Quantitative analysis of potency of acerophagus papayae noyes & schauff (Hymenoptera: Encyrtidae), parasitoid of the papaya mealybug

(1)

ANALISIS KUANTITATIF POTENSI

Acerophagus papayae

NOYES & SCHAUFF (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE),

PARASITOID KUTU PUTIH PEPAYA

YOHANES UMBU REBU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kuantitatif Potensi Acerophagus papayae Noyes & Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae), Parasitoid Kutu Putih Pepaya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2011

Yohanes Umbu Rebu NIM A351080041


(3)

YOHANES UMBU REBU. Quantitative Analysis of Potency of

Acerophagus

papayae

Noyes & Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae), Parasitoid of The Papaya

Mealybug. Supervised by Aunu Rauf , I Wayan Winasa and Budi Kuncahyo

The papaya mealybug,

Paracoccus marginatus

Williams and Granara de Willink

(Hemiptera: Pseudococcidae), was an invasive pest that invaded Indonesia in early

2008 and caused heavy damage on papaya. One of the natural enemies found in

Bogor

was

parasitoid

Acerophagus

papayae

Noyes

and

Schauff

(Hymenoptera:Encyrtidae). The parasitoid was believed to have been fortuitously

introduced into Indonesia. Research was conducted to evaluate the potency of

A.

papayae

as biological control agent for the papaya mealybug. Studies included

determining various biological parameters such as development time, host

preference, functional response, and simulation model of host-parasitoid

population dynamics.

Parasitoids were obtained from the papaya fields by collecting the mummy

of papaya mealybugs and enclosed individually in gelatin capsules. Adult

parasitoids emerged were reared on the papaya mealybugs with

Jatropha curcas

as a host plant. Fitness and preference of the parasitoids were studied using

papaya mealybug instar II dan III with a piece of papaya leaf in a test tube (d = 3

cm, h = 15 cm). Functional response of the parasitoids were studied at the host

density of 2, 5, 10, 20, 30, 40, and 50 nymphs. Mummies were also collected from

the fields, and the data were used to test the sensitivity and validate the model

using Stella version 9.02 software.

Our study revealed that the parasitoid preferred second-instar over the

third-instar nymphs of

P. marginatus.

Immature developmental time was shorter

and survival rate was higher of parasitoids developed on the second-instar nymps.

Female parasitoid showed type II functional response with the increasing host

density. Our simulation model indicated that the parasitoid had a good searching

capacity and was able to regulate papaya mealybug population.


(4)

RINGKASAN

YOHANES UMBU REBU. Analisis Kuantitatif Potensi

Acerophagus papayae

Noyes & Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae), Parasitoid Kutu Putih Pepaya.

Dibimbing oleh AUNU RAUF, I WAYAN WINASA, BUDI KUNCAHYO

Kutu putih papaya (KPP),

Paracoccus marginatus

Williams & Granara de

Willink (Hemiptera: Pseudococcidae), merupakan hama asing invasif yang masuk

ke Indonesia pada tahun 2008 dan banyak menimbulkan kerusakan berat pada

pertanaman pepaya. Salah satu musuh alami yang ditemukan di Bogor adalah

parasitoid

Acerophagus papaya

e Noyes & Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae).

Parasitoid ini diduga masuk ke Indonesia secara tidak sengaja bersama inangnya.

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi potensi parasitoid sebagai agens

pengendalian hayati KPP, melalui kajian terhadap aspek kebugaran parasitoid,

tingkat parasitisasi, kapasitas reproduksi, nisbah kelamin dan tanggap fungsional

serta pemodelan sederhana interaksi KPP dan parasitoid

A. papayae

. Penelitian

dilaksanakan di Laboratoriun Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung sejak Juli

sampai Desember 2010.

Imago parasitoid

A. papayae

didapatkan dari lapangan dengan

mengumpulkan mumi kutu putih pepaya terparasit yang kemudian dimasukkan ke

dalam kapsul gelatin. Imago parasitoid yang muncul dipelihara pada KPP dengan

menggunakan tanaman inang jarak pagar kurkas. Penelitian kebugaran dan

preferensi menggunakan KPP instar II dan III yang dipaparkan pada helai daun

pepaya yang diletakkan dalam tabung reaksi (d = 3 cm, t = 15 cm), dan

berlangsung selama hidup imago betina

A. papayae

. Percobaan tanggap

fungsional dilakukan pada cawan petri, dengan kerapatan inang 2, 5, 10, 20, 30,

40, dan 50 ekor nimfa. Untuk mengetahui kinerja parasitoid selama penelitian

berlangsung dilakukan pengumpulan mumi dari lokasi perkebunan buah pepaya di

Fakultas Perikanan, IPB. Hasil pengumpulan mumi dari lapangan digunakan

untuk menguji sensitivitas dan validasi model secara kualitatif. Pemodelan

menggunakan piranti lunak Stella versi 9.02.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago parasitoid

A. papayae

lebih

memilih KPP instar II daripada instar III

.

Perilaku reproduksi betina

A. papayae

dipengaruhi oleh kualitas inang, umur inang dan ukuran inang. Parasitoid

A.

papayae

merupakan parasitoid soliter, namun pada kerapatan inang yang rendah

dapat terjadi superparasitisme.

Parasitoid

A.papayae

memperlihatkan tanggap

fungsional tipe II terhadap peningkatan kelimpahan inang. Hasil simulasi

dinamika populasi menunjukkan bahwa parasitoid

A. papayae

memiliki kapasitas

pencarian dan pengaturan populasi inang yang baik di lapangan.


(5)

NOYES & SCHAUFF (HYMENOPTERA: ENCYRTIDAE),

PARASITOID KUTU PUTIH PEPAYA

YOHANES UMBU REBU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(6)

(7)

Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae), Parasitoid Kutu Putih Pepaya

Nama : Yohanes Umbu Rebu NRP : A351080041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir Aunu Rauf, M.Sc Dr. Ir. I Wayan Winasa, MS Ketua Anggota

Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Entomologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat karunia-Nya sehingga penulisan tesis berjudul “Analisis Kuantitatif Potensi Acerophagus papayae Noyes & Schauff (Hymenoptera: Encyrtidae), Parasitoid Kutu Putih Pepaya” dapat terselesaikan.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada:

1. Prof Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc. dan Dr. Ir. I Wayan Winasa, MSi dan Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MSi. Selaku komisi pembimbing atas kesabaran dalam membimbing dan mendidik dalam pembentukan kepribadian serta mengarahkan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Pak Wawan, atas kebersamaan dan bantuannya dalam proses penelitian di Laboratorium Ekology Predator. Rekan-rekan mahasiswa mayor entomologi angkatan 2008: Mia, Yani, Nella, Dedi, Pak Gatot, Pak Aser, Kak Betty dan Kiki teman-teman mahasiswa mayor fitopatologi angkatan 2008: Linda, Tri dan Mbak Pipit serta rekan-rekan pemodelan di Fahutan atas persaudaraan, dukungan, bantuan dan kerjasamanya selama di IPB.

3. Pak Sodik yang turut membantu dan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang terkasih kepada Bapak, kedua Ibuku, adik-adikku di kampung serta ponakan atas dukungan, doa, kasih sayang dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis untuk bisa menyelesaikan studi di IPB. Tak ada yang dapat penulis berikan kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan, doa, bantuan, bimbingan dan pengorbanan kecuali doa yang selalu penulis panjatkan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semuanya. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dan pengembangan ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang.

Bogor, Oktober 2011 Yohanes Umbu Rebu


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………..

xiii

DAFTAR GAMBAR ………

xiv

DAFTAR LAMPIRAN ………

xv

PENDAHULUAN

Latar Belakang .………. 1

Tujuan ………...

2

Manfaat………... 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Kutu Putih Pepaya……. ………...

3

Gejala Serangan

..

………...

4

Parasitoid

Acerophagus papayae………..

4

Penggunaan Parasitoid Dalam Pengendalian Hayati ...………….

5

Lama Perkembangan, Lama Hidup dan Kapasitas Reproduksi…..

6

Tanggap Fungsional dan Pendekatan Pemodelan………...………

7

Dinamika Interaksi Inang-Parasitoid………..

8

Pemodelan Sistem Dinamik Stella………..

10

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu ………

11

Metode Penelitian ……….

11

Pembiakan Kutu Putih Pepaya………

11

Penyiapan Parasitoid di Laboratorium………

12

Pelaksanaan Percobaan ………..

13

Analisis Data ………..

17

Sumber Data dan Formulasi Model Konseptual…………

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebugaran Parasitoid

A. papayae

………...

21

Lama Perkembangan, Kapasitas Reproduksi dan Nisbah kelamin.

23

Tanggap Fungsional ………..

26

Model Simulasi Dinamika Populasi KPP dan Parasitoid

A.

papayae

…..……….

30

KESIMPULAN ..………...

47

DAFTAR PUSTAKA ………

48


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Lama Hidup dan Tingkat Parasitisasi

A. Papayae

...

21

2

Parameter Biologi

A. papayae

……... ………..

23

3

Rataan Inang terparasit

A. papayae

pada berbagai kerapatan

inang……….……… ……..

26

4

Hasil Analisis Regresi Logistik proporsi terparasit ……….

26

5

Nilai penduga parameter

a

dan

Th

………..

28

6

Simbol dan deskripsi parameter …...………..

35

7

Parameter biologi KPP ………

36


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Pembiakan kutu putih pepaya...

11

2

Penyiapan parasitoid di Laboratorium ……... ……….

12

3

Tabung pyrex dan botol plastik silinder ………..

15

4

Bagan alir model konseptual interaksi inang-parasitoid……….

20

5

Rataan pemunculan keturunan pada superparasitisme………….

22

6

Imago

A. papayae

………

23

7

Rataan nilai pengamatan yang di parasit ………...

27

8

Kurva tanggap fungsional………...

27

9

Fase perkembangan KPP ………..

30

10 Fase perkembangan dan

A. papayae………....

31

11 Interaksi antar sub model………...

32

12 Respon populasi terhadap tanaman inang………...

42

13 Respon fungsional terhadap kerapatan populasi………....

43

14 Model hasil induksi tanggap fungsional KPP dan parasitoid ……

44

15 Grafik

scatterplot

hubungan antara kerapatan inang dan parasitoid

betina

A. papayae………

44


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Tabel lampiran hasil analisis SAS tanggap fungsional tipe II Non

Random………

51

2

Tabel lampiran hasil analisis SAS tanggap fungsional tipe I Random

53

3

Hasil pengumpulan mumi dari lapangan…….………...

55


(13)

Latar Belakang

Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) atau kutu putih pepaya (KPP) merupakan organisme hama yang menyerang tanaman pepaya dan berbagai tanaman bernilai ekonomi penting lainnya. Kutu putih pepaya diketahui pertama kali menyerang tanaman pepaya di Bogor pada tahun 2008. Hama baru ini menyebabkan kerusakan pada sejumlah sentra pertanaman pepaya di Indonesia. Di Boyolali, Jawa Tengah, lima kecamatan dengan luas perkebunan pepaya 350 ha terserang KPP dan menyebabkan penurunan produksi hingga 60% (Kompas 2009). Menurut survei Muniappan (2010) hama ini telah menyebar sampai ke pulau Bali dan Sulawesi, demikian pula laporan Kompas (2009) menyebutkan P. marginatus telah menyebar di tiga belas provinsi di Indonesia.

Kutu putih pepaya merupakan hama polifag. Hama ini memiliki inang lebih dari 55 jenis tanaman seperti pepaya, alpukat, jeruk nipis, kembang sepatu, kamboja, kapas, tomat, lada, ubi jalar, ubi kayu, mangga, terung, delima, jarak dan kacang-kacangan (Walker et al. 2003). Hama ini menyerang tanaman dengan cara menghisap jaringan tanaman pada bagian pucuk, daun, ranting atau buah sehingga mengakibatkan pertumbuhan menjadi terhambat, pada serangan berat mengakibatkan jaringan tanaman yang terserang akan mengering dan menyebabkan keguguran pada buah. Selain menghasilkan embun madu, kutu putih pepaya juga menghasilkan toksin yang menyebabkan pertumbuahan tanaman menjadi kerdil, daun berwarna kekuningan dan penampilan abnormal (Miller & Miller 2002; Heu et al. 2007; Rauf 2008). Akibat serangan hama ini petani pepaya mengalami kerugian sampai 80% karena tanaman mati sebelum panen berakhir, dan petani hanya sempat memanen dua kali dari yang biasanya 15 kali (Rauf 2008). Pengendalian KPP dengan pestisida sintetik tidak memberikan hasil yang nyata (Meyerdirk et al. 2004). Hal ini disebabkan P. marginatus terlindungi oleh lapisan lilin baik pada kantung telur dan nimfanya (Heu et al. 2007).


(14)

Di Indonesia, sejak adanya serangan KPP pada tahun 2008, berbagai upaya pengendalian telah dilakukan. Namun upaya pengendalian masih terbatas pada penggunaan insektisida. Pengendalian hayati dengan memanfaatkan predator dan parasitoid belum banyak dilakukan. Predator yang dilaporkan berasosiasi dengan KPP umumnya merupakan predator generalis. Berdasarkan pengamatan lapangan dan pengumpulan KPP selain predator dijumpai juga parasitoid yang berasosiasi dengan KPP. Berdasarkan identifikasi Dr. Gregory Hamilton dari USDA, parasitoid tersebut adalah Acerophagus papayae Noyes & Schauf. A. papayae merupakan salah satu parasitoid famili Encyrtidae yang digunakan sebagai agen pengendali hayati KPP selain Anagyrus loecki dan Pseudleptomastix mexicana (Meyerdirk et al. 2004; Heu et al. 2007; Amarasekare et al. 2010).

Oleh karena itu parasitoid A. papayae memiliki potensi besar sebagai agens hayati untuk mengendalikan KPP, maka perlu dilakukan penelitian mengenai aspek-aspek biologi penting yang berkaitan dengan potensi yang dimilikinya serta melakukan simulasi pemodelan sederhana untuk membantu melakukan analisis potensi A. papayae sebagai agen pengendalian hayati KPP.

Tujuan

1) Menentukan perkembangan, lama hidup dan kapasitas reproduksi parasitoid Acerophagus papayae.

2) Menentukan tanggap fungsional dan pengaruh parasitisasi parasitoid terhadap dinamika populasi kutu putih pepaya.

3) Menganalisis kefektifan parasitoid melalui pemodelan sederhana interaksi kutu putih pepaya dan parasitoid Acerophagus papayae.

Manfaat

Sebagai informasi dasar tentang potensi parasitoid A. papayae dalam pengendalian hayati KPP bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan maupun dalam pengambilan keputusan pengendalian hamaKPPsecara efektif dan efisien..


(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Kutu Putih Pepaya

Kutu putih papaya (KPP), Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera:Pseudococcidae), merupakan hama yang berasal dari Meksiko. . Daerah persebarannya meliputi kepulauan Karibia dan secara invasif menyebar ke beberapa negara terdekat di kawasan Amerika Selatan. Kutu putih pepaya dilaporkan pertama kali menjadi hama penting pada tanaman pepaya di Barbados, Puerto Rico (2001), Guam (2002), Palau (2003) dan Maui (2004), Oahu (2005), Kauai (2006), Puna (2007), dan menyebar secara invasif ke beberapa negara terdekat di kepulauan pasifik (Miller & Miller 2002; Meyerdirk et al. 2004 ; Heu et al. 2007).

P. marginatus merupakan serangga polifag, tercatat ada 22 famili tanaman bernilai ekonomi dan tanaman lain yang diserang seperti Acacia, Acalypha, Ananas, Annona, Bidens, Capsicum, Hibiscus, Ipomoea, Mangifera, Manihot, Persea, Plumeria, Punica, Solanum dan Vigna (Muniappan et al. 2008). Imago betina P. marginatus berwarna kuning, tidak bersayap, tubuhnya diselimuti lapisan lilin berwarna putih, memiliki ukuran panjang tubuh 2.5 mm dan lebar 1.5 mm. Telur berwarna kuning kehijauan diletakkan pada kantong telur yang panjangnya 3–4 kali panjang tubuhnya dan diselimuti lapisan lilin putih. Adanya lapisan lilin yang menutupi kantung telur P. marginatus menyebabkan beberapa senyawa kimia seperti insektisida sulit menembus lapisan tersebut, demikian pula pada pradewasa dan imago.

Imago jantan P. marginatus berwarna merah muda namun pada saat nimfa instar pertama dan kedua berwarna kuning. Kutu jantan berbentuk oval dengan panjang kira-kira 1.0 mm dan lebar 0.3 mm. KPP jantan bersayap dan mempunyai antena dengan 10 ruas. Nimfa instar kedua dan ketiga, KPP jantan berbeda dengan spesies kutu lainnya yang dibedakan berdasarkan adanya setae pada antena dan tungkai. Jantan P. marginatus hampir sama dengan Planococcus citri (Risso) tetapi berbeda pada beberapa karakter yang ada pada abdomen ruas pertama dan bentuk antena (Miller & Miller 2002).


(16)

KPP aktif pada kondisi panas dan kering, KPP betina bergerak lamban, dan mampu meletakkan telur sebanyak 100– 600 butir selama 1–2 minggu. Telur menetas kurang lebih setelah berumur 10 hari dan nimfa segera aktif mencari makan. Nimfa betina terdiri dari 3 instar dan tidak berpupa. Siklus hidupnya kurang lebih satu bulan tergantung pada keadaan suhu. KPP jantanmembentuk kokon pada instar ke-4 dan mulai membentuk sayap pada akhir instar tersebut, sehingga dapat terbang. Betina dewasa menarik jantan dengan mengeluarkan sex feromon. Pada kondisi rumah kaca proses reproduksi KPP terjadi sepanjang tahun (Miller & Miller 2002; Muniappan et al. 2008).

Gejala Serangan

Gejala serangan P. marginatus ditandai oleh adanya gumpalan lilin putih pada bagian tanaman yang diserang, dan gumpalan tersebut biasanya makin menebal menyelimuti bagian tanaman yang terserang. Kutu menyerang tanaman dengan menusukkan alat mulutnya ke dalam jaringan tanaman dan menghisap cairan. Kutu putih pepaya menghasilkan toksin yang menyebabkan daun tanaman berwarna kekuningan, kerdil, dan terjadi perubahan bentuk abnormal dan menyebabkan daun dan buah gugur (Heu et al. 2007).

Pada keadaan serangan berat dapat menyebabkan kerusakan sepanjang jaringan daun dan buah pepaya. KPP menghasilkan embun madu yang dapat menjadi media cendawan jelaga dan menutupi jaringan tanaman sehingga menyebabkan terjadi penghambatan proses fotosintesis tanaman (Meyerdik et al. 2004).

Parasitoid Acerophagus papayae

Taksonomi

Acerophagus papayae Noyes & Schauff termasuk ke dalam Ordo Hymenoptera, Super family Chalcidoidea dan Famili Encyrtidae. Parasitoid A. papayae dinamakan berdasarkan inang kutu putih pada tanaman pepaya. Parasitoid ini awalnya ditemukan pada P. marginatus di Amerika Tengah dan dideskripsikan pertama kali oleh Noyes dan Schauff (2003).


(17)

Morfologi

Imago parasitoid betina A. papayae memiliki panjang tubuh (termasuk ovipositor) yang bervariasi dari 0.58-0.77 mm. Kepala memiliki antenna yang umumnya berwarna oranye kekuningan dan ocelli yang berwarna merah. Antena memiliki 5 ruas funikel dengan pangkal klava berwarna agak kehitaman. Toraks dan abdomen umumnya berwarna oranye kekuningan, tetapi abdomen di dekat cercal plates dan bagian dorsal di sepanjang tepi posterior tergit berwarna coklat. Ovipositor berwarna oranye kekuningan dengan bagian ujung yang berwarna coklat. Imago jantan memiliki panjang berkisar antara 0.44-0.66 mm. Secara keseluruhan imago jantan mirip dengan betina, tetapi pada imago jantan tidak terdapat segmentasi pada klava dan berbeda pada alat kelaminnya (tidak terdapat ovipositor) serta abdomen di bagian ujung tergit umumnya berwarna lebih gelap dari imago betina (Noyes & Schauff 2003).

Penggunaan Parasitoid dalam Pengendalian Hayati

Parasitoid adalah istilah yang digunakan untuk kelompok serangga yang memarasit serangga lain dan menyebabkan kematian serangga yang diparasit (Godfray 1994). Dalam perkembangannya parasitoid hanya membutuhkan satu inang, namun ada pula parasitoid berkembang secara gregarious pada satu inang.

Sebagian besar parasitoid yang digunakan dalam pengendalian hayati tergolong dalam ordo Hymenoptera dan sebagian kecil adalah Diptera. Famili pada ordo Hymenoptera yang banyak digunakan dalam pengendalian hayati adalah Famili Braconidae dan Ichneumonidae (Superfamili Ichneumononidea) dan Famili Eulophidae, Pteromalidae, Encyrtidae, dan Aphelinidae (Superfamili Chalcidoidea) (Driesche & Bellows 1996).

Efikasi parasitoid dalam pengendalian hama dapat dinilai dari parasitisasi parasitoid tersebut terhadap inangnya. Menurut Godfray (1994) keefektifan parasitoid dapat dinilai dengan beberapa kriteria, yaitu: (1) mempunyai daya cari yang tinggi terutama saat populasi inang rendah, (2) kekhususan terhadap inang , (3) potensi berkembang biak yang tinggi yaitu keperidian dan fertilitas serta siklus


(18)

hidup yang pendek, (4) kisaran toleransi terhadap lingkungan yang lebar dan (5) memiliki kemampuan memarasit terhadap berbagai instar inang.

Lama Perkembangan, Lama Hidup dan Kapasitas Reproduksi

Lama perkembangan, lama hidup dan kapasitas reproduksi merupakan parameter penting untuk mengetahui potensi parasitoid dalam pengendalian hayati. Lama perkembangan parasitoid adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan parasitoid betina sampai pemunculan, sedangkan lama hidup ditentukan sejak pertama kali muncul sampai parasitoid betina mati. Keperidian diketahui berdasarkan jumlah keturunan yang dihasilkan parasitoid betina selama hidupnya. Keperidian yang tinggi dan lama hidup yang pendek merupakan karakter penting parasitoid sebagai agenpengendali hayati. Sebagahagian besar parasitoid ordo Hymenoptera merupakan arhenotoki, telur dapat berkembang baik secara partenogenetik maupun melalui pembuahan. Telur yang dibuahi menjadi diploid dan berkembang menjadi individu-individu betina dan telur yang tidak dibuahi menjadi haploid dan berkembang menjadi individu-individu jantan (Clausen 1940).

Menurut stadia inang yang diserang, dapat dibedakan atas parasitoid telur, parasitoid larva, parasitoid pupa dan parasitoid imago. Namun ada kategori antara misalnya parasitoid telur-larva yakni parasitoid yang meletakkan telur pada telur inang dan menyelesaikan perkembangannya pada stadia larva. Parasitoid ini bersifat koinobion dan sebaliknya parasitoid idiobion yakni parasitoid yang menyelesaikan perkembangan pada stadia inang yang diletaki telur (Godfray 1994).

Dalam suatu populasi kecenderungan betina untuk menghasilkan anak betina lebih banyak daripada anak jantan akan menguntungkan populasi tersebut. Menurut Charnov et al. (1981) parasitoid dapat memaksimalkan variasi ukuran inang untuk alokasi keturunan, telur yang dibuahi atau diploid pada inang yang besar dan telur yang tidak dibuahi pada inang yang kecil. Beberapa parasitoid soliter, seleksi inang untuk peletakan telur ditentukan ukuran inang (Kouame & Mackauer 1991). Parasitoid koinobion, merupakan parasitoid yang inangnya


(19)

masih dapat berkembang untuk beberapa lama setelah parasitisasi, seleksi inang tidak hanya berdasar kualitas inang tetapi juga bagi pertumbuhan dan ketersediaan nutrisi larva parasitoid (Rivero 2000).

Tanggap Fungsional dan Pendekatan Pemodelan

Tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu parasitoid dalam pengendalian hayati (Doutt 1973). Efektivitas parasitoid dalam pengaturan populasi hama sangat tergantung pada kemampuan pencarian inang dan penanganan inang dalam keadaan ekosistem yang berbeda (Jervis 2005; Hassell 2000). Tanggap fungsional diklasifikasi oleh Holling (1959) dalam Legaspi et al. 1996; Jervis 2005) ke dalam tiga tipe umum, yaitu tipe tanggap fungsional linear (tipe I), hiperbolik (tipe 2) dan sigmoid (tipe 3).

Holling (1959) dalam Hassell 2000) mengasumsikan bahwa tanggap fungsional tipe 2 merupakan khas invertebrata, sedangkan tanggap fungsional tipe 3 lebih sesuai untuk vertebrata predator yang memiliki kemampuan untuk merespon peningkatan jumlah mangsa. Analisis tanggap fungsional biasanya digunakan untuk membantu memprediksi potensi parasitoid dalam pengaturan populasi inang (Hassell 2000). Kesuksesan parasitoid dalam pengendalian hayati diketahui dari kemampuan parasitoid untuk membedakan inang yang terparasit dan tidak terparasit, menghindari superparasitisme dan memaksimalkan penggunaan waktu dan energi untuk pencarian dan parasitasi inang (Godfray 1994).

Model Lotka-Volterra merupakan model kontinyu yang dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial. Waktu adalah variabel kontinu pada keadaan generasi tumpang tindih yang memungkinkan penggunaan persamaan diferensial untuk mewakili dinamika (Hassell 2000). Secara historis, kebanyakan model interaksi inang-parasitoid secara luas dibingkai dalam sistem model diskrit Nicholson-Bailey (Mills & Getz 1996). Model interaksi inang-parasitoid dengan waktu diskrit umumnya tidak sesuai untuk serangga yang memiliki pertumbuhan populasi secara tumpang tindih pada setiap generasi perkembangan (Hassell 2000).


(20)

Dinamika Populasi Interaksi Inang-Parasitoid

Dinamika populasi serangga hama-parasitoid merupakan hal menarik yang banyak menginspirasi teori ekologi dan evolusi perilaku parasitoid dari waktu ke waktu. Menurut Godfray (1994) studi perilaku reproduksi parasitoid dan pemodelan merupakan dasar untuk memahami evolusi perilaku parasitoid terkait seleksi inang, fekunditas, dan sex rasio. Simulasi pemodelan interaksi inang-parasitoid merupakan salah satu metode pendekatan untuk memahami perilaku parasitoid dan serangga hama yang mempengaruhi dinamika populasi (Godfray 1994; Jervis 2005).

Hasil kajian Mills dan Getz (1996), menyatakan bahwa kerangka untuk model interaksi inang-parasitoid dalam perkembangannya saat ini menggunakan variasi waktu model kontinu Lotka-Volterra dan model diskrit Nicholson-Bailey. Formulasi dasar model diskrit Nicholson Bailey :

Xt+1 =  Xt

Yt+1 = Xt {1 − }

Xt dan Xt +1, dan Yt dan Yt +1 adalah kerapatan populasi inang dan parasitoid

pada generasi t dant +1 beruturut-turut, λ adalah laju pertumbuhan populasi inang,

dan e-ayt merupakan fungsi dari populasi inang tidak terparasit dengan ‘a’ mewakili proporsi inang pada lingkungan yang dapat ditutupi oleh parasitoid selama hidupnya atau merupakan konstanta efisiensi pencarian inang (searching efficiency).

Hassell (2000) menyatakan bahwa, model Nicholson-Bailey secara inheren tidak stabil, demikian pula kombinasi formulasi model Lotka-Volterra dan model diskrit Nicholson Bailey. Interaksi dititik kesetimbangan tidak stabil, sering disertai dengan amplitudo besar dan osilasi pada inang-parasitoid. Osilasi ini yang mendorong kedua populasi ke kepadatan yang rendah, hal ini juga dapat ditafsirka kedua populasi dapat mengarah tumbuh tanpa terikat (Mills dan Getz 1996). Sebaliknya pada sistem alami predator-mangsa atau parasitoid-inang tidak demikian, parasitoid yang memiliki perilaku unik pengaturan populasi sendiri


(21)

(Jervis 2005). Bentuk lebih umum model Nicholson-Bailey dikembangkan oleh May dan Hassell (1988):

Xt+1 = d(Xt) Xt f(Xt, Yt) Yt+1 = cXt {1 − f(Xt, Yt)}

d (Xt) adalah laju reproduksi pertumbuhan populasi inang, f(Xt, Yt) adalah proporsi populasi inang yang tidak terparasit dan c menunjukkan parasitoid yang dapat berkembang dari inang terparasit. Proporsi inang tidak terparasit f (Xt, Yt) dapat dirumuskan untuk memasukkan faktor waktu penanganan dan terpaut kepadatan untuk meningkatkan stabilitas model. Pada generasi inang overlapping/tumpang tindih model yang lebih tepat menurut Mills & Getz (1996) adalah model pertumbuhan populasi secara kontinu dengan persamaan diferensial (Lotka-Volterra) :

dX/dt = rX − aXY dY/dt = aXY − δY

X dan Y menyatakan kepadatan populasi inang dan parasitoid betina berturut-turut, r(X) adalah laju peningkatan per kapita, δ rerata kematian

parasitoid dan γ menyatakan konversi inang terhadap parasitoid. Proporsi parasitoid mengikuti type II tanggap fungsional Xt(X,Yt) sebagai keadaan inang-parasitoid memiliki pertumbuhan diskrit dengan persamaan

Xt(X,Yt)=Xt 1− [− / ( + ) ) ] / ; (0≤ ≥1)

Tipe II tanggap fungsional dikombinasikan dengan pencarian inang model Nicholson Bailey dan distribusi parasitoid pada setiap generasi dengan persamaan (Mills dan Getz 1996):

Xt+1 =  Xt f (Є)

Yt+1 = cXt [1-f(Є)]

Rerata kontak dengan inang : Є=aβYt/(β+aXt)

Simbol‘a’adalah efisiensi searching parasitoid atau laju pencarian oleh predator/parasitoid per satuan waktu pencarian, β adalah percapita fecundity


(22)

parasitoid, c rerata fraksi pemunculan parasitoid betina per kepadatan inang dan f(•) adalah fungsi dari proporsi inang tidak terparasit pada setiap generasi. Teknik analitis stabilitas model Hassell (1978) dengan pendekatan pemodelan spasial dikenal sebagai teknik clumping parameter k. Menurut Getz dan Mills (1996) teknik clumping parameter k merupakan bentuk umum negative binomial :

(Є) = 1Є

Fungsi (Є), dimana k>0 merupakan nilai aggregasi parameter k. Implikasi pada persamaan Hassell menurut Mills dan Getz (1996) tingkat nilai aggregasi interaksi inang-parasitoid akan mengikuti osilasi pada perubahan nilai k (0<k≤1). Distribusi spasial dan tingkat parasitisme tergantung pada kepadatan inang per patch telah sering dianggap sebagai kondisi yang penting bagi stabilitas dari interaksi populasi inang–parasitoid dalam kesuksesan pengendalian hayati (Hassell 2000).

Pemodelan Sistem Dinamik Stella

Pemodelan dinamika populasi dengan Aplikasi Stella (High Performance sistems, Inc ) merupakan salah satu jenis perangkat lunak (software) untuk membuat simulasi model sistem dinamik. Prinsip kerja aplikasi ini menggunakan prinsip model dinamik dengan berorientasi objek yang memungkinkan pengguna untuk menjalankan simulasi, membuat tabel dan grafik, model variabel serta memodelkan antarmuka pengguna grafis untuk mengontrol input model (Hannon & Ruth 2009).


(23)

Kebugaran Parasitoid Acerophagus papayae

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh kualitas inang, umur inang dan kepadatan inang nimfa instar II KPP yang dibiakkan pada tanaman jarak pagar mempengaruhi parameter kebugaran parasitoid A. papayae.

Berdasarkan mumi yang berhasil memunculkan parasitoid baru menunjukkan persentase lebih tinggi pada nimfa instar 2 (92.16%) dibandingkan pada instar 3 yaitu 85.96%. Namun pada instar 2 terjadi superparasitisme sebesar 14.89%, sehingga optimal pemunculan 77.26%. Hasil penelitian Amarasekare (2007) menunjukkan persentase parasitisme A. papayae pada instar 2 sebesar 82.8±2.1 sedangkan pada instar 3 sebesar 71.2±26.

Tabel 1 Lama hidup dan persentase pemunculan parasitoid Instar Inang

Lama Hidup

Pemunculan

parasitoid (%) Superparasitisme (%)

(hari)

Instar 2 (n=15) 13.57±2.69a 92.16 14.89% Instar 3 (n=6) 12.66±5.32a 85.96 -

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t

(α=0.05), *

Rerata superparasitisme pada nimfa instar II yaitu 3.13±1.25 berdasarkan jenis kelamin 1.86±1.25 adalah jantan artinya dari satu inang dapat memunculkan 2 sampai 4 keturunan parasitoid jantan sekaligus, sedangkan rerata pemunculan keturunan betina 1.43±1.27 (Gambar 5).


(24)

Gambar 5 Rataan pemunculan keturunan pada superparasitisme

Menurut Godfray (1994) superparasitisme seharusnya tidak terjadi pada keadaan inang tak terparasit berada dalam jumlah banyak. Lebih lanjut Godfray (1994) juga menyatakan bahwa parasitoid pada awalnya akan memarasit inang yang belum terparasit, kemudian jika inang belum terparasit sulit ditemukan parasitoid akan memarasit inang yang sudah terparasit satu kali; demikian seterusnya hingga inang dapat terparasit berkali-kali. Dalam superparasitisme telur diletakkan oleh betina yang sama dan ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan inang yang tepat (Godfray 1994).

Berdasarkan hasil penelitian ini pengaruh ketersediaan inang dan kualitas inang yang terbatas dalam waktu lama pada nimfa instar 2, parasitoid mengalami perubahan perilaku untuk melakukan superparasitisme. Dengan demikian perilaku seleksi inang parasitoid A. papayae dan pemunculan keturunan berkaitan erat dengan kualitas inang dan umur inang pada nimfa instar 2 yang dibiakkan pada tanaman jarak pagar.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

4 5 2

R a ta a n p e m u n c u la n p a ra si to id superparasitisme Jant an bet ina


(25)

Gambar 5 Imago A. papayae; imago jantan (a) Ovipositor pada imago betina (b) Parasitoid yang gagal pemunculan pada superparasitisme (c) dan Mumi (d)

Kapasitas Reproduksi, Lama Perkembangan dan Nisbah Kelamin

Tabel 2. Parameter biologi parasitoid Acerophagus papayae

Parameter Intar 2 Instar 3

Lama perkembangan

Jantan 12.52±2.64 13. 21±2.12

Betina 13.55±2.24 14.0±1.78

Keperidian betina 3.46±2.07 8.0±3.22 Nisbah Kelamin (% Betina) 48.08±29.93 71.43±21.15

Peningkatan proporsi keturunan betina A. papayae pada berbagai ukuran inang mendukung teori ‘inang-terpaut alokasi keturunan’ parasitoid Hymenoptera (Charnov et al. 1981). Hal ini juga menunjukkan pada kondisi lapang umur inang memainkan peran penting rasio betina parasitoid A. papayae. Sequera dan Mackauer (1993) menyatakan bahwa parasitoid soliter Aphidius ervi Haliday akan

a

b


(26)

cenderung bias jantan pada aphid pada awal musim ketika sebaran inang instar muda.

Perilaku superparasitisme pada nimfa instar 2 dapat lebih disebabkan oleh preferensi parasitoid A. papayae pada nimfa instar 2 KPP, perilaku superparasitisme menggambarkan strategi reproduksi parasitoid A. papayae selain pengaruh pemberian nimfa dalam jumlah sedikit dan dalam waktu lama juga ditentukan oleh kualitas inang, umur inang dan ukuran inang pada nimfa instar 2 KPP. Hasil penelitian Amarasekare et al. (2010) menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae memiliki tingkat parasitisasi terbaik pada nimfa instar 2 Paracoccus marginatus atau kutu putih pepaya.


(27)

Tanggap Fungsional

Hasil analisis regresi logistik dengan menggunakan persamaan kubik menghasilkan nilai parameter kubik yang tidak nyata, begitu pula dengan model kuadratik. Oleh karena itu, parameter P3 dan P2 dikeluarkan dari persamaan dan kemudian dilakukan pengujian ulang terhadap parameter sisanya. Hasil analisis dengan menggunakan model tereduksi disajikan pada Tabel 3. Koefisien linear (P1) yang bernilai negatif dan secara nyata <0 menunjukkan bahwa proporsi inang terparasit menurun dengan kerapatan inang (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa tanggap fungsional parasitoid A. papayae terhadap nimfa KPP tergolong tipe II seperti terlihat pada gambar 8.

Tabel 3 Hasil analisis regresi logistik proporsi nimfa KPP yang terparasit oleh A. papayae

Parameter

Nilai

Penduga Galat Baku χ2 P

Titik potong

(Po) 0.000803 0.340 0 <0.0001

Linear P1 -0.1168 0.28 17.39 <0.0001

Gambar 7 Rataan nilai pengamatan inang yang diparasit (tanda bulat), dan penduga (garis) berdasarkan hasil analisis regresi logistik.

0. 06 0. 08 0. 10 0. 12 0. 14 0. 16 0. 18 0. 20 0. 22 0. 24 0. 26 0. 28 0. 30 0. 32 0. 34 0. 36 0. 38 0. 40 0. 42 0. 44 0. 46 0. 48 0. 50

Banyaknya i nang yang t er sedi a


(28)

Gambar 8 Kurva tanggap fungsional A. papayae terhadap peningkatan kerapatan inang

Dalam penelitian ini tanggap fungsional tipe II didekati dengan persamaan cakram dan persamaan acak. Berdasarkan kriteria R2 pada table 4, tampak bahwa persamaan cakram maupun persamaan acak memperlihatkan kesesuaian yang sama untuk digunakan memerikan hubungan antara kerapatan nimfa KPP dengan rataan banyaknya nimfa terparasit oleh A. papayae. Walaupun demikian, kedua persamaan ini menghasilkan penduga a dan Th yang berbeda. Persamaan acak menghasilkan nilai penduga parameter tanggap fungsional yang lebih tinggi daripada persamaan cakram.

Tabel 4 Nilai Penduga parameter laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th) berdasarkan model tanggap fungsional tipe II

Model Tipe II a (jam-1) Th (Jam)

Persamaan Cakram 0.026 ±0.0098 6.36±0.0098

Persamaan Acak 0.033±0.749 6.57±0.75

Laju pencarian seketika (a) untuk parasitoid A.papayae yang memarasit nimfa KPP menurut persamaan cakram 0.026±0.0098 dan menurut persamaan acak 0.033±0.75. Laju pencarian seketika (a) menunjukkan proporsi dari total area yang dijelajahi parasitoid per unit waktu jelajah, dalam hal ini adalah jam. Laju pencarian seketika ini menentukan seberapa cepat kurva tanggap fungsional mencapai plato atas, dan merupakan fungsi (1) jarak terjauh parasitoid mampu

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Banyaknya i nang yang t er sedi a


(29)

mendekati mendeteksi inang, (2) kecepatan pergerakan dari parasitoid dan inang, dan (3) proporsi serangan yang berhasil.

Nilai penduga Th pada persamaan cakram adalah 6.36±0.0098 jam dan pada persamaan acak 6.57±0.75 jam. Berdasarkan nilai Th baik pada persamaan cakram dan persamaan acak, A.papayae memiliki kemampuan memarasit 5-8 nimfa KPP dalam sehari. Kemampuan parasitisasi ini perlu diketahui dalam rangka mengevaluasi potensi suatu spesies parasitoid sebagai agens pengendalian hayati. Namun demikian, hasil yang diperoleh di laboratorium tidak secara langsung dapat diterapkan pada kondisi lapang. Di lapang banyak faktor yang mempengaruhi tanggap fungsional seperti temperatur dan kompetisi dengan serangga lain (Legaspi et al. 1996).

Menurut Rogers (1972), persamaan cakram dan persamaan acak dapat digunakan untuk memerikan seperangkat data yang sama, tapi akan menghasilkan nilai penduga a dan Th yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan asumsi dari kedua persamaan tersebut. Persamaan cakram mengasumsikan banyaknya inang selalu tetap, dan pola pencarian inang dilakukan secara sistematik yaitu inang yang sudah diparasit tidak akan dikunjungi lagi oleh parasitoid. Persamaan acak mengasumsikan jumlah inang berkurang sejalan dengan waktu karena sebagian telah diparasit, serta pola pencarian inang dilakukan secara acak. Sebagai akibatnya, nilai penduga a dan Th yang dihitung dengan persaman acak lebih tinggi daripada yang dihitung dengan persamaan cakram. Dalam penelitian ini parasitoid A. papayae menunjukkan adanya perilaku selfsuperparasitisme dengan demikian maka persamaan acak lebih sesuai dibandingkan dengan persamaan cakram.

Pengaturan populasi hama di alam dapat terjadi karena adanya mekanisme terpaut kerapatan yang bersumber dari tanggap fungsional dan tanggap numerik. Tanggap fungsional tipe III terpaut kerapatan pada selang kerapatan inang tertentu sehingga diperkirakan mampu memelihara kesetimbangan populasi. Sementara tanggap fungsional tipe II bersifat terpaut kerapatan berkebalikan (inverse density-dependent), yaitu proporsi inang yang terparasit menurun dengan meningkatnya kerapatan inang. Keadaan ini dapat menciptakan ketidakstabilan populasi.


(30)

Pengaruh kerapatan inang mempengaruhi persentase pemunculan, rasio keturunan dan alokasi keturunan. Rerata persentase pemunculan parasitoid terendah pada kerapatan 2 nimfa KPP per arena (86.6%) dan persentase rerata keseluruhan pemunculan parasitoid 92.3±4.6. Proporsi parasitoid betina meningkat dari kerapatan 30 sampai 50/cawan petri, sedangkan jantan menurun dari kerapatan 20 sampai kerapatan rendah 5 nimfa KPP per arena. Demikian pula perilaku selfsuperparasitisme menurun seiring dengan kenaikan kerapatan inang. A. papayae menghasilkan rerata pemunculan keturunan betina 2.75±2.38 per mumi pada superparasitisme sedangkan jantan 1.63±1.06 per mumi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae dapat mengatur strategi peletakan telur seiring dengan kerapatan inang dan pemunculan keturunan betina serta penurunan superparasitisme. Meskipun demikian rerata parasitisasi menurun kembali pada kerapatan 50/cawan petri, rerata harian pada percobaan kerapatan 50 menunjukkan bahwa perilaku A. papayae konsisten dengan tipe II respon tanggap fungsional Holling.


(31)

Model Simulasi Dinamika Populasi Inang Kutu Putih Pepaya dan Parasitoid Acerophagus papayae

A. Deskripsi Model

Sistem dinamik populasi KPP dimodelkan berdasarkan fase perkembangan kutu putih pepaya (Gambar 9). P. marginatus atau kutu putih pepaya merupakan serangga yang mengalami metamorfosis yang berbeda antara jantan dengan betina. Betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis bertahap), yaitu terdiri dari stadium telur, nimfa instar I, nimfa instar II, nimfa instar III dan imago. Serangga jantan mengalami metamorfosis holometabola, yaitu metamorfosis sempurna yang terdiri dari fase telur, nimfa instar I, nimfa instar II, pra pupa, pupa dan imago. Perpindahan antar stadia nimfa dan imago tidak mengalami perubahan bentuk,hanya saja terjadi pertambahan ukuran tubuh. Imago betina tidak memiliki sayap sedangkan imago jantan bersayap.

Gambar 9 Fase perkembangan kutu putih pepaya

Untuk memudahkan memodelkan life table KPP, maka model dibagi ke dalam sejumlah kohort berdasarkan ambang perkembangan setiap fase perkembangan instar KPP dengan basic time unit dalam hari perkembangan. Pengelompokkan didasarkan pada sistem kohort yang dibentuk (telur, nimfa, pupa dan imago). Untuk memudahkan memodelkan struktur menggunakan fungsi Built-in dan array pada model layering Stella versi 9.02, sedangkan conveyor digunakan untuk menyimpan tranfer materi berdasarkan perilaku model. Analisis potensi dan perilaku parasitoid Acerophagus papayae dan interaksinya dengan


(32)

inang KPP menggunakan parameter biologi hasil penelitian Maharani (2011), sedangkan model life table parasitoid didasarkan pada setiap fase perkembangan (Gambar 10).

Untuk memahami kompleksitas dinamika populasi inang-parasitoid dalam keadaan alami, pada pemodelan ini menggunakan pendekatan tanaman inang sebagai salah satu sub model. Model simulasi dinamika populasi kutu putih pepaya-A. papayae dengan melibatkan tanaman inang dibangun secara sederhana untuk menggambarkan inang-parasitoid tidak terisolasi dari sistem dinamika populasi.

Gambar 10 Fase perkembangan parasitoid Acerophagus papayae

Asumsi digambarkan (1) bila keadaan temperature merupakan keadaan konstan dan (2) perkembangan KPP merupakan keadaan sebaran umur stabil. (3) Parasitoid mengikuti kaidah simulasi model Nicholson Bailey secara diskrit, (4) Dinamika sistem digambarkan secara siklus dengan sistem tertutup tanpa mempertimbangkan emigrasi dan migrasi populasi.


(33)

Gambar 11 Interaksi antar sub model

Persamaan model matematika untuk menggambarkan interaksi dan perilaku parasitoid A. papayae dan KPP dalam pemodelan ini dilakukan dengan menggunakan kerangka umum dalam pemodelan inang-parasitoid berdasarkan model diskrit dinamika interaksi inang-parasitoid (Mills dan Getz 1996) yakni pertumbuhan populasi secara kontinu pada keadaan struktur umur yang overlapping pada setiap generasi perkembangan.

Pendekatan tanggap fungsional pada model ini dilakukan untuk mendapatkan keadaan kestabilan sistem dinamika inang-parasitoid dengan pendekatan terhadap model spasial Hassell (2000). Waktu penanganan inang berdasarkan data percobaan laboratorium diasumsikan (0 ≤ 1). Pemodelan KPP-parasitoid A. papayae dilakukan dengan teknik clumping parameter k dengan aproksimasi Euler’s =1.

Asumsi dasar yang terimplisit pada persamaan interaksi KPP-A. papayae : 1. Pertumbuhan generasi KPP dan parasitoid A. papayae secara diskrit dan


(34)

2. Rerata kontak dengan inang merupakan kejadian acak antara individu-individu kedua spesies dengan demikian searching parasitoid (a) secara random.

3. Telur parasitoid tidak terbatas

4. Maka proporsi inang terparasit terpaut kepadatan parasitoid.

Salah satu asumsi penting dalam pemodelan ini, bahwa parasitoid pro-ovigenic (parasitoid yang pada saat pemunculan telah memiliki telur matang) memiliki keterbatasan absolut pada jumlah inang yang dapat diparasit, dan parasitoid synovigenik (memiliki produksi telur terus menerus). Walaupun memiliki keterbatasan jumlah telur matang pada kurun waktu tertentu, parasitoid synovigenik dibatasi pertimbangan parasitoid betina untuk effisiensi pencarian inang pada kepadatan inang yang tinggi (Mills dan Getz 1996).

B. Spesifikasi Matematika Model

Simulasi pemodelan dinamika populasi pada model dinamika populasi KPP menggunakan phenology umur perkembangan dalam insisial waktu hari perkembangan KPP. Persamaan matematika model menggunakan kerangka model Gutierrez AP et al. (1989), dan distribusi Erlang dalam Spolia SK (1980) dan Hassell ( 2000).

Untuk memudahkan dalam pemodelan sistem dinamik dilakukan notasi persamaan berdasarkan fase perkembangan KPP. Notasi tersebut ; Tlri (t), Crawi

(t), Ninangi (t), Ninstar3i (t), PPi (t), Imagoi (t) menyatakan waktu ke t, dari setiap

fase telur, instar 1(crawler), nimfa instar 2, instar 3, pupa dan imago pada setiap kohort pada hari ke i. Tlri (t) menggambarkan jumlah telur yang menetas pada

waktu ke t. Notasi PPi.j (t) menyatakan jumlah pupa pada waktu t yang terbentuk

dari nimfa instar 1 (Craw i.j). Demikian pula Imago i.j,k (t) menyatakan jumlah

populasi imago pada hari k dari fase instar 3 dan pupa.

Dalam pemodelan ekologi dan evolusi umumnya menggunakan fungsi waktu tunda (time delay). Hal ini untuk menggambarkan bahwa individu-individu dalam populasi mengalami rerata pematangan pada setiap fase perkembangan berbeda-beda. Beberapa proses biologi yang melibatkan stadium pertumbuhan,


(35)

keadan lingkungan yang berubah-ubah mengakibatkan pertumbuhan akan mengalami penundaan. Waktu tunda ini menyebabkan penurunan populasi tetapi kemudian terjadi peningkatan sehingga terjadi osilasi pada pertumbuhan populasi (Hassell 2000). Kutu putih pepaya atau P. marginatus mengalami proses pematangan dari satu fase perkembangan ke fase berikutnya. Untuk mendapatkan keadaan yang dinamik fluktuasi lingkungan disimulasikan dengan menambahkan penyimpangan acak dari mean data lama perkembangan (δ) dan standar deviasi pada Tabel 6. Untuk menentukan agar parameter tetap konsisten dengan fungsi waktu maka dilakukan notasi (•):

( • ) = 0, ( • ) = 0 , ( • ) = 0, ( • ) = 0, ( • )=0 Argumentasi komputasi dilakukan dengan menggunakan notasi;

, , , , , merupakan waktu tunda (time delay) pada setiap fase perkembangan ambang hari fase telur, nimpha instar 1(crawler), nimfa instar 2, pupa dan imago, berturut-turut. Notasi mean ambang perkembangan (t) merupakan notasi yang digunakan untuk jumlah hari yang dibutuhkan setiap fase perkembangan instar KPP. Notasi persamaan matematika model ditampilkan pada model interaksi inang-parasitoid.

Telur yang menetas pada setiap selang kohort dinyatakan dengan persamaan model


(36)

Tabel 5 Simbol dan deskripsi parameter

Simbol Deskripsi satuan

τ Selang waktu fase perkembangan pada setiap fase perkembangan

hari

δ Hubungan kerapatan inang dan parasitoid Inang/parasitoid γ Inaktivasi tingkat telur parasitoid per pohon (patch) telur/parasitoid

k Clumping parameter k -

a Searching parasitoid -

T(t) Ambang perkembangan hari

Waktu tunda pada setiap fase perkembangan KPP; fase tlr = telur, craw = nimfa instar 1, nim = nimfa pp =pupa, imago=imago

-

AP Fly (t) Parasitoid betina pada t berturut-turut -

cAP Keperidian Telur/parasitoid

( t)

Total jumlah inang yang mati terparasit pada setiap selang kohort

Inang/parasitoid

MTRi(t) Rerata mortalitas inang terparasit Inang/parasitoid TNIT Inang terparasit pada waktu t berturut-turut Inang/parasitoid AP Fly max Lama hidup parasitoid betina hari

Formulasi Model Interaksi Inang-Parasitoid

Model simulasi interaksi kutu putih pepaya dan parasitoid A. papayae didasarkan pada siklus hidup kutu putih pepaya. Model life table KPP dimodifikasi untuk mendapatkan interaksi yang dinamis dengan life table parasitoid. Bentuk umum model adalah deterministik dan stokastik dengan menggunakan distribusi waktu tunda ambang perkembangan KPP (Tabel 6). Modifikasi kerangka model life table dilakukan pada model life table inang KPP untuk melakukan pendekatan pemodelan spasial.


(37)

Tabel 6 Parameter Biologi kutu putih pepaya

Fase Perkembangan

Lama Mortalitas survival

Perkembangan alami

Imago Betina 14,92 ± 0,59 0.49 0.51

Imago jantan 2,74 ± 0,17 0.3 0.7

Telur 7,23 ± 0,18 0.17 0.83

Nimfa Instar 1 5,23 ± 0,12 0.17 0.83

Nimfa Instar 2 betina 6,61 ± 0,33 0.02 0.98

Nimfa Instar 2 jantan 5,09 ± 0,27 0.1 0.9

Nimfa Instar 3 Betina 7,63 ± 0,47 0.2 0.8

Pupa jantan 6,93 ± 0,23 0.3 0.7

Lama Hidup imago betina 33,19 ± 0,67

Nisbah Betina 0.5-0.8

Keperidian Betina 48.5-365

*Sumber Maharani (2011)

** Mortalitas nimfa instar 1 pengaruh CH 0.70 Sektor parasitoid

Model life table parasitoid A. papayae tidak jauh berbeda dengan struktur life table pada kutu putih pepaya. Parasitoid A. papayae termasuk parasitoid soliter koinobion perbedaan perkembangan antar fase perkembangan ditentukan berdasarkan lama perkembangan pradewasa pada inang nimfa instar 2 KPP sampai pemunculan parasitoid baru. Penggunaan ambang hari perkembangan parasitoid digunakan untuk membedakan fase perkembangan life table kutu putih pepaya.

Untuk mendapatkan keadaan dinamis notasi model dilakukan terhadap fase perkembangan parasitoid terdiri dari telur, larva, pupa dan imago parasoid betina. Mmi(t), Pupai (t), APi(t) menyatakan jumlah hari pada waktu t setiap fase

perkembangan pada life table parasitoid. Penggunaan notasi Mumii(t), digunakan

pada fase larva parasitoid untuk memudahkan menentukan mortalitas pada inang karena terparasit.

Keadaan dinamis dengan waktu tunda (time delay) didasarkan pada model inang KPP. Notasi ambang perkembangan, Titlr(t),Tipupa(t),TiApFly(t)berturut-turut pada waktu t menyatakan ambang perkembangan fase parasitoid.mumid(t)


(38)

) (t

pupaid ,ApFlyid(t), menunjukkan fraksi mortalitas larva, pupa dan imago parasitoid selama waktu ke t. Notasi mumiim(t), pupaim(t), ApFlyim(t), menyatakan jumlah populasi larva, pupa dan parasitoid yang survival pada fase perkembangan berikutnya.

Untuk tujuan notasi indeks, seperangkat notasi persamaan serupa juga digunakan pada model life table KPP, karena pemodelan dinamika inang-parasitoid merupakan dua keadaan populasi yang sama.

Smm(t) = {t ,t -1,t -2,….., tmummi :Tmmmm Tmmmm <

mm mm

T 1(t) }

Spupa(t) = {t ,t -1,t -2,….., t pupa :Tpupapupa Tpupapupa <Tpupapupa1 (t) }

Sap (t) = {t ,t -1,t-2,….., t ApFly :

AP=ApFly max ,(t )}

APFly max adalah maksimum jumlah waktu (hari) parasitoid betina dapat

hidup, hal ini untuk menjamin parasitoid tetap berada pada sistem model kohort KPP pada waktu t berturut-turut. Sebagai contoh jika mumi yang terbentuk pada fase larva pada ambang hari ke t akan terdiskritisasi pada keadaan waktu mm.

Perkembangan dalam hari kalender KPP sebagai fungsi waktu tunda ( (t)) merupakan kronologis dari umur ambang hari t- mm. Dengan demikian kohort

pada selang umur perkembangan parasitoid akan terbentuk t- mm +1 dan mulai

mengalami pematangan sebelum memasuki fase pupa. Dengan demikian sistem notasi persamaan, populasi pada semua selang kohort parasitoid dinyatakan dengan persamaan :

Mumii(t+1) = Mumii(t) x (1- ( )- ( ) ) Є (t(•)) Pupai(t+1) = pupai(t) x (1- ( )- ( )) Є (t(•)) APi(t+1) = APi(t) x (1- ( ) )), Є (t(•))

Untuk memudahkan memahami persamaan diatas maka sebelumnya dilakukan pendekatan terhadap perilaku parasitoid soliter dapat membedakan inang yang terparasit dan tidak terparasit pada keadaan alami maka persamaan model dinotasikan :

Mumii(t)=∑∈ ( ) ( ) , ( )

Pupai(t)=∑ ( ) ( ) ( )


(39)

( ) pada persamaan diatas menyatakan rerata instar 2 betina terparasit mengkonversi banyaknya jumlah mumi yang terbentuk (mumi/nimfa instar 2) dan , ( ) adalah proporsi jumlah instar 2 betina Ninang i (t) pada setiap kohor KPP

yang terparasit pada waktu t berturut-turut. Persamaan ini menunjukkan jika parasitisasi terjadi pada semua selang kohort inang. Rerata mortalitas pada setiap fase siklus hidup parasitoid dilakukan sama dengan pada life table KPP dengan persamaan :

Mumi (t )= ( ) ,

(t )= ( )

AP (t )= ( )

Notasi , , , adalah rerata mortalitas harian pada setiap ambang hari perkembangan fase parasitoid. ( ) , ( ) adalah fungsi dari multiflikasi yang digunakan untuk menyatakan waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan.

Lama perkembangan

Rerata survival atau pematangan umur parasitoid merupakan akumulasi jumlah hari perkembangan inang pada nimfa instar 2 betina KPP. dan , merupakan mean atau umur perkembangan larva dan pupa parasitoid berturut-turut. Fenologi umur pada setiap perkembangan pada selang kohort pradewasa parasitoid dinyatakan dengan persamaan:

(t ) = ( ) + {0, ( ) − }, Є ( )

(t ) = ( ) + 0, ( )− , Є ( )

Fenologi umur menyatakan jumlah waktu (hari) yang dibutuhkan untuk perkembangan pada setiap fase perkembangan, mengikuti fase perkembangan inang termasuk fase metamorfosis sampai fase berikutnya.

Parasitisme

Proporsi inang instar 2 betina pada setiap kohort KPP yang terparasit pada hari ke t dinyatakan dalam persamaan :

, ( ) = ( )

( ) ( ) ( )


(40)

Tmumi (t) =∑ ( ) ( ) x Ov(APi(t)),

, menyatakan proporsi inang instar 2 KPP terparasit dan total jumlah mumi yang terbentuk sebagai akumulasi peletakan telur parasitoid betina pada waktu ke t. Fungsi dan merupakan multiflikasi terpaut kepadatan sebagai pengaruh sebaran kepadatan inang ( ) dan kerapatan mumi yang terbentuk ( ) , berturut-turut. cAP menyatakan keperidian harian parasitoid, sedangkan notasi SPR digunakan untuk menyatakan proporsi inang terparasit per mumi yang terbentuk per hari (satuan: Ninang/mumi/hari). Cat at an ; TNIT (t) inang terparasit pada waktu t berturut turut.

Pencarian inang oleh individu parasitoid betina ( ) pada kondisi alami akan semakin meningkat dengan kenaikan kerapatan jumlah parasitoid yang terbentuk pada kerapatan inang yang tinggi. Nilai sex rasio parasitoid ditentukan berdasarkan nilai agregasi searching (‘a’) parasitoid betina Nicholson Bailey (1935) dalam Gutierrez et al. (1993) dengan parameter ditentukan oleh keadaan

0≤SE=1- 1.SE, ( =0.05). Dengan demikian nilai parameter terpaut

kepadatan inang ( ) . Rerata oviposisi parasitoid Ov(APi(t)), pada kohort

imago parasitoid APi(t) ditentukan oleh jumlah hari APFly (parasitoid betina)

hidup pada keadaan (t-i).

Sub Model Inang Kutu Putih Pepaya

Pada model life table KPP hanya nimfa instar 2 betina yang diparasit oleh parasitoid A. papayae, modifikasi model life table pada nimfa instar dibutuhkan untuk mendapatkan hubungan interaksi inang-parasitoid. Persamaan pada modifikasi model dibatasi oleh sejumlah argument persamaan model tanpa melakukan perubahan pada persamaan lainnya. Model Interaksi inang-parasitoid, di gambarkan oleh persamaan model :

Ninang i(t+1)=(NInang i (t)-MORPARi(t))x(1- (t)- (t)))

Untuk setiap I Є Sninang (t), Mortalitas Terparasit (MORPARi(t)) adalah total

jumlah inang terparasit pada cohort, mortalitas terparasit ditentukan dengan persamaan :


(41)

MTRi(t) adalah mortalitas yang disebabkan parasitisasi parasitoid, Rerata

mortalitas MTR j(t) tergantung pada jumlah hari yang dibutuhkan oleh parasitoid

pada inang (Ninang i(j)) pada waktu ke t. Dengan demikian waktu tunda (time

delay) digunakan untuk menyatakan fungsi waktu yang digunakan parasitoid untuk proses parasitisasi kemudian menyebabkan mortalitas pada inang karena terparasit.

MTRj(t)= MRTi(t,j)

MTR = 0, if ( )< (t)

= ( ) if ( ) (t)

Persamaan diatas menyatakan bahwa tidak hanya mortalitas alami yang menyebabkan kematian pada inang tetapi juga mortalitas terparasit. Jika inang tidak terparasit maka akan tetap survive mencapai instar 3 betina dan berkembang menjadi imago betina. Dengan kata lain dinamika populasi inang-parasitoid sebenarnya hanya dibentuk pada persamaan inang instar 2 betina.

Lokasi pengumpulan mumi di lapang pada penelitian ini adalah pertanaman pepaya var. California pada Fakultas Perikanan, IPB. Lokasi tersebut merupakan lokasi pertama kali parasitoid A. papayae diperoleh dalam penelitian ini. Luas lahan 0.25 ha (±400 pohon) dengan jarak tanam (±3 mx 3 m). Metode pengumpulan mumi selama penelitian dilakukan secara acak, 2-3 lembar daun pepaya yang terserang KPP pada satu blok tanaman pepaya dimasukkan ke dalam kantung plastik kemudian dibawah ke laboratorium untuk identifikasi.


(42)

Kalibrasi dan Hasil Sensitivitas Model

Kalibrasi model merupakan tahapan untuk mengetahui sejauhmana parameter masukan pada model ketika dilakukan perubahan mampu menggambarkan keadaan data lapang. Salah satu kesulitan untuk menentukan ukuran populasi pada setiap fase perkembangan KPP, model dinamika populasi KPP mengikuti trend musim kemarau selama penelitian berlangsung, sedangkan kerapatan populasi ditentukan oleh tanaman inang dan faktor lingkungan, diantaranya adalah curah hujan dan mortalitas alami lainnya. Demikian pula pada parasitoid, pada bulan Nopember dijumpai parasitoid sekunder (Hyperparasitoid) pada sampel mumi. Sensitivitas pengaruh hyperparasitoid ditentukan dengan pendekatan data literatur, karena tidak cukup data untuk menentukan besaran mortalitas parasitoid pada penelitian ini.

Tabel 7 Parameter sensitivitas model

Deskripsi simbol Input nilai satuan sumber Lama hidup Ap AP Fly 14 Hari Data Keperidian cAP 3 Telur/parasitoid

betina

Data

Mortalitas Ap µAP 0.28 Kohort AP/hari Guttierez et al. 1993 Nisbah AP FEM 0.5

(konstan)

Kohort AP/hari N. Bailey dalam Gutierrez et al. 1993 Clumping

parameter k

K Tak

terhingga

0 dan 1 Mills & Getz (1996)

Hasil sensitivitas model Gambar 14, menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae memiliki tipe tanggap fungsional berubah-ubah. Parasitoid A. papayae pada percobaan laboratorium menunjukkan tanggap fungsional tipe II disebabkan percobaan pada arena yang kecil dan tertutup. Tanggap fungsional tipe III memiliki interaksi inang-parasitoid yang lebih stabil dibandingkan dengan tipe I dan II. Pada tipe III, terdapat kecenderungan parasitoid memarasit menurun mengikuti kerapatan inang dengan R2 = 0.39.


(43)

Gambar 14 Model hasil induksi tanggap fungsional KPP dan parasitoid Perubahan tipe tanggap fungsional dari satu tipe ke tipe lainnya dapat disebabkan oleh perubahan perilaku parasitoid dalam penerimaan inang pada keadaan lingkungan yang berubah, kemampuan reproduksi dan lama hidup parasitoid betina. Menurut Wang & Ferro (1998) fluktuasi hujan dan intensitas cahaya di lapang dapat mempengaruhi aktifitas dan perilaku parasitoid yang kemudian juga mempengaruhi tingkat parasitisasi.

Keragaman fisik dari suatu habitat mempengaruhi tanggap fungsional terhadap kepadatan inang. Hal ini berkaitan dengan habitat sebagai tempat berlindung dan sumber makanan parasitoid. Perubahan bentuk dan ukuran tanaman juga mempengaruhi laju pencarian dan kemampuan bertahan parasitoid di tanaman tersebut. Faktor kimia seperti senyawa kimia yang dikeluarkan tanaman dapat menjadi tanda bagi parasitoid dalam menemukan inangnya.

Gambar 15 Grafik scatterplot hubungan antara kerapatan inang dan parasitoid betina A. papayae

Hasil analisis model dengan asumsi pendekatan teoritis perkembangan inang-parasitoid disinkronkan pada setiap generasi perkembangan, menunjukkan bahwa

R² = 0.399

0 5000 10000 15000 20000 25000 R e sp o n f u n g si o n a l te r h a d a p k e p a d a ta n i n a n g ••• KPP ----Parasitoid -1 -0.5 0 0.5 1 1.5

-5000 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000

P a r a sit o id


(44)

tingkat parasitisasi dan pemencaran parasitoid per pohon pepaya dipengaruhi oleh rasio inang-parasitoid 0.5. Hal ini ditunjukkan dengan kemiringan (slope) pada garis paralel -1 dan koefisien regresi >-1 (Gambar 15). Realitas nilai parameter dan tidak adanya cukup data yang akurat dari lapang menyebabkan kesulitan untuk melakukan analisis potensi. Model prediksi sederhana dengan pendekatan tanaman inang lebih digunakan untuk untukmemahami proses dinamika populasi inang-parasitoid. Menurut Berstein (2000), hasil model teoritis dapat membantu untuk menganalisis data kadang-kadang bertolak belakang dengan sketsa model teori.

Perpindahan parasitoid di pertanaman dipengaruhi oleh pergerakan angin dan kemampuan terbang. Parasitoid biasanya bergerak secara bebas diantara patch dalam lingkungan patch, sehingga penting untuk mempertimbangkn waktu yang dihabiskan parasitoid dalam patch dengan kepadatan inang yang berbeda. Berdasarkan pengamatan, terdapat tanaman inang lain yang terserang KPP antara lain dari beberapa famili seperti Caricaceae, Fabaceae, Solanaceae, Euphorbiaceae, Arecaceae, Cucurbitaceae, Malvaceae, Moraceae, Rubiaceae, dan Apocynaceae. Pada umumnya tanaman yang terserang KPP tumbuh di sekitar Tanaman pepaya sebagai tanaman tumpang sari dan tanaman pagar. Sehingga parasitoid diperkirakan terbang terbatas menuju tempat dimana terdapat inang, pakan dan perlindungan untuk dapat bertahan.

Selain parasitoid terdapat pula predator dari kelompok kumbang (Coleoptera: Coccinelidae) yaitu, Scymnus sp., Cryprolaemus montrouzieri, dan Curinus coeruleus, larva Neuroptera (Chrysopha sp.) dan Diptera (Syrphidae). Predator dan musuh alami merupakan catatan yang teramati di lapang. Hasil survey Meyerdirk et al. (2004) di Guam, menyatakan bahwa predator yang dijumpai berasosiasi dengan P. marginatus umumnya merupakan predator generalis, kehadiran predator generalis tampaknya tidak mampu menekan populasi P. marginatus. Hal ini disebabkan predator generalis memiliki jenis inang kutu yang banyak selain P. marginatus. Selain predator, mortalitas KPP yang teramati pada sampel disebabkan cendawan Entomophthorales. Menurut laporan akhir survei Dadang et al. (2008), musuh alami yang ditemukan di


(45)

pertanaman pepaya di Kota dan Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan Tangerang memiliki tingkat infeksi yang beragam. Musuh alami tersebut adalah Neozygytes fumosa (Entomophthorales: Neozygytaceae) dengan stadia cendawan yang tertinggi yakni hypal bodies, kemudian stadia konidiofor, dan konidia primer, dan stadia cendawan saprofitik.

Populasi KPP berdasarkan sampling tentatif sejak bulan oktober 2010 sampai bulan Februari 2011, pada lokasi pertanaman pepaya (±15 pohon sampling), menunjukkan adanya peningkatan jumlah mumi sejak penelitian berlangsung. Namun terjadi penurunan pada bulan Desember, hal ini dapat disebabkan faktor curah hujan, dan tidak adanya penggunaan insektisida oleh petani pada lokasi pengamatan. Demikian pula pemunculan hyperparasitoid yang teridentifikasi diantaranya Marieta leopardi (Hymenopetara: Aphelinidae) pada beberapa sampel mumi dari lapang menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi parasitoid A. papayae dapat dipengaruhi keberadaan hyperparasitoid di lapang.Berdasarkan hasil observasi Muniappan et al. (2006) dalam pengendalian hayati P. marginatus di Republik Palau menyatakan pengaruh hyperparasitoid termasuk rendah, diantaranya hyperparasitoid Eunotus sp. (Hymenoptera: Pteromalidae) 0.4% and Procheiloneurus dactylopii (Hymenoptera: Encyrtidae) 0.8%. Namun terjadi peningkatan retata jumlah mumi pada sampling bulan Februari, 3-5 parasitoid A. papayae dapat ditemukan pada beberapa lembar daun pepaya. Hal ini menunjukkan bahwa secara alami parasitoid A. papayae memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi serta perilaku pengaturan populasinya sendiri di lapang.

Beberapa Negara yang melakukan pengendalian hayati KPP dengan parasitoid A. papayae diantaranya Republik Dominika, Puerto Rico, Guam, Florida dan Hawai, dilaporkan setahun setelah pelepasan mampu menekan populasi kutu putih pepaya hingga 97% (Amarasekare et al. 2010). Di Srilanka setelah melakukan introduksi musuh alami dari Negara asal pada tahun 2009 mampu menekan populasi dan tingkat penyebarannya (Muniappan 2010).


(46)

Validasi Model

Data hasil pengumpulan mumi selama penelitian yang diperoleh dari lapang digunakan untuk pengujian terhadap hasil model. Namun demikian simulasi model sederhana ini hanya untuk menggambarkan potensi parasitoid A. papayae dan memahami perilaku parasitoid terkait dengan pengaturan populasi di lapang. Menurut Driesche & Bellows (1996) validasi model dapat juga dilakukan dengan menggambarkan pertumbuhan populasi hama tanpa musuh alami dan adanya musuh alami, dengan demikian model dapat dikatakan telah menangkap elemen penting dari interaksi biologis antara populasi. Validasi model dapat disempurnakan lebih lanjut dengan memeriksa out put model dan mengevaluasi lebih lanjut terkait struktur model.


(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum Acerophagus papayae merupakan parasitoid soliter. Namun pada keadaan jumlah inang yang terbatas, parasitoid dapat memperlihatkan superparasitisme. Nimfa instar II kutu putih papaya lebih sesuai bagi kehidupan parasitoid, yang ditunjukkan oleh masa perkembangan pradewasa parasitoid yang lebih singkat dan persentase sintasan yang lebih tinggi. Parasitoid A. papayae memperlihatkan tanggap fungsional tipe II terhadap peningkatan kerapatan inang. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa parasitoid A. papayae memiliki pengaturan populasi inang yang baik di lapang.

Simulasi pemodelan berdasarkan ambang perkembangan KPP merupakan pendekatan pemodelan teoritis inang-parasitoid. Untuk memahami proses dinamika populasi dan perilaku parasitoid A. papayae dalam pengendalian hayati KPP kiranya perlu dilakukan kajian lebih lanjut.


(48)

(49)

(50)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ekologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian-IPB, dan berlangsung sejak Juli sampai Desember 2010.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan yaitu percobaan laboratorium dan dimodelkan secara sederhana dalam sistem dinamik STELLA. A. Percobaan Laboratorium

1. Pembiakan Kutu Putih Pepaya

Gambar 1 (A-B) Pembiakan kutu putih pepaya, (C-D) Tanaman jarak pagar kurkas

Kutu putih pepaya dibiakkan pada tanaman jarak pagar (Jatropa curcas L) (Gamabr 1). Tanaman jarak pagar kurkas diperoleh dari Dramaga dan laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi, IPB. Tanaman jarak pagar ditanam dengan menggunakan stek pada media tanah yang ditempatkan pada polibag berdiameter 15 cm dan pada pot plastik berukuran kecil (diameter 8 cm) (Gambar 1c). Penyiraman dilakukan dua hari sekali. Infestasi kutu putih pepaya (KPP) dilakukan dengan memindahkan kantung telur (ovisac) kutu putih pepaya dari tanaman pepaya dan tanaman jarak pagar kurkas yang terserang KPP ke media pembiakan. Tanaman jarak pagar kurkas ditempatkan dalam kurungan yang terbuat dari kayu/triplek yang pada setiap sisi dindingnya ditutup dengan kain


(1)

Muniappan R,

et al. 2008. First report of papaya mealybug,

Paracoccus

marginatus

(Hemiptera: Pseudococcidae), in Indonesia and India.

J.Agric.Urban Entomol. 25(1):37-40.

Muniappan R. 2010. Invasion of papaya in Asia. IPM CRSP, OIRED, Virginia

Tech, Blacksburg, VA 24060, USA.

Noyes JS, Schauff ME. 2003. New Encyrtidae (Hymenoptera) from papaya

mealybug (Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink)

(Hemiptera: Sternorrhynca: Pseudococcidae). Proc. Entomol. 105 (1) :

180-185.

Quickle DLJ. 1997. Parasitic wasp. London: Chapman & Hall

Rauf A. 2008. Ribuan pohon papaya di Bogor mati diserang hama baru. Institut

Pertanian Bogor.

Rivero A. 2000. The relationship between host selection behaviour and offspring

fitness in koinobiont parasitoid. Ecological Entomology 25:467-472.

Rogers D. 1972. Random search and insect population models. Journal of Animal

Ecology Vol.41:369-383.

SAS Institute. 1998. SAS User’s guide. Version 8.2. SAS Institute NC.

Sequeira R., Mackauer, M. 1993. Variation inselected life-history parameters of

the parasitoid wasp, Aphidius ervi: influence of host developmental stage.

Entomologia Experimentalis et Applicata,71, 15–22.

Spolia SK. 1980. Time varying cascade model for flow forecasting hydrologycal.

IAHS Pub: 129.

Van Baalen. 2000. The evolution of parasitoid egg load. .American Naturalist.

Page : 1-24.

Wajnberg E, Berstein C, van Alpen J. Editor. 2008. Behavioral ecology of insect

parasitoids :

from theoretical approaches to field applications. Blackwell

Publishing Ltd

Walker A, Hoy M, Meyerdirk D. 2003. Papaya mealybug (Paracoccus

marginatus Williams & Granara de Willink) (Hemiptera: Pseudococcidae).

Featured creatures. Entomology and Nematology Departement, Florida

Cooperative Extension Service, Institut of Food and Agricultural Sciences,

University of Florida, Grainesville, FL.

Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992. Mealybugs of central and south

America. Wallingford, Oxon. United Kingdom: CAB International


(2)

Lampiran 1 Hasil analisis SAS tanggap fungsional Tipe II non-random

CATMOD PROCEDURE Response: FATE Response Level s ( R) = 2 Wei ght Var i abl e: NE Popul at i ons ( S) = 47 Dat a Set : Acer ophagus Tot al Fr equency ( N) = 1010 Fr equency Mi ssi ng: 0 Obser vat i ons ( Obs) = 93

MAXI MUM- LI KELI HOOD ANALYSI S- OF- VARI ANCE TABLE Sour ce DF Chi - Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 00 0. 9981 NO 1 17. 39 0. 0000 NO2 1 7. 71 0. 0055 LI KELI HOOD RATI O 44 22. 49 0. 9971

ANALYSI S OF MAXI MUM- LI KELI HOOD ESTI MATES St andar d Chi - Ef f ect Par amet er Est i mat e Er r or Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 000803 0. 3398 0. 00 0. 9981 NO 2 - 0. 1168 0. 0280 17. 39 0. 0000 NO2 3 0. 00136 0. 00049 7. 71 0. 0055

Non- Li near Least Squar es Summar y St at i st i cs Dependent Var i abl e NE

Sour ce DF Sum of Squar es Mean Squar e Regr essi on 2 324. 44562957 162. 22281479 Resi dual 45 59. 55437043 1. 32343045 Uncor r ect ed Tot al 47 384. 00000000

( Cor r ect ed Tot al ) 46 97. 70212766

Par amet er Est i mat e Asympt ot i c Asympt ot i c 95 % St d. Er r or Conf i dence I nt er val Lower Upper A 0. 026419081 0. 00983874130 0. 0066029022 0. 0462352589 TH 6. 364320337 0. 74277802253 4. 8682934243 7. 8603472505 CATMOD PROCEDURE

Response: FATE Response Level s ( R) = 2 Wei ght Var i abl e: NE Popul at i ons ( S) = 47 Dat a Set : Acer ophagus Tot al Fr equency ( N) = 1010 Fr equency Mi ssi ng: 0 Obser vat i ons ( Obs) = 93


(3)

Sour ce DF Chi - Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 00 0. 9981 NO 1 17. 39 0. 0000 NO2 1 7. 71 0. 0055 LI KELI HOOD RATI O 44 22. 49 0. 9971 ANALYSI S OF MAXI MUM- LI KELI HOOD ESTI MATES St andar d Chi -

Ef f ect Par amet er Est i mat e Er r or Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 000803 0. 3398 0. 00 0. 9981 NO 2 - 0. 1168 0. 0280 17. 39 0. 0000 NO2 3 0. 00136 0. 00049 7. 71 0. 0055

Non- Li near Least Squar es Summar y St at i st i cs Dependent Var i abl e NE Sour ce DF Sum of Squar es Mean Squar e

Regr essi on 2 324. 30830929 162. 15415464 Resi dual 45 59. 69169071 1. 32648202 Uncor r ect ed Tot al 47 384. 00000000

( Cor r ect ed Tot al ) 46 97. 70212766

Par amet er Est i mat e Asympt ot i c Asympt ot i c 95 % St d. Er r or Conf i dence I nt er val Lower Upper A 0. 033492714 0. 01491006045 0. 0034624079 0. 0635230210 TH 6. 571029250 0. 74861307070 5. 0632499841 8. 0788085152 CATMOD PROCEDURE Response: FATE Response Level s ( R) = 2 Wei ght Var i abl e: NE Popul at i ons ( S) = 47 Dat a Set : Acer ophagus Tot al Fr equency ( N) = 1010 Fr equency Mi ssi ng: 0 Obser vat i ons ( Obs) = 93

MAXI MUM- LI KELI HOOD ANALYSI S- OF- VARI ANCE TABLE Sour ce DF Chi - Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 00 0. 9981 NO 1 17. 39 0. 0000 NO2 1 7. 71 0. 0055 LI KELI HOOD RATI O 44 22. 49 0. 9971 ANALYSI S OF MAXI MUM- LI KELI HOOD ESTI MATES

St andar d Chi - Ef f ect Par amet er Est i mat e Er r or Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 000803 0. 3398 0. 00 0. 9981 NO 2 - 0. 1168 0. 0280 17. 39 0. 0000 NO2 3 0. 00136 0. 00049 7. 71 0. 0055

Non- Li near Least Squar es Summar y St at i st i cs Dependent Var i abl e NE Sour ce DF Sum of Squar es Mean Squar e


(4)

Regr essi on 2 324. 44562957 162. 22281479 Resi dual 45 59. 55437043 1. 32343045 Uncor r ect ed Tot al 47 384. 00000000

( Cor r ect ed Tot al ) 46 97. 70212766

Par amet er Est i mat e Asympt ot i c Asympt ot i c 95 % St d. Er r or Conf i dence I nt er val Lower Upper A 0. 026419081 0. 00983874130 0. 0066029022 0. 0462352589 TH 6. 364320337 0. 74277802253 4. 8682934243 7. 8603472505 CATMOD PROCEDURE

Response: FATE Response Level s ( R) = 2 Wei ght Var i abl e: NE Popul at i ons ( S) = 47 Dat a Set : Acer ophagus Tot al Fr equency ( N) = 1010 Fr equency Mi ssi ng: 0 Obser vat i ons ( Obs) = 93

MAXI MUM- LI KELI HOOD ANALYSI S- OF- VARI ANCE TABLE Sour ce DF Chi - Squar e Pr ob

- - - I NTERCEPT 1 0. 00 0. 9981 NO 1 17. 39 0. 0000 NO2 1 7. 71 0. 0055 LI KELI HOOD RATI O 44 22. 49 0. 9971 ANALYSI S OF MAXI MUM- LI KELI HOOD ESTI MATES St andar d Chi -

Ef f ect Par amet er Est i mat e Er r or Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 000803 0. 3398 0. 00 0. 9981 NO 2 - 0. 1168 0. 0280 17. 39 0. 0000 NO2 3 0. 00136 0. 00049 7. 71 0. 0055

Non- Li near Least Squar es Summar y St at i st i cs Dependent Var i abl e NE Sour ce DF Sum of Squar es Mean Squar e

Regr essi on 2 324. 30830929 162. 15415464 Resi dual 45 59. 69169071 1. 32648202 Uncor r ect ed Tot al 47 384. 00000000

( Cor r ect ed Tot al ) 46 97. 70212766

Par amet er Est i mat e Asympt ot i c Asympt ot i c 95 % St d. Er r or Conf i dence I nt er val Lower Upper A 0. 033492714 0. 01491006045 0. 0034624079 0. 0635230210 TH 6. 571029250 0. 74861307070 5. 0632499841 8. 0788085152


(5)

Tabel lampiran 2 Hasil analisis SAS tanggap fungsional Tipe II random

CATMOD PROCEDURE Response: FATE Response Level s ( R) = 2 Wei ght Var i abl e: NE Popul at i ons ( S) = 47 Dat a Set : Acer ophagus Tot al Fr equency ( N) = 1010 Fr equency Mi ssi ng: 0 Obser vat i ons ( Obs) = 93 MAXI MUM- LI KELI HOOD ANALYSI S- OF- VARI ANCE TABLE

Sour ce DF Chi - Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 00 0. 9981 NO 1 17. 39 0. 0000 NO2 1 7. 71 0. 0055 LI KELI HOOD RATI O 44 22. 49 0. 9971 ANALYSI S OF MAXI MUM- LI KELI HOOD ESTI MATES St andar d Chi -

Ef f ect Par amet er Est i mat e Er r or Squar e Pr ob - - - I NTERCEPT 1 0. 000803 0. 3398 0. 00 0. 9981 NO 2 - 0. 1168 0. 0280 17. 39 0. 0000 NO2 3 0. 00136 0. 00049 7. 71 0. 0055 Non- Li near Least Squar es Summar y St at i st i cs

Dependent Var i abl e NE Sour ce DF Sum of Squar es Mean Squar e

Regr essi on 2 324. 30830929 162. 15415464 Resi dual 45 59. 69169071 1. 32648202 Uncor r ect ed Tot al 47 384. 00000000

( Cor r ect ed Tot al ) 46 97. 70212766

Par amet er Est i mat e Asympt ot i c Asympt ot i c 95 % St d. Er r or Conf i dence I nt er val Lower Upper A 0. 033492714 0. 01491006045 0. 0034624079 0. 0635230210 TH 6. 571029250 0. 74861307070 5. 0632499841 8. 0788085152


(6)

Lampiran 3 Hasil pengumpulan mumi (Oktober 2010-Pebruari 2011)

Bulan

Waktu

No. Sampel

(pohon)

∑ Mum

i

O

k

to

b

er

Minggu I

1

86

2

66

3

46

Minggu IV

4

56

5

140

6

45

N

o

p

em

b

er

Minggu IV

7

56

8

140

D

es

em

b

er

20/12/2010

9

13

P

eb

ru

ar

i

19/02/2011

10

340

20/02/2011

11

364

20/02/2011

12

164

20/02/2011

13

64

21/02/2011

14

49

24/02/2011

15

54

Total mumi

1683