Aspek Hukum dan Ekonomi Dalam Penetapan Batas Luas Penggunaan La- han Untuk Usaha Perkebunan Sawit Yang Selaras Dengan Asas Efisiensi dan Berkeadilan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat

Media Trend

Berkala Kajian Ekonomi dan Studi Pembangunan

http://journal.trunojoyo.ac.id/mediatrend

Aspek Hukum dan Ekonomi Dalam Penetapan Batas Luas Penggunaan La- han Untuk Usaha Perkebunan Sawit Yang Selaras Dengan Asas Efisiensi dan Berkeadilan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat

Bayu Kharisma 1* , Rudi Kurniawan 2

Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran

Informasi Artikel

ABSTRACT

Sejarah artikel: The role of the plantation in the provision of business opportunities is increasingly Diterima September 2017

important as the number of Indonesians continues to increase while the opportunities Disetujui Februari 2018

Dipublikasikan Maret for work in other sub-sectors are not rapid. By 2015, Indonesia’s population will reach

2018 255.5 million people and 20 years later (in 2035) will be 305.7 million people (BPS, 206). To date, almost half of Indonesia’s population lives in rural areas, which will

Keywords: rely on plantations as a source of income. The purpose of this study is to see whether Plantation Sector,

or not it is necessary to establish a maximum permit limit on the use of land for oil Oil Palm, Efficiency Principle And

palm plantations from the economic and legal aspects by considering the efficiency and Fair Principle,

fairness aspects, since the commodity is a national strategic flagship. The methodology Land Tenure Gap,

used in this review is built on the System dynamics framework through Causal Loop Legislation,

Diagram (CLD) which shows the relevant relationships and feedback between model System Dynamics

parameters based on efficiency and fairness principles. In addition, the analysis of legislation related to the limitation of land area in the oil palm plantation business in Indonesia. Based on the results of the regulatory analysis analysis, it is necessary to stipulate the regulation on limiting the maximum area of land use for oil palm plantation business in 1 (one) company or group of plantation companies for the commodities / plantations of oil palm plantations. In addition, the results based on system dynamics indicate that the determination of the maximum extent of land use in the oil palm plantation business should be done by considering the principle of justice, the principle of efficiency and regulation and policy and prioritizing environmental sustainability. Implementation of fairness principle in the organization of plantation business is more complex than the application of efficiency principle. Fairness is built by social aspects, technical aspects and economic aspects, while the principle of efficiency is more determined by economic aspects.

© 2018 MediaTrend

Penulis korespondensi: E-mail: [email protected]

DOI: http://dx.doi.org/10.21107/mediatrend.v13i1.3143 2460-7649 © 2018 MediaTrend. All rights reserved.

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

Pendahuluan

Perkebunan merupakan salah satu sub-sektor yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangu- nan nasional. Data Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi PDB sub sek- tor perkebunan terhadap PDB nasional tahun 2015 diperkirakan sebesar 3,90% berdasarkan harga konstan 2010 (BPS, 2015).

Pentingnya peranan perkebunan selain sebagai penghasil devisa, pemenu- han kebutuhan konsumsi dalam negeri dan bahan baku berbagai industri dalam negeri (termasuk energi terbarukan) juga yang tak kalah pentingnya adalah sebagai penyedia peluang bekerja/berusaha bagi masyarakat Indonesia. Peranan sub sek- tor perkebunan dalam penyediaan peluang berusaha/bekerja semakin penting, meng- ingat jumlah penduduk Indonesia terus bertambah sedangkan peluang berusaha/ bekerja yang diciptakan sub sektor lain ti- dak berlangsung sangat pesat. Menurut data BPS, pada tahun 2015 jumlah pen- duduk Indonesia sudah mencapai 255,5 juta jiwa dan 20 tahun kemudian (tahun 2035) akan menjadi 305,7 juta jiwa. Sam- pai dengan saat ini dan 20 tahun ke depan hampir setengah dari penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan yang tentunya akan mengandalkan perkebunan sebagai sumber pendapatannya.

Dalam kegiatan usaha perkebu- nan, sumber daya lahan merupakan salah satu elemen daya/atau kekuatan produksi (force of production) yang penting karena lahan itulah kegiatan produksi komoditas perkebunan sebagai penghasil “surplus”. Terkait dengan keberadaan sumber daya lahan sebagai elemen “kekuatan produksi”, maka muncul berbagai pola hubungan an- tara manusia dan sumber daya lahan serta hubungan sosial atau kelembagaan di an- tara para pelaku usaha perkebunan atau antara pelaku usaha perkebunan dengan pihak lain agar mereka dapat menguasai

dan memanfaatkan sebidang sumber daya lahan yang mereka perlukan.

Pada sub sektor perkebunan, sum- ber daya lahan yang secara teknis layak untuk mengusahakan tanaman perke- bunan tertentu akan diperebutkan di an- tara para pelaku usaha yang memiliki

kemampuan­­ teknis­ dan­ finansial­ berbe-

da. Statistik Perkebunan Indonesia tahun 2015-2017 (Ditjenbun, 2016) menunjuk- kan bahwa luas sumber daya lahan yang telah digunakan untuk usaha perkebunan di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 23,21 juta hektar, dan 48,52% dari total areal tersebut (11,26 juta hektar) digunakan untuk usaha perkebunan kelapa sawit.

Para pelaku usaha perkebunan di Indonesia terdiri dari: 1) Perusahaan Perkebunan Besar Swasta (PMDN dan PMA); 2) Perusahaan Perkebunan Besar Negara; dan 3) Pekebun. Adanya perbe- daan­ kemampuan­ teknis­ dan­ finansial­ di­

antara para pelaku usaha tersebut lebih lanjut akan mempengaruhi tingkat kemam- puan mereka dalam menguasai besaran luas lahan yang akan digunakannya dalam melakukan usaha perkebunan. Oleh sebab itu, hadirnya pemerintah melalui kebijakan yang mengatur besaran luas penguasaan sumber daya lahan untuk usaha perke- bunan sangat diperlukan, agar usaha tersebut dapat berjalan berdasarkan asas

efisiensi­dan­asas­berkeadilan­secara­ber- samaan. Bila tidak demikian, maka akan timbul kesenjangan penguasaan lahan yang akan mendorong semakin tajamnya kesenjangan ekonomi dan sosial sehingga

kemudian­akan­memicu­terjadinya­konflik­ sosial vertikal maupun horizontal. Lebih lanjut, bila hal ini terjadi maka keberlanju- tan penyelenggaraan usaha perkebunan secara keseluruhan akan terganggu.

Dalam pola hubungan sosial/kelem- bagaan agraria atau penguasaan lahan, pemerintah dapat melakukan peranan se- bagai pengatur hubungan antara manusia dengan tanah, manusia dengan manusia (hubungan sosial/kelembagaan agraria),

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

tetapi dapat juga sebagai pihak yang me- miliki klaim penguasaan tanah dengan nama “tanah negara”. Di Indonesia, penguasaan tanah oleh negara yang juga disebut Hak Menguasai dari Negara (HMN) dilandasi oleh UUD 45 pasal 33 ayat (3) dan kemudian dituangkan dalam UUPA pasal 2 ayat (2). Hak negara terse- but merupakan hak menguasai yang sama dengan hak communes atau hak imperium. Sebenarnya, sebagaimana juga dikemuka- kan oleh Nasution (2000) hak menguasai dari negara (HMN) mengandung penger- tian tentang perlunya peranan aktif dari pemerintah dalam mengatur penguasaan dan penataan penggunaan tanah untuk mencapai tujuan nasional.

Struktur penguasaan lahan pada usaha perkebunan, berbeda antar komodi- tas perkebunan. Pada usaha kelapa sawit dan teh, penguasaan lahan didominasi oleh perkebunan besar, masing-masing 59,7% dan 53,4%. Pada usaha kelapa sawit, penguasaan lahan oleh perusahaan swasta jauh lebih dominan dari pada pe- rusahaan negara, yaitu masing-masing 53,1% dan 6,6%. Sejalan dengan struktur penguasaan lahan tersebut, ketimpangan penguasaan lahan tertinggi terjadi pada usaha kelapa sawit berada pada kategori “ketimpangan cukup tinggi”, dimana 40% pelaku usaha kebun kelapa sawit hanya menguasai 15,7% total lahan yang digu- nakan untuk usaha kelapa sawit. Bersa- maan dengan itu, luas pemilikan lahan se- tiap pekebun umumnya masih jauh lebih kecil dari luas lahan ideal yang diperlu- kan agar pekebun mampu mengelola ke- bun secara intensif, mampu membiayai peremajaan kebun, dan mensejahterakan keluarganya.

Bila kondisi ketimpangan terus tumbuh bersamaan dengan masih adanya pengangguran dan kemiskinan di wilayah- wilayah usaha perkebunan, maka kondisi ini­ akan­ mendorong­ terjadinya­ konflik­

sosial. Kondisi ini bila dibiarkan sangat po- tensial menimbulkan iklim usaha yang tidak

kondusif dan kemudian akan mengganggu berlangsungnya usaha perkebunan secara keseluruhan. Sub-sektor perkebunan ma- sih perlu ditingkatkan perannya dalam pe- nyediaan lapangan berusaha/bekerja dan dalam mengatasi kemiskinan” mengingat angkatan kerja di Indonesia terus mening- kat sejalan pertumbuhan penduduk (1,4%/ tahun periode 2000-2014), penganggu- ran masih terus terjadi karena pertumbu- han angkatan kerja lebih kecil dari pada peluang bekerja/berusaha (tahun 2001 sebanyak 8 juta dan tahun 2013 sebanyak 7,3 juta), dan kemiskinan juga masih ter- jadi di seluruh provinsi (tahun 2015 se- banyak 11,7% penduduk Indonesia masih miskin). Penduduk miskin tersebut terjadi baik pada kelompok penduduk yang tidak bekerja sebesar 26% ataupun yang beker- ja di sektor pertanian sebesar 36% (terma- suk yang bekerja di sub sektor perkebu- nan) maupun yang bekerja di sektor non pertanian sebesar 38%.

Berkaitan dengan masih tingginya permasalahan ketimpangan penguasaan lahan pada usaha kelapa sawit maka tu- juan dalam kajian ini adalah menganalisa perlu atau tidaknya dilakukannya peneta- pan batas luas maksimum penggunaan lahan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dengan memperhatikan aspek eko- nomi dan hukum yang berlandaskan as-

pek­ efisiensi­ dan­ berkeadilan,­ mengingat­ komoditas tersebut merupakan unggulan strategis nasional. Meskipun dalam pasal

14 ayat 1 UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang diamanatkan adalah penetapan batasan “luas maksimum” dan “luas minimum” penggunaan lahan un- tuk Usaha Perkebunan, tetapi tinjauan ini hanya fokus pada penetapan batasan “luas maksimum”. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencegah penguasaan lahan yang melampaui batas dan monopoli swasta, sebagaimana ter- cantum pada pasal 7 dan pasal 12 ayat 3 dalam UU RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

Selain itu, kebijakan yang dilakukan oleh Prosedur Dinamika Sistem

Pemerintah mengacu pada kelestarian Metode pemodelan dinamika lingkungan yang berlandaskan UU. No. sistem pada dasarnya bertujuan untuk

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan menemukan dan menunjukan proses um- Pengelolaan Lingkungan Hidup.

pan balik (feedback). Pembelajaran dari struktur yang dibangun berdasarkan ke-

Metodologi Penelitian

pada umpan balik dengan mengumpul- Kompleksitas yang saling terkait kan feedback informasi mengenai dunia antara aspek sosial, ekonomi, teknis serta nyata. Langkah-langkah yang dilakukan regulasi dan kebijakan pada pengusahaan dalam pemodelan sistem adalah sebagai lahan komoditas kelapa sawit maka diper- berikut (Sterman, 2000): a) Perumusan lukan pemahaman yang komprehensif dan masalah:­ identifikasi­ persoalan,­ variabel­ holistik agar tidak terjadi kesalahan dalam kunci, waktu terjadinya masalah, historis melakukan analisis untuk pengambilan perilaku dari variabel kunci; b) Formulasi kesimpulan maupun penentuan keputusan hipotesis dinamika : problematisasi secara yang dilakukan oleh pemerintah.

konseptual, fokus terhadap konsekuensi Model yang digunakan dalam dari struktur feedback, pemetaan dengan tinjauan ini dibangun dengan kerangka menggunakan diagram hubungan se- kerja System dynamics melalui Causal bab akibat; c) Formulasi model simulasi: Loop Diagram (CLD) yang menunjukkan kaidah keputusan, perkiraan parameter, hubungan yang relevan dan feedback pengujian konsistensi; d) Pengujian: antara parameter model yang berlandas- membandingkan dengan perilaku historis, kan­ asas­ efisiensi­ dan­ asas­ berkeadilan­ pengujian pada kondisi ekstrim, sensitivi-

dan peraturan perundang-undangan yang tas; e) Desain kebijakan dan evaluasi: ske- terkait dengan pembatasan luas lahan nario kebijakan, perancangan kebijakan, pada usaha perkebunan kelapa sawit di analisis sensitivitas, dan interaksi antar ke- Indonesia.

bijakan.

Metode Dinamika Sistem (System Dy- Pendekatan Cara Berpikir Sistem (Sys- namic)

tem Thinking)

Metodologi dinamika sistem System thinking berperan sebagai merupakan strategi yang cocok untuk bahasa dan alat dalam mengkomunikasi- menjawab pertanyaan penelitian ”how” kan suatu persoalan penentuan batas be- dan ”why”, dimana pertanyaan ini dijawab saran luas maksimum penggunaan lahan dengan pendekatan struktural. Pertanyaan

pada usaha perkebunan agar lebih mu- dijelaskan dengan menggambarkan dah dipahami dan komunikatif. Terdapat hubungan kausalitas dan saling ketergan- beberapa prinsip yang mendasar dalam tungan satu faktor dengan faktor lainnya. systems thinking agar dapat lebih me- Struktur pada perancangan model ditentu- mahami dan mengkomunikasikan suatu kan oleh konseptualisasi literatur tertulis, permasalahan (Anderson & Johnson, tujuan, informasi keputusan (expert meet- 1997),­yaitu:­(1)­Berfikir­dengan­gambaran­­ ing) dan tertulis (data sekunder) dengan besar (”Big Pictures”). Yang dimaksud menggunakan kaidah “feedback-loops”. dengan­­ berfikir­ dengan­ gambaran­ besar­ Penggunaan Causal Loop Diagram (CLD) yaitu dengan melihat dampak-dampak dengan sistem archetype menunjukkan (efect) perubahan-perubahan sistem, hubungan yang relevan dan feedback loop karena permasalahan yang terjadi saat ini antar parameter model.

merupakan bagian dari sistem yang besar. Dalam menemukan sumber-sumber per-

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

soalan yang muncul, harus memperluas penglihatan pada sistem besar. Dengan perspektif yang luas akan lebih mudah menemukan solusi yang efektif; (2) Me- nyeimbangkan perspektif jangka pendek dan jangka panjang. Systems thinking dapat memperlihatkan perilaku dimana kesuksesan jangka pendek akan memberi pengaruh negatif dalam jangka panjang. Akan tetapi bukan berarti juga melihat jang- ka pendek akan berpengaruh lebih baik dengan kondisi saat ini. Kuncinya adalah pusatkan perhatian pada dampak potensial dalam penentuan keputusan atau strategi yang dibuat; (3) Mengenali dinamika, kom- plek, dan kebergantungan (interdepen- dent) alamiah suatu sistem. Saat melihat realitas dunia secara sistematis, akan nam- pak jelas segala sesuatu itu dinamis, kom- plek dan saling bergantung. Saat meragu- kan dapat memecahkan persoalan yang sangat besar dan ketidakpastian masa depan, cobalah mulai dari hal-hal seder- hana. Systems thinking tidak menganjur- kan untuk mengesampingkan semua per- masalahan bersama-sama. Sebaliknya systems thinking mengingatkan untuk be- rawal dari hal-hal yang sederhana, struk-

tur­dan­membatasi­berfikir­linier.­Hal­pokok­ yang ditekankan adalah semua sistem

berhubungan dari dalam dan dari luar; (4) Mengumpulkan faktor-faktor yang terukur (measurable) dan tak terukur (non mea- surable). Nilai-nilai kuantitatif (terukur) dan tak terukur hanyalah suatu kebalikan saja, systems thinking menggunakan keduanya. Sebagai contoh yang terukur seperti biaya, penjualan, produksi, dan sebagainya, se- dangkan contoh yang tidak terukur seperti moral, sikap, dan sebagainya, keduanya penting dan perlu untuk dipertimbangkan. Satu hal yang perlu diingat adalah systems thinking adalah tidak terfokus pada data yang terukur saja seperti data-data statis- tik, tetapi juga gejala lain yang bersifat ti- dak terukur.

Pendekatan berpikir sistem memi- liki alat (tools) yang dikenal dengan nama

sistem archetype yang berguna untuk mengenali pola tingkah laku sistem. Tiap archetype menggambarkan garis cerita dengan tema tersendiri, pola tingkah laku secara khusus dapat digambarkan dan struktur sistem yang unik dapat dilukis- kan dengan diagram sebab akibat (causal loop diagram/ CLD). Keterkaitan antara berbagai unsur dari berbagai kriteria yang terdiri dari aspek teknis, aspek ekonomi, aspek sosial serta aspek regulasi dan kebi- jakan digambarkan dalam sebuah struktur yang di dalamnya dibangun menggunakan system archetype dalam CLD (causal loop diagram).

Sistem archetype ialah alat (tools) dari systems thinking yang berguna untuk mengenali pola tingkah laku sistem. Tiap archetype menggambarkan garis cerita dengan tema tersendiri, pola tingkah laku secara khusus dapat digambarkan dan struktur sistem yang unik dapat dilukiskan dengan diagram causal loop diagram.

Wolstenholme (2003), mengatakan bahwa setiap struktur terdiri atas aksi atau konsekuensi yang diharapkan (in- tended consequences) dan reaksi atau konsekuensi yang tidak diharapkan (unin- tended consequences) serta waktu tunda (delay) pada reaksi. Systems archetype dapat digunakan untuk membantu mem- bangkitkan pemahaman serta aplikasinya pada berbagai bidang.

Hasil dan Pembahasan

1. Analisis Sistem Hukum

a. Sistem Hukum Terkait Pembatasan Lahan Usaha Perkebunan

Hukum merupakan sistem, arti- nya hukum merupakan tatanan dan merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur - -unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang ter- diri dari unsur -unsur yang mempunyai in- teraksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti per- yang memiliki nilai tambah secara ekono- aturan hukum, asas hukum dan pengertian mi dan berkelanjutan. Undang-undang No hukum.

39 Tahun 2014 tentang perkebunan, pada Demikian halnya dengan Sistem pasal­1­mendefiniskan­perkebunan­adalah­ Hukum Perkebunan. Sistem hukum perke- segala kegiatan pengelolaan sumber daya bunan bukan merupakan sistem hukum alam, sarana produksi, alat dan mesin, yang berdiri sendiri namun berkaitan budi data, panen, pengolahan, dan pema- dengan sistem-sistem hukum yang lain saran terkait Tanaman Perkebunan.

(Gambar 1.). Dari pengertian dan Gam- Secara hierarki, sistem hukum bar 1. tersebut dapat dipahami bahwa perkebunan merupakan perkembangan sistem hukum perkebunan merupakan dari sistem hukum agraria. Sistem hu- sistem yang terbuka. Artinya, sistem hu- kum agraria adalah bagian dari sistem kum ini merupakan kesatuan unsur-unsur hukum benda yang merupakan ba- (peraturan, penetapan) yang dipengaruhi gian dari sistem hukum perdata. faktor-faktor kebudayaan, sosial, ekonomi, Oleh karenanya sistem hukum perkebunan sejarah dan sebagainya. Peraturan-per- tidak bisa dilepaskan dari hukum agraria aturan hukum itu terbuka untuk penafsiran dan tata ruang (Gambar 2.).Sistem hukum yang berbeda, oleh karena itu selalu ter- perkebunan ini pun erat kaitannya dengan jadi perkembangan.

hukum perusahaan, hukum investasi, hu- ­

Perkebunan­secara­harfiah­adalah­ kum persaingan usaha serta peraturan pe- segala kegiatan pengelolaan potensi rundang-undangan tentang perlindungan

perkebunan mulai dari hulu sampai ke hilir dan pemberdayaan petani (Gambar 3.)

Gambar 1. Sistem Hukum Perkebunan

Gambar 2.

Hirarki Peraturan Tentang Perkebunan

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

b. Sistem Hukum Perkebunan Peri- ode Indonesia Merdeka Sampai Tahun 1960

Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mengakibatkan bangsa Indonesia mem- peroleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh ma- syarakat sudah menjadi hal yang sangat kompleks. Masyarakat yang belum ber- kesempatan menduduki tanah perkebu- nan, dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah tersebut. Selain itu, per- aturan-peraturan hukum yang ditinggalkan penjajah Belanda masih membelenggu bangsa Indonesia. KUHPerdata yang ber- laku di Indonesia merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPer- data yang berlaku di Belanda dengan be- berapa perubahan berdasarkan asas kon- kordansi diberlakukan di Indonesia.

c. Sistem Hukum Perkebunan Pasca UUPA 1960

Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di tahun 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan per- tanahan di Indonesia. Penghapusan kebi- jakan-kebijakan pertanahan ala pemerintah kolonial Belanda ditanggalkan satu persatu melalui lahirnya undang-undang tersebut. Pemerintah Orde lama dalam menetapkan UUPA sebagai hukum agraria nasional

telah melakukan tidak sekedar perbaikan,

tetapi juga perombakan terhadap sendi- sendi hukum agraria kolonial sehingga UUPA memiliki substansi yang berbeda dan lebih sesuai dengan kepentingan dan nilai-nilai dari bangsa yang sudah merde- ka. Proses yang demikian ini adalah wa- jar, mengingat hukum harus ditempatkan dalam konteks masyarakatnya. Hukum la- hir dan dipengaruhi oleh situasi dan kondi- si yang ada dalam masyarakat.

d. Sistem Hukum Perkebunan dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

Pemerintah RI telah mengundang- kan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebagai peng- ganti Undang-Undang No 18 Tahun 2004 pada tanggal 17 Oktober 2014 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lem- baran Negara Republik Indonesia Nomor 5613, selanjutnya disebut UU Perkebu- nan. UU Perkebunan tersebut mempunyai spirit utama untuk mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut ditunjukkan antara lain dengan pengaturan secara eksplisit maupun implisit mengenai keberpihakan kepada Masyarakat Perke- bunan dan Masyarakat (Hukum) Adat; Ke- mitraan; Peran Serta Masyarakat; Mengu- tamakan Penggunaan Penanaman Modal Dalam Negeri.

Gambar 3.

Skema Konstruksi Hukum Perkebunan

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam UU Perkebunan telah mengamanat yang terkandung dalam bumi adalah kan beberapa ketentuan untuk diatur lebih pokok-pokok kemakmur- an rakyat. Se- lanjut dalam peraturan pelaksanaan, yaitu bab itu harus dikuasai oleh Negara dan

21 (dua puluh satu) perihal yang akan di- dipergunakan untuk sebesar-besarnya atur dalam Peraturan Pemerintah dan 12 kemakmuran rakyat”. (dua belas) perihal yang akan diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan Peraturan Menteri. Berdasarkan ketentu- bahwa sumber daya alam dikuasai negara an Pasal 117 UU Perkebunan, peraturan dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi pelaksanaan tersebut harus ditetapkan kemakmuran rakyat. Dengan demikian, paling lama 2 (dua) tahun sejak UU Perke- monopoli pengaturan, penyelengaraan, bunan diundangkan.

penggunaan, persediaan dan pemelihara- Berdasarkan amanat UU tersebut an sumber daya alam serta pengaturan terdapat beberapa peraturan pelaksanaan hubungan hukumnya berada pada yang harus segera dibuatkan Peraturan negara. Dengan kata lain, monopoli; oli- Pemerintahnya, salah satunya adalah peri- gopoli maupun praktek kartel dalam bi- hal penetapan batasan luas maksimum dang pengelolaan sumber daya alam

dan luas minimum penggunaan lahan bertentangan dengan prinsip Pasal 33 untuk Usaha Perkebunan sebagaimana UUD 1945.

diamanatkan oleh Pasal 14 ayat 3. Oleh Dalam Pasal 33 ini menjelas- karena itu, pembuatan naskah akademik kan bahwa perekonomian Indonesia Peraturan Pemerintah ini harus selaras akan ditopang oleh 3 pelaku utama yaitu dengan konsepsi falsafah negara, tujuan Koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik nasional, UUD NRI Tahun 1945, UU Perke- Negara/Daerah), dan Swasta yang akan bunan dan undang-undang lain yang telah mewujudkan demokrasi ekonomi yang ada dan peraturan pelaksanaannya serta bercirikan mekanisme pasar, serta inter- kebijakan lainnya yang terkait.

vensi pemerintah, dan pengakuan terha- dap hak milik perseorangan. Penafsiran

2. Analisis Landasan Hukum

dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam

ayat 2 dan 3 tidak selalu dalam bentuk ­

a. Landasan Filosofis

Landasan­filosofis­merupakan­per- kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk timbangan atau alasan yang menggambar- kemampuan untuk melakukan kontrol dan

kan bahwa Rancangan Peraturan Pemerin- pengaturan serta memberikan pengaruh tah (RPP) Pengelolaan Usaha Perkebunan agar perusahaan tetap berpegang pada mempertimbangkan pandangan hidup, asas kepentingan mayoritas masyara- kesadaran, dan cita hukum yang meliputi kat, dan sebesar-besarnya kemakmuran suasana kebatinan serta falsafah bangsa rakyat.

Indonesia yang bersumber dari Pancasila Hak Menguasai dari Negara/HMN dan Pembukaan Undang-Undang Dasar dalam UUPA, khususnya pada pasal 2 ayat Negara RI Tahun 1945.

2 (sebagaimana termaksud dalam pasal 2 Berkaitan dengan itu maka yang ayat 1 UUPA) adalah memberi wewenang

menjadi­landasan­filosofis­tersebut­adalah­ untuk: a) mengatur dan menyelenggarakan Pasal 33 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 Undang- peruntukan; penggunaan; persediaan; dan undang Dasar 1945. Dalam Pasal 33 UUD pemeliharaan bumi; air; dan ruang angka- 1945 ini, memiliki makna bahwa kemak- sa tersebut, b) menentukan dan mengatur muran rakyat-lah yang harus di utamakan, hubungan-hubungan hukum antara orang bukan kemakmuran seseorang atau seke- dengan bumi, air, dan ruang angkasa, c)

lompok orang saja. Selanjutnya dikatakan menentukan dan mengatur hubungan-

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

hubungan hukum antara orang-orang dan kan menurut ketentuan-ketentuan dalam perbuatan-perbuatan hukum mengenai Peraturan Pemerintah, 4) Tercapainya ba- bumi, air, dan ruang angkasa.

tas minimum termaksud dalam ayat 1 dari pasal ini, yang akan ditetapkan dengan

b. Landasan Sosiologis

peraturan perundangan, dilaksanakan se- Rancangan Peraturan Pemerintah cara berangsur-angsur.

(RPP) Pengelolaan Usaha Perkebunan Kedua, Asas Tata Guna Ta- disusun dengan memperhatikan landasan nah (pasal 13, 14 dan 15 UUPA); Pasal

sosiologis yang merupakan pertimbangan

13 UUPA: 1) Pemerintah berusaha agar atau alasan yang menggambarkan adanya

supaya usaha-usaha dalam lapangan berbagai aspek kebutuhan masyarakat agraria diatur sedemikian rupa, sehingga dan negara. Landasan sosiologis yang meninggikan produksi dan kemakmu- berkaitan dengan pembatasan luas maksi- ran rakyat sebagai yang dimaksud dalam mum penggunaan lahan untuk usaha pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap perkebunan tersirat dalam Asas-asas Hu- warga negara Indonesia derajat hidup kum, baik itu Asas Hukum Agraria maupun yang sesuai dengan martabat manusia, Asas Hukum Perkebunan, yaitu: Perta- baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, ma, Asas Landreform (Pasal 7, 10 dan

2) Pemerintah mencegah adanya usa-

17 UUPA) a) Pasal 7 UUPA: Untuk tidak ha-usaha dalam lapangan agraria dari merugikan kepentingan umum maka pemi- organisasi -organisasi dan perseorangan likan dan penguasaan tanah yang melam- yang bersifat monopoli swasta, 3) Usaha- paui batas tidak diperkenankan. b) Pasal usaha Pemerintah dalam lapangan agraria

10 UUPA: 1) Setiap orang dan badan hu- yang bersifat monopoli hanya dapat kum yang mempunyai sesuatu hak atas diselenggarakan dengan Undang-undang, tanah pertanian pada asasnya diwajibkan

4) Pemerintah berusaha untuk memajukan mengerjakan atau mengusahakannya kepastian dan jaminan sosial, termasuk sendiri secara aktif, dengan mencegah bidang perburuhan, dalam usaha-usaha cara-cara pemerasan, 2) Pelaksanaan dilapangan agraria.

dari pada ketentuan dalam ayat 1 pasal ini Berkaitan dengan pengecualian akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pada Pasal 10 ayat 3 diatas, telah diatur perundangan, 3) Pengecualian terhadap dalam Pasal 51 Undang Undang No 5 asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur Tahun 1999 (UU tentang Larangan Mo- dalam peraturan perundangan. c) Pasal nopoli dan Persaingan Tidak Sehat) yang

17 UUPA: 1) Dengan mengingat ketentuan berbunyi : “Monopoli dan atau pemusatan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tu- kegiatan yang berkaitan dengan produksi juan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 dan atau pemasaran barang dan atau diatur luas maksimum dan/atau minimum jasa yang menguasai hajat hidup orang tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu

banyak serta cabang-cabang produksi hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu ke- yang penting bagi negara diatur dengan luarga atau badan hukum, 2) Penetapan undang-undang dan diselenggarakan oleh batas maksimum termaksud dalam ayat 1 Badan Usaha Milik Negara dan atau badan dari pasal ini dilakukan dengan peraturan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk perundangan didalam waktu yang singkat, oleh Pemerintah.”

3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan Cabang produksi yang menguasai dari batas maksimum termaksud dalam hajat hidup orang banyak dibagi ke dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah tiga kategori. Pertama terkait alokasi, yaitu dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya barang atau jasa yang berasal dari sumber dibagikan kepada rakyat yang membutuh- daya alam. Kedua terkait distribusi, yakni

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

kebutuhan pokok masyarakat, tapi suatu Pemberdayaan Petani, dalam pasal 7 ayat waktu atau terus menerus tidak dapat di-

3: strategi pemberdayaan petani dilakukan penuhi pasar. Ketiga terkait stabilisasi melalui konsolidasi dan jaminan luasan la- seperti pertahanan keamanan, moneter, han pertanian, pasal 60 (pemberian lahan fiskal­dan­regulasi.

pertanian terutama kepada petani setem- Ketiga, Asas Kebermanfaatan pat yang: a. tidak memiliki lahan, b. me- dan Berkeadilan dalam Undang-Undang miliki lahan pertanian kurang dari 2 (dua) Perkebunan Pasal 14; 1) Pemerintah hektar, 2) UU RI Nomor 25 Tahun 2007 Pusat menetapkan batasan luas maksi- tentang Penanaman Modal, dalam: pasal mum dan luas minimum penggunaan lahan

4 ayat 2 dan pasal 13 (perlunya prioritas untuk Usaha Perkebunan, 2) Penetapan kesempatan dan perlindungan UMKM ser- batasan luas sebagaimana dimaksud ta pencadangan untuk UMKM), 3) UU No-

pada ayat 1 harus mempertimbangkan: mor 5 Tahun 1999 tentang UU Larangan

a. jenis tanaman; b. ketersediaan lahan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang sesuai secara agroklimat; c. modal; Tidak Sehat, dalam Pasal 27: 1 (satu)

d. kapasitas pabrik; e. tingkat kepadatan pelaku usaha/kelompok pelaku usaha penduduk; f. pola pengembangan usaha; menguasai lebih dari 50%, 2 - 3 pelaku

g.­ kondisi­ geografis;­ h.­ perkembangan­­ usaha/kelompok pelaku usaha menguasai teknologi; dan i. pemanfaatan lahan ber- lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis ba- dasarkan fungsi ruang sesuai dengan ke- rang atau jasa tertentu. Namun demikian, tentuan peraturan perundang-undangan meskipun peraturan ini sama-sama memi- di bidang tata ruang, 3) Ketentuan lebih liki­ landasan­ filosofis­ pembatasan­ tetapi­

lanjut mengenai penetapan batasan luas implementasi peraturan ini tidak cocok diatur dalam Peraturan Pemerintah.

untuk pembatasan luas maksimum peng-

Asas-asas yang gunaan lahan pada usaha perkebunan berkaitan dengan “kewenangan” mem- karena batasan 50% dan/atau 75% terse- buat pengaturan luas maksimum peng- but terlalu besar untuk penguasaan sum- gunaan lahan untuk Usaha Perkebu- berdaya alam yang merupakan hajat hidup nan diatur sebagai Hak Menguasai orang banyak, 4) PP RI Nomor 40 Tahun dari Negara /HMN dalam UUPA: pasal 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai

Keempat,

2 ayat 2 (sebagaimana termaktub dalam Atas Tanah dalam pasal 5 ayat 2: Luas pasal 2 ayat 1 UUPA) adalah wewenang: maksimum HGU untuk Badan Hukum

a) mengatur dan menyelenggarakan pe- ditetapkan oleh Menteri dengan pertim- runtukan; penggunaan; persediaan; dan bangan satuan usaha paling berdayaguna, pemeliharaan bumi; air; dan ruang angka-

5) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ru- sa tersebut, b) menentukan dan mengatur ang/Kepala Badan Pertanahan Nasional hubungan-hubungan hukum antara orang Nomor 5 tahun 2015 tentang Izin Lokasi

dengan bumi, air, dan ruang angkasa, untuk usaha perkebunan yang diusahakan

c) menentukan mengatur hubungan- dalam bentuk perkebunan besar dengan hubungan hukum antara orang-orang diberikan HGU. dan perbuatan-perbuatan hukum yang Untuk point 3) dan point 5), mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

meskipun secara yuridis sejalan dengan Kelima, Berbagai peraturan dan pengaturan batasan luas maksimum perundang- undangan yang tujuannya penggunaan lahan untuk Usaha Perkebu- sejalan dengan pengaturan luas maksi- nan tetapi masih diperlukan harmonisasi mum penggunaan lahan untuk Usaha hukum. Berkaitan dengan pengaturan Perkebunan adalah: 1) UU RI Nomor penguasaan atas produksi sumber daya

19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan alam khususnya perkebunan sebaiknya

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

perlu diatur lebih lanjut dalam Undang- antara perizinan usaha perkebunan dan Undang LPM agar dapat memenuhi asas HGU. Persoalan hukum lainnya yang ter- keadilan.

kait­pembatasan­dimaksud­adalah:­Afiliasi,­ Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan Peru-

c. Landasan Yuridis

sahaan Go Public.

Selain harus memperhatikan lan- dasan­filosofis­dan­sosiologis,­Rancangan­

3. Ketimpangan Penguasaan Lahan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengelolaan pada Usaha Perkebunan

Usaha Perkebunan yang berkaitan dengan Berdasarkan pelaku usahanya, pengaturan pembatasan luas maksimum perkebunan dapat dibagi menjadi Perke- penggunaan lahan untuk usaha perkebu- bunan Rakyat yang dikelola oleh para nan juga harus memperhatikan landasan petani atau yang sering disebut pekebun yuridis, yaitu pertimbangan atau alasan dan oleh para pengusaha, baik dalam ben- yang menggambarkan bahwa pembatasan tuk Perusahaan Besar Perkebunan Negara luas maksimum penggunaan lahan ini maupun Perusahaan Besar Perkebunan disusun untuk mengatasi permasalahan Swasta (Swasta Nasional dan Swasta hukum atau mengisi kekosongan hukum Asing). Struktur penguasaan lahan pada dengan mempertimbangkan aturan yang usaha perkebunan, berbeda antar komo- telah ada, yang akan diubah, atau yang ditas perkebunan. Diantara 11 komoditas akan dicabut guna menjamin kepastian unggulan strategis nasional perkebunan, hukum dan rasa keadilan masyarakat.

hanya komoditas kelapa sawit dan teh Berkaitan dengan Permentan No- yang penguasaan lahannya didominasi mor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Per- oleh perusahaan, sedangkan komoditas izinan Usaha Perkebunan tetap mengikat, unggulan perkebunan lainnya didominasi sebelum RPP yang memuat Pembatasan oleh perkebunan rakyat.

tersebut disahkan dan berlaku. Hal ini dite- Data Statistik Perkebunan 2015- gaskan dalam Pasal 8 ayat (2) UU No. 2017, sebagaimana tertera pada Tabel 4, 12/2011 yang menyebutkan: “Peraturan menunjukkan bahwa pada usaha kebun Perundang-undangan sebagaimana di- kelapa sawit, penguasaan lahan didomina- maksud pada ayat (1) diakui keberadaan- si oleh perkebunan besar, masing-masing nya dan mempunyai kekuatan hukum 59,7%. Selain itu, pada usaha kelapa sawit, mengikat sepanjang: 1) diperintahkan oleh penguasaan lahan oleh perusahaan swas-

Peraturan Perundang-undangan yang ta jauh lebih dominan dari pada perusa- lebih tinggi, atau 2) dibentuk berdasarkan haan negara, yaitu masing-masing 53,1% kewenangan.”

dan 6,6%. Berdasarkan data Ditjenbun dan Lebih lanjut, landasan yuridis me- BKPM (Ditjenbun, 2016), pada tahun 2015 nyangkut persoalan hukum terkait pem- luas lahan kelapa sawit yang dikuasai peru- batasan dimaksud adalah persoalan Hak sahaan PMA mencapai 2,1 juta hektar atau Guna Usaha (HGU) untuk Usaha Perke- setara degan 18,15% total lahan kelapa bunan: Subjek HGU, Objek HGU, Jangka sawit Indonesia (sama dengan 31% lahan Waktu HGU, Hapusnya HGU, Pemberian kelapa sawit yang dikelola perusahaan)

Hak HGU. Hal ini terjadi karena untuk me- Untuk komoditas kelapa sawit, nyelenggarakan usaha perkebunan izin meskipun koorporasi lebih dominan dalam usaha dan HGU Perkebunan diperlukan penguasaan lahan tetapi secara nominal bersamaan dan proses untuk mendapat- jumlah lahan kelapa sawit yang dikuasai kannya saling berkaitan (Lampiran 4). Oleh pekebun masih lebih besar dibanding luas karena itu, dalam penyelenggaraan usaha lahan yang dikuasai pekebun untuk mas- perkebunan diperlukan harmonsasi hukum ing-masing komoditas unggulan strategis

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

nasional lainnya. Gambar 6. dan Tabel 4 menunjukkan bahwa luas lahan perkebu- Mengacu pada ukuran ketimpa- nan kelapa sawit rakyat mencapai 4,54 ngan yang digagas World Bank tentang juta hektar atau 29,16 % dari total lahan ketimpangan pendapatan, maka dilakukan yang digunakan untuk 11 komoditas perke- analisis ketimpangan untuk penguasaan bunan rakyat unggulan strategis nasional lahan pada usaha perkebunan, khususnya (15,55 juta hektar).

pada masing-masing komoditas dari 11 ko- Sementara itu, pada tahun 2015 moditas unggulan strategis nasional perke- jumlah pekebun terbanyak adalah mereka bunan (Tabel 5). Sejalan dengan kondisi yang mengusahakan komoditas kelapa, struktur makro (nasional) penguasaan la- yaitu mencapai 6,6 juta kepala keluarga han yang dominan dikuasai perusahaan (KK) atau 37,31% dari total pekebun yang (PBS dan PBN), ketimpangan penguasaan mengusahakan 11 komoditas unggulan lahan tertinggi terjadi pada usaha kelapa strategis nasional perkebunan yang jum- sawit yang berada pada kategori “ketimpa- lahnya mencapai 17,4 juta KK (Gambar ngan sedang” (15,7%). Dalam hal ini, 40% 7). Meskipun pada tahun 2015 total luas pelaku usaha perkebunan kelapa sawit lahan yang diusahakan oleh pekebun ke- (821.460 pekebun) hanya menguasai lapa sawit paling besar, tetapi jumlah pe- 15,7% (1.755.563 hektar) dari total lahan kebun yang mengelola komoditas kelapa yang digunakan oleh seluruh pelaku usaha sawit hanya 2,2 juta kepala keluarga atau kelapa sawit (PR, PBN, dan PBS). 12,32% dari total jumlah pekebun yang mengusahakan 11 komoditas unggulan strategis nasional perkebunan.

Tabel 4.

Struktur Makro (Nasional) Penguasaan Lahan pada Usaha Komoditas Unggulan Strategis Nasional Perkebunan

Sumber Data: Statistik Perkebunan 2015-2017 (Diolah)

Gambar 6. Proporsi Luas Kebun Rakyat berdasarkan Komoditas Unggulan Perkebunan pada Tahun 2015

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

Gambar7. Proporsi Jumlah Pekebun berdasarkan Komoditas Unggulan Perkebunan pada Tahun 2015

Sementara itu, pada 10 komodi- Selain terjadi pada aras makro tas unggulan strategis nasional perkebu- (nasional), ketimpangan penguasaan la- nan lainnya struktur penguasaan lahan han pada usaha perkebunan juga dapat diantara para pelaku usaha masih berada terjadi pada aras mikro (komunitas atau pada kategori “ketimpangan rendah”. Wa- desa). Hasil penelitian yang dilakukan laupun demikian, untuk usaha perkebunan PT Riset Perkebunan Nusantara (Tabel teh, meskipun ketimpangan penguasaan

6) dalam Fadjar, 2009 dan Fadjar, 2010, lahan hanya berada pada kategori rendah ketimpangan dengan kategori rendah; tetapi nilainya mendekati nilai untuk kate- sedang atau tinggi dapat terjadi dalam gori ketimpangan sedang (18,8%). Artinya, pengusaan lahan untuk usaha berbagai 40% pelaku usaha teh/ pekebun (45.367 komoditas. Pada aras mikro, aksesibitas keluarga) hanya menguasai 18,8% (22.459 masyarakat terhadap lokasi perkotaan; hektar) dari total luas lahan perkebunan program, dan sumber pendanaan un- teh yang diusahakan oleh seluruh pelaku tuk investasi serta tingginya jumlah pen- usaha.

datang lebih menonjol sebagai penyebab terjadinya ketimpangan penguasaan lahan untuk usaha perkebunan.

Tabel 5. Ketimpangan Penguasaan Lahan pada Usaha Perkebunan

Sumber Data: Statistik Perkebunan 2015-2017 (Diolah)

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

Tabel 6. Ketimpangan Pemilikan Lahan Usaha Perkebunan pada Aras Komunitas/Desa

Sumber Data: Hasil Riset PT RPN Keterangan: < 0,4= Rendah (R),0,4 - 0,5 = Moderat (M), > 0,5= Tinggi (T)

Hasil kajian PT RPN (Fadjar, 2009 Dalam hal ini nampak struktur dan Fadjar, 2010) lainnya sebagaimana penguasaan lahan pada komunitas peke- tertera pada Tabel 7., menunjukkan bahwa bun kelapa sawit cenderung terpolarisasi. sebaran pekebun berdasarkan luas lahan Sementara itu, pada usaha perkebunan yang mereka miliki berbeda antar komodi- kakao­ yang­ memerlukan­ kemampuan­ fi- tas yang satu dengan yang lainnya. Pada nansial relatif relatif kecil dibanding untuk usaha perkebunan kelapa sawit yang me- usaha kebun sawit, proporsi terbesar pe-

merlukan­kemampuan­finansial­relatif­be- kebun (55,80%) berada pada kategori pe- sar baik untuk investasi pembangunan ke- milikan lahan dengan luas > 0 - < 2 hektar,

bun maupun biaya pemeliharaan, proporsi kemudian pekebun lainnya relatif menye- terbesar pekebun berada pada kategori bar pada kategori-kategori lainnya. Dalam pemilikan lahan dengan luas 2 - < 3 ha hal ini struktur penguasaan lahan pada (44,61%), kemudian proporsi menengah komunitas pekebun kakao cenderung ter- berada pada kategori pekebun dengan stratifikasi.

luas pemilikan lahan cukup tinggi atau > 4 Sejalan dengan itu, pada tahun hektar (21,81%) dan pada kelompok peke- 2015, sebagian besar tenaga kerja peru- bun yang tidak memiliki lahan atau buruh sahaan yang mengelola komoditas unggu tani (28,9%).

Tabel 7. Distribusi Pemilikan Lahan Usaha Perkebunan pada Aras Komunitas/Desa

Sumber Data: Hasil Riset PT RPN. Diolah.

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

Tabel 8. Jumlah Pekebun dan Jumlah Tenaga Kerja pada Perusahaan Perkebunan

Sumber Data: Hasil Riset PT RPN. Diolah.

Gambar 7. Proporsi Penduduk Miskin di Setiap Provinsi (%) Tahun 2015

lan strategis nasional perkebunan bekerja kebunan mencapai 21,43 juta keluarga. pada perusahaan yang mengelola komo- Hal ini juga berarti bahwa pada tahun 2015 ditas kelapa sawit, yaitu sebanyak 3,37 jumlah penduduk Indonesia yang sumber juta orang atau 81,82% dari jumlah tenaga kesejahteraannya tergantung pada pelu- yang bekerja pada perusahaan perkebu- ang berusaha/bekerja dari 11 komoditas nan komoditas unggulan strategis nasional unggulan strategis nasional perkebunan yang mencapai 4,12 juta orang (Tabel 8)

secara langsung (kegiatan di kebun) men- Lebih lanjut bila pekebun dan peker- capai 83,57 juta jiwa. Jumlah tersebut sama ja mewakili sebuah keluarga, maka jumlah dengan 32,5 % dari penduduk Indonesia keluarga di Indonesia yang mengandalkan

atau 69,6% dari penduduk Indonesia yang pendapatannya dari peluang berusaha bertempat tinggal di wilayah pedesaan.

atau bekerja pada komoditas unggulan per-

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

Gambar 8. Proporsi Penduduk Miskin pada setiap Sektor di Setiap Provinsi (%) Tahun 2015

Gambar 9. Proporsi Penduduk Tinggal di Pedesaan Tahun 2015 (%)

Selain itu, sebagaimana ditunjuk- bekerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu kan pada Gambar 7, jumlah penduduk sub sektor perkebunan di masa yang akan miskin di Indonesia masih cukup tinggi, datang akan tetap menjadi salah satu termasuk di provinsi-provinsi di luar Jawa solusi penting dalam penyediaan lapangan yang memiliki peluang berusaha/ bekerja usaha/bekerja dan dalam mengatasi ke- pada sub sektor perkebunan relatif domi- miskinan penduduk Indonesia. Apalagi se- nan. Misalnya, di provinsi-provinsi yang bagian besar penduduk di sebagian besar berada di pulau Sumatera; Kalimantan dan provinsi masih bertempat tinggal di wilayah Sulawesi.

pedesaan (Gambar 9.) yang tentunya usa- Gambaran tersebut diperkuat oleh ha-usaha yang berbasiskan sumber daya data yang tersedia pada Gambar 8. yang lahan seperti perkebunan akan menjadi menunjukkan bahwa sebagian penduduk pilihan utama. miskin tersebut adalah penduduk yang

Aspek Hukum dan....... MediaTrend 13 (1) 2018 p.1-30

Berbagai hasil penelitian PT RPN Data yang dikumpulkan Direktorat menunjukkan bahwa gangguan usaha Jenderal Perkebunan menunjukkan bahwa perkebunan yang terjadi di kebun dapat frekuensi­atau­intensitas­terjadinya­konflik­ berupa pendudukan lahan; pencurian

5. Konflik pada Usaha Perkebunan

atau Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) hasil; pengrusakan tanaman (ditebang, ternyata­ cukup­ tinggi,­ dan­ konflik­ atau­ diracun agar mati, atau dibakar); dan

gangguan tersebut terus berlanjut dari pengrusakan kantor. Pada perkebunan tahun ke tahun. Gangguan Usaha Perke- karet pencurian hasil selain menyebab- bunan tersebut dikelompokan menjadi: kan perusahaan kehilangan pendapatan

1)­ konflik­ lahan­ (sengketa­ penguasaan­ harian juga menyebabkan umur ekonomis lahan; ganti rugi lahan/tanam tumbuh), tanaman berkurang separuhnya karena 2)­ konflik­ non­ lahan­ (tumpang­ tindih­ Izin­ kulit tanaman rusak akibat penyadapan Usaha Perkebunan/IUP; tuntutan fasilitasi berat. Pada kebun kelapa sawit pun pen-

pembangunan kebun masyarakat sekitar curian hasil (termasuk pencurian buah sebesar 20% dari HGU); penetapan harga yang masih muda) menyebabkan pem- panen; ingkar janji kemitraan; dan pencu- buahan berikutnya tidak sempurna. Pada

rian­ produksi,­ serta­ 3)­ konflik­ kehutanan­ kebun tebu pembabatan atau pembakaran (perubahan status kawasan hutan).

tebu menyebabkan kebun tidak dapat di- Data pada Tabel 9 menunjukkan panen. Selain itu, berbagai gangguan bahwa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun usaha perkebunan tersebut menyebabkan terakhir (2012 - 2015) ternyata gangguan terganggunya kinerja para pegawai peru- usaha perkebunan yang paling banyak sahaan karena merasa jiwanya terancam.

terjadi­ adalah­ konflik­ lahan­ (71,6%),­ ke- Pada lingkungan masyarakat, kon- mudian­ disusul­ konflik­ non­ lahan­ (24%),­ flik­ perkebunan­ juga­ menimbulkan­ ber-­ sedangkan­ konflik­ kehutanan­ relatif­ se- bagai kerugian berikut (Fadjar, 2009):

dikit (3,8%). Dengan semakin dominan-

a) Hilangnya rasa aman dan hilangnya nya penguasaan lahan usaha perkebunan kesempatan­ kerja,­ b)­ Terjadinya­ konflik­ oleh perusahaan (apalagi Perusahaan horizontal diantara anggota masyarakat PMA) dikhawatirkan sentimen negatif ter- sendiri, c) Munculnya free rider dan “petu- hadap perusahaan perkebunan sema- alang” yang mengambil keuntungan atas kin meningkat akibat ketimpangan yang upaya perusahaan Perkebunan maupun disertai kemiskinan masyarakat. Kondisi masyarakat sekalipun dalam kenyataan- ini jika dibiarkan dapat memicu semakin nya mereka tidak ikut berusaha, d) Ma- meningkatnya gangguan terhadap usaha syarakat lapisan bawah yang posisinya perkebunan.

hanya sebagai pengikut terjebak dalam tin- dakan kriminal sehingga mereka menjadi sasaran penangkapan aparat keamanan.

Tabel 9. Perkembangan Gangguan Usaha Perkebunan (2012 -2015)

Sumber Data: Hasil Riset PT RPN. Diolah.

Bayu Kharisma, dkk. MediaTrend 13 (1) 2018 p. 1-30

­ Pemicu­ utama­ timbulnya­ konflik­ penguasaan lahan antara perusahaan

perkebunan dengan masyarakat sekitar yang bersumber pada reclaiming lahan adalah (Fadjar, dkk. 2002): 1) ketidak sepakatan nilai dan mekanisme pembe- basan lahan adat, 2) ketidak sepakatan nilai dan mekanisme pembebasan lahan garapan dan atau pemukiman masyarakat yang menurut hak erfacht lahan tersebut merupakan lahan cadangan perkebunan,

3) adanya persepsi masyarakat bahwa mereka mempunyai hak untuk memiliki lahan yang dikuasai perusahaan perke- bunan. Tumbuhnya persepsi masyarakat tersebut berkaitan dengan hal-hal berikut:

a) para pekebun menggarap lahan yang diterlantarkan oleh perusahaan perkebu- nan, b) pekebun pernah ikut serta mem- buka kebun (zaman Jepang/Belanda), c) sebelum program nasionalisasi perkebu- nan swasta asing diterapkan di lokasi ke- bun tersebut telah berdiri perumahan dan terbit hak pakai, d) mengacu pada hukum agraria, pada tahun 1961 rakyat pernah diminta mendaftarkan tanah namun tidak jelas kelanjutannya, e) pada tahun 1965- 1966 terjadi pemindahan masyarakat yang tinggal di areal kebun dengan pendekatan keamanan karena orang yang ada di loka- si tersebut dianggap anggota partai terla- rang, f) tersebarnya informasi bahwa luas lahan yang dikuasai kebun melebihi luas yang­tercantum­dalam­sertifikat­HGU­atau­

HGU nya sudah habis sehingga masyara- kat sekitar menganggap berhak memiliki lahan tersebut, g) lahan yang digunakan perusahaan perkebunan sebelumnya merupakan lahan adat tanpa melalui pem- bebasan yang disepakati para pihak.

­ Berbagai­ pemicu­ konflik­ tersebut­ akan­ efektif­ menjadi­ penyebab­ konflik­ dengan proses yang lebih cepat manakala terdapat situasi kesenjangan ekonomi an- tara komunitas perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar (Ivanovic dan Fadjar, 2002). Selain itu, manakala pemicu

konflik­yang­berdasar­pada­reclaiming la- han tersebut tidak segera diselesaikan, maka­ akan­ muncul­ konflik­ perkebunan­ yang lebih luas yang didorong oleh adanya

kelompok pelaku yang didasarkan pada motif kriminal (sekelompok orang yang menjarah kebun untuk dijual) serta ke- lompok pelaku yang digerakkan oleh pe- mimpin local yang kharismatik.

Berdasarkan data rekapitulasi konflik­pada­tahun­2001­yang­terdapat­di­ Ditjenbun (Ivanovic dan Fadjar, 2002), pro- porsi­konflik­penguasaan­lahan­yang­terjadi­

antara masyarakat dengan perkebunan besar swasta lebih besar dibanding yang terjadi antara masyarakat dengan perkebu- nan besar negara. Dalam hal ini, objek la-

han­konflik­pada­perkebunan­besar­negara­ hanya 143 ribu hektar atau 17,4% dari total luas lahan yang dikuasai perkebunan be- sar negara, sedangkan pada perkebunan

swasta­objek­lahan­konflik­mencapai­179­ ribu hektar atau 36% dari total luas lahan yang dikuasai perkebunan besar swasta.

Selain­ itu,­ konflik­ lahan­ perkebunan­ juga­ terjadi antar perusahaan perkebunan atau

antara masyarakat pekebun atau perusa- haan perkebunan dengan pemerintah (pe- milik lahan kehutanan), akan tetapi kasus- kasus tersebut jumlahnya relatif lebih kecil.

6. Keterkaitan Antar Aspek dalam Penentuan Batasan Luas Maksimum Penggunaan Lahan untuk Usaha Perke- bunan Kelapa Sawit

Pengelolaan perkebunan komo- ditas kelapa sawit pada umumnya meru- pakan suatu sistem yang di dalamnya ter- dapat kompleksitas yang tinggi. Dalam hal ini, sistem yang kompleks tersebut dibeda- kan ke dalam beberapa aspek yaitu aspek teknis, ekonomi, sosial, serta regulasi dan kebijakan. Keempat aspek tersebut secara simultan saling berinteraksi membangun sistem usaha perkebunan dari hulu sam- pai ke hilir.