Community structure of sporulating fungi on decaying litter of Shorea spp at Dramaga Research Forest, Bogor.

STRUKTUR KOMUNITAS CENDAWAN SAPROB BERSPORA
ASAL SERASAH MERANTI (SHOREA spp.) DI HUTAN
PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR

ISRAWATI HARAHAP

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Struktur Komunitas
Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti (Shorea spp.) di Hutan
Penelitian Dramaga, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Israwati Harahap
NIM G351110071

RINGKASAN
ISRAWATI HARAHAP. Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal
Serasah Meranti (Shorea spp.) di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor. Dibimbing
oleh GAYUH RAHAYU dan IMAN HIDAYAT.
Hutan hujan tropis Indonesia didominasi oleh Dipterocarpaceae. Salah satu
spesies dari Dipterocarpaceae yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah meranti
(Shorea spp). Indonesia merupakan daerah endemik meranti dan beberapa spesies
meranti sudah mulai dibudidayakan. Di hutan alaminya, meranti memiliki peranan
yang penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena menghasilkan
serasah yang melimpah sebagai sumber nutrisi bagi kelangsungan hidup
mikroorganisme termasuk cendawan saprob. Beberapa cendawan saprob
merupakan dekomposer kayu dan daun serta berperan penting dalam siklus
nutrien pada areal pertanaman meranti, karena mampu mendegradasi
lignoselulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Komunitas cendawan saprob pada serasah meranti di Indonesia belum

pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan agar informasi
tentang ragam dan populasi cendawan yang mengkolonisasi serasah meranti
diketahui. Penelitian ini memiliki dua tujuan utama yaitu (1) mengetahui struktur
komunitas cendawan saprob pada serasah daun dan ranting meranti yang meliputi
keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan spesies cendawan; (2) mengetahui
spesies-spesies cendawan saprob yang melimpah dan dominan pada serasah
meranti.
Sampel berupa serasah daun dan ranting meranti dikumpulkan dari Hutan
Penelitian Dramaga. Sampel diambil dari 13 titik dalam area seluas 50 m x 50 m.
Sampel diletakkan dalam kantong plastik zip lock disegel dan diberi label.
Sampel kemudian dibawa ke laboratorium dan diberi kertas tisu yang telah
dilembapkan. Sampel diperiksa di bawah mikroskop untuk melihat adanya tubuh
buah cendawan dan mengamati ciri mikroskopis. Cendawan diidentifikasi
berdasarkan ciri morfologi. Spora diisolasi menggunakan teknik isolasi spora
tunggal dan dipelihara sebagai biakan spora tunggal. Biakan diidentifikasi secara
morfologi dan secara molekuler berdasarkan daerah ITS ribosomal DNAnya.
Sebanyak 260 sampel serasah meranti, 54.7% serasah daun dan 45.3%
serasah ranting menunjukkan adanya spora atau tubuh buah cendawan. Sebanyak
29 spesies cendawan terdiri dari 7 askomiset (24.1%) dan 22 spesies cendawan
anamorf yang terdiri dari 12 soelomiset (41.4%) dan 10 hifomiset (34.5%) telah

diidentifikasi. Askomiset terdiri dari Annulohypoxylon purpureonitens, Diatrype
chlorosarca, Didymosphaeria epidermidis, Lophiostoma sp., Lophodermium sp.,
Pemphidium sp., Valsa sp., Soelomiset terdiri dari Coniella musaiaensis,
Coryneum betulinum, Hendersoniopsis thelebola, Lasiodiplodia theobromae,
Lasmeniella guaranitica, Leptodothiorella sp., Massariothea themedae, Pestalotia
guepinii, Pestalotiopsis sp., Pseudolachnea hispidula, Septoriella sp., dan
Soelomiset sp. 1, sedangkan hifomiset terdiri dari Beltraniella portoricensis,
Cryptophialoidea fasciculata, Hermatomyces sphaericus, Kiliophora ubiensis,
Minimidochium setosum, Monodisma fragilis, Nodulisporium sp., Stilbella
fimetaria, Virgatospora echinofibrosa dan Hifomiset sp. 1. Diantara 29 spesies itu,
lima spesies dapat diisolasi yaitu Annulohypoxylon purpureonitens, Beltraniella

portoricensis, Cryptophialoidea fasciculata, Kiliophora ubiensis dan Hifomiset sp.
1. Beltraniella portoricensis dan Pemphidium sp. termasuk kategori cendawan
yang sangat sering ditemukan pada serasah daun meranti, sedangkan
Cryptophialoidea fasciculata dan Lasiodiplodia theobromae adalah spesies yang
sering ditemukan pada serasah ranting meranti.
Komunitas cendawan bersifat spesifik substrat. Komunitas cendawan pada
serasah ranting lebih beragam dibandingkan pada serasah daun. Rasio C/N pada
substrat serasah diduga berkaitan erat dengan struktur komunitas cendawan

tersebut.
Kata kunci: Cendawan saprob, serasah, Shorea spp., struktur komunitas

SUMMARY
ISRAWATI HARAHAP. Community structure of sporulating fungi on decaying
litter of Shorea spp at Dramaga Research Forest, Bogor. Supervised by GAYUH
RAHAYU and IMAN HIDAYAT
Indonesian tropical rain forests are dominated by the Dipterocarpaceae.
One of the most valuable Dipterocarpaceae is Shorea. Indonesia is a centre of
endemic of Dipterocarpaceae and this tree is now being cultivated. In natural
forests, Shorea spp. has an important role in maintaining the balance of the
ecosystem because they produce abundant lignocellulosic rich substrates as a
source of nutrients for the survival of microorganisms including saprobic fungi.
Fungi have been known as the major wood and leaf decomposer organisms and
they play an important role in the nutrient cycle in Shorea spp. plantation because
they degrade lignocellulosic materials into a more simple compound.
A few study on the community structure of litter degrading fungi on Shorea
spp. has been done, but none from Indonesia. With highly diversity of Shorea spp.
in Indonesia, survey on the fungal diversity on Shorea spp. litter is necessary in
order to enrich the information regarding fungal community inhabiting Shorea spp.

litter. Therefore, this study has two main objectives, as follows: (1) unreaveling
the community structure of sporulating fungi on leaf and branch litter of Shorea
that includes diversity, species richness and evenness of fungi; (2) to know the
most abundant and dominant species of fungi in Shorea spp. litter.
Leaf and branch litter samples were collected in 50 m x 50 m area at
Dramaga Research Forest. Samples were placed in a zip lock plastic bag, sealed
and labeled. Samples were then brought to the laboratory and moistened by
placing wet tissue into these plastic bags. Samples were examined under
microscopes to find fruiting bodies, and the microscopic features of the fungi were
observed and noted. The fungi were mainly identified morphologically and those
that can be isolated were identified further using molecular approach on the bases
of the sequence of their ITS region.
Of 260 samples, about 54.7% leaf litters and 45.3% branch litters were
infested by the fungi and detected either in the form of spores or fruiting bodies.
About 29 fungal species composed of 7 ascomycetes (24.1%) and 22 anamorphs
that comprised of 12 coelomycetes (41.4%) and 10 hyphomycetes (34.5%) were
identified. The ascomycetes are Annulohypoxylon purpureonitens, Diatrype
chlorosarca, Didymosphaeria epidermidis, Lophiostoma sp., Lophodermium sp.,
Pemphidium sp., Valsa sp., The coelomycetes are Coniella musaiaensis,
Coryneum betulinum, Hendersoniopsis thelebola, Lasiodiplodia theobromae,

Lasmeniella guaranitica, Leptodothiorella sp., Massariothea themedae, Pestalotia
guepinii, Pestalotiopsis sp., Pseudolachnea hispidula, Septoriella sp.,
Coelomycete sp 1., and the hyphomycetes are Beltraniella portoricensis,
Cryptophialoidea fasciculata, Hermatomyces sphaericus, Kiliophora ubiensis,
Minimidochium setosum, Monodisma fragilis, Nodulisporium sp., Stilbella
fimetaria, Virgatospora echinofibrosa and Hyphomycete sp. 1. Of those species, 5
species can be isolated that were Annulohypoxylon purpureonitens, Beltraniella
portoricensis, Cryptophialoidea fasciculata, Kiliophora ubiensis and
Hyphomycete sp 1. Beltraniella portoricensis and Pemphidium sp. were the most

frequent species found on leaf litter, while those of branch litter were
Cryptophialoidea fasciculata and Lasiodiplodia theobromae.
The fungal community was subtrate specific. The community on decaying
branch litter was more diverse than those on leaf litter. C/N ratio of the substrate
were closely related to the fungal community structure.
Key words: saprobic fungi, litter, Shorea spp., community structure

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STRUKTUR KOMUNITAS CENDAWAN SAPROB BERSPORA
ASAL SERASAH MERANTI (SHOREA spp.) DI HUTAN
PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR

ISRAWATI HARAHAP

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji luar komisi : Prof Dr Mien A. Rifai

Judul Tesis : Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah
Meranti (Shorea spp.) di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor
Nama
: Israwati Harahap
NIM
: G351110071

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Gayuh Rahayu
Ketua

Dr Iman Hidayat

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Anja Meryandini

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
9 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahirobbilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada

Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitan dengan judul Struktur Komunitas Cendawan Saprob
Berspora Asal Serasah Meranti (Shorea spp.) di Hutan Penelitian Dramaga,
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gayuh Rahayu selaku ketua
komisi pembimbing, Dr Iman Hidayat sebagai anggota komisi pembimbing, atas
segala bimbingan, arahan, waktu, tenaga, pikiran, serta nasehat sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Prof Dr Mien A. Rifai sebagai penguji luar komisi dan Prof Dr Anja
Meryandini sebagai ketua program studi mikrobiologi yang telah banyak
memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Disamping itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Yeni, Ibu Mia, Alin, Reva, Mbak
Nur, Mas Dian, dan seluruh staf pegawai LIPI-Cibinong yang telah banyak
membantu penulis dalam penelitiannya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Floreta Fiska Yuliarni,
Vivi Oktavianis, Ibu Nani Radiastuti, Ibu Tatik Hartanti, Kemala S. Nagur,
Lismayana Hansur, Rahayu Fitriani Wangsa Putri, teman-teman di Mikrotropisian
2013, Lisdayanti, Reikha Rahmasari, Novita Karunia Sari, Uswatun Hasanah,
Latifatul Hayati, Siti Komariyah, dan adik-adik di Wisma Bintang atas bantuan,
doa dan motivasinya.

Ucapan terima kasih yang teristimewa penulis sampaikan kepada Ayahanda
M.M Harahap dan Ibunda Erni Helmida, atas doa yang tidak pernah putus,
nasehat serta motivasi yang selalu diberikan kepada penulis, serta kepada Abang
Hamdani Harahap, Kakak Kiki Maryuni Harahap & Abang Fadly Herman,
Rachmat Harahap, Muhammad Abduh Harahap atas doa dan motivasi yang
diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013
Israwati Harahap

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Pengumpulan Sampel dan Deskripsi Lokasi
Pengamatan Cendawan Secara Langsung dan Isolasi Cendawan
Penyimpanan Isolat
Identifikasi Cendawan
Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR dan Sekuensing
Analisis Filogenetik
Analisis Data Ekologi
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti
4 SIMPULAN DAN SARAN

1
2
2
3
3
3
3
4
4
4
5
5
5
7
7
37

Simpulan
Saran

37
37

DAFTAR PUSTAKA

37

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1 Parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel
2 Frekuensi keberadaan dari cendawan saprob berspora penghuni serasah
meranti

7
34

DAFTAR GAMBAR
1 Titik sampling serasah daun dan ranting meranti
2 Kurva spesies area dari jumlah spesies cendawan yang diperoleh
terhadap jumlah sampel yang diobservasi
3 Komposisi kelompok cendawan yang menginfestasi serasah daun dan
ranting meranti
4 Stroma Annulohypoxylon purpureonitens di permukaan ranting, askus
dan askosporanya
5 Koloni Annulohypoxylon purpureonitens pada media PDA
6 Kedudukan Annulohypoxylon purpureonitens IPBCC.13.1077 dalam
pohon filogenetik
7 Stroma Diatrype chlorosarca yang terbenam pada ranting, askus
dengan askosporanya
8 Askoma Didymosphaeria epidermidis yang terbenam pada ranting,
askus dan askosporanya
9 Askoma Lophiostoma sp. terbenam dalam ranting, askus, cincin apikal,
dan askospora
10 Askoma Lophodermium sp. di permukaan daun, askus, dan
askosporanya
11 Askoma Pemphidium sp. di permukaan daun, askus, parafisis dan
askospora
12 Stroma Valsa sp. di atas permukaaan ranting, askus dan askospora
13 Konidia Soelomiset sp.1
14 Konidia Coniella musaiaensis
15 Konidia Coryneum betulinum
16 Konidia Hendersoniopsis thelebola
17 Konidia Lasiodiplodia theobromae
18 Konidia Lasmeniella guaranitica
19 Konidia Leptodothiorella sp.
20 Konidia Massariothea themedae
21 Konidia Pestalotia guepinii
22 Konidia Pestalotiopsis sp.
23 Konidia Pseudolachnea hispidula dan setula
24 Konidia Septoriella sp.
25 Konidia Beltraniella portoricensis, sel konidiogen, dan seta
26 Koloni Beltraniella portoricensis pada media PDA
27 Kedudukan Beltraniella portoricensis IPBCC.13.1078 dalam pohon
filogenetik
28 Konidia Cryptophialoidea fasciculata, sel konidiogen dan seta
29 Koloni Cryptophialoidea fasciculata pada media PDA

3
8
8
9
10
10
11
11
12
13
14
14
15
15
16
17
17
18
19
20
20
21
22
22
23
24
24
25
25

30 Kedudukan Cryptophialoidea fasciculata IPBCC.13.1079 dalam pohon
filogenetik
31 Konidia Hermatomyces sphaericus
32 Konidia Hifomiset sp.1
33 Koloni Hifomiset sp.1 pada media PDA
34 Kedudukan Hifomiset sp.1 IPBCC.13.1081 dalam pohon filogenetik
35 Konidia Kiliophora ubiensis, sel konidiogen dan seta
36 Koloni Kiliophora ubiensis pada media PDA
37 Kedudukan Kiliophora ubiensis IPBCC.13.1080 dalam pohon
filogenetik
38 Konidia Minimidochium setosum dan seta
39 Konidia Monodisma fragilis
40 Konidia Nodulisporium sp., dan konidiofor
41 Konidia Stilbella fimetaria dan konidiofor
42 Konidia Virgatospora echinovibrosa, konidiofor dan papila
43 Distribusi kelompok cendawan berdasarkan jumlah spesies cendawan
44 Distribusi kelompok cendawan berdasarkan kelimpahan setiap spesies
cendawan
45 Keanekaragaman cendawan berdasarkan indeks Shannon-Wiener pada
tigabelas titik pengambilan sampel
46 Analisis koresponden yang memperlihatkan hubungan antara spesies
cendawan dengan organ tanaman meranti.

26
26
27
27
27
28
28
29
30
30
31
31
32
33
33
35
36

 
 

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Meranti (Shorea spp.) merupakan anggota Dipterocarpaceae yang tumbuh
dominan di hutan hujan tropis Asia Tenggara terutama di Malaysia dan Indonesia.
Indonesia memiliki sekitar 143 spesies Shorea yang dapat dikelompokkan ke
dalam empat nama perdagangan yaitu meranti merah, meranti kuning, meranti
putih dan balau. Pohon ini tersebar di pulau Sumatera, Bangka-Belitung,
Kalimantan dan beberapa lokasi di pulau Jawa yang memiliki curah hujan di atas
2000 mm per tahun (Departemen Kehutanan 2007). Kayu meranti dapat
digunakan untuk berbagai keperluan seperti kayu lapis, kayu gergajian dan bahan
bangunan. Dalam hutan alaminya, meranti menghasilkan serasah yang melimpah
sebagai sumber nutrisi bagi kelangsungan hidup mikroorganisme saprob termasuk
cendawan.
Cendawan saprob sangat besar peranannya dalam menjaga keseimbangan
ekosistem. Cendawan memperoleh nutrisi dari lingkungannya dengan cara
dekomposisi serasah melalui proses enzimatik (Thorn et al. 1996). Pada berbagai
ekosistem, nutrisi itu juga menjadi sumber makanan bagi berbagai mahluk hidup
lain yang menempati ekosistem tersebut. Pada umumnya cendawan mampu
mendekomposisi selulosa dan lignin yang merupakan komponen terbesar dari
serasah yang sulit didekomposisi. Selain itu, cendawan berperan dalam daur ulang
nutrien dan pembentukan humus (Dwivedi & Shukla 1977; Sinha 1982; Osono et
al. 2009). Proses dekomposisi dan daur ulang nutrien merupakan aktivitas dari
banyak mikrob dalam suatu komunitas.
Studi mengenai struktur komunitas cendawan pendegradasi serasah Shorea
spp. tidak banyak dilaporkan.  Padahal struktur komunitas cendawan saprob perlu
diketahui, sebelum proses-proses yang melibatkan cendawan saprob tersebut
dimanipulasi untuk kepentingan manusia. Struktur komunitas merupakan suatu
konsep yang mempelajari susunan atau komposisi spesies dan kelimpahannya
dalam suatu komunitas (Schowalter 1996). Ada beberapa pendekatan yang dapat
digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas yaitu keanekaragaman
spesies, interaksi spesies dan organisasi fungsional (Schowalter 1996). Dalam
penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah keanekaragaman spesiesnya.
Beberapa studi tentang struktur komunitas cendawan saprob dari daerah
penyebaran Shorea spp. seperti India dan Thailand pernah dilakukan. Soni et al.
(2011) mempelajari komunitas cendawan pada Shorea robusta di India dalam
kaitannya dengan perubahan musim. Beberapa jenis cendawan kosmopolit seperti
Aspergillus flavus, Aspergillus niger dan Rhizopus stolonifer terlibat dalam
dekomposisi serasah sepanjang tahun, sementara Aspergillus fumigatus,
Cladosporium cladosporioides, Cladosporium oxysporum, Curvularia indica, dan
Curvularia lunata terlibat hanya dalam tiga musim. Beberapa cendawan
ektomikoriza yaitu Astraeus hygrometricus, Boletus fallax, Calvatia elata,
Mycena roseus, Periconia minutissima, Russula emetica, Scleroderma bovista,
Scleroderma geaster, Scleroderma verrucosum dan empat cendawan steril hanya
ditemukan pada musim hujan (Juni-Agustus), sedangkan cendawan lainnya
seperti Alternaria citri, Gliocladium virens, Helicosporium phragmitis dan
 
 


 

Pithomyces cortarum jarang dan hanya ditemukan dalam satu musim. Studi
struktur komunitas cendawan pada serasah meranti dilaporkan oleh Osono et al.
(2009) di Thailand. Mereka mengisolasi delapan puluh spesies cendawan dari
serasah daun Shorea obtusa dan mengamati suksesi cendawan tersebut selama
proses dekomposisi. Trichoderma asperellum dan Aspergillus sp. merupakan
cendawan yang dominan ditemukan selama proses dekomposisi, sedangkan
Nigrospora sp., Cladosporium oxysporum dan Talaromyces sp. menurun selama
proses dekomposisi dan satu spesies dalam Amphisphaeriaceae yang belum
teridentifikasi mengalami peningkatan selama dekomposisi.
Cendawan saprob merupakan bagian dari mikroflora serasah hutan. Salah
satu aspek dalam teknik silvikultur intensif yang berkaitan dengan mikroflora
serasah adalah pemanfaatan mikroba asal areal pertanaman pohon hutan untuk
menunjang pertumbuhan bibit meranti.
Keanekaragaman cendawan pendekomposisi serasah daun pada daerah
tropis diketahui sangat tinggi (Polishook et al. 1996; Paulus et al. 2003; Santana
et al. 2005). Namun, perubahan-perubahan ekosistem dapat menyebabkan
kepunahan pada spesies-spesies cendawan pendekomposisi, oleh sebab itu
cendawan-cendawan ini perlu dilestarikan. Upaya pelestarian ini hanya dapat
dilakukan jika setiap komponen penyusun komunitas dikenal dan diketahui baik
spesies maupun perannya di alam. Struktur komunitas cendawan saprob pada
serasah meranti di Indonesia belum pernah dilaporkan, padahal Indonesia kaya
dengan spesies meranti, oleh sebab itu biodiversitas dari cendawan saprob sangat
penting dipelajari dan diharapkan keanekaragaman yang tinggi juga memberikan
peluang untuk ditemukannya spesies langka dan spesies baru.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui struktur komunitas cendawan saprob berspora pada serasah daun
dan ranting meranti yang meliputi keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan
spesies cendawan.
2. Mengetahui spesies cendawan saprob yang melimpah dan dominan pada
serasah daun dan ranting meranti.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yaitu memberikan informasi awal tentang struktur
komunitas cendawan saprob pada serasah daun dan ranting meranti. Informasi
dapat dijadikan acuan bagi pengenalan spesies cendawan endemik atau khas
serasah meranti, sehingga kedepannya dapat dijadikan sumber data untuk
konservasi meranti dan konservasi eksitu cendawan khas serasah meranti.



2 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai Februari 2013
di laboratorium Mikologi LIPI, Cibinong.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah daun dan ranting
meranti, KOH 3%, media agar air, media Potato Dextrose Agar (PDA), Potato
Dextrose Broth (PDB) dan DNA PhythopureTM Kit Extraction (GE Healthcare,
UK). Alat-alat yang digunakan adalah GPS (Garmin, USA), hand lens, pH meter,
plastik zip lock, dissecting stereo microscope SZX7 (Olympus), compound
microscope CX41, mikropipet (Eppendorf), mesin PCR (Takara), minisentrifus
(BioExpress), elektroforesis (Mupid-exu) serta alat-alat gelas.

Pengumpulan Sampel dan Deskripsi Lokasi
Serasah daun dan ranting meranti dikoleksi dari areal pertanaman meranti di
hutan Penelitian Dramaga, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Konservasi
dan Rehabilitasi yang terletak di Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan
Bogor Barat, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Sampel serasah hanya
diambil satu kali pada bulan September. Sampel serasah daun dan ranting meranti
diambil dari lantai hutan pertanaman tegakan meranti (Shorea javanica, Shorea
leprosula dan Shorea selanica) seluas ± 50 m x 50 m. Areal sampling dibagi
dalam 13 titik sampling secara diagonal (Gambar 1). Jarak antara titik sampling
adalah 3 m. Dari setiap titik diambil 10 sampel serasah daun dan 10 sampel
serasah ranting meranti. Ukuran panjang ranting ± 10 cm.
50 m

50 m

Gambar 1 Titik sampling serasah daun dan ranting meranti pada areal seluas 50
m x 50 m

 


 

Serasah daun dan ranting meranti dari masing-masing titik pengambilan
sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik zip lock yang berbeda dan diberi
kertas tisu yang sebelumnya telah dilembabkan dengan air steril. Kantong plastik
zip lock disegel dan diberi label dengan informasi yang berisi nama sampel, titik
(GPS) pengambilan sampel, kolektor dan tanggal. Sampel kemudian dibawa ke
laboratorium untuk diamati.
Pada saat pengambilan sampel, pH tanah dan kadar air tanah diukur. Kadar
air serasah, rasio C/N serasah juga dianalisis. Besarnya jumlah sampel dianalisis
untuk mengetahui tingkat kecukupan sampel dalam menggambarkan komunitas
cendawan saprob berspora. Titik asimtot adalah titik kecukupan sampel.

Pengamatan Cendawan Secara Langsung dan Isolasi Cendawan
Cendawan saprob pada serasah daun dan ranting diamati di bawah
mikroskop Olympus SZX7. Serasah yang mengandung tubuh buah cendawan
dipisahkan berdasarkan kelompok cendawannya. Tubuh buah askomiset dan
soelomiset diambil menggunakan pisau spesimen. Jika tubuh buah sudah kering,
tubuh buah direhidrasi terlebih dahulu dengan cara diberi satu atau dua tetes air
steril atau kalium hidroksida (KOH) 3%. Tubuh buah cendawan yang sudah
lembab diletakkan pada gelas preparat untuk dibuat preparat semi permanennya
dan selanjutnya diamati dengan menggunakan mikroskop Olympus CX41. Pada
hifomiset, struktur reproduksi diambil dengan pinset dan dibuat preparat semi
permanen dengan air steril.
Preparat semi permanen dibuat bentuk permanennya dengan menggunakan
medium shear’s. Morfologi cendawan diamati secara mikroskopis. Data
pengamatan mikroskopis ini digunakan untuk identifikasi spesimen.
Selain dibuat preparat permanennya cendawan juga diisolasi. Metode isolasi
yang dilakukan yaitu isolasi spora tunggal menurut Choi et al. (1999) dengan
menggunakan media agar air. Biakan dimurnikan pada media Potato Dextrose
Agar (PDA).

Penyimpanan Isolat
Cendawan yang berhasil diisolasi, disimpan pada PDA agar tabung yang
diberi parafin. Biakan disimpan di IPB Culture Collection (IPBCC).

Identifikasi Cendawan
Identifikasi cendawan dilakukan berdasarkan ciri morfologi. Untuk
konfirmasi identifikasi secara morfologi, analisis molekuler dilakukan pada semua
cendawan yang berhasil diisolasi. Identifikasi morfologi dilakukan secara
langsung dari tubuh buah pada serasah daun dan ranting yang sebelumnya telah
dibuat preparat semi permanennya.
Data morfologi ini dibandingkan dengan data pada kunci identifikasi
Askomiset: Hyde et al. (2000) dan Taylor & Hyde (2003). Soelomiset: Nag Raj



(1993) dan Sutton (1980). Hifomiset: Ellis (1971, 1976), Carmichael et al. (1980)
dan Seifert et al. (2011). Beberapa database pada website dapat dijadikan sebagai
acuan cendawan yang sudah pernah dilaporkan seperti: Index Fungorum
(Http://www.indexfungorum.org/Names/Names.asp). Mycobank (Http://www.
mycobank.org)
dan
USDA
fungus
host
database
(Http://nt.arsgrin.gov/fungaldatabases/fungushost/fungushost.cfm). Acuan lainnya adalah
jurnal-jurnal publikasi terbaru yang sesuai dengan spesies cendawan yang
ditemukan.

Ekstraksi DNA, Amplifikasi PCR dan Sekuensing
Kultur cendawan saprob dianalisis secara molekuler. Biomassa miselium
pada media Potato Dextrose Broth (PDB) berumur 3-5 hari dijadikan sumber
DNA. Ekstraksi DNA menggunakan DNA PhythopureTM Kit Extraction (GE
Healthcare, UK).
DNA diamplikasi dengan primer ITS5 (5’-GGAAGTAAAAGTCG
TAACAAGG -3’) dan ITS4 (5’-TCCTCCGCTTATTGATATGC-3’) (White et al.
1990) dalam mesin PCR. Setiap tabung berisi 25 μl terdiri dari 10 μl nuclease free
water, 12.5 μl Go taq green mastermix TM, ITS5 & ITS4 masing-masing 0.5 μl,
DMSO 0.5 μl dan DNA template 1 μl. Amplifikasi PCR dilakukan dengan kondisi
PCR yaitu predanaturasi 95oC selama 90 detik, selanjutnya diikuti oleh 35 siklus,
denaturasi (95°C, 30 detik), annealing (55°C, 30 detik) dan extension (72°C, 90
detik) dan final extension 72oC selama 5 menit Hasil amplifikasi kemudian
dielektroforesis pada gel agarose dengan konsentrasi 1 % dan direndam dalam
etidium bromida selama ± 30 menit selanjutnya divisualisasikan dibawah sinar
UV (Bio-Rad UV Transilluminator 2000). Hasil PCR dikirim ke 1st Base
(Malaysia) untuk disekuensing.

Analisis Filogenetik
Sekuen ITS termasuk 5.8S rDNA yang diperoleh akan dibandingkan dengan
sekuen dari database the National Center for Biotechnology Information (NCBI)
(www.ncbi.nlm.nih.gov) melalui program BLAST (Basic Local Alignment Search
Tool). Sekuens homolog akan diambil untuk di-align dengan sekuen yang sedang
dianalisa menggunakan program MEGA 5 (Tamura et al. 2011). Pohon
filogenetiknya dibangun dengan metoda Neighbour joining menggunakan
program MEGA 5 dengan 1000 x ulangan bootstrap.

Analisis Data Ekologi
Total jumlah spesies cendawan pada sampel serasah dicatat dan dihitung.
Frekuensi keberadaan (FK) setiap spesies cendawan digunakan untuk menetapkan
dominansi cendawan pada habitatnya.
A
Frekuensi keberadaan dari spesies A =
x 100%

 


 

Berdasarkan frekuensi keberadaan (FK) pada setiap spesies cendawan, maka
cendawan dikelompokkan menjadi sangat sering ditemukan (FK >10%), sering
ditemukan (5%< FK ≤10%), kadang-kadang ditemukan (1%< FK ≤5%) dan
jarang ditemukan (FK ≤1%).
Keanekaragaman spesies dihitung menggunakan indeks keanekaragaman
spesies (kekayaan spesies dan kemerataan spesies). Indeks keanekaragaman
Shannon digunakan untuk menghitung kelimpahan spesies yang ada (H’). Indeks
kekayaan spesies (DMg) digunakan untuk menghitung kekayaan spesies dalam
komunitas. Indeks kemerataan digunakan untuk menghitung distribusi setiap
spesies pad substrat serasah daun dan serasah ranting meranti. Kisaran kemerataan
dari 0 sampai 1. Komunitas dengan nilai kemerataan sama dengan 1 artinya
bahwa setiap spesies dalam komunitas memiliki frekuensi keberadaan yang sama
(Magurran 1988).
Indeks Keanekaragaman Spesies
Indeks keanekaragaman spesies cendawan dihitung menggunakan indeks
Shannon-Wiener (H’) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
H= - pi. ln pi
pi kelimpahan relatif

∑ individu dalam spesies ke i
∑ individu semua spesies

Indeks Kekayaan Spesies
Indeks kekayaan spesies cendawan (DMg) dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
S
DMg =
;
N

N= Jumlah individu dalam komunitas
S= Jumlah spesies dalam komunitas

Indeks Kemerataan Spesies
Indeks kemerataan spesies cendawan (E) dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
E= H’/ln S
H’= Nilai indeks Shannon-Wiener
S = Jumlah spesies
Pada cendawan, individu menunjukkan koloni sehingga satu individu
merupakan satu koloni.
Hubungan antara komunitas cendawan dan organ tanaman dianalisis
menggunakan analisis koresponden sederhana (Simple Correspondence Analysis)
menggunakan software Minitab 15.



3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Komunitas Cendawan Saprob Berspora Asal Serasah Meranti
Sebanyak 260 sampel serasah meranti yang terdiri dari 130 serasah daun
dan 130 serasah ranting diamati keberadaan cendawan saprob bersporanya. Dari
seluruh sampel serasah, hanya 71 (54.7%) sampel serasah daun dan 59 (45.3%)
sampel serasah ranting yang terinfestasi cendawan saprob. Persentase serasah
daun yang diinfestasi oleh cendawan lebih tinggi daripada persentase serasah
ranting. Hal ini diduga berkaitan dengan kadar air subtrat dan kadar air tanah.
Serasah daun memiliki kadar air (3.98%) yang sedikit lebih tinggi dibandingkan
kadar air (3.39%) serasah ranting (Tabel 1) dan kadar air kedua substrat ini relatif
sangat rendah. Tumpukan daun yang lebih luas daripada ranting di permukaan
tanah akan membentuk kondisi lingkungan mikro yang menunjang kehidupan
cendawan di permukaan daun yang menghadap ke tanah. Kadar air dan
kelembapan udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
cendawan terutama dalam proses perkecambahan spora, pertumbuhan miselium
dan pembentukan spora (Yoder & Wood 1973). Beberapa cendawan seperti
Aspergillus flavus, Aspergillus candidus dan Aspergillus glaucus tumbuh pada
subtrat dengan kadar air sekitar 9.3-11.3% (Paderes et al. 1996). Oleh sebab itu
kemungkinan lain adalah cendawan saprob yang ditemukan pada serasah tersebut
merupakan cendawan yang berada dalam keadaan dorman.

Tabel 1 Parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel
Parameter
Nilai
pH tanah
6
Intensitas cahaya
120
Kadar air tanah
38.34%
Kadar air
serasah ranting
3.39%
serasah daun
3.98%
Rasio C/N
serasah ranting
67.12
serasah daun
55.97

Jumlah sampel daun yang diperlukan untuk menggambarkan komunitas
cendawan saprob berspora berbeda dari jumlah sampel ranting. Peningkatan
jumlah sampel serasah yang diobservasi menyebabkan peningkatan jumlah
spesies cendawan yang ditemukan dan mencapai maksimum pada titik asimtotnya
(Gambar 2). Asimtot dicapai pada sampel ke 72 untuk serasah daun dan sampel
ke 100 untuk serasah ranting. Oleh karena itu 130 sampel serasah daun dan 130
sampel serasah ranting yang digunakan dalam penelitian ini, dapat memberikan
perkiraan yang layak mengenai komunitas cendawan saprob bersporanya.

 



25
20
15
serasah daaun meranti

10

serasah raanting merantti

5
0
1
9
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97
105
113
121
129

Jumlah spesies cendawan

 

Jumlah sampel serasah
h meranti

Gam
mbar 2 Kuurva spesiess area dari jumlah sp
pesies cendawan yangg diperoleh
terrhadap jumlah sampel yang
y
diobseervasi

Sebanyak 29 spesiess cendawann ditemukan
n pada seraasah rantingg dan daun
meraanti yang teelah terinfestasi terdirii dari 7 ask
komiset (244.1%) dan 22 spesies
cenddawan anam
morf (75.9%
%) yang teerdiri dari 12 soelom
miset (41.4%
%) dan 10
hifom
miset (34.5%
%) (Gambaar 3). Beberrapa genus yang ditem
mukan padaa penelitian
ini teelah dilaporrkan sebeluumnya oleh Osono et al.
a (2009) dan
d Soni et al. (2011)
sebaggai penghuuni serasahh meranti seperti Beeltraniella, Lophoderm
mium, dan
Pestaalotiopsis. Cendawan saprob yaang ditemuk
kan pada serasah
s
meeranti juga
ditem
mukan padaa jenis inanng yang lainn. Oleh karrena itu, daapat dikatakkan bahwa
cenddawan saproob ini bersiifat host-reccurence. Wang
W
et all. (2008) m
menemukan
lima spesies ceendawan yaang umum menginfesttasi daun Ficus
F
altissiima, Ficus
F
fistulossa dan Ficu
us semicorddata yaitu B
Beltraniella
virenns, Ficus beenjamina, Ficus
nilgirrica, Lasiiodiplodia theobromaae, Ophiocceras lepttosporum, Periconia
byssooides dan Septonema harknessi. Beltranieella nilgiricca dan Lassiodiplodia
theobbromae meemiliki FK>
> 3%. Shiroouzu et al. (2009) mennemukan B
Beltraniella
portooricensis memiliki
m
freekuensi kebberadaan yang
y
tinggi pada daunn Quercus
myrssinaefolia.

Hifomiseet
34.5%

Askomiset
24.1%
Soelomiset
41.4%

Gam
mbar 3 Kom
mposisi keloompok cenddawan yang
g menginfesstasi serasahh daun dan
rantiing merantii



Kelompok cendawan anamorf lebih dominan dibandingkan teleomorf
(Gambar 3) seperti yang ditemukan oleh Osono et al. (2009) dan Soni et al.
(2011). Pinruan et al. (2007) juga menemukan pertumbuhan anamorf yang lebih
cepat dalam menginfestasi daun palem karena mampu menggunakan pati dan gula
pada serasah daun palem tersebut.
Anggota-anggota komunitas cendawan pada serasah meranti memiliki
pertelaan sebagai berikut:
1. Annulohypoxylon purpureonitens Hsieh, Ju & Rogers, Mycologia 97: 844865 (2005) (Xylariaceae)
Annulohypoxylon purpureonitens memiliki stroma yang terdapat di
permukaan serasah ranting (Gambar 4a), tubuh buah semiglobos, menyerupai
bantalan berwarna hitam karbon dengan ostiol. Askus silindris dengan 8
askospora (Gambar 4b), askospora uniseriat, satu sel, berwarna coklat (Gambar
4c) dan memiliki celah kecambah. Miselium pada media PDA (Gambar 5)
berwarna putih.
Sebanyak 49 spesies Annulohypoxylon telah tercatat dari berbagai wilayah
di dunia (Index Fungorum 2013). Annulohypoxylon purpureonitens pertama kali
dilaporkan oleh Hsieh et al. pada tahun 2005 (Index Fungorum 2013).
Keberadaan Annulohypoxylon purpureonitens di Indonesia belum pernah
dilaporkan sebelumnya, oleh sebab itu tulisan ini merupakan laporan yang
pertama. Selain pada serasah meranti, Annulohypoxylon tersebar pada beberapa
inang diantaranya Alnus glutinosa, Betula pendula, Betula pubescens, Betula
pubescens subsp. carpatica, Carpinus betulus, Corylus avellana, Fagus orientalis,
Fraximus excelsior, Quercus acutissima, Quercus variabilis, Salix sp. dan Sorbus
aucuparia subsp. glabrata (USDA fungus host database 2006).

b
b
c
c
a

a

Gambar 4 Stroma Annulohypoxylon purpureonitens di permukaan ranting (a),
askus (b) dan askosporanya (c)

 

10 
 

A
A

B

mbar 5 Kolooni Annulohhypoxylon purpureonite
p
ens pada meedia PDA, ppermukaan
Gam
atas (A) dan perrmukaan baawah (B)

Annulohyppoxylon purrpureonitenns IPBCC.13
3.1077 hasiil penelitiann ini berada
satu clade denggan isolat Annulohypo
A
oxylon purp
pureonitens (GenBankk accession
numbber FM2099452, FM2009451 dan FM209448)
F
) dengan niilai bootstraap sebesar
100%
% (Gambar 6). Hal inii menegaskaan pengamaatan morfollogi Annuloohypoxylon
purpureonitens.

mbar 6 Keddudukan Annnulohypoxyylon purpurreonitens IP
PBCC.13.1077 dalam
Gam
pohoon filogenettik

2. D
Diatrype chloorosarca Berk. & Brooome (Diatrrypaceae)
Diatrype chlorosarcaa memilikii askoma yang
y
terbennam di dalaam stroma
(Gam
mbar 7a), permukaan
p
stroma datar atau sed
dikit cembuung. Askus berbentuk
gadaa dengan 8 askosporra, unitunikkat, dan memiliki
m
peedisel (Gam
mbar 7b).
Askoospora berbbentuk alanntoid, 2-3 seriat, 1-sel, sub hialinn dan dindding selnya
haluss.
Sebanyak 495 spesiess Diatrype telah
t
tercatat dari berbbagai wilayaah di dunia
(Indeex Fungorum
m 2013). Diatrype
D
chloorosarca peertama kali dilaporkan oleh Berk.

11 

dan Broome pada tahun 1873 (Index Fungorum 2013). Adanya Diatrype
chlorosarca pada serasah meranti merupakan catatan baru bagi spesies ini di
Indonesia. Diatrype chlorosarca tersebar pada beberapa inang yaitu
Archontophoenix alexandrae, Archontophoenix sp., Parashorea plicata,
Trachycarpus fortunei, dan Trachycarpus sp. (USDA fungus host database 2006).

a

b

Gambar 7

Stroma Diatrype chlorosarca yang terbenam pada ranting (a), askus
(b) dengan askospora.

3. Didymosphaeria epidermidis Fuckel, Jb. nassau. Ver. Naturk. 23-24: 140
(1870) (Didymosphaeriaceae)
Didymosphaeria epidermidis memiliki askoma yang terbenam dalam
serasah ranting (Gambar 8a). Askus silindris dengan 8 askospora (Gambar 8b).
Askospora uniseriat, elipsoid, 2 sel dan berwarna coklat (Gambar 8c).
c
aa
b

Gambar 8 Askoma Didymosphaeria epidermidis yang terbenam pada ranting (a),
askus (b) dan askosporanya (c)

Didymosphaeria epidermidis pertama kali dilaporkan oleh Fuckel pada
tahun 1870 dengan ciri-ciri yaitu memiliki askus silindris dengan 8 askospora, 2
sel, tersusun secara uniseriat. Sebanyak 511 spesies Didymosphaeria telah tercatat
dari berbagai wilayah di dunia (Index Fungorum 2013). Didymosphaeria
epidermidis yang menginfestasi serasah meranti belum pernah dilaporkan

 

12 
 

sebelumnya dan spesies ini ditemukan untuk pertama kalinya di Indonesia. Selain
pada meranti, spesies ini tersebar pada beberapa inang yaitu Aster ericoides var.
platyphyllus, Berberis sp., Berberis vulgaris, Calicotome villosa, Calicotome
spinosa, Dalbergia melanoxylon, Erigeron canadensis, Eucalyptus globulus,
Philadelphus caucasius, Ribes uva-crispa, Salix caprea, Salix purpurea dan
beberapa inang lain (USDA fungus host database 2006).
4. Lophiostoma sp. (Lophiostomataceae)
Lophiostoma sp. memiliki askoma yang juga terbenam dalam ranting
(Gambar 9a). Askoma akan berada di atas substrat setelah terjadi pelapukan
jaringan epidermis inang. Askus berbentuk gada, bitunikat dengan 8 askospora
(Gambar 9b) dan memiliki cincin apikal (Gambar 9c). Askospora sedikit fusiform,
2-seriat, eusepta dan hialin (Gambar 9d).
Sebanyak 441 spesies Lophiostoma telah tercatat dari berbagai wilayah di
dunia (Index Fungorum 2013). Lophiostoma tersebar pada banyak inang
diantaranya Abies sp., Acer campestre, Acer cinerascens, Acer negundo, Acer
platanoides, Acer saccharum, Achillea millefolium var. alpicola, Aconitum
napellus, Aconitium septentrionale, Aegiceras corniculatum, Agropyron sp., Alnus
glutinosa, Alnus incana, Amaranthus graecizans, Amelanchier alnifolia,
Andropogon sp., Anthriscus silvestris, Arbutus unedo, Archontophoenix
alexandrae, Cocos nucifera, Phragmites australis dan pada beberapa inang yang
lain (USDA fungus host database 2006). Lophiostoma yang menginfestasi meranti
baru pertama kali dilaporkan di Indonesia.

a
a

b

b

d

c

Gambar 9

Askoma Lophiostoma sp. terbenam dalam ranting (a), askus (b),
cincin apikal (c), dan askospora (d)

13 

5. Lophodermium sp. (Rhytismataceae)
Lophodermium sp. memiliki askoma subkutikular atau subepidermal,
berbentuk elipsoid-fusiform atau elipsoid-oblong, berwarna coklat muda sampai
hitam, memiliki sel seperti bibir, askoma sering mengelompok dan dikelilingi atau
tidak dengan garis daerah hitam yang tipis (Gambar 10a). Askus silindris,
unitunikat dengan 8 askospora (Gambar 10b). Askospora berbentuk filliform, 1-2
sel, lurus, hialin dan memiliki dinding sel yang halus (Gambar 10c).
Sebanyak 342 spesies Lophodermium telah tercatat dari berbagai wilayah di
dunia (Index Fungorum 2013). Lophodermium asal Indonesia telah dilaporkan
sebelumnya sebanyak 5 spesies yang tersebar pada beberapa inang yaitu Calamus
sp, Mangifera indica, Scirpus sp, dan Elettaria sp. (USDA fungus host database
2006). Lophodermium yang menginfestasi Shorea baru pertama kali dilaporkan.

b

a

c

Gambar 10 Askoma Lophodermium sp. di permukaan daun (a), askus (b), dan
askosporanya (c)

6. Pemphidium sp.(Xyalariaceae)
Pemphidium sp. memiliki askoma yang terbenam dibawah pseudostroma,
terlihat sebagai piringan berwarna hitam, mengkilap, soliter atau mengelompok
(Gambar 11a). Askus silindris, unitunikat dengan 8 askospora (Gambar 11b),
memiliki parafisis (Gambar 11c). Askospora silindris, 3-4 seriat, 1 sel dan hialin
(Gambar 11d).
Dari 17 spesies Pemphidium telah tercatat dari berbagai wilayah di dunia
(Index Fungorum 2013), tidak satupun spesies pernah dilaporkan sebelumnya di
Indonesia, oleh sebab itu laporan ini merupakan yang pertama. Selain pada
meranti, spesies ini tersebar pada beberapa inang yaitu Berlinia sp., Calamus

 

14 
 

australis, Calamus caryotoides, Calamus moti, Dipterocarpus sp., Jessenia
bataua, Mauritia flexuosa, Mauritia sp., Maximiliana regia dan Phenakospermum
guianense (USDA fungus host database 2006).

c

a

b
d

Gambar 11 Askoma Pemphidium sp. di permukaan daun (a), askus (b), parafisis
(c) dan askospora (d)

7. Valsa sp. (Valsaceae )
Valsa sp. memiliki stroma erumpent yang mengandung banyak askoma.
Askoma terbenam dalam substrat, berwarna hitam dengan leher ostiol panjang
(Gambar 12a), mengelompok atau di dalam lingkaran dalam stroma. Askus
berbentuk gada (Gambar 12b) dengan 8 askospora. Askospora alantoid, biseriat,
1-sel dan hialin (Gambar 12c).
Sebanyak 865 spesies Valsa yang telah tercatat di dunia (Index Fungorum
2013). Dua spesies Valsa yaitu Valsa eugeniae dan Valsa myrtagena, telah
dilaporkan menginfestasi Eucalyptus grandis di Indonesia. Valsa yang
menginfestasi Shorea merupakan catatan pertama. Selain itu, Valsa tersebar pada
banyak inang diantaranya Abies alba, Abies balsamea, Acer saccharum, Betula
alba, Cocos nucifera, Eucalyptus globulus, Fagus sylvatica dan pada beberapa
inang lain (USDA fungus host database 2006).

a

c

b

Gambar 12 Stroma Valsa sp. di atas permukaaan ranting (a), askus (b) dan
askospora (c)

15 

8. Soelomiset sp. 1
Soelomiset sp. 1 memiliki konidia oval, tidak bersepta, hialin, dindingnya
halus (Gambar 13) dan konidiofor tidak teramati.

a

Gambar 13 Konidia Soelomiset sp.1

9. Coniella musaiaensis Sutton (Schizoparmaceae)
Coniella musaiaensis memiliki konidia fusiform, tidak bersepta, berwarna
coklat tua, dengan ukuran 7-10 μm x 3-5 μm (Gambar 14), konidiofor tidak
teramati. Coniella musaiaensis pertama kali dilaporkan oleh Sutton pada tahun
1969 dengan ciri-ciri konidia fusiform berukuran 11-16 µm x 3.5-5 µm. Coniella
memiliki ciri-ciri miselium terbenam, hialin, bercabang dan bersepta. Konidioma
dalam bentuk piknidia, terpisah, bulat, berwarna coklat muda, terbenam dalam
substrat memiliki satu lokus dan berdinding tebal. Konidiofor tidak ada. Sel
konidiogen enteroblastik, fialid. Konidia berbentuk fusiform, lurus atau falkat,
berwarna kuning langsat sampai coklat, tidak bersepta, halus, dan dindingnya tipis
atau tebal (Sutton 1980).
Sebanyak 26 spesies Coniella telah tercatat di dunia (Index Fungorum
2013). Coniella musaiaensis pertama kali dilaporkan ada di Indonesia. Selain
pada meranti, spesies ini terdapat pada Bauhinia malabarica (USDA fungus host
database 2006).

Gambar 14 Konidia Coniella musaiaensis

 

16 
 

10. Coryneum cf. betulinum Schulzer
Coryneum ini memiliki konidia fusiform, 4-5 distoseptat, berwarna coklat
muda dengan ukuran 18-23 μm x 8-10 μm (Gambar 15). Ukuran konidia ini
kurang dari pertelaan yang pertama kali dilihat oleh Schulzer pada tahun 1882
berukuran 31-36 µm x 14-17 µm, lurus, 4-5 distoseptat, meskipun bentuknya
sama, konidiofor tidak teramati.
Coryneum memiliki ciri-ciri miselium terbenam, bercabang, memiliki septa,
dan berwarna coklat muda. Konidioma dalam bentuk aservulus, konidiofor
silindris, septat, bercabang pada bagian dasar, berwarna hialin sampai coklat
pucat, dibentuk dari pseudoparenkim atas. Konidia berbentuk fusiform atau
globos, mengerucut pada bagian dasar, sel pada bagian ujung sering pucat (Sutton
1980).
Sebanyak 228 spesies Coryneum telah tercatat dari berbagai wilayah di
dunia (Index Fungorum 2013). Catatan tentang Coryneum di Indonesia belum ada.
Coryneum penginfestasi serasah meranti juga belum pernah dilaporkan
sebelumnya. Selain pada meranti, spesies ini tersebar pada beberapa inang yaitu
Betula pendula, Betula rubra, Castanopsis fissa dan Fagus sylvatica (USDA
fungus host database 2006).

Gambar 15 Konidia Coryneum cf. betulinum

11. Hendersoniopsis thelebola Höhnel, Annls mycol. 16: 124 (1918)
Hendersoniopsis thelebola mempunyai konidia fusiform, bersepta, dengan
ukuran 24-27 μm x 5-7 μm (Gambar 16).
Hendersoniopsis thelebola pertama kali dilaporkan oleh Höhn pada tahun
1918 dengan ciri-ciri konidioma berukuran 1200 µm x 950 µm, makrokonidiofor
berukuran 40 µm x 4.5-6 µm, makrokonidia berukuran 31-53 x 10-12 µm,
mikrokonidiofor berukuran 21 x 1.5-2 µm dan mikrokonidia berukuran 6.5-8 x
1.5-2 µm (Sutton 1980).
Hendersoniopsis memiliki miselium terbenam, bercabang, bersepta,
berwarna coklat pucat sampai hialin. Makrokonidiofor hialin sampai coklat pucat,
halus, bercabang dan bersepta pada bagian dasar, silindris, dibentuk dari sel
bagian dalam dari dinding lokus. Makrokonidia berwarna coklat pucat, halus,
fusiform, pada bagian dasar mengerucut, ujungnya tumpul sampai kerucut,
memiliki 2-7 eusepta. Mikrokonidiofor hialin, halus, bercabang, memiliki septa

17 

pada bagian dasar, meruncing sampai bagian ujung, dibentuk dari dinding sel
pada bagian dalam lokus. Mikrokonidia berbentuk fusiform, falkat, hialin, tidak
bersepta dan halus (Sutton 1980).

Gambar 16 Konidia Hendersoniopsis thelebola

Sebanyak 1 spesies Hendersoniopsis telah dilaporkan di dunia (Index
Fungorum 2013). Hendersoniopsis thelebola yang ditemukan pada penelitian ini
akan menambahkan informasi mengenai daerah distribusi dari Hendersoniopsis
thelebola dan merupakan laporan pertama di Indonesia. Selain pada meranti,
spesies ini tersebar hanya pada beberapa inang yaitu Alnus glutinosa, Alnus
hirsuta, Alnus incana dan Alnus viridis (USDA fungus host database 2006).

12. Lasiodiplodia theobromae Griffon & Maubl. (Botryosphaeriaceae)
Lasiodiplodia theobromae memiliki konidia elipsoid, pada bagian ujungnya
mengerucut, dengan satu septa pada bagian tengahnya, berwarna coklat, dinding
selnya tebal dan berukuran17-23 μm x 8-11 μm (Gambar 17). Konidiofor tidak
teramati.

Gambar 17 Konidia Lasiodiplodia theobromae

 

18 
 

Sebanyak 28 spesies Lasiodiplodia telah tercatat dari berbagai wilayah di
dunia (Index Fungorum 2013). Lasiodiplodia theobromae pertama kali dilaporkan
oleh Griffon dan Maubl. pada tahun 1909 (Index Fungorum 2013). Spesies ini
tersebar pada banyak inang diantaranya Acacia crassicarpa, Allium sativum, Aloe
vera, Areca catechu, Dipterocarpus sp., Eucalyptus urophylla, Pandanus utilis,
Zea mays dan pada banyak inang lain (USDA fungus host database 2006).

13. Lasmeniella guaranitica Petr. & Syd.
Lasmeniella guaranitica memiliki konidia bulat, tidak bersepta, berwarna
coklat tua, dindingnya tebal, halus, berukuran 6-8 μm x 3-5 dan memiliki pori
pada bagian tengah (Gambar 18).
Lasmeniella guaranitica pertama kali dilaporkan oleh Petr. dan Syd. pada
tahun 1927 dengan ciri konidioma mencapai ukuran 1200 µm, epidermal. Sel
konidiogen berukuran 13-14 µm x 1-1.5, konidia 7-9 µm, coklat muda dengan
bintik jernih pada bagian tengah nya (Sutton 1980).
Spesies Lasmeniella memiliki ciri miselium terbenam, bercabang, hialin,
bersepta. Konidioma eustromatik, sub epidermal, sel konidiogen holoblastik,
hialin sampai coklat pucat, membengkak pada bagian dasar, silindris sampai
meruncing ke atas. Konidia berwarna coklat, berdinding tebal, halus, tidak
bersepta, datar, meruncing pada bagian dasar dan sering dengan pori pada bagian
tengah (Sutton 1980).

Gambar 18 Konidia Lasmeniella guaranitica

Sebanyak 13 spesies Lasmeniella telah tercatat dari berbagai wilayah di
dunia (Index Fungorum 2013). Lasmeniella guaranitica yang menginfestasi
Achatocarpus sp. telah dilaporkan sebelumnya dari Paraguay (USDA fungus host
database 2006). Pada penelitian ini, diperoleh Lasmeniella guaranitica yang
menginfestasi meranti di Indonesia dan ini merupakan laporan yang pertama,
sehingga dapat menambah informasi mengenai penyebaran dari Lasmeniella
guaranitica.

19 

Leptodothiorella sp. (Botryosphaeriaceae)
Leptodothiorella sp. memiliki konidia silindris dan sedikit membengkak
pada bagian ujung, hialin, tidak bersepta dan berukuran 7-8 μm x 2-3 μm
(Gambar 19).
Leptodotiorella memiliki ciri miselium terbenam, bercabang, bersepta,
berwarna coklat sampai coklat muda. Konidioma berbentuk pikinidium, globos
sampai subglobos, coklat gelap sampai hitam, terpisah atau bergabung, immersed,
dindingnya tebal, dindingnya hialin sampai coklat pucat. Sel konidiogen
enteroblastik, fialid. Konidia hialin, tidak bersepta, halus, dengan bentuk silindris,
atau sedikit membengkak pada bagian ujung dan terdapat guttulate (Sutton 1980).
Sebanyak 16 spesies Leptodothiorella telah tercatat di dunia (Index
Fungorum 2013). Leptodothiorella yang berasal dari Indonesia belum pernah
dilaporkan sebelumnya. Selain pada meranti, Leptodothiorella tersebar pada
beberapa inang yaitu Cedrela toona, Eurycles amboinensis, Ficus pleurocarpa,
Murraya exotica, Musa sp., Thymus pulegioides, Vitis vinifera dan Yucca aloifolia
(USDA fungus host database 2006).
14.

Gambar 19 Konidia Leptodothiorella sp.

15. Massariothea themedae Sydow, Annls mycol. 37: 249 (1939)
Massariothea themedae memiliki konidia fusiform, 7 distoseptat dengan
ukuran 80 μm x 27 μm dan berwarna coklat muda (Gambar 20).
Massariothea themedae pertama kali dilaporkan oleh Sydow pada tahun
1939 dengan ciri konidioma datar berukuran 600 µm. Konidia fusiform, berlekuk,
6-7 distosepta, berukuran 31.5-44 x 10.5-12 µm (Sutton 1980).
Spesies Massariothea memiliki ciri miselium di atas permukaan substrat
atau terbenam, bercabang, bersepta dan berwarna coklat. Konidiama eustromatik,
terpisah atau bergabung, berbentuk globos sampai rostrate, berwarna coklat gelap
sampai hitam, terbenam sampai superfisial, memiliki satu sampai banyak lokus,
berdinding tebal de