Causal Tree Diagram Penentuan Batas Maksimum Penggunaan Lahan untuk Usaha Perkebunan Kelapa Sawit
Gambar 10. Causal Tree Diagram Penentuan Batas Maksimum Penggunaan Lahan untuk Usaha Perkebunan Kelapa Sawit
Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30
memegang peranan penting dalam men- -undangan; dan d) mengatur hal-hal yang jalankan asas efisiensi ini. Pengelolaan bersifat transisional atau bersifat semen-
aspek teknis perkebunan yang baik akan tara. meningkatkanskalaekonomisdanefisien- si perusahaan perkebunan, baik peru-
8. Implikasi Kebijakan
sahaan yang terintegrasi budidaya dan Agar implementasi peraturan Luas pengolahan maupun hanya budidaya saja. Maksimum Penggunaan Lahan untuk Usaha Perkebunan kelapa sawit ini berjalan
efektif, perlu dilakukan: Satu, Harmonisasi Pertama, penetapan peraturan Peraturan, khususnya dengan : 1) UU No- pembatasan luas maksimum penggunaan mor 5 Tahun 1999 tentang UU Larangan lahan untuk Usaha Perkebunan Kelapa Praktek Monopoli dan Persaingan Usa- Sawit diterapkan pada 1 (satu) Perusa-
7. Rekomendasi Kebijakan
ha Tidak Sehat (Pasal 27), 2) Peraturan haan atau Kelompok (Group) Perusahaan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 5 Tahun Perkebunan untuk jenis komoditas/ tana- 2015 tentang Izin Lokasi untuk Usaha man perkebunan kelapa sawit perlu diusa- Perkebunan (Pasal 4), 3) PP RI No 40 Ta- hakan.
hun 1996 tentang HGU, HGB & HAK PAKAI Kedua, Dalam penerapan per- ATAS TANAH. Dua, Pengawalan oleh Tim aturan dimaksud pada point 1 terdapat be- khusus yang mewakili instansi terkait lin- berapa “pengecualian”, yaitu pada badan tas K/L (Kementerian/Lembaga), teruta- usaha yang berbadan hukum berikut: a) ma Kementerian Pertanian, Kementerian Badan usaha perkebunan yang dimiliki Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertana- para petani (Koperasi, Badan Usaha Mi- han Nasional, Kementerian Lingkungan lik Petani). b) Badan usaha perkebunan Hidup dan Kehutanan, Badan Koordinasi yang dimiliki pemerintah: Badan Usaha Penanaman Modal (BKPM), dan Komisi Milik Negara/BUMN dan Badan Usaha Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Milik Daerah/BUMD. c)Perusahaan Perke- Kebijakan pembatasan Luas bunan Swasta dengan status perseroan Maksimum Penggunaan Lahan untuk terbuka (go public) yang sebagian sa- Usaha Perkebunan kelapa sawit sejalan hamnya dimiliki oleh masyarakat tetapi dengan Kebijakan Pembangunan Ekonomi tidak ada pemilik saham (investor) yang Berkeadilan melalui Agrarian Reform yang penguasaan sahamnya setara dan/atau menjadi fokus pemerintah. Kebijakan pem- lebih besar dengan ketentuan “batasan batasan Luas Maksimum Penggunaan La- luas maksimum penggunaan lahan untuk han ini akan memberi jalan yang lebih be- usaha perkebunan”.
sar bagi para pekebun untuk memperoleh Ketiga, Dalam penerapan per- akses penguasaan lahan. Dalam hal ini, aturan tersebut ditetapkan “ketentuan para pekebun memperoleh akses untuk peralihan” sebagai berikut: “Peraturan menguasai lahan dengan “luas ideal” agar luas maksimum penggunaan lahan untuk mereka mendapatkan penghasilan yang Usaha Perkebunan kelapa sawit diterap- cukup guna membiayai pengelolaan kebun kan pada satu perusahaan setelah masa secara intensif; peremajaan tepat waktu; berlaku Hak Guna Usaha perusahaan dan pengeluaran untuk mensejahterakan tersebut berakhir”. Ketentuan peralihan ini anggota keluarganya. Pengawasan dis- bertujuan untuk: a) menghindari terjadinya tribusi penguasaan lahan di antara pe- kekosongan hukum; b) menjamin kepas- kebun perlu dilakukan agar tidak terjadi tian hukum; c) memberikan perlindungan ketimpangan pada aras mikro (komunitas hukum bagi pihak yang terkena dampak pe- pekebun). rubahan ketentuan Peraturan Perundang -
Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30
Selain itu, agar akses pengua- saan lahan yang diperoleh para pekebun diikuti dengan pengelolaan lahan secara produktif maka kebijakan ini perlu dileng- kapi dengan program optimalisasi peman- faatan lahan melalui: a) Program Pengem- bangan dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Rakyat melalui Pembangu- nan Kebun, Intensifikasi dan Peremajaan
yang didukung penyediaan kredit dengan bunga rendah serta skema pengembalian kredit yang sesuai karakteristik masing- masing tanaman. b) Program Penguatan SDM dan Kelembagan Pekebun untuk me- ningkatkan kemampuan dan kemandirian mereka dalam menguasai teknologi, in- put produksi, dan pasar sehingga mereka dapat melaksanakan program Pengem- bangan dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Rakyat melalui kegiatan pem-
bangunan kebun, intensifikasi kebun dan peremajaan kebun. c) Mengutamakan ke- lestarian lingkungan.
Adanya pembatasan luas maksi- mum penggunaan lahan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit perlu dibarengi dengan semakin kondusifnya iklim usaha di industri hilir berbasis bahan baku ha- sil perkebunan bagi perusahaan besar. Dengan demikian, keterbatasan peluang berusaha di hulu akibat pembatasan luas maksimum penggunaan lahan tersebut dapat tergantikan dengan semakin ter- buka dan menariknya peluang usaha di hilir. Lebih lanjut, semakin berkembang- nya industri hilir berbasis bahan baku hasil perkebunan oleh perusahaan besar perlu didorong untuk menjadi lokomotif bagi berkembangnya industri hulu (kebun) yang dikelola pekebun; UKM; Koperasi.
Kesimpulan
Struktur penguasaan lahan pada usaha perkebunan, berbeda antar komo- ditas perkebunan. Pada usaha kelapa sawit, penguasaan lahan didominasi oleh perkebunan besar yaitu 59,7%. Pada usaha kelapa sawit, penguasaan lahan
oleh perusahaan swasta jauh lebih domi- nan dari pada perusahaan negara, yaitu masing-masing 53,1% dan 6,6%. Seja- lan dengan struktur penguasaan lahan tersebut, ketimpangan penguasaan lahan tertinggi terjadi pada usaha kelapa sawit yang berada pada kategori “ketimpangan sedang”. Dalam hal ini 40% pelaku usaha kebun kelapa sawit yang seluruhnya meru- pakan pekebun hanya menguasai 15,7% total lahan kelapa sawit. Dipihak lain, 25 group perusahaan swasta menguasai 43% total lahan kelapa sawit (4,8 juta hektar). Ketimpangan penguasaan lahan usaha kelapa sawit akan semakin tinggi manaka- la pengambilalihan lahan perusahaan perkebunan PMDN oleh PMA berlangsung intensif. Sementara itu, pada 10 komodi- tas unggulan strategis nasional perkebu- nan lainnya struktur penguasaan lahan masih berada pada kategori “ketimpangan rendah”.
Bila kondisi ketimpangan terus tumbuh bersamaan dengan masih adanya pengangguran dan kemiskinan di wilayah- wilayah usaha perkebunan, maka kondisi
ini akan mendorong terjadinya konflik sosial. Kondisi ini bila dibiarkan sangat potensial menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif dan kemudian akan meng- ganggu berlangsungnya usaha perkebu-
nan secara keseluruhan. Kebijakan yang dilakukan dapat memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga usaha perkebunan yang dike- lola oleh seluruh pelaku usaha perkebu- nan akan berjalan secara berkelanjutan karenadapatmeredamkonfliksosialyang bersumber dari ketidakadilan penguasaan sumber daya lahan.
Sub-sektor perkebunan ma- sih dituntut untuk terus berperan dalam penyediaan lapangan berusaha/bekerja dan dalam mengatasi kemiskinan”. Hal ini diperlukan mengingat angkatan kerja di Indonesia terus meningkat sejalan pertum- buhan penduduk (1,4% per tahun periode 2000 - 2014), pengangguran masih terus
Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30
terjadi karena pertumbuhan angkatan ker- maksimum penggunaan lahan pada Usaha ja lebih kecil dari pada peluang bekerja/ Perkebunan untuk mengharmoniskan berusaha (Tahun 2001 sebanyak 8 juta kepentingan beragam pelaku yang ke- dan tahun 2013 sebanyak 7,3 juta), dan mampuannya berbeda, yaitu: a) Asas kemiskinan juga masih terjadi di seluruh Landreform dalam UUPA: pasal 7 (untuk provinsi (tahun 2015 sebanyak 11,7% pen- tidak merugikan kepentingan umum maka duduk Indonesia masih miskin). Penduduk pemilikan dan penguasaan tanah yang miskin tersebut terjadi baik pada kelompok melampaui batas tidak diperkenankan), penduduk yang tidak bekerja sebesar 26% pasal 17 (ayat 1: luas maksimum/ mini- ataupun yang bekerja di sektor pertanian mum hak atas tanah satu keluarga atau sebesar 36% (termasuk yang bekerja di badan hukum harus diatur, ayat 2: diatur sub sektor perkebunan) maupun yang dengan peraturan perundangan, ayat 3 bekerja di sektor non pertanian sebesar dan 4: pengaturan peralihan (mekanisme 38%.
dan tahapan pelaksanaan peralihan). b) UU Perkebunan Nomor 39 Tahun Asas Tata Guna Tanah dalam UUPA: pasal 2014 (pasal 14 ayat 1) mengamanatkan
13 (ayat 2: pemerintah mencegah adanya bahwa pemerintah pusat perlu menetapkan usaha-usaha dalam lapangan agraria dari batasan luas maksimum dan luas minimum organisasi-organisasi dan perseorangan penggunaan lahan untuk Usaha Perkebu- yang bersifat monopoli swasta). c) Asas nan. Kemudian pada pasal 14 ayat 3 UU Kebermanfaatan dan Berkeadilan dalam Perkebunan disebutkan bahwa ketentuan UU Perkebunan: Pasal 14 (ayat 1: lebih lanjut mengenai penetapan batasan Pemerintah Pusat menetapkan batasan
luas diatur dalam Peraturan Pemerintah. luas maksimum dan minimum penggu- Sementara itu, sampai saat ini amanat naan lahan untuk Usaha Perkebunan, ayat UU Perkebunan tersebut hanya terdapat
2: dasar pertimbangan dalam penetapan dalam Peraturan Menteri Pertanian RI No- batasan luas maksimum, dan ayat 3: per- mor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang lunya peraturan pemerintah untuk peneta- Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan.
pan batasan luas)
Selain itu, berdasarkan hasil Kedua, asas-asas yang berkai- analisis peraturan perundang-undangan tan dengan “kewenangan” membuat menunjukkan bahwa penetapan batas pengaturan luas maksimum penggunaan luas maksimum penggunaan lahan untuk lahan untuk Usaha Perkebunan diatur se- Usaha Perkebunan perlu dilakukan karena bagai Hak Menguasai dari Negara/HMN memilikilandasanfilosofis,landasansosi- dalam UUPA: pasal 2 ayat 2 (sebagaimana ologis serta terdapat sejumlah peraturan- termaktub dalam pasal 2 ayat 1 UUPA). perundang-undangan lain yang sejalan.
Ketiga, peraturan dan perundang-
Landasan Filosofis
undangan yang sejalan dengan pengaturan Pasal 33 UUD 1945 melarang luas maksimum penggunaan lahan untuk adanya penguasaan sumber daya alam Usaha Perkebunan yaitu: 1) UU RI Nomor ditangan Perorangan atau Pihak-pihak ter-
19 Tahun 2013: Perlindungan dan Pem- tentu. Dengan kata lain monopoli, oligopoli berdayaan Petani, dalam : pasal 7 (Ayat maupun praktek kartel dalam bidang
3: strategi pemberdayaan petani dilaku- pengelolaan sumber daya alam dianggap kan melalui konsolidasi dan jaminan lua- bertentangan dengan prinsip Pasal 33 san lahan pertanian, pasal 60 (pemberian UUD 1945.
lahan pertanian terutama kepada petani
Landasan Sosiologis
setempat yang: a. tidak memiliki lahan, Pertama, asas-asas yang berkai-
b. memiliki lahan pertanian kurang dari 2 tan dengan “keharusan” pengaturan luas (dua) hektar. 2) UU RI Nomor 25 Tahun
Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30
2007: Penanaman Modal, dalam pasal 4 keberadaannya dan mempunyai kekuatan Ayat 2 dan pasal 13 (perlunya prioritas ke- hukum mengikat sepanjang diperintahkan sempatan dan perlindungan UMKM serta oleh Peraturan Perundang-undangan yang pencadangan untuk UMKM). 3) UU Nomor lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan ke-
5 Tahun 1999: UU Larangan Praktek Mo- wenangan. nopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Hasil analisis fakta empiris tentang dalam Pasal 27: 1 (satu) pelaku usaha/ke- kondisi struktur dan ketimpangan dalam lompok pelaku usaha menguasai lebih dari penguasaan lahan serta kebutuhan la- 50%, 2 - 3 pelaku usaha/kelompok pelaku pangan berusaha dan kondisi kemiskinan usaha menguasai lebih dari 75%. 4) PP RI di pedesaan, hasil ANP tentang persepsi Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB para pakar terkait prioritas pembatasan dan Hak Pakai Atas Tanah dalam pasal 5 luas lahan maksimum untuk usaha perke- ayat 2: Luas maksimum HGU untuk Badan bunan, serta hasil analisis peraturan Hukum ditetapkan oleh Menteri dengan perundang -undangan menunjukkan perlu- pertimbangan satuan usaha paling ber- nya peraturan tentang penetapan batasan dayaguna. 5) Peraturan Menteri Agraria luas maksimum penggunaan lahan untuk dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
usaha perkebunan.
Nasional Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Merujuk kepada analisa sistem Lokasi untuk usaha perkebunan yang di- (System Dynamics ) dapat diidentifikasi usahakan dalam bentuk perkebunan besar bahwa penentuan batas luas maksimum dengan diberikan HGU (Pasal 4).
penggunaan lahan pada usaha perkebu- Untuk point 3) sampai dengan 5), nan kelapa sawit harus dilakukan dengan meskipun secara yuridis sejalan dengan memperhatikan asas berkeadilan, asas pengaturan batasan luas maksimum peng- efisiensisertaregulasidankebijakanserta gunaan lahan untuk Usaha Perkebunan mengutamakan kelestarian lingkungan. tetapi masih diperlukan harmonisasi hu- Penerapan asas berkeadilan dalam kum.
penyelenggaraan usaha perkebunan lebih
Landasan Yuridis
kompleks dibandingkan dengan penerapan Pertimbangan hukum perlunya asasefisiensi.Asasberkeadilandibangun pengaturan pembatasan luas lahan perke- oleh aspek sosial, aspek teknis dan aspek bunan ini adalah untuk mengatasi perma- ekonomi, sedangkan asas efisiensi lebih salahan hukum dengan mempertimbang- banyak ditentukan oleh aspek ekonomi. kan aturan yang telah ada. Oleh karenanya Asas berkeadilan dalam usaha perke- peraturan yang masih ada perlu dirubah bunan yang menjadi penentu batas luas atau dicabut guna menjamin kepastian hu- maksimal penguasaan lahan dibentuk oleh kum dan rasa keadilan masyarakat. Dalam aspek sosial, aspek teknis, aspek ekonomi hal ini adalah peraturan pembatasan luas serta aspek regulasi dan kebijakan. Aspek maksimal penggunaan lahan untuk usaha sosial yang membentuk asas berkeadilan perkebunan yang terdapat dalam Permen- di antaranya: fasilitasi dan kemitraan an- tan RI No 98/Permentan/OT.140/9/ 2013 tara perkebunan rakyat (PR) dan perke- tentang Pedoman Perizinan Usaha Perke- bunan besar swasta (PBS). Aspek regu- bunan. Saat ini, posisi peraturan tersebut lasi dan kebijakan yang membentuk asas kurang kuat karena secara hirarki tidak berkeadilan adalah persaingan usaha ti- dudukung oleh Peraturan Pemerintah.
dak sehat yang bersumber dari ketimpa- Namun demikian, Peraturan ngan penguasaan dan penggunaan lahan Perundang -undangan yang masih ada, se- antara PR dan PBS. Penguasaan dan lama belum disahkannya Rancangan Per- penggunaan lahan merupakan salah satu aturan Pemerintah (RPP) ini, tetap diakui indikator yang digunakan sebagai penentu
Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30
penggunaan sarana produksi dalam as- Direktorat Jenderal Perkebunan. 2016. pek teknis usaha perkebunan. Selanjutnya
Statistik Perkebunan Indonesia 2015 aspek ekonomi yang membentuk asas
– 2017: Kelapa Sawit. Direktorat berkeadilan adalah pendapatan PR yang
Jenderal Perkebunan. ditentukan oleh produksi kebun PR
Fadjar, U., Herman, dan Ivanovic Agusta. Berbeda dengan asas berkeadi- lan,asasefisiensidalamusahaperkebu- 2002. Identifikasi Konflik antara
Perkebunan Besar dengan Masyarakat nan kelapa sawit yang menjadi penentu
Sekitar. Lembaga Riset Perkebunan batas maksimal kepemilikan dan pengua-
Indonesia.
saan lahan lebih dominan dibentuk oleh aspek ekonomi seperti modal finansial Fadjar,Undang.2007.IdentifikasiKonflik
perusahaan dan skala ekonomis. Kom- antara Perkebunan Besar dengan ponen manajemen perusahaan perkebu-
Masyarakat Sekitar dan Potensi nan memegang peranan penting dalam
Pengembangan Modal Sosial untuk menjalankan asas efisiensi ini. Pengelo-
Mengatasinya. Tinjauan Komoditas laan aspek teknis perkebunan yang baik
Perkebunan. Vol 7 No 1 Juli 2007. akan meningkatkan skala ekonomis dan
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. efisiensiperusahaanperkebunan,baikpe- Fadjar, Undang. 2009. Penguasaan Lahan rusahaan yang terintegrasi budidaya dan
dan Implikasinya terhadap Diferensiasi pengolahan maupun hanya budidaya saja.
Struktur Sosial dan Kesejahteraan Pet- Selain itu, menjaga kelestarian lingkungan
ani. Studi Kasus pada Dua Komunitas sehinggga usaha perkebunan yang dike-
Petani Kelapa Sawit di Provinsi Riau. lola oleh seluruh pelaku usaha perkebu-
Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. Volume nan akan berjalan secara berkelanjutan
karenadapatmeredamkonfliksosialyang 17, Nomor 3, Desember 2009. bersumber dari ketidakadilan penguasaan Fadjar, Undang. 2009. Transformasi Struk-
sumber daya lahan. tur Agraria dan Diferensiasi Sosial pada Komunitas Petani. Studi Kasus Pada
Daftar Pustaka
Empat Komunitas Petani Kakao di Biro Pusat Statistik. 2017. https://www.bps.
Propinsi Sulawesi Tengah dan Nangroe go.id/index.php
Aceh Darussalam. Disertasi. IPB. Capricorn Indonesia Consult, 2000. Pow- Haryono, M. N. 2011. Sejarah Perkem-
dered Coffee Industry and Market in bangan Tanaman Kelapa Sawit di Indonesia. Indocommercial No. 246:3-
Indonesia. http://tehnikbudidayake-
22. lapasawit.blogspot.co.id/2011/09/ sejarah-perkembangan-tanaman-
Commercial Global Data Research, 2016.
kelapa.html
Studi tentang Pasar dan Prospek In- dustri Minyak Sawit dan Turunannya Hasyim, Wan. 1988. Peasant under Pe- di Indonesia. http://commercialglobal-
ripheral Capitalism. Penerbit Universiti dataresearch.blogspot.co.id/2016/01/
Kebangsaan Malaysia. penawaran-buku-studi-tentang-kondisi. Herman, dan Fadjar. 2000. Kajian terhadap
html Kinerja Penerapan Lima Pola Pengem- Direktorat Jenderal Perkebunan. 2016.
bangan Perkebunan. Lembaga Riset Tinjauan Besaran Penanaman Modal
Perkebunan Indonesia. Bogor. Asing Pada Usaha Perkebunan. Direk- IvanovicdanFadjar.2002.KonflikPerkebu-
torat Jenderal Perkebunan nan Mutakhir dan Manajemen Social
Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30
di Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Rakyat di Sektor Perkebunan. Bogor.
Pakpahan. A. 2016. Perkebunan Inti Rakyat Kansil, CTS. 2002. Pengantar Ilmu Hu-
(PIR) Generasi ke II: Transformasi kum dan Tata Hukum Indonesia. Balai
dari Ketergantungan ke Kemandirian Pustaka. Jakarta.
Ekonomi dalam Teropong Perkebu- nan Pemerdekaan Indonesia. Media
Kementerian Perindustrian. 2017. Pemer-
Perkebunan
intah Siapkan Skema Integrasi Industri Hulu-Hilir. Siaran Pers. http://www. Pakpahan. A. 2016. Abad ke 21: Apa Kebi- kemenperin.go.id/artikel/17329/
jakan Lahan untuk Perkebunan ? dalam Pemerintah-Siapkan-Skema-Integrasi-
Teropong Perkebunan Pemerdekaan Industri-Hulu-Hilir
Indonesia. Media Perkebunan Lay, A. dan P. M. Pasang. 2012. Stategi, dan Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum,
Implementasi Pengembangan Produuk PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2000. Kelapa Masa Depan. Prosfektif. Pros-
Russel, James W. 1989. Modes of Pro- fektif, Vol 11. No. 1: 1-22. duction in World History. Routledge.
Margrit, A. 2016. Pasokan Terbatas, Utilitas London and New York Pabrik Olahan Kelapa Menyusut. 05
Sajogyo. 2002. Struktur Agraria, Proses September 2016. http://industri.bis-
Lokal, dan Pola Kekuasaan dalam E. nis.com/read/20160905/99/581181/ Suhendar dkk. (penyunting) Menuju pasokan-terbatas-utilitas-pabrik- Keadilan Agraria. AKATIGA. Bandung olahan-kelapa-menyusut
Setiawan. B. 1997. Konsep Pembaharuan Mubyarto. Dkk. 1992. Tanah dan Tenaga Agraria: Sebuah Tinjauan Umum dalam Kerja Perkebunan. Aditya Media. Dianto Bachriadi, dkk. (editor) Reforma Jogyakarta Agraria: Perubahan Politik, Sengketa,
Muchsin. 2005. Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan dan agenda Pembaharuan Agraria. Penerbit Iblam. Jakarta.
Shanin, Teodor. 1990. Defining Peasant. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2008.
Essays Conserning Rural Societies, Seri Hukum Harta Kekayaan. Hak-Hak
Expolary Economies, and Learning Atas Tanah. Kencana. Jakarta.
from them in the Contemporary World. Nasution, Lutfi. 2000. Pemberdayaan Basil Blackwell. Cambridge.
Peran Badan Pertanahan Nasional Sihombing, BF. Evolusi Kebijakan Pertana- Dalam Mengelola Sengketa Agraria.
han Dalam Hukum Tanah Indonesia, Prosiding Pola Penguasaan Lahan dan
PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta Pola Usaha Serta Pemberdayaan BPN
www.property.net, diakses pada tang- dan Pemda dalam Rangka Partisipasi
gal 20 November 2008. Rakyat di sektor Perkebunan. Pusat
Soimin, Sudharyo. 2001. Status Hak dan Kajian Agraria – LP IPB. Bogor Pembebasan Tanah. Edisi Ketiga. Sinar
Pakpahan, A. 2000. “Peranan HGU dalam
Grafika,Jakarta.
Pengembangan Perkebunan Besar”, Sumardjono, Maria. 2008. Tanah dalam dalam E. Soetarto, et.al., Prosiding Lo- Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan kakarya Pola Penguasaan Lahan dan Budaya. Penerbit Buku Kompas. Pola Usaha serta Pemberdayaan BPN
Jakarta.
dan Pemda dalam Rangka Partisipasi Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Sinar
Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30
Grafika.Jakarta.2008. Suprihatini, R. 2015. Analisis Supply Chain
Teh Indonesia. Jurnal Penelitian Teh dan Kina, (18)2: 107-118.
Susanto, P. 2014. Kebijakan Pemerintah dalam Mendorong Industri Kopi, Kakao, dan Teh di Indonesia. www.kadin- indonesia.or.id/.../ RTD%20Kakao.../ Bahan%20Presentasi%20Dirjen%20I
Suwismo, A. 2016. Database Industri Perke- bunan Kelapa Sawit (Hulu - Hilir).
http://dataindustri.blogspot. co.id/2016/05/database-industri- perkebunan-kelapa.html
Tesfamariam, D., & Lindberg, B. (2005). Aggregate Analysis of Manufacturing Systems Using System Dynamics and ANP. Computers & Industrial Engineer- ing, 49 (1), 98-117.
Toha, M. 2016. Solusi Optimalisasi Industri Tebu Rakyat. http://www. kompasiana.com/mochamad- toha/solusi-optimalisasi-industri-tebu- rakyat_579c68e2f692731a142957e0
Trade Statistics for International Business Development Monthly, quarterly and yearly trade data. Import & Export values, volumes, growth rates, market shares, etc. 2017. www.trademap.org
Wiradi, G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria dalam Tjondrone- goro (editor). Dua Abad Penguasaan Tanah. PT Gramedia. Jakarta.
Wolstenholme, E. F. (2003). Towards the Definition and Use of A Core Set of Archetypal Structures in System Dy-
namics. System Dynamics Review, 19 (1), 7-26.