Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis

(1)

SKRIPSI

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

Oleh :

MONA FITRIA F24103015

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

Mona Fitria. F24103015. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi.

ABSTRAK

Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah popular di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Peningkatan kadar air produk akan menyebabkan menurunnya mutu produk biskuit. Karena produk biskuit tergolong pada produk yang mudah rusak akibat penyerapan air, maka pendugaan umur simpannya dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis.

Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras.

Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi.

Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 12-20 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan metallized plastic jauh lebih kecil daripada plastik PP tebal, sehingga umur simpan produk yang dikemas dengan metallized plastic lebih panjang daripada yang dikemas dengan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal.


(3)

Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat.

Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan.

Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.

Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%.


(4)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh MONA FITRIA

F 24103015

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(5)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh MONA FITRIA

F 24103015

Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Payakumbuh Taggal lulus : 13 Agustus 2007

Menyetujui, Bogor, Agustus 2007

Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Koto Kecil, Payakumbuh pada tanggal 18 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Zainal Idris dan Yulfina.

Penulis mengawali studinya di TK Cerdas Koto Kecil pada tahun 1990, dilanjutkan ke SDN 19 Koto Kecil, SLTPN 4 Guguk, SMUN 1 Suliki, dan selanjutnya diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang sekarang telah berubah nama menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Penulis aktif dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus. Dua tahun berturut-turut, penulis tergabung dalam kepengurusan HIMITEPA, sebagai staf Divisi Sosial Kemahasiswaan dan staf Divisi Public Relation. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Seminar dan Pelatihan HACCP (2005), Kongres Nasional I HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Nasional), Focus Group Discussion Formalin: Unnecessery Necessity (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain itu, penulis juga aktif berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu IPMM (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Minang) dan IKMP (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh).

Semasa kuliah penulis juga aktif dalam bidang akademik. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB dan Praktikum Kimia dan Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Pada tahun 2006, penulis berhasil masuk 6 besar Mahasiswa Berprestasi Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis adalah penerima beasiswa PPA (2005) dan beasiswa PERTAMINA-BP MIGAS (2006). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang mendapatkan dana bantuan dari Laboratorium Jasa Analisis (LJA), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan judul: Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis.


(7)

i KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis ini bisa diselesaikan dengan baik. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada:

1. Ibunda Yulfina, Ayahanda Zainal Idris, Uda Iin, dan semua keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

3. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukan bagi penulis.

4. Laboratorium Jasa Analisis Pangan (LJA) dan semua analis LJA (Mba Yane, Mba Ririn, dan Mba Yuli), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB atas kerja samanya dalam memberikan bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini.

5. Semua staf dosen, laboran, dan teknisi yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Sahabat-sahabat terbaikku: Ade, Wayan, Chietra, Zano, Aan, dan Widhi yang selalu ada in my bad and good time. Aku tiada arti disini tanpa kalian semua. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. You are my best friends.

7. Teman seperjuangan dalam pelaksanaan penelitian ini : Bos Fina dan Aji. “Fin, dari awal sampai akhir penelitian ini kita selalu bersama. Semoga kebersamaan ini tidak hanya sampai disini dan bisa berlanjut sampai kapan pun”. “Aji, terima kasih untuk kerjasamanya”.


(8)

8. Teman terbaikku: Nooy, Intan, Lala. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kebersamaan kita selama hampir 3 tahun di asrama, Darmaga Regency, dan kostan Fadhillah. Tidak sedikit suka duka yang kita lalui bersama. Thanks for all, I’ll never forget our friendship. 9. Teman-teman kostan ‘keluarga baru’ di kostan Mega : Mba Ririn,

Kamila ‘cantik’, Reni, Eno, Mpit, dan Esti yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian selama 1 tahun terakhir. 10. Teman-teman seperjuangan ‘perantau sejati’ dari IPMM dan IKMP :

Mudia, Inggit, Ayu, Dora, Eva, Rahmi, Adiak Amen, Tari, Rumah Qta crew, ex DR Q crew, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.. Thanks for the time that you’ve spent with me.

11. Teman-teman yang selalu mengingatkan di saat aku salah dan lalai: T’ Euis, Gading, Lasty, Angel, Mae, dan Asih. Semoga kita bisa selalu saling mengingatkan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya.

12. Mitoel, Tilo, Dion, Hendy, Lilin, Abdy, Gilang, Iin, Andiny, teman-teman di golongan A, teman-teman-teman-teman di HIMITEPA dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun terakhir ini.

13. Semua panelis yang telah menyediakan waktu dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

14. Kak Steisi, Mba Fafa, Mba Yayah, dan seluruh civitas ITP serta pihak lain yang telah ikut membantu dan memberi dukungan pada penulis.

Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang bisa menginspirasi penelitian-penelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih.

Bogor, Agustus 2007


(9)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Tujuan 4

C. Manfaat 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biskuit 5

B. Mutu dan Penurunan Mutu Biskuit 11

C. Aktivitas Air 12

D. Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis 14 E. Model Persamaan Sorpsi Isotermis 17

F. Kemasan 20

G. Umur Simpan 24

H. Metode Akselerasi 26

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat 31

B. Metode Penelitian 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis 40 B. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis 46 C. Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model 48


(10)

Halaman E. Perbedaan Tekanan Dalam dan Luar Kemasan 56

F. Variabel Umur Simpan Lainnya 57

G. Umur Simpan 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN 70

DAFTAR PUSTAKA 73


(11)

SKRIPSI

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

Oleh :

MONA FITRIA F24103015

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(12)

Mona Fitria. F24103015. Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi.

ABSTRAK

Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah popular di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Peningkatan kadar air produk akan menyebabkan menurunnya mutu produk biskuit. Karena produk biskuit tergolong pada produk yang mudah rusak akibat penyerapan air, maka pendugaan umur simpannya dilakukan dengan pendekatan kadar air kritis.

Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan metode akselerasi berdasarkan pendekatan kadar air kritis dan selanjutnya membandingkan metode pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan metode kadar air kritis termodifikasi. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya. Sampel yang digunakan dalam penelitian ada dua jenis yaitu biskuit adonan lunak dan adonan keras.

Rangkaian penelitian yang dilakukan diawali dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan untuk selanjutnya memperoleh kurva sorpsi isotermis, permeabilitas kemasan, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, serta pengukuran variabel umur simpan lainnya. Semua variabel di atas akan digunakan untuk menghitung umur simpan biskuit dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi.

Berdasarkan hasil perhitungan, umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi merupakan angka yang masih masuk akal (sekitar 23-28 bulan pada RH 75%), tapi lebih besar dari umur simpan yang diperoleh dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis (sekitar 12-20 bulan pada RH 75% dengan berbagai nilai slope kurva sorpsi isotermis). Angka umur simpan yang diperoleh berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi cenderung terlalu besar untuk produk biskuit karena produk biskuit biasanya memiliki umur simpan sekitar 12-18 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan sangat mempengaruhi umur simpan produk. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan umur simpan yang menggunakan dua kemasan yang berbeda, yaitu metallized plastic dan plastik PP tebal. Permeabilitas kemasan metallized plastic jauh lebih kecil daripada plastik PP tebal, sehingga umur simpan produk yang dikemas dengan metallized plastic lebih panjang daripada yang dikemas dengan plastik PP tebal. Jenis biskuit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap umur simpan biskuit. Hal ini dapat dilihat dari umur simpan kedua jenis biskuit bila dikemas dengan kemasan yang sama yaitu PP tebal.


(13)

Nilai slope kurva sorpsi isotermis juga sangat mempengaruhi nilai umur simpan. Untuk biskuit jenis adonan lunak, nilai slope 1 dan 2 berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan (tanggal kadaluarsa) yang tercantum pada label. Umur simpan biskuit adonan keras ditentukan berdasarkan dua model persamaan sorpsi isotermis, yaitu model Caurie dan model GAB. Umur simpan berdasarkan model GAB pada berbagai nilai slope memberikan nilai yang lebih sesuai dengan tanggal kadaluarsa pada label, tapi nilai slope 2 menunjukkan umur simpan yang paling sesuai dengan umur simpan yang tercantum pada label. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan slope 1 dan slope 2 dalam menduga umur simpan biskuit berdasarkan model GAB memberikan nilai umur simpan yang lebih tepat.

Secara umum, pendekatan kurva sorpsi isotermis merupakan metode yang lebih tepat untuk menentukan umur simpan biskuit karena produk biskuit memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid, meskipun tidak sigmoid sempurna. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Labuza (1982), bahwa produk yang memiliki kurva sorpsi isotermis ditentukan umur simpannya dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Faktor utama yang mempengaruhi umur simpan biskuit secara umum adalah jenis kemasan, kondisi kelembaban ruang penyimpanan, kadar air awal, kadar air kritis, dan kadar air kesetimbangan.

Selain membandingkan kedua pendekatan di atas, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan metode, yaitu metode penentuan kadar air kritis. Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Dari penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa tahapan ini memiliki keuntungan yaitu mudah dilakukan, efektif, efisien, dan tidak membutuhkan biaya yang tinggi.

Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis biskuit adonan lunak akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 60%, sedangkan jenis biskuit adonan keras akan mencapai kadar air kritis pada saat persentase penurunan kerenyahannya sekitar 50%.


(14)

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh MONA FITRIA

F 24103015

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(15)

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENDUGAAN UMUR SIMPAN

PRODUK BISKUIT DENGAN METODE AKSELERASI BERDASARKAN PENDEKATAN KADAR AIR KRITIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh MONA FITRIA

F 24103015

Dilahirkan pada tanggal 18 Mei 1985 di Payakumbuh Taggal lulus : 13 Agustus 2007

Menyetujui, Bogor, Agustus 2007

Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Koto Kecil, Payakumbuh pada tanggal 18 Mei 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, anak dari pasangan Zainal Idris dan Yulfina.

Penulis mengawali studinya di TK Cerdas Koto Kecil pada tahun 1990, dilanjutkan ke SDN 19 Koto Kecil, SLTPN 4 Guguk, SMUN 1 Suliki, dan selanjutnya diterima di Departemen Teknologi Pangan dan Gizi yang sekarang telah berubah nama menjadi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Penulis aktif dalam berbagai organisasi ekstra dan intra kampus. Dua tahun berturut-turut, penulis tergabung dalam kepengurusan HIMITEPA, sebagai staf Divisi Sosial Kemahasiswaan dan staf Divisi Public Relation. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Seminar dan Pelatihan HACCP (2005), Kongres Nasional I HMPPI (Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Nasional), Focus Group Discussion Formalin: Unnecessery Necessity (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Selain itu, penulis juga aktif berkecimpung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA), yaitu IPMM (Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Minang) dan IKMP (Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh).

Semasa kuliah penulis juga aktif dalam bidang akademik. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia TPB dan Praktikum Kimia dan Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Pada tahun 2006, penulis berhasil masuk 6 besar Mahasiswa Berprestasi Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis adalah penerima beasiswa PPA (2005) dan beasiswa PERTAMINA-BP MIGAS (2006). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang mendapatkan dana bantuan dari Laboratorium Jasa Analisis (LJA), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB dengan judul: Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis.


(17)

i KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pendugaan Umur Simpan Produk Biskuit Dengan Metode Akselerasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis ini bisa diselesaikan dengan baik. Selesainya penelitian ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada:

1. Ibunda Yulfina, Ayahanda Zainal Idris, Uda Iin, dan semua keluarga besar yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat, dan telah mengajarkan arti hidup yang sebenarnya sehingga penulis bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc dan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini dengan baik.

3. Ir. Elvira Syamsir, MSi sebagai dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberi banyak masukan bagi penulis.

4. Laboratorium Jasa Analisis Pangan (LJA) dan semua analis LJA (Mba Yane, Mba Ririn, dan Mba Yuli), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB atas kerja samanya dalam memberikan bantuan dana dan fasilitas dalam pelaksanaan penelitian ini.

5. Semua staf dosen, laboran, dan teknisi yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Sahabat-sahabat terbaikku: Ade, Wayan, Chietra, Zano, Aan, dan Widhi yang selalu ada in my bad and good time. Aku tiada arti disini tanpa kalian semua. Kalian semua telah menorehkan warna indah dalam hidupku. You are my best friends.

7. Teman seperjuangan dalam pelaksanaan penelitian ini : Bos Fina dan Aji. “Fin, dari awal sampai akhir penelitian ini kita selalu bersama. Semoga kebersamaan ini tidak hanya sampai disini dan bisa berlanjut sampai kapan pun”. “Aji, terima kasih untuk kerjasamanya”.


(18)

8. Teman terbaikku: Nooy, Intan, Lala. Terima kasih untuk semua kebaikan dan kebersamaan kita selama hampir 3 tahun di asrama, Darmaga Regency, dan kostan Fadhillah. Tidak sedikit suka duka yang kita lalui bersama. Thanks for all, I’ll never forget our friendship. 9. Teman-teman kostan ‘keluarga baru’ di kostan Mega : Mba Ririn,

Kamila ‘cantik’, Reni, Eno, Mpit, dan Esti yang telah memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan perhatian selama 1 tahun terakhir. 10. Teman-teman seperjuangan ‘perantau sejati’ dari IPMM dan IKMP :

Mudia, Inggit, Ayu, Dora, Eva, Rahmi, Adiak Amen, Tari, Rumah Qta crew, ex DR Q crew, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.. Thanks for the time that you’ve spent with me.

11. Teman-teman yang selalu mengingatkan di saat aku salah dan lalai: T’ Euis, Gading, Lasty, Angel, Mae, dan Asih. Semoga kita bisa selalu saling mengingatkan untuk mendapatkan rahmat dan ridha-Nya.

12. Mitoel, Tilo, Dion, Hendy, Lilin, Abdy, Gilang, Iin, Andiny, teman-teman di golongan A, teman-teman-teman-teman di HIMITEPA dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 4 tahun terakhir ini.

13. Semua panelis yang telah menyediakan waktu dan ikut berpartisipasi dalam penelitian ini.

14. Kak Steisi, Mba Fafa, Mba Yayah, dan seluruh civitas ITP serta pihak lain yang telah ikut membantu dan memberi dukungan pada penulis.

Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian awal yang bisa menginspirasi penelitian-penelitian berikutnya yang lebih baik. Terima kasih.

Bogor, Agustus 2007


(19)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Tujuan 4

C. Manfaat 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biskuit 5

B. Mutu dan Penurunan Mutu Biskuit 11

C. Aktivitas Air 12

D. Kadar Air Kesetimbangan dan Sorpsi Isotermis 14 E. Model Persamaan Sorpsi Isotermis 17

F. Kemasan 20

G. Umur Simpan 24

H. Metode Akselerasi 26

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat 31

B. Metode Penelitian 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kadar Air Awal dan Kadar Air Kritis 40 B. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis 46 C. Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model 48


(20)

Halaman E. Perbedaan Tekanan Dalam dan Luar Kemasan 56

F. Variabel Umur Simpan Lainnya 57

G. Umur Simpan 61

V. KESIMPULAN DAN SARAN 70

DAFTAR PUSTAKA 73


(21)

v DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI 01-2973-1992 5

Tabel 2. Penyimpangan Produk Akhir Biskuit dan Penyebabnya 6

Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air 16

Tabel 4. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan lunak pada berbagai kondisi penyimpanan 42

Tabel 5. Kadar air, nilai kerenyahan, dan skor kesukaan biskuit adonan keras pada berbagai kondisi penyimpanan 43

Tabel 6. RH larutan garam jenuh pada suhu 30 oC 46

Tabel 7. Kadar air kesetimbangan (me) biskuit adonan lunak dan adonan keras dan waktu tercapainya pada berbagai RH penyimpanan 48

Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak 49

Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras 50

Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan 51

Tabel 11. Nilai aw minimum pertumbuhan berbagai mikroorganisme 54

Tabel 12. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan 61

Tabel 13. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan 62

Tabel 14. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 63

Tabel 15. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model Caurie 64

Tabel 16. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan metallized plastic pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 65

Tabel 17. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras dengan kemasan PP tebal pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan model GAB 66 Tabel 18. Perhitungan umur simpan biskuit adonan lunak pada beberapa RH


(22)

Tabel 19. Perhitungan umur simpan biskuit adonan keras pada beberapa RH penyimpanan berdasarkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi 69


(23)

vii DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum 11 Gambar 2. Kurva sorpsi isothermis secara umum 16 Gambar 3. Diagram alir metode penelitian 33 Gambar 4. Prinsip kerja Permatran W*3/31 38 Gambar 5. Parameter kritis kerusakan produk biskuit 41 Gambar 6. Hubungan kadar air dan skor kesukaan biskuit adonan lunak dan

adonan keras 43 Gambar 7. Hubungan nilai kerenyahan dan skor kesukaan biskuit adonan lunak

dan adonan keras 44

Gambar 8. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak dan adonan keras 48 Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB 52 Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie 52 Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB 53 Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak

berdasarkan model GAB 58

Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model

Caurie dan GAB 58

Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak

berdasarkan model GAB 59

Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras

berdasarkan model Caurie 59

Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Form survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 76 Lampiran 2. Hasil survei atribut utama penyebab kerusakan biskuit 77 Lampiran 3. Form pengujian organoleptik biskuit 78 Lampiran 4. Setting alat texture analyzer untuk pengujian nilai kerenyahan 79 Lampiran 5. Modifikasi model sorpsi isotermis dari persamaan non linear

menjadi persamaan linear 80

Lampiran 6. Contoh perhitungan mencari konstanta model persamaan sorpsi

isotermis 82

Lampiran 7. Modifikasi persamaan dan contoh perhitungan mencari nilai

konstanta persamaan GAB 83

Lampiran 8. Kadar air kesetimbangan biskuit adonan lunak dan adonan keras berdasarkan model-model persamaan model sorpsi isotermis 85 Lampiran 9. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model-model persamaan untuk

biskuit adonan lunak dan adonan keras 86 Lampiran 10. Contoh perhitungan nilai MRD 90 Lampiran 11. Komposisi biskuit adonan lunak dan adonan keras 91


(25)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Informasi umur simpan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan oleh produsen pada kemasan produk pangan. Pencantuman informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan keamanan produk pangan tersebut dan untuk menghindari pengkonsumsian pada saat kondisi produk sudah tidak layak dikonsumsi. Kewajiban produsen untuk mencantumkan informasi umur simpan ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Pangan tahun 1996 serta PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, dimana setiap industri pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa (umur simpan) pada setiap kemasan produk pangan (Setiawan, 2005).

Informasi umur simpan produk sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual, dan distributor. Konsumen tidak hanya mengetahui tingkat kesegaran dan keamanan produk, melainkan juga menjadi petunjuk bagi perubahan citarasa, penampakan dan kandungan gizi produk tersebut. Bagi produsen, informasi umur simpan merupakan bagian dari konsep pemasaran produk yang penting secara ekonomi dalam hal pendistribusian produk serta berkaitan dengan usaha pengembangan jenis bahan pengemas yang digunakan. Bagi penjual dan distributor informasi umur simpan sangat penting dalam hal penanganan stok barang dagangannya.

Umur simpan atau masa kadaluarsa merupakan suatu parameter ketahanan produk selama penyimpanan. Salah satu kendala yang selalu dihadapi oleh industri dalam pendugaan umur simpan suatu produk adalah masalah waktu, karena bagi produsen hal ini akan mempengaruhi jadwal peluncuran suatu produk pangan. Karena itu, metode pendugaan umur simpan yang dipilih harus metode yang paling cepat, mudah, memberikan hasil yang tepat, dan sesuai dengan karakteristik produk pangan yang bersangkutan.

Pendugaan umur simpan produk dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode akselerasi. Metode konvensional membutuhkan


(26)

waktu yang lama dan biaya yang mahal karena pendugaan umur simpan dilakukan dalam kondisi normal sehari-hari. Namun demikian, metode ini sangat akurat dan tepat. Metode akselerasi dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat karena penentuan umur simpan ini dilakukan pada kondisi percobaan yang ekstrim (suhu tinggi, kelembaban di atas atau di bawah kondisi normal penyimpanan) sehingga mempercepat proses penurunan mutu produk. Dengan ekstrapolasi, kecepatan penurunan mutu bisa dihitung berdasarkan persamaan matematis. Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif lebih singkat, namun tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tepat (Arpah, 2001).

Penerapan metode akselerasi perlu memperhatikan karakteristik dan penyebab kerusakan produk yang akan ditentukan umur simpannya. Metode akselerasi dapat dilakukan dengan pendekatan model Arrhenius dan model kadar air kritis. Model Arrhenius biasanya digunakan untuk produk yang sensitif terhadap perubahan suhu penyimpanan, sedangkan model kadar air kritis biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak karena penyerapan air dari lingkungan selama penyimpanan. Model kadar air kritis memiliki dua pendekatan, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan kadar air kritis termodifikasi (Kusnandar, 2006).

Produk biskuit merupakan salah satu jenis produk kering yang sudah populer di pasaran dan banyak digemari oleh konsumen. Biskuit tergolong makanan yang tidak mudah rusak dan mempunyai umur simpan yang relatif lama karena kadar airnya yang relatif rendah (Manley, 1983; Matz dan Matz , 1978). Biskuit memiliki tekstur renyah dan parameter kerenyahan ini sangat terkait dengan kadar air produk. Perubahan kadar air produk selama penyimpanan akibat penyerapan uap air dari lingkungan akan menyebabkan perubahan karakteristik utama produk yaitu kerenyahan.

Karakteristik kerenyahan produk dapat dipertahankan dengan sistem pengemasan yang benar. Pemilihan bahan kemasan yang tepat sangat menentukan mutu produk biskuit dalam kemasan. Pengetahuan tentang pola penyerapan air dan kadar air kritis produk dapat dijadikan dasar dalam penentuan umur simpan produk. Karena produk yang dipilih adalah biskuit


(27)

3 yang mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar air, maka metode pendugaan umur simpan yang dipilih adalah pendekatan kadar air kritis.

Mengingat pentingnya nilai umur simpan bagi berbagai pihak, maka penelitian umur simpan dan kajian metode pendugaan umur simpan terhadap produk biskuit ini dianggap penting untuk dilakukan. Melalui penelitian ini dilakukanlah pendugaan umur simpan biskuit dengan menggunakan dua model kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta membandingkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Secara teori pemilihan penggunaan kedua pendekatan tersebut didasarkan pada karakteristik mutu dari produk pangan yang digunakan. Produk pangan kering seperti biskuit yang memiliki kurva sorpsi isotermis dapat diduga umur simpannya dengan menggunakan pendekatan kurva sorpsi isotermis, sedangkan produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi seperti permen dapat diduga umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi. Penelitian ini ingin melihat kebenaran teori di atas untuk produk biskuit pada umumnya sehingga digunakanlah dua jenis biskuit yang berbeda. Selain itu, diharapkan pendekatan kadar air kritis termodifikasi dapat digunakan untuk produk biskuit sehingga pendugaan umur simpan biskuit dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis.

Tahapan metode yang dikembangkan adalah metode penentuan kadar air kritis dengan menyimpan sampel secara terbuka pada suhu ruang dan dibiarkan hingga sampel rusak. Cara umum yang dilakukan dalam metode penentuan kadar air kritis adalah dengan cara menyimpan produk tanpa kemasan dalam chamber dengan berbagai nilai RH yang terukur dan terkondisikan dengan baik hingga sampel rusak. Cara ini membutuhkan alat yang cukup banyak dan menggunakan larutan garam jenuh yang memerlukan biaya tinggi. Selain itu, melalui penelitian ini juga dikembangkan metode pengukuran tekstur (kerenyahan) biskuit dengan menggunakan alat texture analyzer pada sampel yang telah diberi perlakuan penyimpanan sehingga nilai kerenyahan pada saat kadar air kritis tercapai dapat diketahui. Sasaran yang diharapkan dari pengembangan metode ini adalah parameter kritis dapat


(28)

diketahui dengan melihat kerenyahan biskuit secara objektif tanpa melakukan uji organoleptik. Secara umum sasaran yang ingin dicapai penelitian ini adalah diperolehnya metode yang sesuai, cepat, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.

B. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan menduga umur simpan produk biskuit pada umumnya yang sudah ada di pasaran dengan dua pendekatan kadar air kritis, yaitu pendekatan kurva sorpsi isotermis dan pendekatan kadar air kritis termodifikasi serta selanjutnya membandingkan umur simpan berdasarkan kedua pendekatan tersebut. Selain itu, melalui penelitian ini dilihat pula pengaruh bahan kemasan, nilai slope kurva sorpsi isotermis, dan kelembaban relatif lingkungan terhadap umur simpan produk. Tujuan lain yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah diperolehnya tahapan metode yang efektif, efisien, dan ekonomis dalam pendugaan umur simpan produk biskuit pada umumnya.

C. MANFAAT PENELITIAN

1. Mengetahui perbandingan umur simpan biskuit yang ditentukan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis dengan umur simpan yang ditentukan dengan pendekatan kadar air termodifikasi sehingga dapat diketahui metode yang sesuai dan dapat diaplikasikan untuk menduga umur simpan produk biskuit secara umum.

2. Mengetahui nilai umur simpan produk biskuit pada umumnya, dimana umur simpan ini sangat penting karena terkait dengan keamanan produk.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.BISKUIT

Biskuit adalah salah satu jenis kue kering (cookies), yang terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al., 1978), dan diproses dengan proses pemanggangan sampai kadar air produk tidak lebih dari 5 % (BSN, 1992). Di dalam SNI 01-2973-1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit, biskuit didefinisikan sebagai sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama dan mudah dibawa karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Matz dan Matz, 1978). Biskuit dicirikan oleh tingginya kadar gula dan shortening serta rendahnya kandungan air dalam adonan (Faridi dan Faubion, 1990). Apabila dikemas produk biskuit akan terlindung dari kelembaban dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000).

Menurut Whiteley (1971), suatu produk disebut biskuit bila 40% dari bahan utamanya merupakan serealia seperti gandum, jagung, oat, atau barley dan kadar air produk tidak lebih dari 5 %. Syarat mutu biskuit dapat ditemukan dalam SNI 01 – 2973 – 1992 tentang Mutu dan Cara Uji Biskuit seperti yang tercantum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992

Komponen Satuan Spesifikasi

Air % b/b Maks. 5,0

Protein % b/b Min. 9,0

Lemak % b/b Min. 9,5

Karbohidrat % b/b Min. 70,0

Abu % b/b Maks. 1,5

Logam - Negatif

Kalori Kal/ g Min. 400,0

Serat kasar % b/b Maks. 0,5

Jenis tepung - Terigu

Bau dan rasa - Normal, tidak tengik

Warna - Normal


(30)

Mutu biskuit tergantung pada beberapa hal, yaitu komponen penyusunnya dan penanganan bahan sebelum serta sesudah produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi karena penggunaan bahan yang tidak proporsional atau cara pembuatan yang tidak tepat (Vail et al., 1978). Tabel 2 berikut ini menyajikan jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi pada produk biskuit dan penyebab terjadinya penyimpangan tersebut.

Tabel 2. Penyimpangan produk akhir biskuit dan penyebabnya

Penyimpangan Penyebab

Keras Kurang lemak

Kurang air dan terlalu banyak campuran Warna pucat Proporsi bahan kurang tepat dan kurang air

Oven kurang panas Bentuk tidak rata Pencampuran tidak rata

Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata

Warna tidak rata Bentuk tidak merata Panas tidak merata

Hambar dan berat Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros Pencampuran tidak tepat

Keras dan kering Adonan terlalu keras dan kenyal Pemanggangan terlalu lama Permukaan keras Pemanggangan terlalu lama

Suhu oven terlalu tinggi Berminyak dan rapuh Terlalu banyak lemak Sumber : Vail et al., 1978

1. Bahan Pembuat Biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan pengikat (binding material) dan bahan pelembut (tenderizing material). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu bubuk, putih telur, dan cocoa. Bahan pelembut terdiri dari gula, lemak atau minyak (shortening), bahan pengembang, dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978). Bahan baku utama dalam pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak, dan lemak, sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi (Matz dan Matz, 1978).


(31)

7 Biskuit yang baik menggunakan terigu lunak sebagai bahan dasarnya. Terigu lunak memiliki kadar protein sekitar 8% dan kandungan glutennya tidak terlalu tinggi (Vail et al., 1978). Tepung terigu dalam pembuatan biskuit berperan sebagai pembentuk adonan selama pencampuran, pengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya, pengikat gas selama proses fermentasi, dan pembentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz, 1978).

Gula digunakan dalam pembuatan biskuit sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor, dan pembentuk warna pada permukaan biskuit. Jenis gula yang biasa ditambahkan adalah gula pasir atau sirup glukosa. Jumlah gula yang ditambahkan sangat mempengaruhi tekstur dan penampakan produk akhir sepeti warna (Matz dan Matz, 1978).

Lemak dan minyak dalam biskuit akan melunakkan dan menghaluskan tekstur, membuat struktur yang elastis, memberi cita rasa khas biskuit. Keberadaan lemak dan minyak di dalam biskuit membuat biskuit cepat melunak di dalam mulut. Lemak dan minyak alami yang sering digunakan antara lain, lemak sapi, minyak kedelai, dan minyak kelapa. Lemak nabati lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus (Matz dan Matz, 1978).

Bahan lain seperti telur berfungsi sebagai pengemulsi, peningkat flavor, warna, dan kelembutan. Selain itu, kerenyahan biskuit akan bertambah dengan adanya penambahan telur. Bahan pengembang ditambahkan untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2. Gas akan

dilepaskan selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna. Adanya bahan pengembang juga dapat mencegah penyusutan dan menyeragamkan remah. Bahan pengembang yang sering digunakan adalah ammonium bikarbonat (Matz dan Matz, 1978).

2. Klasifikasi Biskuit

Produk biskuit dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa sifat, yaitu berdasarkan tekstur (kekerasan), perubahan bentuk akibat pemanggangan, ekstensibilitas (sifat) adonan, dan pembentukan produk


(32)

(Manley, 1983). Menurut sifat adonan, biskuit dibedakan menjadi adonan lunak, keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat efek dari lemak (shortening) dan efek dari pelunakan oleh gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai pada batas tertentu dengan penambahan air. Adonan fermentasi mengalami pengembangan gluten penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan pengembangan tersebut. Sebagai akibatnya, terjadi penyusutan panjang produk setelah pencetakan dan pembakaran (Soenaryo, 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%. Produk yang tergolong jenis ini adalah cookies, snap, biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe, dan biskuit kacang. Adonan lunak dibuat dengan mengocok lemak dan gula sampai membentuk krim. Selama dikocok perisa dan pewarna dimasukkan ke dalam krim. Pengembang dan garam dilarutkan dulu dengan air atau susu cair dan selanjutnya dicampurkan dengan krim. Tepung terigu ditambahkan di akhir proses pencampuran (Soenaryo, 1985).

Jenis adonan keras dibuat dengan cara yang hampir sama dengan adonan lunak, akan tetapi waktu pencampuran diperpanjang dan ditambahkan sodium metabisulfit untuk mereduksi pengembangan gluten. Adonan keras akan mengalami aging (penuaan) setelah adonan terbentuk dan biasanya dibutuhkan waktu 15 menit untuk tahapan aging, tergantung pada jenis bahan pengembang. Pada adonan keras ini terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, bahan pengembang, dan pendispersian lemak ke seluruh bagian adonan. Jenis adonan keras mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%. Contoh produknya adalah biskuit marie, biskuit setengah manis, dan biskuit tidak manis (Soenaryo, 1985). Lain halnya dengan adonan fermentasi, adonan tersebut memiliki kadar gula rendah, kadar lemak 25-30%, dan tingkat kerenyahannya tertentu. Contoh produk jenis adonan fermentasi adalah biskuit crackers (Soenaryo, 1985).


(33)

9

3. Proses Pembuatan Biskuit

Proses pembuatan biskuit terdiri dari tiga tahap, yaitu pembentukan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan biasanya berbeda-beda tergantung jenis adonan yang akan dibuat. Menurut Manley (1983), metode dasar pencampuran adonan dibagi menjadi dua yaitu, metode krim (creaming method) dan metode all in. Pembuatan adonan dengan metode krim dilakukan secara bertahap. Awalnya lemak dan gula dicampur sehingga membentuk krim yang homogen dan selama pembuatan krim bisa pula ditambahkan pewarna dan perisa (essence). Selanjutnya ditambahkan susu, bahan pengembang, dan garam yang telah dilarutkan dengan air. Pada tahap akhir ditambahkan tepung terigu ke dalam adonan dan dilakukan pengadukan sampai terbentuk adonan yang cukup mengembang dan mudah dibentuk. Metode krim ini akan menghasilkan adonan yang sifat pengembangan glutennya tidak berlebihan dan terbatas (Matz dan Matz, 1978). Lain halnya dengan metode all in, semua bahan dicampur bersamaan lalu diaduk sampai membentuk adonan. Metode ini lebih cepat, namun adonan yang dihasilkan lebih padat dan keras.

Setelah adonan dibuat, adonan tersebut akan mengalami proses

aging selama ± 15 menit, tergantung jenis bahan pengembang yang digunakan. Aging diperlukan untuk memberi kesempatan pada bahan pengembang untuk bekerja efektif. Selanjutnya dilakukan pencetakan terhadap adonan yang sebelumnya telah ditipiskan sampai mencapai ketebalan tertentu. Bentuk dan ukuran biskuit diusahakan seragam karena hal ini dapat membantu proses pemanggangan. Untuk menghindari kelengketan antara adonan dan alat, permukaan adonan diberi tepung. Adonan yang telah dicetak tersebut ditata di atas loyang yang telah diolesi lemak lalu dipanggang. Pengolesan lemak bertujuan untuk menghindari lengketnya biskuit pada loyang setelah dipanggang.

Pemanggangan merupakan tahap pemasakan adonan. Selama pemanggangan terjadi beberapa perubahan, yaitu penurunan densitas, terbentuknya tekstur yang porous, penurunan kadar air, dan perubahan warna karena adanya reaksi Maillard dan karamelisasi. Selain itu, pati akan


(34)

mengalami gelatinisasi dan protein mengalami denaturasi, gas CO2 dan

komponen aroma dibebaskan.

Pemanggangan segera dilakukan setelah pencetakan. Selama pemanggangan akan terbentuk struktur biskuit akibat adanya gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat dari kenaikan suhu. Ketebalan biskuit akan meningkat 4 - 5 kali dan kadar air akan menurun dari 21% menjadi kurang dari 5%. Pemanggangan biskuit dilakukan dengan oven selama 2,5 sampai 30 menit, tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Biasanya biskuit dipanggang pada suhu ± 350 oF (177 oC) selama ± 10 menit. Suhu dan lama pemanggangan akan menentukan kadar air akhir biskuit yang dihasilkan. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dibakar pada suhu yag lebih tinggi, yaitu 177-204 oC (Matz dan Matz, 1978).

Faktor-faktor yang perlu dikendalikan pada proses pemanggangan adalah suhu, waktu, serta sirkulasi udara di dalam oven. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan biskuit menjadi hangus di bagian luar tetapi bagian dalam belum matang. Sedangkan suhu yang terlalu rendah menyebabkan pemanggangan terlalu lama sehingga biskuit akan menjadi kering karena penguapan air yang terlalu banyak. Selain itu, rasa dan aroma juga banyak berkurang.

Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mendapatkan tekstur yang keras akibat memadatnya gula dan lemak. Biskuit dikemas untuk melindunginya dari kerusakan dan penyimpangan mutu. Menurut Manley (1983), biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen. Oleh karena itu, bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap komponen volatil terutama bau-bauan, kedap terhadap sinar matahari, dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis. Bahan pengemas yang dapat digunakan diantaranya plastik, alumunium foil, kertas minyak, karton berlipat, dan kaleng berbentuk persegi dan bulat. Bahan kemasan diatas dapat berperan sebagai kemasan primer atau sekunder. Berikut ini adalah diagram alir pembuatan biskuit secara umum.


(35)

11 di-mixing

di-aging

dicetak dipanggang didinginkan dikemas

Gambar 1. Metode pembuatan biskuit secara umum (Soenaryo, 1985)

B.MUTU DAN PENURUNAN MUTU BISKUIT

Mutu biskuit akan menurun seiring dengan bertambahnya umur produk. Selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi, mutu produk pangan akan mengalami perubahan karena adanya interaksi dengan berbagai faktor. Reaksi penurunan mutu suatu produk makanan dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik (lingkungan) meliputi udara, oksigen, uap air, cahaya, dan suhu, sedangkan faktor intrinsik meliputi komposisi produk. Keadaan lingkungan akan memicu reaksi dalam produk, seperti reaksi kimia, reaksi enzimatis, dan penyerapan uap air atau gas.

Biskuit memiliki kadar air dan aw yang rendah sehingga teksturnya

menjadi renyah. Faktor utama yang menyebabkan penurunan mutu produk biskuit adalah meningkatnya kadar air yang sangat erat kaitannya dengan tingkat kerenyahan produk. Biskuit mempunyai kadar air awal sebesar 1.5-2.5% (Vail et al., 1978).

Makanan kering pada umumnya termasuk biskuit mengalami kerusakan apabila menyerap uap air berlebihan. Kerusakan akibat air ini cukup kompleks karena dapat melibatkan berbagai jenis reaksi kerusakan yang sensitif terhadap perubahan aw. Beberapa reaksi dapat berlangsung secara

spontan seperti reaksi pencoklatan non-enzimatis, perubahan organoleptik, Bahan pembuat biskuit


(36)

kehilangan atau kerusakan vitamin, oksidasi lipida, dan reaksi pembentukan

off-flavor.

Kerusakan produk biskuit sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Kerenyahan produk kering akan menurun dengan meningkatnya aw

produk. Apabila aw mencapai 0.35 - 0.50 maka kerenyahan yang menjadi

kekhasan produk akan hilang. Hal ini disebabkan oleh kegiatan air yang melarutkan dan melunakkan matrik pati atau protein yang terkandung pada sebagian besar produk pangan (Vail et al., 1978).

C.AKTIVITAS AIR

Istilah aktivitas air (aw) digunakan untuk menggambarkan kondisi air

dalam bahan pangan. Istilah ini menunjukkan jumlah air yang tidak terikat atau bebas dalam sistem dan dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi. Aktivitas air merupakan faktor kunci bagi pertumbuhan mikroba, produksi racun, reaksi enzimatis, dan reaksi kimia lainnya (Mercado dan Canovas, 1996). Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari beberapa komponen.

Menurut Winarno (2004), istilah yang umum dipakai untuk air yang terdapat dalam bahan pangan adalah air terikat. Istilah ini sebenarnya kurang tepat karena keterikatan air dalam bahan pangan berbeda-beda bahkan ada air yang tidak terikat. Menurut derajat keterikatannya, air dibagi dalam empat tipe, yaitu tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Tipe I adalah molekul air yang terikat pada molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar, tetapi sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Tipe II merupakan molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain yang terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan penurunan aw. Tipe III adalah air

yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni (Winarno,


(37)

13 2004). Apabila air dalam bahan pangan terikat kuat dengan komponen bukan air, maka air tersebut lebih sukar digunakan untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolitik (Syarief dan Halid, 1993).

Kadar air dalam bahan pangan berkaitan erat dengan daya awet produk. Pengurangan air baik dalam pengeringan atau penambahan bahan lain bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan kimiawi maupun mikrobilologi (Fennema, 1985). Aktivitas air merupakan faktor penting yang mempengaruhi kestabilan makanan kering selama penyimpanan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam penentuan umur simpan suatu produk pangan karena faktor ini akan mempengaruhi sifat fisik, sifat fisiko-kimia, perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis, dan perubahan enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah. Sifat-sifat yang dimaksud di atas diantaranya, kekerasan, kekeringan, dan pencoklatan non-enzimatis (Winarno dan Jenie, 1983).

Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas adalah sebagai berikut:

1. Pada selang aktivitas air sekitar 0.7 – 0.75 atau lebih, mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun.

2. Pada selang aktivitas air sekitar 0.6 – 0.7, jamur dapat mulai tumbuh. 3. Aktivitas air sekitar 0.35 – 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang

kerenyahannya.

4. Pada selang aktivitas air 0.4 – 0.5, produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis.

Secara matematis, aktivitas air (aw) dari suatu bahan pangan

dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan (Pf) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama. Persamaannya

adalah sebagai berikut: aw = Pf


(38)

Dalam keadaan setimbang, aktivitas air sering dihubungkan dengan kelembaban relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) dari lingkungan, yaitu kelembaban udara saat terjadinya kadar air kesetimabangan sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:

aw = ERH

100

Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan

ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air dalam pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas air, sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif dan kelembaban mutlak. Bertambah atau berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung pada ERH lingkungannya.

D.KADAR AIR KESETIMBANGAN DAN SORPSI ISOTERMIS

Kadar air kesetimbangan adalah kadar air suatu bahan setelah berada pada kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1992). Menurut Fellows (1990), kadar air kesetimbangan merupakan kadar air bahan pangan ketika tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya dimana produk sudah tidak mengalami perubahan atau pengurangan bobot produk. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan Heldman dan Singh (1981) bahwa kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air bahan dalam kondisi setimbang dengan lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar air kesetimbangan dinyatakan sebagai kelembaban relatif kesetimbangan (equilibrium relative humidity).

Kadar air kesetimbangan penting untuk menentukan bertambah atau berkurangnya kadar air bahan pada kondisi suhu tertentu. Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif bahan pangan maka bahan tersebut akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan air yang dikandungnya (desorpsi) (Brooker et al., 1992).


(39)

15 Penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu metode statis dan metode dinamis. Berdasarkan metode statis, kadar air kesetimbangan bahan diperoleh pada keadaan udara diam dengan cara meletakkan contoh dalam tempat yang kondisi suhu dan RH-nya terkontrol. Metode statis biasanya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak (diam). Pada metode statis, tercapainya kadar air kesetimbangan ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2mg/g untuk kondisi RH ≤ 90 % dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk kondisi RH > 90% (Liovonen dan Ross, 2000 diacu dalam Adawiyah, 2006). Lain halnya dengan metode dinamis, kadar air kesetimbangan diperoleh ketika bahan diletakkan pada kondisi udara bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses pengeringan. Pergerakan udara dibutuhkan untuk untuk mempercepat pengeringan dan menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan (Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan produk pangan sangat penting dalam menggambarkan kurva sorpsi isothermis produk tersebut yang bergantung pada suhu dan kelembaban udara lingkungan.

Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya digambarkan oleh suatu kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu

tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Kurva sorpsi isotermis juga menggambarkan aktivitas adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (menguapkan air) dari bahan makanan. Hubungan ERH atau aw dan kadar air bahan pangan

pada suhu konstan digambarkan seperti pada gambar 2. Pada bahan pangan, sorpsi isotermis air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan relatif ruang tempat penyimpanan (Winarno, 2004). Sorpsi isotermis banyak dipakai dalam penelitian bahan pangan seperti umur simpan, penyimpanan, pengemasan, dan pengeringan.


(40)

Gambar 2. Kurva sorpsi isotermis secara umum (Labuza, 1982)

Hubungan antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air

aw Keadaan air di dalam bahan pangan

0.00 – 0.35 Adsorpsi pada lapisan tunggal (monolayer) 0.35 – 0.60 Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer)

0.60 – 1.00 Air terkondensasi pada kapiler atau pori-pori yang dilanjutkan dengan disolusi padatan terlarut

Sumber : Gunasekharan dan John (1993)

Lebih lanjut Syarief dan Halid (1993) dan Buckle et al. (1985) menjelaskan pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak pernah berhimpit. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeresis. Fenomena histeresis menjelaskan bahwa nilai aw yang berbeda diperoleh pada pengukuran makanan dengan

kadar air sama, tergantung pada bagaimana cara tercapainya kadar air tersebut, melalui proses adsorpsi atau desorpsi (Buckle et al., 1985).

Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung pada beberapa faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan


(41)

17 fisik yang terjadi selama perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema, 1985). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno, 2004).

Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath, 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari (Boente et al., 1996). Selain itu berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan nilai aw yang

berbeda (Chirife dan Iglesias, 1978).

E.MODEL PERSAMAAN SORPSI ISOTERMIS

Menurut Sun (2000), lebih dari 200 model sorpsi isotermis produk tersedia, namun tidak ada satu pun model yang mampu menggambarkan dengan baik untuk seluruh produk pangan dengan kisaran RH dan suhu yang luas. Ketepatan setiap model tergantung pada kisaran nilai aw dan jenis bahan

penyusun produk pangan tersebut. Model matematika mengenai persamaan sorpsi isotermis ini sudah sangat banyak dikemukakan para ahli baik secara empiris, semi empiris, maupun teoritis (Chirife dan Iglesias, 1978, Van den Berg dan Bruin, 1981). Nilai dari suatu model sorpsi isotermis tergantung pada kemampuannya secara matematis untuk menguraikan sorpsi isotermis dan kemampuan tetapan-tetapan dalam model tersebut untuk menjelaskan fenomena secara teoritis. Model matematika yang dikembangkan pada umumnya tidak dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu dari ketiga daerah kurva sorpsi isotermis. Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung pada tujuan pemakai misalnya jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982).


(42)

Menurut Chirife dan Iglesias (1978), ada beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan

untuk berbagai jenis bahan pangan, yaitu:

1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai

macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang-selang aw

yang berbeda.

2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan

higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya.

3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan lainnya.

Teori paling klasik tentang adsorpsi lapisan tunggal yang merupakan dasar bagi perkembangan teori-teori selanjutnya dikemukakan oleh Langmuir (1918). Dari percobaannya didapat persamaan berikut:

V = Vm * [ba/(K+ba)]

dimana: V = jumlah gas yang diadsorpsi pada tekanan tertentu Vm = jumlah gas yang diadsorpsi pada lapisan tunggal

a = sifat termodinamika gas

b = konstanta yang tergantung pada suhu dan jenis bahan

Model Langmuir ini tidak cocok diterapkan pada bahan pangan karena adanya asumsi-asumsi yang tidak dapat dipenuhi dalam persamaan seperti adsorpsi air dapat bersifat lebih dari satu lapisan molekul air, permukaan bahan tidak rata dan terdiri dari berbagai komponen yang masing-masing mempunyai ikatan yang berbeda terhadap air, dan interaksi molekul-molekul uap air yang diadsorpsi dapat terjadi. Untuk menyempurnakan asumsi Langmuir, Brauner, Emmet, dan Teller (1938) menambahkan bahwa proses adsorpsi tidak hanya


(1)

Tabel 8. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak

Model Persamaan Hasley log(ln(1/aw)) = -1.8183 – 1.4292 log Me

Chen-Clayton

ln(ln(1/aw)) = 0.3671 – 10.5043 Me

Henderson log(ln(1/(1 – aw))) = 0.9903 + 1.0160 log

Me

Caurie ln Me = -4.0694 + 2.8997 aw

Oswin ln Me = -2.6356 + 0.5660 ln(aw/(1-aw))

GAB Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 +

13.8569aw)

Tabel 9. Persamaan kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras

Model Persamaan

Hasley log(ln(1/aw)) = -1.5932 – 1.2358 log Me

Chen-Clayton

ln(ln(1/aw)) = 0.4010 – 9.4825 Me

Henderson log(ln(1/(1 – aw))) = 0.8551 + 0.9069 log

Me

Caurie ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw

Oswin ln Me = -2.6175 + 0.6427 ln(aw/(1-aw))

GAB Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 +

0.3655aw)

Perbandingan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan model-model sorpsi isotermis memperlihatkan bahwa beberapa model sorpsi isotermis dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dengan tepat, agak tepat, dan tidak tepat. Hal ini perlu diperkuat dengan perhitungan nilai MRD (Mean Relative Determination) yang merupakan ukuran ketepatan antara kadar air kesetimbangan hasil perhitungan berdasarkan model dengan kadar air kesetimbangan hasil percobaan. Nilai MRD masing-masing model untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat dilihat dalam Tabel 10.

Tabel 10. Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan

Model MRD

Biskuit adonan lunak

Biskuit adonan keras

Hasley 6.3060 15.7566

Chen Clayton

18.9140 10.1140

Henderson 11.6360 3.0970

Caurie 12.6000 1.8860

Oswin 7.2180 10.6840

GAB 5.8660 2.1940

Model persamaan yang dipilih adalah model yang memberikan nilai MRD terkecil, dimana model tersebut dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan tepat. Hasil perhitungan MRD pada tabel 10 menunjukkan bahwa model GAB adalah

model yang paling tepat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis untuk biskuit adonan lunak dengan nilai MRD terkecil, yaitu 5.8660. Persamaan model GAB adalah Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1 +

13.8569aw). Kurva sorpsi isotermis

berdasarkan model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat pada Gambar 9.

Untuk biskuit adonan keras, model yang terpilih adalah model Caurie, yaitu model yang memberikan nilai MRD terkecil sebesar 1.8860 dimana model ini dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat. Persamaan model Caurie adalah ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw. Kurva sorpsi isotermis berdasarkan

model sorpsi isotermis terpilih untuk biskuit adonan keras dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 9. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak model GAB

Gambar 10. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie

Selain model Caurie, model GAB juga dapat menggambarkan keseluruhan kurva sorpsi isotermis dengan sangat tepat, yaitu dengan nilai MRD 2.1940. Jadi, model GAB dapat pula dipilih sebagai model yang dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena sorpsi isotermis dangan persamaan Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw).

Kurva sorpsi isotermis berdasarkan model GAB dapat dilihat pada Gambar 11.


(2)

Gambar 11. Kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model GAB

Model sorpsi isotermis GAB yang terpilih untuk biskuit adonan lunak dan adonan keras dapat digunakan untuk menjelaskan kadar air monolayer produk biskuit. Kadar air monolayer (Xm) dapat

dicari berdasarkan perhitungan. Kadar air monolayer biskuit adonan lunak adalah 0.0388 dan kadar air monolayer biskuit adonan keras adalah 0.0846. Kadar air monolayer kedua jenis biskuit lebih besar daripada kadar air awalnya. Hal ini menunjukkan bahwa biskuit adonan lunak maupun adonan keras cukup stabil, karena kadar air awal produk jauh di bawah kadar air monolayer.

Model sorpsi isotermis yang terpilih dapat pula digunakan untuk menentukan nilai aw pada saat kadar air kritis tercapai. Untuk

biskuit adonan lunak, nilai aw berdasarkan

model GAB pada saat kadar air kritis tercapai (0.0641 g H2O/g padatan) adalah 0.4644.

Nilai aw biskuit adonan keras pada saat kadar

air kritisnya tercapai (0.0688 g H2O/g

padatan) berdasarkan model Caurie adalah sebesar 0.4814, sedangkan menurut model GAB adalah sebesar 0.4741. Berdasarkan nilai aw yang diperoleh dapat disimpulkan

bahwa produk biskuit masih aman pada saat tercapai kadar air kritisnya. Berikut ini dalam Tabel 11 dapat dilihat kisaran aw minimum

untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme.

Tabel 11. Nilai aw minimum

pertumbuhan berbagai mikroorganisme

No. Jenis mikroorganisme aw minimum pertumbuhan

1 Bakteri 0.91

2 Khamir 0.88

3 Kapang 0.80

4 Bakteri halofilik 0.75 5 Kapang xerofilik 0.65 6 Khamir osmofilik 0.60

Sumber : Reardon dan Wade (1991)

Permeabilitas Uap Air Kemasan

Permeabilitas uap air kemasan adalah kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannnya rata dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Permeabilitas kemasan ditentukan pada kondisi RH dan suhu tertentu. Semakin tinggi suhu, maka pori-pori plastik akan semakin membesar sehingga permeabilitas plastik meningkat (Syarief et al, 1989). Oleh karena itu penentuan permeabilitas uap air kemasan harus dilakukan dengan suhu yang konstan untuk menghindari peningkatan ukuran pori-pori plastik. Dalam penelitian ini, kemasan yang ditentukan permeabilitasnya adalah kemasan metallized plastic (kemasan asli masing-masing biskuit) serta kemasan pembanding, yaitu plastik PP tebal.

Permeabilitas kemasan ditentukan dengan cara menentukan nilai WVTR (Water Vapor Transmission Rate) terlebih dahulu. Nilai WVTR ditentukan dengan alat Permatran W*3/31, di bawah kondisi suhu 100 oF (37.8 oC). Pengukuran nilai WVTR dengan alat ini memiliki beberapa keunggulan diantaranya nilai RH dan suhu dapat dikondisikan konstan selama pengujian dan pengujian jauh lebih cepat daripada metode gravimetri. Prinsip kerja alat ini didasari oleh adanya pergerakan uap air dari daerah dengan kelembaban relatif sangat tinggi (RH = 100%) menuju daerah dengan kelembaban relatif sangat rendah (RH = 0%). Pergerakan ini merupakan akibat dari adanya perbedaan tekanan parsial antara kedua daerah tersebut. Gas nitrogen kering dilewatkan pada sebuah chamber dimana terdapat sampel uji (plastik) yang memisahkan aliran gas nitrogen kering dari aliran nitrogen basah. Aliran gas nitrogen basah merupakan penyedia uap air (RH dapat diatur) dengan cara melewatkan gas tersebut pada sebuah humidifier yang berisi air destilata. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan uap air berdifusi menuju daerah dengan tekanan lebih rendah. Uap air yang berdifusi melalui plastik dibawa oleh gas pembawa (nitrogen kering) menuju sensor infra merah untuk selanjutnya terdeteksi sebagai jumlah uap air yang dilewatkan melalui plastik (Anonim, 2007). Nilai WVTR dalam satuan gram/m2.hari dapat langsung didapatkan dari program komputer yang tersedia.

Nilai WVTR untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, metallized


(3)

plastic biskuit adonan keras, dan kemasan PP tebal berturut-turut adalah 0.6683, 0.8872, dan 3.6320 gram/m2.hari. Nilai permeabilitas kemasan dapat dihitung dangan cara membagi nilai WVTR dengan hasil perkalian tekanan uap jenuh pada suhu pengujian (37.8 oC) dengan nilai RH. Dengan demikian, nilai permeabilitas kemasan masing-masing kemasan adalah 0.0136 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak, 0.0180 gram/m2.hari.mmHg

untuk kemasan metallized plastic biskuit adonan keras, dan 0.0739 gram/m2.hari.mmHg untuk kemasan PP tebal . Nilai permeabilitas kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak menunjukkan nilai paling kecil, sedangkan kemasan PP tebal memberikan nilai permeabilitas yang paling besar. Dengan kata lain, bahan kemasan metallized plastic biskuit adonan lunak maupun adonan keras lebih baik dari kemasan PP tebal dalam hal permeabilitas terhadap uap air.

Nilai permeabilitas kemasan spesifik untuk setiap jenis kemasan tergantung pada karakteristik masing-masing bahan kemasan tersebut. Nilai permeabilitas kemasan yang lebih kecil menunjukkan bahwa kemampuan bahan kemasan sebagai barrier terhadap uap air lebih baik. Difusi uap air ke dalam produk akan semakin sedikit dan kerenyahan (tekstur) dapat lebih terjaga. Oleh karena itu, hal tersebut mendukung semakin lamanya umur simpan.

Perbedaan Tekanan Luar dan Dalam Kemasan

Perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan ditentukan berdasarkan nilai aw

produk, RH ruangan, dan tekanan uap air murni pada suhu terukur. Nilai aktivitas air (aw) awal ditentukan dengan menggunakan

alat aw meter. Nilai aktivitas air awal biskuit

adonan lunak adalah 0.2800 sedangkan biskuit adonan keras memiliki aktivitas air awal sebesar 0.3683. Selanjutnya, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan (∆P) dihitung sebagai selisih antara tekanan luar dan dalam kemasan. Tekanan luar kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan RH ruangan, sedangkan tekanan dalam kemasan dihitung dari perkalian tekanan uap air murni dengan aw awal produk.

Nilai ∆P pada suhu 30 oC dan RH 80% untuk biskuit adonan lunak adalah 16.5485 mmHg dan untuk biskuit adonan keras adalah 13.7374 mmHg.

Adanya perbedaan tekanan luar dan tekanan udara dalam kemasan akan menyebabkan adanya mobilisasi air. Bila tekanan luar lebih besar daripada tekanan dalam kemasan maka uap air akan berpindah dari luar ke dalam kemasan, sehingga kadar air produk lambat laun akan meningkat. Bila mobilisasi air telah mencapai batas air kritisnya, maka produk dinyatakan telah mencapai batas umur simpannya. Semakin besar perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan, semakin singkat umur simpan produk karena mobilisasi air terjadi semakin cepat. Pada suhu yang sama, perbedaan tekanan luar dan dalam kemasan akan semakin besar dengan semakin tingginya RH lingkungan penyimpanan.

Variabel Umur Simpan Lainnya

Umur simpan suatu produk ditentukan oleh berbagai faktor. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan, yaitu luas kemasan, berat padatan per kemasan, kemiringan kurva sorpsi isothermis, dan tekanan uap jenuh pada suhu pengujian.

Model sorpsi isotermis masing-masing produk yang terpilih berdasarkan nilai MRD digunakan untuk menentukan nilai kadar air kesetimbangan produk pada RH tertentu dan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis produk. Model yang terpilih untuk biskuit adonan lunak adalah model GAB dengan persamaan Me = 0.5744 aw/(1 – 0.9481aw)(1

+ 13.8569aw), sedangkan model yang terpilih

untuk biskuit adonan keras adalah model Caurie dengan persamaan ln Me = -4.3006 + 3.3738 aw dan model GAB dengan persamaan

Me = 0.1023 aw/(1 – 0.8441aw)(1 + 0.3655aw).

Nilai slope kurva sorpsi isotermis (b) ditentukan pada daerah linear (Arpah, 1998). Menurut Labuza (1982), daerah linear untuk menentukan slope kurva sorpsi isothermis diambil pada daerah yang melewati mo (kadar

air awal). Melalui penelitian ini juga dilihat pengaruh nilai slope kurva terhadap umur simpan biskuit. Untuk itu, slope kurva ditentukan dengan tiga cara. Slope 1 ditentukan sebagai hasil perbandingan antara selisih kadar air awal dan kadar air kritis dengan selisih antara nilai aktivitas air awal dengan aktivitas air pada saat kadar air kritis tercapai. Slope 2 merupakan slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal. Slope 3 adalah slope garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan.


(4)

Nilai slope 1 untuk biskuit adonan lunak adalah 0.1111, sedangkan untuk biskuit adonan keras adalah 0.1457 berdasarkan model Caurie dan 0.2072 berdasarkan model GAB. Nilai slope 2 diperoleh sebagai nilai slope kurva sorpsi isotermis pada daerah landai yang melewati kadar air awal. Gambar 12 dan 13 menunjukkan slope kurva sorpsi isotermis yang dipakai.

Gambar 12. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB

Gambar 13. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras model Caurie dan GAB

Berdasarkan gambar di atas, nilai slope kurva untuk biskuit adonan lunak adalah sebesar 0.1180, sedangkan untuk biskuit adonan keras senilai 0.1743 berdasarkan model Caurie dan 0.2185 berdasarkan model GAB. Nilai slope 3 ditentukan sebagai slope garis lurus yang melewati kadar air awal dan kadar air kesetimbangan pada masing-masing RH penyimpanan. Gambar 14, 15, dan 16 memperlihatkan slope kurva untuk masing-masing jenis biskuit.

Gambar 14. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan lunak berdasarkan model GAB

Gambar 15. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model Caurie

Gambar 16. Penentuan slope kurva sorpsi isotermis biskuit adonan keras berdasarkan model GAB

Berdasarkan gambar di atas, untuk biskuit adonan lunak dapat dilihat bahwa slope kurva untuk masing-masing RH penyimpanan berbeda. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut adalah 0.1550, 0.1790, dan 0.2168. Untuk biskuit adonan keras, slope ditentukan berdasarkan dua model yang terpilih, yaitu model Caurie dan model GAB. Pada RH 75 %, 80 %, dan 85 % nilai slope berturut-turut berdasarkan model Caurie adalah 0.2515, 0.2829, dan 0.3193, sedangkan berdasarkan model GAB adalah 0.2775, 0.3095, dan 0.3522. Selain untuk menentukan nilai kemiringan kurva sorpsi isotermis, model sorpsi isotermis terpilih digunakan pula untuk menentukan kadar air kesetimbangan pada nilai RH tertentu.

Berat padatan per kemasan merupakan berat awal produk yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Berat padatan biskuit adonan lunak adalah 216.0017 g dan untuk biskuit adonan keras adalah 122.6230 g. Luas kemasan biskuit adonan lunak sebesar 0.0588 m2, sedangkan luas kemasan biskuit adonan keras terukur 0.0359 m2. Tekanan uap air jenuh pada suhu peyimpanan (30 oC) adalah

sebesar 31.8240 mmHg.

Umur Simpan

Pemberian ransum dilaksanakan selama total 82 hari yang terbagi dalam 2

    :  Caurie

: GAB 


(5)

tahap. Tahap pertama yaitu masa adaptasi tikus selama 7 hari. Pada tahap ini, tikus diberi ransum standar dan air secara ad libitum. Tikus percobaan perlu mengalami masa adaptasi agar terbiasa dengan lingkungan laboratorium. Masa adaptasi ini juga dapat digunakan untuk mengamati apakah tikus percobaan dapat terus digunakan dalam masa perlakuan selanjutnya. Tahap kedua yaitu masa perlakuan selama 75 hari. Pada masa perlakuan ini, tikus dikelompokkan ke dalam 3 kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus percobaan. Masing-masing tikus mengkonsumsi ransum sesuai dengan perlakuannya. Ransum diberikan setiap pagi. Sisa ransum ditimbang untuk mengetahui jumlah konsumsi ransum per hari. Setiap 2 hari sekali, dilakukan penimbangan berat badan tikus percobaan untuk mengetahui pertumbuhan berat badan tiap kelompok perlakuan. Hasil pengamatan terhadap berat badan, konsumsi ransum, dan rasio konsumsi ransum dengan berat badan tikus tiap perlakuan disajikan dalam Tabel 4. Kurva pertumbuhan berat badan tikus selama masa perlakuan disajikan dalam Gambar 1.

DAFTAR PUSTAKA

Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati, Budiyanto, S. 1989. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Arjmandi, B.H., M.J. getlinger, N.V. Goyal, L.Alekel, C.M. Hasler, S. Juma, M.L. Drum, B.W. Hollis, S.C. Kukreja. 1998. Role of Soy Protein with Normal or Reduced Isoflavon Content in Revensing Bone Loss Induced by Ovarian Hormone Deficiency in Rats. In: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 20004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741

Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standardisasi Nasional Indonesia. SNI 01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta.

Cheftel, J.C., J.L. Cuq and D. Lorient. 1985. Amino Acid, Peptide and Protein. Di dalam O.R. Fennema (ed). Food Chemistry. Marcel Dekker inc., new York

Conti, M., P.C. Moramd, P. Levillaind dan A. Lemonnier. 1991. Improve Fluorometric Determination of Malonaldehyde. J. Clin. Chem. Soc. 103: 6472-6477.

Franke, A.A., L. J. Custer, C.M. Cerna, K. Narala. 1995. Rapid HPLC Analysis of Dietary Phytoestrogens from Legumes and from Human Urine. In: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 20004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741

Friedewald WT, Levy RI & Fredriskson DS (1972). Estimation of the concentration of low-density lipoprotein cholesterol in plasma without use of the preparative ultra-centrifuge. Clin Chem 18:499-502. Groff, J.L., S.S. Gropper dan S. M. Hunt.

1995. Advanced Nutrition and Human Metabolism. West Publishing Company, USA

Guillon, F dan Champ, M.M.J. 2002. Carbohydrate Fraction of Legumes: Uses in Human Nutrition and Potential for Health. British Journal of Nutrition, 88, Suppl. 3, S293-S306

Guyton dan Hall. 2006. Textbook of Medical Physiology. eBook. Elsevier Inc.

Hailgren, B. O. 1981. The Role of Dietary Fibre in Food. Problems in Nutrition Research Today. Academic Press, Switzerland

Hillis, W. E. And K. Isoi. 1965. Variation in The Chemical Composition of Eucalyptus sideroxylon in: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 20004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741


(6)

Kahl`s, P. 1999. Why LDL is Important To

Your Health. http://www.zoneperfect.com/kahl_in

tro.html

Khodijah, S. 2003. Pola Elektroforesis Protein Globulin 7S dan 11S dari Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet). Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor

Lucas, E.A., D.A. Khalil, B.P. Baggy, B.H. Arjmandi. 2001. Ethanol-Extracted Soy Protein Isolate Does Not Modulate Serum Cholesterol in Golden Syrian Hamster: A Model of Postmenopausal

Hypercholesterolemia in: Lee, C.H., J. Z. Xu, S.Y.V. Yeung, Y. Huang, Z. Y. Chen. 2004. Relative Antioxidant Activity of Soybean Isoflavones and Their Glycosides. Food Chemistry 90, 735-741

Mahfouz, M.M. dan Kummerow, F.A. 2000. Cholesterol-rich Diets Have Different Effects on Lipid Peroxidation, Cholesterol Oxides, and Antioxidant Enzymes in Rats and Rabbits. J.Nutr. Biochem 11:293-302

Potter, S.M., R.M. Bakhit, D.L.E. Sorlie, K.E. Weingartner, K.M. Chapman, R.A. Nelson, M. Prabhudesai, W.D. Svage, A.I. Nelson, L.W. Winter and J.W. Erdman. 1993. Depression of Plasma Cholesterol in Men by Consumption of Baked Products Containing Soy Protein. Am.J.Clin. Nutr. 58: 501-506

Schaefer, E.J., McNamara J.1997. Overview of The Diagnosis and Treatment of Lipid Disorders. In. Rifai N, Warnick GR, Dominiczak MH, eds. Handbook of Lipoprotein Testing. Washington: AACC Press: 25-48

Schneeman, B.O. dan J. Tietyen. 1994. Dietary Fibre. Di dalam. Shils M.E., J.A. Olson, dan M. Shike (eds). Modern Nutrition in Health and Disease 8th ed. A. Waverly Company, Philadelphia

Sihombing, A.B.H. 2003. Pemanfaatan Rumput Laut Sebagai Sumber Serat Pangan dalam Ransum Untuk Menurunkan Kadar Kolesterol Darah Tikus Percobaan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor

Suwarno, M. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Isolat Protein. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor

Vidyadaran, MK, Ng TKW, Teh, CB., Tee, ES., Thong, ML., Kandiah, M., Ehalid, AH. 1997. A critical evaluation of high density lipoprotein cholesterol as an index of coronary artery disease risk in Malaysians. Mal J Nutr 3: 61-70

Wolever, T.M.S., R.A. Hegele, P.W. Connelly, T.P.P Ranson, J.A. Story, E.J. Furumoto, dan D.J.A. Jenkins. 1997. Long-term Effect of Soluble-Fibre Foods on Postprandial Fat Metabolism in Dyslipidemic with Apo E3 and Apo E4 Genotypes. Am. J. Nutr. 66: 584-590

Wormser, Henry. 2004. Lipoprotein Metabolism an PowerPoint Presentation. PSC 3110 Fall

Yulia, Olga. 2007. Pengujian Kapasitas Antioksidan Ekstrak Polar, Nonpolar, Fraksi Protein dan Nonprotein Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.