Cendawan Patogen pada Bibit dan Kejadian Penyakit Tanaman Krisan di Kota Batu, Jawa Timur 

CENDAWAN PATOGEN PADA BIBIT DAN KEJADIAN
PENYAKIT TANAMAN KRISAN DI KOTA BATU,
JAWA TIMUR

NAIMATUL FARIDA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Cendawan Patogen
pada Bibit dan Kejadian Penyakit Tanaman Krisan di Kota Batu, Jawa Timur
adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Naimatul Farida
NIM A34120015

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

ABSTRAK
NAIMATUL FARIDA. Cendawan Patogen pada Bibit dan Kejadian Penyakit
Tanaman Krisan di Kota Batu, Jawa Timur. Dibimbing oleh BONNY
POERNOMO WAHYU SOEKARNO.
Krisan merupakan salah satu bunga potong yang banyak diminati pasar dan
konsumen. Infeksi penyakit pada pembibitan maupun tanaman produksi krisan
merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya krisan. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi cendawan patogen pada bibit
dan tanaman krisan serta mengetahui tingkat kejadian dan keparahan yang
ditimbulkan. Penelitian dilakukan di sentra pertanaman krisan di Kecamatan Batu
dan Bumiaji, Kota Batu. Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu

penelitian pada pembibitan dan pertanaman krisan. Penelitian pada pembibitan
meliputi pengambilan bibit contoh, isolasi cendawan dari jaringan bibit, uji
patogenisitas, dan identifikasi cendawan patogen. Sedangkan pada pertanaman
krisan, metode penelitian meliputi pengamatan gejala dan pengambilan contoh
tanaman sakit, isolasi cendawan dari jaringan tanaman, dan identifikasi patogen.
Sebanyak tujuh isolat cendawan patogenik dapat diisolasi dari jaringan bibit, yaitu
Fusarium sp.1, Fusarium sp.2, Pythium sp., Colletotrichum sp., Alternaria sp.,
dan dua isolat lain yang tidak teridentifikasi. Lima patogen teridentifikasi
menginfeksi pertanaman krisan, yaitu Puccinia sp., Alternaria sp., Capnodium
sp., Botrytis sp., dan Fusarium sp..
Kata kunci: Alternaria sp., bibit, identifikasi, karat putih, patogen.

ABSTRACT
NAIMATUL FARIDA. Fungal Pathogens on seedlings and Disease Incidence on
Chrysanthemum in Batu City, East Java. Supervised by BONNY POERNOMO
WAHYU SOEKARNO.
Chrysanthemum is one of flowers which is significantly preferred by
market and consumer. The presence of plant diseases in chrysanthemum nursery
and crop production is major problem in chrysanthemum cultivaton. The aims of
this research were to detect and identify fungal pathogens on chrysantemum’s

nursery and production area, and determined the severity inflicted. The
observation were conducted in chrysanthemum’s production center in Batu and
Bumiaji District, Batu city. This research was divided into two steps: nursery and
production area. In the nursery, the method included were collecting
chrysanthemum’s seedling sample, isolating fungi from chrysanthemum’s
seedling tissue, testing pathogenicity, and indentifying the pathogen. While in the
crop production, the method included were observing the disease and sample of
symptomatic plants, isolating the fungi, and identifying the pathogen. The result
showed that seven pathogenic isolates obatained successfully from
chrysanthemum’s seedling tissue were Fusarium sp.1, Fusarium sp.2, Pythium
sp., Colletotrichum sp., Alternaria sp., and two unidentified pathogens. Five
pathogens identified on crop production were Puccinia sp, Alternaria sp.,
Capnodium sp., Botrytis sp., and Fusarium sp.
Key words: Alternaria sp., identification, pathogen, seedling, white rust.

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

CENDAWAN PATOGEN PADA BIBIT DAN KEJADIAN
PENYAKIT TANAMAN KRISAN DI KOTA BATU,
JAWA TIMUR

NAIMATUL FARIDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2017

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Cendawan
Patogen pada Bibit dan Kejadian Penyakit Tanaman Krisan di Kota Batu, Jawa
Timur” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih kepada bapak Ahmad Thohir, Ibu Asmaniyah, dan keluarga
yang selalu memberi doa dan dukungan. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Dr Ir Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MS selaku dosen pembimbing
tugas akhir dan pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan nasehat
dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Terima kasih penulis
sampaikan pula kepada Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi, selaku dosen penguji
luar komisi atas saran dan masukannya dalam penulisan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Proteksi
Tanaman angkatan 49, Ahmad Mushonif Fiqri, Santi Indah L, Umi Astutik, Hasan
Bisri, Lia Erlika, dan teman-teman anggota Laboratorium Mikologi Tumbuhan
atas semangat dan bantuan dalam melaksanakan penelitian.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih memiliki kekurangan. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk perbaikan kegiatan selanjutnya. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan pembaca.

Bogor, Januari 2017
Naimatul Farida

DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu
Metode Penelitian
Wawancara
Penelitian pada Pembibitan
Pengambilan Bibit Contoh
Isolasi Cendawan dari Jaringan Bibit Krisan
Uji Patogenisitas Isolat Cendawan

Perhitungan Tingkat Infeksi
Penelitian pada Pertanaman Krisan
Pengambilan Tanaman Contoh
Isolasi Cendawan dari Jaringan Tanaman
Identifikasi Isolat Cendawan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lahan
Isolasi Cendawan Bibit Krisan
Tingkat Infeksi Cendawan Patogen pada Bibit Krisan
Penyakit pada Tanaman Krisan
Karat Putih
Bercak Daun
Embun Jelaga
Kapang Kelabu
Layu Fusarium
SIMPULAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

1
2
2
3
3
3
3
3
3
3
4
4
4
5
5
5
7

9
10
11
12
13
14
15
15
17
17
19
23
29

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5


Skala keparahan penyakit berdasarkan gejala yang muncul di lapangan
5
Kondisi umum lahan krisan di Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Batu
8
Cendawan pada tiga varietas bibit krisan
9
Tingkat infeksi cendawan patogen yang menginfeksi bibit krisan
10
Tingkat kejadian dan keparahan penyakit pada tiga varietas tanaman
krisan di Desa Bumiaji dan Sidomulyo
12

DAFTAR GAMBAR

1

Pola pengambilan tanaman contoh dalam satu bedeng pertanaman
krisan.
: tanaman pinggir, : tanaman yang tidak diamati,

tanaman contoh yang diamati,
: arah pengambilan tanaman contoh
2 Lahan pembibitan dan pertanaman krisan A di Desa Bumiaji (a) dan
lahan pembibitan dan pertanaman krisan B di Desa Sidomulyo (b)
3 Uji patogenisitas isolat cendawan: (a) benih padi berkecambah normal;
(b) gejala nekrotik pada kecambah padi
4 Pertumbuhan patogen pada PDA: (a) koloni Fusarium sp.1, (b) koloni
Pythium sp., (c) koloni isolat Cb5, (d) koloni Fusarium sp.2, (e) koloni
Colletotrichum sp, (f) koloni isolat Cb10, (g) koloni Alternaria sp.
5 Struktur patogen: (a) konidia Fusarium sp.1, (b) hifa dan oospora
Pythium sp., (c) hifa isolat Cb5, (d) konidia Fusarium sp.2, (e) seta dan
konidia Colletotrichum sp., (f) hifa isolat Cb10, (g) konidia Alternaria
sp.
6 Karat daun: (a) gejala karat daun pada bagian atas permukaan daun, (b)
gejala karat daun pada bagian bawah permukaan daun, (c) teliospora
Puccinia sp. (perbesaran 40x10)
7 Bercak daun: (a) gejala bercak daun, (b) Koloni Alternaria sp. pada
PDA (c) rantaian konidia Alternaria sp. (perbesaran 10x10), (d)
konidia Alternaria sp. (perbesaran 40x10)
8 Embun jelaga: (a) lapisan miselium pada daun bagian atas, (b) hifa
Capnodium sp., (c) konidia Capnodium sp. (perbesaran 40x10)
9 Gejala penyakit kapang kelabu pada bunga (a), koloni patogen pada
PDA (b), konidia patogen pada perbesaran 40x10 (c)
10 Penyakit layu: (a) gejala Fusarium sp. pada tanaman krisan, (b)koloni
pada PDA, (c) makrokonidia dan mikrokonidia Fusarium sp.
(perbesaran 40x10), (d) klamidospora (perbesaran 40x10)

4
7
9

11

11

13

14
14
15

16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Skor keparahan penyakit karat dan layu pada tanaman contoh di
pertanaman krisan Desa Bumiaji (lahan A) dan Desa Sidomulyo
(lahan B)
2 Persentase keparahan penyakit (%) bercak daun, embun jelaga, dan
kapang kelabu di pertanaman krisan Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji
3 Persentase keparahan penyakit (%) bercak daun, embun jelaga, dan
kapang kelabu di pertanaman krisan Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu
4 Data klimatologi Kecamatan Bumiaji bulan Januari – Mei 2016a
5 Data klimatologi Kecamatan Batu bulan Januari – Mei 2016a

25
26
27
28
28

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Krisan (Dendranthema grandiflora) merupakan salah satu jenis tanaman
hias yang telah dikenal dan dikembangkan karena bernilai ekonomis tinggi serta
mempunyai prospek pemasaran yang cerah (Wasito dan Marwoto 2003).
Tanaman krisan memiliki bunga yang beraneka ragam dalam hal bentuk, ukuran
maupun warna. Krisan dibudidayakan terutama untuk produksi bunga potong dan
tanaman pot. Bunga potong banyak digunakan untuk hiasan rumah dan rangkaian
bunga yang digunakan dalam acara formal, budaya, maupun keagamaan.
Selain sebagai tanaman hias, bunga krisan dapat dikeringkan dan
dimanfaatkan sebagai minuman (teh krisan), sementara daun mudanya dapat
dikonsumsi sebagai sayuran, salad, atau dibuat keripik. Daun dan bunga krisan
mengandung bahan aktif piretrin yang efektif digunakan sebagai insektisida
nabati, serta serasah sisa panen krisan juga dapat dijadikan kompos sebagai
sumber pupuk organik untuk memperbaiki sifat kimia, biologi, dan fisik tanah
(Sanjaya et al. 2015).
Di Indonesia, krisan potong telah dibudidayakan di berbagai daerah. Sentra
produksi krisan di Indonesia terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur. Sentra produksi krisan di Jawa Timur yaitu Kota Batu dengan kontribusi
34.76% dari seluruh produksi krisan di Jawa Timur (Pusdatin 2014). Krisan
menjadi komoditas florikultura dengan rata-rata produksi tertinggi selama kurun
waktu 2010–2014 yaitu 340.6 juta tangkai per tahun (BPS 2015).
Permintaan bunga potong krisan cenderung terus meningkat seiring dengan
peningkatan taraf hidup masyarakat. Konsumsi bunga potong krisan pada tahun
2009 sebesar 107.48 juta tangkai dan terus meningkat sampai tahun 2012, yaitu
184.63 juta tangkai pada tahun 2010, 305.32 juta tangkai pada tahun 2011 dan
396.94 juta tangkai pada tahun 2012. Pada tahun 2013 konsumsi krisan
mengalami penurunan menjadi 386.66 juta tangkai (Pusdatin 2014). Selain
konsumsi dalam negeri, bunga potong krisan Indonesia juga diekspor ke berbagai
negara, diantaranya Jepang, Jerman, Inggris, Swiss, Italia, Austria, Amerika
Serikat, dan Swedia (Sanjaya et al. 2015).
Salah satu kendala dalam budi daya tanaman krisan adalah gangguan
penyakit tanaman yang menyebabkan penurunan kualitas maupun kuantitas
produksi bunga krisan. Penyakit yang telah diketahui menginfeksi tanaman krisan
adalah karat putih (Puccinia horiana), karat hitam (Pucciana chrysanthemi),
kerdil (Chrysanthemum stunt viroid), bercak daun septoria (Septoria chrysanthemi), bercak daun alternaria (Alternaria alternata), layu verticillium, layu fusarium
(Fusarium oxysporum f.sp chrysanthemi), kapang kelabu (Botrytis cinerea),
cendawan jelaga (Capnodium sp.), embun tepung (Oidium chrysanthemi), dan
busuk pangkal batang (Rhizoctonia solani) (Reddy 2010).
Krisan umumnya diperbanyak melalui stek pucuk tanaman induk maupun
tanaman produksi. Sehingga bibit tanaman sangat berpotensi sebagai wahana
penularan penyakit pada tanaman krisan. Salah satu contoh kasus penyakit krisan
terbawa bibit yaitu karat putih. Penyakit karat putih krisan diduga masuk ke
Indonesia pada tahun 1990-an melalui bibit krisan impor yang tidak terdeteksi

2
karena gejala penyakit yang belum muncul (Suhardi 2009).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeteksi dan mengidentifikasi cendawan patogen
pada bibit dan tanaman krisan serta mengetahui tingkat kejadian dan keparahan
yang ditimbulkan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai keragaman jenis
cendawan patogen penyebab penyakit pada bibit dan tanaman krisan. Informasi
ini dapat menjadi bahan acuan untuk pengendalian penyakit pada tanaman krisan
dan penelitian selanjutnya.

3

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji dan Desa
Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur. Isolasi dan identifikasi
cendawan patogen dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Februari sampai September 2016.

Metode Penelitian
Wawancara
Wawancara dengan petani krisan dilakukan untuk mendapatkan informasi
mengenai teknik budi daya yang diterapkan, asal bibit, jenis penyakit yang
menginfeksi, dan teknik pengendalian yang dilakukan oleh petani.
Penelitian pada Pembibitan
Pengambilan Bibit Contoh. Bibit contoh diambil di dua lokasi pembibitan,
yaitu di Desa Sidomulyo dan Bumiaji, terdiri atas 3 varietas yaitu Yellow Fiji,
Reagent White, dan Remix Red yang banyak ditanam oleh petani. Masing-masing
varietas diambil secara acak sebanyak 15 bibit contoh berumur 14 hari dari
masing-masing lahan (Wulandari 2016).
Isolasi Cendawan dari Jaringan Bibit Krisan. Isolasi cendawan
dilakukan dari jaringan tanaman bagian akar, batang, dan daun bibit krisan. Bibit
dicuci bersih dengan air mengalir untuk membersihkan partikel tanah yang
melekat. Bibit yang telah dicuci bersih dipotong kecil ukuran 5 mm x 5 mm.
Potongan jaringan bibit disterilisasi permukaan dengan cara direndam dengan
NaOCl 1% selama 2 menit, lalu dibilas dengan air steril 3 kali dan dikeringanginkan. Setelah kering, jaringan ditanam pada cawan petri yang berisi media
potato dextrose agar (PDA). Setiap cawan petri masing-masing sebanyak 4
potong jaringan dan 15 ulangan setiap bagian per varietas. Inkubasi dilakukan
dibawah pencahayaan NUV dengan periode 12 jam terang dan 12 jam gelap
(Aisah et al. 2015). Selanjutnya koloni yang tumbuh dimurnikan pada media PDA
untuk digunakan pada pengujian selanjutnya.
Uji Patogenisitas Isolat Cendawan. Uji patogenisitas dilakukan terhadap
isolat cendawan yang diisolasi dari bibit krisan dengan menggunakan metode
pengujian yang digunakan Benowati (2015). Benih padi varietas IR64 yang
disterilisasi permukaan menggunakan NaOCl 1% selama 2 menit dan dibilas
menggunakan air steril sebanyak 3 kali, selanjutnya benih padi dikeringanginkan
di atas tisu steril. Sebanyak 15 benih padi yang telah disterilisasi permukaan
ditanam pada isolat murni cendawan hasil isolasi dalam cawan petri. Benih
diinkubasi selama 2 minggu pada kondisi suhu ruang. Pengamatan dilakukan
dengan melihat gejala nekrotik yang muncul pada kecambah benih padi.

4
Perhitungan Tingkat Infeksi. Perhitungan tingkat infeksi (TI) cendawan
patogen pada bibit contoh dengan menggunakan rumus (Wulandari 2016):

dengan n adalah jumlah bibit yang terinfeksi dan N adalah jumlah bibit yang
diamati.
Penelitian pada Pertanaman Krisan
Pengambilan Tanaman Contoh. Pengamatan dilakukan pada tanaman
krisan yang sudah berbunga. Tanaman contoh ditentukan dengan metode yang
digunakan Saptorini (1999), yaitu dipilih secara sistematis dengan selang setiap
tanaman contoh 20 tanaman (Gambar 1). Setiap lahan penelitian diamati 32
tanaman contoh untuk tiap varietas. Tanaman contoh yang menunjukkan gejala
penyakit dipotong pada bagian yang menunjukkan gejala. Selanjutnya potongan
tersebut dimasukkan ke dalam plastik dan dibawa ke laboratorium untuk
dilakukan pemurnian.

-------------------------------------------------------------------------------------Gambar 1 Pola pengambilan tanaman contoh dalam satu bedeng pertanaman
krisan.
: tanaman pinggir, : tanaman yang tidak diamati,
tanaman contoh yang diamati,
: arah pengambilan tanaman
contoh
Kejadian penyakit (I) dihitung dengan menggunakan rumus (Cooke 2006):

n = jumlah tanaman yang menunjukkan gejala
N= jumlah tanaman yang diamati
Keparahan penyakit (KP) dihitung dengan rumus (Agrios 2005):

ni = jumlah tanaman yang terinfeksi dalam kategori ke-i
vi = nilai numerik dari kategori
N = jumlah tanaman yang diamati
V = nilai numerik dari kategori tertinggi

5
Setiap tanaman contoh diamati keparahan penyakit dengan nilai skor yang tertera
pada Tabel 1.
Tabel 1 Skala keparahan penyakit berdasarkan gejala yang muncul di lapangan
Nilai
skor
0
1

2
3

4

5

a

Kategori infeksi penyakit
karata
Tidak bergejala

Kategori infeksi
penyakit layub
Tanaman tidak
bergejala

Kategori infeksi
penyakit lainnyac
Tidak bergejala

Layu

0% < x < 10%



10% < x < 25%



25% < x < 50%



50% < x < 75%



x > 75%

Infeksi sangat ringan, pustul
dijumpai pada beberapa daun
bawah
Infeksi ringan, pustul dijumpai
pada semua daun bawah
Infeksi sedang, pustul dijumpai
pada semua daun bawah dan
sebagian daun tengah
Infeksi berat, pustul dijumpai
pada semua daun bawah, daun
tengah, dan beberapa daun atas
Infeksi sangat berat, pustul
dijumpai pada semua bagian
daun

Sumber: Suhardi (2009)
Sumber: Soekarno 2016 Februari 5, komunikasi pribadi

b

Isolasi Cendawan dari Jaringan Tanaman. Cendawan diisolasi dari
jaringan tanaman krisan yang menunjukkan gejala penyakit. Bagian tanaman
dicuci bersih dengan air mengalir untuk membersihkan partikel tanah yang
melekat. Bagian tanaman yang telah dicuci bersih dipotong kecil ukuran 5 mm x 5
mm. Potongan jaringan tanaman disterilisasi permukaan dengan cara direndam
dengan NaOCl 1% selama 2 menit, lalu dibilas dengan air steril 3 kali dan
dikeringanginkan. Setelah kering, jaringan ditanam pada cawan petri yang berisi
media PDA dan diinkubasi pada suhu ruang (Agrios 2005). Selanjutnya koloni
yang tumbuh dimurnikan pada media PDA.
Identifikasi Isolat Cendawan
Identifikasi isolat cendawan patogen dilakukan berdasarkan morfologi
cendawan secara makroskopis maupun mikroskopis, yaitu meliputi warna koloni,
karakter pertumbuhan, dan bentuk konidia cendawan. Buku kunci identifikasi
yang digunakan adalah Pictoral Atlas of Soil and Seed Fungi Morphologies of
Cultured Fungi and Key to Species (Watanabe 2002) dan Ilustrated Genera of
Imperfect Fungi (Barnett dan Hunter 2006).
Analisis Data
Data berupa keragaman cendawan patogen yang diperoleh dari hasil isolasi
ditabulasi menggunakan Microsoft Office Excel 2010 dan dilanjutkan dengan
analisis deskriptif.

6

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lahan
Lahan pembibitan dan pertanaman krisan di Desa Bumiaji dan Sidomulyo
dilakukan di rumah plastik dengan arang sekam sebagai media pembibitan
(Gambar 2). Tanaman krisan dapat tumbuh optimal pada tempat dengan
ketinggian 600–1200 mdpl dengan suhu siang hari rata-rata 22 ºC–28 ºC dan suhu
malam hari rata-rata 15 ºC–20 ºC. Kelembaban nisbi yang dipersyaratkan adalah
90%–95% khususnya selama periode awal, perkecambahan, dan pembentukan
stek pucuk, sedangkan untuk tanaman muda dan dewasa kelembaban nisbi sekitar
70%–85% (Wediyanto et al. 2007). Iklim di Desa Bumiaji dan Sidomulyo sangat
cocok untuk budidaya tanaman krisan (Tabel 2).

a

b
Gambar 2 Lahan pembibitan dan pertanaman krisan A di Desa Bumiaji (a) dan
lahan pembibitan dan pertanaman krisan B di Desa Sidomulyo (b)
Bibit krisan berasal dari stek pucuk tanaman induk yang dipotong dengan
panjang 6 cm–7 cm. Sebelum ditanam, stek dicelupkan ke dalam larutan zat
pengatur tumbuh (ZPT). Selanjutnya stek bibit ditanam pada media pembibitan
selama 14 hari. Petani tidak melakukan aplikasi pestisida pada lahan pembibitan
A, namun setiap 4 hari sekali dilakukan aplikasi plant growth promoting
rhizobacteria (PGPR) pada sore hari. Di lahan pembibitan B, aplikasi pestisida
dilakukan dua kali selama pembibitan yaitu pestisida berbahan aktif propineb dan
benomil. Selang dua hari setelah aplikasi pestisida, petani mengaplikasikan PGPR
pada sore hari.
Tanaman krisan produksi di Desa Bumiaji dan Desa Sidomulyo dilakukan
di rumah plastik dengan membuat bedengan selebar 1 m dan jarak tanam 10 cm x
10 cm. Bibit yang ditanam diperoleh dari lahan pembibitan kelompok tani. Lahan
A dan lahan B masing-masing memiliki luas lahan 300 m2 dan 500 m2 serta

8
keduanya terletak di areal pertanaman krisan yang tergabung dalam kelompok tani
(Tabel 2).
Tabel 2 Kondisi umum lahan krisan di Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Batu
Informasi lahan
Lahan A
Lahan B
Lokasi
Desa Bumiaji, Kecamatan
Desa Sidomulyo, Kecamatan
Bumiaji
Batu
Ketinggian
961 mdpl
917 mdpl
Curah hujana
327.33 mm
271.3 mm
a
Suhu
22.98 ºC
24.22 ºC
Kelembaban nisbia 93.2%
68.6%
Pembibitan
Media
Arang sekam
Arang sekam
Tempat pembibitan Nampan gabus
Meja bambu
Umur bibit
14 hari
14 hari
ZPT
Growtone (berbahan aktif
Rootone F (berbahan aktif
asam asetat naftalen 3%,
NAD 0.067%)
asetamida -1-naftalena
0.75%)
Aplikasi pestisida/ Tidak ada
Propineb dan benomil (4 hari
sarana lain
PGPR (4 hari sekali)
sekali)
PGPR (selang 2 hari setelah
aplikasi pestisida)
Tanaman sekitar
Tidak ada, dikelilingi
Tanaman krisan produksi
bangunan rumah
dan kebun induk
Pertanaman Krisan
2
Luas lahan
300 m
500 m2
Asal bibit
Kelompok tani (lahan
Kelompok tani (lahan
pembibitan A)
pembibitan B)
Jarak tanam
10 cm x 10 cm
10 cm x 10 cm
Umur tanaman
75 HST
65 HST
Pemupukan
Pupuk kandang 6.7 ton/ha
Pupuk kandang 20 ton/ha
NPK 333 kg/ha
NPK 333 kg/ha
Pemeliharaan
Penyiangan gulma,
Penyiangan gulma,
pemberian cahaya,
pemberian cahaya,
penyiraman, pemotesan
penyiraman, dan pemotesan
kuncup bunga (wiwilan), dan kuncup bunga (wiwilan)
rompesan/serutan
Aplikasi pestisida/ Sipermetrin, abamektin, dan Abamektin dan mankozeb
sarana lain
PGPR, Trichoderma,
asefat
Corynebacterium,
Verticillium
Pertanaman sekitar Krisan, daun bawang, sawi
Krisan dan mawar
a

Sumber: BMKG 2016

9
Isolasi Cendawan Bibit Krisan
Berdasarkan morfologi koloni cendawan, sebanyak 13 isolat cendawan
dapat diisolasi dari 3 varietas bibit krisan yang ditanam di Desa Bumiaji dan
Sidomulyo. Hasil uji patogenisitas terhadap isolat tersebut pada kecambah benih
padi menunjukkan 7 isolat cendawan bersifat patogenik (Tabel 3). Isolat
cendawan yang bersifat patogenik menimbulkan gejala nekrotik pada kecambah
benih padi (Gambar 3).
Tabel 3 Cendawan pada tiga varietas bibit krisan
Isolat
Cb1
Cb2
Cb3
Cb4
Cb5
Cb6
Cb7
Cb8
Cb9
Cb10
Cb11
Cs2
Cs13
a

Fiji Yellow
Aa Ba Da















Reagent White
Aa Ba Da














Remix Red
Aa Ba Da






Patogenisitasb






























+
+
+
+
+
+
+
-

A= akar, B= batang, D= daun
Tanda (-) menunjukkan isolat non patogenik, tanda (+) menunjukkan isolat patogenik

b

a

b

Gambar 3 Uji patogenisitas isolat cendawan: (a) benih padi
berkecambah normal; (b) gejala nekrotik pada
kecambah padi
Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi cendawan yang bersifat patogenik
adalah bercak nekrotik pada radikula, mesokotil, maupun plumula. Menurut
Harahap et al. (2015), cendawan yang berpotensi sebagai patogen mampu
menyebabkan benih busuk tidak berkecambah, nekrotik pada kecambah,
hambatan pertumbuhan kecambah, atau kematian kecambah. Gejala tersebut
disebabkan karena cendawan terbawa benih menghasilkan metabolit sekunder
yang bersifat toksik bagi benih maupun kecambah (Ora et al. 2011)

10
Tingkat Infeksi Cendawan Patogen pada Bibit Krisan
Hasil identifikasi secara morfologi isolat cendawan patogen yang
menginfeksi bibit krisan di Desa Bumiaji dan Sidomulyo adalah Fusarium sp.1,
Fusarium sp.2, Pythium sp., Colletotrichum sp., dan Alternaria sp.. Isolat
cendawan patogen Cb5 dan Cb10 tidak teridentifikasi. Fusarium sp.1, Fusarium
sp.2, Pythium sp., dan Alternaria sp. merupakan cendawan patogen yang
menginfeksi bibit krisan dengan tingkat infeksi tinggi (Tabel 4).
Tabel 4 Tingkat infeksi cendawan patogen yang menginfeksi bibit krisan
Isolat

Cendawan
teridentifikasi

Cb2
Cb4
Cb5
Cb6
Cb7
Cb10
Cb11

Fusarium 1
Pythium
Unidentified
Fusarium 2
Colletotrichum
Unidentified
Alternaria

Cb2
Cb4
Cb5
Cb6
Cb7
Cb10
Cb11

Fusarium 1
Pythium
Unidentified
Fusarium 2
Colletotrichum
Unidentified
Alternaria

Tingkat Infeksi (%)
Fiji
Reagent
Remix
Yellow
White
Red
Lahan Pembibitan A
13.3
13.3
6.7
13.3
6.7
0
0
0
0
20.0
6.7
26.7
0
0
13.3
20.0
0
0
6.7
0
0
Lahan Pembibitan B
6.7
0
0
13.3
0
6.7
13.3
6.7
0
6.7
6.7
13.3
0
13.3
6.7
0
0
13.3
20.0
6.7
6.7

Rata-rata (%)

11.1
6.7
0
17.8
4.4
6.7
2.2
2.2
6.7
6.7
8.9
6.7
4.4
11.1

Krisan varietas Fiji Yellow lebih rentan terhadap infeksi cendawan
dibandingkan dengan varietas Reagent White dan Remix Red. Ketiga varietas ini
merupakan varietas introduksi dari luar negeri. Fiji Yellow merupakan varietas
yang sepanjang musim ditanam petani. Penanaman yang terus menerus tersebut
dapat menyebabkan patahnya ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen. Rotasi
varietas tanaman dengan ketahanan yang berbeda dapat memperpanjang lama
hidup ketahanan suatu varietas terhadap infeksi patogen (Agrios 2005).
Tingkat infeksi Fusarium sp.1 dan Fusarium sp.2 pada lahan pembibitan A
lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pembibitan B dengan rata-rata tingkat
infeksi masing-masing 11.1% dan 17.8%. Hal ini disebabkan oleh petani tidak
melakukan aplikasi fungisida pada lahan pembibitan A. Sedangkan pada lahan
pembibitan B, aplikasi fungisida berbahan aktif benomil dan propinep dilakukan
dua kali selama masa pembibitan.
Tingkat infeksi Alternaria sp. pada lahan pembibitan B lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan pembibitan A dengan rata-rata tingkat infeksi sebesar
11.1%. Tingkat infeksi yang lebih tinggi pada lahan B disebabkan oleh

11
tersedianya sumber inokulum patogen karena meja pembibitan bersebalahan
dengan kebun induk yang terinfeksi Alternaria sp..
Isolat cendawan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi secara
makroskopis maupun mikroskopis meliputi warna koloni, karakter pertumbuhan,
dan bentuk konidia cendawan (Gambar 4; Gambar 5).

a

c

b

d

g
e
f
Gambar 4 Pertumbuhan patogen pada PDA: (a) koloni Fusarium sp.1, (b) koloni
Pythium sp., (c) koloni isolat Cb5, (d) koloni Fusarium sp.2, (e) koloni
Colletotrichum sp, (f) koloni isolat Cb10, (g) koloni Alternaria sp.

a

b

e

c

f

d

g

Gambar 5 Struktur patogen: (a) konidia Fusarium sp.1, (b) hifa dan oospora
Pythium sp., (c) hifa isolat Cb5, (d) konidia Fusarium sp.2, (e) seta
dan konidia Colletotrichum sp., (f) hifa isolat Cb10, (g) konidia
Alternaria sp.

Penyakit pada Tanaman Krisan
Karat putih dan bercak daun merupakan penyakit pada tanaman krisan di
Desa Bumiaji dan Sidomulyo dengan tingkat kejadian dan keparahan penyakit
yang tinggi dibandingkan dengan penyakit lainnya, seperti embun jelaga, kapang
kelabu, dan layu fusarium. Kejadian dan keparahan penyakit karat putih masing-

12
masing 34.4%–68.8% dan 13.1%–35.6%, sedangkan penyakit bercak daun
masing-masing 37.5%–59.4% dan 10.6%–26.9% (Tabel 5).
Tabel 5 Tingkat kejadian dan keparahan penyakit pada tiga varietas tanaman
krisan di Desa Bumiaji dan Sidomulyo
Kejadian penyakit (%)
Keparahan penyakit (%)
Nama
Cendawan
penyakita patogen
FYb
RWb
RRb
FYb
RWb
RRb
Lahan A
KP
Puccinia sp.
34.4
43.8
37.5
13.1
20.0
15.6
BD
Alternaria sp.
56.3
40.6
37.5
26.3
10.6
13.1
EJ
Capnodium sp. 59.4
40.6
34.4
30.6
11.9
12.5
KK
Botrytis sp.
25.0
37.5
18.8
6.3
11.3
6.3
Layu
Fusarium sp.
15.6
3.1
6.3
15.6
3.1
6.3
Lahan B
KP
Puccinia sp.
46.9
68.8
62.5
20.0
35.6
22.5
BD
Alternaria sp.
59.4
53.1
56.3
26.9
20.6
20.6
EJ
Capnodium sp. 15.6
0
9.4
3.1
0
2.5
KK
Botrytis sp.
12.5
18.8
15.6
3.1
5.6
4.4
Layu
Fusarium sp.
9.4
0
0
9.4
0
0
a

KP:karat putih, BD: bercak daun, EJ: embun jelaga, KK: kapang kelabu
FY: Fiji Yellow, RW: Reagent White, RR: Remix Red

b

Kejadian dan keparahan penyakit pada tanaman krisan di lahan A lebih
tinggi dibandingkan dengan lahan B. Aplikasi pestisida dan PGPR pada tanaman
krisan di lahan B lebih intensif, sehingga dapat menurunkan tingkat kejadian dan
keparahan penyakit. Aplikasi PGPR dapat menginduksi ketahanan tanaman
terhadap patogen. PGPR adalah bakteri yang hidup bebas di dalam tanah di
sekitar perakaran yang dapat menginduksi ketahanan tanaman dan mempunyai
efek yang menguntungkan pada tanaman (Woitke et al. 2004).
Karat Putih
Penyakit karat putih disebabkan oleh Puccinia sp.. Gejala awal karat putih
berupa adanya bercak kecil berwarna hijau terang hingga kuning pada permukaan
daun bagian atas, kemudian pada bagian bawah daun terdapat pustul berwarna
merah muda yang selanjutnya berubah warna menjadi putih (Gambar 6). Di dalam
pustul tersebut terdapat teliospora yang merupakan propagul penting yang dapat
menyebar ke tanaman lain melalui percikan air, angin, maupun serangga.
Teliospora memiliki tangkai, hialin, dan memiliki dua sel (Gambar 6c).
Penyakit karat putih banyak menginfeksi tanaman krisan pada lahan B
dengan tingkat kejadian penyakit berkisar antara 46.9%–68.8% dan tingkat
keparahan penyakit berkisar antara 20%–35.6%. Tingginya tingkat kejadian dan
keparahan penyakit pada lahan B disebabkan karena tidak dilakukannya rompesan
pada daun-daun bagian bawah. Rompesan bertujuan untuk mengurangi sumber
inokulum penyakit karat yang terdapat pada daun-daun senescens atau daun yang
telah tua dan menguning. Menurut Hanudin dan Marwoto (2012), perompesan
daun dapat menurunkan intensitas serangan karat antara 3%–44%. Selain itu,
rompesan dapat mengurangi kelembaban dan memperbaiki sirkulasi udara di

13
bagian bawah tanaman. Menurut Kofranek (1980), kelembaban udara tinggi dan
suhu 11 °C–22 °C akan merangsang perkecambahan teliospora.

a

b

c

Gambar 6 Karat daun: (a) gejala pada bagian atas permukaan daun, (b) pustul
pada bagian bawah permukaan daun, (c) teliospora Puccinia sp.
(perbesaran 40x 10)
Berdasarkan persentase keparahan penyakit, varietas Reagent White lebih
rentan terhadap infeksi Puccinia sp. dibandingkan varietas lain dengan rata-rata
keparahan 27.82%. Hal ini sejalan dengan penelitian Rahardjo dan Suhardi (2008)
bahwa varietas Reagent merupakan varietas yang rentan terhadap infeksi karat
putih. Varietas Fiji Yellow lebih tahan terhadap karat putih karena memiliki
tingkat keparahan penyakit paling rendah dibandingkan varietas lain (rata-rata
16.57%). Berdasarkan penelitian Hanudin et al. (2004), varietas Fiji Yellow
menunjukkan reaksi agak resisten terhadap penyakit karat daun.
Menurut CABI (2016), penyakit karat putih krisan disebabkan oleh
Puccinia horiana yang merupakan patogen karantina di banyak negara dan masuk
dalam program eradikasi yang ketat saat terdeteksi. Penyebaran patogen ini dapat
melalui percikan air hujan, angin, dan bibit yang terinfeksi. Puccinia sp.
merupakan patogen yang bersifat parasit obligat yang hanya hidup pada jaringan
inang yang hidup. Spora P. horiana tumbuh pada inang dengan infeksi laten,
sehingga infeksi pada bibit belum terdeteksi karena belum menimbulkan gejala
(Hanudin dan Marwoto 2012).
Menurut Suhardi (2009), infeksi berat karat daun dapat menimbulkan bercak
nekrotik dan kematian daun yang selanjutnya menurunkan mutu bunga. Bahkan
bila infeksi karat terjadi sebelum tanaman memasuki stadium generatif, kerugian
akibat penyakit karat menjadi lebih tinggi. Kehilangan hasil krisan oleh penyakit
karat putih di Indonesia belum pernah dihitung secara tepat, namun menurut
Yusuf et al. (2014) kehilangan yang terjadi karena penurunan kualitas dan nilai
jual serta penundaan waktu panen diperkirakan mencapai 30%. Kehilangan hasil
akibat infeksi P. horiana di Turki dan New England mencapai 80%–100% (Gore
2007; Ellis 2007).
Bercak Daun
Penyakit bercak daun disebabkan oleh Alternaria sp. dengan gejala awal
berupa adanya bercak coklat pada daun yang dikelilingi oleh halo berwarna
kuning, selanjutnya bercak dapat meluas ke seluruh permukaan daun dan
mengakibatkan daun gugur (Gambar 7a). Pada media PDA, koloni Alternaria sp.
berwarna abu-abu gelap, miselium aerial, hifa bersekat, konidia tersusun berantai
(Gambar 7b). Konidia berwarna cokelat serta memiliki sekat melintang dan

14
membujur (Gambar 7c).

a

c

b

d

Gambar 7 Bercak daun: (a) gejala bercak daun, (b) Koloni Alternaria sp. pada
PDA, (c) rantaian konidia Alternaria sp. (perbesaran 10x10), (d)
konidia Alternaria sp. (perbesaran 40x10)
Penyakit bercak daun banyak ditemukan pada lahan B dengan tingkat
kejadian penyakit berkisar antara 53.1%–59.4% dan tingkat keparahan penyakit
berkisar antara 20.6%–26.9%. Hal ini disebabkan tidak adanya perlakuan
rompesan sehingga sumber inokulum bercak daun terus tersedia. Menurut Reddy
(2010), infeksi Alternaria chrysanthemi pertama kali pada daun bagian bawah.
Selain itu, pengaruh iklim mikro seperti kelembaban yang tinggi dapat
meningkatkan keparahan infeksi Alternaria sp. Perkecambahan spora Alternaria
alternata cepat terjadi pada kelembaban lebih dari 98% dengan suhu 25 ºC–30 ºC
(Pleysier et al. 2006).
Alternaria sp. menginfeksi jaringan inang secara langsung maupun melalui
luka. Konidia dapat disebarkan melalui angin dan percikan air hujan. Patogen ini
bersifat parasit fakultatif dan sebagian besar menginfeksi inang yang rentan.
Cendawan ini dapat bertahan di tanah dan sisa tanaman sakit. Spora Alternaria
juga dapat bertahan pada permukaan green house (Reddy 2016). Menurut
Chattopadhyay (1999), kehilangan hasil akibat Alternaria sp. pada bunga matahari
mencapai 45.7%–61.9%.
Embun Jelaga
Penyakit embun jelaga disebabkan oleh Capnodium sp. dengan gejala
berupa adanya lapisan berwarna abu kehitaman pada permukaan atas daun.
Capnodium sp. memiliki hifa bersekat, konidia hialin, bulat atau lonjong, konidia
ada yang bersekat dan tidak bersekat (Gambar 8). Adanya lapisan miselium pada
permukaan daun mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis tanaman.

a

b

c

Gambar 8 Embun jelaga: (a) lapisan miselium pada daun bagian atas, (b) hifa
Capnodium sp., (c) konidia Capnodium sp. (perbesaran 40x10)

15
Penyakit embun jelaga banyak menginfeksi tanaman krisan pada lahan A.
Tingkat kejadian penyakitnya berkisar antara 34.4%–59.4% dan keparahan
penyakit berkisar antara 11.9%–60.3%. Infeksi Capnodium sp. dipengaruhi oleh
keberadaan kutukebul dan kutudaun pada masing-masing lahan. Berdasarkan
pernyataan petani dan hasil pengamatan, pada lahan A memang terlihat populasi
kutukebul dan kutudaun lebih tinggi dibandingkan dengan lahan B.
Capnodium sp. bukan cendawan parasit, melainkan cendawan epifit karena
tidak langsung menginfeksi tanaman. Capnodium sp. mengambil nutrisi dari
embun madu yang dihasilkan oleh serangga. Penyebaran utama cendawan jelaga
yaitu melalui angin, namun banyak serangga yang menghasilkan embun madu
juga sebagai vektor penyebaran spora dan hifa Capnodium sp., seperti kutudaun,
kutuputih, kutukebul, dan lain-lain. Propagul Capnodium sp. dapat terbawa pada
bagian luar tubuh serangga dan menyebar ke tanaman lain seiring dengan
pergerakan serangga (Teakle 1980).
Kapang Kelabu
Gejala penyakit kapang kelabu yaitu adanya lesio nekrotik berwarna cokelat
pada bagian petal maupun sepal bunga yang lama kelamaan menyebar dan
menyebabkan bunga layu dan busuk. Pada media PDA, koloni Botrytis sp.
berwarna hijau gelap, miselium nonaerial, Konidiofor bercabang di bagian ujung
apikal, konidia bulat, satu sel, dan bergerombol menyerupai buah anggur (Gambar
9). Penyakit ini dapat menginfeksi kelopak bunga, daun, dan batang. Infeksi pada
bagian batang berupa kanker batang. Bagian tanaman yang terinfeksi diselimuti
dengan masa spora berwarna abu-abu (Reddy 2010).

c
b
a
Gambar 9 Gejala penyakit kapang kelabu pada bunga (a), koloni patogen pada
PDA (b), konidia patogen pada perbesaran 40x10 (c)
Penyakit kapang kelabu lebih banyak menginfeksi bunga krisan pada lahan
A dengan tingkat kejadian penyakit berkisar antara 18.8%–25% dan tingkat
keparahan penyakit berkisar antara 6.3%–11.3%. Hal ini disebakan umur tanaman
pada lahan A lebih tua dibanding dengan lahan B. Tanaman yang tua cenderung
lebih rentan terhadap infeksi penyaki kapang kelabu. B. cinerea menginfeksi
inang terutama tanaman yang mulai tua, stres, mati, atau jaringan tanaman yang
inaktif (Agrios 2005). Selain menyebabkan kerusakan pada krisan, B. cinerea juga
menginfeksi tanaman hias lain seperti gerbera, mawar, bunga matahari, dan
tanaman hias dalam pot lainnya (Kerssies et al. 1998).
Layu Fusarium
Penyakit ini disebabkan oleh Fusarium sp. dengan gejala tanaman layu,
daun menguning, mengering, dan kemudian mati. Koloni Fusarium sp. pada PDA
berwarna putih, miselium aerial, berserabut, dan seperti kapas. Patogen ini

16
memiliki dua bentuk konidia, makrokonidia dan mikrokonidia. Makrokonidia
berbentuk seperti perahu sampan, bersekat dengan jumlah sel 1–5. Sedangkan
mikrokonidia berbentuk lonjong, tidak bersekat, dan satu sel. Klamidospora
berwarna coklat dan berbentuk globose (Gambar 10).

a

b

c

d

Gambar 10 Penyakit layu: (a) gejala Fusarium sp. pada tanaman krisan, (b)koloni
pada PDA, (c) makrokonidia dan mikrokonidia Fusarium sp.
(perbesaran 40x10), (d) klamidospora (perbesaran 40x10)
Penyakit layu fusarium banyak ditemukan pada pada lahan A dengan
tingkat kejadian dan keparahan penyakit berkisar antara 3.1%–15.6%. Hal ini
disebabkan bibit yang digunakan pada lahan A berasal dari lahan pembibitan A
yang terinfestasi Fusarium sp. Infeksi Fusarium sp. pada lahan B lebih rendah
karena petani mengaplikasikan Trichoderma pada saat awal tanam. T. harzianum
dapat menekan pertumbuhan F. oxysporum f.sp chrysanthemi dengan tingkat
hambatan 50%–66% secara in vitro dan 81%–91% secara in vivo (Singh dan
Kumar 2011). Infeksi penyakit layu semakin parah jika kondisi temperatur hangat,
kelembaban relatif tinggi, penyiraman berlebih, dan drainase yang buruk (Song et
al. 2013).
Tanaman yang terinfeksi F. oxysporum f.sp chrysanthemi menunjukkan
gejala layu, menguning, pertumbuhan terhambat, dan proses pembentukan bunga
terganggu (Singh dan Kumar 2014). Penyebaran Fusarium sp. dapat melalui
angin, air, bibit yang terinfeksi, dan tanah yang terinfestasi Fusarium sp.. Agrios
(2005) menyatakan bahwa spora Fusarium sp. dapat tersebar ke tanaman lain
melalui angin dan percikan air, sedangkan penyebaran jarak jauh umumnya
melalui bibit yang terinfeksi dan tanah yang terkontaminasi Fusarium sp.. Patogen
ini dapat bertahan pada tanah dan sisa tanaman sakit. Klamidospora dapat
bertahan lama di tanah hingga 8 sampai 20 tahun (Singh dan Kumar 2014). F.
oxysporum berpenetrasi ke dalam akar inang hingga mencapai jaringan xilem dan
kemudian mengolonisasi hingga bagian tajuk (Olivain and Alabouvette 1999
dalam Lecomte et al. 2016).

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Cendawan patogen pada bibit tanaman krisan di sentra tanaman krisan di
Desa Bumiaji dan Sidomulyo, Kota Batu adalah Fusarium sp.1, Fusarium sp.2,
Pythium sp., Colletotrichum sp, Alternaria sp., dan dua isolat yang belum
teridentifikasi. Penyakit pada tanaman krisan di Desa Bumiaji dan Sidomulyo
adalah penyakit karat putih (Puccinia sp.), bercak daun (Alternaria sp.), embun
jelaga (Capnodium sp.), kapang kelabu (Botrytis sp.), dan layu (Fusarium sp.).
Karat putih dan bercak daun merupakan penyakit utama pada tanaman krisan di
Desa Bumiaji dan Sidomulyo, masing-masing dengan kejadian penyakit 34.4%–
68.8% dan 37.5%–59.4%, sedangkan tingkat keparahan penyakit 13.1–35.6% dan
10.6%–26.9%.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui patogen penyebab
penyakit pada krisan hingga tingkat spesies, serta kejadian dan keparahan
penyakit varietas-varietas lain yang umum digunakan petani dan varietas yang
dihasilkan di Indonesia.

18

19

DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Burlington (USA): Elsevier Academic
Press.
Aisah AR, Soekarno BPW, Achmad. 2015. Isolasi dan identifikasi cendawan yang
berasosiasi dengan penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus
cadamba (Roxb.) Miq). Jurnal Penelitian hutan tanaman 12(3):153-163.
Barnett HL, Hunter BB. 2006. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. 4th ed.
Minnesota (US): APS Press.
Benowati SN. 2015. Aplikasi kompos jerami yang diperkaya mikroba endofit
untuk menekan pertumbuhan penyakit akar pada tanaman pala [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi
Karangploso Malang. 2016. Data Klimatologi Kecamatan Bumiaji dan Batu
Januari sampai Mei Tahun 2016. Malang (ID): BMKG.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Data statistik produksi tanaman florikultura
[Internet]. [diunduh 2015 Jun 05]. Tersedia pada:http://bps.go.id.
[CABI] Commonwealth Agricultural Bureaux International. 2016. Puccinia
horiana (white rust of chrysanthemum) [Internet]. [diunduh 2016 Okt 10].
Tersedia pada: www.cabi/org/isc/mobile/datasheet/45806.
Chattopadhyay C. 1999. Yield loss attributable to Alternaria blight of sunflower
(Helianthus annus L.) in India and some potentially effective control
measures. International Journal of Pest Management 45(1):15-21.
Cooke BM. 2006. Disease Assesment and Yield Loss. In: The Epidemiology of
Plant Disease. 2th ed. Cooke BM, Jones DG, Kaye B, editor. Dordrecht
(NT): Springer.
Ellis D. 2007. New pest concern in New England, chrysanthemum white rust.
Intregated Pest Management. Univ. Connecticut. [Internet]. [diunduh 2016
Sep 10]. Tersedia pada: http://www.hort.uconn.edu/Ipm/general/boicontrl/
chryswhiterust.htm.
Gore ME. 2007. White rust outbreak on Chrysanthemum caused by Puccinia
horiana in Turkey. New Disease Report. [Internet].[diunduh 2016 Sep 15];
16:20. Tersedia pada: http://www.ndrs.org.uk/article.php?id=16020.
Hanudin, Kardin K, Suhardi. 2004. Evaluasi ketahanan klon-klon krisan terhadap
penyakit karat putih. Jurnal Hortikultura 14(Ed. Khusus): 430-435.
Hanudin, Marwoto B. 2012. Penyakit karat putih pada krisan dan upaya
pengendaliannya. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 31(2)5157.
Harahap AS, Yuliani TS, Widodo. 2015. Deteksi dan identifikasi cendawan
terbawa benih Brassicaceae. Jurnal Fitopatologi Indonesia 11(3):97-103.
doi:10.14692/jfi. 11.3.97.
Kerssies A, Zessen AIB, Frinking HD. 1998. Impaction of conidia of Botrytis
cinerea in glasshouse on differen spore trap orientations. Crop Protection
17(2):181-183.
Kofranek AM. 1980. Cut Chrysanthemum. In Larson RA (ed). Intoduction To
Floriculture 2nd ed. San Diego (US): Academic Pr.

20
Lecomte C, Alabouvette C, Hermann VE, Robert F, Steinberg C. 2016. Biological
Control. doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.biocontrol.2016.06.004.
Ora N, Faruq AN,Islam MT, Akhtar N, Rahman MM. 2011. Detection and
identification of seed borne pathogen from some cultivated hybrid rice
varieties in Bangladesh. Middle-East Journal of Scientific Research 10(4):
482-488.
Pleysier CE, Bayliss KL, Dell B, Hardy GE. 2006. Temperature, humidity,
wounding, and leaf age influence the development of Alternaria alternate
lessions on leaves of Paulownia fortunei. Australasian Plant Patholology
35:329-333. Doi: 10.1071/AP06030.
[Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Outlook Komoditi
Krisan. Jakarta (ID): Pusdatin.
Rahardjo IB, Suhardi. 2008. Insidensi dan intensitas serangan penyakit karat putih
pada beberapa klon krisan. Jurnal Hortikultura 18(3):312-318.
Reddy PP. 2010. Fungal Diseases and their Management in Horticultural Crops.
Jodhpur (IN): Scientific Publisher.
Reddy PP. 2016. Sustainable Crop Protection under Protected Cultivation. London (UK): Springer Science.
Sanjaya L, Marwoto B, Soehandi R. 2015. Membangun industri bunga krisan
yang berdaya saing melalui pemuliaan mutasi. Pengembangan Inovasi
Pertanian 8(1):43-54.
Saptorini E. 1999. Hama dan penyakit tanaman krisan (Chrysanthemum spp.) di
PT Alam Indah Bunga Nusantara Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Singh PW, Kumar V. 2011. Biological control of fusarium wilt of Chrysanthemum with Trichoderma and botanicals. Journal Agricultural Technology
7(6):1603-1613.
Singh PW, Kumar V. 2014. Fusarium wilt of chrysanthemum, problems and
prospects. Plant Patholology Quarantine 4(1):33-42. doi:10.5943/ppq/4/1/5.
Song A, Zhao S, Chen S, Jiang J, Chen S, Li H, Chen Y, Chen X, Fang W, Chen
F. 2013. The abundance and diversity of soil fungi in continuously monocroped chrysanthemum. The Scientific World Journal 1-9. doi:10.1155/2013
/632 920.
Suhardi. 2009. Sumber inokulum, respon varietas, dan efektivitas fungisida
terhadap penyakit karat putih pada tanaman krisan. Jurnal Hortikultura
19(2):207-213.
Teakle D. 1980. Fungi. Di dalam: Harris KF, Maramorosch K, editor. Vectors of
Plant Pathogens. London (GB): Academic Press.
Wasito A, Marwoto B. 2003. Evaluasi daya hasil dan adaptasi klon-klon harapan
krisan. Jurnal Hortikultura 13(3):1-6.
Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi Morphologies of
Cultured Fungi and Key to Species. Boca Raton (US): CRC Press.
Wediyanto A, Marwoto B, Rochalia RG, Syai M, Nuraini F, Gandasari D,
Lesmana K, Ernawati S. 2007. Standar Operasional Prosedur, Budidaya
Krisan Potong. Jakarta (ID): Direktorat Budidaya Tanaman Hias.
Woitke M, Junge H, Schnitzler WH. 2004. Bacillus subtilis as growth promotor in
hydroponically grown tomatoes under saline conditions. Proceeding VII IS
on Protection Cultivation Mild Winter Climates. Berlin. Germany.

21
Wulandari S. 2016. Keragaman cendawan patogen terbawa bibit krisan
(Chrysanthemum spp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yusuf S, Djatnika E, Suhardi, 2014. Koleksi dan karakterisasi mikoparasit asal
karat putih pada krisan. Jurnal Hortikultura 24(1):56-64.

22

23

LAMPIRAN

24

25
Lampiran 1 Skor keparahan penyakit karat dan layu pada tanaman contoh di
pertanaman krisan Desa Bumiaji (lahan A) dan Desa Sidomulyo
(lahan B)
Tan
ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Lahan A
Karat Putih
Layu
FY RW RR
FY RW RR
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
3
4
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
2
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
3
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
3
1
4
0
0
0
0
5
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
1
1
2
2
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
2
1
0
0

Lahan B
Karat Putih
FY RW RR
0
0
2
0
1
0
1
5
2
0
3
3
1
2
0
0
1
1
1
0
0
0
1
5
1
0
2
2
4
1
0
1
2
0
2
2
0
1
0
1
3
1
0
5
0
5
2
2
2
0
0
0
0
0
0
3
2
0
2
3
1
0
1
3
0
0
0
3
0
0
2
1
3
2
2
5
0
0
0
0
1
3
5
1
2
5
0
1
0
0
0
1
1
0
3
1

Keterangan: FY=Fiji Yellow, RW=Reagent White, RR=Reamix Red

Layu
FY RW RR
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0

26
Lampiran 2 Persentase keparahan penyakit (%) bercak daun, embun jelaga, dan
kapang kelabu di pertanaman krisan Desa Bumiaji, Kecamatan
Bumiaji
Tan
ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Bercak daun
FY
RW
RR
15
15
0
0
0
5
30
0
7
0
5
10
20
0
0
0
3
0
10
0
0
5
0
0
0
0
15
0
20
0
15
0
0
55
0
0
5
0
0
0
10
75
0
0
0
0
0
0
80
10
0
7
5
0
0
7
0
5
0
5
5
0
0
95
0
0
30
25
30
0
3
0
15
15
5
0
0
0
0
0
10
5
0
25
20
5
0
60
0
3
0
7
30
0
0
0

Embun jelaga
FY
RW
RR
0
0
0
0
0
60
0
0
0
17
3
0
30
0
40
5
0
0
40
20
0
80
3
5
0
0
1
0
15
0
60
0
0
0
0
0
0
3
0
75
0
18
30
5
0
0
0
0
55
0
0
15
0
0
20
25
15
60
0
40
0
5
0
15
0
0
0
10
0
17
1
0
8
45
5
17
20
3
0
0
0
3
0
0
0
5
5
20
0
0
20
0
7
0
0
0

Keterangan: FY=Fiji Yellow, RW=Reagent White, RR=Reamix Red

Kapang kelabu
FY
RW
RR
0
19.4
0
0
0
0
12
8.8
0
0
0
0
0
6
0
0
0
12
5
0
0
0
0
45
0
28.1
0
0
3.9
0
0
2
0
25
0
13
0
0
0
0
0
0
0
2.5
7
0
7.7
0
0
0
0
0
0
0
0
11
0
0
0
0
0
38
24
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
4
0
0
0
0
0
10
10
0
0
0
0
3
0
0
10
2.1
0
0
0
0

27
Lampiran 3 Persentase keparahan penyakit (%) bercak daun, embun jelaga, dan
kapang kelabu di pertanaman krisan Desa Sidomulyo, Kecamatan
Batu
Tan
ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Bercak daun
FY
RW
RR
0
0
70
5
0
0
15
7
5
7
0
0
0
10
0
80
0
30
10
10
15
20
7
0
45
0
0
0
45
0
7
90
0
0
75
0
80
0
20
3
0
5
30
15
10
0
5
0
0
0
27
0
45
15
0
15
0
0
0
0
1
0
5
45
20
13
0
0
20
15
3
3
0
5
0
20
20
0
7
0
0
0
10
45
70
0
50
25
0
1
0
0
10
60
20
0

Embun jelaga
FY
RW
RR
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
0
0
0
0
0
5
10
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0
5
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

Keterangan: FY=Fiji Yellow, RW=Reagent White, RR=Reamix Red

Kapang kelabu
FY
RW
RR
0
0
0
0
0
7
0
0
0
0
6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25
0
0
0
2
0
0
0
0
5
0
0
0
0
0
0
24
0
0
0
20.8
0
0
12.5
0
0
0
0
30
0
0
0
0
0
0
7
0
0
0
0
0
0
10
0
0
0
0
0
0
0
3.7
0
0
0
0
8.3
0
0
0
0
0
0
0
5
5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0

28
Lampiran 4 Data klimatologi Kecamatan Bumiaji bulan Januari – Mei 2016a
No
1
2
3
a

Unsur
Suhu rata-rata (ºC)
Curah hujan (mm)
Kelembaban nisbi
rata-rata (%)

Jan
23.0
216.9

Feb
22.4
446.55

Mar
22.9
176.2

Apr
23.4
633

Mei
23.2
164

92

95

94

93

92

Sumber: BMKG 2016

Lampiran 5 Data klimatologi Ke