e. Kekerasan terhadap anak adalah perlakuan kejam terhadap anak-anak yang berkisar dari pengabaian anak sampai pada pada perkosaan dan pembunuhan
www.unicef.orgindonesiaidmengenal_hak_hak_anakdiakses 17102010.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman terhadap tulisan ini secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika
penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini merupakan penghantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian umum mengenai
pokok bahasan tentang hak dan perlindungan hukum apa yang harus diberikan terhadap anak korban tindak
pidana kekerasan berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak.
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, yaitu
dalam memperoleh dan megklasifikasikan sumber dan jenis data, serta prosedur pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian dari data yang telah terkumpul
dilakukan analisis data dengan bentuk uraian.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam tulisan ini melalui data primer dan sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi
kepustakaan. Menjelaskan permasalahan yaitu hak dan perlindungan hukum apa yang harus diberikan terhadap anak korban tindak pidana kekerasan berdasarkan
Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penulisan karya
ilmiah skripsi ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Anak dan Kekerasan Terhadap Anak
Terdapat beberapa pengertian anak dari berbagai sudut pandang antara lain sebagai berikut:
1. Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB mempunyai ketentuan dalam menentukan batasan umur bagi anak. Dalam setiap sistem hukum menyadari bahwa konsep
umur dari pertanggungjawaban pidana bagi anak nakal tidak boleh dibuat dengan level tertentu rendah dengan menyadari fakta kedewasaan emosional
dan intelektual dari anak tersebut. 2. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
“anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan
belum pernah kawin”. Penetapan usia anak pada undang-undang pengadilan anak ini memang tergolong rendah dibandingkan negara lain. Hal ini
menunjukan bahwa pembentukan undang-undang menganggap bahwa pada usia demikian seseorang telah dapat dipertanggung jawaban secara emosional,
mental dan intelektual walaupun tidak seperti orang dewasa. 3. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana KUHAP “Yang boleh diperiksa untuk memberikan keterangan dibawah sumpah ialah anak yang umurnya belum
cukup 15 lima belas tahun dan belum pernah kawin.” Mengingat bahwa anak yang belum berumur 15 lima belas tahun, demikian juga orang sakit ingatan,
sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan
mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UUPA
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan”.
Dasar pertimbangan penentuan batas usia anak tersebut mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak KHA yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Namun terdapat perbedaan penentuan batas usia anak yang tercantum dalam UUPA dengan yang tercantum didalam
KHA, yaitu dalam UUPA penentuan batas usia anak secara tegas mencakup anak yang masih dalam kandungan, sedangkan dalam KHA tidak secara tegas
dinyatakan demikian Baihaqi, 1999 ; 24.
Pengertian ini selain sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang- undang Hukum Perdata KUHPdt yang menyatakan bahwa :
“anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya tidak pernah ada
apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan.”
Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang.
Selain itu, terdapat perbedaan yang prinsip antara definisi anak dalam UUPA dengan yang diatur dalam undang-undang lain, yaitu dalam Pasal 1 UUPA
definisi anak tidak dibatasi dengan syarat “dan belum pernah kawin” tetapi didalam undang-undang lain UU Pengadilan Anak, misalnya, definisi anak
dibatasi dengan syarat “dan belum pernah kawin”. UUPA tidak mensyaratkan “dan belum pernah kawin” dalam menentukan batas usia anak agar undang-
undang ini dapat memberikan perlindungan kepada anak secara utuh tanpa adanya diskriminasi antara yang sudah kawin dengan yang belum pernah kawin dimana
persyaratan tersebut lebih menekankan kepada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan batas usia anak lebih dititik beratkan kepada
aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya.
B. Tinjauan Umum Tentang Hak Anak