Kadar Garam Rendah Kajian Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Studi Kasus Desa Binalatung Kecamatan Tarakan Timur)
garam untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hasil pengukuran kualitas air genangan Desa Binalatung, disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Kualitas Air Genangan di Daerah Sekitar Mangrove Desa Binalatung
Pengamatan No Keterangan
Stasiun 1 Stasiun II
Stasiun III 1. pH
6,34 6,27
6,04 2. Suhu
O
C 33,2 32,4
32,5 3. Salinitas
ppm 5,3
3,7 1,8
4. Oksigen mglt
4,19 3,6
3,9 Sumber : Data Pengukuran,Juli 2007
Berdasarkan hasil pengukuran pada tiga stasiun diperoleh kandungan kadar garam bervariasi antara 1,8-5,3 ppm. Nilai kadar garam tersebut terbilang
rendah dan tergolong genangan air tawar. Kandungan kadar garam yang rendah tersebut disebabkan oleh limpahan air hujan dan aktivitas di sepanjang daerah
aliran sungai yang tinggi, serta akibat terjadinya sedimentasi daerah muara yang menyebabkan suplai air laut tidak bisa masuk ke dalam badan sungai, sehingga
perairan kemudian didominasi oleh suplai air tawar yang sangat tinggi. Tidak adanya suplai air laut akibat terhalangnya muara sungai, menyebabkan kadar
perairan menjadi tawar dan minim akan kandungan garam. Kondisi ini menyebabkan mangrove secara perlahan-lahan mengalami dehidrasi kandungan
garam yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga lambat laun, mangrove menjadi mati. Pengamatan yang dilakukan secara
visual menunjukkan bahwa vegetasi nipah Nypa fruticans mendominasi kawasan genangan air tersebut. Jenis vegetasi nipah juga merupakan salah satu
indikator perairan dengan kadar salinitas rendah dan tergolong rendah. Menurut de Hann 1931 dalam Kusmana 2005 bahwa penyebaran jenis-
jenis vegetasi mangrove berdasarkan salinitas dan genangan air laut terdiri atas: 1 zona air payau hingga air laut dengan salinitas berkisar antara 10-30 ppm dengan
frekuensi penggenangan a 1-2 kalihari genangan pasang dengan dominan jenis pohon Avicennia spp dan Sonneratia spp, b 10-19 hrbulan genangan pasang
dengan dominan jenis pohon Rhizophora spp dan Bruguiera spp, c 9 haribulan genangan pasang dengan dominan jenis pohon Xylocarpus spp dan Heritiera spp,
d beberapa haribulan genangan pasang dengan dominan jenis pohon Lumnitzera
spp, Bruguiera spp dan Scyphyphora spp; dan 2 zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ppm dengan jenis ‘marginal’ halophyla,
Nypa fruticans dan Oncosperma, Cerbera.
Potensi Hutan dan Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove Potensi Hutan Mangrove
Berdasarkan hasil pengamatan serta pengukuran di lapangan diperoleh data luas hutan mangrove sekitar 5,123 ha dengan jenis vegetasi api-api
Avicennia spp dan jenis prepat Sonneratia spp. Potensi keberadaan vegetasi hutan mangrove penyusun pesisir Desa Binalatung terdiri atas: jumlah individu
pohon, diameter batang pohon setinggi dada dan tipe substrat Tabel 17. Tabel 17 Jumlah Individu, Diameter Batang dan Tipe Substrat
Pohon Diameter 4cm Avicennia sp Sonneratia sp
No. Transek
Ind db cm Ind db
cm ∑ Total
Indtransek L= 900m
2
Tipe substrat 1
32 9,8 27 10,0 59
Pasir Berlumpur
2 19 10,0
22 9,5 41
Pasir Berlumpur
3 24 9,0 22 9,4
46
Pasir Berlumpur
∑ Total IndJenis
75 - 71 - 146
- Sumber: Data Olah, 2005
Tabel 17 menujukkan jenis dominan yang terdapat di kawasan pesisir utara Desa Binalatung yakni jenis Api-api Avicennia spp dan prepat Sonneratia
spp. Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa jumlah tegakan individu per jenis yaitu 19-32 pohon untuk jenis Api-api Avicennia spp dan 22-27 pohon
untuk jenis Sonneratia spp. Dalam artian bahwa dalam ukuran transek 900 m
2
, maka dijumpai rata-rata 25 pohon untuk jenis api-api dan 24 pohon untuk jenis
prepat. Sementara ukuran diameter batang dari kedua jenis mangrove tersebut berkisar antara 9,4-10,0 cm. Ukuran ini menunjukkan ukuran pohon yakni 4 cm
Bengen, 2004. Vegetasi hutan mangrove Desa Binalatung yang didominasi oleh jenis api-api Avicennia spp dan prepat Sonneratia spp, memungkinkan terjadi
karena didasarkan pada jenis substrat yakni pasir berlumpur. Pada substrat jenis ini sering ditumbuhi oleh kedua jenis mangrove tersebut. Pada substrat berpasir
sering ditumbuhi oleh Avicennia spp dan umumnya berhadapan dengan laut,
sehingga jenis ini dikenal pula sebagai vegetasi pioner, sementara pada substrat yang agak berlumpur dijumpai jenis Sonneratia spp, dimana pada substrat ini
kaya akan bahan organik. Selanjutnya dari hasil tersebut diperoleh pula nilai kerapatan relatif jenis
RDi api-api Avicennia spp sebesar 51,37 dan prepat Sonneratia spp sebesar 48,63, nilai frekuensi relati jenis RFi api-api Avicennia spp sebesar 50 dan
prepat Sonneratia spp sebesar 50, nilai penutupan relatif jenis RCi api-api Avicennia spp sebesar 49,86 dan prepat Sonneratia spp sebesar 50,14.
Secara rinci nilai komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai Kerapatan Relatif Jenis RDi, Frekuensi Relatif Jenis RFi,
Penutupan Relatif Jenis RCi, dan Indeks Nilai Penting IV
Jenis Di RDi
Fi RFi
Ci RCi
IV
Api-api Avicennia sp 0,0833
51,37 1,00 50 2,39 49,86 151,23
Prepat Sonneratia sp 0,0789
48,63 1,00 50 2,40 50,14 148,77
Sumber: Data Olah, 2006
Nilai kerapatan relatif jenis Avicennia spp yaitu 51,37, lebih besar bila dibanding dengan jenis Sonneratia spp yaitu 48,63. Nilai ini menunjukkan
tingkat kerapatan relatif dari masing-masing jenis dalam vegetasi. Besarnya nilai kerapatan relatif jenis dari api-api Avicennia spp disebabkan karena jenis ini
lebih mampu untuk beradaptasi bila dibanding dengan jenis Sonneratia spp ataupun yang lainnya. Kondisi ini, memungkinkan disebabkan tipe substrat yakni
pasir berlumpur, serta topografi pantai yang terbuka berhadapan langsung dengan laut bebas, dimana pengaruh oseanograpi sangat besar, seperti pasang surut,
gelombang dan arus pantai. Sementara nilai frekuensi dari kedua jenis mangrove yakni 50. Nilai ini menujukkan bahwa kedua jenis memiliki frekuensi
kemunculan yang sama, atau dapat dijumpai dengan peluang yang sama besar. Berdasarkan nilai penutupan relatif jenis RCi untuk kedua jenis
mangrove api-api Avicennia spp dan prepat Sonneratia spp, diperoleh bahwa ekosistem mangrove Desa Binalatung tergolong rusak. Tingkat penutupan relatif
jenis yang sekitar 49,86-50,14, nilai ini merupakan salah satu indikator rusaknya ekosistem mangrove tersebut. Kondisi ini, disebabkan oleh besarnya
tekanan dari aktivitas manusia di daerah hulu upland seperti penebangan hutan
lindung, penambangan pasir darat di sepanjang belantaran sungai, aktivitas pembangunan, konversi lahan pemukiman, pembukaan lahan tambak tradisional,
serta limbah buangan rumah tangga atau industri. Aktivitas-aktivitas tersebut mengakibatkan semakin besarnya tekanan terhadap ekosistem mangrove sehingga
sebagai ekosistem yang memiliki kemampuan sebagai filter terhadap lingkungan dinamisnya sendiri tidak dapat dioptimalkan lagi.
Indeks nilai penting memiliki kisaran nilai antara 0-300, indeks ini menunjukkan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis
tumbuhan vegetasi dalam komunitas. Semakin tinggi INP suatu jenis vegetasi maka peranannya dalam komunitas semakin baik. Secara grafis indeks nilai
penting dari kedua jenis mangrove terlihat pada Gambar 27.
151.23 148.77
1
Indeks Nilai Penting
Sonneratia spp Avicennia spp
Gambar 27 Indeks Nilai Penting Ekosistem Mangrove Desa Binalatung Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa indeks nilai penting dari jenis api-
api Avicennia spp lebih besar dibanding dengan jenis prepat Sonneratia spp. Indeks nilai penting untuk jenis api-api Avicennia spp yaitu 151,23 dan jenis
prepat Sonneratia spp yaitu 148,77. Nilai ini menunjukkan bahwa peranan atau pengaruh dari jenis Api-api Avicennia spp, lebih baik bila dibanding dengan
jenis prepat Sonneratia spp. Meskipun sesungguhnya nilai tersebut tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini dapat terlihat dengan nilai-nilai yang diperoleh seperti nilai
kerapatan relatif jenis, nilai penutupan relatif jenis dan nilai frekuensi relatif jenis yang kesemuanya tidak terlalu berbeda.
Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem
Nilai ekonomi ekosistem mangrove dalam penelitian ini, terdiri dari nilai manfaat langsung ML, nilai manfaat tidak langsung MTL, manfaat pilihan
MP dan manfaat keberadaan MK. Identifikasi nilai manfaat dan pendekatan nilai valuasi dari keberadaan ekosistem mangrove Desa Binalatung dapat dilihat
pada Tabel 19. Tabel 19 Identifikasi Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove Desa Binalatung
No Kategori
Manfaat Pemanfaatan Pendekatan
Nilai Valuasi
Perikanan Kepiting Actual Price market price
1 Manfaat Langsung
Daun Nipah Opportunity Cost
Panahan Abrasi Break Water 6,5 km
Biaya pengganti Replacement Cost
Penyedia Sumberdaya Perikanan Naamin dan
Martosubroto, 1984 Benefit transfer
Bibit Mangrove Biaya Reboisasi MCRMP
2 Manfaat Tidak
Langsung
Kayu Mangrove Actual Price market price
3 Manfaat Pilihan Nilai
Biodeversity Ruitenbeek, 1991
Benefit transfer 4 Manfaat
Keberadaan Dampak Abrasi
Willingness to Pay Sumber : Data primer, 2006
Manfaat Langsung ML
Manfaat langsung dari ekosistem mangrove Desa Binalatung yang diperoleh berupa pemanfaatan hasil hutan daun nipah dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan kepiting. Pemanfaatan hasil hutan berupa daun nipah untuk atap, sedang pemanfaatan sumberdaya perikanan berupa kegiatan
penangkapan kepiting. a. Manfaat Kepiting
Penangkapan kepiting oleh masyarakat setempat umumnya menggunakan alat tangkap berupa jaringperangkap ambau. Perangkap ini sifatnya pasif yang
dioperasikan pada saat air surut dengan cara meletakkannya di dekat akar-akar mangrove lalu diikat dan di beri umpan berupa insang ikan. Hal tersebut
dilakukan dengan harapan target tangkapan kepiting dengan cepat dan mudah tertangkap. Selama ini kepiting merupakan hasil tangkapan sampingan oleh
nelayan dan dimanfaatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga nelayan itu sendiri. Hasil wawancara menyebutkan bahwa jika hasil tangkapan didistribusikan keluar dari Desa Binalatung maka akan membutuhkan
biaya transportasi yang cukup mahal karena keterbatasan prasarana jalan yang menghubungkan desa dengan pasar-pasar tradisional Kota Tarakan masih dalam
kondisi perbaikan. Hingga saat ini sarana transportasi yang dapat digunakan warga desa untuk pergi ke Kota Tarakan ialah kendaraan roda dua motor.
Selanjutnya dalam melakukan pendekatan untuk mengestimasi nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan hasil
tangkapan perikanan berupa kepiting. Pendekatan ini menggunakan harga pasar- pasar tradisional market price. Pada saat penelitian harga jual kepiting sebesar
Rp.8.000 per kg. Rata-rata nilai manfaat langsung yang diperoleh dari komoditas perikanan berupa kepiting per hektar berjumlah Rp.2.621.901 per tahun dengan
biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.102.460 per tahun. Lampiran 4 b.
Manfaat Daun Nipah Daun nipah dimanfaatkan warga sebagai bahan atap togo alat penangkap
ikan selain bahan bakunya mudah diperoleh juga lebih ekonomis karena daya tahannya bisa mencapai dua hingga tiga tahun pemakaian jika dibandingkan
dengan atap yang terbuat dari bahan baku lainnya seperti seng atau genteng. Pemanfaatan daun-daun yang telah diolah ini tidak untuk memenuhi
kebutuhan pasar tradisional melainkan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada permintaan pasar Kota Tarakan. Selanjutnya dalam
pemanfaatannya warga biasa melakukannya secara berkelompok 2 hingga 3 orang dengan menggunakan alat mandau parang dan tali. Frekuensi rata-rata
pengumpulan daun nipah untuk setiap rumah tangga adalah 2,4 kali per bulan atau 28 kali dalam setahun. Setiap trip keberangkatan warga membutuhkan waktu
sekitar 4 jam pukul 06.00 sd pukul 09.00 sampai tiba kembali di rumah karena jarak yang ditempuh sekitar 1km dari pemukiman warga desa. Dalam
pemanfatannya warga tidak memerlukan biaya operasional karena lokasi pengambilan yang dekat membuat tidak adanya biaya bahan bakar. Karena tidak
ditemukan adanya biaya secara langsung yang digunakan dalam mengestimasi kegiatan ini maka pendugaan nilai manfaat daun nipah adalah pendekatan biaya
oppurtunitas frekuensi hari pengumpulan. Kusumastanto 2000 menyatakan
bahwa biaya oppurtunitas adalah hasil atau keuntungan yang diperoleh dari alternatif investasi yang diabaikan. Selanjutnya dikatakan juga bahwa metode ini
dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek pemanfaatan lahan pesisir yang tidak dapat diukur dengan menggunakan nilai pasar.
Untuk itu metode ini di gunakan untuk memperoleh manfaat langsung dari kegiatan memanfaatkan daun nipah dengan asumsi bahwa frekuensi pengumpulan
hari merupakan biaya investasi yang diabaikan. Kemudian frekunsi hari pengumpulan tersebut dikonversi dengan besarnya upah buruh yang berlaku untuk
Kota Tarakan yakni sebesar Rp.50.000 per hari. Jika frekuensi rata-rata pengumpulan yang digunakan dalam pemanfaatan adalah 2,4 kali per bulan atau
28 kali dalam setahun maka nilai manfaat rata-rata per hektar yang diperoleh sebesar Rp.1.420.000 per tahun dengan biaya yang dikeluarkan sebesar
Rp.256.150 per tahun. Lampiran 4 Berdasarkan dari data komponen manfaat langsung hasil hutan maupun
hasil perikanan, maka nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Binalatung dapat diestimasi. Selanjutnya hasil perhitungan total nilai manfaat
langsung ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Total Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove Pesisir Utara, Desa
Binalatung tahun 2006.
No Jenis Manfaat
Nilai Manfaat Rpth Persentase
1 Perikanan Kepiting
Rp 2.621.901 64,9
2 Daun Nipah
Rp 1.420.000 35,1
Total Nilai Manfaat Rp 4.041.901
100
Sumber: Data olah, 2006
Manfaat Tidak Langsung MTL
Manfaat tidak langsung yang dapat diidentifikasi dari ekosistem mangrove Desa Binalatung berupa manfaat fisik, manfaat biologi dan manfaat sebagai
penyedia bibit mangrove. Manfaat fisik seperti fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai dari serangan gelombang dan juga manfaat biologi yang disediakan
dari ekosistem mangrove yakni sebagai nursery ground. a.
Manfaat Fisik -
Penahan gelombang
Pendugaan nilai manfaat fisik dari hutan mangrove yaitu fungsinya sebagai penahan abrasi pantai yang didekati dengan penilaian biaya bangunan
pantai breaks water. Nilai ini merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan Aprilwati 2000 dimana biaya yang dikeluarkan untuk membuat breaks
water dengan ukuran 1m x 11m x 2,5m panjang x lebar x dalam dengan daya tahan bangunan 10 tahun sebesar Rp.4.163.880.
Untuk mendapatkan estimasi nilai sekarang maka nilai tersebut dikonversi dengan nilai inflasi yang terjadi pada saat penelitian yakni bulan
mei 2006 sebesar 15,60 www.bi.go.id. Selanjutnya hasil konversi dikalikan dengan panjang Pantai Amal sampai Tanjung Binalatung 6,5 km.
Jadi biaya yang diperlukan untuk membuat bangunan pantai bagi kawasan pantai timur Kota Tarakan seluruhnya adalah sebesar Rp.3.121.225.432 dan
per ha luasan hutan mangrove adalah sebesar Rp.135.705.454. Asumsi yang digunakan dalam pembuatan breaks water daerah penelitian adalah biaya
yang dikeluarkan untuk pembelian material pembuatan beton penahan pantai dianggap sama dengan biaya material yang tersedia di kawasan Batu Ampar,
Pontianak. -
Penyedia Kayu Mangrove Hasil wawancara menyebutkan bahwa pemanfaatan terhadap kayu
mangrove tidak dilakukan oleh warga, karena bentuk batang pohon dari jenis mangrove api-api Avicennia spp dan prepat Sonneratia spp tidak dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga seperti pembuatan tiang pancang rumah, kayu bakar dan pembuatan kapal. Selain karena bentuk
batang yang tidak sesuai untuk kebutuhan rumah dan pembuatan kapal juga daya bakar kedua jenis ini tidak sekuat jenis mangrove Rhizophora spp.
Keberadaan potensi kayu yang disediakan oleh ekosistem mangrove Desa Binalatung tidak dapat ditiadakan meskipun pemanfaatan secara
langsung tidak dilakukan oleh warga setempat namun secara ekologi potensi kayu sangat besar kontribusinya terhadap siklus daur hidup sumberdaya
perikanan yang berasosiasi dengannya. Untuk itu secara ekonomi nilai manfaat ini memberikan sumbangan tersendiri dalam penilaian manfaat tidak
langsung dari keberadaan ekosistem tersebut.
Potensi kayu yang disediakan oleh ekosistem mangrove Desa Binalatung berkisar 553 pohon per ha 4cm dengan tinggi rata-rata kurang lebih 10
meter. Jika harga pasar market price yang tersedia khususnya Kota Tarakan untuk kayu mangrove sebesar Rp.14.000 per 5meter, maka nilai manfaat
yang tersedia dari keberadaan potensi kayu mangrove sebesar Rp.15.484.000 ha per tahun.
b. Manfaat Biologi
Manfaat biologi dilakukan dengan pendekatan fungsi dari ekosistem mangrove sebagai daerah feeding ground bagi komoditas udang. Pendekatan ini
merujuk pada persamaan regresi Naamin 1984 dalam Fachrudin 1996 yang menggambarkan fungsi luasan hutan mangrove terhadap kelimpahan biota
perairan mangrove tersebut. Selanjutnya dari hasil formula tersebut diperoleh bahwa manfaat biologi dari ekosistem mangrove Desa Binalatung seluas 23 ha
sebesar Rp.81.470.664. c.
Manfaat Penyedia Bibit Mangrove Manfaat sebagai penyedia bibit mangrove ini didekati dengan biaya yang
dikeluarkan oleh kegiatan MCRMP tahun 2000 khususnya untuk program pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Binalatung. Biaya yang dikeluarkan
oleh kegiatan MCRMP khususnya untuk penanaman bibit mangrove sebanyak 14000 anakan dengan Rp.5.000 per anakan jadi total biaya sebesar Rp.70.000.000.
Berdasarkan dari tiga komponen nilai manfaat tidak langsung yang telah diperoleh, maka selanjutnya dihitung total nilai manfaat tidak langsung dari
ekosistem mangrove Desa Binalatung. Total nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Total Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Pesisir Utara Desa Binalatung Tahun 2006
No Jenis Manfaat
Nilai Manfaat Persentase
1 Penahan Gelombang
Rp 3.121.225.432 95,7
2 Penyedia Kayu
Rp 14.980.000 0,5
3 Penyedia sda perikanan
Rp 54.406.109 1,7
4 Bibit Mangrove
Rp 70.000.000 2,1
Total Nilai Manfaat Rp 3.260.611.541
100 Sumber : Data olah, 2006
Manfaat Pilihan MP
Nilai manfaat pilihan dari suatu ekosistem mangrove didekati dengan nilai keanekaragaman hayati biodeversity. Manfaat pilihan ini diperoleh dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Ruitenbeek 1991. Dari formula tersebut diperoleh nilai manfaat pilihan dari ekosistem mangrove Desa Binalatung
Rp.2.559.900 per tahun setelah dikonversi dari kurs mata uang dolar US ke
rupiah Rp. pada bulan mei 2006 yaitu sebesar Rp.7.420 www.bi.go.id.
Manfaat Keberadaan MK
Suatu ekosistem akan sangat bermanfaat jika telah diketahui kerusakannya, seperti halnya ekosistem mangrove di Desa Binalatung. Kerusakan
ekosistem hutan mangrove Desa Binalatung telah menurunkan fungsi fisik dan fungsi biologi secara signifikan. Fungsi fisik dari ekosistem mangrove yakni
sebagai penahan abrasi pantai dan penyedia kayu sementara fungsi biologi sebagai daerah asuhan.
Manfaat keberadaan yang diberikan oleh warga setempat cukup bervariasi. Hal ini didasarkan pada letak atau posisi tempat tinggal warga. Sebagian warga
yang tinggal di daerah pinggiran pantai akan memberikan nilai keberadaan yang tinggi dibandingkan dengan warga yang tinggal jauh dari pantai. Secara
keseluruhan nilai manfaat yang diberikan oleh warga Desa Binalatung terhadap keberadaan suatu ekosistem mangrove sebesar Rp.329.783 per tahun.
Nilai Ekonomi Total TEV
Nilai Ekonomi Total NET ekosistem mangrove Desa Binalatung diperoleh dari penjumlahan nilai manfaat langsung NML, manfaat tidak
langsung NMTL, manfaat pilihan MP dan manfaat keberadaan NK. Total nilai manfaat tersebut yang diberikan terhadap ekosistem mangrove Desa
Binalatung sebesar Rp.3.267.583.125 per tahun. Secara rinci nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove Desa Binalatung tahun 2006.
No Kategori Nilai
Manfaat Persentase
1 Nilai Manfaat Langsung
Rp 4.041.901 0,12
2 Nilai Manfaat Tidak Langsung
Rp 3.260.611.541 99,79
3 Nilai Manfat Pilihan
Rp 2.599.900 0,08
4 Nilai Manfaat Keberadaan
Rp 329.783 0,01
Nilai Manfaat Total Rp 3.267.583.125
100
Sumber : Data olah, 2006
Berdasarkan Tabel 22 di atas, diperoleh bahwa nilai manfaat total TEV yang dimiliki ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung seluas 23 hektar
sebesar 3 milyar rupiah per tahun. Dengan komponen nilai-nilai manfaat penyusun terdiri atas: 1 nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove sebesar
99.33 atau sebesar 3 milyar rupiah, selanjutnya nilai manfaat tidak langsung sebesar 0.58 atau sebesar 19 juta rupiah, nilai manfaat pilihan sebesar 0.08
atau sebesar 2 juta rupiah dan nilai manfaat keberadaan dari ekosistem tersebut yakni 0.01 atau sebesar 329 ribu rupiah.
Hasil Penelitian Terdahulu
Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya khususnya ekosistem mangrove di suatu kawasan sangat berperan dalam penentuan
pengelolaan yang berkelanjutan bagi kawasan tersebut. Sehingga alokasi dan aternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Kerangka nilai ekonomi
yang sering digunakan dalam evaluasi sumbedaya ini adalah konsep nilai ekonomi total NET Adrianto, 2004. Hasil perolehan nilai ekonomi total NET pada
suatu kawasan berbeda dengan kawasan lainnya hal ini bisa terjadi karena input dari nilai-nilai penyusun NET yang tergantung pada kondisi wilayah masing-
masing. Nilai penyusun yang dimaksud terdiri dari nilai pakai langsung direct use value, nilai pakai tak langsung indirect use value dan nilai non pakai non
use value. Salah satu contoh penggunaan nilai manfaat tidak langsung seperti jasa
yang disediakan oleh suatu ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi manfaat fisik di kawasan Batu Ampar, Pontianak, Kalimantan Barat bernilai 4 juta rupiah
dengan daya tahan 10 tahun. Nilai tersebut diestimasi dari konstruksi bangunan
beton yang berfungsi sebagai pemecah ombak breaks water. Jika ditinjau kembali bahwa perolehan nilai tersebut dapat dikatakan sesuai berdasarkan
kondisi wilayah Batu Ampar yang posisi geografis berada pada perairan teluk Padang Tikar dimana secara alami kondisi dinamika perairan pesisir tidak terlalu
ekstrim perubahannya. Hal tersebut tentunya akan jauh berbeda dengan kondisi pesisir utara Desa Binalatung yang perubahan kondisi dinamika pesisir cukup
besar pengaruhnya dari perairan Laut Sulawesi. Secara tegas dikatakan Bengen, et.al 2006 bahwa kondisi arus di perairan
sekitar pulau-pulau kecil akan sangat ditentukan oleh dimana lokasi pulau tersebut berada. Jika pulau kecil itu berada pada perairan yang semi tertutup, maka arusnya
akan cenderung lemah, sedangkan jika pulau tersebut berada pada perairan yang terbuka di laut lepas, arusnya cenderung kuat. Sehingga dapat diduga bahwa
nilai bahan bangunan pemecah ombak breaks water untuk pesisir Desa Binalatung lebih kuat beberapa kali lipat dibanding dengan konstruksi bangun
pemecah ombak perairan Batu Ampar. Secara jelas gambaran kondisi tersebut dapat dilihat pada peta lokasi berikut.
Gambar 28 Lokasi Pembuatan Breaks Water
Penentuan Prioritas Pengelolaan
Penentuan prioritas pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung didasarkan pada kajian terhadap kondisi lingkungan habitat mangrove, kondisi
sosial masyarakat dan juga pertimbangan dari prangkat kebijakan berupa PERDA yang diberlakukan di Kota Tarakan. Selanjutnya dalam pelaksanaan penentuan
prioritas dilakukan pembobotan. Nilai pembobotan dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Nilai pembobotan terhadap sub kriteria pengelolaan
No Kriteria Sub
Kriteria Bobot
1 Ekologi-Ekosistem Faktor Oseanografi
0,092 Jenis substrat
0,078 Nilai dampak lingkungan penambangan pasir
0,069 Nilai ekonomi total
0,086 Kerusakan daerah DAS
0,076 2 Sosial-Ekonomi
Sedikitnya pemanfaatan ekosistem mangrove
0,067 Sifat gotong royong yang baik
0,059 Sumber pendapatan masyarakat
0,083 Mobilitas penduduk tinggi
0,049 Belum optimal pelibatan masyarakat
0,080 Kelembagaan penambang pasir
0,041 3 Kelembagaan
Perda No.08 th 2003 ttg pemanfaatan lahan pertambakan.
0,059 Perda No.18 th 2002 ttg ijin usaha
pertambangan dan galian gol C 0,067
Perda Tata Ruang Wilayah Kota Tarakan 0,094
Jumlah 1,000
Sumber : hasil olah, 2006
Dari Tabel 23 diatas penilaian terhadap tingkat kepentingan pada kriteria ekologi-ekosistem memiliki porsi nilai sebesar 0,40, kriteria sosial-ekonomi
masyarakat Desa Binalatung memiliki porsi nilai sebesar 0,38 dan kriteria kelembagaan dengan porsi nilai sebesar 0,22. Apabila di bandingkan antar ketiga
kriteria maka kriteria ekologi-ekosistem memiliki porsi nilai lebih tinggi daripada kedua kriteria lainnya. Untuk jelasnya grafik perbandingan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 29.
0.40 0.38
0.22
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
0.40
Ekologi-Ekosistem Sosial-Ekonomi
Kelembagaan
Gambar 29 Grafik perbandingan antar kriteria pengelolaan Dari grafik diatas dapat di katakan bahwa pengelolaan ekosistem
mangrove Desa Binalatung saat ini lebih mementingkan pada kriteria ekologi- ekosistem dan sosial ekonomi masyarakat dari pada kriteria kelembagaan.
Selanjutnya hasil pembobotan pada Tabel 23 dianalisis dengan menggunakan software criplus 3.0 dengan teknik simple multi attribute rating technique
SMART. Hirarki prioritas dan hasil bobot pengelolaan berdasarkan kriteria ekologi-ekosistem, sosial-ekonomi dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar
30.
Gambar 30 Hirarki Penentuan Prioritas Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Hasil analisis pada gambar 29 menunjukkan bahwa pada kriteria ekologi- ekosistem memiliki bobot tertinggi sebesar 0,345 daripada kriteria sosial-ekonomi
dan kelembagaan sebesar 0,328. Pada kriteria ekologi-ekosistem terlihat bahwa subkriteria faktor
oceanografi menunjukkan bobot yang paling tinggi yakni 0,079, hal ini disebabkan karena kondisi perairan laut terbuka yang berhubungan langsung
dengan Laut Sulawesi menyebabkan kondisi oceanografi sangat ekstrim terjadi di kawasan pesisir utara Desa Binalatung. Selanjutnya nilai ekonomi total NET
ekosistem mangrove memiliki nilai sebesar 0,074, hal ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove yang sudah mengalami degradasi masih memiliki
sumbangan nilai ekonomi yang cukup signifikan. Jadi dengan kata lain secara ekonomi nilai investasi yang sangat besar turut disumbangkan oleh ekosistem
mangrove yang telah terdegradasi. Pada kriteria sosial-ekonomi bobot sumbangan terbesar diberikan oleh
subkriteria sumber pendapatan masyarakat sebesar 0,072. Sebagian besar warga meyakini bahwa produk prikanan udang dan ikan hasil tangkapan togo berasal
dari asosiasi biota perairan dengan ekosistem mangrove. Hal tersebut mereka rasakan dari hasil tangkapan yang terus berkurang baik jumlah maupun ukuran
biota seiring dengan berkurangnya luasan ekosistem mangrove. Selanjutnya sub kriteria yan juga turut memberikan sumbangan yakni belum optimalnya pelibatan
masyarakat sebesar 0,069, pelibatan masyarakat tidak hanya sebatas pada pelaksana program kegiatan tetapi juga pelibatan ini lebih dititikberatkan pada
pembuatan kelembagaan lokal masyarakat yang mana nantinya kelembagaaan yang terbentuk akan menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam pelaksanaan
pengelolaan ekosistem mangrove. Pada kriteria kelembagaan bobot sumbangan terbesar diberikan dari
subkriteria Perda Tata Ruang No.03 tahun 2006 sebesar 0,140. Peran kelembagaan berupa produk peraturan daerah secara tidak langsung juga turut
memberikan kontribusi terhadap rencana pengelolaan yang akan dijalankan, karena ekosistem mangrove yang saat ini telah direkomendasikan oleh perda Tata
Ruang kota tarakan sebagai kawasan konservasi dan rehabilitasi.
Secara keseluruhan hasil analisis prioritas terhadap pengelolaan ekosistem mangrove menunjukkan bahwa nilai rehabilitasi kawasan sebesar 0,539 dan nilai
perbaikan daerah DAS sebesar 0,394. Nilai keputusan tersebut menunjukkan bahwa prioritas pertama yang akan diajukan ialah rehabilitasi kawasan dan yang
kedua ialah penataan kawasan daerah aliran sungai DAS. Secara grafis diagram batang skor dari analisis prioritas pengelolaan ekosistem mangrove dengan
menggunakan teknik SMART dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31 Prioritas pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung Setiap prioritas pengelolaan tersebut mengandung nilai-nilai dari kriteria.
Sehingga upaya-upaya dalam melakukan strategi pengelolaan harus berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang di gambarkan dalam kriteria-kriteria
tersebut. Secara terperinci kontribusi setiap kriteria terhadap pengelolaan ekosistem mangrove dapat dilihat pada Gambar 30.