Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
229
Keempat nilai transendental di atas memungkinkan berkembang luasnya nilai-nilai lain berupa kebebasan kreativitas Pollard, 1996:70; Byrd,
1995:478-479; trust dan perlawanan atas ketakutan, bahkan sebaliknya mendorong keterbukaan, kesediaan untuk menerima ambiguitas dan
perspektif yang berbeda Vogt, 1995:302-303; Hoffman Withers, 1995:469. Juga ada nilai egaliter dan sikap positif terhadap resiko atau
kesalahan, dimana kesalahan pada tingkat tertentu dibutuhkan bagi kemajuan Leonard-Barton, 1995; Marquardt Reynaolds, 1994. Dalam
rumusan yang mirip, Handy 1995 mengemukakan penghargaan atas rasa percaya trust, keingintahuan curiosity, dan juga forgiveness-celebration.
Semuanya ini berangkat dari kesadaran akan pentingnya penghargaan atas upaya-upaya kreatif dari setiap individu dalam memajukan dinamika internal
organisasi dan kesediaan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan dalam uji coba yang dilaksanakan demi kemajuan individu dan organisasi.
Manifestasi perilaku dari dimensi ini, di antaranya berupa non- judgmental conversations Vogt, 1995: 302-303; kebebasan mengemukakan
pandangan dan mencoba gagasan-gagasan yang tidak konvensional Wise, 1996:44; sharing atau berbagi bahan bakar mengenai pembelajaran yang
efektif, informasi, perasaan-perasaan, kelemahan-kelemahan, kesalahan- kesalahan dan kreativitas, serta tidak ada hukuman untuk kesalahan dalam
pembelajaran Montgomery Scalia, 1996:445; pengampunan atas hal-hal yang telah terjadi forgive the past, merasakan kesempurnaan dari setiap
kejadian, terbuka dan menyingkirkan tuduh-menuduh, serta kebebasan bertindak Pattakos, 1996:174. Selain itu, tersedia sumber daya waktu dan
dana bagi pembelajaran yang diprakarsai oleh individu dengan sistem pengupahan atau pengakuan dan sistem pengembangan karier Leonard-
Barton, 1995.
2. Dimensi Consistency
Pandangan konsistensi menekankan budaya yang kuat dari organisasi. Di sini ditekankan adanya sistem-sistem pengendalian implisit,
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
230
didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem pengendalian eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman
rules dan aturan-aturan regulations. Dengan kata lain, budaya yang kuat menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara
luas oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif collective definition mengenai perilaku, sistem, dan makna meanings secara terpadu
yang menuntut kepatuhan individual individual conformity ketimbang partisipasi sukarela Denison Mishra, 1995:214. Intinya, perspektif ini
menekankan konformitas atau agreement dan prediktabilitas. Asumsi dasar dari budaya yang kuat adalah bahwa sistem
pengendalian implisit, yang didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, merupakan sarana yang efektif untuk mencapai integrasi atau konsistensi
normatif. Hal ini memungkinkan organisasi melakukan tindakan-tindakan terkoordinasi yang dilandasi oleh kesamaan pemahaman di antara anggota
organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat bereaksi terhadap lingkungan secara cepat dan memadai, serta mampu melindungi sistem nilai
yang dianut Denison, 1990:11; Denison Mishra, 1995:215. Intinya, dimensi ini menekankan kemampuan organisasi untuk memperoleh
konsensus dan menghasilkan tindakan-tindakan terkoordinasi. Nilai yang lazim adalah penghargaan akan konsistensi, harmoni, dan
konsensus. Tingginya derajat integrasi normatif, shared meanings, dan kerangka acuan yang sama akan meningkatkan kapasitas organisasi untuk
kegiatan-kegiatan terkoordinasi dan mendukung proses keputusan yang lebih cepat Denison, 1990:10. Meskipun begitu, penekanan akan
konsistensi secara berlebihan bisa menjadi faktor penghambat bagi perubahan dan adaptasi organisasi Denison Mishra, 1995:215.
Hoffman dan Withers 1995:474 mengatakan, budaya yang konsisten merupakan kebutuhan bagi pembelajaran dan penciptaan learning
organization, seperti berikut: “…a strong, consistent culture grown from shared values provides all
of the control necessary for directing learning. True learning organizations will grow from a culture accepts the premise that
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
231
continuous, uncontrolled learning is a necessity for future success. As leaders continue to focus on maintaining the strength of the
culture and making sure that it is consistent, the culture will allow associates throughout the organization to learn at the rate of speed
necessary to move forward.” Dimensi ini memiliki keyakinan dasar bahwa organisasi adalah suatu
komunitas pembelajaran. Nilai-nilai yang dianut meliputi keterpaduan, keterkaitan, dan pengurangan hambatan-hambatan bagi pengembangan
pengetahuan DeChant, 1996:113-114. Montgomery dan Scalia 1996: 445 mengemukakan mengenai
adanya persaingan terkendali controlled competition, dan penekanan akan semangat kolaborasi. Para manajer berperan sebagai fasilitator yang
menyediakan sumber daya dan dukungan bagi pembelajaran melalui penciptaan desain dan pemberian motivasi bagi karyawan agar mencapai
sasaran yang telah ditetapkan, meskipun mereka bukanlah “ahli” bagi pembelajaran karyawan Byrd, 1995:482-483.
Nilai trust pada dimensi ini didasarkan pada respek satu sama lain dan keyakinan akan kompetensi pihak-pihak lain. Namun, trust ini juga
dilandasi oleh hasrat untuk melakukan hal yang benar. Berkembang juga suatu keyakinan bahwa organisasi akan melindungi dan menghargai
mereka yang mematuhi kepentingan organisasi. Lagi pula, manajemen selalu mengkomunikasikan dan bertindak cepat atas tindakan-tindakan
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri Montgomery dan Scalia, 1996:459.
Pada tataran artefak, terdapat sejumlah ciri yang konsisten dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai pembelajaran yang menekankan
konsistensi. Hoffman dan Withers 1995:470-471 mengemukakan, kunci bagi konsistensi adalah adanya sharing dari setiap pribadi mengenai
tanggung jawab terhadap kesehatan budaya perusahaan. Jika ada trust dan semangat teamwork, maka sharing mengenai kesalahan-kesalahan dapat
berlangsung tanpa beban sehingga menyediakan basis bagi keberhasilan
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
232
pihak lain dalam organisasi. Rasa takut membuat kesalahan juga akan berkurang. Semua kondisi ini dibutuhkan bagi pembelajaran dan perubahan.
Organisasi mungkin tidak hanya memiliki satu budaya pembelajaran yang sama untuk keseluruhan organisasi. Organisasi mungkin memiliki
beberapa sub-budaya yang berbeda, misalnya pada tingkat divisi, departemen, wilayah, tugas, bahkan pada level individu. Akan tetapi, di sini
terdapat konsistensi yang tinggi di antara subbudaya. Konsistensi juga terjadi di antara sub-budaya dengan budaya pembelajaraan organisasi yang
“memayungi” secara keseluruhan. Lundberg, 1996:495. Sebagaimana dikemukakan di atas, jika para manajer terus-menerus
memusatkan perhatian pada upaya mempertahankan kuatnya budaya dan menjamin konsistensi budaya pembelajaran, niscaya budaya pembelajaran
organisasi akan membuat seluruh lapisan organisasi belajar pada tingkat kecepatan yang dibutuhkan bagi kemampuan berkelanjutan Hoffman
Withers, 1995:474. Satu elemen penting untuk itu adalah meluasnya tanggung jawab atas pembelajaran diri sendiri maupun pihak lain
sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt dan Reynolds 1994. 3. Dimensi Adaptability
Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang mendukung kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan,
menterjemahkan signal-signal dari lingkungan ke dalam perubahan- perubahan kognitif, perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan
kesempatan perusahaan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang.
Denison:11; Denison Mishra:215. Jadi, ada tiga aspek di sini. Pertama,
kemampuan untuk memahami perceive dan menanggapi lingkungan
eksternal. Kedua, kemampuan untuk menanggapi para pelanggan internal. Ketiga, kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi
sejumlah perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi organisasi Denison, 1990:12.
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
233
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Schein 19996: 67 sebagai berikut:
“…The organizations that have survived and make important transitions over many decades seems to have always had a cultural
core that was fundamentally functional--a commitment to learning and change; a commitment to people and all of the stakeholders in
the orgainization, including customers, employees, suppliers, and stockholders; and a commitment to building a healthy, flexible
organization in the first place. If such a cultural core does not exist from the beginning, the organization may not survive in the long run,
especially as environmental turbulance increases.” Dimensi ini memiliki asumsi dasar bahwa sistem-sistem terbuka
merupakan kebutuhan bagi pengembangan pengetahuan dan perubahan organisasi Byrd, 1995:478, 484-485. Juga diyakini bahwa orang-orang
menempatkan diri sebagai bagian dari aliran pemakai pemasok dan saling mendukung dalam penciptaan nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan.
Ada keyakinan bahwa semua unsur dengan sadar maju bersama-sama dalam memajukan masyarakat Wood, 1995:415. Secara implisit, asumsi ini
mengandaikan asumsi lainnya, yaitu pengakuan akan ketidakmampuan untuk mengetahui dan mengerjakan sendiri berbagai hal Byrd, 1995:479-
480. Perubahan cara berpikir dan bertindak kolektif menjadi penting
dalam kaitan dengan upaya organisasi secara terpadu untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika dan gelombang
perubahan dunia bisnis. Wise 1996:45 mengemukakan, premis utamanya adalah
penerapan pendekatan-pendekatan yang benar-benar baru dan berbeda dalam mengelola kapital intelektual sebagai basis penciptaan nilai. Yaitu,
bagaimana organisasi-organisasi menciptakan kondisi pembelajaran melalui pengelolaan orang-orang yang dapat menghasilkan nilai eksepsional bagi
para pemangku kepentingan stakeholders, seperti pelanggan, pemegang saham, mitra-mitra bisnis, karyawan dan manajemen, masyarakat dan
lingkungan hidup.
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
234
Nilai-nilai yang mendukung pembelajaran adapatif adalah keterbukaan, kesediaan saling mendengarkan dengan pelanggan eksternal
dan internal, informasi yang tersebar luas, kemampuan mengikuti perkembangan-perkembangan mutakhir Byrd, 1995:485. Nilai-nilai lain
berupa semangat customer-driven, menghargai perubahan sebagai kesempatan untuk bertumbuh, serta sikap menerima hal-hal tak diharapkan
sebagai kesempatan untuk belajar Marquardt Reynolds, 1994. Keyakinan akan ketidakmampuan mengerjakan sendiri berbagai hal
mendorong berkembangnya semangat kemitraan partnership, dan etika bisnis yang menyertainya: integritas yang mutlak, rasa percaya trust, dan
keterbukaan Byrd, 1995:480-481. Artefak-artefak dari dimensi ini meliputi keterjalinan berbagai unsur
lingkungan eksternal dan unsur-unsur dalam organisasi, serta simbol-simbol kemitraan yang saling menguntungkan. Termasuk di dalamnya adalah
ketersediaan sarana informasi yang mudah diakses mengenai pelanggan, pemasok, pesaing, unit-unit terkait dalam organisasi. Juga ada kesepakatan-
kesepakatan kerja sama dan saling penyesuaian dengan unsur-unsur di dalam maupun di luar organisasi.
4. Dimensi Mission