hapus karea piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tangggungan itu telah lunas atau karena kreditur melepaskan Hak
Tanggungan yang bersangkutan”
Apabila kreditur tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud, maka pihak yang berkepentingan dapat meminta
turut campurnya pengadilan dengan cara mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan didaftar Pasal 22 ayat 5 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
F. Peranan Bank Sebagai Kreditur Hak Tanggungan
Di dunia modern, peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hampir semua sektor usaha yang
meliputi sektor industri, perdagangan, pertanian, perkebenan, jasa, dan perumahan sangat membutuhkan bank sebagai mitra dalam melakukan
transaksi keuangan. Peran bank bagi masyarakat individu, maupun masyarakat bisnis sangat penting bahkan bagi suatu negara, karena bank
sebagai suatu lembaga yang sangat berperan dan berpengaruh dalam perekonomian suatu negara.
38
Bank mempunyai peran dalam menghimpun dana masyarakat, karena merupakan lembaga yang dipercaya oleh masyarakat dari berbagai
macam kalangan dalam menempatkan dananya secara aman. Di sisi lain
38
Ismail, Manajemen Perbankan:Dari Teori Menuju Aplikasi, Cet. I, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 2.
bank berperan dalam menyalurkandana kepada masyarakat. Bank merupakan lembaga yang dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat
yang membutuhkan dana. Masyarakat dapat secara langsung mendapat pinjaman dari bank, sepanjang masyarakat pengguna dana tersebut dapat
memenuhi persyaratan yang diberika oleh bank. Dengan demikian pada dasarnya peran bank dalam dua sisi, yaitu menghimpun dana yang berasal
dari masyarakat yang sedang kelebihan dana, dan menyalurkan dana kepda masyarakat yang membutuhkan dana.
39
Hal ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa “bank adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit danatau bentuk –
bentuk lainnya dalam rangka menigkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
G. Kedudukan Agunan Tanah Belum Terdaftar Sebagai Objek Jaminan
Dalam perjanjian kredit, pihak kreditur sebagai penyalur dana memerlukan sutau kepastian dari nasabahnya yaitu pihak debitur yang
hendak memerlukan dana, bahwa dana yang disalurkan dapat dikembalikan kepada kreditur seutuhnya berikut bunganya serta biaya –
biaya lain yang kemudian timbul setelah perjanjian tersebut dilakukan. Kepastian dari perjanjian kredit yang diberikan oleh bank tersebut
memerlukan jaminan yang harus diberikan oleh debitur, karena suatu
39
Ibid, hal. 2-3.
jaminan yang diberikan debitur merupakan salah satu unsur permberian kredit agar mengurangi resiko – resiko yang akan terjadi.
Lembaga jaminan mempunyai tugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, oleh karena itu jaminan yang baik ideal
adalah :
40
1. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh
pihak yang memerlukannya. 2.
Yang tidak melemahkan potensi kekuatan pencari kredit untuk melakukan meneruskan kegiatan usahanya.
3. Yang memberikan kepastian kredit, dalam arti bahwa barang
jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dengan mudah dapat diuangkan untuk melunasi utangnya
penerimapengambil kredit.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat kedudukan suatu hak atas tanah yang belum terdafar sebagai agunan kredit adalah untuk
membantu perolehan kredit kepada pihak yang memerlukanya dan mengamankan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank kepada debitur.
Kedudukannya menjadi hal yang utama agar suatu kredit dapat disalurkan kepada pihak debitur.
Kemudian Hermansyah mengemukakan di dalam bukunya, yang menyatakan bahwa “Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum
adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, parbalokan dan lain – lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan”.
Menurutnya bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak
40
Mantayborbir, Hukum Perbankan Dan Sistem Hukum Piutang Dan Lelang Negara, Pustaka Bangsa Pers, Medan, 2006, hal. 38.
berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan”.
41
Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat 3 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda –
Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang menyatakan antara lain, bahwa kemungkinan untuk pemberian hak tanggungan pada hak atas tanah
milik adat dimaksudkan untuk : memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit dan
mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya.
42
Sebagai suatu jaminan maka kedudukan hak atas tanah yang belum terdaftar sebagai agunan kredit adalah sebagai perjanjian tambahan
sedangkan perjanjian utamanya adalah perjanjian kredit. Hal ini berarti kedudukan agunan atas tanah belum terdaftar mengikuti perjanjian
pokoknya yaitu perjnjian pinjam meminjam. Sedangkan kekuatan hukum dari tanah yang belum terdaftar
sebenarnya tidak ada, kecuali tanah belum terdaftar tersebut didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan Nasional dan mendapatkan sertifikat pada hasil
akhir pendaftarannya. Tidak ada kepastian hukum yang didapatkan apabila tanah yang dimiliki belum mempunyai sertifikat. Jika pada tanah tersebut
sudah terjadi pembuatan akta, akta tersebut kemudian dapat menjadi dasar pensertipikatan tanah, sedangkan kekuatan hukumnya, jika akta tersebut
adalah akta jual beli tanah, memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi jual beli tanah. Akan tetapi, untuk pembuktian yang kuat
41
Hermansyah, Op.Cit., hal. 73.
42
Racmadi Usman, Op.Cit., hal. 405.
mengenai kepemilikan atas tanah hanya dapat dibuktikan oleh adanya sertipikat tanah sebagai surat tanda bukti hak atas tanah.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut yang para
pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang – perseorangan dan badan hukum. Dengan meningkatnya kegiatan meningkat
juga keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Kegiatan perkreditan yang sudah menjadi kebutuhan
masyarakat pada umumnya. Di Negara – negara berkembang seperti Indonesia, Bank mempunyai
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi di masyarakat. Pada hakekatnya Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi,
yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dapat kita lihat
dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
terutama pada Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan sebagai berikut : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit danatau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
1
rakyat banyak”. Kegiatan Bank dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan dari kredit yang
berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan dengan pendapatan jasa – jasa di luar bunga kredit yang biasa disebut fee
based income.
2
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu fungsi dari bank adalah memberikan kredit. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, hal ini terlihat dalam Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pinjaman uang menyebabkan timbulnya hutang yang harus dibayar oleh debitur menurut syarat – syarat yag ditetapkan dalam suatu pinjaman
atau persetujuan untuk membuka kredit. Seseorang yang mendapatkan kredit dari Bank merupakan orang yang mendapatkan kepercayaan dari Bank.
Dalam hal pemberian kredit, pihak bank sebagai kreditur seringkali menentukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak nasabah
debitur sebelum memperoleh kredit. Apabila pihak nasabah telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh pihak Bank, maka kredit bisa
diperoleh. Untuk memberi kepastian adanya suatu ikatan hukum antara Bank
2
Sutarno, Aspek – aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2004, hal.2.
dengan pihak nasabah sebagai penerima kredit, maka dibuatlah suatu persetujuan atau disebut juga perjanjian kredit.
Dalam kegiatan Bank yang memberikan fasilitas kredit, adanya barang untuk jaminan pembayaran hutang debitur merupakan unsur yang sangat
penting sebab suatu kredit yang tidak memiliki jaminan yang cukup mengandung bahaya besar. Keadaan keuangan debitur bisa saja secara tidak
terduga jatuh pada situasi gawat, sehingga debitur tidak mampu lagi membayar hutangnya. Jika keadaan itu terjadi maka jaminan yang ada harus
dijual. Penyaluran kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati – hatian
melaui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi
syarat hukum, peningkatan pengikatan jaminannya yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan
agar kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga.
3
“ Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
Aktualisasi prinsip kehati – hatian dalam penyaluran kredit dalam praktek perbankan pada
umumnya mensyaratkan adanya jaminan atau agunan. Adanya jaminan atau agunan merupakan salah satu persyaratan utama yang diajukan pertama kali
oleh pihak Bank atau pihak pemberi kredit. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 ayat 1 Undang – Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang – undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan :
3
Ibid
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Bebitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”
Dalam kehidupan sehari – hari, kemampuan sebagian nasabah masih terbatas dalam menyediakan jaminan, kondisinya yang lemah, tingkat
perkembangan usaha yang masih awal maupun prospek usahanya yang kadangkal belum jelas disebabkan karena pandangan ke depan serta
perencanaan belum dimiliki dengan baik. Bahkan tidak jarang sistem pembukuan yang teratur pun tidak dimiliki oleh sebagian nasabah tersebut.
Dengan demikian tidak memenuhi kualifikasi perbankan. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan tentang aspek bank terbatas.
Keterbatasan penyediaan jaminan oleh masyarakat guna memperoleh kredit yang diharapkan, pihak bank meringankan ketentuan – ketentuan yang
harus dipenuhi oleh calon debitur, yaitu khususnya dalam hal tanah. Pihak bank menyadari bahwa dengan tingkat pengetahuan yang rendah, dan
keterbatasan informasi masih banyak yang menganggap bahwa bukti pembayaran objek pajak merupakan bukti pemilikan hak atas tanah. Bukti
pembayaran objek pajak ini biasa disebut dengan SPPT Surat Pemberitahuan Pajak Terutang ini dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak. Dan masih banyak masyarakat yang kurang kesadarannya untuk mensertifikatkan tanahnya, sehingga tanah – tanah yang ada dipedesaan
masih banyak dengan status hak – hak lama adat, misalnya : bekas yasangogol, petok D, girik, pipil, dan seperti di daerah tempat penilitian
penulis yaitu di Gunung Tua, Kabupaten Padang Lawas Utara status hak –
hak lama adat yaitu disebut dengan ParbatasanParbalokan. Yang lebih rumitnya lagi jika tanah – tanah dengan hak adat tersebut sudah dialihkan
secara di bawah tangan dengan sistem saling percaya saja, di sini tanahnya dikuasai tetapi kepemilikannya tetap bahkan sampai turun – temurun, hal ini
juga sering sekali terjadi di daerah tempat penilitian penulis. Sebagai contoh, penulis berkesempatan mewawancarai salah seorang warga Lingkungan I,
Pasar Gunung Tua Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara yang bernama Bapak Lukman Siregar, beliau mendapatkan tanah yang
dikuasainya dengan dialihkan secara di bawah tangan dengan sistem saling percaya dari kakek ayah tobangnya, itu berlaku sampai seterusnya berlaku
sampai ke anak dan cucunya nanti. Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, masyarakat pola pikirnya agak sedikit berubah, dengan beralihnya suatu kepemilikan Hak Atas Tanah tersebut masyarakat
mulai banyak yang memakai jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT untuk dibuatkannya akta peralihan hak tetapi kebanyakan
tidak didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional BPN melainkan hanya membuat akta saja. Jadi, masyarakat beranggapan bahwa sudah mempunyai
akta peralihan hak dari PPAT sudah kuat. Kemudian kebanyakan juga dari masyarakat di daerah tempat penilitian penulis tersebut mau membuat akta
peralihan hak ketika ingin melakukan peminjaman di bank atau karena dalam keadaan terdesak. Selain itu alasan lain kenapa masyarakat kurang sadar
untuk mensertifikatkan tanahnya dikarenakan kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional bahwasanya tanah
yang sudah memiliki sertifikat akan jauh lebih berharga. Sampai saat ini belum ada kebijakan dari pemerintah Indonesia untuk mewajibkan seluruh
masyarakatnya agar mensertifikatkan tanah yang dimilikinya. Terlebih lagi jangka waktu yang dibutuhkan dalam menerbitkan sertifikat tanah yang
dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional terlalu lama dan membutuhkan biaya yang besar.
Dapat disimpulkan maka sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak yang lain terkait mendapat perlindungan melalui suatu
lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
Lembaga jaminan Hak Tanggungan dengan agunan yang berupa benda tidak bergerak atau benda tetap berwujud tanah hak atas tanah merupakan
agunan yang menempati posisi tertinggi dari sekian banyak agunan yang ada baik secara kuantitas maupun kualitas. Agunan yang berwujud tanah dinilai
paling aman serta mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi dari prospektif masa depan, nilai tanah menunjukkan kecenderungan meningkat
karena mengingat seiring berkembangnya zaman harga tanah semakin tinggi nilai ekonominya.
Lembaga jaminan Hak Tanggungan adalah salah satu upaya pembaharuan hukum pertanahan nasional yang dilakukan adalah lahirnya
Undang – undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda – benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang – undang Hak
Tanggungan merupakan pelaksanaan Pasal 51 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok
Agraria. Lahirnya Undang – undang Hak Tanggungan menunjukkan bahwa lembaga jaminan atas tanah juga mengalami unifikasi karena sebelum
lahirnya Undang – undang Hak Tanggungan terdapat dualisme hukum jaminan atas tanah di Indonesia. Dualisme yang dimaksud adalah keberadaan
hipotik sebagai lembaga yang berasal dari hukum tanah barat dan credietverband sebagai lembaga yang berasal dari hukum adat.
Sebagai lembaga jaminan hak atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan mempunyai unsur – unsur pokok yakni :
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya hak atas tanah saja,
tetapi dapat pula dibebankan berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur – kreditur lain.
4
Pemberian Hak Tanggunan merupakan suatu perjanjian yang bersifat accesoir perjanjian ikutan dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang
– piutang sehingga mempunyai konsekuensi apabila perjanjian pokonya tidak sah, maka perjanjian ikutannya menjadi batal dan apabila perjanjian
accesoirnya batal atau hapus belum tentu perjanjian pokoknya ikut hapus.
5
4
Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan Asas – Asas, Ketentuan – Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan , Cet I, Alumni, Bandung, 1999, hal.11.
Berdasarkan unsur pokoknya Hak Tanggungan di atas, bahwa perjanjian Hak Tanggungan merupakan perjanjian yang memberika hak kebendaan bagi
kreditur serta menguatkan kedudukan kreditur sebagai kreditur preferen, yakni kreditur yang didahulukandi dalam mengambil pelunasan hutang
debitur atas hasil penjualan atau eksekusi benda objek Hak Tanggungan,
5
Ibid, hal. 143
manakala debitur wanprestasi terhadap pemberian kredit yang telah diberikan oleh pihak kreditur.
Setelah diundangkannya Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah maka hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut
benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur – kreditur lain Pasal 1 angka 1 UUHT. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi
pemegang Hak Tanggungan tersebut. Mengenai apa yang yang dimaksud dengan penegertian “ kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur – kreditur lain” tidak dijumpai dalam penjelasan Pasal 1 Undang - Undang Hak tanggungan. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum
Undang – Undang Hak Tanggungan itu bahwa yang dimaksudkan dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur – kreditur lain” ialah : “ Bahwa jika kreditur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan
berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijanjikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditur – kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak
mengurangi prefensi piutang – piutang Negara menurut ketentuan hukum yang berlaku”.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bilamana para pihak golongan ekonomi lemah yang membutuhkan kredit dan satu – satunya
jaminan yang dipunyai olehnya adalah sebidang persil hak adat yaitu “bukti
pemiliknya” masih berupa bekas yasangogol, petok D, girik pipil atau di daerah penilitian disebut dengan parbatasanparbalokan atau dalam keadaan
terdesak karena ingin membuat permohonan pengajuan kredit kepada bank hanya meningkatkan statusnya sebagai Akta Tanah, yang sebenarnya tidak
dapat dikatakan sebagai bukti kepemilikan, tetapi hanya sekedar merupakan ketetapan Pemerintah mengenai siapa yang wajib membayar pajak atas persil
yang bersangkutan, karena tidak didukung oleh bukti yang kuat atas kepemilikan tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian skripsi ini mengambil judul “ Kepastian Hukum Bagi Bank Sebagai Kreditur Atas
Tanah yang Belum Terdaftar Sebagai Agunan Pada PT. Bank Sumut Cabang Gunung Tua”.
Adapun alasan penulis memilih Bank Sumut sebagai penelitian, adalah karena Bank Sumut memberikan kemudahan kepada penulis dalam
memperoleh data – data yang penulis perlukan. Sedangkan pemilihan Kabupaten Padang Lawas Utara Gunung Tua
sebagai lokasi penelitian adalah karena penulis ingin mencari pengalaman dan wawasan di kampung kelahiran orang tua penulis.
B. Permasalahan