Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
234
Nilai-nilai yang mendukung pembelajaran adapatif adalah keterbukaan, kesediaan saling mendengarkan dengan pelanggan eksternal
dan internal, informasi yang tersebar luas, kemampuan mengikuti perkembangan-perkembangan mutakhir Byrd, 1995:485. Nilai-nilai lain
berupa semangat customer-driven, menghargai perubahan sebagai kesempatan untuk bertumbuh, serta sikap menerima hal-hal tak diharapkan
sebagai kesempatan untuk belajar Marquardt Reynolds, 1994. Keyakinan akan ketidakmampuan mengerjakan sendiri berbagai hal
mendorong berkembangnya semangat kemitraan partnership, dan etika bisnis yang menyertainya: integritas yang mutlak, rasa percaya trust, dan
keterbukaan Byrd, 1995:480-481. Artefak-artefak dari dimensi ini meliputi keterjalinan berbagai unsur
lingkungan eksternal dan unsur-unsur dalam organisasi, serta simbol-simbol kemitraan yang saling menguntungkan. Termasuk di dalamnya adalah
ketersediaan sarana informasi yang mudah diakses mengenai pelanggan, pemasok, pesaing, unit-unit terkait dalam organisasi. Juga ada kesepakatan-
kesepakatan kerja sama dan saling penyesuaian dengan unsur-unsur di dalam maupun di luar organisasi.
4. Dimensi Mission
Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan sense of mission, atau suatu pemahaman yang sama dari anggota organisasi mengenai fungsi
dan tujuan organisasi Denison, 1990:13. Manfaat dari misi adalah 1 memberikan purpose and meaning, serta sekumpulan alasan-alasan non-
ekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi Denison, 1990:13; Denison Mishra,1995:216 sehingga perilaku organisasi
memperoleh basis intrinsik atau basis spiritual Denison, 1990:13; 2 memberikan kepastian dan pengendalian clarity and direction, atau
menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok bagi organisasi dan anggota- anggotanya Denison, 1990:13; Denison Mishra: 1995:216. Mengutip
Wake 1979 dan Davis 1987, Denison mengatakan bahwa sense of
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
235
mission ini, antara lain membutuhkan penerapan future perfect thinking, sehingga anggota organisasi berupaya memperbaiki keadaan masa kini
menyongsong masa depan yang diimpikan Denison, 1990:14. Dari dimensi ini, budaya pembelajaran berkembang melalui
penekanan akan sense of mission and direction. Tugas organisasi adalah menetapkan misi dan visi yang mendorong pembelajaran Handy, 1992.
Selanjutnya organisasi menciptakan iklim psikologis yang aman bagi pembelajaran dengan menyediakan kesempatan untuk latihan, memberikan
dukungan dan dorongan untuk melakukan pembelajaran, memberikan penghargaan atas usaha pada arah yang tepat, dan menetapkan norma-
norma yang melegitimasi kesalahan dan eksperimentasi Schein, 1993. Byrd 1995 :480-482 mengemukakan dua prinsip penting. Pertama,
pembelajaran berkaitan dengan keberhasilan perusahaan. Kedua, keberhasilan perusahaan adalah milik bersama 1995:385-386.
Asumsi dasar dari prinsip pertama adalah bahwa pembelajaran sangat penting faktor kritis bagi keberhasilan perusahaan sebagai suatu
entitas. Nilai-nilai atau sikap yang mendasarinya adalah bahwa pembelajaran mestinya didorong oleh kebutuhan bisnis dan misi perusahaan
dan terkait dengan kepentingan perusahaan dalam mempertahankan posisi terdepan dalam berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi, proses-
proses bisnis, dan cara-cara pengelolaan terbaru. Tataran artefak budaya pembelajaran ini, antara lain, ditandai oleh
penataan pelatihan formal dan situasi yang memungkinkan on the job learning, serta penyediaan informasi bisnis untuk mendukung keberhasilan
perusahaan. Pelatihan-pelatihan formal sering difokuskan pada aspek-aspek kritis bagi keberhasilan bisnis sesuai dengan perkembangan mutakhir.
Anggota-anggota organisasi biasanya menunjukkan antusiasme untuk berpartisipasi dalam program-program tersebut.
Prinsip kedua menunjukkan asumsi dasar bahwa keberhasilan perusahaan terutama ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam
memanfaatkan sumber daya-sumber daya pengetahuan, dan mitra-mitra
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
236
secara produktif. Dua nilai yang relevan adalah 1 pandangan bahwa setiap karyawan dituntut bertanggung jawab atas keberhasilan perusahaan, dan 2
setiap karyawan yang berkontribusi terhadap keberhasilan perusahaan harus memperoleh penghargaan yang memadai.
Tataran artefak dari dimensi kedua, antara lain menunjukkan adanya praktek-praktek pembagian keuntungan selain bonus dan komisi, stock
option awards, atau bentuk-bentuk penghargaan lainnya bagi karyawan yang berkontribusi secara signifikan bagi keberhasilan perusahaan.
Pandangan serupa dikemukakan oleh Montgomery dan Scalia 1996:495. Menurut mereka, lingkungan pembelajaran akan efektif jika
hubungan-hubungan didasarkan pada sikap saling menghargai, keyakinan akan kompetensi dan keinginan pihak-pihak lain untuk melakukan hal-hal
benar, serta kepercayaan akan organisasi dalam melindungi dan menghargai orang atau kelompok yang memperjuangkan kepentingan
organisasi. Sebaliknya, manajemen cepat mengambil tindakan tegas dan terbuka dalam mengkomunikasikan tindakan-tindakan yang tidak dapat
ditolerir, yaitu tindakan menguntungkan diri-sendiri. Agar tidak merusak iklim pembelajaran atau keseluruhan aktivitas pembelajaran, manajemen dapat
mengambil tindakan pemisahan secara langsung ketika terdapat kegiatan- kegiatan yang destruktif dan subversif.
Jadi, pembelajaran organisasi dari dimensi ini lebih menekankan kepentingan pencapaian misi, visi, dan sasaran-sasaran organisasi fokus
eskternal, dan juga menekankan keterarahan direction serta stabilitas organisasi.
Tantangan-Tantangan
Pengembangan budaya pembelajaran yang komprehensif memiliki relevansi dengan upaya memajukan pengelolaan organisasi-organisasi
bisnis dalam milenium baru. Dari segi paradigma manajemen dan organisasi, pengembangan ini dimaksudkan sebagai kesempatan untuk membebaskan
organisasi-organisasi dari birokrasi dan birokratisasi yang mendera orang-
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
237
orang dan mempertaruhkan masa depan organisasi-organisasi sendiri, yang berakar pada era klasik, khususnya pada Taylorisme, dan diperhebat pada
era modern. Pengembangan budaya pembelajaran diajukan di sini, dalam banyak hal mencerminkan kecenderungan pos-modernisme untuk
melakukan dekonstruksi terhadap keyakinan, sikap, sistem organisasi yang berkaitan dengan birokrasi yang dibangun untuk kepentingan efisiensi pada
era kapitalisme industrial. Konteks organisasi pada abad 21 ditandai oleh tiga perubahan
fundamental yang menuntut pergeseran paradigma manajemen, yaitu 1 kesadaran yang makin tinggi akan penghargaan atas kemanusiaan hak
azasi manusia, kemerdekaan, dan demokrasi sebagai warna dominan milenium ketiga; 2 berkembangnya masyarakat pengetahuan knowledge
society, dan 3 meluasnya ekonomi jasa. Kenyataan-kenyataan ini, baik aktual maupun sebagai visi yang ingin diwujudkan menuntut pergeseran
paradigma menuju paradigma organisasi dan manajemen yang lebih menghargai harkat dan martabat manusia serta pelibatan totalitas kapabilitas
insani —baik individual tetapi terutama kolektif— dalam segala proses penciptaan nilai tambah ekonomis.
Kapabilitas insani meliputi kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan adversitas. Pengelolaannya secara memadai semakin diyakini
sebagai kunci keberhasilan dari sistem-sistem yang hidup pada berbagai tingkatan: individu, organisasi, masyarakat dan bangsa, bahkan pada tataran
sistem dunia world system secara keseluruhan. Pengembangan budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif
memiliki banyak tantangan. Dalam tulisan ini dikemukakan dua tantangan penting. Yakni, pertama, pengintegrasian budaya pembelajaran dalam
keseluruhan sistem, struktur, dan proses organisasi. Kedua, peran kepemimpinan.
1. Pengintegrasian Budaya Pembelajaran