Etika Sebuah Pengantar, Bandung: Alumni, 1983

Shihab, Alwi, “Tantangan Pluralisme Agama,” dalam Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan bekerja sama dengan ANTEVE, 1999, Cet. ke-7

Sukandi A.K., Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001, Cet. Ke-1

Surunin (ed.), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: Bingkai Gagasan yang Terserak, Bandung: Penerbit Nuansa, 1994

Suseno, Franz Magnis, Etika Dasar; Masalah-masalah Pokok Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 13-14


(6)

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum; Akal dan Haji sejak Thales sampai Copra, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, Cet. Ke-7