Perlindungan Konsumen dan Klausula Eksonerasi.

bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain, dan tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan., misalnya “setuju”, “accoord”, “oke” dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan dibawah pernyataaan-pernyataan tertulis sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu. 39 Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari KUHPerdata. menganut asas konsensualisme, yang artinya ialah, hukum perjanjian dari KUHPerdata. itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu dan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanyasudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan diatas. 40

G. Perlindungan Konsumen dan Klausula Eksonerasi.

Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 ditetapkan beberapa asas yang mengayomi serta memberi perlindungan baik kepada pelaku usaha maupun konsumen. 1. Asas-asas Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. 39 Ibid, hal 3. 40 Ibid. Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 41 a. Asas manfaat maksudnya adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Menyimak asas diatas dapat dimaknai bahwa pembentuk Undang-undang tentang perlindungan konsumen ternyata sependapat dengan teori Yeremy Bentham melalui penganalogian yang mengajarkan bahwa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan adalah memberikan juga kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak, sebagaimana tujuan hukum yang dikemukakannya. b. Asas keadilan dimaksudkan agar pertisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya termasuk juga didalamnya adalah apa yang menjadi bagian ataupun haknya pemebeli rumah yang akan menjadi konsumen akhir. 41 Ahmadi MiruSutarman Yodo, ”hukum perlindungan konsumen”, PT. raja grafindo persada, Jakarta, 2008, hal 25. Asas keadilan yang dianut oleh pembentuk Undang-undang tentang perlindungan konsumen ini adalah justifikasi dari apa yang diperkenalkan oleh Arisoteles melalui teori etis yang maknanya bahwa keadilan jangan di pandang sebagai penyamataran melainkan bukan penyamarataan yang kemudian dalam teorinya dijabarkan lebih lanjut mengenai keadilan distributif dan keadilan komulatif. 42 c. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual. Pengembang yang sudah mempunyai kemapuan ekonomi jauh lebih besar serta mempunyai posisi tawar yang dominant sudah seharusnya memperhatikan posisi tawar yang lemah dari pembeli. Pelaku usaha tidak hanya memperhatikan dari segi keuntungan belaka namun juga memperhatikan kemampuan dari pembeli pada umumnya dan konsumen perumahan pada khususnya. Asas keseimbangan tersebut menurut Prof. Sri Redjeki Hartono dapat diproyeksikan lebih ke bawah lagi sehingga dapat dikemukakan asas yang lebih rinci yaitu : 43 1 asas perlindungan konsumen yaitu asas untuk melindungi konsumen terhadap mutu produk barangjasa dari 42 Ibid, hal 26. 43 Husni SyawaliNeni imaniyati, ”Hukum Perlindungan Konsumen”,Mandar Maju, bandung, 2000, hal 33. produsen yang tidak bertanggung jawab misalnya membahayakan kesehatan, mutu dibawah standar, penipuan atau pemaksaan kehendak karena secara ekonomis produsen lebih kuat. 2 asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu hak asasi yang perlu ditegakkan agar tidak terjadi pemaksaan dari pihak yang satu terhadap pihak yang lain terutama sekali produsen tertentu kepada konsumen. 3 asas perlindungan terhadap kepentingan publikumum yaitu masyarakat umum yang awam dalam hukum perlu dilindungi terhadap itikad baik buruk pelaku usaha umumnya atau produsen khususnya, sehingga perlu adanya syarat-syarat baku yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang akan menawarkan produknya kepada masyarakat. Melalui asas keseimbangan ini Undang-undang perlindungan konsumen berupaya memberikan keseimbangan kedudukan dari ketiga unsur yang ada yaitu antara konsumen, produsen dan pemerintah yang tujuannya adalah mewujudkan tujuan bersama yaitu kesejahteraan umum rakyat. Perjuangan lembaga konsumen dalam mewujudkan motto 3 tiga M yaitu melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah kini mendapat porsi sebagai sebuah asas dalam Undang-undang perlindungan konsumen. 44 d. asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini adalah ditarik dari aturan tanggung jawab produsen terhadap produksinya, karenanya konsumen berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap pemasaran barang dan jasa yang membahayakan bagi kesehatan dan keamanan tubuh manusia. Selanjutnya jika ditinjau dari tanggung jawab produk product liability dulu orang berkata biarkanlah pembeli yang harus waspada caveat emptor. Kini sudah menjadi kebalikannya biarkanlah penjual yang harus waspada caveatvendor, merupakan tanggung jawab pelaku usaha atas produknya yang membahayakan keselamatan keamanan dan keselamatan konsumen. 45 e. asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen 44 Internet,google, ”yayasan lembaga konsumen Indonesia”. 45 Celina tri .S.K, ”hukum perlindungan konsumen,sinar grafika”,Jakarta, 2008, hal 18. serta menjamin kepastian hukum. Asas ini berkaitan dengan teori utilitas dikatakan bahwa dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan karena apabila kepastian hukum untuk terabaikan maka ketertiban niscaya akan terganggu. 46 2. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha. Penelusuran yang dialakukan terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUH Perdata maupun KUH Dagang tidak ada ditemukan istilah konsumen. Dalam KUH Perdata yang ditemukan hanyalah istilah pembeli vide Pasal 1457 KUH Perdata, penyewa vide Pasal 1548 KUH Perdata, penjamin vide Pasal 1754 KUH Perdata, penitip vide Pasal 1694 KUH Perdata. Demikian pula halnya dalam KUH Dagang hanya ditemukan istilah tertanggung vide Pasal 246 KUHD, penumpang vide Pasal 341 KUHD. Ditinjau secara harfiah konsumen dapat diartikan sebagai seseorang yang membeli barang atau yang menggunakan jasa atau setiap orang yang menggunakan produk baik yang meliputi barang maupun jasa. Bertitik tolak dari definisi diatas maka disatu sisi substansinya sangat sempit karena konsumen diartikan bagi seseorang yang mendapatkan barang dari membeli saja dan juga 46 Ibid, hal 20. di sisi lain definisi di atas memberikan pengertian dalam arti yang lebih luas. Menurut Nasution A.Z dalam buku Celina tri, 2008:24 konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk keperluan komersial. Dari definisi ini konsumen dapat diartikan lebih karena seseorang yang mendapatkan barang itu tidak hanya dari proses pembelian saja serta disisi lain konsumen pengertiannya dibatasi yaitu konsumen dalam arti konsumen akhir dan bukan konsumen antara yang dapat mengkomersilkan lagi barang tersebut. 47 Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 1 angka 2 dinyatakan konsumen ialah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam penjelasan pasal demi pasal dari Undang-undang perlindungan Konsumen dikatakan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan antara. Yang dimaksudkan dengan konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk sedangkan dimaksud dengan konsumen antara adalah konsumen 47 Ibid, hal 24. yang menggunakan suatu produk sebagi bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. 48 Dengan demikian bilamana ditinjau dari segi tujuan konsumen menggunakan produk maka konsumen dibedakan menjadi dua : a. konsumen akhir yaitu konsumen yang menggunakan produk untuk keperluan pribadi, keluarga, dan tidak untuk diperdagangkan. b. Konsumen antara yaitu konsumen yang menggunakan produk untuk diperdagangkan kembali. 49 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen hanya memberikan perlindungan bagi konsumen akhir. Dari penjelasan pasal demi pasal tersebut ternyata pembentuk Undang-undang hanya meninjau dari tujuan konsumen dakam menggunakan produk sedangkan katakalimat “mahluk lain” tidak dapat ditemukan penjelasannya. Memperhatikan kehidupan sehari-hari kata konsumen adalah merupakan istilah yang langsung maupun tidak langsung melekat pada setiap anggota masyarakat sehingga pasa waktu yang tertentu setiap anggota masyarakat adalah merupakan 48 Ahmadi MiruSutarman Yodo, ”hukum perlindungan konsumen”, raja grafindo persada, 2008, hal 37. 49 Nazution.A.Z, ”hukum perlindungan konsumen”, diadit media, cet II, yogyakarta, 2001, hal 17. konsumen untuk suatu produk dan dalam waktu yang lain untuk berbagi produk serta bahkan dalam waktu yang relatif panjang ada orang menjadi konsumen secara terus-menerus sepanjang hidupnya. Tidak luput dari pandangan kehidupan sehari-hari sering kali fenomena yang terjadi bahwa hubungan antara konsumen dan produsen dalam kedudukannya yang tidak seimbang dimana konsumen pada posisi yang lemah sementara pebisnis pada umumnya termasuk pebisnis property sebagai produsen di bidang perumahan pada posisi yang lebih kuat. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tidak menggunakan istilah produsen dalam penyelenggaraan kegiatan usaha melainkan menggunakan istilah yang lebih luas yaitu pelaku usaha. Pasal 1 ayat 3 Undang-undang perlindungan konsumen bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggrakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Penjelasan pasal-demi pasal menyebutkan bahwa pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, korporasi, importir, pedagang, distributor dan lainnya. 50 50 Ahmad MiruSutarman Yodo, op.cit,hal 8. Dari rumusan yang diberikan oleh Undang-undang perlindungan konsumen, pembentuk Undang-undang memasukkan beberapa unsur untuk memenuhi kriteria pelaku usaha yaitu : adanya subyek, bentuk badan hukum, tempat kedudukan badan hukum, bentuk kerja sama, kegiatan yang dilakukan. Pebisnis property yang menjadi subyek penelitian ini semuanya berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas dibidang pemukiman dan perumahan. Dengan menggunakan kalimat “kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” dapat dimaknai bahwa kegiatan itu tidak terbataspada pihak-pihak yang memproduksi sesuatu produk saja melainkan juga termasuk semua pihak yang memasarkan produk itu sampai di tangannya konsumen. Produsen termasuk pebisnis property di bidang perumahan dapat disebut sebagai pelaku usaha real estate yang sekaligus melakukan kedua kegiatan itu yaitu memproduksi dan memasarkan perumahan kepada konsumen. Real estate sebagi pelaku usaha adalah perusahaan pembangunan perumahan yang didefinisikan sebagai perusahaan perumahan yang menjalankan usaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar diatas suatu areal tanah yang merupakan suatu pemukiman dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dalam fasilitas sosial lainnya yang diperlukan oleh masyarakat yang menghuninya. Real estate mencakup pengertian yang ganda dari satu sisi sebagi produsenpelaku usaha yang memproduksi rumah dan juga usaha perdagangan yang memasarkan perumahan. 51 Menurut Pasal 23 ayat 1 huruf a Keppres No. 16 tahun 1964 termasuk di dalam pengertian produksi adalah : a. barang yang terdiri dari : 1.barang jadi, barang setengah jadi, peralatan, suku cadang, komponen utama dan kompenan pembantu. 2.bahan baku, bahan pelengkap, dan bahan pembantu. b. jasa yang terdiri dari : jasa kontruksi, jasa konsultasi, jasa rekayasa, jasa penelitian, jasa angkutan, jasa asuransi. 52 Keberadaan konsumen bagi produsen merupakan sesuatu hal yang mutlak sifatnya. Hubungan antara produsen dengan konsumen tidak mungkin dipisahkan karena tanpa adanya konsumen produsen tidak akan mempunyai arti. Demikian pula sebaliknya keberadaan produsen bagi konsumen karena konsumen membutuhkan sesuatu yang dihasilkan oleh produsen. Dalam konteks hukum transaksi antara konsumen dan produsen mempunyai hubungan hukum yang bertimbal balik dalam kaitannya untuk mewujudkan hak dan kewajiban para pihak. Adanya kewajiban disisi konsumen ada pula hak di sisinya produsen sebaliknya adanya hak produsen merupakan kewajiban di sisi konsumen. Dalam hubungan yang 51 Hamzah, Suandra I Wayan B.A. Manalu, ”Dasar-dasar Hukum Perumahan”, rineka cipta, Jakarta, 1990, hal 19. 52 Celina tri S.K, ”hukum perlindungan konsumen”, sinar grafika, Jakarta, 2008 hal 40. demikian itu sudah seharusnya kedua belah pihak ada pada posisi yang berimbang tidak merugikan , karena saling mempunyai ketergantungan. Oleh karena itulah sangat diperlukan peraturan tentang hak dan kewajiban konsumen disatu sisi dengan hakl dan kewajiban produsen pelaku usaha di sisi lainya. 3. Hak Kewajiban Konsumen serta Pelaku usaha. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 secara sangat rinci menetukan hak dan kewajiban baik konsumen maupun produsen. Pasal 4 menetukan bahwa hak konsumen meliputi : a. Hak dan kenyaman, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa. b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang danatau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. Hak atas informasi yang benar, jujur dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan. e. Hak untuk mendaparkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secar patut. f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i. Hak-hak yang diatur dlam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. Selanjutnya masing-masing hak tersebut ditas dapat diuraikan sebagai berikut : 53 a. Hak atas keamanan dan keselamatan; hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian fisik maupun psikis apabila mengonsumsi suatu produk. b. Hak untuk memilih hak untuk memilih untuk memnerikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan 53 Ahmadi MiruSutarman Yodo,” hukum perlindungan konsumen”, raja grafindo persada, Jakarta, 2008, hal 41 hak untuk memilih ini konsumen berhak untuk memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian keputusan ini untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. 54 c. Hak untuk memperoleh informasi Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat intruksi atau cacat karena informasi tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksud agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkansesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunan produk, tanggal kadaluwarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dialkukan dengan mencatumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang 54 Ibid, hal 42. disampaikan produsen, baik melalui media cetak maupun elektonik. Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian pemenuhan hak ini akan menguntungkan baik konsumen maupun produsen. d. Hak untuk didengar. Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupapertanyaan tentang berbgi hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh dari tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan atau pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secar langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya YLKI. e. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum. Sembilan hak konsumen, yang merupakan himpunan dari berbagai pendapat tersebut diatas hampir semuanya sama dengan hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 4 Undang- undang perlindungan konsumen, sebagaimana dikutip sebelumnya. f. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar tidak terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan. 55 g. hak untuk diperlakukan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan 55 Ibid, hal 44. dan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang diperolehnya. Penegakkan hak konsumen ini didukung pula oleh ketentuan dalam pasal 5 ayat 1 dan pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan didalam Pasal 5 ayat 1 Undang- undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menentukan bahwa: “ pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang danatau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang bersangkutan yang sama”. Sedangkan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan bahwa : “ pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkanpembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang danatau jasa yang sama”. h. Hak untuk memperoleh ganti kerugian. Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak tidak seimbang akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut dirisakit, cacat, bahkan kematian konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus saja melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai diluar pengadilan maupun diselesaikan melalui pengadilan. i.hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan-undangan lainnya. Dalam hal hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya salah satu nya yaitu tentang hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang No. 23 Tahun1997. 56 Apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak- hak konsumen yang disebutkan diatas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen, karena pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian dari berbagai aspek. 57 Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengatur tentang kewajiban konsumen yaitu : 56 Ibid, hal 45 57 Ibid, hal 47. a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang danatau jasa demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang danatau jasa. c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Dalam pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menentukan hak pelaku usaha adalah : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang danatau jasa yang diperdagangkan. b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik. c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiaan hukum sengketa konsumen. d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang danatau jasa yang diperdagangkan. e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perUndang- undangan lainnya. Selanjutnya pelaku usaha dalam Pasal 7 Undang-undang NO. 8 Tahun 1999 diwajibkan : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. d. Menjamin mutu barang danatau jasa yang diproduksi danatau jasa diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang danatau jasa yang berlaku. e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji danatau mencoba barang danatau jasa tertentu serta menjamin danatau garansi atas barang yang dibuat danatau jasa yang diperdagangkan. f. Memberi kompensasi ganti rugi danatau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakain dan pemanfaatan barang danatau jasa yang diperdagangkan. g. Memberi kompensasi, ganti rugi atas barang danatau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 4. Kontrak Baku Berklausula Eksonerasi. Undang-undang perlindungan konsumen implementasinya masih belum dapat dilihat secara signifikan. Berbagai ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang tersebut dengan mudah diabaikan. Salah satu contoh yang sampai saat ini masih terlihat jelas banyak terjadi pelanggaran adalah pada penetapan klausula baku berklausula eksonerasi, yaitu syarat-syarat untuk mengecualikan tanggung jawab. Pembentuk undang-undang sendiri tidak memberikan definisi klausula eksonerasi dalam Undang-undang perlindungan konsumen oleh karena itu untuk selanjutnya dipandang perlu menelusuri berbagai pandangan dari penulis. Untuk membedakan kedua istilah baku dan eksonerasi , perjanjian yang mengandung syarat-syarat baku adalah meniadakan pembicaraan terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, sedangkan dalam perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi adalah menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari persetujuan. 58 Sebagaimana diuraikan diatas perjanjian dengan syarat- syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun pengalihan 58 Nazution,”Hukum Perlindungan Konsumen”, Diadit Media, Jakarta, 2001, hal 94. tanggung jawab. Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut. 59 Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi yaitu : 60 a. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat-akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi, b. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri. c. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu piahk misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada phak ketiga yang terbutki mengalami kerugian. Oleh karena itu syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusanpengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan keajiban tetapi membebankan pihak lain. 59 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, ”Hukum Perlindungan Konsumen”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 115 60 Ibid, hal 116 Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tegas maupun tersurat tidak ada mencantukam istilah syarat eksonerasi tersebut. 61 Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 di dalamnya hanya mengatur tentang klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dlm suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen. Selanjutnya Bab V Ketentuan Pencantuman Klausula Baku Pasal 18 menentukan sebagai berikut : Pasal 18 ayat 1 Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditunjukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen. 61 Celina Tri S.K, ”hukum perlindungan konsumen,sinar grafika”, Jakarta, 2008, hal 140. d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau menguari harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa itu. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Selanjutnya Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang perlindungan Konsumen menetukan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secar jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Menurut Henri .P. Panggabean, klausula eksonerasi adalah perjanjian-perjanjian yang disertai syarat-syarat mengenai kewenangan salah satu pihak dalam hal ini produsen tentang pengalihan kewajiban atau tanggung jawabnya terhadap produk yang akibatnya dapat merugikan konsumen. 62 Dari batasan yang diberikan tersebut dapat disimpulakan bahwa klausula eksonerasi itu adalah isinya mengalihkan tanggung jawab, jadi klausula eksonerasi tidak sama dengan perjanjian standar. Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa klausula eksonerasi yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan kewajibannya untuk membayar gantu rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji ataupun perbuatan melawan hukum. 63 Dengan memaknai pandangan dari para pakar diatas maka klausula eksonerasi adalah pada dasarnya klausula semacam ini tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen. 62 Ahmadi mirusutarman yodo,op.cit, raja grafindo persada, Jakarta, 2008, hal 117. 63 Ibid, hal 118 Tiadanya pengertian dan pengaturan klausula eksonerasi secara otentik dalam Undang-Undang perlindungan konsumen apakah berarti klausula eksonerasi sama dengan klausula baku? Shidarta yang memperhatikan dengan cermat serta memaknai secara seksama Pasal 18 ayat 1 huruf a khususnya yang berisi tentang pengalihan tanggung jawab dihadapkan pada pasal 18 ayat 2 dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berisi tentang larangan pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang sulit dimengerti, letaknya sulit dilihat, tidak dapat dibaca secara jelas ataupun pengungkapannya sulit dimengerti. Dikatakannya lebih lanjut makna yang dikandung dalam kedua ketentuan diatas tersebut mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Oleh karena itulah kami berpendapat bahwa ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat 1 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, merupakan syarat-syarat eksonerasi yang digunakan oleh pelaku usaha sebagai dalil untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya melalui syarat-syarat pengalihan tanggung jawab ataupun mengurangi tanggung jawabnya terhadap konsumen. 64 Pencantuman syarat eksonerasi oleh pelaku usaha vide Pasal 18 ayat 1 huruf a sampai h yang merugikan konsumen menurut Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum artinya syarat-syarat 64 Shidarta,” hukum perlindungan konsumen Indonesia”,PT. grasindo , Jakarta, 2000, hal 123. tersebut dari semula dianggap tidak pernah ada. Ditinjau dari sanksinya bagi pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku eksonerasi sebagaimana dicantumkan pasal 18 ayat 2 Undang- Undang No.8 Tahun 1999 dapat dikenakan : a. Sanksi Perdata : perjanjian standar yang dibuatnya jika digugat di pengadilan oleh konsumen maka hakim membuat putusan declaratur bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum vide Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang pada saat ini telah mencantumkan kalusula baku dalam dokumen atau perjanjiannya wajib merevisi perjanjian standar tersebut agar sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan konsumen. b. Sanksi Pidana : Dipidana dengan pidana penjara paling lam 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,-vide pasal 62 ayat1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dengan lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen potensi Ketidakadilan yang dialmi konsumen dapat diminimalisir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perlindungan konsumen bahwa jenis klausula baku apalagi mangandung syarat- syarat eksonerasi dilarang dipergunakan oleh pelaku usaha sebenarnya sudah sangat berpihak kepada konsumen. Konsekuensinya adalah berbagai klausula baku yang ilegal itu tidak berlaku lagi maka akan banyak hal yang dapat meringakan konsumen, ketika konsumen mendapatkan produk yang tidak diinginkan dan dibutuhkan atau memperoleh perlakuan yang tidak adil dari pelaku usaha. Berbagai implikasi dengan diberlakukannya peraturan tentang klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen seperti misalnya karena pelaku usaha tidak dapat mengalihkan tanggung jawabnya, atau tidak dapat menolak pengembalian barang oleh konsumen maka konsumen terhindar dari potensi kerugian. Implikasinya adalah konsumen dapat menukarkan barang tersebut dengan barang lain atau mengembalikan barang tersebut dengan menerima uang. 65 65 Celina Tri. S.K, ”Hukum Perlindungan Konsumen”, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 147. 73

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian Dalam bab ini akan dikemukakan hasil-hasil penelitian baik yang