41
lokasi lainnya. Perbedaan nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP masing-masing jenis disetiap lokasi juga bervariasi.
5. Hutan Gunung Kabila
Komposisi dan struktur tumbuhan bervariasi pada setiap jenis karena adanya perbedaan karakter masing-masing pohon. Hasil inventarisasi flora untuk
semua tingkatan secara lengkap pada petak penelitian di hutan Gunung Kabila dapat dilihat pada Tabel 10. Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan
G.Kabila, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada berbagai tingkatan dapat dilihat pada Lampiran 18 – 21.
Tingkat semai dan tumbuhan bawah hutan G. Kabila didominasi oleh Areca vestiaria INP=11,18, Palaquium obovatum INP=7,72, Eugenia sp. INP
=7,50, Dysoxylum euphlebium INP=7,22, Cassia fistula INP=7,06. Tingkat
sapihan didominasi oleh Maranthes corymbosa INP=19,76 Areca vestiaria
INP=16,32, Palaquium obstusifolium INP=12.69. Heritiera sp. INP=12,26,
Pinanga caesia INP=12,14, Dracontomelon daoINP=10,54. Tingkat tiang didominasi oleh
Pangium edule INP=19,48, Sysygium sp.INP=15,07, Koorsidendron pinnatum INP=14,29, Palaquium obovatumINP =13,31,
Maranthes corymbosa INP=12,14, Canarium acutifolium INP=11,93, Pinanga caesia INP=11,03. Tingkat Pohon
Dracontomelon dao INP=27,81, Maranthes corymbosa INP=20,00,
Palaquium obtusifolium INP=19,37, Elmerrillia ovalis INP
=15,94, Polialthia rumphii INP=12,82, Dyospyros hiernii INP=12,66, Elmerrillia
celebica INP=12,65, Pterospermum celebicum INP=12,17, Knema celebica INP=11,36.
Tabel 10. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Gunung Kabila Jumlah
Tingkatan Flora Jenis Marga Suku
Semai dan Tumbuhan Bawah Sapihan
Tiang Pohon
62 54
48 35
51 44
41 31
34 26
25 23
Jenis-jenis flora tingkat pohon yang ditemukan di kompleks hutan G. Kabila, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai
42
penting flora pada Lampiran 18-21. Nilai kerapatan relatif tertinggi 8,81 pada jenis rao
Dracontomelon dao sedangkan kerapatan relatif terendah 0,64 pada jenis kayu torout
Vitex glabrata. Rao Dracontomelon dao merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif tertinggi
artinya jenis ini dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh lokasi hutan G. Kabila. Jenis lain yang juga memiliki nilai
kerapatan relatif yang tinggi adalah jenis nantu Palaquium obtusum dengan nilai
KR= 7,64 .
Nilai frekwensi relatif bervariasi dari yang tertinggi pada jenis kayu batu Maranthes corymbosa dengan nilai FR = 11,02 , dan terendah pada jenis
kayu torout Vitex glabrata dengan nilai FR = 0,85. Berkaitan dengan nilai
frekwensi suatu jenis, Kershaw 1979 dan Crawley 1986 mengemukakan bahwa frekwensi suatu jenis dalam komunitas tertentu besarnya ditentukan oleh
metode sampling, ukuran kuadrat, ukuran tumbuhan dan distribusinya. Nilai kerapatan dan frekwensi penting artinya dalam analisis vegetasi karena saling
terkait satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu jenis yang memiliki nilai kerapatan dan frekwensi tertinggi jenis rao, kayu batu dan nantu termasuk
kategori jenis yang memiliki kemampuan adatasi yang baik terhadap kondisi lingkungan.
Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungan. Keberhasilan setiap jenis dipengaruhi oleh kemampuannya
beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban, dan sebagainya, faktor biotik interaksi antar
jenis, kompetisi, parasitisme, dan sebagainya, dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan sebagainya yang saling
berinteraksi Balakhrisnan 1994; Krebs, 1994. Nilai dominansi relatif masing-masing jenis juga bervariasi dari yang
terendah sebesar 0,42 untuk jenis torout Vitex glabrata sampai dengan
dominansi relatif tertinggi Dracontomelon daorao dengan nilai 13,07 . Nilai
dominansi jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan
ukuran rata-rata diameter batang. Jenis rao memiliki nilai dominansi tertinggi karena nilai kerapatannya paling tinggi dan ukuran batangnya cukup besar.
Jenis cempaka Elmerillia ovalis juga memiliki nilai dominansi yang tertinggi
43
kedua 6,76 karena nilai kerapatannya lebih rendah dari jenis rao, walaupun rata-rata diameter batang setinggi dada jenis kayu cempaka lebih besar
dibanding dengan jenis rao. Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter
kerapatan, frekwensi, dominansi yang telah diukur sebelumnya, sehingga nilainya juga bervariasi. Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis
Dracontomelon daoRao INP = 33,07. Selain jenis kayu rao , beberapa jenis yang memiliki
nilai INP tertinggi lainnya yang memiliki INP lebih dari 10 adalah jenis kayu batu
Maranthes corymbosa INP=20,00; kayu nantu Palaquium obtusifolium INP
=19,37, jenis cempaka Elmerillia ovalis dengan INP=15.94, Nauclea celebica maumar dengan INP=13.27; Pomosion
Polyalthia rumphii dengan INP=12,82, Dyospyros hierniikayu eboni hitam INP=12,66, kayu wasianElmerillia celebica
dengan INP=12,65, Nunuk Ficus benjamina dengan INP=12,17, palaKnema
tomentela dengan INP=11,36, kayu aliwowos Homalium foetidum dengan
INP=10,61. Jenis rao dan kayu batu merupakan dua jenis yang mendominansi lokasi
hutan G. Kabila karena memiliki nilai INP tertinggi. Kemampuan kedua jenis tersebut dalam menempati sebagaian besar hutan G.Kabila menunjukkan bahwa
keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi lingkungan setempat. Jenis kayu batu yang memiliki diameter yang lebih besar diperkirakan
lebih dahulu tumbuh pada lokasi ini.
44
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di 5 lokasi TNBNW tercatat sebanyak 301 jenis flora yang tergolong kedalam 114 marga dan 45 suku.
2. Vegetasi yang berhabitus semai 142 jenis, sapihan 144 jenis, tiang 110 jenis dan pohon 131 jenis
3. Vegetasi yang berhabitus pohon lokasi Doloduo terdiri dari 39 jenis dengan jenis dominan eboni
Diospyros celebica INP = 32,85 dan kayu raja Cassia fistula. Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,59 sedangkan indeks
kemerataan sebesar 0,92. 4. Hutan Torout ditemukan 39 jenis pohon dengan jenis dominan
Nauclea celebica INP = 32,54. Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,49
sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,91. 5. Hutan Tumokang ditemukan 50 jenis pohon dengan jenis dominan
Pangium edule INP =14.69, Nephelium lappaceum INP =14.30. Indeks diversitas
jenis pohon sebesar 3,99 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96. 6. Hutan Matayangan ditemukan 39 jenis pohon dengan jenis dominan
Canarium hirtusum INP=32,06. Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,99 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96.
7. Lokasi Gunung Kabila terdiri dari 35 jenis pohon dengan jenis dominan Dracontomelon dao INP = 27,81. Indeks diversitas jenis pohon sebesar
3,98 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,95.
Saran 1.
Perlu dilakukan penelitian unit-unit sampling di lokasi lain kawasan
konservasi I meliputi struktur dan penyebaran tumbuhan di TNBNW.
2.
Khusus untuk pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone agar dilakukan sesuai dengan tujuan pengelolaannya.
45
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT
DI SEKITAR TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE
ABSTRAK HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Keanekaragaman Tumbuhan Obat dan
Pemanfaatannya oleh Masyarakat Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Dibimbing oleh DEDE SETIADI. LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN
RAHMINIWATI.
Seiring dengan berkembangnya trend kembali ke alam atau “ Back to
nature” penggunaan obat tradisional terutama yang berasal dari tumbuh- tumbuhan juga terus meningkat. Pada dasarnya pemanfaatan obat tradisional
mempunyai tujuan untuk menjaga kondisi tubuh promotif, mencegah penyakit preventif, maupun untuk menyembuhkan suatu penyakit usaha kuratif dan
untuk memulihkan kondisi tubuh usaha rehabilitasi. Tujuan Penelitian ini untuk menggali informasi bagaimana masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone memanfaatkan keanekaragaman spesies tumbuhan hutan untuk pengobatan penyakit. Manfaat penelitian ini yaitu mengungkapkan pengetahuan
masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional dalam rangka melestarikan warisan nilai-nilai budaya leluhur, meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pembangunan kesehatan., menjadi rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berhubungan
dengan masalah dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 121 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat di
TNBNW, terdiri atas 57 suku. Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan tergolong pada suku Euphorbiaceae, Labiatae, Verbenaceae, Araceae, dan
Asteraceae.
ABSTRACT
HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Medicine plant diversity and the use by community in Bogani Nani Wartabone National Park. Under the direction of
DEDE SETIADI, LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI. Following trend to back to the nature, the use of tradistional medicine
particularly from plant sources has increasing. Basically, the objectives in using traditional medicine is to maintain the body condition supportive, to prevent
diseasepreventive, and to cure a disease curative and also to recover body condition rehabilitation efforts.
The research’s objectives are to explore information concerning how the lokal community of Bogani Nani Wartabone National Park uses forest plant
species diversity to cure any diseases. The research was expected useful to describe community knoeledge
concerning plant use as traditional medicine in terms to conserve traditional culture value heritage, increasing community ability to contribute in health
development and as recommendation for further research. The research shows that there are 121 kind of plant that uses as medicine
plant by community around TNBNWB, including 57 sub family. The most abundance plant was claafied as sub family of Euphorbiaceae, Labiatae,
Verbenaceae, Araceae, and Asteraceae. Key words : Medicine plant diversity, utilization, community, Bogani Nani
Wartabone National Park.
46
PENDAHULUAN
Bumi Indonesia merupakan salah satu “Mega Center” keanekaragaman hayati dunia, terdapat 25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut baru 20
atau 5000 jenis yang sudah dimanfaatkan dalam berbagai pemanfaatan termasuk 1260 jenis yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat Rosoedarso,
et al. 1990; Zuhud, 1994. Selanjutnya Zuhud et al., pada tahun 2000 mencatat
bahwa tidak kurang dari 1845 jenis tumbuhan obat telah berhasil diidentifikasi yang tersebar di berbagai formasi hutan dan ekosistem alam lainnya, 180 jenis di
antaranya merupakan tumbuhan obat yang saat ini digunakan dalam jumlah besar sebagai bahan baku industri obat tradisional Indonesia.
Akarele 1991 menyatakan bahwa 74 dari 121 bahan senyawa aktif yang telah menjadi obat-obat moderen yang penting di USA seperti digitoxin,
reserpin, tubercurarine dan ephedrine berasal dari pengetahuan obat radisional di kawasan-kawasan hutan tropika.
Masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional
yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Setiap kawasan hutan alam sesungguhnya telah menyediakan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan
yang dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya dan menyediakan materi biologi untuk bermacam ragam manfaat, antara lain berupa
keanekaragaman jenis tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit, keanekaragaman bahan untuk pangan, dan lain-lain. Sebaliknya sudah banyak
diketahui bahwa setiap etnis memiliki pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati, antara lain dalam penggunaan
keanekaragaman tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit yang mereka derita.
Kearifan tradisional masyarakat adat menyimpan kekuatan upaya konservasi sumberdaya hayati. Salah satu faktor penghambat usaha
perlindungankeanekaragaman hayati adalah miskinnya data tentang sumberdaya hayati Indonesia. Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati
sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan hidupnya sebagai bangsa. Bukan hanya karena posisinya sebagai negara pemilik keanekaragaman
hayati terbesar di dunia tetapi juga karena keterkaitannya yang erat dengan keanekaragaman budaya lokal yang telah lama berkembang di negeri ini.
47
Pengetahuan tradisional dari masyarakat Indonesia ini merupakan aset dalam pengelolaan adatif pelestarian pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan obat
asli Indonesia di masing-masing wilayah, sesuai karakteristik sumberdaya tumbuhan obat dan masyarakat di masing-masing wilayah Indonesia.
Obat tradisional sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, namun sebagaian besar pemanfaatan tersebut hanya
bersifat empiris berdasarkan tradisi dan kepercayaan. Adanya kepercayaan masyarakat bahwa obat tradisional yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan relatif
aman, walaupun data ilmiah yang mendukung efektivitas dan keamanannya belum lengkap, hal ini karena khasiat yang diberikan oleh obat tradisional
merupakan resultan dari berbagai campuran kompleks zat kimia alami di dalamnya, bahan aktif yang satu dapat bekerja sinergis dengan yang lain, namun
ada pula yang bersifat antagonis yang menyeimbangkannya, sehingga relatif tidak akan menimbulkan efek samping yang besar dibandingkan obat-obatan
modern. Pemakaian obat tradisional mempunyai banyak keuntungannya antara
lain 1 efek samping tanaman obat tidak ada jika penggunaanya sesuai anjuran 2 efektif untuk penyembuhan penyakit tertentu yang sulit disembuhkan dengan
obat-obat kimia seperti kanker, tumor, darah tinggi, diabetes, dan lain-lain 3 murah, karena umumnya dapat diperoleh di pekarangan atau tumbuh liar di
kebun di sekitar kita 4 pengobatan umumnya dapat dilakukan oleh anggota keluarga.
Obat tradisional yang merupakan warisan budaya dan telah menjadi bagian integral dari kehidupan bangsa Indonesia, diinginkan untuk dapat dipakai
dalam sistem pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu harus sesuai dengan kaidah pelayanan kesehatan yaitu secara medis dapat dipertanggungjawabkan. Guna
mencapai hal itu perlu dilakukan pengujian ilmiah tentang khasiat, keamanan dan standard kualitasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dirasa perlu untuk melakukan inventarisasi tumbuhan obat, meliputi identifikasi jenis, populasi, penyebaran,
deskripsi; khasiat dan penggunaan secara tradisional, serta melakukan konservasi agar jenis yang sudah langka dan endemik dapat dilestarikan.
48
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari bagaimana masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memanfaatkan keanekaragaman jenis tumbuhan hutan untuk
pengobatan penyakit.
2. Menguji jenis tumbuhan obat yang paling berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut.