PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang)

(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim.

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Perlindungan Hukun Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

4. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan masukan-masukan yang membangun, memotifasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

5. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I atas waktu, saran, masukan dan kritik membangunnya kepada penulis untuk dapat menyempurnakan skripsi ini;


(2)

menyempurnakan skripsi ini;

7. Bapak Dr. Heriyandi, S.H., M.S. Selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah mendidik, membimbing serta memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis;

9. Terima Kasih Kepada Kedua Orang Tuaku,dan Kakak,Adik – Adik Ku Yang Sangat Ku Sang Yang Selama Ini Menyemangati,Kalian Tak Akan Ku Lupakan

10. Teman-temanku di Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas persahabatannya;

11. Buat teman seperjuanganku,Boni,Wira,Popoy,Ariza,Catur Rosidan Bangkit , terimakasih atas hari-hari penuh tawa yang telah kita lewati bersama.

Semoga amal kebaikan serta ketulusan hati kalian semua mendapat imbalan dan rahmat dari Allah SWT. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Februari 2012 Penulis,


(3)

Judul Skripsi : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang)

Nama Mahasiswa : M.Firnando Saputra No. Pokok Mahasiswa : 0742011213

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Diah Gustiniati M., S.H., M.H. NI P. 19611231 198903 1 023 NI P. 19620817 198703 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. NI P. 19620817 198703 2 003


(4)

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Sekretaris/ Anggota : Diah Gustiniati M., S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Gunaw an Jatmiko, S.H., M.H. ...

2. PJ. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NI P. 19621109 198703 1 003


(5)

MOTTO

Tujuan Hidup :

Menghapus Masa Lalu...

Merubah Masa Kini...

Menata masa Depan...

Dan Awal Keberhasilan Adalah Doa Dari Kedua Orang Tua


(6)

Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Papah Zulkifli dan Mamah Yuli Ratnawati tercinta, yang

telah merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta dan

selalu memberikanku kasih sayang serta do a restu yang selalu

dihaturkan dan dipanjatkan kepada Allah SWT, demi

keberhasilanku

dan masa depanku

Kakaku Nurulita Ika Putri dan Adiku Indah Yulita

Susanti DanDefia Yuliani

serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih

sayang,

do a dan dukungannya

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani,

memberikan dukungan dan do anya untuk keberhasilanku,

terimakasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu

yang kita lalui bersama


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 19 Desember 1987. Penulis merupakan anak ke-dua dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda zulkifli dan Ibunda yuli ratna wati. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis yaitu diawali dengan.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Beringin Raya yang diselesaikan tahun 2000, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 4 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMA) Negeri 14 Bandar Lampung yang diselesaikan tahun 2006.

Pada tahun 2007, Penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan mengambil minat Hukum Pidana. Pada tahun 2010, Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di Universitas Brawijaya (UNBRAW) Malang, Lembaga Pemasyarakatan Krobokan, Denpasar, dan PT Perikanan Nusantara Bali.


(8)

Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Papah Zulkifli dan Mamah Yuli Ratnawati tercinta, yang

telah merawat dan membesarkanku dengan penuh cinta dan

selalu memberikanku kasih sayang serta do a restu yang selalu

dihaturkan dan dipanjatkan kepada Allah SWT, demi

keberhasilanku

dan masa depanku

Kakaku Nurulita Ika Putri dan Adiku Defia Yuliani

serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih

sayang,

do a dan dukungannya

Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani,

memberikan dukungan dan do anya untuk keberhasilanku,

terimakasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu

yang kita lalui bersama


(9)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang)

Oleh :

M. Firnando Saputra

Tindak kekerasan terhadap anak di bawah umur terjadi di Indonesia dari setiap periodenya mengalami banyak sekali peningkatan. Masalah ini terkadang dianggap sebagai masalah kecil apabila dibandingkan dengan tindak pidana lainnya seperti korupsi, pembunuhan, perkosaan dan lain-lain. Padahal, apabila mengetahui lebih dalam mengenai efek negatif dari tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur justru jauh lebih menghancurkan masa depan anak yang menjadi korbannya dengan merampas kebahagiaan seorang anak yang menjadi korbannya. Karena anak ialah sebagai potensi sebagai generasi muda yang akan meneruskan pembangunan bangsa dan negara ini. Jika kekerasan terhadap anak di bawah umur terus terjadi, maka akan rusak terus generasi muda ini. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Upaya perlindungan hukum apa yang harus diberikan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak? Apakah faktor-faktor penghambat dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan? Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan kekerasan dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak/tidak langsung maupun yang konkret/langsung. Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang


(10)

Perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi. Perlindungan terhadaap anak korban kekerasan dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana. Faktor-faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak antara lain adanya hal-hal yang membatasi kerja hukum, pelaksanaan hukum yang efektif membutuhkan keterlibatan dari banyak faktor dan banyak pihak, tidak hanya pada pengawasan tetapi juga pada pemberian sanksi, peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Kemudian belum adanya kesepakatan yang pasti untuk mengartikan apa itu kekerasan terhadap anak, ada yang mengartikan sebagai perbuatan yang salah pada anak, perbuatan yang kejam terhadap anak, dan ada juga yang mengartikan sebagai kekerasan kepada anak. Faktor yang lainnya adalah adanya ikatan atau prinsip-prinsip tradisional dalam keluarga termasuk didalamnya hak penuh orang tua untuk mendidik anaknya masih dipegang teguh, sehingga orang tua cenderung bersembunyi dibalik kekuasaannya yang dianggap mutlak oleh dirinya dan diakui oleh sebagian angota masyarakat tradisional.

Disarankan kepada pemerintah dan masyarakat diperlukan usaha-usaha mensosialisasikan Konvensi Hak Anak dan Hak Asasi Manusia pada seluruh lapisan masyarakat, terutama pada pihak yang selama ini sering melakukan kekerasan terhadap anak. Meningkatkan kualitas dan kuantitas kampanye perlindungan dan penegakan hak-hak anak melalui media massa, media elektronik dan cetak, spanduk, poster dan seminar-seminar yang berkaitan dengan perlindungan anak.


(11)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Studi Pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang)

( Skripsi )

Oleh :

M. Firnando Saputra

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(12)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup………. 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ………. 6

E. Sistematika Penulisan ………. 10

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Anak dan Kekerasan Terhadap Anak…... 13

B. Tinjauan Umum Tentang Hak Anak ……….. 14

C. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak…….………... 18

D. Pengertian Tindak Pidana ……….. 20

E. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia……… 26

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah………..……….. 32

B. Sumber dan Jenis Data………..……….. 32

C. Penentuan Populasi dan Sampel……….…… 33

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data………..……..……….. 34

E. Analisis Data………..………. 35


(13)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden………..….……… 36 B. Perlindungan Hukum yang Diberikan Kepada Anak Sebagai Korban

Tindak Pidana Kekerasan.………..……..………... 37 C. Faktor-faktor Penghambat dalam Upaya Pemberian Perlindungan

Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan…….... 43

V. PENUTUP

A. Kesimpulan……….…………. 52 B. Saran……….……… 53


(14)

Literatur

Moeljatno, 2005,Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Sunggono, Bambang, dan Aries Harianto, 1994, Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia,Mandar Maju, Jember.

Soekanto, Soerjono, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sudarto, 1983,Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat,Alumni, Bandung ______, 1986,Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Perundang-undangan

Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660), sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3080) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)


(15)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668)

Website

www.sinarharapan.co.id www.unicef.org


(16)

Literatur

Baihaqi, MIF., 1999, Anak Indonesia Teraniaya, cet. 2, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Kanter, EY., dan SR. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya,Storia Grafika, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1981, Sifat Melawan Hukum Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta.

Moeljatno, 1983, Hukum Pidana : Delik-delik Percobaan, Delik-delik Penyertaan, Bina Aksara, Jakarta.

Perundang-undangan

Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660), sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3080) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)


(17)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4635)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235)

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668)

Website

www.sinarharapan.co.id www.unicef.org


(18)

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Sesuai dengan Pasal 52 ayat (2) Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang menyebutkan bahwa anak diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Hak dasar anak adalah hak untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan sebagian dari hak-hak anak.

Salah satu hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Jaminan perlindungan hak asasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kekerasan juga dapat menimpa anak


(20)

kapan saja dan dimana saja termasuk di dalam rumah, di sekolah, di tempat kerja, di jalanan, di tempat umum dan institusi seperti panti asuhan, lembaga pemasyarakatan dan sebagainya.

Data komisi nasional perlindungan Anak (KPAI) menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Di kalangan menengah ke bawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan. Dikalangan menengah ke atas, karena ambisi orang tua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah, di masyarakat, termasuk jadi selebritis cilik agar bisa tampil di televisi. Namun, KPAI menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. Kemiskinan menyumbang stress terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasangan dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi mereka pada anaknya. Sudah saatnya orangtua menyadari, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa lainnya yang harus dihargai. Maka, hak-hak anak perlu di tegakkan, antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh, dan berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak (www.unicef.org/id/ diakses 17/10/2010).

Hak anak selain tercantum dalam Deklarasi PBB tahun 1959 serta Konvensi Hak Anak 1989 yang di ratifikasi pemerintah Indonesia yang terkandung di dalam undang-undang juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam


(21)

3 Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan juga terdapat pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Salah satu hak korban sebagaimana di sebutkan adalah korban berhak mendapat bantuan penyelesaian permasalahan (melapor, nasihat hukum, dan pembelaan). Bantuan hukum tersebut dalam pengertiannya yang luas dapat di artikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang mampu dalam bidang hukum (Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994 ; 7). Namun dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, masalah perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, khususnya korban anak, terfasilitasi sebagaimana yang di sebutkan dalam Pasal 18:

“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya”.

Dalam penjelasannya disebutkan kalau yang di maksud bantuan lainnya yaitu bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.

Pasal 18 UU No.23 Tahun 2002 tersebut menjadi dasar bagi anak-anak korban tindak pidana untuk mendapat bantuan hukum. Ketentuan tersebut merupakan bagian dari pemenuhan tanggung jawab pemerintah dan lembaga Negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang berada dalam situasi yang tidak semestinya mereka hadapi antara lain anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang di eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,


(22)

psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 23/2002 bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, maka setiap anak mempunyai hak yang sama untuk diberikan perlindungan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya. Hal tersebut juga tidak mengecualikan anak-anak yang menjadi korban tindak pidana, mereka mempunyai hak yang sama dengan anak sebagai pelaku tindak pidana untuk mendapat bantuan hukum.

Masalah-masalah tindak pidana kekerasan atau perkosaan terhadap anak yang sampai saat ini masih banyak sekali dilakukan, memerlukan banyak perhatian khusus. Karena banyak sekali penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka penulis merasa tertarik untuk membahas permasalahan perlindungan hak anak korban tindak pidana kekerasan dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul : “Perlindungan

Hukun Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”


(23)

5

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Perumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang sebagaimana yang telah di uraikan di atas, maka pokok permasalahannya adalah :

a. Upaya perlindungan hukum apakah yang harus diberikan kepada anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak?

b. Apakah faktor-faktor penghambat dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada hak dan perlindungan hukum apa yang harus diberikan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak. Sedangkan lingkup bidang ilmu adalah bidang hukum pidana.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :


(24)

a. Upaya perlindungan hukum yang harus diberikan kepada anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak. b. Faktor-faktor penghambat dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak

korban tindak pidana kekerasan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut hak dan perlindungan hukum yang harus diberikan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum dan masyarakat mengenai perlindungan hukum yang harus diberikan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan


(25)

7 identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 2007 ; 125).

Kebijakan kriminal atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yaitu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Sebagai usaha penanggulangan kejahatan, kebijakan kriminal dapat mengejawantah dalam berbagai bentuk. Pertama, yakni bersifat represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem peradilan pidana (criminal justice sistem. Dalam hal ini secara luas sebenarnya mencakup pula proses kriminalisasi. Kedua, yakni berupa usaha-usaha prevention without punishment (tanpa menggunakan sarana penal), dan yang ketiga, adalah pendayagunaan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 ; 48).

Dikaitkan dengan kejahatan (kekerasan) terhadap anak, kebijakan kriminal di sini dapat dimaksudkan sebagai usaha yang rasional dalam menanggulangi kekerasan pada anak. Dengan demikian, upaya penanggulangan kekerasan pada anak pada dasarnya merupakan bagian dari upaya perlindungan anak dalam mewujudkan kesejahteraan anak. Apabila mendasarkan pada pemikiran di atas, maka usaha


(26)

penanggulangan kekerasana pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) maupun non-penal (non hukum pidana). (Sudarto, 1983 ; 57)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa, tujuan perlindungan anak itu adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Masalah kekerasan terhadap anak sangat penting karena menjadi korbannya adalah anak di bawah umur, dimana anak sebagai tunas bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa yang harus diperhatikan, dilindungi dan dijaga dari segera tindakan yang dapat merugikan. Oleh karena itu, tidak hanya keluarga yang berperan aktif akan tetapi seluruh lapisan masyarakat juga harus berperan aktif dalam memperhatikan, melindungi, dan menjaganya dari perlakuan, sebagai berikut:

1) Diskriminasi, perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental.

2) Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.


(27)

9 3) Penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

4) Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan. Perlakuan kejam misalnya tindak atau perbuatan secara zalim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Pelakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai, dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

5) Ketidak adilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

(Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994 ; 16)

Adapun perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU Perlindungan anak dilaksanakan melalui: a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun diluar lembaga.

b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial.

d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.


(28)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto,2007; 132).

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara (www.unicef.org/indonesia/id/mengenal_hak_hak_anak. diakses 17/10/2010). b. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak).

c. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2005 : 37).

d. Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0403/13/sh02.html diakses 17/10/2010).


(29)

11 e. Kekerasan terhadap anak adalah perlakuan kejam terhadap anak-anak yang berkisar dari pengabaian anak sampai pada pada perkosaan dan pembunuhan (www.unicef.org/indonesia/id/mengenal_hak_hak_anakdiakses 17/10/2010).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai pokok bahasan tentang hak dan perlindungan hukum apa yang harus diberikan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.


(30)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam tulisan ini melalui data primer dan sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Menjelaskan permasalahan yaitu hak dan perlindungan hukum apa yang harus diberikan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan karya ilmiah skripsi ini.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Anak dan Kekerasan Terhadap Anak

Terdapat beberapa pengertian anak dari berbagai sudut pandang antara lain sebagai berikut:

1. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempunyai ketentuan dalam menentukan batasan umur bagi anak. Dalam setiap sistem hukum menyadari bahwa konsep umur dari pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal tidak boleh dibuat dengan level tertentu rendah dengan menyadari fakta kedewasaan emosional dan intelektual dari anak tersebut.

2. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;

“anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8

(delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin”. Penetapan usia anak pada undang-undang pengadilan anak ini memang tergolong rendah dibandingkan negara lain. Hal ini menunjukan bahwa pembentukan undang-undang menganggap bahwa pada usia demikian seseorang telah dapat dipertanggung jawaban secara emosional, mental dan intelektual walaupun tidak seperti orang dewasa.

3. Menurut Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) “Yang boleh diperiksa untuk


(32)

cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.” Mengingat bahwa anak

yang belum berumur 15 (lima belas) tahun, demikian juga orang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA)

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih di dalam kandungan”.

Dasar pertimbangan penentuan batas usia anak tersebut mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Namun terdapat perbedaan penentuan batas usia anak yang tercantum dalam UUPA dengan yang tercantum didalam KHA, yaitu dalam UUPA penentuan batas usia anak secara tegas mencakup anak yang masih dalam kandungan, sedangkan dalam KHA tidak secara tegas dinyatakan demikian (Baihaqi, 1999 ; 24).

Pengertian ini selain sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) yang menyatakan bahwa :

“anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan.”


(33)

15 Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang. Selain itu, terdapat perbedaan yang prinsip antara definisi anak dalam UUPA dengan yang diatur dalam undang-undang lain, yaitu dalam Pasal 1 UUPA

definisi anak tidak dibatasi dengan syarat “dan belum pernah kawin” tetapi

didalam undang-undang lain (UU Pengadilan Anak, misalnya), definisi anak

dibatasi dengan syarat “dan belum pernah kawin”. UUPA tidak mensyaratkan “dan belum pernah kawin” dalam menentukan batas usia anak agar undang-undang ini dapat memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang belum pernah kawin dimana persyaratan tersebut lebih menekankan kepada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan batas usia anak lebih dititik beratkan kepada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.

B. Tinjauan Umum Tentang Hak Anak

Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin dilindungi dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Deklarasi PBB mendiskripsikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan dan merupakan masa depan bangsa sekaligus sebagai generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Konvensi hak anak adalah perjanjian


(34)

antar bangsa-bangsa mengenai hak-hak anak (www.unicef.org/indonesia/id/01 diakses 17/10/2010)

Pada tahun 1923 EGLANTYME JEBB adalah wanita pertama kali yang menemukan hak-hak anak dan langsung mengemukakan 10 pernyataannya, sebagai berikut :

1) Tahun 1924, pengesahan hak anak dilakukan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) 2) Tahun 1959, diumumkannya pernyataan hak-hak anak oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB)

3) Tahun 1979, diputuskan adanya Hari Anak Internasional

4) Tahun 1989, disahkan Konvensi Hak-hak Anak (KHA) oleh PBB. (www.unicef.org/indonesia/id/01 diakses 17/10/2010)

Adapun prinsip-prinsip dasar menyangkut hak-hak anak menurut EGLANTYME JEBB adalah :

1) Anak tidak boleh dibeda-bedakan hanya karena perbedaan agama, suku bangsa, ras, jenis kelamin dan budaya (Pasal 2)

2) Hal terbaik menyangkut kepentingan hidup anak harus menjadi pertimbangan (Pasal 3)

3) Anak harus tetep hidup dan berkembang sebagai manusia (Pasal 6)

4) Dan anak harus dihargai dan didengarkan ketika mengemukakan pendapat. (www.unicef.org/indonesia/id/01 diakses 17/10/2010)


(35)

17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia Pasal 52, 53, dan 58 ayat (1) yang menyangkut dengan hak-hak anak sebagai korban tindak pidana kekerasan adalah:

Pasal 52, Setiap anak berhak atas perlindungan: 1) Orangtua

2) Keluarga 3) Masyarakat 4) Negara

Pasal 53, Setiap anak berhak untuk: 1) Hidup

2) Mempertahankan hidup 3) Meningkatkan taraf hidup

Pasal 58 ayat (1), Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental:

1) Penelantaran

2) Perlakuan buruk dan 3) Pelecehan seksual

Adapula yang dijelaskan dari berbagai sudut pandang tentang kepentingan hak-hak anak yang telah disebutkan dalam deklarasi PBB yakni :

1. Non-Diskriminasi

Semua hak-hak berlaku bagi semua anak tanpa pengecualian .ini merupakan kewajiban Negara untuk mengambil tindakan positif untuk memproklamasikan hak-hak mereka.


(36)

2. Kepentingan Terbaik Anak

Semua tindakan yang berhubungan dengan anak akan dilakukan atas pertimbangan kepentingan terbaik anak. Negara harus menyediakan perawatan yang cukup bagi anak ketika orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab tidak dapat melaksanakannya.

3. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan

Setiap anak mempunyai hak yang melekat untuk hidup dan Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak.

4. Perlindungan Dari Penyiksaan dan Pengabaian

Negara melindungi anak dari penganiayaan dalam bentuk apapun oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab untuk merawat anak dan membangun program sosial yang tepat untuk pencegahan penyiksaan dan perawatan korban.

5. Penyiksaan dan Pencabutan Kebebasan

Tidak ada anak yang menjadi korban penyiksaan, perlakuan kejam atau hukuman, penangkapan di luar hukum atau pencabutan kebebasan. Baik hukuman mati dan penjara seumur hidup tanpa kemungkinan untuk dibebaskan, dilarang bagi pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang di bawah 18 tahun. Anak yang dicabut kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa kecuali dianggap dalam kepentingan terbaik anak untuk tidak dilakukan. Seorang anak yang ditahan akan mempunyai pendamping legal atau lainnya juga kontak dengan keluarga.


(37)

19 Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), yang dimaksud kekerasan terhadap anak :

“segala bentuk perbuatan atau tindakan terhadap anak yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, mental/emosi/psikologis dan penelantaran, termasuk ancaman, pemaksaan

perendahan martabat”.(Baihaqi, 1999 ; 25)

C. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Perlakuan kejam terhadap anak (child abuse) berkisar dari pengabaian anak sampai pada perkosaan dan pembunuhan. Terry E. Lawson, Psikiater anak, menyebutkan ada 4 macam kekerasan atau abuse: emotional abuse, verbal abuse, physichal abuse san sexual abuse (Baihaqi, 1999 ; 25). Anak-anak Indonesia banyak yang mengalami, tepatnya mendeita dari keempat yang disebutkan diatas. Satu saja dari keempat itu yang dilakukan terus menerus akan menyebabkan menderita gangguan psikologis.

1. Emotional Abuse(kekerasan secara emosional)

Emotonal Abuse merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam keluarga (domestic violence), dimana pelaku dan korban berasal dari satu keluarga. Emotional Abuse dapat terjadi ketika si ibu setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anaknya basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ketika anak kurang mendapatkan kasih sayang dan cinta, sering dikritik, diancam dan dicela sehingga sang anak kehilangan kepercayaan diri dan harga diri. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan


(38)

mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan tersebut berlangsung konsisten. Si ibu yang secara emosional berlaku keji pada anak akan terus-menerus melakukan hal yang sama sepanjang kehidupan anak tersebut.

Tentu saja emotional abuse ini dapat mengakibatkan dampak negatif bagi perkembangan jiwa anak yang menjadi korban. Anak yang mengalami kekerasan secara emosional pada masa kecilnya, memiliki kecenderungan untuk menderita penyakit kejiwaan (Baihaqi, 1999 ; 27). Salah satu yang banyak dialami oleh anak korban penganiayaan secara emosional adalah penyakit antisocial personality disorder. Penyebab utama kepribadiansociopath adalah pada masa kecil, seorang anak mengalami deprivasi maternal atau kurangnya perhatian dari sang ibu. Anak mempunyai ibu yang tidak memperhatikannya atau tidak memenuhi kebutuhan emosionalnya, lebih-lebih kalau kekerasan emosional ini (biasanya) ditambah dengan kekerasan fisik dan psikis.

Dibandingkan kekerasan fisik, memang memaki-maki tidak menimbulkan luka di tubuh tetapi seorang yang terluka hatinya biasanya akan terus membawa pengalaman yang menyakitkan itu dalam hatinya, menjadi trauma yang menakutkan.

2. Verbal Abuse(Kekerasan Secara Verbal)

Verbal abuseterjadi ketika si ibu setelah mengetahui anaknya meminta perhatian,

menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti : “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, “kamu menyebalkan” dan


(39)

21 seterusnya. Anak akan mengingat semua kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode.

3. Physichal Abuse(Kekerasan Secara Fisik)

Physichal abuse terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit atau logam, akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung dalam periode tertentu. Kekerasan fisik itu sendiri adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT).

Anak korban penyiksaan secara fisik pada masa pertumbuhannya dapat mengalami antisocial personality disorder yang agresif atau bisa juga disebut

CNS (Central Nervous System), yaitu penyakit yang menyebabkan orang tidak dapat mengendalikan emosinya atau tidak sanggup berfikir rasional dan ini diabaikan kekerasan yang dialaminya pada saat kecil (Baihaqi, 1999 ; 28).

4. Sexual Abuse(Kekerasan Secara Seksual)

Sexual abuse biasanya tidak terjadi selama 18 (delapan belas) bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan. Sedangkan yang dimaksud dengan kekerasan seksual, meliputi :

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut;


(40)

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu.

(Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT).

Cara yang biasa digunakan dalam melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak adalah dengan bujukan (memberi iming-iming dengan permen/uang), tipuan (pura-pura diajak main), ancaman maupun paksaan kekuatan fisik. Bentuknya sangat beragam, mulai dari memperlihatkan alat vital kepada si anak, rabaan pada daerah vital, perintah untuk melayani oral seks ataupun penetrasi pada alat vital maupun daerah anal. Kekerasan seksual pada anak seringkali meninggalkan bekas traumatis yang sulit dihilangkan. Demikian dikemukakan Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) :

“Jangan diharapkan (dampak) perkosaan itu mudah disembunyikan. Saya membantu beberapa orang yang menjadi korban perkosaan ketika mereka masih anak-anak, dan banyak di antara mereka yang masih merasa dendam, takut menikah, merasa rendah diri, dan berbagai trauma lain akibat perkosaan itu, meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah

menikah. Luka akibat perkosaan itu sangat sulit disembuhkan.”

(http://www.sinarharapan.co.id/berita/sh02.html. diakses 18/102010) Kasus kekerasan terhadap anak seringkali berlangsung kronis dan tidak terdeteksi dalam waktu lama atau diketahui setelah anak menderita akibat yang parah baik secara fisik maupun mental emosional. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak tersebut akan direkam dalam alam bawah sadar mereka dan akan dibawa sampai kepada masa dewasa dan terus menerus sepanjang hidupnya.


(41)

23 Adapun pula hasil survei dari Kementrian Pemberayaan Perempuan dan Badan pusat Statistik tahun 2009 menyebutkan setidaknya ada 3 juta anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap tahunnya. Dari jumlah itu, hanya 20 ribu kasus yang mendapatkan pendampingan hukum yang layak. Berasarkan data terakhir Ditjen Lembaga Permasyarakatan Depkumham, ada sekitar 7000 anak menghuni lembaga permasyarakatan dan rumah tahanan di seluruh Indonesia. Tindakan kekerasan adalah salah satu masalah sosial yang besar pada masyarakat modern. Terdapat beberapa faktor sosial yang menjadi penyebab semuanya ini (Baihaqi, 1999 ; 31), yaitu :

1. Norma sosial

Tidak ada contoh sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak. Bapak yang mencambuk anaknya dengan sabuk tidak akan dipersoalkan tetangganya selama anak itu tidak meninggal dunia (lebih tepat lagi tidak dilaporkan ke polisi). Selama seorang bapak melihat anaknya sebagai hak milik dia yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Tidak ada aturan hukum yang melindungi anak dari perlakuan buruk orangtua atau wali atau orang dewasa lainnya. Mengatur anak tanpa mempertimbangkan kehendak anak dianggap sudah menjadi kewajiban orangtua.

2. Nilai-nilai Sosial

Hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarki sosial di masyarakat. Atasan tidak boleh dibantah. Aparat pemerintahan harus selalu dipatuhi. Guru harus digugu dan ditiru. Orangtua tentu wajib ditaati dengan sendirinya. Dalam hirarki sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apapun. Orang dewasa melihat anak-anak sebagai “bakal


(42)

manusia” dan bukan sebagai manusia yang hak-hak asasinya tidak boleh dilanggar.

3. Ketimpangan Sosial

Kita akan menemukan bahwa para pelaku dan juga korban child abuse

kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yang tentu saja masalah sosiallainnya yang menindas, telah melahirkan semacam subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stres yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anakanak. Terjadilah kekerasan emosional. Pada saat tertentu bapak bisa meradang dan membentak anak dihadapan banyak orang. Terjadi kekerasan verbal. Kejengkelan yang bergabung dengan kekecewaan dapat melahirkan kekerasan fisik.

D. Pengertian Tindak Pidana

Konsep hukum indonesia terdapat beberapa perbedaan dalam menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delik. Sedangkan dalam bahasa Belanda

istilah tindak pidana tersebut dengan “straf baar feit” atau delict. Berikt ini pendapat beberapa sarjana mengenai tindak pidana :

1. Menurut Roeslan Saleh (1981 ; 9) perbuatan pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum.

2. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1986 ; 55), tindak pidana adalah suatu perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.


(43)

25 Kemudian dari beberapa pengertian tentang tindakpidana tersebut di atas dapat disamaka dengan istilah tindak pidana, peristiwa pidana atau delik. Mengenai arti straf baar teif perlu juga diketahui pendapat para sarjana. Menurut Van Hamel, straf baar teif adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Moeljatno, 1983 ; 56). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa didalam perbuatan pidana didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Atau dapat diartikan pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa pidana.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat ditarik beberapa unsur-unsur tindak pidana yaitu :

1. Perbuatan manusia

2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil) 3. Melawan hukum (syarat materil)

4. Mampu dipertanggungjawabkan.

E. Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Kekerasan yang terjadi pada institusi pendidikan, merupakan sebuah fenomena dimana selama ini kita beranggapan lembaga pendidikan adalah tempat untuk mencetak individu-individu yang mandiri di masa depan. Situasi kekerasan itu dapat tergambar dengan jelas, di mana tidak ada permasalahan ketika seorang


(44)

guru menghukum siswanya dengan cara memukul, mencubit, menampar. Hal ini dianggap sebagai satu proses pembelajaran untuk menegakkan disiplin di sekolah. Tindakan kekerasan pada anak menurut data BPS tahun 2006, ada sebanyak 1.840 kasus penganiayaan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak di Indonesia. Hal ini menunjukkan masih banyak orang yang belum memahami hak anak secara keseluruhan. Anak masih dianggap sebagai objek dari kekerasan itu sendiri. Berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak (KHA) terdapat empat bentuk kekerasan di antaranya; kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan emosional dan kekerasan dalam bentuk penelantaran. Beberapa prilaku yang masuk dalam kategori bentuk kekerasan pada anak adalah menghukum anak secara berlebihan, memukul, menyulut dengan api rokok, menampar, membanting, mengkritik anak secara terus menerus, pelecehan seksual, mengancam atau menunjukan sikap penolakan terhadap anak, menyerang anak secara agresif, mengabaikan anak; tidak memperhatikan kebutuhan makannya, bermain dan kasih sayang dan memberikan rasa aman yang memadai.

Beberapa faktor yang menyebabkan sering terjadinya kekerasan terhadap anak di sekolah adalah; pertama, ada paradigma bahwa anak adalah individu yang lemah baik dari segi fisik maupun dalam pemenuhan hak mereka. Anak harus ikut dalam peraturan sekolah, anak tidak mempunyai hak melakukan aspirasi yang berkaitan dengan kelangsungan mereka selama menjadi siswa. Selain itu kekerasan yang terjadi di sekolah seolah menjadi budaya yang efektif untuk mendisiplinkan anak, sehingga hal ini tidak perlu dipersoalkan. Kekerasan dianggap dapat dibenarkan sepanjang atas nama menegakkan kedisiplinan.


(45)

27

Meningkatnya kasus kekerasan di institusi pendidikan terutama kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid, semakin memperjelas terjadinya kelemahan fungsi kontrol yang seharusnya dilakukan lembagalembaga yang mengatasnamakan perlindungan anak, kemudian Pemerhati Hak Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonsua, DPRD, Dinas Pendidikan, polisi serta instansi terkait lainnya. Fungsi pengawasan yang seharusnya dilakukan, masih mandul. Hal ini dapat dilihat dengan belum adanya tindakan tegas untuk pelanggar hak azasi anak tersebut.

Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menyikapi kekerasan terhadap anak: 1. Memasukan konsep sekolah yang ramah anak pada setiap kurikulum

pembelajaran. Para guru harus memahami bagaimana harus bersikap terhadap murid, tidak boleh menganggap dirinya sebagai penguasa kelas, mengurangi perkataan yang kasar dan lantang, sering mengajak anak murid untuk diskusi, dan memberikan motivasi kepada mereka dalam setiap mata pelajaran yang ada.

2. Menumbuhkan minat dan empati masyarakat terhadap permasalahan tindak kekerasan yang dialami anak. Menyadarkan masyarakat bahwa persoalan tindak kekerasan terhadap anak bukan hanya untuk sekedar belas kasihan atau mengutuk pelaku kekerasan, tetapi mengambil peran aktif agar mau mengadukan setiap tindak kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungannya kepada lembaga-lembaga yang memiliki otoritas untuk menangani persoalan ini.


(46)

3. Salah satu kesulitan adalah kekerasan sering terjadi di sekolah agak sulit mendeteksi dan menangani. Untuk itu harus ada upaya kerjasama dalam melakukan monitoring dan penanganan dengan memanfaatkan lembaga-lembaga atau pihak tertentu yang fungsional.

4. Memberikan pelatihan-pelatihan kepada lembaga pendidikan terutama para guru seputar hak-hak anak, tindakan seperti apa yang dikategorikan sebagai prilaku kekerasan, melakukan sosialisasi tentang dampak psikologi yang akan diterima anak jika secara terus menerus mendapat perlakuan kekerasan. Selain itu juga melakukan sosialisasi tentang UU Perlindungan Anak.

Upaya-upaya pencegahan itu diharapkan bisa mengurangi tingkat kekerasan yang sering terjadi pada anak akhir-akhir ini. Selain itu fungsi pengawasan dan komitmen bersama dalam menanggulangi masalah ini harus tetap sejalan tanpa harus ada korban dulu yang jatuh. Kita harus menjadi masyarakat yang pro-aktif dalam melihat kasus-kasus kekerasan di lingkungan kita, baik di lingkungan rumah maupun lingkungan sekolah. Anak yang terbebas dari kekerasan adalah cerminan anak yang bisa menuju kemandiriannya tanpa rasa takut yang membayanginya.

Ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana kekerasan khususnya terhadap anak sebagai korbannya, antara lain :

1. Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA)


(47)

29 Perlindungan anak yang diberikan UUPA terhadap anak-anak korban tindak pidana kekerasan dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dibawah ini, yaitu : Pasal 80 :

1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

2. Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)

Ketentuan pidana dalam undang-undang ini yang diatur dari Pasal 36, 37 dan 39. Ketentuan dalam undang-undang ini tidak secara khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan, melainkan mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana pada umumnya.


(48)

1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

b. Pasal 37

Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, Sebagaimana


(49)

31 dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

c. Pasal 39

Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(50)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan kekerasan dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak/tidak langsung maupun yang konkret/langsung. Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional/psikis, seperti rasa puas. Perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebeasan beaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadaap anak korban kekerasan dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana.

2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak antara lain adanya hal-hal yang membatasi kerja hukum, pelaksanaan hukum yang efektif membutuhkan keterlibatan dari banyak faktor dan banyak pihak, tidak


(51)

53 hanya pada pengawasan tetapi juga pada pemberian sanksi, peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Kemudian belum adanya kesepakatan yang pasti untuk mengartikan apa itu kekerasan terhadap anak, ada yang mengartikan sebagai perbuatan yang salah pada anak, perbuatan yang kejam terhadap anak, dan ada juga yang mengartikan sebagai kekerasan kepada anak. Faktor yang lainnya adalah adanya ikatan atau prinsip-prinsip tradisional dalam keluarga termasuk didalamnya hak penuh orang tua untuk mendidik anaknya masih dipegang teguh, sehingga orang tua cenderung bersembunyi dibalik kekuasaannya yang dianggap mutlak oleh dirinya dan diakui oleh sebagian angota masyarakat tradisional.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dan mengetahui hasil penelitian maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:

Mengingat kekerasan terhadap anak setiap tahunnya meningkat, maka perlu diperhatikan secara serius baik itu Pemerintah, Masyarakat dan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen terhadap masalah anak dan untuk itu diperlukan usaha-usaha antara lain :

1. Memasyarakatkan Konvensi Hak Anak dan Hak Asasi Manusia pada seluruh lapisan masyarakat, terutama pada pihak yang selama ini sering melakukan kekerasan terhadap anak.

2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas kampanye perlindungan dan penegakan hak-hak anak melalui media massa, media elektronik dan cetak, spanduk, poster dan seminar-seminar yang berkaitan dengan perlindungan anak.


(52)

3. Pelaku kriminal dan pelanggaran hak-hak anak di sektor publik dan keluarga hendaklah ditegakkan secara tegas dan jelas baik secara fisik maupun materi. 4. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para hakim, jaksa, polisi, advokat

dan aparat penegak hukum lainnya terhadap anak dan hak-hak anak yang dimilikinya, dengan demikian penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan memberi rasa keadilan dan hukuman yang mendidik masyarakat serta pelaku.


(1)

29

Perlindungan anak yang diberikan UUPA terhadap anak-anak korban tindak pidana kekerasan dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dibawah ini, yaitu : Pasal 80 :

1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

2. Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)

Ketentuan pidana dalam undang-undang ini yang diatur dari Pasal 36, 37 dan 39. Ketentuan dalam undang-undang ini tidak secara khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan, melainkan mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana pada umumnya.


(2)

1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

b. Pasal 37

Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, Sebagaimana


(3)

31

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

c. Pasal 39

Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).


(4)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan kekerasan dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak/tidak langsung maupun yang konkret/langsung. Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional/psikis, seperti rasa puas. Perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materii maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebeasan beaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadaap anak korban kekerasan dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana.

2. Faktor-faktor penghambat dalam upaya pelaksanaan perlindungan anak antara lain adanya hal-hal yang membatasi kerja hukum, pelaksanaan hukum yang efektif membutuhkan keterlibatan dari banyak faktor dan banyak pihak, tidak


(5)

53

hanya pada pengawasan tetapi juga pada pemberian sanksi, peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap hukum. Kemudian belum adanya kesepakatan yang pasti untuk mengartikan apa itu kekerasan terhadap anak, ada yang mengartikan sebagai perbuatan yang salah pada anak, perbuatan yang kejam terhadap anak, dan ada juga yang mengartikan sebagai kekerasan kepada anak. Faktor yang lainnya adalah adanya ikatan atau prinsip-prinsip tradisional dalam keluarga termasuk didalamnya hak penuh orang tua untuk mendidik anaknya masih dipegang teguh, sehingga orang tua cenderung bersembunyi dibalik kekuasaannya yang dianggap mutlak oleh dirinya dan diakui oleh sebagian angota masyarakat tradisional.

B. Saran

Setelah penulis melakukan penelitian dan mengetahui hasil penelitian maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:

Mengingat kekerasan terhadap anak setiap tahunnya meningkat, maka perlu diperhatikan secara serius baik itu Pemerintah, Masyarakat dan Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang konsen terhadap masalah anak dan untuk itu diperlukan usaha-usaha antara lain :

1. Memasyarakatkan Konvensi Hak Anak dan Hak Asasi Manusia pada seluruh lapisan masyarakat, terutama pada pihak yang selama ini sering melakukan kekerasan terhadap anak.

2. Meningkatkan kualitas dan kuantitas kampanye perlindungan dan penegakan hak-hak anak melalui media massa, media elektronik dan cetak, spanduk, poster dan seminar-seminar yang berkaitan dengan perlindungan anak.


(6)

3. Pelaku kriminal dan pelanggaran hak-hak anak di sektor publik dan keluarga hendaklah ditegakkan secara tegas dan jelas baik secara fisik maupun materi. 4. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para hakim, jaksa, polisi, advokat

dan aparat penegak hukum lainnya terhadap anak dan hak-hak anak yang dimilikinya, dengan demikian penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap anak dapat dilakukan dengan memberi rasa keadilan dan hukuman yang mendidik masyarakat serta pelaku.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak Juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

0 4 1

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

1 20 55

Tinjauan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan pencabulan menurut undang undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak

0 7 62

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI PERAN PENDAMPING TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 3 12

PENDAHULUAN PERAN PENDAMPING TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 3 13

PENUTUP PERAN PENDAMPING TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN FISIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 4 6

PENERAPAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KELAS IA BATUSANGKAR).

0 0 12

Tinjauan Mengenai Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak Jalanan Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

0 0 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 2 122