Analisis Hubungan Pemberian Imunisasi BCG dan Campak serta Konsumsi Pangan dengan Status Gizi Balita di Jawa Barat

2

ABSTRACT
YOSEPIN MARGARET SARAGIH. The Analysis Relation of Immunisation BCG
and Campak while Food Consumpsion to Nutritional Status of Children Under
Five Years of Age in West Java. Under direction of HIDAYAT SYARIEF and
VERA URIPI.
Rapid growth and development childrens is established at under five
years of age. Riskesdas (basic health research) 2007-2010, prevalence of
underweight, stunting and wasting decreased slightly during three years. The
prevalence in West Java was under the national prevelence but it considered a
public health problem. This study was aimed to analysis relation of immunisation
BCG and Campak while food comsumption to nutritional status of children under
five years of age in West Java.The crossectional study was applied in this
research. Data collected from West Java (limited to Bandung, Cirebon, and Garut
District) through Riskesdas 2007 (Basic Health Research 2007) had been used
for study. In this study weight-for-age (WAZ), height-for-age (HAZ), and weightfor-height (WHZ) were used as indicators of nutritional status of children under
five years of age. Data was analyzed using Microsoft Exel 2007 for windows and
Statistical Program for Social Science (SPSS) 17.0. Data include the
characteristics of sample’s families (family size, parental education, parental
employment, and household outcome); the characteristics of children (sex, age,

weight, and height); consumption (household and children); children
immunisation (BCG and Campak), children infection disease (TB paru and
Campak). Multiple linear regression test showed that the nutritional status of
children under five year of age measured by weight-for-age (WAZ) indicator in
Bandung District was affected by energy consumpsion (R2= 0.040), in Cirebon
District by household expenditure (R2= 0.040), in Garut District by protein
consumpsion (R2= 0.046), while in all three district by Campak immunisation (R2=
0.013). Measured by weight-for-height (WHZ) indicators, the nutritional status in
Bandung District was affected by energy consumpsion (R2= 0.073), in Garut
District by protein consumpsion (R2= 0.048) and BCG immunisation (R2= 0.024),
while in all three by Campak immunisation (R2= 0.011) and household
expenditure (R2= 0.017)
Keywords: immunisation, food consumpsion, nutritional status, under five years
of age children

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan nasional bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya

manusia secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Kunci pembangunan di
negara berkembang termasuk Indonesia adalah sumberdaya manusia (SDM).
Manusia yang yang berkualitas menentukan keberhasilan pembangunan.
Menurut Soekirman (2000), Investasi pembangunan tidak hanya terbatas pada
sarana dan prasarana ekonomi untuk pembangunan industri, jalan, jembatan,
pembangkit listrik, irigasi, dan sejenisnya. Pembangunan ekonomi dapat
bermanfaat bagi setiap masyarakat dalam suatu bangsa apabila masyarakat
tersebut dapat hidup sejahtera. Sesuai dengan Deklarasi universal PPB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang Hak Azasi Manusia tahun 1948, untuk
dapat hidup sejahtera setiap orang berhak untuk memperoleh kesehatan yang
baik dan pangan yang cukup sehingga terbebas dari kelaparan dan kurang gizi.
Kurang gizi lebih beresiko dialami oleh anak-anak dibandingkan dengan dewasa.
Berdasarkan hipotesis Barker, bayi dan balita yang kurang gizi sel-sel organ
tubuh

tertentu telah terprogram sedemikian rupa sehingga menyimpang dari

“cetak biru” dalam gen sehingga berpengaruh negatif pada usia dewasa. Kualitas
sumber daya manusia ditentukan oleh keberhasilan tumbuh kembang pada
masa kanak-kanak (Depkes 2000). Anak yang bergizi baik menjadi aset dan

investasi sumber daya manusia (SDM) yang baik pula di masa yang akan
datang.
Pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia di bawah lima tahun
(Balita) sangat pesat, sehingga sangat penting meletakkan dasar-dasar
kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang. Untuk itu
pada masa ini memerlukan perawatan, pemeliharaan kesehatan, pemenuhan
makanan bergizi, dan pemberian rangsangan yang mendorong perkembangan
anak (Unicef 2002). Anak yang kurang gizi maka sumber daya manusia (SDM)
ke depannya juga akan sangat rendah.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur status gizi
secara langsung yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Pengukuran
antropometri adalah yang relatif paling sederhana dan banyak dilakukan.
Berdasarkan antropometri, status gizi kurang pada Balita terdiri atas underweight
(BB/U), stunting/pendek (TB/U), dan wasting/kekurusan (BB/TB).

2

Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2007
prevalensi undeweight nasional adalah sebesar 18,4%, sedangkan pada tahun
2010 prevalensi underweight nasional sebesar 17,9%. Terjadi penurunan

prevalensi underweight dalam kurun waktu tersebut, namun penurunan tersebut
masih sangat kecil. Dalam kurun waktu 3 tahun prevalensi underweight nasional
hanya menurun 0,5%. Prevalensi nasional stunting (sangat pendek dan pendek)
tahun 2007 adalah sebesar 36,8%, sedangkan tahun 2010 menjadi 35,6%, turun
sebesar 1,2% selama kurun waktu 3 tahun. Prevalensi wasting nasional tahun
2007 adalah 13,6%, sedangkan pada tahun 2010 prevalensi wasting nasional
menjadi 13,3%, turun sebesar 0,3% dalam kurun waktu 3 tahun.
Berdasarkan Risksdas 2007, keadaan status gizi di Jawa Barat yaitu,
prevalensi underweight, stunting, dan wasting berturut-turut adalah 15%, 35,4%,
dan 9%. Prevalensi status gizi Jawa Barat berada di bawah prevalensi status gizi
nasional. Namun Berdasarkan departemen kesehatan ambang batas batas
masalah gizi dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat yaitu prevalensi
underweight menjadi masalah jika > 10%, prevalensi stunting jika > 20%, dan
prevalensi wasting jika > 5%. Sehingga baik di tingkat nasional dan di Jawa Barat
status gizi underweight, stunting, dan wasting masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat.
Tingginya prevalenzi gizi kurang dan buruk anak Balita dipengaruhi oleh
tiga faktor utama, yaitu buruknya kualitas dan kuantitas konsumsi pangan
sebagai akibat masih rendahnya ketahanan pangan keluarga, buruknya pola
asuh dan rendahnya akses pada fasilitas kesehatan (Martianto et al 2008).

kelompok balita (bawah lima tahun) rentan terhadap penyakit kurang
energi protein, defisiensi vitamin A, dan anemia (karena defisiensi Fe). Hal ini
disebabkan karena

kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya

kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat dan kesehatan lainnya,
karena balita tergantung pada orang dewasa, sedangkan orang dewasa
kebanyakan sibuk bekerja (Sediaoetama 2006).
Salah satu kegiatan yang dilakukan di pelayanan kesehatan adalah
imunisasi. Imunisasi adalah suatu usaha memberikan kekebalan tubuh bayi dan
anak terhadap penyakit tertentu, sedangkan vaksin adalah kuman atau racun
kuman yang dimasukkan kedalam tubuh bayi/anak yang disebut antigen.
Imunisasi berhubungan dengan peningkatan angka kesehatan balita. Balita yang
tidak diimunisasi akan lebih rentan terhadap kesakitan dan kematian. (Depkes

3

2010). Balita yang telah diimunisasi daya tahan tubuhnya lebih kebal terhadap
penyakit infeksi dibandingkan dengan Balita yang tidak diimunisasi.

Konsumsi pangan balita akan mempengaruhi status gizinya, karena
konsumsi pangan yang kurang mengakibatkan status gizi Balita yang kurang
juga. Menurut Khomsan (2002) anak-anak yang menderita gizi kurang
berpenampilan

lebih

pendek

dengan

bobot badan

yang

lebih

rendah

dibandingkan rekan-rekan sebayanya yang sehat dan bergizi baik.

Mengkaji mengenai pelayanan kesehatan (imunisasi) dan konsumsi
pangan balita dan faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut sangat
diperlukan, sehingga diharapkan

prevalensi gizi kurang (yang meliputi

underweight, stunting, wasting) di Jawa Barat tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat untuk kedepannya.
Tujuan
Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pemberian imunisasi BCG dan Campak serta
konsumsi balita dengan status gizi balita di Jawa Barat.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik kelurga meliputi besar keluarga, pendidikan,
pekerjaan, dan pengeluaran RT per kapita

di Kabupaten Bandung,

Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Garut.
2. Mengetahui karakteristik contoh meliputi jenis kelamin, umur, berat badan,

dan tinggi badan di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, dan
Kabupaten Garut.
3. Mengidentifikasi status gizi contoh berdasarkan indikator BB/TB, BB/U, dan
TB/U di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Garut.
4. Mengetahui praktek pemberian imunisasi dan penyakit infeksi pada Balita di
Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Garut.
5. Mengetahui konsumsi pangan keluarga dan konsumsi pangan Balita di
Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Garut.
6. Mengetahui

faktor-faktor

yang

berpengaruh

terhadap

masalah


gizi

berdasarkan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB di Kabupaten Bandung,
Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Garut.

4

Hipotesis
Beberapa hipotesis yang diajukan antara lain:
1. Pemberian

imunisasi

BCG

pada

balita

akan


menyebabkan

prevalensi

underweight, stunting, dan wasting pada balita semakin rendah.
2. Pemberian imunisasi Campak pada balita akan menyebabkan prevalensi
underweight, stunting, dan wasting pada balita semakin rendah.
3. Semakin tinggi jumlah konsumsi energi balita, prevalensi underweight, stunting,
dan wasting pada balita semakin rendah.
4. Semakin tinggi jumlah konsumsi energi protein, prevalensi underweight, stunting,
dan wasting pada balita semakin rendah.
5. Semakin tinggi pengeluaran RT (rumah tangga) per kapita, prevalensi
underweight, stunting, dan wasting pada balita semakin rendah.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai
prevalensi masalah underweight, stunting, dan wasting di Jawa Barat. Penelitian
ini juga dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah dan pihak terkait untuk
menetapkankan program-program yang diperioritaskan untuk menanggulangi
masalah underweight, stunting, dan wasting di Jawa Barat untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Balita
Balita (bawah lima tahun) merupakan salah satu periode usia manusia
setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia Balita dimulai dari 1-5 tahun, atau
bisa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-60 bulan (Suparyanto 2011).
Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam
pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa
balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran
sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan
landasan perkembangan berikutnya (Supartini 2004).
Kebutuhan nutritien tertinggi per kg berat badan dalam siklus daur
kehidupan adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam
pertumbuhan dan metabolisme terjadi pada masa ini. Periode selanjutnya pada
anak-anak pertumbuhan berjalan melambat dan tidak menentu. Menurut Arisman
(2004), jika dihitung dari saat kelahiran, berat bayi akan bertambah dua kali lipat
pada bulan IV (empat) dari 3,2 kg menjadi 6,4 kg. Setelah itu pertumbuhan akan
sedikit melambat. Berat badan bayi hanya akan bertambah sebanyak 2,3 kg
setahun. Keterlambatan ini berlangsung sampai usia remaja. Setelah itu berat
badan akan bertambah secara mencengangkan. Meskipun tidak sedramatis
berat, tinggi badan juga bertambah dari hanya 50 cm ketika lahir menjadi 75 cm
setelah berusia 1 tahun. Tahun ke-2 kehidupan, tinggi badan hanya bertambah
12-13 cm, untuk seterusnya semakin lambat hingga mencapai usia remaja. Pada
saat itu tinggi badan akan bertambah sebanyak 16-20 cm selama 2-2,5 tahun.
Dukungan gizi sangat berarti, karena dengan gizi sesuai kebutuhan,
pertumbuhan fisik dan perkembangan dini membentuk dasar kehidupan yang
sehat dan produktif. Tahun pertama setelah lahir merupakan salah satu
perubahan besar yang dialami bayi. Pada masa ini pertumbuhanya lebih cepat
dibandingkan fase lainnya dalam daur kehidupan, imaturitas dari organ-organ
tubuh dan kemampuannya dalam menyerap nutrien dari ASI, perilaku makan
yang berkembang tahap demi tahap, sehingga masukan gizi pada masa ini harus
diperhatikan (Fakultas Kesehatan Masyarakat UI 2009).

6

Imunisasi
Imunitas terjadi karena tubuh dimasuki oleh suatu antigen baik berupa
bakteri, virus ataupun toxin, tubuh akan bereaksi dengan membuat antibody atau
anti-toxin dalam jumlah yang berlebihan, sehingga setelah tubuh selesai
menghadapi serangan antigen ini, di dalam serummnya masih terdapat zat anti
yang dapat dipakai untuk melawan serangan antigen yang sama (Enjang 1985).
Pertahanan tubuh meliputi pertahanan non spesifik dan spesifik. Proses
pertahanan dalam tubuh pertama kali adalah pertahanan non spesifik seperti
complemen dan macrophage. Complemen dan macrophage akan bereaksi
pertama kali ketika kuman masuk kedalam tubuh. Setelah itu kuman harus
melawan pertahanan tubuh yang kedua, yaitu pertahanan tubuh spesifik yang
terdiri dari sistem humoral dan celluler. Sistem pertahanan tersebut hanya
bereakai terhadap kuman yang mirip dengan bentuknya. Sistem pertahanan
humoral menghasilkan zat yang disebut imunoglobulin (Ig A, Ig M, Ig G, Ig D),
sedangkan sistem pertahanan celluler terdiri dari Lymphocyt dan Lymphocyt T.
Pertahanan spesifikakan menghasilakan satu cell yang disebut sell memory. Sel
ini berguna dan sangat cepat bereaksi apabila kuman sudah pernah masuk
kedalam tubuh. Kondisi inilah yang digunakan dalam prinsip imunisasi (Hidayat
AAA 2004).
Berdasarkan cara diperolehnya zat anti tersebut, kekebalan dibagi dalam
kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang
diperoleh dimana tubuh orang tersebut aktif membuat zat anti sendiri.
Sedangkan kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh karena orang
tersebut mendapatkan zat anti dari luar (Enjang 1985).
Imunisasi adalah salah satu cara untuk menangkal penyakit-penyakit
berat yang terkadang belum ada obat untuk menyembuhkannya. Imunisasi
umumnya diberikan kepada anak-anak Balita (usia di bawah lima tahun).
Imunisasi dilakukan dengan memberikan vaksin yang merupakan bibit penyakit
yang telah dibuat lemah kapada seseorang agar tubuh dapat membuat antibodi
sendiri terhadap bibit penyakit kuat yang sama. Berdasarkan Depkes (2009)
imunisasi dasar lengkap adalah pemberian 5 vaksin imunisasi sesuai jadwal
yang telah ditentukan untuk bayi dibawah 1 tahun.
Jadwal pemberian lima imunisasi dasar lengkap dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:

7

Tabel 1 Jumlah, Interval, dan waktu pemberian imunisasi
Vaksin

Jumlah
interval
pemberian
BCG
1 kali
DPT
3 kali
4 minggu
Hepatitis B
3 kali
4 minggu
Polio
4 kali
4 minggu
Campak
1 kali
(sumber: Depkes 2000 dalam Hidayat AAA 2004)

Waktu
pemberian
0 – 11 bulan
2 – 11 bulan
0 – 11 bulan
0 – 11 bulan
9 – 11 bulan

Imunisasi BCG (Bacille Calmette Guerin)
Imunisasi BCG digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC
(Tuberculosis). Imunisasi BCG merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC
yang telah dilemahkan. Pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan diberikan
pada umur 0-11 bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada bayi umur 2
atau 3 bulan (Hidayat AAA 2004).
Penyuntikan vaksin BCG sering menimbulkan efek bekas berupa
benjolan seperti bisul. Benjolan seringkali terdapat di tempat suntikan atau di
daerah kelenjar yang bereaksi, misalnya di ketiak atau selangkangan. Benjolan
tersebut menunjukkan suatu reaksi kekebalan, artinya respon imunitasnya baik
(Indiarti 2007).
Imunisasi Campak
Imunisasi Campak yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit
campak pada anak karena penyakit ini sangat menular. Kandungan vaksin
campak adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi Campak
adalah satu kali. Waktu pemberian imunisasi Campak pada umur 9-11 bulan
(Hidayat AAA 2004).
Menurut Kurniasih (2005) dalam Indiarti (2007), vaksin campak tergolong
ringan sekali dan tidak ada efeknya. Namun seringkali setelah 1 minggu, badan
agak hangat dan diare. Vaksin imunisasi merupakan virus yang hidup, tetapi
dilemahkan. Anak yang sudah mendapat imunisasi diharapkan tidak terkena
campak karena sudah ada imunnya. Apabila terkena campak makan tidak
sampai berat.
Penyakit Infeksi
Masa kanak-kanak terutama saat Balita (bayi di bawah lima tahun)
merupakan masa-masa rentan terkena berbagai macam penyakit. Dalam
keadaan

gizi

yang

baik,

tubuh

mempunyai

cukup

kemampuan

untuk

mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk
maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun, ini berarti kemampun tubuh untuk

8

mempertahankan diri tehadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu
setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan
merupakan tanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit
infeksi (Moehyi 2001).
TBC (Tuberculosis)
TBC (Tuberculosis) disebabkan oleh basil tuberculosis yang disebut
Mycrobacterium tuberculosis. Gejala adanya TBC pada anak yang harus
dicurigai adalah:
1. Demam yang berkepanjangan
2. Demam tidak turun-turun meski sudah diobati berbagai macam obat
3. Suhu badan berkisar antara 38-390C
4. Nafsu makan anak berkurang
5. Anak tampak kurus, lesu, dan tak bergairah
6. Ada kalanya dibarengin batuk
Akibat langsung TBC pada anak adalah berat-badan tidak naik meskipun
konsumsi makan anak baik dan bergizi. Bahkan berat badan cenderung
menurun. Gejala lain yang mungkin timbul adalah diare kronis. Diare memang
tak tergolong berat, tetapi berlangsung terus-menerus dan tak bisa diobati
dengan obat diare biasa.
TBC pada orang dewasa (TBC postprimer) terlokalisasi di paru-paru. Tubuh
orang dewasa telah memiliki kekebalan, sehingga basil TBC yang masuk hanya
terlokalisasi di paru-paru. Pada anak-anak selain di paru-paru, penyebarannya
terjadi di seluruh tubuh. Hal ini terjadi karena belum ada kekebalan alami dari
tubuh saat basil TBC jenis primer masuk ke paru-paru. Akibatnya basil tidak
hanya tinggal diam di paru-paru melainkan menyebar melalui saluran limfa ke
kelenjar dan masuk ke aliran darah, kemudian masuk ke seluruh tubuh. Oleh
karena itu, sering ditemukan TBC tulang, TBC hati dan limfa, serta TBC selaput
otak atau meningitis.
Basil TBC nyaman untuk hidup dan berkembang di tempat-tempat seperti
rumah dengan udara kurang didalammnya, tidak ada ventilasi dan kurangnya
sirkulasi udara, tidak ada sinar matahari, serta di perumahan yang padat. Untuk
mengetahui ada tidaknya TBC pada anak dilakukan uji Mantoux. Tes ini
dilakukan dengan menyuntikkan zat tuberculin. Penyuntikan ini dilakukan pada
kulit, tanpa terlalu dalam supaya reaksinya dapat terlihat. Reaksinya berupa
warna merah pada kulit dan agak keras menonjol. Apabila hasilnya positif maka

9

menunjukkan adanya infeksi. Tes dilanjutkan dengan foto rontge paru-paru untuk
menemukan ada tidaknya TBC aktif (Indiarti 2007).
Penyakit Campak
Penyakit campak muncul kira-kira setelah 10-12 hari bayi berhubungan
dengan dengan penderita. Penyakit campak ialah virus yang terbawa oleh angin
dan terhisap oleh bayi. Gejala penyakit campak adalah timbulnya bercak-bercak
merah yang awalnya terlihat di belakang telingan, lama-lama menyebar ke
wajah, badan, lalu ke anggota tubuh lainnya. Bercak-bercak tersebut pada
awalnya berwarna merah muda, kemudian berubah menjadi merah seperti
beludru di atas kulit. Bercak mula-mula kecil lalu melebar. Ketika bercak-bercak
mulai timbul, panas badan akan menjadi tinggi sekali mencapai 400C, tetapi
ketika semua bercak telah keluar panas mulai menurun. Bercak-bercak merah
yang berubah menjadi kehitam-hitaman menandakan bahwa anak telah sembuh
betul.
Penyakit campak sendiri tidak begitu berbahaya, tetapi akan menjadi
sangat berbahaya bila terjai komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adalah
pneumonia, telingan bernanah, bronkhitis, diare dan lainnya. Tanda-tanda terjadi
komplikasi adalah setelah semua bercak-bercak merah keluar maka suhu tubuh
anak tetap panas.
Menurut Kurnasih (2005) dalam Indiarti (2007), komplikasi bisa terjadi
karena virus Mobili dan menyebar melalui aliran darah ke mana-mana. Selain ke
kulit penyebarannya bisa ke selaput ledir hidung, mulut, dan pencernaan.
Bahkan bila virus masuk ke daerah otak, bisa menimbulkan kejang-kejang dan
kesadaran menurun. Apabila penyebaran virus ke saluran pencernaan, dapat
menimbulkan diare dan muntah-muntah sehingga anak kekurangan cairan atau
dehidrasi. Sariawan akan membuatnya perih dan malas makan. Pada umumnya
campak yang berat terjadi pada anak yang gizinya kurang bagus.
Bayi umur 0-8 bulan memiliki kekebalan terhadap campak yang didapat
dari ibunnya. Anak yang memiliki kekebalan tubuh tinggi, sekali terkena campak
maka akan kebal seumur hidup. Anak yang memiliki kekebalan tubuh rendah
masih dapat terkena campak kembali. Pengobatan campak dilakukan untuk
mengobati gejalannya. Penyebab campak adalah virus sehingga pengobatan
bukan untuk mematikan virusnya karena begitu gejalanya timbul virusnya sudah
tidak ada (Indiarti 2007).

10

Konsumsi pangan
Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal ataupun
beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan
pemenuhan fisiologis, psikologi, dan sosiologi. Menurut Hardinsyah dan
Martianto (1992), konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan
jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu
tertentu. Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlalah
maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Meningkatnya jumlah dan konsumsi
makanan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang makanan
yang bergizi, perubahan sikap, dan tingkah laku sehari-hari dalam menentukan,
memilih, dan mengkonsumsi makanan.
Faktor-fakor

yang

mempengaruhi

konsumsi

pangan

seseorang

aksesbilitas, kebiasaan makan, pola mengkonsumsi pangan, pembagian makan
dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang
baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat
terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat
gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari
konsumsi pangan (Hardiansyah dan Martianto 1992).
Anak balita merupakan golongan yang berada pada masa pertumbuhan
yang pesat. Anak balita membutuhkan asupan gizi yang cukup, baik dari segi
kualitas maupun kuantitasnya. Dalam mengkonsumsi pangan, anak balita sangat
tergantung pada konsumsi pangan keluarga. Kekurangan konsumsi pangan di
tingkat keluarga akan dapat menurunkan asupan gizi anak balita. Hal ini ditandai
dengan

menurunnya

kemampuan

fisik;

terganggungnya

pertumbuhan,

perkembangan, dan kemampuan berfikir; serta adanya kesakitan dan kematian
yang tinggi (Winarno 1987).
Menurut Khumadi (1989), kecukupan pangan manusia dapat diukur
secara kualitatif dan kuantitatif. Ukuran kualitatif antara lain meliputi nilai sosial
beragam jenis pangan dan nilai cita rasa, sedangkan secara kuantitatif yang
umum dipergunakan adalah kandungan zat gizi. Banyak sekali ragam zat gizi
yang dipergunakan oleh tubuh yang terdiri dari enam kelompok besar, yaitu:
karbohidrat, protein, lemak (minyak), garam mineral, vitamin, dan air. Pola makan
di masyarakat menunjukkan bahwa besarnya nilai energi adalah berbanding
lurus dengan besarnya porsi menu.

11

Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur
keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk
mengukur status gizi. Penilaian konsumsi pangan dapat dipakai untuk
menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang berasal dari pangan yang dimakan
(Riyadi et

al.

1990). Survei konsumsi pangan

tingkat individu

dapat

menggunakan metode-metode penimbangan, food recall, riwayat makan,
frekuensi makan, dan metode kombinasi.
Menurut Sediaoetama (2000) metode food recall merupakan metode
yang sering dipakai unuk penelitian konsumsi pangan. Metode food recall pada
dasarnya

adalah

metode

yang menggunakan

teknik

wawancara,

yaitu

pewawancara menanyakan apa yang dikonsumsi oleh responden dan data
seperti tanggal, waktu, dan porsi setiap kali makan dicatat secara teliti. Prinsip
metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam hal ini
responden diminta untuk menceritakan semua yang dimakan dan diminum
selama 24 jam yang lalu kemarin (Supariasa et al. 2002).
Energi
Energi diperlikan manusia untuk bergerak atau melakukan pekerjan fisik dan juga
menggerakkan proses-proses dalam tubuh seperti sirkulasi darah, denyut
jantung, pernafasan, pencernaan, dan proses-proses fisiologi lainnya (Suhardjo
dan Kusharto 1989). Besar kecinya kosumsi energi selama masa pertumbuhan
awal sangat penting, karena pada saat itu sel-sel berbagai organ tubuh
melakukakan

pembelahan

sel

dengan

pesat.

Konsumsi

energi

dapat

mempengaruhi bahkan mengubah laju pembelahan sel tersebut. Akibibatnya
organ tubuh dapat mempunyai sel-sel yang lebih sedikit atau lebih banyak
daripada yang diharapkan terjadi secara normal. Bayi yang tidak mendapat gizi
cukup baik akan mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan
terganggunya pembelahan sel di otak. Konsekuensinya jumlah sel dalam
otaknya lebih sedikit. Sebaliknya bayi yang terlalu baik gizinya (kegemukan)
khususnya karena jumlah kalori yang diterima terlalu tinggi, akan dapat
mempercepat laju pembelahan tenunan lemak. Akibatnya terjadi penimbunan
lemak yang terlalu banyak dan permanaen (Winarno 1995).
Energi dipasok terutama oleh karbohidrat dan lemak. Protein juga bisa
digunakan sebagai sumber energi, terutama bila sumber lain sangat terbatas.
Cara terbaik mengamati apakah kebutuhan energi anak tercukupi adalah dengan

12

mengamati pola pertumbuhan yang meliputi berat badan dan tinggi badan,
lingkar kepala, kesehatan dan kepuasan bayi (Arisman 2002)
Protein
Proses pencernaan protein, protein akan dipecah menjadi satuan-satuan
dasar kimia, kemudian diserap dan dibawa oleh aliran darah ke seluruh tubuh,
dimana sel-sel jaringan mempunyai kemampuan untuk mengambil asam amino
yang diperlukan untuk kebutuhan membangun dan memelihara kesehatan
jaringan. Dalam membentuk protein jaringan dibutuhkan sejumlah asam-sama
amino dan tergantung pada macam asam amino sesuai dengan jaringan yang
akan dibentuk. Asam-asam amino ini didapat dari makanan sesudah diserap
melalui darah dan sebagian disintesa dalam tubuh atau merupakan hasil
katabolisme/perombakan dari protein jaringan yang sudah aus/rusak.
Fungsi protein adalah untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh,
pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air,
memelihara netralitas tubuh,pembentukan antibodi, mengangkut zat gizi, dan
sebagai sumber energi. Kebutuhan asam amino dan protein dapat ditentukan
melalui tiga cara. Untuk bayi baru lahir hingga umur 4-6 bulan jumlah protein dan
pola asam amino di dalam air susu ibu/ASI yang berasal dari ibu yang sehat dan
dalam keadaan gizi baik dianggap cukup untuk memungkinkan pertumbuhan
optimal. Untuk anak-anak digunakan metode faktorial, yaitu dengan menghitung
kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh dengan cara keseimbangan nitrogen
ditambah perkiraan kebutuhan untuk kebutuhan (Almatsier 2001).
Tabel 2 Tabel kecukupan protein Balita
Kelompok umur
AKP (nilai PST) gram/kg BB
(tahun)
Laki-laki
Perempuan
0 - 0.5
1.86 (85% dari ASI) 1.86 (85 % dari ASI)
0.5 – 2
1.39 (85% dari ASI) 1.39 (85% dari ASI)
4–5
1.08
1.08
Sumber: FAO/WHO/UNU, 1985
*PST: protein setara telur

Kekurangan Energi Protein
Defesiensi protein hampir selalu bergandengan dengan defisiensi energi.
Asosiasi kedua penyakit ini dapat dipahami melalui berbagai hubungan antara
protein dan energi (kalori). Hubungan metabolisme antara energi dan protein,
yaitu bahwa protein merupakan salah satu penghasil energi utama. Apabila
energi kurang cukup dalam hidangan, maka protein akan banyak dikatabolisme

13

menjadi energi. Hal ini menyebabkan energi untuk keperluan lain menjadi
kurang, termasuk untuk sintesa protein dalam tubuh.
Defesiensi kalori yang terjadi secara ekstrim dengan protein yang relatif
mencukupi disebut marasmus. Sebaliknya defisiensi protein yang secara ekstrim
dengan kalori yang relatif mencukupi disebut kwashiorkor (sediaoetama 2008).
Marasmus biasanya terjadi pada usia setahun pertama. Bayi yang menderita
marasmus biasannya kecil, kurus, kurang berat, dan wajahnya kelihatan tua.
Kepalannya tambak membesar tidak sesuai dengan umurnya. Bayi atau anak
tersebut bersifat malas, apatis, dan sangat peka. Bayi biasannya terbaring diam
di tempat tidur, hampir sama sekali tidak bereaksi tetapi tiba-tiba menjadi terlalu
aktif bila disentuh atau atau dipindahkan atau digerakkan. Biasannya terjadi diare
hebat, yang dapat mengakibatkan tidak adanya keseimbangan elektrolit dan bayi
menderita hipoglikemia (kadar glikogen dalam darah rendah). Pasien yang
menderita marasmus biasannya telah kehabisan cadangan pangannya. Tidak
ada lagi glikogen yang tinggal dalam hati, lemak di bawah kulit, dan yang
terdapat dalam rongga badan telah habis, otot-otot mengalami atrofi (berhenti
bertumbuh). Semua parameter antropometri menurun, demikian juga rasio berat
badan dan tingginya (Winarno 1995).
Kwashiorkor merupakan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan
protein. Banyak ditemukan pada anak anatara 6 bulan sampai 4 tahun. Beberapa
diantarannya bahkan terjadi pada usia kurang dari 6 bulan. Gejala utama dari
kwashiorkor adalah pertumbuhan terhalang; badan, tangan, kaki serta wajah
membengkak; wajah tampak bengong dengan pandangan kosong; tidak aktif dan
sering menangis; rambut berwarna lebih muda atau mencoklat sepeti tembaga;
perut buncit; serta kaki kurus dan bengkak. Karena adannya pembengkakan,
maka penurunan berat tidak terjadi, tetapi pertambahan gizi terhambat.
Lingkaran kepala mengalami penurunan, meskipun lebih rendah daripada yang
terjadi pada marasmus (Winarno 1995). Jika gejala edema dan pelisutan berat
terjadi bersama-sama dinamakan kwashiorkor-marasmik dan kwasiorkor–
marasmik lebih buruk daripada marasmus atau kwashiorkor saja (Manary dan
Solomons 2004).
Pada orang dewasa KEP (kekurangan energi protein) menyebabkan
penurunkan produktivitas kerja dan derajat kesehatan sehingga menyebabkan
rentan terhadap penyakit. Status gizi Balita dapat diklasifikasikan dalam gizi
buruk, gizi kurang, dan gizi baik (Almatsier 2006).

14

Kurang energi protein (KEP) terutama diderita oleh anak-anak yang
sedang tumbuh pesat, yaitu kelompok anak Balita. Masalah gizi ini diakibatkan
karena

susunan

hidangan

yang

tidak

seimbang

maupun

konsumsi

keseluruhannya yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Gejala subjektif yang
terutama di derita adalah perasaan lapar, masalah gizi disini disebut juga
keadaan gizi lapar (undernutrition) (Sediaoetama 2006)
Antropometri
Penilaian status gizi berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang atau
sekelompok orang mempunyai gizi yang baik atau tidak, beberapa cara yang
dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan,
antropometri, biokimia dan klinis. Antropometri artinya ukuran tubuh manusia.
Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
berbagai tingkat umur. Penilaian secara antropometri meliputi ukuran-ukuran
organ dan tubuh secara keseluruhan seperti berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di
bawah kulit (Riyadi dalam Sukandar 2007).
Indeks BB/U (underweight)
Berat badan menurut umur (BB/U) dipengaruhi oleh tinggi badan anak
(TB/U) dan berat badannya (BB/TB). Berat badan menurut umur (BB/U)
dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi

tinggi badan

menurut umur (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.
Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan intrepetasi status gizi yang salah
(Riyadi 2003 dalam Sukandar 2007).
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi
gambaran massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap
perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi,
penurunan nafsu makan atau penurunan makanan yang dikonsumsi sehingga
berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Sifat berat badan
yang sangat labil tersebut sehingga indeks BB/U lebih menggambarkan status
gizi saat ini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan
overweight (Supariasa et al 2001)
Penggunaan indeks BB/U memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
indeks BB/U adalah: (1) dapat lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum,
(2) sensitif untuk dapat melihat status gizi jangka pendek, (3) dapat mendeteksi

15

kelebihan berat badan (overweight), (3) pengukuran objektif dan kalau diulang
memberikan hasil yang sama, peralatan dapat dibawa kemana-mana dan relatif
murah, (4) pengukuran mudah dilaksanakan dan teliti, (5) pengukuran tidak
memakan banyak waktu. Sedangkan kekurangannya adalah : (1) dapat
mengakibatkan kekeliruan intrepretasi status gizi bila terdapat oedema, (2)
memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok umur di bawah
lima tahun, (3) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran seperti pengaruh baju
atau gerakan pada saat penimbangan, (4) secara operasional sering mengalami
hambatan karena sosial budaya setempat (misalnya orang tua tidak mau
menimbang anaknya (Riyadi dalam Sukandar 2007).
Indeks TB/U (Stunting)
Defisit tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan ketidakcukupan
gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Tinggi badan
mencerminkan skeletal yang bertambah sesuai dengan bertambahnya umur dan
tidak peka terhadap perubahan sesaat. Oleh karena itu, indeks TB/U lebih
banyak menggambarkan keadaan gizi seseorang pada masa lalu. Istilah kurang
gizi yang biasa digunakan untuk TB/U adalah stunting (sangat pendek dan
pendek) dengan z-skor -2 SD.
TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena
merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik. Kondisi ini
merupakan akibat asupan makanan yang tidak cukup yang berlangsung lama
dan tingginya morbiditas dan biasannya terdapat di negara-negara dengan
kondisi sosial ekonomi yang buruk. Nilai stunting rate terendah terdapat pada
anak setelah 6 bulan. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan nutrisi pada umur 4-6
bulan masih dapat dipenuhi dari air susu ibu. Gangguan pertumbuhan dimulai
sejak anak berumur 6 bulan, karena sejak saat itu diberikan makanan
pendamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya dan tidak akan terpenuhi
jika pada saat krisis ekonomi (Adisasminto 2008).
Menurut Supariasa et al indeks TB/U memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan indeks TB/U adalah (1) baik untuk menilai status gizi masa lampau; (2)
ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawanya. Sedangkan
kekurangan indeks TB/U ini adalah (1) tinggi badan tidak cepat naik, bahkan
tidak mungkin turun; (2) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus
berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya; (3) ketepatan
umur sulit di dapat.

16

Indeks BB/TB (wasting)
Berat badan menurut umur (BB/TB) dianggap tidak informatif bila tidak
disertai dengan informasi

tinggi badan menurut umur (TB/U). Berat badan

menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Tinggi
badan merupakan parameter penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan
sekarang, jika umur tidak diketahui secara tepat (Suparisa et all 2001).
Berat

badan

mempunyai

hubungan

linear

dengan

tinggi

badan.

Perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan
dengan kecepatan tertentu. Indeks tunggal BB/TB merupakan indikator yang baik
untuk menyatakan status gizi masa kini dan biasanya digunakan bila data umur
yang akurat sulit diperoleh.
Indeks BB/TB memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indeks BB/TB
adalah: (1) hampir independen terhadap pengaruh umur dan ras, (2) dapat
membedakan keadaan anak dalam penilaian BB relatif terhadap TB (kurus,
cukup, gemuk, dan keadan marasmus atau bentuk KEP bearat lainnya).
Sedangkan kelemahannya adalah : (1) sering kesulitan mengukur panjang badan
anak Baduta atau tinggi badan anak Balita, (2) sering terjadi kesalahan
membaca pengukuran, terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga yang
kurang profesional (Riyadi dalam Sukandar 2007).
Gabungan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB
Status gizi berdasarkan gabungan 3 indikator (BB/U, TB/U dan BB/TB)
adalah untuk mengetahui status gizi anak saat ini dan masa lampau.
Tabel 3 Intrepretasi status gizi anak berdasarkan gabungan ketiga indikator
BB/U
TB/U
BB/TB
Status Gizi
Rendah
Rendah
Normal
Baik, pernah kurang gizi
Normal
Normal
Normal
Baik
Tinggi
Tinggi
Normal
Jangkung, baik
Rendah
Tinggi
Rendah
Buruk
Rendah
Normal
Rendah
Buruk, kurang
Normal
Tinggi
Rendah
Kurang
Tinggi
Rendah
Tinggi
Lebih, kemungkinan kegemukan
Normal
Rendah
Tinggi
Lebih, pernah kurang gizi
Tinggi
Normal
Tinggi
Lebih, tapi tidak kegemukan
Rendah
Rendah
Rendah
Buruk sejak dulu sampai sekarang
Rendah
Normal
Normal
Baik, perbatasan dengan kurang
Normal
Rendah
Normal
Baik, catch up growth belum sempurna
(Sumber: Arnelia et al 1992 dalam Nurcahyo K 2010)

17

Z-skor
Untuk mengukur status gizi anak di bawah umur lima tahun dan anak umur 518 tahun menggunakan z-skor. Tiga indikator yang dihitung dengan Z-skor
adalah BB/U, TB/U, atau BB/TB. Dengan menggunakan rumus:
Z-skor BB/U = (Bbu-BBr)/SDr
Keterangan:

BBu = berat badan responden menurut umur responden
BBr = berat badan standar pada umur yang sesuai menurut WHO
SDr= standar deviasi pada umur dan jenis kelamin yang sesuai

Tabel 4 status gizi anak Balita berdasarkan standar antropometri menurut WHO
Indeks
BB/TB

BB/U

TB/U

Range z-skor
z-skor > 2 SD
z-skor ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD
z-skor < -2 SD s.d ≥ 3 SD
z-skor < -3 SD
z-skor < -2 SD
z-skor > 2 SD
z-skor ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD
z-skor < -2 SD s.d ≥ 3 SD
z-skor < -3 SD
z-skor < -2 SD
z-skor > -2 SD
z-skor < -2 SD s.d ≥ 3 SD
z-skor < -3 SD
z-skor < -2 SD

Status gizi
Gemuk
Normal
Kurus
Sangat kurus
Wasting
Gizi lebih
Gizi baik
Gizi kurang
Gizi buruk
Underweight
Normal
Kurus
Sangat kurus
Wasting

Sumber: Depkes 2008
Jika nilai z-skor BB/U diperoleh antara -2 sampai +2 maka dikategorikan
normal, apabila dibawah -2 dikategorikan underweight dan apabila diatas +2
dikategorikan overweight. Jika nilai z-skor TB/U diperoleh antara -2 sampai +2
maka dikategorikan normal, apabila dibawah -2 dikategorikan pendek (stunting)
dan apabila diatas +2 dikategorikan lebih. Jika nilai z-skor BB/TB diperoleh
antara -2

sampai +2 maka dikategorikan normal, apabila dibawah -2

dikategorikan kurus

(wasting)

dan apabila diatas +2 dikategorikan lebih.

Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting, dan
wasting dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 5 klasifkasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting,
dan wasting
Kategori
Underweight
(BB/U)
Rendah
7 orang)
Tidak pernah sekolah
Tidak tamat SD
Tamat SD

25

-

Variabel
4. Pengeluaran
kapita
Pekerjaan

RT

per

Tamat SLTP
Tamat SLTA
Tamat perguruan tinggi
Katagori Variabel
Dikelompokkan menjadi kuintil 1,2,3,4, dan 5
-

5. Data konsumsi
6. Data imunisasi
7. Penyakit infeksi

Tidak bekerja
Ibu rumah tangga
TNI/P

Dokumen yang terkait

Hubungan Peran Kader Posyandu dengan Status Imunisasi Campak di Puskesmas Helvetia Medan Tahun 2014

15 113 74

Hubungan Hasil Uji Mantoux Dan Status Imunisasi BCG Pada Anak Yang Kontak Dengan TB Paru Dewasa

0 74 73

Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Campak di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2010

1 57 63

Pengaruh Faktor Perilaku Masyarakat Terhadap Perolehan Imunisasi Campak Di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007

0 35 103

Gambaran Karakteristik, Status Gizi, dan Imunisasi Pada Pasien Tuberkulosis Anak di Puskesmas Wilayah Kota Tangerang Selatan

0 7 59

Gambaran karakteristik, status gizi, dan imunisasi pada pasien Tuberkulosis anak di puskesmas wilayah kota Tangerang Selatan

1 26 59

Analisis Hubungan Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan serta Konsumsi Pangan dengan Status Gizi Siswa Sekolah Dasar

0 4 4

HUBUNGAN STATUS IMUNISASI DAN RIWAYAT KONTAK DENGAN KEJADIAN CAMPAK PADA BALITA DI KABUPATEN SUKOHARJO Hubungan Status Imunisasi dan Riwayat Kontak dengan Kejadian Campak Pada Balita di Kabupaten Sukoharjo.

0 5 16

HUBUNGAN STATUS IMUNISASI DAN RIWAYAT KONTAK DENGAN KEJADIAN CAMPAK PADA BALITA DI KABUPATEN SUKOHARJO Hubungan Status Imunisasi dan Riwayat Kontak dengan Kejadian Campak Pada Balita di Kabupaten Sukoharjo.

0 6 17

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU MENGENAI IMUNISASI CAMPAK DENGAN KEJADIAN CAMPAK PADA BAYI DAN BALITA DI KABUPATEN BANTUL TAHUN 2013-2014 NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Status Gizi dan Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai Imunisasi Campak dengan

0 0 12