55
BAB IV KONDISI KOTA YOGYAKARTA
A. Yogyakarta Sebagai Ibukota Negara.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia yang telah proklamirkan oleh Soekarno - Hatta saat kekosongan pemerintahan membuat beberapa negara seperti
Belanda masih belum mengakui secara de facto tetapi masa pembentukan negara yang mendadak manjadikan pembentukan kabinet terbilang tergesa-gesa. Awal
dari pemilihan kota Yogyakarta sebagai wadah kegiatan pemerintahan pusat adalah dipilihnya kota sebagai markas tertinggi Tentara Keamanan Rakyat setelah
dibentuk tanggal 05 Oktober 1945. Pada saat penyusunan TKR yang diserahkan kepada letnan jenderal Oerip Soemohardjo sebagai kepala staf umum TKR, telah
dipilih kota Yogyakarta sebagai Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat MTTKR, yang mula-mula menempati salah satu kamar di Hotel Merdeka
sekarang Hotel Garuda, kemudian pindah ke gedung bekas Pusat Tentara Jepang di Jln. Gondokusuman sekarang menjadi Museum TNI-AD Dharma Wiratama
Eks Makorem 072 di Jln. Jendral Sudirman. Dari kota Yogyakarta inilah segala keputusan dan peraturan mengenai
ketentaraan serta keamanan diatur ataupun dikeluarkan. Semua ini dalam rangka menyusun suatu kekuatan bersenjata yang dapat menjamin tegaknya proklamasi
17 Agustus 1945 terhadap ancaman dari pihak Belanda. Selain itu, sehubungan dengan kepindahan Presiden dan Wakil Presiden
dari Jakarta ke Yogyakarta ikut pula pindah beberapa kementerian yang dari
56
Jakarta ke Yogyakarta karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia saat itu. Pada awal kepindahan Ibukota Republik Indonesia, Perdana
Menteri Sjahrir masih berada di Jakarta untuk kepentingan diplomasi. Namun sejak penggantian kabinet, Perdana Menteri selanjutnya berkedudukan di
Yogyakarta. Demikian pula KNIP pun kemudian juga berkedudukan di Yogyakarta.
Mengingat situasi keamanan yang semakin memburuk di Jakarta, pengepungan, penggrebekan, dan pembersihan terhadap kampong – kampong
dengan kemungkinan penyembunyian para pejuang Indonesia. Keadaan ini juga menimbulkan percobaan pembunuhan terhadap para pemimpin politik, pegawai
diantaranya percobaan pembunuhan terhadap P.M Sutan Sjahrir oleh seorang serdadu KNIL, Amir Syarifuddin dan pemimpin yang lain.
Karena keadaan makin memburuk, Sjahrir mengungsikan pemerintah ke Yogyakarta dengan berbagai pertimbangan termasuk keamanan bagi Presiden dan
Wakil Presiden dengan menerima tawaran Sultan Hamengkubuwono IX untuk memakai wilayah kerajaan sebagai alternatif ibukota.
Pada tanggal 4 Januari 1946 Presiden dan wakil presiden pindah ke Yogyakarta dan kemudian ibukota Republik Indonesiapun turut pula pindah ke
Yogyakarta. Presiden dan wakil Presiden disambut oleh Sultan Hamengkubuwono IX,
sementara itu perdana menteri Sutan Sjahrir berada di Jakarta untuk melakukan perundingan yang berkantor satu atap dengan Departemen Dalam Negeri Jl. Jawa
No. 61 Jakarta.
57
Kepindahan ini memulihkan arti kepemimpinan bagi Dwitunggal, Soekarno – Hatta. Dengan kepindahan ini Soekarno yang bertindak sebagai
kepala pemerintahan lebih percaya diri, sedangkan bagi Hatta berkesempatan untuk melakukan konsolidasi terutama di sektor perekonomian, dengan
diedarkannya mata uang baru dan mendesak rakyat sebagai simbol kemerdekaan dan pembangunan ekonomi dengan menolak mata uang NICA, juga dalam bidang
pendidikan. Setiap orang dapat melihat kesibukan – kesibukan para pemimpin republik
di halaman Gedung Agung tempat tinggal kepala Negara Republik, terletak di seberang bekas benteng Kompeni Vredeburg yang bertembok tebal adalah bekas
gedung pemerintahan Hindia Belanda. Diantara kedua belah pihak saling mempertahankan prinsip masing – masing sehingga disetiap kali terjadi
perundingan mengalami jalan buntu. Para pemimpin yang masih sibuk dengan segala perundingan, rakyat tetap bekerja tenang seperti biasa, kantor – kantor
disibuki oleh para buruh, pegawai, sekolah – sekolah dibanjiri anak pelajar yang ingin menuntut ilmu. Para petani sibuk bekerja keras, mencangkul tanah
sawahnya. Yogyakarta menjadi semarak sebagai ibukota republik dimasa perjuangan.
Diawal kepindahannya jumlah pengungsi semakin besar yang membanjiri ke kantong republik, pemerintah Hatta menghadapi persoalan pengangguran besar –
besaran. Para pengungsi tersebut harus diberi makan dan bantuan. Tetapi kesempatan lapangan kerja pemerintah pusat, terlepas dari adanya pasukan
pertahanan dan pegawai negeri yang memang sudah sulit. Dilapangan minyak
58
Cepu dan bengkel kereta api di Madiun telah kelebihan pegawai Hatta membentuk kementrian Pemuda dan Pembangunan dalam usaha mencegah dan
mengatasi tenaga kerja yang berlebihan, persoalannya ialah bahwa dalam suasana perang arah masa depan yang bergengsi dan terbuka bagi pemuda ialah
mengangkat senjata. Usaha Hatta untuk membentuk koperasi pertanian juga menerima tanggapan yang lemah. Jepang telah memburukkan usaha semacam itu
dengan menggunakan mereka sebagai sarana untuk memeras rakyat Indonesia. Blokade ekonomi Belanda menyulitkan pihak republik. Blokade itu
memotong sumber pendapatan pembelian senjata dan pemasokan obat – obatan. Republik terpaksa mengeksplortasi opium yang ditinggalkan oleh rezim Belanda
dan Jepang. Secara moral, situasi ini tidak disukai Hatta, tetapi ia merasa bahwa nilai tukar opium dan kelebihannya. Sebagai komoditi selundupan terlalu
menguntungkan untuk diabaikan begitu saja Rose, 1991 : 248 – 250 . Selain penyelundupan opium juga emas, candu dan lain – lain sehingga
Indonesia bisa membeli pakaian untuk tentaranya, alat – alat tulis, kendaraan dan sebuah Cadillac kepresidenan untuk Bung Karno sebagai seorang presiden.
Keadaan yang semakin gawat di berbagai wilayah di Indonesia khususnya di ibukota Republik Indonesia di Jakarta setelah Belanda mendarat menyebabkan
pemerintah Republik Indonesia menambil keputusan untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia tersebut dari Jakarta ke Yogyakarta sebagai pilihan ibukota
Republik Indonesia. Pemilihan kota Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia selain karena alasan keamanan juga menyangkut aspek kepemimpinan
Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam kecuali itu juga atas desakan dari
59
badan pekerja KNI Daerah Istimewa Yogyakarta yan melihat bahwa daerah Yogyakarta cukup aman dan dapat menjamin terlaksananya roda pemerintahan
Republik Indonesia pada masa perjuangan. Kepindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta ini
dilaksanakan pada tanggal 04 Januari 1946 dengan diawali perpindahan Presiden dan Wakil Presiden. Kedatangan Presiden dan Wakil Presiden di Yogyakarta
disambut oleh Sultan Hamengku Buwono IX beserta segenap lapisan masyarakat dengan penuh kehangatan dan semangat perjuangan.
Dengan berpindahnya pemerintahan pusat Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta baik eksekutif maupun legislatif maka secara positif kota
Yogyakarta menjadi ibukota Republik Indonesia. Setelah berpindah kota Yogyakarta menjadi semarak sebagai ibukota
republik dimasa perjuangan. Di awal kepindahannya jumlah pengungsi semakin besar yang membanjiri ke kantong republik, pemerintah Hatta menghadapi
persoalan pengangguran besar-besaran. Para pengungsi tersebut harus diberi makan dan bantuan. Tetapi kesempatan lapangan kerja pemerintah pusat, terlepas
dari adanya pasukan pertahanan dan pegawai negeri yang memang sudah sulit. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda juga menyulitkan pihak
republik, blokade itu memotong sumber pendapatan pembelian senjata dan pemasokan obat - obatan sehingga republik terpaksa mengeksploitasi opium yang
ditinggalkan oleh rezim Belanda dan Jepang. Secara moral situasi ini tindak disukai Hatta, tetapi ia merasa bahwa nilai tukar opium dan kelebihan sebagai
60
komoditi selundupan terlalu menguntungkan untuk diabaikan begitu saja Rose. 1991 : 248-250.
Selain penyelundupan opium juga emas, candu dan lain - lain sehingga Indonesia bisa membeli pakaian untuk tentaranya, alat - alat tulis, kendaraan dan
sebuah Cadillac Kepresidenan untuk Bung Karno sebagai seorang presiden. Setiap orang juga dapat melihat kesibukan - kesibukan para pemimpin
Republik di halaman gedung agung tempat tinggal kepala negara republik yang terletak di seberang bekas benteng kompeni Vredeburg yang bertembok tebal
adalah bekas gedung pemerintah Hindia – Belanda. Diantara kedua belah pihak saling mempertahankan prinsip masing – masing sehingga setiap kali terjadi
perundingan mengalami jalan buntu. Para pemimpin masih sibuk dengan segala perundingan tetapi rakyat tetap
bekerja dengan tenang seperrti biasa, kantor – kantor disibuki oleh para buruh, pegawai, sekolah – sekolah dibanjiri anak pelajar yang ingin menuntut ilmu, para
petani sibuk bekerja keras mencangkuli tanah sawahnya, boleh dikatakan bahwa Kota Yogyakarta menjadi sangat penting bagi pemerintahan juga bagi keamanan
rakyatnya yang sangat terjamin. Kepindahan ini juga memulihkan arti kepemimpinan bagi Dwi tunggal,
Soekarno - Hatta. Dengan kepindahan ini Soekarno yang bertindak sebagai kepala pemerintahan jadi lebih percaya diri, sedangkan bagi Hatta berkesempatan untuk
melakukan konsolidasi terutama di sektor perekonomian dengan diedarkannya mata uang baru dan mendesak rakyat sebagai simbol kemerdekaan dan
61
pembangunan dengan menolak mata uang dari NICA, beliau juga memperhatikan dalam bidang pendidikan.
Sejak tanggal 04 Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia beserta sebagian Kantor Departemen pindah ke Yogyakarta, sementara itu Perdana
Menteri dan sebagian kantor lain masih berada di Jakarta. Akibat dari kepindahan sebagian kantor menteri tersebut menyebabkan alat komunikasi dan alat
transportasi menjadi tambah penting karena sebagai penghubung antar departemen tersebut. Karena sangat terbatasnya alat transportasi maka
penghubung antar departemen tersebut nggak bisa ditempuh dalam satu hari karena jarak antara Jakarta dan Yogyakarta sangatlah jauh sekitar 550 KM.
Pada tanggal 06 Januari 1946 Sekretaris Kementerian Dalam Negeri disertai kurang lebih 40 pegawai lainnya, diantaranya Djanu Ismadi dan Mr.
Roesli mulai memindahkan Kementerian Dalam Negeri ke Purwokerto sedang kantor di Jalan Pegangsaan Timur No 58 Jakarta sekarang Jalan Proklamasi No
58 Musium Perintis Kemerdekaan yang dipimpin oleh Mr. Masrin terdapat masalah-masalah yang sangat mendesak, oleh karena itu dibentuknya
Kementerian Dalam Negeri yang berkedudukan di Purwokerto menjadi pas untuk penghubung antara pemerintahan Republik Indonesia yang ada di Jakarta dengan
pemerintahan Republik Indonesia yang ada Yogyakarta. Kedudukan Departemen Kementerian Dalam Negeri yang berada di Purwokerto sangat membantu
kelancaran hubungan kedinasan para pejabat pemerintah dari Yogyakarta ke Jakarta dan juga sebaliknya dari Jakarta ke Yogyakarta. Karena perjalanan dari
Jakarta ke Yogyakarta tidak selalu dapat ditempuh dalam waktu sehari sehingga
62
banyak pejabat pemerintahan menginap di Purwokerto di kantor Departemen Dalam Negeri.
B. Sistem pemerintahan pada masa awal perpindahan ibukota