MODEL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA TERINTEGR
MODEL PEMBELAJARAN SENI BUDAYA TERINTEGRASI PENDIDIKAN
KARAKTER
Oleh
KASMAWATI ABBAS
ABSTRAK
Paper ini membicangkan tentang model pembelajaran seni budaya terintegrasi
pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan internalisasi nilai-nilai luhur budaya,
falsafah, dan nilai-nilai religius. Mata Pelajaran seni budaya merupakan salah satu mata
pelajaran yang lebih banyak menitikberatkan penguasaan kompetensi pada aspek
psikomotorik dan afektif. Selain itu, mata pelajaran seni budaya sangat relevan dengan
tujuan pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter, bukan sebuah mata pelajaran
baru, namun dilakukan melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
model pembelajaran seni budaya yang diharapkan dapat mengitegrasikan pendidikan
karakter adalah model tematik integratif. Pembelajaran yang dilakukan dengan model ini
adalah mengambil tema yang dari kompetensi dasar yang ingin dicapai dan disesuaikan
nilai karakter yang akan dibangun.
Key Word: pendidikan karakter, seni budaya, model, tematik, integratif.
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan
merupakan
proses
multidimensional,
yang
mengarah
kepada
pembentukan dan pengembangan keseluruhan dari dimensi manusia, seperti Iman dan
takwa, intelektualitas, emosional, moralitas, kepekaan sosial, disiplin, tanggung jawab, etos
kerja, sehingga proses pendewasaan daya nalar, daya cipta, rasa, karsa dan karya dapat
berfungsi dengan baik, dan pada gilirannya peserta didik dapat menghadapi tantangan baik
pada masa kini maupun pada masa mendatang. Pendidikan tidak hanya berhubungan
dengan pentransferan pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga memaparkan,
menanamkan dan memberi keteladanan dalam hal sikap, nilai, moralitas, ucapan,
perbuatan dan gaya hidup. Dengan demikian dunia pendidikan tidaklah hanya cukup
bertujuan
untuk
mencerdaskan
peserta
didik
saja,
melainkan
memberikan
bekal
kemampuan
holistik dan integratif yang sangat penting untuk mengantar peserta didik
bersaing secara global.
Kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini belum secara utuh mencapai tujuan
sebagaimana
yang
dikemukakan
di
atas.
Berbagai
hal
menjadi
faktor
pemicu
ketidakberhasilan tersebut. Sistem pendidikan saat ini masih cenderung mengeksploitasi
pemikiran peserta didik. Indikator yang digunakan lebih banyak menggunakan indikator
kepintaran (kognitif) dan cenderung mengabaikan indikator afektif (pembentukan sikap),
meskipun akhir-akhir ini pemerintah gencar menekankan 3 dimensi penilaian dalam
pembelajaran yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Kondisi nyata di sekolah yang ada
di Indonesia saat ini khususnya pada pendidikan dasar dan menengah(SD, SMP dan SMA)
adalah minimnya pendidikan budi pekerti dan karakter. Sebagai contoh kurikulum
pendidikan agama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya memiliki beban belajar 2
jam/minggu, sedangkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Matematika
memiliki beban belajar masing- masing 4 jam/minggu.
Pendidikan wajib 9 tahun masih mayoritas memfokuskan pada intelektual saja
seperti pelajaran science dan hafalan. Akibatnya tujuan akhir dari pendidikan tersebut
adalah perolehan nilai atau angka yang tinggi, bukan pada perolehan skill atau kemampuan
untuk bersaing di tengah-tengah masyarakat atau pembentukan budi pekerti yang luhur dan
pembentukan karakter sosok pribadi yang unggul. Jika peserta didik dari kecil atau dari
pendidikan awal hanya ditekankan pada intelektual saja dan mengabaikan pembinaan
mental dan budi pekerti, maka gambaran masa depan mereka adalah tercetaknya politisi
atau pemegang kekuasaan yang cerdas namun karakter dan ahlaknya sangat rendah, karena
mereka akan berpikir untuk kepentingan diri sendiri saja dan tidak memiliki kepedulian
terhadap orang lain atau lingkungan sekitar. Belum lagi data-data tentang maraknya kasuskasus ekstrim (misalnya tawuran pelajar, penyuapan, korupsi, kekerasan dan lain-lain)
yang menggambarkan kegagalan pendidikan kita dalam membangun karakter bangsa.
Melihat kondisi tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter
sekarang ini mutlak diperlukan untuk mendukung national character building , terlebihlebih pada anak usia dini dan remaja yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan
kejiwaan, sehingga sangat tepat untuk menanamkan budi pekerti dan karakter pada peserta
didik di pendidikan awal /pendidikan dasar (SD dan SMP). Bagaimanapun juga karakter
adalah kunci keberhasilan individu.
Karena karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan,
kebangsaan yang terwujud
perbuatan
berdasarkan
dalam sikap,
pikiran,
perasaan,
perkataan,
norma-norma, agama, hukum, tata krama, adat istiadat dan
budaya.
Paper ini akan membincangkan bagaimana model pembelajaran seni budaya yang
terintegrasi dengan pendidikan karakter.
B. PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter, bukan sebuah mata pelajaran baru, namun dilakukan melalui
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari . Secara historis pendidikan karakter di Indonesia
sebenarnya telah lama berakar dalam tradisi pendidikan. Sejarah telah mencatat bahwa Ki
Hajar Dewantoro, Soekarno, Hatta dan lain-lain telah mencoba menerapkan semangat
pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan
konteks dan situasinya. Namun seiring dengan perkembangan waktu, dunia pendidikanpun
mengalami berbagai perubahan
dengan
silih
bergantinya penggunaan kurikulum di
Indonesia, mulai dari kurikulum tahun 1947, 1950, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004
dan 2006. Dari kurikulum 1947 sampai dengan kurikulum 1984, perubahannya mengikuti
perkembangan politik di Indonesia.
Menurut
Koesoema
(2007),
karakter
adalah sruktur antropologis manusia,
sedangkan pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat
tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama orang lain di dunia. Pada
hakekatnya karakter merupakan perpaduan antara moral, etika dan akhlak. Moral lebih
menitikberatkan pada kualitas perbuatan, tindakan atau perilaku manusia atau apakah
perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk, atau benar atau salah. Sebaliknya, etika
memberikan penilaian tentang baik dan buruk, berdasarkan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat tertentu, sedangkan akhlak tatanannya lebih menekankan bahwa pada
hakikatnya dalam diri manusia itu telah tertanam keyakinan di mana ke duanya(baik dan
buruk)
itu
ada.
Karenanya,
pendidikan
karakter
dimaknai
sebagai
pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati.
Pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi
individu manusia (Kognitif, afektif, psikomotorik, dan konatif) dalam konteks interaksi
social cultural (keluarga, sekolah dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Tim
Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010) mengembangkan suatu grand design yang
menggambarkan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan social
cultural yang dikelompokkan dalam empat bagian yaitu: olah hati (spiritual and emotional
development ), olah pikir (intellectual development ), olah raga dan kinestetik (physical and
kinesthetic development ) dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development )
yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Grand Design konfigurasi karakter .
Sumber: Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas, 2010.
Tujuan pendidikan karakter pada Sekolah Menengah Pertama adalah untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan
seimbang sesuai standar kompetensi lulusan (Suhardi, 2010). Melalui pendidikan karakter
peserta didik SMP diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan mengintrnalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter
dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran
termasuk mata pelajaran seni budaya. Mata Pelajaran seni budaya berkaitan dengan nilainilai yang perlu dikembangkan, dieksplisitkan dan dikaitkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran nilai dan karakter tidak hanya
pada tatanan
kognitif saja melainkan menyentuh internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Menurut Triatmanto (2010) Integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran
tidak hanya dapat dilakukan dalam materi pelajaran saja melainkan tekhnik dan metode
mengajar dapat digunakan sebagai alat pendidikan karakter. Membangun individu dapat
dilakukan
dalam
proses
pengukuran
dan
observasi,
misalnya
membangun
sikap
bertanggung jawab melalui penugasan, membangun kepercayaan diri melalui presentase di
depan kelas.
C. PEMBELAJARAN SENI BUDAYA
Merujuk pada Depdiknas (2007), tertera Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum
untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Seni Budaya termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika yang dimaksudkan
untuk
meningkatkan
sensitivitas,
kemampuan
mengekspresikan
dan
kemampuan
mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan
keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan
individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Tujuan mata pelajaran seni budaya sebagaimana tercantum dalam Depdiknas
(2005) adalah agar siswa memiliki pengalaman berekspresi, berkreasi, dan berapresiasi
seni yang manfaatnya berguna untuk mengembangkan kepekaan estetis, meningkatkan
kreativitas dan berfikir kritis, serta menanamkan nilai-nilai etika dalam berperilaku. Materi
seninya meliputi seni daerah setempat, seni nusantara, dan seni mancanegara. Melalui
pembelajaran beragam seni tersebut diharapkan siswa dapat mampu berekspresi dan
mengapresiasi seni budaya Indonesia dan di dunia.
Seni budaya mempelajari empat bidang utama yaitu seni rupa, seni musik dan seni
tari dan teater. Mata pelajaran seni budaya diajarkan pada setiap jenjang pendidikan dasar
dan menengah di Indonesia. Di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI)
mata pelajaran ini dikenal dengan nama Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) dengan
beban belajar 2 jam/minggu, di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiah (MTs) mata pelajaran seni budaya memiliki beban belajar 2 jam/minggu, di
tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) mata pelajaran seni
budaya juga memiliki beban belajar 2 jam/minggu (Depdiknas, 2007). Ruang lingkup
pembahasan pada paper ini mencakup pembelajaran seni budaya di tingkat pendidikan
dasar (SD dan SMP).
Menurut Afriawanto (2011) pendidikan seni budaya dan keterampilan memiliki
peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan
kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multi kecerdasan yang terdiri atas
kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musical, linguistic, logic matematik,
naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral
dan kecerdasan emosional. Dengan demikian pembelajaran Seni Budaya dapat menjadi
salah satu cara untuk membangun karakter peserta didik menjadi sosok pribadi yang
unggul.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan model maupun strategi yang
cocok dalam pembelajaran seni budaya. Selain itu penting pula diperhatikan lingkungan
belajar, dalam hal ini kondisi yang mendukung efektivitas proses belajar mengajar, seperti:
1)
lingkungan belajar berpusat pada peserta didik yang memandang bahwa peserta didik
merupakan pelaku utama dalam proses belajar mengajar sedangkan guru sebagai pengarah
dan fasilitator (Allen, D.,& Tanner, K., 2005 ; Pedersen, S.,2003) 2)
peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka
3)
bagaimana cara
bagaimana menumbuhkan
komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok.
D. MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF
Dalam konteks pembelajaran, Udin S Winataputra (2001), mendefenisikan model
sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu
kegiatan. Jadi model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu. Model dapat pula diartikan sebagai suatu pola yang digunakan dalam
menyusun kurikulum, merancang dan menyampaikan materi, mengorganisasikan peserta
didik
dan memilih media dan metode dalam suatu kondisi pembelajaran. Model
menggambarkan tingkat terluas dari praktek pembelajaran dan berisikan orientasi filosofi
pembelajaran, yang digunakan untuk menyeleksi dan menyusun strategi pengajaran,
metode, keterampilan, dan aktivitas peserta didik untuk memberikan tekanan pada salah
satu bagian pembelajaran (topik konten).
Model pembelajaran seni budaya terintegrasi pendidikan karakter dapat dilakukan
dengan cara:
-
Menganalisis Standar Isi
-
Menganalisis SK dan KD
-
Memilih SK / KD
-
Mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang bersesuaian dengan SK / KD
-
Memilih tema yang sesuai
-
Membuat Rencana Pembelajaran dan alat evaluasi
-
Melaksanakan Pembelajaran
Sebagai contoh, jika kompetensi yang akan dicapai oleh siswa adalah “memahami
tarian tradisional”, maka terlebih dahulu guru mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang
bersesuaian dengan kompetensi tersebut. Kemudian menentukan tema yang cocok,
misalnya “Menghargai Tamu”. Selanjutnya guru membuat rencana pembelajaran tentang
tarian tradisional “Tari Padduppa”. Setelah pembelajaran selesai, dilakukan tanya jawab
dengan
siswa
tentang
nilai-nilai yang terkandung dalam tarian tersebut.
Langkah
selanjutnya adalah mengajak siswa untuk membiasakan nilai-nilai yang telah diperoleh
dari pembelajaran “tarian tradisional”.
E. KESIMPULAN
-
Sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini hanya mengutamakan pada intelektual
saja, sehingga pendidikan karakter telah terabaikan. Untuk itu perlunya pendidikan
nilai –nilai yang erat hubungannya dengan pembentukan watak seseorang.
-
Pendidikan seni merupakan bagian dari rumpun pendidikan nilai-nilai, karena
termasuk suatu proses budaya yang selalu berusaha meningkatkan harkat dan
martabat manusia sehingga dapat menjadikan manusia- manusia yang berkarakter.
-
Pendidikan karakter dapat memberikan kepada peserta didik ilmu, pengetahuan,
praktik-praktik budaya, perilaku yang berorientasi pada nilai-nilai ideal kehidupan.
Karena itu pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti,
pendidikan
moral,
pendidikan
watak
sehingga
peserta
didik
dapat
menunjukkan kebiasaan berperilaku baik.
-
Pembelajaran seni budaya termasuk mata pelajaran estetika, dengan demikian
pembelajaran seni budaya dapat membentuk karakter peserta didk, sehingga peserta
didik dapat
menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.
Karena itu mata pelajaran Estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas,
kemampuan
mengapresiasi
dan
kemampuan
mengekspresikan
keindahan
yang mencakup apresiasi dan ekspresi.
-
Pembelajaran seni budaya di sekolah dapat memberikan
keunikan, kebermaknaan
dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang terletak
pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan
berapresiasi. Pengalaman estetik yang diberikan pada pembelajaran seni budaya pada
prinsipnya berfungsi melatih dan mengembangkan kepekaan rasa . Dengan kepekaan
rasa yang tinggi mental seseorang cenderung mudah diisi dengan nilai-nilai hidup dan
kehidupan,
seperti
pengembangan
nilai religius,
karakter
dilakukan dengan
yang
nilai moral,
terintegrasi
nilai budi pekerti.
dengan
pembelajaran
Sedangkan
seni
budaya
memasukan pengembangan karakter pada setiap pokok bahasan
yang akan diajarkan dalam silabus dan RPP.
-
Dengan adanya model pembelajaran seni budaya yang diintegrasikan
karakter dapat
pendidikan
mendidik dan membimbing pelajar sedini mungkin untuk memahami
nilai- nilai yang terkandung dalam pembelajaran seni budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Afriawanto. 2011. Pengajaran Seni Budaya Berbantuan Komputer. Jurnal. Universitas
Sumatera Utara.
Allen, D., & Tanner, K. 2005. Infusing Active Learning into the Large-enrollment Biology
Class: Seven Strategies, from the Simple to Complex. Cell Biology Education, 4 , 262-268.
Depdiknas. 2005. Standar Kompetensi dan Kompetensi Standar Mata Pelajaran Seni
Budaya. Jakarta
Depdiknas. 2007. Petunjuk Tekhnis Pengembangan Sillabus dan Contoh / Model Sillabus.
Jakarta: DIrjen Manajemen Dikdasmen Diknas.
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.
Jakarta: Gramedia Widyasarana Indonesia.
Pedersen, S. 2003. Motivational orientation in a problem-based learning environment.
Journal of Interactive Learning Research, 14 (1), 51–77.
Suhardi, Didik. 2010. Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.
Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional Dirjen manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan karakter di Sekolah
Menengah Pertama . Jakarta:
Kementrian Pendidikan Nasional Dirjen manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Triatmanto. 2010. “Tantangan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”. Jurnal
Cakrawala Pendidikan , Mei 2010 tahun XXIX, edisi khusus Dies Natalis UNY.
Udin S. Winataputra. 2001. Model-model Pembelajaran Inovatif, Jakarta : Pusat Antar
Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Dirjen Dikti
Depdiknas.
KARAKTER
Oleh
KASMAWATI ABBAS
ABSTRAK
Paper ini membicangkan tentang model pembelajaran seni budaya terintegrasi
pendidikan karakter. Pendidikan karakter merupakan internalisasi nilai-nilai luhur budaya,
falsafah, dan nilai-nilai religius. Mata Pelajaran seni budaya merupakan salah satu mata
pelajaran yang lebih banyak menitikberatkan penguasaan kompetensi pada aspek
psikomotorik dan afektif. Selain itu, mata pelajaran seni budaya sangat relevan dengan
tujuan pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter, bukan sebuah mata pelajaran
baru, namun dilakukan melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu,
model pembelajaran seni budaya yang diharapkan dapat mengitegrasikan pendidikan
karakter adalah model tematik integratif. Pembelajaran yang dilakukan dengan model ini
adalah mengambil tema yang dari kompetensi dasar yang ingin dicapai dan disesuaikan
nilai karakter yang akan dibangun.
Key Word: pendidikan karakter, seni budaya, model, tematik, integratif.
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan
merupakan
proses
multidimensional,
yang
mengarah
kepada
pembentukan dan pengembangan keseluruhan dari dimensi manusia, seperti Iman dan
takwa, intelektualitas, emosional, moralitas, kepekaan sosial, disiplin, tanggung jawab, etos
kerja, sehingga proses pendewasaan daya nalar, daya cipta, rasa, karsa dan karya dapat
berfungsi dengan baik, dan pada gilirannya peserta didik dapat menghadapi tantangan baik
pada masa kini maupun pada masa mendatang. Pendidikan tidak hanya berhubungan
dengan pentransferan pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi juga memaparkan,
menanamkan dan memberi keteladanan dalam hal sikap, nilai, moralitas, ucapan,
perbuatan dan gaya hidup. Dengan demikian dunia pendidikan tidaklah hanya cukup
bertujuan
untuk
mencerdaskan
peserta
didik
saja,
melainkan
memberikan
bekal
kemampuan
holistik dan integratif yang sangat penting untuk mengantar peserta didik
bersaing secara global.
Kondisi pendidikan di Indonesia dewasa ini belum secara utuh mencapai tujuan
sebagaimana
yang
dikemukakan
di
atas.
Berbagai
hal
menjadi
faktor
pemicu
ketidakberhasilan tersebut. Sistem pendidikan saat ini masih cenderung mengeksploitasi
pemikiran peserta didik. Indikator yang digunakan lebih banyak menggunakan indikator
kepintaran (kognitif) dan cenderung mengabaikan indikator afektif (pembentukan sikap),
meskipun akhir-akhir ini pemerintah gencar menekankan 3 dimensi penilaian dalam
pembelajaran yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Kondisi nyata di sekolah yang ada
di Indonesia saat ini khususnya pada pendidikan dasar dan menengah(SD, SMP dan SMA)
adalah minimnya pendidikan budi pekerti dan karakter. Sebagai contoh kurikulum
pendidikan agama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) hanya memiliki beban belajar 2
jam/minggu, sedangkan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Matematika
memiliki beban belajar masing- masing 4 jam/minggu.
Pendidikan wajib 9 tahun masih mayoritas memfokuskan pada intelektual saja
seperti pelajaran science dan hafalan. Akibatnya tujuan akhir dari pendidikan tersebut
adalah perolehan nilai atau angka yang tinggi, bukan pada perolehan skill atau kemampuan
untuk bersaing di tengah-tengah masyarakat atau pembentukan budi pekerti yang luhur dan
pembentukan karakter sosok pribadi yang unggul. Jika peserta didik dari kecil atau dari
pendidikan awal hanya ditekankan pada intelektual saja dan mengabaikan pembinaan
mental dan budi pekerti, maka gambaran masa depan mereka adalah tercetaknya politisi
atau pemegang kekuasaan yang cerdas namun karakter dan ahlaknya sangat rendah, karena
mereka akan berpikir untuk kepentingan diri sendiri saja dan tidak memiliki kepedulian
terhadap orang lain atau lingkungan sekitar. Belum lagi data-data tentang maraknya kasuskasus ekstrim (misalnya tawuran pelajar, penyuapan, korupsi, kekerasan dan lain-lain)
yang menggambarkan kegagalan pendidikan kita dalam membangun karakter bangsa.
Melihat kondisi tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter
sekarang ini mutlak diperlukan untuk mendukung national character building , terlebihlebih pada anak usia dini dan remaja yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan
kejiwaan, sehingga sangat tepat untuk menanamkan budi pekerti dan karakter pada peserta
didik di pendidikan awal /pendidikan dasar (SD dan SMP). Bagaimanapun juga karakter
adalah kunci keberhasilan individu.
Karena karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan,
kebangsaan yang terwujud
perbuatan
berdasarkan
dalam sikap,
pikiran,
perasaan,
perkataan,
norma-norma, agama, hukum, tata krama, adat istiadat dan
budaya.
Paper ini akan membincangkan bagaimana model pembelajaran seni budaya yang
terintegrasi dengan pendidikan karakter.
B. PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter, bukan sebuah mata pelajaran baru, namun dilakukan melalui
pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari . Secara historis pendidikan karakter di Indonesia
sebenarnya telah lama berakar dalam tradisi pendidikan. Sejarah telah mencatat bahwa Ki
Hajar Dewantoro, Soekarno, Hatta dan lain-lain telah mencoba menerapkan semangat
pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan
konteks dan situasinya. Namun seiring dengan perkembangan waktu, dunia pendidikanpun
mengalami berbagai perubahan
dengan
silih
bergantinya penggunaan kurikulum di
Indonesia, mulai dari kurikulum tahun 1947, 1950, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004
dan 2006. Dari kurikulum 1947 sampai dengan kurikulum 1984, perubahannya mengikuti
perkembangan politik di Indonesia.
Menurut
Koesoema
(2007),
karakter
adalah sruktur antropologis manusia,
sedangkan pendidikan karakter akan memberikan bantuan sosial agar individu dapat
tumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama orang lain di dunia. Pada
hakekatnya karakter merupakan perpaduan antara moral, etika dan akhlak. Moral lebih
menitikberatkan pada kualitas perbuatan, tindakan atau perilaku manusia atau apakah
perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk, atau benar atau salah. Sebaliknya, etika
memberikan penilaian tentang baik dan buruk, berdasarkan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat tertentu, sedangkan akhlak tatanannya lebih menekankan bahwa pada
hakikatnya dalam diri manusia itu telah tertanam keyakinan di mana ke duanya(baik dan
buruk)
itu
ada.
Karenanya,
pendidikan
karakter
dimaknai
sebagai
pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati.
Pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi
individu manusia (Kognitif, afektif, psikomotorik, dan konatif) dalam konteks interaksi
social cultural (keluarga, sekolah dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Tim
Pendidikan Karakter Kemendiknas (2010) mengembangkan suatu grand design yang
menggambarkan konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan social
cultural yang dikelompokkan dalam empat bagian yaitu: olah hati (spiritual and emotional
development ), olah pikir (intellectual development ), olah raga dan kinestetik (physical and
kinesthetic development ) dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development )
yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Grand Design konfigurasi karakter .
Sumber: Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas, 2010.
Tujuan pendidikan karakter pada Sekolah Menengah Pertama adalah untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada
pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan
seimbang sesuai standar kompetensi lulusan (Suhardi, 2010). Melalui pendidikan karakter
peserta didik SMP diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan mengintrnalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter
dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran
termasuk mata pelajaran seni budaya. Mata Pelajaran seni budaya berkaitan dengan nilainilai yang perlu dikembangkan, dieksplisitkan dan dikaitkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran nilai dan karakter tidak hanya
pada tatanan
kognitif saja melainkan menyentuh internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Menurut Triatmanto (2010) Integrasi pendidikan karakter dalam pembelajaran
tidak hanya dapat dilakukan dalam materi pelajaran saja melainkan tekhnik dan metode
mengajar dapat digunakan sebagai alat pendidikan karakter. Membangun individu dapat
dilakukan
dalam
proses
pengukuran
dan
observasi,
misalnya
membangun
sikap
bertanggung jawab melalui penugasan, membangun kepercayaan diri melalui presentase di
depan kelas.
C. PEMBELAJARAN SENI BUDAYA
Merujuk pada Depdiknas (2007), tertera Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum
untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
Seni Budaya termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika yang dimaksudkan
untuk
meningkatkan
sensitivitas,
kemampuan
mengekspresikan
dan
kemampuan
mengapresiasi keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan
keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan
individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup, maupun dalam kehidupan
kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
Tujuan mata pelajaran seni budaya sebagaimana tercantum dalam Depdiknas
(2005) adalah agar siswa memiliki pengalaman berekspresi, berkreasi, dan berapresiasi
seni yang manfaatnya berguna untuk mengembangkan kepekaan estetis, meningkatkan
kreativitas dan berfikir kritis, serta menanamkan nilai-nilai etika dalam berperilaku. Materi
seninya meliputi seni daerah setempat, seni nusantara, dan seni mancanegara. Melalui
pembelajaran beragam seni tersebut diharapkan siswa dapat mampu berekspresi dan
mengapresiasi seni budaya Indonesia dan di dunia.
Seni budaya mempelajari empat bidang utama yaitu seni rupa, seni musik dan seni
tari dan teater. Mata pelajaran seni budaya diajarkan pada setiap jenjang pendidikan dasar
dan menengah di Indonesia. Di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI)
mata pelajaran ini dikenal dengan nama Seni Budaya dan Keterampilan (SBK) dengan
beban belajar 2 jam/minggu, di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiah (MTs) mata pelajaran seni budaya memiliki beban belajar 2 jam/minggu, di
tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) mata pelajaran seni
budaya juga memiliki beban belajar 2 jam/minggu (Depdiknas, 2007). Ruang lingkup
pembahasan pada paper ini mencakup pembelajaran seni budaya di tingkat pendidikan
dasar (SD dan SMP).
Menurut Afriawanto (2011) pendidikan seni budaya dan keterampilan memiliki
peranan dalam pembentukan pribadi peserta didik yang harmonis dengan memperhatikan
kebutuhan perkembangan anak dalam mencapai multi kecerdasan yang terdiri atas
kecerdasan intrapersonal, interpersonal, visual spasial, musical, linguistic, logic matematik,
naturalis serta kecerdasan adversitas, kecerdasan kreativitas, kecerdasan spiritual dan moral
dan kecerdasan emosional. Dengan demikian pembelajaran Seni Budaya dapat menjadi
salah satu cara untuk membangun karakter peserta didik menjadi sosok pribadi yang
unggul.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan model maupun strategi yang
cocok dalam pembelajaran seni budaya. Selain itu penting pula diperhatikan lingkungan
belajar, dalam hal ini kondisi yang mendukung efektivitas proses belajar mengajar, seperti:
1)
lingkungan belajar berpusat pada peserta didik yang memandang bahwa peserta didik
merupakan pelaku utama dalam proses belajar mengajar sedangkan guru sebagai pengarah
dan fasilitator (Allen, D.,& Tanner, K., 2005 ; Pedersen, S.,2003) 2)
peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka
3)
bagaimana cara
bagaimana menumbuhkan
komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok.
D. MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK INTEGRATIF
Dalam konteks pembelajaran, Udin S Winataputra (2001), mendefenisikan model
sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu
kegiatan. Jadi model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu. Model dapat pula diartikan sebagai suatu pola yang digunakan dalam
menyusun kurikulum, merancang dan menyampaikan materi, mengorganisasikan peserta
didik
dan memilih media dan metode dalam suatu kondisi pembelajaran. Model
menggambarkan tingkat terluas dari praktek pembelajaran dan berisikan orientasi filosofi
pembelajaran, yang digunakan untuk menyeleksi dan menyusun strategi pengajaran,
metode, keterampilan, dan aktivitas peserta didik untuk memberikan tekanan pada salah
satu bagian pembelajaran (topik konten).
Model pembelajaran seni budaya terintegrasi pendidikan karakter dapat dilakukan
dengan cara:
-
Menganalisis Standar Isi
-
Menganalisis SK dan KD
-
Memilih SK / KD
-
Mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang bersesuaian dengan SK / KD
-
Memilih tema yang sesuai
-
Membuat Rencana Pembelajaran dan alat evaluasi
-
Melaksanakan Pembelajaran
Sebagai contoh, jika kompetensi yang akan dicapai oleh siswa adalah “memahami
tarian tradisional”, maka terlebih dahulu guru mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang
bersesuaian dengan kompetensi tersebut. Kemudian menentukan tema yang cocok,
misalnya “Menghargai Tamu”. Selanjutnya guru membuat rencana pembelajaran tentang
tarian tradisional “Tari Padduppa”. Setelah pembelajaran selesai, dilakukan tanya jawab
dengan
siswa
tentang
nilai-nilai yang terkandung dalam tarian tersebut.
Langkah
selanjutnya adalah mengajak siswa untuk membiasakan nilai-nilai yang telah diperoleh
dari pembelajaran “tarian tradisional”.
E. KESIMPULAN
-
Sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini hanya mengutamakan pada intelektual
saja, sehingga pendidikan karakter telah terabaikan. Untuk itu perlunya pendidikan
nilai –nilai yang erat hubungannya dengan pembentukan watak seseorang.
-
Pendidikan seni merupakan bagian dari rumpun pendidikan nilai-nilai, karena
termasuk suatu proses budaya yang selalu berusaha meningkatkan harkat dan
martabat manusia sehingga dapat menjadikan manusia- manusia yang berkarakter.
-
Pendidikan karakter dapat memberikan kepada peserta didik ilmu, pengetahuan,
praktik-praktik budaya, perilaku yang berorientasi pada nilai-nilai ideal kehidupan.
Karena itu pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti,
pendidikan
moral,
pendidikan
watak
sehingga
peserta
didik
dapat
menunjukkan kebiasaan berperilaku baik.
-
Pembelajaran seni budaya termasuk mata pelajaran estetika, dengan demikian
pembelajaran seni budaya dapat membentuk karakter peserta didk, sehingga peserta
didik dapat
menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya.
Karena itu mata pelajaran Estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas,
kemampuan
mengapresiasi
dan
kemampuan
mengekspresikan
keindahan
yang mencakup apresiasi dan ekspresi.
-
Pembelajaran seni budaya di sekolah dapat memberikan
keunikan, kebermaknaan
dan kebermanfaatan terhadap kebutuhan perkembangan peserta didik, yang terletak
pada pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi dan
berapresiasi. Pengalaman estetik yang diberikan pada pembelajaran seni budaya pada
prinsipnya berfungsi melatih dan mengembangkan kepekaan rasa . Dengan kepekaan
rasa yang tinggi mental seseorang cenderung mudah diisi dengan nilai-nilai hidup dan
kehidupan,
seperti
pengembangan
nilai religius,
karakter
dilakukan dengan
yang
nilai moral,
terintegrasi
nilai budi pekerti.
dengan
pembelajaran
Sedangkan
seni
budaya
memasukan pengembangan karakter pada setiap pokok bahasan
yang akan diajarkan dalam silabus dan RPP.
-
Dengan adanya model pembelajaran seni budaya yang diintegrasikan
karakter dapat
pendidikan
mendidik dan membimbing pelajar sedini mungkin untuk memahami
nilai- nilai yang terkandung dalam pembelajaran seni budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Afriawanto. 2011. Pengajaran Seni Budaya Berbantuan Komputer. Jurnal. Universitas
Sumatera Utara.
Allen, D., & Tanner, K. 2005. Infusing Active Learning into the Large-enrollment Biology
Class: Seven Strategies, from the Simple to Complex. Cell Biology Education, 4 , 262-268.
Depdiknas. 2005. Standar Kompetensi dan Kompetensi Standar Mata Pelajaran Seni
Budaya. Jakarta
Depdiknas. 2007. Petunjuk Tekhnis Pengembangan Sillabus dan Contoh / Model Sillabus.
Jakarta: DIrjen Manajemen Dikdasmen Diknas.
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.
Jakarta: Gramedia Widyasarana Indonesia.
Pedersen, S. 2003. Motivational orientation in a problem-based learning environment.
Journal of Interactive Learning Research, 14 (1), 51–77.
Suhardi, Didik. 2010. Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama.
Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional Dirjen manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan karakter di Sekolah
Menengah Pertama . Jakarta:
Kementrian Pendidikan Nasional Dirjen manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.
Triatmanto. 2010. “Tantangan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”. Jurnal
Cakrawala Pendidikan , Mei 2010 tahun XXIX, edisi khusus Dies Natalis UNY.
Udin S. Winataputra. 2001. Model-model Pembelajaran Inovatif, Jakarta : Pusat Antar
Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Dirjen Dikti
Depdiknas.