Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis

(1)

KAJIAN FORMULASI BUMBU INSTAN BINTHE BILUHUTA,

KARAKTERISTIK HIDRATASI DAN PENDUGAAN UMUR

SIMPANNYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE

PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

DORKAS SIANIPAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya Dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Dorkas Sianipar


(3)

ABSTRACT

DORKAS SIANIPAR. Study of Instant Seasoning Binthe Biluhuta

Formulation, Characteristic Hydratation and Prediction of It’s Shelf Life Using Moisture Critical Method. Under direction of RIZAL SYARIEF and SUGIYONO.

Binthe biluhuta is an ethnic food of Gorontalo, made from mixture of young corn, onion, leek, basil, desiccated coconut, chili and fish. The demand of binthe biluhuta is very high reaching 1,095 ton/year. To enhance traditional food image to have same level as other foods, technology development must be carried out. Seasoning is very important ingredient in foods. Seasoning plays as a flavor and can function as preservative.

The objective of this research was to find the best seasoning formulation of binthe biluhuta, predict of it’s shelf life based on critical moisture and to evaluated quality changes measurement of binthe biluhuta seasoning during storage.

The first step research was seasoning preparation which was carried out the processing of chili, onion, basil, leek, coconut drying and seasoning formulation. The second step was determination of sorption isotherm from the best seasoning formulation. The analyses conducted were equalibrium water content balance, critical moisture content and it’s shelf life. The third step were storage analysis of seasoning formula which was packaged with two methods using vacuum and non vacuum packaged in HDPE, PP and Alufo was kept at 97% RH in room temperature. The parameter of analysis were organoleptic test, FFA, total plate count of microbe and total count of mould -yeast.

The research showed that the best formulation is Formula 2. Moisture sorption isotherm derived from the correlation of moisture content data indicated a typical sigmoid curve implying 3 regions of water fraction. The first water fraction ranged 0-3.148 (%db), the second water ranged 3.148-13.438 (%db) and the third water fraction ranged 13.438-52.970 (%db). The seasoning binthe biluhuta packaged in Alufo stored at 80 and 90% RH were demonstrated the longest shelf life which were equal to 748 and 423 days, respectively. Equation model can’t describe isotherm of instant seasoning binthe biluhuta with MRD of value >10. Storage time resulted in decreasing quality observed as increasing of water content, FFA value, microbe content (TPC) and mould-yeast content. It was also shown by decreasing of panelist hedonic score.

Key words: Binthe biluhuta, seasoning, water sorption isotherm, shelf life, free fatty acid


(4)

RINGKASAN

DORKAS SIANIPAR. Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan SUGIYONO.

Gorontalo mempunyai makanan tradisional yang dinamakan Binthe Biluhuta. Permintaan binthe biluhuta sangat tinggi yaitu 1.095 ton/tahun. Dalam mengembangkan makanan tradisional, yang perlu mendapat perhatian utama adalah upaya mengangkat citra makanan tradisional ini agar sejajar dengan bahan makanan lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi, terutama dalam segi pengolahan, distribusi dan pemasaran. Bumbu merupakan hal yang sangat penting dalam setiap makanan. Bumbu berfungsi untuk meningkatkan cita rasa makanan dan dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Cita rasa yang diberikan dapat berupa bau harum dan sedap atau rasa tajam yang menyenangkan sehingga dapat memberikan karakteristik pada bahan pangan tersebut. Berkembangnya dinamika masyarakat yang ingin serba praktis menyebabkan permintaan akan bumbu instan semakin meningkat.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi bumbu instan yang tepat untuk binthe biluhuta, memperkirakan umur simpan (shelf life) dari bumbu instan binthe biluhuta berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan mengetahui perubahan mutu bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Penelitian tahap pertama adalah persiapan bumbu meliputi pengeringan cabe rawit, pengeringan bawang merah, pengeringan daun bawang, pengeringan kemangi, pengeringan kelapa parut dan formulasi bumbu. Penelitian tahap kedua adalah penentuan ISA. Analisis yang yang dilakukan adalah penentuan kadar air kesetimbangan, kadar air kritis dan waktu kadaluarsa. Penelitian tahap ketiga adalah uji penyimpanan dimana formula bumbu dikemas dengan dua cara yaitu dengan cara vakum dan tidak vakum di dalam kemasan HDPE, PP dan Alufo yang disimpan pada RH 97% dan suhu ruang. Analisis yang dilakukan adalah uji organoleptik, uji FFA, kadar air, total mikroba dan total kapang-khamir.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji organoleptik maka formulasi bumbu yang paling disukai adalah Formula 2 yang memiliki tiga fraksi air terikat yaitu batas air terikat primer adalah 3.148 % bk (aw 0.167), batas

air terikat sekunder adalah 13.438% bk (aw 0.658) dan batas air terikat tersier

adalah 52.970 yang dimulai pada aw 0.84. Model persamaan tidak dapat

menggambarkan fenomena sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta secara tepat karena nilai MRD lebih besar dari 10. Berdasarkan perhitungan pada RH 80%, dengan menggunakan kemasan HDPE, PP dan aluminium foil, bumbu instan binthe biluhuta memiliki umur simpan berturut-turut adalah 124 hari, 149 hari dan 748 hari. Pada RH 90%, umur simpan produk dengan menggunakan kemasan HDPE, PP dan Alufo adalah 89 hari, 106 hari dan 423 hari.

Uji penyimpanan menunjukkan peningkatan kadar FFA, kadar air dan total mikroba bumbu instan binthe biluhuta yang paling tinggi terdapat pada perlakuan A1B1 (kemasan HDPE dengan cara tidak vakum) yaitu FFA dari 0.144 menjadi

menjadi 0.301%, kadar air dari 5.51%bk menjadi 13.65%bk dan total mikroba dari 3.0x104 menjadi 2.1 x 107.


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(6)

KAJIAN FORMULASI BUMBU INSTAN BINTHE BILUHUTA,

KARAKTERISTIK HIDRATASI DAN PENDUGAAN UMUR

SIMPANNYA DENGAN MENGGUNAKAN METODE

PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

DORKAS SIANIPAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

Judul Tesis : Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis

Nama : Dorkas Sianipar

NRP : F 251040131

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua

Dr.Ir. Sugiyono, M.App. Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(8)

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini berjudul “Kajian Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta, Karakteristik Hidratasi dan Pendugaan Umur Simpannya dengan Menggunakan Metode Pendekatan Kadar Air Kritis”, sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada: Bapak Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS dan Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama penelitian dan dalam penyelesaian tulisan ini, Bapak Dr.Ir. Yadi Haryadi, MSc selaku penguji luar komisi atas saran dan masukannya. Kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Soewarno T. Soekarto atas saran dan bantuanya selama ini. Terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS., Mantan Ketua Program Studi Ilmu Pangan, beserta staf yang telah memberikan bantuan dan kemudahan selama penulis mengikuti kegiatan akademik. Kepada Ibu Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc., terima kasih atas saran dan bantuan yang diberikan, Bapak/Ibu Dosen/Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Pangan terima kasih atas ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan. Kepada Bapak Ir. Linus, MS terima kasih atas bantuannya. Terima kasih kepada Pemerintah Daerah Propinsi Gorontalo, yang telah memberikan dana hingga selesai penelitian ini. Kepada Bapak dan Ibu Teknisi laboratorium ITP dan SEAFAST, terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya.

Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih dan hormat yang mendalam kepada ayahanda K.Sianipar dan Ibunda L. Hutapea serta untuk kakak-kakak dan adik-adikku yang tercinta atas doa, dukungan, perhatian, pengertian dan kasih sayang yang diberikan selama ini. Terima kasih juga buat ponakanku yang tersayang Vera, Frans, Boaz, Grace, Ando, Ivan ‘adek young’, Nia, Celyn, Yori, Kezia, Anisa, Juan Antonio dan Randy.


(10)

Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan IPN angkatan 2004: Mbak Leni, Neni, Mbak Santi, Mbak Fajri, Mbak Mira, Reni, Nani dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang senantiasa bersama dalam suka dan duka, serta senantiasa memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan dan juga terima kasih buat rekan-rekan IPN angkatan 2005 atas bantuannya selama ini. Kepada sahabat terbaikku “Jery, Ros, Catrin, Dina dan Ardi R” terimakasih atas doa, motivasi dan bantuan yang diberikan selama ini dan juga kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan dan untuk penyelesaian tulisan ini.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan karya tulis ini kepada para pembaca dengan harapan dapat bermanfaat bagi ilmu pegetahuan. Terima kasih.

Bogor, Januari 2008 Dorkas Sianipar


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sianipar I, provinsi Sumatera Utara pada tanggal 11 Maret 1975 dari ayah K. Sianipar dan ibu L. Hutapea.

Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Khatolik Bintang Timur Balige dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih program studi Klasifikasi Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. Gelar Sarjana diperoleh penulis pada tahun 1999 dengan menulis skripsi “Karakteristik Sifat Fisik dan Kimia Tanah Berasal dari Bahan Tuff Liparit di Desa Tiga Raja Kecamatan Silimakuta”.

Pada tahun 2004 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi pada program studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN………. 1

Latar Belakang ………... 1

Tujuan Penelitian ………... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Jagung ... 4

Daun Bawang ... 5

Kemangi ... 5

Seasoning ... 6

Kelapa Parut Kering (Desiccated Cocunut) ... 8

Pengeringan ... 9

Bawang Merah Goreng ... 11

Ikan Asap ... 11

Kerusakan Produk Kering ... 12

Kemasan ... 12

Aktivitas Air ... 14

Kadar Air Kesetimbangan ... 16

Sorpsi Isotermis ... 17

Umur Simpan ... 23

BAHAN DAN METODE ... 27

Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

Bahan dan Alat ... 27

Metode Penelitian... 27

Penelitian Tahap Pertama ... 27

Proses Pembuatan Cabe Rawit Bubuk... 28

Proses Pembuatan Bawang Merah Bubuk…………... 28

Proses Pembuatan Daun Bawang Kering…………... 29

Proses Pembuatan Daun Kemangi Kering... 31

Proses Pembuatan Kelapa Parut Kering... .. 33

Formulasi Bumbu ... ... 35

Penelitian Tahap Kedua... 36

Penentuan Kurva ISA... 37

Penentuan Air Terikat ... ... 37

Penentuan Model Sorpsi Isotermis ... .... 38

Uji Ketetapan Model ... ... 39


(13)

Penelitian Tahap Ketiga ... 40

Uji Penyimpanan... .. ... 40

Metode Pengamatan ... 43

Kadar Abu ... 43

Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl ... 44

Kadar Lemak Metode Soxhlet ... 44

Kadar Karbohidrat ... 45

Kadar Asam Lemak Bebas ... 45

Total Mikroba... 45

Total Kapang ... 46

Uji Organoleptik... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

Persiapan Bumbu ... 47

Formulasi Bumbu Instan Binthe Biluhuta... 49

Uji Organoleptik ... 51

Analisa Proksimat ... 56

Isotemi Sorpsi Air ... 59

Analisis Fraksi Air Terikat ... 61

Model Sorpai Isotermis ... 61

Uji Ketepatan Model ... 69

Penentuan Umur Simpan... 75

Uji Penyimpanan ... 79

Asam Lemak Bebas... 79

Total Mikroba ... ... 82

Total Kapang - Khamir... 85

Uji Organoleptik Selama Penyimpanan ... 87

Kadar Air ... 91

KESIMPULAN DAN SARAN... 93

Kesimpulan... 93

Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi kimia dari beberapa jenis jagung... 4

2. Standar Mutu Kelapa Parut Kering ... 8

3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan sifat fisik air dalam bahan pangan ... 18

4. Formulasi bumbu instan binthe biluhuta/100 gr ... 35

5. Jenis garam yang digunakan untuk preparasi larutan garam... 37

6. Hasil analisis sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta ... 60

7. Hasil analisis proksimat bumbu ... 61

8. Hasil perhitungan kapasitas air terikat primer pada bumbu instan binthe biluhuta ... 63

9. Hasil perhitungan kapasitas air terikat sekunder pada bumbu instan binthe biluhuta... 65

10. Hasil perhitungan kapasitas air terikat tersier pada bumbu instan binthe biluhta ... 67

11.Susunan Tigra daerah fraksi air terikat bumbu instan binthe biluhuta... 68

12.Persamaan kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta... 71

13.Kadar air kesetimbangan bumbu instan binthe biluhuta dari model-model persamaan ... 71

14. Nilai MRD berbagai model persamaan sorpsi isotermis... 75

15.Umur simpan bumbu instan binthe biluhuta pada RH 80% dan 85%.... 78


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram stabilitas aw menunjukkan hubungan antara aw dan reaksi

Deteorisasi dalam bahan pangan ... 15

2. Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum ... 19

3. Diagram pembuatan cabe rawit bubuk ... 29

4. Diagram pembuatan bawang merah bubuk ... 31

5. Diagram pembuatan daun bawang kering ... 32

6. Diagram pembuatan daun kemangi kering ... 33

7. Diagram pembuatan kelapa parut kering ... 34

8. Diagram alir penelitian ... 41

9. Bawang merah bubuk ... 50

10.Ikan cakalang bubuk ... 50

11.Cabe rawit bubuk ... 50

12.Daun bawang kering ... 40

13.Kelapa parut kering ... 50

14.Formula bumbu ... 50

15.Daun kemangi dan daun bawang ... 51

16.Bumbu instan binthe biluhuta pada waktu uji organoleptik... 51

17.Histogram rata-rata nilai uji kesukaan rasa pada bumbu instan binthe biluhuta ... 52

18.Histogram rata-rata nilai uji kesukaan aroma pada bumbu instan binthe biluhuta ... 54

19.Histogram rata-rata nilai uji kesukaan warna pada bumbu instan binthe biluhuta ... 55

20.Kurva sorpsi isotemis bumbu instan binthe biluhuta ... 61

21.Plot aw terhadap aw/(1-aw)M dari persamaan BET... 62

22.Plot logaritma bumbu instan binthe biluhuta ... 65

23.Plot polinomial ordo 2 ... 66

24.Ekstapolasi pada penentuan air terikat tersier ... 66

25.Susunan tiga daerah fraksi air bumbu instan binthe biluhuta ... 68

26.Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Hasley dan percobaan ... .. 72

27.Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Chen-Clayton dan percobaan ... .. 72

28.Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Henderson dan percobaan ... .. 73

29.Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Curie dan percobaan ... .. 73

30.Kurva sorpsi isotermis bumbu instan binthe biluhuta model Oswin dan percobaan ... .. 74

31.Data kemiringan kurva sorpsi isotermis pada RH 32-84% ... 77

32.Kadar FFA (%) selama penyimpanan ... 81

33.Jumlah total mikroba selama penyimpanan ... 84


(16)

35.Bumbu instan binthe biluhuta sbelum dan setelah penyimpanan ... 87

36.Hasil uji organoleptik aroma bumbu selama penyimpanan ... 88

37.Hasil uji organoleptik warna bumbu selama penyimpanan... 90


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Form Uji Organoleptik... 103

2. Nilai rata-rata uji organoleptik pada penelitian tahap pertama... 104

3. ANOVA (Analysis of Variance) rasa bumbu instan binthe biluhuta .... 105

4. ANOVA (Analysis of Variance) aroma bumbu instan binthe biluhuta 107

5. ANOVA (Analysis of Variance) warna bumbu instan binthe biluhuta 109

6. Hasil analisis proksimat ... 111

7. Contoh perhitungan kapasitas air terikat primer bumbu instan binthe biluhuta ... 113

8. Contoh perhitungan air terikat sekunder bumbu instan binthe biluhuta 115

9. Contoh perhitungan air terikat tersier bumbu instan binthe biluhuta..... 116

10.Penentuan MRD model Hasley ... 117

11.Penentuan MRD model Chen-Clayton ... 118

12.Penentuan MRD model Henderson ... 119

13.Penentuan MRD model Caurie ... 120

14.Penentuan MRD model Oswin ……….. 121

15.ANOVA dan uji Duncan terhadap FFA selama Penyimpanan... 122

16.Total mikroba selama penyimpanan………. 125

17.Rata-rata nilai organoleptik terhadap aroma selama penyimpanan ……. 126

18.ANOVA dan uji duncan terhadap aroma selama penyimpanan……….. 127

19.Rata-rata nilai organoleptik warna selama penyimpanan ………. 130

20.ANOVA dan uji Duncan terhadap warna selama penyimpanan ………. 131

21.Rata-rata kadar air selama penyimapanan ……… 134


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan rempah-rempah. Sejak zaman penjajahan Belanda, Indonesia dikenal sebagai penghasil rempah-rempah yang memberikan keuntungan yang besar bagi penjajah. Hal ini karena nilai ekonomis dari rempah-rempah cukup tinggi. Rempah-rempah ini merupakan bahan tambahan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan banyak digunakan sebagai bumbu dalam makanan tradisional. Bumbu merupakan hal yang penting dalam setiap masakan karena dapat berfungsi untuk meningkatkan cita rasa makanan dan dapat digunakan sebagai pengawet makanan. Cita rasa yang diberikan dapat berupa bau harum dan sedap atau rasa tajam yang menyenangkan sehingga dapat memberikan karakteristik pada bahan pangan tersebut.

Keragaman suku bangsa Indonesia yang cukup besar mulai dari Sabang di ujung barat sampai Merauke di ujung timur menyebabkan Indonesia kaya akan makanan tradisional. Dalam mengembangkan makanan tradisional, yang perlu mendapat perhatian utama adalah upaya mengangkat citra makanan tradisional agar sejajar dengan bahan makanan lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan teknologi, terutama dari segi pengolahan, distribusi dan pemasaran.

Daerah Gorontalo memiliki makanan khas, salah satunya adalah dengan menggunakan jagung muda pipil sebagai bahan utamanya, menggunakan cabe rawit, bawang merah, kemangi, bawang daun, kelapa parut, bawang merah goreng dan ikan sebagai bumbunya. Makanan ini dikenal dengan nama “Milu Siram” atau dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan “Binthe Biluhuta”. Makanan ini menjadi salah satu makanan favorit bagi masyarakat Gorontalo. Disamping menjadi makanan favorit masyarakat Gorontalo, makanan ini juga menjadi makanan yang dicari dan diminati oleh wisatawan yang datang ke Gorontalo.

Di Gorontalo permintaan akan “binthe biluhuta” ini cukup tinggi. Permintaan jagung muda untuk binthe biluhuta khususnya di dua daerah kabupaten dan kota Gorontalo adalah ± 2 ton/hari atau ±730 ton/tahun, dan untuk tiga kabupaten lainnya diperkirakan minimal ±1 ton/hari atau ± 365 ton/tahun


(19)

(Hasil Survei Dinas Pertanian Propinsi Gorontalo tahun 2004), sehingga kebutuhan total untuk pembuatan binthe biluhuta adalah 1095 ton per tahun.

Sebagai salah satu jenis makanan yang cukup digemari, maka binthe biluhuta dapat dikembangkan menjadi makanan instan sehingga dalam proses pemasakan tidak memerlukan waktu yang lama, sama halnya dengan cara memasak mie instan. Disamping itu makanan ini juga dapat mengurangi kebutuhan akan konsumsi beras karena jagung merupakan makanan yang kaya akan karbohidrat.

Setiap daerah di Indonesia mempunyai makanan khas tertentu, tetapi dapat dipastikan bahwa hampir semua masakan Indonesia menggunakan bawang merah dan cabe sebagai bumbu dan penyedap makanan baik dalam bentuk segar yang diramu dengan bumbu lain maupun dalam bentuk olahan (seasoning). Seasoning diproduksi dalam berbagai bentuk, salah satunya dalam bentuk powder (bubuk). Bentuk bubuk ini dianggap mempunyai nilai ekonomis tinggi, lebih praktis dalam penggunaan serta memudahkan pengemasan dan pengangkutannya. Namun demikian, penggumpalan atau kerusakan lainnya merupakan masalah yang sering terjadi pada produk dalam bentuk powder. Menurut Chung et al. (2000), penggumpalan sering menyebabkan perubahan solubilitas, kenaikan oksidasi lemak dan aktivitas enzim, kehilangan cita rasa dan kerenyahan, penurunan kualitas organoleptik dan umur simpan.

Sejalan dengan berubahnya gaya hidup masyarakat yang membutuhkan kepraktisan dan waktu singkat dalam menyajikan makanan maka kebutuhan akan produk pangan instan yang “ready to eat dan ready to cook”, serta untuk menjaga kelestarian makanan khas Gorontalo ini, maka pengembangan produk pangan binthe biluhuta yang terbuat dari jagung muda dengan bumbu instan (binthe biluhuta instan) merupakan hal yang menarik. Akan tetapi, ada hal yang penting diperhatikan yaitu bagaimana mempersiapkan formulasi bumbu instan yang tepat dan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Gorontalo serta mempunyai umur simpan yang lama sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu.

Setiap jenis makanan memiliki daya simpan (shelf life) yaitu kisaran waktu antara makanan selesai diolah di pabrik sampai diterima oleh konsumen, dimana


(20)

produk tersebut masih memiliki mutu yang baik. Bila lebih dari batas waktu tersebut, produk akan mengalami penurunan mutu.

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil tersebut mengakibatkan makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Lebih lanjut ditambahkan bahwa bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah:

- Membuat formulasi bumbu instan yang tepat untuk binthe biluhuta.

- Memperkirakan umur simpan (shelf life) dari bumbu instan binthe biluhuta berdasarkan pendekatan kadar air kritis.

- Mengetahui perubahan mutu bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Jagung

Menurut Suprapto dan Rasyid (2002), golongan jagung yang terdapat di Indonesia berdasarkan penggolongan jagung oleh Johnson (1991) adalah dent corn, flint corn, sweet corn dan pop corn. Komponen gizi utama yang terdapat pada gizi jagung adalah karbohidrat, lemak dan protein. Kandungan karbohidrat jagung terdiri atas pati, gula, pentosan dan serat kasar. Komposisi kimia dari beberapa jenis jagung dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia dari beberapa jenis jagung per 100 gr (% bk)

Komposisi Jenis Jagung Karbohidrat (%) Lemak (%) Protein (%) Abu (%) Serat (%) Dent corn Flint corn Pop corn Sweet corn 71.7 - 62.3 54.1 4.3 4.7 5.3 8.4 9.5 11.1 11.9 12.7 1.4 - 1.9 2.1 9.5 - 2.6 3.5

Sumber: Johnson (1991)

Menurut Subandi et al. (1988), jagung dapat dimanfaatkan untuk

memenuhi berbagai macam kebutuhan, diantaranya sebagai bahan pangan pokok masyarakat daerah tropis, sebagai pakan ternak di daerah beriklim sedang, dan sebagai bahan baku dalam industri minuman, industri tepung jagung dan sebagai campuran kopi bubuk. Cara pengolahan jagung untuk dikonsumsi sebagai makanan pokok sangatlah beragam. Sebagian cara tersebut adalah dengan pengupasan, pemipilan kemudian direbus atau dikukus. Ada juga yang menumbuknya menjadi beras dan kemudian direbus dan dikukus. Konstribusi jagung sekitar 10% dari total masukan kalori dan protein dengan rata-rata konsumsi 15-20 kg/tahun.


(22)

Bawang Daun

Bawang daun (Allium porrum L.) dan kerabatnya termasuk dalam satu

keluarga besar bawang-bawangan. Bawang ini termasuk dalam golongan Spermatophyta, sub golongan Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Lilliflorae dan famili Amaryllidaceae. Asalnya bunga dan perbungaannya mirip bunga lili atau tulip. Meski begitu, bawang lebih mirip dengan Amaryllidaceae atau yang populer dengan sebutan bunga narcissus.

Bawang daun merupakan jenis tanaman yang banyak mengandung sulfur. Bawang daun yang dipotong dalam bentuk segar mengandung komponen sulfur

yang volatil. Menurut Nielsen et al. (2004), proses pemblansiran dapat

menurunkan sulfur yang dihasilkan oleh bawang daun segar yaitu 1.09 mg/L dari keseluruhan total sulfur. Bila dibandingkan dengan bawang daun yang di blansir maka pada bawang daun yang tidak diblansir akan terjadi pertambahan aldehid yang dihasilkan karena proses autooksidasi dan aktivitas enzim. Bawang daun tanpa pemblansiran yang disimpan pada suhu dingin dengan menggunakan kemasan MAP 21% O2 menghasilkan aldehid empat kali lebih banyak daripada yang diblansir.

Kemangi

Kemangi yang ada di Indonesia bernama botani Ocimum basillicum.

Karena tumbuhnya menyemak, kemangi dikelompokkan dalam kelompok basil semak (bush basil). Menurut ”Daftar Komposisi Bahan Makanan” Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, kemangi termasuk sayuran kaya provitamin A. Dalam setiap 100 g daun kemangi terkandung 5000 SI vitamin A. Kelebihan lainnya, kemangi termasuk sayuran yang banyak mengandung mineral kalsium dan fosfor, yaitu sebanyak 45 dan 75 mg per 100 g daun kemangi (Anonim 2003).

Kemangi digunakan untuk meningkatkan aroma dan flavor makanan, baik dalam keadaan segar maupun kering. Menurut Loughrin dan Kasperbauer (2003), terdapat 26 komponen volatil yang terdapat pada kemangi segar. Linalool dan 1.8


(23)

volatil. Ditemukan juga aldehid alipatik, alkohol dan ester yang sama dengan komponen aroma eugenol.

Menurut Cesare et al. (2003), pengeringan kemangi dengan menggunakan mikrowave menghasilkan retensi komponen volatil dan pigmen klorofil yang lebih besar bila dibandingkan dengan pengeringan dengan teknik tradisional.

Seasoning

Seasoning merupakan bahan campuran yang terdiri dari satu atau lebih rempah-rempah atau ekstrak rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam makanan selama pengolahan atau dalam persiapan, sebelum disajikan untuk memperbaiki flavor alami makanan sehingga lebih disukai oleh konsumen (Farrel 1990). Pada umumnya rempah-rempah diformulasikan sebagai bumbu suatu produk pangan. Formulasi bumbu dilakukan dengan mencampurkan dua macam atau lebih rempah-rempah, baik berdasarkan penemuan-penemuan baru secara organoleptik dapat diterima oleh konsumen (Palupi 1995). Tujuan pencampuran untuk memberikan keseimbangan pada flavor makanan sehingga tercapai kepuasan konsumen secara maksimum.

Rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu diutamakan mengandung cukup oleoresin dan minyak atsiri, karena kedua komponen ini menimbulkan citarasa dan aroma khas yang diinginkan. Oleh karena itu rempah yang akan dimanfaatkan untuk bumbu harus cukup tua, sehingga kandungan oleoresin dan minyak atsirinya mencapai optimal (Rahmawati 1998).

Pruthi (1980), membagi seasoning dalam tiga kategori yaitu gound spice seasoning, soluble spice seasoning dan kombinasi antara ground dan soluble spice

seasonings. Seasoning tidak dapat dibuat dari hanya satu jenis rempah saja dan sangat sulit mencapai flavor yang stabil, sedangkan perusahaan seasoning harus dapat memberi jaminan bahwa flavor yang dihasilkan tetap dalam keadaan stabil. Kestabilan flavor dapat dicapai dengan membuat soluble seasoning (bumbu yang dapat larut), yaitu dengan menambahkan minyak esensial dan oleoresin ke dalam garam, dekstrosa atau base gula. Keuntungan lain dari soluble seasoning adalah


(24)

bebas dari warna rempah-rempah, bebas dari total mikroba dan ketersediaan flavor yang diinginkan.

Sebagian besar komponen flavor yang berada pada rempah-rempah berbentuk senyawa volatil, seperti cinamaldehyde (kayu manis), eugenol (cengkeh), capsaicinoids (cabe atau lada), alisin (bawang putih), di-1-propildisulfida dan metil-1-di-1-propildisulfida (bawang merah), gingerol (jahe). Kekuatan dan intensitas dari senyawa volatil ini merupakan alasan mengapa rempah-rempah ini digunakan dalam jumlah yang kecil (Nagodawithana 1995).

Pada industri seasoning, rempah-rempah ini dicampur dengan sejumlah

komponen flavor seperti garam, monosodium glutamat (MSG), gula, asidulen dan sebagainya. Tujuan pencampuran ini untuk memberikan keseimbangan pada flavor makanan sehingga tercapai kepuasan konsumen secara maksimum. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pencampuran adalah karakteristik alat pencampur dan karakteristik dari bahan tambahan kering yang digunakan (Herman 2000).

Menurut Fanaike (2002), bubuk bawang merah yang masih disukai panelis berdasarkan uji organoleptik mempunyai kadar air 8.47%, kelarutan 78.42% dan total mikroba 2.8 x 104 koloni/g. Bubuk bawang merah mempunyai asam piruvat 16.9 µmol per g dan total soluble solid 11.9o Brix. Dengan menggunakan freeze dried, vacum dried dan flow dried diperoleh kadar air bubuk bawang merah berturut-turut adalah 3.25, 3.00 dan 2.75 % (basis kering). Bubuk bawang merah termasuk kedalam bahan pangan yang sangat higroskopis (Debnath et al. 2002).

Sambal lingkung yaitu sambal yang menggunakan bumbu yang dihaluskan seperti cabe merah, bawang merah, kemiri, laos, terasi, bawang puith, kencur, garam, daun jeruk purut, gula kemudian disangrai bersama dengan ikan dan kepala parut selama 25 menit kemudian dikemas vakum dengan plastik polipropilen mempunyai umur simpan pada suhu 25oC adalah 215 hari (Astawan dan Widayat 1999).

Bubuk lada hitam yang dikemas dengan LDPE dapat disimpan selama 407 hari pada RH 90% dan 209 hari untuk RH 95% (Rahayu et al. 2005).


(25)

Kelapa Parut Kering (Desiccated Coconut)

Kelapa parut kering adalah daging buah kelapa segar yang diparut dan dikeringkan, dihaluskan dan diproses dibawah kondisi yang higienis untuk dikonsumsi manusia. Kelapa parut kering mengandung sebagian besar minyak dan protein, serta diproduksi dalam empat standar mutu yaitu sangat halus, halus, sedang dan kasar, dan dalam berbagai bentuk potongan termasuk threads,strips,

chips, slices dan shreads (Ketaren dan Djatmiko 1985). Desiccated coconut dibuat dari butir-butir kelapa kering dengan kadar air 2.5% (Winarno 2004).

Pada pembuatan kelapa parut kering, pemilihan jenis dan umur serta perlakuan penyimpanan terlebih dahulu terhadap buah kelapa yang baru dipetik merupakan hal yang sangat penting, agar diperoleh rendemen yang tinggi dan memenuhi kadar minyak yang disyaratkan. Keunggulan komperatif kelapa parut kering (KPK) sebagai pengganti kelapa segar adalah lebih praktis dan tahan lama. Mutu KPK menurut Somaatmadja (1978) ditentukan oleh ukuran rajangan, bau, warna, rasa, kadar air, kadar minyak, kadar asam lemak bebas, bahan asing, pencemaran oleh bakteri (misalnya salmonella) dan bagian-bagian testa. Menurut Suhardiyono (1988), KPK mudah diserang kapang, karena kapang memerlukan aw yang tinggi untuk hidup. Standar mutu KPK dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Standar mutu kelapa parut kering

Syarat Mutu SIIa

Uji fisik

Kadar air (%) Kadar lemak (%) Kadar Protein (%) Asam lemak bebas (%) SO2 residu (ppm) Logam berbahaya Salmonella E.Coli

Angka lempeng total (kol/gr) Kapang dan Khamir (kol/gr) Coliform

Putih, bau normal, rasa seperti kelapa segar Maksimum 3.0 Minimum 61 Minimum 5.0 Maksimum 0.14 Maksimum 15 Tidak ternyata Negatif Negatif

Maksimum 106

Maksimum 50 Maksimum 50


(26)

Pengeringan

Pengeringan adalah proses mengeluarkan air dari suatu bahan pertanian menuju kadar kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dicegah dari serangan jamur, enzim dan aktivitas serangga (Henderson dan Perry 1976).

Dalam pengeringan beku atau liofilisasi, air dipindahkan dari padat langsung menjadi uap dengan sublimasi. Pengeringan terjadi dalam dua langkah yaitu pertama air berpindah dengan sublimsi dan kedua adalah penguapan cairan pada molekul air yang tidak beku (Heldman dan Hartel 1998). Menurut Heldman dan Lund (1998), operasi pengeringan beku meliputi tiga tahap yaitu pembekuan produk, sublimasi es dan penghilangan uap air. Pembekuan bertujuan untuk mendapatkan struktur yang porous. Jaringan kristal es yang terbentuk selama pembekuan penting untuk tahap pengeringan selanjutnya. Pada bahan pangan padat dan bahan pangan dengan struktur gel, kristal saling terpisah, sehingga pengeringan lebih lama. Pada pengeringan pertama, sublimasi es dilakukan dengan mengontrol level vakum dalam pengeringan beku melalui input panas. Untuk meningkatkan laju sublimasi diperlukan vakum yang tinggi (tekanan absolut rendah). Karena tidak semua air dalam bahan pangan dapat dibekukan, maka pada pengeringan primer dapat mereduksi air 15-20% dengan menghilangkan air sebagai es. Akhir dari pengeringan pertama ditunjukkan dengan peningkatan suhu, dimana pada permukaan produk lebih cepat dari pada bagian dalam. Pengeringan kedua dimulai setelah semua es disublimasi pada permukaan produk memasuki tahap pengeringan kedua, namun pada bagian tengah masih terjadi sublimasi es. Panas secara kontinyu ditambahkan, namun dengan laju lebih lambat karena kehilangan air berlangsung secara difusi, sehingga diperlukan kontrol input panas. Penambahan panas secara cepat

mengakibatkan terjadinya collapse temperature yang menyebabkan produk

mempunyai densitas lebih tinggi dan mengurangi kemampuan dehidrasinya (Heldman dan Hartel 1998).

Pengering tipe rak mempunyai bentuk persegi yang didalamnya berisi rak-rak sebagai tempat bahan yang akan dikeringkan. Bahan diletakkan di


(27)

atas rak (tray) yang terbuat dari logam dengan alat yang berlubang-lubang. Kegunaan dari lubang-lubang ini untuk mengalirkan udara dan uap panas. Proses pemanasan dalam tipe rak terjadi melalui pengaliran udara panas pada setiap rak. Pindah panas terjadi secara konduksi dan pemancaran dari permukaan rak yang dipanasi. Umumnya dalam pengering tipe rak, udara selain membawa panas juga berfungsi dalam memindahkan uap air. Aliran panas di dalam alat pengering dapat berlangsung dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas. Arah aliran udara panas dapat ditentukan dengan menyesuaikan kipas (Taib et al. 1988). Pengering tipe rak relatif lebih murah dalam pembuatan dan perawatan serta fleksibel dalam penggunaannya (Hubeis 1984).

Pengeringan dengan vacum dryer dimaksudkan untuk mengurangi kadar air bahan dengan menguapkannya pada tekanan dibawah tekanan atmosfir. Pengeringan dengan vacum dryer biasanya digunakan untuk bahan-bahan yang sensitif terhadap panas, seperti obat-obatan, makanan dan sebagainya. Suhu pengeringan tidak kurang dari 40oC dengan sistem butch (Hall 1979). Menurut Asep et al. (2005), pengeringan bayam dengan menggunakan oven vakum maka kerusakan vitamin C dapat diminimalkan sebanyak 55.7% tanpa pemblansiran

dan 65.42% dengan pemblansiran. Menurut Manullang dan Mulyadi (1995),

pengeringan sayuran dengan menggunakan freze dryer akan mempengaruhi

kandungan tokoferol yang terdapat pada sayuran tersebut. Bayam kering beku memiliki kandungan α , (β+γ) dan δ-tokoferol lebih tinggi diantara sayuran beku lainnya, disusul seledri sedangkan kandungan α, (β+γ) dan δ-tokoferol terendah diantara sayuran terdapat pada kubis.

Selama pengeringan maka akan terjadi perubahan warna pada bahan pangan. Pengeringan bawang putih dengan menggunakan mikrowave dan pengeringan dengan infrared tidak mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap warna dimana warna merupakan parameter yang penting

dalam makanan (Baysal et al. 2003). Pengeringan bawang merah dengan

menggunakan oven pada suhu 70oC selama 10 jam, warnanya coklat muda dan

aroma tidak jauh berbeda dengan aroma roasted dan secara organoleptik masih disukai oleh konsumen (Fanaike 2002).


(28)

Bawang Merah Goreng

Bawang merah goreng merupakan salah satu bumbu yang penting dalam masakan Tionghoa seperti mie instan, mie goreng dan nasi goreng (Chyau et al. 1997). Rahayu dan Berlian (1998) serta Rukmana (1994) menyatakan bahwa varietas yang paling cocok untuk dijadikan bawang goreng adalah varietas Sumenep. Menurut Wibowo (1993), umbi bawang merah dari varietas sumenep ini sangat digemari karena kualitas gorengnya tahan kering dan aromanya harum. Wu et al. (1982) menyatakan bahwa suhu penggorengan 150-160oC selama 10 menit menghasilkan bawang merah goreng dengan flavor terbaik. Menurut Nugraheni (2004), bawang goreng varietas Sumenep dengan umur 80 hari setelah tanam yang dijemur selama 10 hari dan disimpan selama dua minggu mempunyai kadar air 77.34%, pH 5.59 dan total mikroba 630 koloni/g serta mempunyai aroma yang roasted dan pungent yang kuat

Ikan Asap

Proses pengasapan dibedakan atas suhu dan lamanya pengasapan yaitu: Pengasapan panas yaitu pengasapan dengan suhu 65-80oC dalam waktu singkat antara 3-4 jam.

Pengasapan dingin yaitu pengasapan dengan suhu antara 30-40oC dalam waktu beberapa hari. Hasil pengasapan ini dikeringkan lebih lanjut sampai ikan bersangkutan kering.

Ilyas (1972) menyatakan bahwa pengasapan adalah tertariknya air dan meningkatnya kadar asam dari daging ikan serta pengendapan berbagai senyawa kimia yang berasal dari asap kayu. Menurut Winarno et al. (1980), pengasapan biasanya dikombinasikan dengan proses pengeringan untuk membunuh bakteri. Menurut Sanger (1997), pengasapan ikan cakalang pada suhu 100oC mempunyai kadar air rendah (60.64%), mempunyai kadar protein yang tinggi (88.39%), dan mempunyai umur simpan 21 hari bila disimpan pada suhu dingin.


(29)

Kerusakan Produk Kering

Deteorisasi pada produk pangan kering dapat berupa fisik, mikrobiologi dan kimia/biokimia. Kerusakan fisik mempengaruhi sifat tekstur pangan dimana untuk produk pangan yang bersifat renyah akan berubah menjadi melempem, sedangkan untuk produk yang berbentuk bubuk akan terjadi penggumpalan.

Pada sebagian besar produk kering terdapat kadar air dimana dibawah kadar air tersebut laju deteorisasi dapat dihilangkan. Kadar air tersebut berhubungan dengan nilai monolayer, dan biasanya sekitar aw 0.2-0.4 (Labuza 1984). Makanan ringan kehilangan kerenyahannya pada aw 0.4-0.45 dan gula menjadi lengket pada aw 0.4 (Labuza 1984). Aktivitas air terendah dimana sebagian besar bakteri pembusuk tumbuh adalah 0.90. S. Aureus pada kondisi anaerob dihambat pada aw 0.91 tetapi pada kondisi aerob pada aw 0.86. Aw untuk pertumbuhan jamur dan ragi 0.61 dan untuk jamur mikotoksigenik pada aw 0.78. Aktivitas air mempengaruhi browning non-enzimatis, oksidasi lipid, degradasi vitamin, reaksi enzimatis, denaturasi protein dan retrogadasi pati (Fontana 1998).

Robertson (1993) menyatakan secara umun deteorisasi yang terjadi pada produk pangan kering pada penyimpanan adalah penyerapan uap air menyebabkan produk menjadi lembab/kehilangan kerenyahan, oksidasi lipid yang dapat menyebabkan ketengikan, kehilangan vitamin, kerusakan sehingga produk tidak disukai dan kehilangan aroma.

Kemasan

Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: (1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi; (2) memberi perlindungan terhadap mutu produk danri kontaminasi luar dan kerusakan; (3) untuk menambah daya tarik produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat


(30)

perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk dan pelunakan pada bubuk kering (Syarief et al. 1989)

Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas. Bahan pangan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus yang rendah terhadap air dan gas. Untuk bahan pangan yang mempunyai aroma tinggi, umumnya memerlukan kemasan yang dapat menahan keluarnya komponen volatil (Syarief et al. 1989).

Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan dan pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini mempunyai ERH rendah, oleh karena itu harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk menjadi basah sehingga tidak bersifat free flowing ( Syarief et al. 1989).

Plastik merupakan bahan pengemas yang penting dalam industri pengemasan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan mengurangi biaya transfortasi. Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit atau berupa lapisan-lapisan (multi lapis) dengan bahan lain (kertas dan aluminium foil). Kombinasi antara berbagai kemasan plastik yang berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil dan selulosa) dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron yang diproses baik dengan cara laminasi ekstrusi maupun laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson 1993). Minimal ada dua jenis kemasan yang dikombinasikan dalam kemasan laminasi dimana salah satunya harus bersifat

thermoplasti. Kombinasi dari berbagai ragam plastik ini dapat menghasilkan ratusan jenis kemasan.

Salah satu yang biasa digunakan sebagai pengemas adalah polipropilen. Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen.


(31)

Plastik jenis ini cukup mudah diperoleh di pasaran dan memiliki kekuatan yang cukup baik terhadap perlindungan keluar masuknya gas dan uap air. Beberapa sifat utama dari polipropilen menurut Syarief et al. (1989)adalah ringan (densitas

0.9g/cm3) dan mudah dibentuk, mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari

polietilen dan tidak bisa digunakan untuk kemasan beku karena rapuh pada suhu -30oC, lebih kaku dari polietilen dan tidak gampang sobek., permeabilitas uap air rendah, permeabilitas air sedang dan tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen, tahan terhadap suhu tinggi (150oC) sehingga dapat digunakan untuk produk yang harus disterilisasi, tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak baik untuk kemasan sari buah dan minyak, tidak terpengaruh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl, pada suhu tinggi polipropilen dapat bereaksi dengan benzen, siklen, toluen, terpentin dan asam nitrat kuat.

Pada umumnya, pengemasan produk bumbu masak siap pakai dipasaran menggunakan plastik jenis polipropilen (PP). Plastik jenis ini mudah diperoleh, murah dan tahan terhadap suhu tinggi sampai 150oC, sehingga dapat dipakai sterilisasi, dan bersifat tembus pandang dan jernih sehingga dapat menarik minat konsumen (Syarief et al. 1989).

Polipropilen (PP) sangat mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaanya juga serupa (Brody 1970). PP lebih kaku dan ringan daripada PE, daya tembus terhadap uap airnya rendah, mempunyai ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil pada suhu tinggi dan cukup mengkilap.

Aktivitas Air

Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan pangan. Kandungan air dalam bahan pangan akan mempengaruhi daya tahan bahan tersebut terhadap reaksi biologis atau kimiawi. Hubungan kandungan air dalam bahan pangan dengan daya tahan bahan tersebut dinyatakan sebagai aktivitas air (aw). Aktivitas air merupakan faktor kunci dalam pertumbuhan mikroba, reaksi enzimatis dan sebagainya (Mercado dan Canovas 1996).


(32)

dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan osmotik, kelembaban relatif berimbang dan aktivitas air (Purnomo 1995). Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Karenanya lalu muncul istilah aktivitas air (aw), yang digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi (Syarief dan Halid 1993).

Labuza (1982) mengemukakan hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan adalah sebagai berikut: Produk dikatakan tidak aman pada selang aktivitas air sekitar 0.7 sampai 0.75 dan diatas selang tersebut mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun, pada selang aktivitas air 0.6 sampai 0.7 jamur dapat mulai tumbuh dan pada aktivitas air sekitar 0.3 sampai 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya. Gambar 1 menunjukkan diagram stabilitas pangan, yang menunjukkan stabilitas sebagai fungsi dari aw.

Gambar 1 Diagram stabilitas aw menunjukkan hubungan antara aw dan

reaksi deteorisasi dalam bahan pangan (Labuza 1984)

Labuza (2002) menyatakan aktivitas air suatu bahan pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi yang sama, atau dengan jalan membagi ERH lingkungan dengan nilai 100 dan secara matematis ditulis sebagai berikut:


(33)

100

ERH

Po

P

a

w

=

=

dimana:

aw = aktivitas air

P = tekanan parsial uap air bahan

Po = tekanan parsial uap air murni pada suhu yang sama

ERH = kelembaban relatif seimbang

Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan ERH menggambarkan sifat lingkungan disekitarnya yang berada dalam keadaan setimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam produk pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aw sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak.

Kadar Air Kesetimbangan

Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan yang berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu pada periode tertentu (Brooker at al. 1982). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan adalah kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan pangan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak lagi mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk.

Kadar air kesetimbangan berguna untuk menentukan bertambahnya atau berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Brooker et al. 1982). Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelembaban relatif bahan maka bahan akan menyerap air (adsorpsi), sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah dibandingkan dengan kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi) (Henderson dan Perry 1976).

Menurut Brooker et al (1982), kadar air kesetimbangan dapat ditentukan dengan dua metode yaitu metode statistik dan metode dinamik. Pada metode statistik, kadar air kesetimbangan diperoleh pada keadaan udara diam, biasanya


(34)

digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Pada metode dinamik, kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada udara bergerak, biasanya digunakan untuk pengeringan dimana pergerakan udara untuk mempercepat proses pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan.

Sorpsi Isotermis

Sorpsi air oleh bahan pangan adalah proses dimana molekul air berkombinasi secara progresif dan reversibel dengan bagian solid pangan melalui sorpsi kimia, adsorpsi fisik dan kondensasi multilayer (Heldman dan Lund 1992).

Isotermis sorpsi air (ISA) menggambarkan hubungan antara kelembaban relatif udara/aktivitas air dengan kadar air keseimbangan bahan yang ditunjukkan dengan kurva sorpsi isotermis. Dikatakan kurva isotermis karena suhu harus konstan. Soekarto (1978) mengemukakan adanya tiga fraksi air terikat yaitu air terikat primer, air terikat sekunder dan air terikat tersier. Heldman dan Lund (1992) menyatakan bahwa kurva kurva ISA dapat dibagi menjadi tiga daerah yaitu daerah A, B dan C. Daerah A (air terikat primer) mewakili air yang terikat kuat dengan enthalpi penguapan lebih tinggi dari air murni. Air ini diikat pada gugus hidrofilik, bermuatan dan polar dari komponen pangan (protein, polisakarida), termasuk air monolayer, dan air yang terikat dengan ikatan hidrogen dan hidrofobik. Daerah B (air terikat sekunder) menyatakan air kurang kuat terikat. Air ini tersedia sebagai pelarut untuk solut dengan berat molekul rendah. Air pada daerah ini merupakan transisi kontinyu dari air terikat ke air bebas. Daerah C (air terikat sekunder) merupakan daerah air bebas, biasanya terdapat dalam celah-celah, ruang-ruang kecil (void), kapiler dan tidak terikat pada bahan pangan. Bahan makanan dan bahan hasil pertanian lainnya baik sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekelilingnya, dan juga sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam kurva isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan


(35)

(ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Hubungan antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan sifat fisik air

dalam bahan pangan

aw Keadaan air dalam bahan pangan

0.00-0.35 Adsorpsi air pada lapisan tunggal (monolayer) 0.35-0.60 Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer)

0.60-1.00 Air terkondensasi pada kapiler/pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan terlarut

Sumber: Gnanasekharan dan John (1993)

Lebih lanjut Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985)

menjelaskan bahwa pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan tersebut disebut sebagai keadaan histeresis (Gambar 2). Fenomena ini diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air keseimbangan yang diperoleh dari proses desorpsi dan adsorpsi.


(36)

Gambar 2 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum (Labuza 2002)

Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami dari bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema 1985). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno 1994).

Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari (Boente et al. 1996). Selain itu sorpsi isotermis berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam satu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan Iglesias 1978).

A

B


(37)

Model Persamaan Sorpsi Isotermis

Model matematika mengenai kadar air keseimbangan atau sorpsi isotermis telah banyak dikemukakan oleh para ahli (Chirife dan Iglesias 1978; Van den berg dan Bruin 1981). Namun model-model matematik yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakupi keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah sorpsi isotermis. Selain itu penggunaan model sorpsi isotermis juga sangat tergantung dari tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya yang dievaluasi akan lebih mudah penggunaannya (Labuza 1968).

Menurut Chirife dan Iglesias ( 1978), beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut:

a. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw yang berbeda.

b. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan

higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya.

c. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia dan lainnya.

Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal (monolayer) yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan pertama kali oleh Langmuir (1918). Dari percobaannya didapat bentuk persamaan (Labuza 1968 didalam Arpah 2001) sebagai berikut:

V= Vm

⎥⎦ ⎤ ⎢⎣

⎡ +ba K


(38)

dimana:

V = jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu Vm = jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal a = sifat termodinamika gas

b = konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan pangan Model sorpsi isotermis Langmuir ini menurut Labuza (1968) didalam Arpah (2001) tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapis molekul air, permukaan bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air dan interaksi antara molekul-molekul uap air yang di adsorpsi dapat terjadi.

Brunauer, Emmet dan Teller (1938) kemudian menyempurnakan asumsi-asumsi Langmuir dengan tambahan bahwa proses adsorpsi tidak hanya bersifat satu lapis molekul air namun juga membentuk lapisan molekul ganda (multilayer). Bentuk persamaan isotermis BET untuk sorpsi bahan pangan (Labuza 1986 didalam Arpah 2001); Chirife dan Iglesias 1978):

m w m w w CM C a CM M a

a 1 ( 1) ) 1 ( − + = −

dimana : Mm = kadar air pada lapisan tunggal (monolayer)

M = kadar air (g air/g bahan kering) pada aktivitas air (aw) C = tetapan adsorpsi BET

Model BET hanya dapat digunakan pada kisaran aw kurang dari 0.5 namun data-data yang didapat ini sangat baik untuk menggambarkan kondisi lapisan tunggal (monolayer) dari suatu bahan pangan (Labuza 1968 didalam Arpah 2001). Selanjutnya Smith pada tahun 1947 mendekati hubungan antara air terikat dan kelembaban relatif dengan persamaan Langmuir dan konsep lapisan ganda dari persamaan BET dan menghasilkan suatu model persamaan (Chirife dan Iglesias 1978):


(39)

dimana a dan b merupakan konstanta yang nilainya ditentukan melalui percobaan dan tergantung pada suhu. Persamaan ini dapat menggambarkan kurva proses desorpsi isotermis dari gandum pada selang aw 0.5-0.95.

Secara empiris Henderson (1952) mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air keseimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini menurut Chirife dan Iglesias (1978) merupakan salah satu persamaan yang paling banyak digunakan. Persamaan Henderson ini juga dapat berlaku pada kebanyakan bahan pangan terutama biji-bijian pada seluruh nilai aw. Bentuk persamaan tersebut (Chirife dan Iglesias (1978) adalah :

1 - aw = exp (- KMn)

dimana M = kadar air keseimbangan (basis kering) K dan n adalah konstanta

Sedangkan Caurie (1970) dari hasil percobaannya mendapatkan sebuah model yang dapat berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0 sampai 0.85. Persamaan tersebut adalah (Chirife dan Iglesias 1978):

Ln me = ln P(1) - P(2)aw

dimana P(1) dan P(2) merupakan konstanta.

Hasley (1948) mengembangkan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan multilayer (Chirife dan Iglesias (1978). Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif antara 10-81%. Persamaan ini adalah (Isse et al 1992):

aw = exp ⎥ ⎦ ⎤ ⎢

⎣ ⎡ −

) 2 (

) (

) 1 (

P

Me P

Dimana P(1) dan P(2) adalah konstanta

Persaman Oswin (1946) dapat berlaku pada bahan pangan pada RH 0 sampai 85% dan sesuai bagi kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid (Chirife dan Iglesias 1978). Model persamaan Oswin tersebut adalah:


(40)

aw = P(1)

) 2 (

1

p

aw aw

⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡

Dimana P(1) dan P(2) merupakan konstanta

Lebih lanjut Chen Clayton juga membuat model matematik yang berlaku untuk bahan pangan pada semua nilai aktivitas air (aw). Persamaan tersebut adalah

aw = exp [-P (1) exp P((2)Me)] dimana P(1) dan P(2) adalah konstanta

Umur Simpan

Istilah umur simpan secara umum mengandung pengertian tentang waktu antara saat produksi mulai dikemas atau diproduksi sampai dengan mutu produk masih memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan, untuk sampai pada suatu level atau tingkat degradasi mutu tertentu.

Menurut Institut of Food Technology (IFT) umur simpan produk pangan selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi (Arpah 2001). National Food Association mendefinisikan umur simpan adalah bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001).

Menurut Syarief et al. (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfir (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya gas, air dan bau, termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat.


(41)

Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut.

Beberapa asumsi dasar yang sering digunakan dalam perhitungan masa simpan menurut Gnanasekharan dan John (1993) adalah mekanisme kerusakan yang terjadi sangat bergantung pada faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan temperatur) dan faktor komposisi (pH, konsentrasi, aktivitas air dan sebagainya), laju penurunan mutu dapat ditentukan dengan menghubungkan beberapa hasil pengukuran objektif dengan hasil penilaian organoleptik dan toksikologi), kemasan diasumsikan bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya bergantung pada bahan kemasan saja.

Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama karena penetapan kadaluarsa pangan dengan metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya sehingga tercapai mutu kadaluwarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau metode akselerasi. Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief 2000). Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis 1994).

Menurut Labuza (1982) meningkatnya suhu dan kelembaban pada kondisi

penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metoda untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan. Sedangkan menurut Ellis (1994), penggunaan uji akselerasi dapat diaplikasikan pada produk kering jika secara kontinyu kadar air pada produk berubah selama penyimpanan dan jika kecepatan kerusakan hanya tergantung pada kadar air dan suhu.


(42)

Labuza (1982) menyatakan bahwa penambahan atau kehilangan kandungan air dari suatu bahan pangan pada suhu dan kelembaban (RH) yang konstan dapat dihitung denga persamaan sebagai berikut:

(

P P

)

A

x k dt dw in out − = Keterangan: dt dw

= jumlah air yang bertambah atau berhurang per hari (gram)

x k

= permeabilitas kemasan (g H2O/ hari. m2. mmHg)

A = luas permukaan kemasan (m2)

Pou = tekanan uap air di luar kemasan (mmHg) Pin = tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg)

Bila perubahan air mempengaruhi mutu makanan maka dengan mengetahui pola penyerapan airnya dan menetapkan nilai kadar air kritisnya, umur simpan dapat ditentukan. Dengan demikian umur simpan berdasarkan laju perubahan kadar air dapat ditentukan dengan pendekatan yang menggunakan persamaan Labuza (1982), yaitu:

ts = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − b Po Ws A x k mc me mi me ln dimana :

ts = waktu yang diperlukan produk dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan (hari )

me = kadar air keseimbangan produk (% bk)

mi = kadar air awal produk (% bk) mc = kadar air kritis produk (% bk)

x k

= konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)

A = luas permukaan kemasan


(43)

Po = tekanan uap jenuh (mmHg)

b = kemiringan kurva

Parameter-parameter persamaan Labuza (1982) di atas dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu: unsur sifat fisik produk (me, mi, mc, Ws,

dan b), unsur pengemas (k/x dan A) dan lingkungan luar/dalam pengemas (RH


(44)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2006 sampai Juli 2007 di Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, serta laboratorium SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah cabe rawit merah, bawang merah, bawang daun, kemangi, jagung, kelapa parut, ikan cakalang kering, MSG, garam, Natrium bisulfit, aguadest, larutan garam jenuh NaOH, MgCl2, KI, KCl, BaCl2, K2SO4, KNO3, K2CO3, NaCl, HCl, H2SO4, H3BO3, HCl, Na2SO4, NaOH, BaCl2, batu didih, heksan, asam tartarat, phenolptalin 1%, alkohol 95%, PCA, PDA, vaselin, aluminium foil, silika gel, polipropilen (PP), polietilen densitas tinggi (HDPE).

Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, oven, desikator, freeze

drying, pisau, baskom, talenan, sealer, blender, cawan aluminium, cawan porselin, labu kjedhal, tabung reaksi, erlenmeyer, kertas saring, saringan, soxhlet, tanur, cawan petri, pipet, lampu bunsen dan gelas piala.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu penelitian tahap pertama, tahap kedua dan tahap ketiga.

Penelitian Tahap Pertama

Penelitian tahap pertama terdiri dari persiapan dan formulasi bumbu


(45)

pembuatan bawang merah bubuk, pengeringan daun bawang dan daun kemangi, pengeringan ikan cakalang serta pembuatan kelapa parut kering. Tahapan pembuatannya adalah sebagai berikut:

Proses pembuatan cabe rawit bubuk

a. Pembuangan tangkai cabe dan bagian yang rusak atau busuk, kemudian dicuci sampai bersih dan ditiriskan.

b. Pemanasan (blansir) cabe dalam larutan Natrium bisulfit 0.2% yang mendidih selama 3 menit, kemudian dimasukkan kedalam air dingin (25-30oC) dan tiriskan.

c. Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 70o selama 6 jam.

Tanda cabe telah benar-benar kering yaitu hancur bila cabe diremas. d. Penggilingan cabe kering dengan menggunakan blender

Tahapan proses pembuatan cabe rawit bubuk disajikan pada Gambar 3 (Hambali et al. 2002).

Proses pembuatan bawang merah bubuk

a. Pengupasan bawang merah yang akan digunakan kemudian dicuci sampai

bersih dan ditimbang

b. Pengirisan bawang merah kemudian diblansir dalam larutan Na-bisulfit 0.2% selama 20 menit dan ditiriskan.

c. Panambahan bahan pengisi yaitu maizena sebanyak 5% dari berat bawang dan kemudian dicampur sampai merata dengan irisan bawang merah yang telah ditiriskan.

d. Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 70o selama 3.5 jam.

e. Penggilingan bawang merah yang sudah dikeringkan dan diayak untuk

memperoleh tepung bawang dengan ukuran partikel yang seragam.

Tahapan proses pembuatan bawang merah bubuk disajikan pada Gambar 4 (Hambali et al. 2002).


(46)

Gambar 3 Diagram pembuatan cabe rawit bubuk.

Proses pembuatan daun bawang kering

a. Daun bawang dicuci kemudian diiris-iris sesuai dengan ukuran yang

diinginkan.

b. Pemblansiran daun bawang ke dalam air panas (80oC) selama 3 menit. Irisan daun bawang diangkat dengan saringan kemudian dimasukkan kedalam air dingin (25-30oC).

c. Dimasukkan kedalam plastik kemudian disimpan dalam freezer sampai

daun bawang menjadi beku.

Cabe rawit segar

Pembuangan tangkai dan pencucian

Penirisan

Blansir dengan larutan Na-bisulfit 0.2% selama 3 menit, tiriskan

Pengeringan pada suhu 70o selama 6 jam

Penggilingan


(47)

d. Pengeringan dengan freeze drying selama 48 jam.

Tahapan proses pembuatan daun bawang kering disajikan pada Gambar 5.

Proses pembuatan daun kemangi kering (Sopian et al 2005)

a. Daun kemangi dicuci dan ditiriskan.

b. Dimasukkan ke dalam plastik kemudian disimpan dalam freezer sampai

daun kemangi menjadi beku

c. Pengeringan dengan freeze drying selama 48 jam

Tahapan proses pembuatan daun kemangi kering disajikan pada Gambar 6 (Sopian et al 2005).


(48)

Gambar 4 Diagram pembuatan bawang merah bubuk.

Bawang merah segar

Penirisan

Pengupasan dan pencucian

Pengirisan, blansir dalam larutan Na-bisulfit 0.2% selama 20 menit

Pengeringan oven pada suhu 70oC selama 3.5 jam

Penggilingan

Bawang merah bubuk

Penambahan maizena sebanyak 5% dari berat bawang dan dicampur secara merata


(49)

Gambar 5 Diagram pembuatan daun bawang kering.

Daun bawang segar

Pencucian dan pengirisan

Pemblansiran pada suhu 80oC selama 3 menit

Pendinginan (suhu 25-300C)

Pengeringan dengan

freeze drying 48 jam

Daun bawang kering Pembekuan


(50)

Gambar 6 Diagram pembuatan daun kemangi kering.

Proses pembuatan kelapa parut kering

a. Buah kelapa dikupas dan dibuang testanya sehingga diperoleh daging

kelapa yang putih.

b. Daging kelapa kemudian dipotong menjadi empat bagian, setelah itu

dicuci dengan aguades.

c. Setelah itu dilakukan perendaman dalam larutan Na-bisulfit 2000 ppm, selama 15 menit dan ditiriskan selama 10 menit.

d. Dilakukan pemarutan sehingga diperoleh kelapa parut basah

e. Pasteurisasi dengan menggunakan uap panas pada suhu 88oC selama 5 menit.

f. Kelapa parut basah disusun dalam loyang aluminium dengan tebaran

setebal 1 cm dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 70oC selama 8 jam.

Tahapan proses pembuatan kelapa parut kering disajikan pada Gambar 7. Daun kemangi segar

Pencucian dan penirisan

Pembekuan

Pengeringan dengan

freeze drying selama 48


(51)

Gambar 7 Diagram pembuatan kelapa parut kering.

Buah kelapa

Pembuangan sabut dan testa, potong menjadi 4 bagian, dicuci

Penirisan

Pemarutan

Kelapa parut basah

Perendaman dalam larutan Na- bisulfit 2000 ppm selama 15 menit

Pengeringan pada suhu 70oC, 8 jam

Kelapa parut kering


(52)

Formulasi Bumbu

Formulasi bumbu dilakukan untuk mengetahui komposisi bumbu yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik. Bumbu yang digunakan terdiri dari bawang merah bubuk, cabe rawit bubuk, kalapa parut kering, daun bawang kering, daun kemangi kering, ikan cakalang kering, MSG dan garam.

Formulasi bumbu yang dilakukan untuk setiap 100 gram bumbu adalah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Formulasi bumbu instan binthe biluhuta / 100 gr bumbu

Formulasi Bawang (gr)

Cabe (gr)

Kelapa (gr)

Kemangi (gr)

Daun bawang

(gr)

Ikan Cakalang

(gr)

Garam (gr)

Formula 1 2 0.5 2.5 0.5 0.5 3 1

Formula 2 2 1.0 2.5 0.5 0.5 3 1

Formula 3 2 1.5 2.5 0.5 0.5 3 1

Formula 4 4 0.5 2.5 0.5 0.5 3 1

Formula 5 4 1.0 2.5 0.5 0.5 3 1

Formula 6 4 1.5 2.5 0.5 0.5 3 1

Formula 7 2 0.5 5.0 0.5 0.5 3 1

Formula 8 2 1.0 5.0 0.5 0.5 3 1

Formula 9 2 1.5 5.0 0.5 0.5 3 1

Formula 10 4 0.5 5.0 0.5 0.5 3 1

Formula 11 4 1.0 5.0 0.5 0.5 3 1

Formula 12 4 1.5 5.0 0.5 0.5 3 1

Pada formulasi bumbu ini: garam, MSG, ikan cakalang kering, bawang goreng, kemangi dan daun bawang kering diberikan dalam jumlah yang sama untuk semua perlakuan. Ikan cakalang yang digunakan adalah ikan cakalang yang diasap selama 10 jam, kemudian dikeringkan dengan menggunakan oven selama 4 jam. Setelah itu dihaluskan dengan menggunakan blender. Dari 12 formulasi bumbu, diambil satu formulasi bumbu yang paling disukai berdasarkan uji


(53)

organoleptik. Analisis yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar lemak bebas, total mikroba dan uji organoleptik.

Penelitian Tahap Kedua

Setelah diperoleh formula bumbu instan binthe biluhuta yang paling disukai berdasarkan uji organoleptik maka penelitian dilanjutkan ke tahap kedua. Penelitian tahap kedua dilakukan dengan tujuan menghasilkan kurva Isotermis Sorpsi Air (ISA) yang akan digunakan untuk analisa pendugaan umur simpan bumbu instan binthe biluhuta.

Penentuan Kurva Sorpsi Isotermis

Dalam preparasi larutan garam jenuh digunakan 9 jenis garam. Garam yang telah ditimbang dengan berat tertentu dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditambahkan sejumlah air dan diaduk Jenis garam yang digunakan untuk preparasi larutan garam dapat dilihat pada Tabel 5. Setelah diaduk, desikator kemudian ditutup dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi 30oC (Spiess dan Wolf 1987).

Kemudian sebanyak lima gram bumbu ditempatkan dalam cawan porselin kering yang telah diketahui beratnya. Cawan yang berisi sampel tersebut lalu diletakkan dalam desikator yang berisi larutan garam jenuh, kemudian disimpan dalam inkubator dengan suhu 30oC.

Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya secara periodik sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan tercapai. Menurut Lang dan Steinberg (1980), berat yang konstan lalu diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (AOAC 1995) dan dinyatakan dalam basis kering. Berdasarkan kadar air akhir dan aktivitas air kesetimbangan maka dapat dibuat kurva sorpsi isotermisnya.


(54)

Tabel 5 Jenis dan jumlah garam serta jumlah yang digunakan untuk menentukan nilai aw

Kuantitas

No Jenis garam Garam (gr) Air (ml) ERH(%)

1 NaOH (Natrium Hidroksida) 150 85 6.9

2 MgCl2 (Magnesium Klorida) 200 25 32

3 K2CO3 (Potassium Karbonat) 200 90 43

4 KI (Potassium Iodida) 200 50 69

5 NaCl (Natrium Klorida) 200 60 75

6 KCl (Potassium Klorida) 200 80 84

7 BaCl2 (Barium Klorida) 200 70 90

8 KNO3 (Kalium Nitrat) 200 50 93

9 K2S04 (Kalium Sulfat) 200 50 97

Pengamatan meliputi pengukuran kadar air (AOAC 1995) dan kadar air kritis yang ditandai dengan adanya perubahan pada bumbu.

Penentuan air terikat primer, sekunder dan tersier

Setelah diperoleh kadar air kesetimbangan untuk setiap aw maka dapat ditentukan air terikat primer, sekunder dan tersier.

Air terikat primer ditentukan dengan menggunakan model matematika isotermis sorpsi air BET, yang penerapannya hanya berlaku pada aw 0.05-0.60.

Persamaannya adalah aw

CMm C CMm M

a a

w

w 1 ( 1)

) 1 (

− + =

dimana: M adalah kadar air basis kering (%), Mm adalah kadar air monolayer (%), aw adalah aktivitas air, C adalah tetapan energi adsorpsi, yaitu dengan cara membuat kurva regresi antara kadar air kesetimbangan dengan aw. Kisaran aw yang digunakan adalah 0.07-0.43. Dari kurva regresi tersebut dihasilkan persamaan Y = a + bx. Dari persamaan tersebut nilai a disubstitusi menjadi 1/MPC dan nilai b menjadi (C-1)/MpC sehingga diperoleh nilai Mm sebagai air terikat primer (monolayer).


(55)

Air terikat sekunder ditentukan dengan menggunakan model persamaan logaritma. Persamaannya adalah log (1 - aw) = bM + a

dimana: M adalah kadar air (gr air/gr bahan kering) pada aktivitas air aw. Cara mencari air terikat sekunder adalah dengan cara membuat kurva regresi antara log (1-aw) dengan kadar air kesetimbangan. Persamaan regresi pertama diambil dari 4 data yaitu pada aw 0.32 hingga 0.75 sehingga diperoleh persamaan (misalnya Y1). Persamaan regresi kedua diambil dari 4 data juga yaitu dari aw 0.75 hingga 0.93 sehingga diperoleh persamaan (misalnya Y2). Pada kurva plot logaritma dihasilkan garis patah yang terdiri dari dua garis lurus dimana garis lurus pertama mewakili air terikat sekunder dan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier. Dengan menggunakan kedua persamaan tersebut, maka diperoleh titik potong keduanya yang menunjukkan batas air terikat sekunder.

Penentuan air terikat tersier dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu pendekatan model polinomial ordo 2, pendekatan ekstrapolasi dan pendekatan kuadratik. Perhitungan air terikat tersier model ordo 2 dilakukan dengan cara

membuat kurva polinomial ordo 2 antara kadar air kesetimbangan dengan aw

dimana aw yang adalah 0.84 sampai 0.93 sehingga diperoleh persamaan Y=ax2 + bx + c dimana Y adalah kadar air (% bk) dan x adalah aw, sehingga pada saat RH = 100% atau aw = 1 diperoleh air terikat tersier. Penentuan air terikat tersier dengan pendekatan ekstrapolasi dilakukan dengan menarik garis kurva ISA

sampai aw = 1 sehingga diperoleh nilai kadar air keseimbangan yang juga

menunjukkan besarnya fraksi air terikat tersier.

Penentuan Model Sorpsi Isotermis (Spiess dan Wolf 1987)

Persamaan yang dipilih adalah persamaan yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan yang mempunyai parameter kurang atau sama dengan tiga serta dapat digunakan pada jangkauan kelembaban relatif yang lebar (0-95%), sehingga dapat mewakili ketiga daerah pada kurva sorpsi isotermis. Persamaan tersebut adalah Hasley, Henderson, Caurie, Chen-Clayton dan Oswin.


(56)

Guna memudahkan perhitungan maka model-model persamaan matematis yang digunakan dimodifikasi bentuknya dari persamaan non linier menjadi persamaan linier.

Uji Ketepatan Model (Isse et al. 1983)

Untuk menguji ketepatan suatu persamaan sorpsi isotermis digunakan Mean Relative Determination (MRD)

MRD =

= − n i Mi Mpi Mi n 1 100

dimana Mi adalah kadar air percobaan, Mpi adalah kadar air hasil perhitungan, n adalah jumlah data.

Jika nilai MRD<5 maka model sorpsi isotermis itu dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya atau sangat tepat, jika 5<MRD<10 maka model tersebut agak tepat, dan jika MRD>10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya.

Umur Simpan

Pendugaan umur simpan berdasarkan kurva sorpsi isotermis menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Labuza (1982) yaitu:

ts = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − − b P W A x k M M M M Ln o s c e i e dimana :

ts = umur simpan produk (hari)

Me = kadar air kesetimbangan (%bk) Mi = kadar air awal (% bk)

Mc = kadar air kritis (%bk) Ws = berat solid (gr)


(1)

Lampiran 20c ANOVA warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6

Source DF Sum of

Squares

Mean Square

F Value Pr>F* Kemasan

Cara

Kemasan*Cara Error

2 1 2 12

0.09333333 0.06722222 0.00444444 0.08000000

0.04666667 0.06722222 0.00222222 0.00666667

7.00 10.08

0.33

0.0097 0.0080 0.7230 Corrected Total 17 0.24500000

R-Square Coeff Var Root MSE y1 Mean 0.673469 2.177324 0.081650 3.750000

Lampiran 20d Uji Duncan warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6

Duncan Grouping

Mean N Perlakuan

A A A A A B A B B C B C B C C C

3.86667 3.86667 3.76667

3.7000 3.7000 3.6000

3 3 3

3 3 3

A3B2 A2B2 A3B1

A2B1 A1B2 A1B1 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%

Lampiran 20d ANOVA warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8

Source DF Sum of

Squares

Mean Square

F Value Pr>F* Kemasan

Cara

Kemasan*Cara Error

2 1 2 12

0.25000000 0.10888889 0.00111111 0.06000000

0.12500000 0.10888889 0.00055556 0.00500000

25.00 21.78 0.11

<.0001 0.0005 0.8957 Corrected Total 17 0.4200000

R-Square Coeff Var Root MSE y1 Mean 0.857143 2.232969 0.070711 3.166667


(2)

Lampiran 20e Uji Duncan warna bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8

Duncan Grouping

Mean N Perlakuan

A B B B B B B C C C

3.40000 3.26667 3.16667 3.16667 3.0000 3.0000

3 3 3 3 3 3

A3B2 A3B2 A2B2 A1B2 A2B1 A1B1 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%


(3)

Lampiran 21 Kadar air bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan

Minggu

Perlakuan Ulangan 2 4 6 8

A1B1 1 8.19 9.87 11.55 13.61

A1B1 2 8.10 9.85 11.68 13.63

A1B1 3 8.38 9.92 11.45 13.72

A2B1 1 6.91 9.31 10.71 12.73

A2B1 2 6.89 9.25 10.65 12.78

A2B1 3 6.93 9.37 10.84 12.69

A3B1 1 5.89 6.20 6.71 7.32

A3B1 2 5.91 6.25 6.69 7.35

A3B1 3 5.80 6.18 6.73 7.39

A1B2 1 7.40 8.69 10.7 11.02

A1B2 2 7.42 8.76 10.95 11.05

A1B2 3 7.41 8.66 10.56 11.08

A2B2 1 6.94 7.32 8.18 9.15

A2B2 2 6.93 7.23 8.19 9.25

A2B2 3 6.96 7.40 9.1 9.10

A3B2 1 5.56 5.94 6.49 6.62

A3B2 2 5.61 5.90 6.51 6.59


(4)

Lampiran 22 ANOVA dan uji Duncan terhadap kadar air bumbu instan binthe biluhuta selama penyimpanan

Lampiran 22a ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-2

Source DF Sum of

Squares

Mean Square

F Value Pr>F* Kemasan

Cara

Kemasan*Cara Error

2 1 2 12

13.39870000 0.59405000 0.54403333 0.05526667

6.69935000 0.59405000 0.27201667 0.00460556

1454.62 128.99

59.06

<.0001 <.0001 <.0001 Corrected Total 17 14.59205000

R-Square Coeff Var Root MSE y1 Mean 0.996213 0.995320 0.067864 6.818333

Lampiran 22bUji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-2

Duncan Grouping

Mean N Perlakuan

A B C C C D E

8.22333 7.41000 6.94333

6.91000 5.86667 5.55667

3 3 3 3 3 3

A1B1 A1B2 A2B2 A2B1 A3B1 A3B2 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%

Lampiran 22c ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F Value Pr>F* Kemasan

Cara

Kemasan*Cara Error

2 1 2 12

32.19363333 5.78000000 2.33623333

0.0545333

16.09681667 5.78000000 1.16811667 0.00454444

3542.09 1271.88

257.04

<.0001 <.0001 <.0001 Corrected Total 17 40.36440000


(5)

Lampiran 22d Uji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-4

Duncan Grouping

Mean N Perlakuan

A B C D E F

9.88000 9.31000 8.70333

7.31667 6.21000 5.98000

3 3 3 3 3 3

A1B1 A2B1 A1B2 A2B2 A3B1 A3B2 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%

Lampiran 22e ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F Value Pr>F* Kemasan

Cara

Kemasan*Cara Error

2 1 2 12

66.74923333 3.37133889 1.33734444 0.13233333

33.37461667 3.37133889 0.66867222 0.01102778

3026.41 305.71

60.64

<.0001 <.0001 <.0001 Corrected Total 17 71.59025000

R-Square Coeff Var Root MSE y1 Mean 0.998152 1.137122 0.105013 9.235000

Lampiran 22f Uji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6

Duncan Grouping

Mean N Perlakuan

A B B B C D E

11.56000 10.73667 10.73333

9.18000 6.71000 6.49000

3 3 3 3 3 3

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%


(6)

Lampiran 22g ANOVA kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-8

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F Value Pr>F* Kemasan

Cara

Kemasan*Cara Error

2 1 2 12

72.05154444 49.23627222 17.84287778 0.0188667

36.02577222 49.23627222 8.92143889 0.0015722

22913.9 31316.4 5674.41

<.0001 <.0001 <.0001 Corrected Total 17 139.1495611

R-Square Coeff Var Root MSE y1 Mean 0.999864 0.413345 0.039651 9.592778

Lampiran 22h Uji Duncan kadar air bumbu instan binthe biluhuta pada Minggu ke-6

Duncan Grouping

Mean N Perlakuan

A B C D E F

13.65333 12.73333 10.04667 7.35333 7.15000 6.62000

3 3 3 3 3 3

A1B1 A2B2 A1B2 A2B1 A3B1 A3B2 Ket: Huruf yang tidak sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%