PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI (Study Kasus Di Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya).

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur

Oleh :

KOKO HERMAWAN NPM. 0771010146

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA 2011


(2)

Disusun oleh :

KOKO HERMAWAN

NPM. 0771010146

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal : 13 Mei 2011

Tim Penguji : Tanda Tangan

1. H. Sutrisno.S.H.,M.Hum. : (...)

NIP. 19601212 198803 1 001

2. Hariyo Sulistiyantoro.S.H.,MM. : (...) NIP. 19620625 199103 1 001

3. Subani SH, MSi. : (...) NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui DEKAN

Hariyo Sulistiyantoro.S.H.,MM. NIP. 19620625 199103 1 001


(3)

Disusun oleh :

KOKO HERMAWAN

NPM. 0771010146

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal : 13 Mei 2011

Tim Penguji : Tanda Tangan

1. H. Sutrisno.S.H.,M.Hum. : (...)

NIP. 19601212 198803 1 001

2. Hariyo Sulistiyantoro.S.H.,MM. : (...) NIP. 19620625 199103 1 001

3. Subani SH, MSi. : (...) NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui DEKAN

Hariyo Sulistiyantoro.S.H.,MM. NIP. 19620625 199103 1 001


(4)

melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul: ”PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI.”

Penyusunan skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam mengadakan penelitian dalam mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan bimbingan serta saran yang sangat berharga kepada :

1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, SH., MM., selaku Dekan dan sekaligus sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik.

2. Bapak Sutrisno, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Drs.Ec.Gendut Sukarno,MS., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(5)

telah membimbing dan mengarahkan peneliti dalam pembuatan skripsi sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Paidi Pawiro Rejo, SH., MM., selaku Kepala Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya (LPKS) beserta Seluruh Staff karyawan LPKS yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, atas kerjasamanya dalam skripsi ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur serta Bapak Sariyanto selaku Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

8. Kedua orang tua kami tercinta, serta seluruh keluarga besarku yang telah memberikan dukungan moril maupun materiil serta doanya selama ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati,kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan karena kurangnya pengalaman dan terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki.

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan tersebut dengan kebaikan pula. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surabaya, Mei 2011 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... ii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

ABSTRAKSI... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Kajian Pustaka ... 6

A. Pengertian-pengertian ... 6

1. Perlindungan Konsumen... 6

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen... 6

3. Konsumen ... .9

4. Pemukiman... 9

5. Perumahan... 9

6. Developer/Pengembang ... 10


(7)

C. Hak dan Kewajiban Developer (pelaku usaha)... 12

D. Perjanjian ... 13

E. Perjanjian Jual Beli Rumah... 21

F. Sengketa konsumen... 23

G. Klausula baku ... 25

H. Klausula eksonerasi ... 26

1.6. Metodologi Penelitian ... 26

A. Jenis dan tipe penelitian ... 26

B. Sumber Data... 26

C. Metodelogi Pengumpulan Data ... 28

D. Metodelogi Analisi Data ... 29

E. Lokasi Penelitian ... 29

F. Waktu Penelitian ... 29

1.7. Sistematika Penulisan ... 30

BAB II KEABSAHAN PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI 2.1. Perjanjian baku dengan klausula eksonerasi dalam Perjanjian jual beli Perumahan ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ... 31

2.2. Perjanjian baku dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan ditinjau menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... 34


(8)

BAB III AKIBAT HUKUM KLAUSULA BAKU YANG MEMUAT KLAUSULA EKSONERASI

3.1. Akibat hukum ditinjau dari Kitab Undang-undang

Hukum Perdata ... 42 3.2. Akibat Hukum ditinjau dari Undang-Undang

Perlindungan Konsumen ... 44 BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan ... 48 4.2. Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : Duplikat Surat Pengaduan Konsumen Ibu lien

LAMPIRAN 2 : Duplikat Surat Perjanjian Jual Beli PT.Pakuwon Darma Dengan Konsumen


(10)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

Nama Mahasiswa : Koko Hermawan

NPM : 0771010146

Tempat/Tanggal Lahir :Gresik,08 Agustus 1989 Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI

ABSTRAKSI

Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di Indonesia menyebabkan besarnya kebutuhan masyarakat akan suatu permukiman yang layak.Sebab sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa tempat tinggal adalah suatu kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Hal inilah yang menjadikan momentum ekstra bagi pelaku usaha untuk mencantumkan klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan yang sifatnya merugikan konsumen perumahan, dalam hal ini pelaku usaha cerdik membaca kondisi psikologis konsumen yang kemampuan ekonominya rendah dan terdesak akan kebutuhan vital.

Hubungan pelaku usaha dengan konsumen seharusnya berjalan selaras, mengingat hubungan keduanya merupakan simbiosis mutualisme. Namun yang terjadi konsumen seolah-olah duduk sebagai komoditas bisnis yang berada pada posisi yang lemah. Sementara pelaku usaha terkesan memanfaatkan kelemahan konsumen perumahan untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah perjanjian baku jual beli perumahan yang mengadung klausula eksonerasi yang dibuat oleh pelaku usaha dibidang perumahan sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan


(11)

Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999. dan untuk mengetahui apa akibat hukum apabila perjanjian baku jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi tidak dipenuhi oleh konsumen. Metode pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan yuridis normatif yang berarti pendekatan yang didasarkan pada hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif).

Sumber data diperoleh dari literatur-literatur, perundang-undangan yang berlaku dan data dari Kantor Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya. Analisis data menggunakan metode deskriptif analisis. Hasil penelitian yang dapat di simpulkan adalah Analisis mengenai keabsahan perjanjian baku jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi dan Analisa mengenai akibat hukum apabila perjanjian baku jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi tidak dipenuhi oleh konsumen.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di Indonesia ditambah lagi dengan jumlah penduduk yang cukup besar di Indonesia dimana pada saat ini saja berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat 237,6 juta jiwa. Jumlah ini bertambah sekitar 32,5 juta jiwa dari jumlah penduduk sebelumnya yang tercatat di tahun 2000.1 Hal ini menyebabkan besarnya kebutuhan masyarakat akan suatu permukiman yang layak.Sebab sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa tempat tinggal adalah suatu kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Hal ini tercantum pula pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman selanjutnya disingkat UU Perumahan dan Pemukiman pasal 4 huruf a yang menyatakan bahwa penataan perumahan dan pemukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, dan penjelasan umum Undang-undang Permahan dan Pemukiman alinea kedua yang menyatakan bahwa perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan masyarakat.

1


(13)

Perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (Basic Need) yang telah ada, seiring dengan keberadaan manusia itu sendiri. Media perumahan menjadi sarana bagi manusia guna melakukan berbagai macam aktifitas hidup dan sarana untuk memberikan perlindungan utama terhadap adanya gangguan-gangguan eksternal, baik terhadap kondisi iklim maupun terhadap gangguan lainnya. Saat ini konsep perumahan telah mengalami penggeseran, tidak hanya sebagai kebutuhan dasar saja, ataupun sebagai media yang memberikan perlindungan, namun perumahan telah menjadi gaya hidup (life style), memberikan kenyamanan dan menunjukkan karakteristik atau jati diri, yang merupakan salah satu pola pengembangan diri serta sarana private, sebagaimana dibutuhkan pada masyarakat global.

Pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi, harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha, sehingga mampu menghasilkan beraneka barang/jasa yang memiliki kandungan teknologi dan dapat meningkatkan kesejahteraan banyak serta sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh di pasar.

Di Indonesia, kebutuhan terhadap perumahan juga telah mengalami peningkatan, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat dunia, terutama pada masyarakat perkotaan, di mana populasi penduduknya sangat besar, sehingga memaksa pemerintah untuk berupaya memenuhi kebutuhan akan perumahan di tengah berbagai kendala seperti keterbatasan lahan perumahan.

Permasalahan lain yang kerap muncul dalam pemenuhan kebutuhan terhadap perumahan adalah aspek-aspek mengenai konsumen, di mana konsumen berada pada posisi yang dirugikan. Permasalahan tersebut


(14)

merupakan persoalan yang klasik dalam suatu sistem ekonomi, terutama pada negara-negara berkembang, karena perlindungan terhadap konsumen tidak menjadi prioritas utama dalam dunia bisnis, melainkan keuntungan yang diperoleh oleh produsen atau pelaku usaha, tidak terkecuali dalam bidang perumahan. Pada beberapa kasus yang terjadi, umumnya pihak konsumen tidak berdaya mempertahankan hak-haknya, karena tingkat kesadaran konsumen terhadap hak-haknya masih rendah. Hal tersebut disebabkan minimnya tingkat pengetahuan konsumen itu sendiri, baik terhadap aspek hukumnya yang berlaku saat ini, belum mampu secara optimal mengatasi permasalahan dalam perlindungan konsumen. Secara umum, posisi konsumen perumahan lemah dibandingkan pihak pelaku usaha, baik dari segi sosial ekonomi, pengetahuan teknis maupun dalam mengambil upaya hukum melalui institusi pengadilan, sehingga konsumen sering tidak menyadari haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Apabila konsumen mengetahui hal tersebut sekalipun, konsumen enggan untuk melakukan tindakan upaya hukum.

Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintergrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen, walaupun sudah diberlakukan Undang undang perlindungan konsumen namun di Indonesia perjanjian baku/standar yang substansinya mencantumkan klausula eksonerasi kenyataannya sudah merambah sektor bisnis, namum dari kajian akademik oleh para pakar hukum memandangnya secara yuridis masih kontrolversial eksistensinya. Dalam praktek jual beli perumahan pada umumnya perjanjian standar yang oleh pengusaha real


(15)

estate senantiasa di pandang sebagai model yang ideal, praktis dan sekaligus

siap pakai sesuai dengan rumus efisiensi yang semangat di dambakan diantara kalangan mereka. Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih kebebasan para pihak sesuai dengan asas kebebasan untuk membuat perjanjian sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh pelaku usaha adalah melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep yang tidak dapat ditawar.

Bermunculannya berbagai model kontrak baku dalam masyarakat sudah menjadi polemik tentang eksistensinya apalagi di dalam model baku tersebut didalamnya selalu mencantumkan syarat syarat eksonerasi. Model perjanjian baku yang berklausula eksonerasi tersebut dibuat oleh salah satu pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat seperti pelaku usaha real estate yang berhadapan dengan kedudukan konsumen dalam posisi yang lemah. Dalam pola hubungan yang demikian itu yang ekonominya lemah hanya mempunyai 2 pilihan yaitu menerima dengan segala macam persyaratan atau menolaknya sama sekali.

1.2 Rumusan Masalah:

Dari uraian diatas dapatlah ditarik rumusan masalah:

1. Apakah perjanjian jual beli perumahan dalam bentuk kontrak baku berklausula eksonerasi sah ditinjau dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen?


(16)

2. Bagaimana akibat hukum apabila perjanjian baku jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi tidak dipenuhi oleh konsumen?

1.3 Tujuan penelitian

1. Untuk menganalisis apakah perjanjian pengikatan perjanjian jual beli baku yang memuat klausula eksonerasi ini sah menurut hukum perjanjian ditinjau dari perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 2. Untuk menganalisis bagaimanakah akibat hukum apabila perjanjian

baku jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi tidak dipenuhi oleh konsumen.

1.4 Manfaat penelitian

1. Sebagai pengembangan ilmu hukum dibidang Perlindungan Konsumen khususnya tentang perjanjian pengikatan jual beli baku yang memuat klausula eksonerasi ditinjau dari segi perundang-undangan yang berlaku pelaku usaha tidak semena-mena dalam menentukan klausula perjanjian pengikatan jual beli.

2. Sebagai upaya pengenalan terhadap hak-hak maupun kewajiban konsumen dan pelaku usaha sehingga dapat menciptakan lingkungan usaha yang jujur, adil dan bermanfaat.

3. Sebagai upaya yang diharapkan penulis kepada pemerintah agar segala kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka pengawasan diharapkan tepat sasaran.


(17)

1.5 Kajian Pustaka

A. Pengertian-pengertian 1. Perlindungan konsumen

Menurut UU Perlindungan Konsumen, Pasal 1 ayat (1), Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

2. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada asas yang diyakini memberikan arahan dan implementasinya di tingkatan praktis. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen Pasal 2, ada 5 (lima) asas perlindungan konsumen yaitu:

a. Asas Manfaat

Asas manfaat maksudnya adalah untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Keadilan artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya termasuk juga didalamnya adalah apa yang menjadi haknya atau bagiannya pembeli rumah yang akan menjadi konsumen akhir. Asas keadilan


(18)

yang dianut oleh pembentuk Undang-undang tentangperlindungan konsumen ini adalah justifikasi dari apa yang diperkenalkan

c. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil maupun spiritual. Pengembang yang sudah mempunyai kemampuan ekonomi jauh lebih besar serta mempunyai posisi tawar yang dominan sudah seharusnya memperhatikan posisi tawar yang lemah dari pembeli. Pelaku usaha tidak hanya memperhatikan dari segi keuntungan belaka namun juga memperhatikan kemampuan dari pembeli pada umumnya dan konsumen perumahan pada khususnya. d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberika jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini adalah ditarik dari uraian tentang tanggung jawab produsen terhadap produksinya, karenanya konsumen berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap pemasaran barang dan jasa yang membahayakan bagi kesehatan dan keamanan tubuh manusia. Selanjutnya jika ditinjau dari tanggung jawab produk (product liability) dulu orang berkata biarkanlah pembeli yang harus waspada (caveat emptor) kini sudah menjadi kebalikannya biarkanlah penjual yang harus waspada (caveat vendor), merupakan tanggung jawab pelaku usaha atas produknya yang membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen.


(19)

e. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menanati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyalahgunaan perlindungan konsumen serta menjamin kepastian hukum.

Perlindungan konsumen sendiri bertujuan untuk:

a.Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b.Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c.Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalm memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

3. Konsumen

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, dijelaskan pengertian konsumen sebagai berikut :

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang


(20)

dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

4. Pemukiman

Menurut UU Perumahan dan Pemukiman Pasal 1 ayat (3) ,Perumahan adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

5. Perumahan

UU Perumahan dan Pemukiman Pasal 1 ayat (2), perumahan diartikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

6. Pengembang/Developer

Istilah Developer berasal dari bahasa asing yang menurut kamus bahasa inggris artinya adalah pembangun perumahan.2 Sementara itu menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1974,disebutkan pengertian Perusahaan Pembangunan Perumahan yang dapat pula masuk dalam pengertian Developer, yaitu :

2

John M Echlos dan Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia,gramedia, Jakarta 1990 hal. 179


(21)

“Perusahaan Pembangunan Perumahan adalah suatu perusahaan yang berusaha dalam bidang pembangunan perumahan dari berbagai jenis dalam jumlah yang besar di atas suatu areal tanah yang akan merupakan suatu kesatuan lingkungan pemukiman yang dilengkapi dengan prasarana-prasarana lingkungan dan fasilitas-fasilitas sosial yang diperlukan oleh masyarakat penghuninya.” Dalam UU Perlindungan Konsumen, Developer masuk dalam kategori sebagai pelaku usaha. Pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen yaitu:

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

B. Hak dan kewajiban Konsumen

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Menurut pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, hak konsumen adalah:

a. Hak atas kenyamanan,keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar,jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk untuk mendapatkan advokasi,perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;


(22)

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan / atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya ;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.3

Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 5, kewajiban konsumen adalah:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.4

C. Hak dan kewajiban Developer ( pelaku usaha )

Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 6 hak pelaku usaha adalah:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.5

3

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, 2003, h.6

4

Ibid, h.7 5


(23)

Menurut UU Perlindungan Konsumen pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriinatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi,ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.6

D. PERJANJIAN.

a. Pengertian Perjanjian

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) memiliki sifat yang terbuka. Maksudnya, bagi para pihak yang ingin membuat suatu perikatan atau perjanjian, bebas menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam buku III KUHPerdata, asalkan isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam Buku III KUHPerdata tersebut tidak tercantum definisi perjanjian secara jelas. Namun demikian, definisi Perjanjian dapat ditemukan dalam doktrin (Ilmu Pengetahuan Hukum), diantaranya pendapat Subekti mengatakan : “Perjanjian adalah suatu peristiwa, di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji

6


(24)

untuk melaksanakan sesuatu hal”7. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

b) Lahirnya Perjanjian

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak, mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain. Meskipun tidak sejurusan, tetapi secara timbal balik, kedua kehendak itu bertemu satu sama lain8.

c) Unsur-Unsur Perjanjian

Salah satu hal yang harus ada didalam perjanjian adalah unsur-unsur perjanjian, unsur-unsur-unsur-unsur tersebut meliputi :

1) Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang (subjek).

2) Ada tujuan yang ingin dicapai (bersifat kebendaan mengenai harta kekayaan).

3) Ada objek yang berupa benda.

7

Subekti, “Hukum Perjanjian”, Jakarta, PT Intermasa, 2005, h.2

8


(25)

4) Ada bentuk tertentu (lisan atau tertulis).

5) Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus)9. d) Asas-Asas dalam Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut antara lain:

1) Asas konsensual

Asas ini mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Asas ini dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : (salah satu syarat syahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak). Hal ini mengandung makna bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

2) Asas Kebebasan Berkontrak

Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

9

Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia”, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, 2000,h. 225


(26)

3) Asas Pelengkap

Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang-undang tetapi apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain, maka berlakulah ketentuan undang-undang. Asas ini hanya menghendaki hak dan kewajiban pihak-pihak saja. 4) Asas Pacta Sun Servanda

Asas ini memiliki kekuatan yang mengikat. Hal ini dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.10

e) Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian Yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum legally concluded contract. Menurut ketentuan pasal 1320 KUH Perdata, syarat-syarat sah perjanjian adalah :

1. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya

Yaitu antara kedua belah pihak harus ada kata sepakat atas apa yang mereka perjanjikan.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

10


(27)

Setiap subyek hukum yang akan mengikatkan dirinya dalam suatu hubungan hukum yang mempunyai akibat hukum harus sudah mempunyai kecakapan bertindak dalam hukum. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata setiap orang dinyatakan cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.

Selajutnya yang dinyatakan tidak cakap membuat perikatan-perikatan oleh Pasal 1330 KUHPerdata ditetapkan bagi orang-orang yang belum dewasa sebagaimana ditentukan oleh Pasal 330 KUHPerdata, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan yaitu mereka yang sudah dewasa namun tidak mempunyai kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri dan harta kekayaannya karena keadaan jiwanya dan orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963, sudah mencabut tentang ketidak wenangan seorang istri untuk bertindak melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Sehubungan dengan kecakapan sebagai syarat sahnya perjanjian

Subekti, menyatakan secara tegas bahwa dari sudut rasa keadilan setiap orang yang mengikat diri dalam perjanjian harus sungguh-sungguh menginsyafi tanggung jawab yang dipikul dan


(28)

dari sudut ketertiban hukum orang yang mengikatkan diri tersebut mempertaruhkan harta kekayaannya.

Mempertaruhkan harta kekayaan bilamana ditinjau dari Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata merupakan asas solvabilitas yang ada pada setiap subyek hukum dalam melakukan perikatan-perikatan. Inti dari pasal yang disebut pertama adalah menentukan segala harta kekayaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan-perikatan perseorangan. Selanjutnya pasal yang disebut belakangan menentukan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan padanya.

3) Suatu hal tertentu

Yaitu merupakan suatu prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Jika prestasi itu kabur atau tidak jelas maka perjanjian itu batal.

4) Suatu sebab yang halal

Diatur dalam pasal 1337 KUHPerdata, dimana dalam isi perjanjian tersebut harus bersifat legal yaitu tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-undang, Ketertiban umum, dan kesusilaan.


(29)

Menurut penjelasan diatas, syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Namun, jika tidak dimintakan pembatalan kepada hakim, perjanjian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau waktu lima tahun (Pasal 1454 KUHPerdata).

Syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak terpenuhi, perjanjian dianggap batal demi hukum. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke muka hakim, dan hakim menyatakan perjanjian batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat objektif.

f) Berakhirnya Suatu Perjanjian Dan Hapusnya Perikatan a. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Berakhirnya Suatu perjanjian dapat terjadi karena suatu tindakan atau peristiwa tertentu, baik yang dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh para pihak. Hal tersebut antara lain :

1) Telah ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.

2) Undang-undang telah menetapkan batas waktu berlakunya perjanjian.


(30)

3) Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus.

4) Adanya suatu pernyataan untuk menghentikan perjanjian. 5) Karena putusan hakim.

6) Tujuan perjanjian telah tercapai. b. Hapusnya Perikatan

Menurut ketentuan pasal 1381 KUHPerdata, terdapat sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu:

1) Pembayaran

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Pembaharuan utang

3) Perjumpaan utang atau kompensasi 4) Percampuran utang

5) Pembebabasan utang

6) Musnahnya barang yang terutang 7) Pembatalan

8) Berlaku suatu syarat batal 9) Lewatnya waktu (daluarsa)

g) Dasar Hukum Yang Berkaitan Dalam Perjanjian

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), telah dinyatakan mengenai beberapa ketentuan tentang perjanjian. Adapun pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian yaitu antara lain :


(31)

a. Pasal 1313 KUH Perdata: suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

b.Pasal 1320 KUH Perdata: untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1) Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.11

c. Pasal 1338 KUH Perdata: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

E. Perjanjian Jual Beli Rumah a. Pengertian Jual Beli

Menurut Pasal 457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan pengertian jual beli, yaitu:

“Suatu Persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.”

b. Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah

11


(32)

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/1995 tanggal 23 Juni 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, disebutkan adanya dua pihak dalam perjanjian, yaitu: pihak Perusahaan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman atau Developer atau Pelaku Usaha yang bertindak sebagai penjual rumah dan pihak konsumen rumah selaku Pembeli Rumah. c. Bentuk Perjanjian Jual Beli Rumah

Pada prinsipnya UU Perlindungan Konsumen, tidak melarang developer (Pelaku Usaha) untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku, asal tidak mencantumkan ketentuan yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (1) dan perjanjian baku yang dibuat tidak bertentangan dengan UU Perlindungan Konsumen Pasal 18 ayat (2).

d. Dokumen-Dokumen Hukum Yang Timbul Dari Perjanjian Jual Beli Rumah Perjanjian yang dilakukan dalam bidang perumahan akan melahirkan dokumen-dokumen hukum (legal documents) yang penting antara lain:

1. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPBJ) atau sering pula dikenal dengan istilah Perjanjian Pendahuluan Pembelian, perjanjian akan jual beli antara developer (pelaku usaha) dan konsumen. Dokumen ini merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara developer (pelaku usaha) dan konsumen.


(33)

2. Perjanjian Jual Beli yang dibuat dan ditanda tangani di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

3. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, didalamnya mengatur mengenai jumlah pinjaman, jangka waktu pelunasan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan besarnya perhitungan bunga pinjaman. Keberadaan dokumen-dokumen tersebut sangat penting sebagai salah satu bentuk pelaksanaan perlindungan konsumen di lapangan.

F. Sengketa Konsumen

a. Pengertian Sengketa Konsumen

UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Definisi ”sengketa konsumen” dijumpai pada Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, dimana yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah:

“sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.” Menurut para ahli hukum Komar Kartaatmadja dalam bukunya”Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR Di Indonesia” mengatakan bahwa:

“Sengketa dalam pengertian sehari-hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain


(34)

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian.”

Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi–pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar.

b. Pihak-Pihak Dalam Sengketa Konsumen

Dalam sengketa konsumen maka pihak-pihak yang bersengketa adalah konsumen disatu pihak dan Developer (Pelaku usaha) di pihak lain. Dimana konsumen sebagai pengguna/pemakaian barang/jasa dan Developer (pelaku usaha) sebagai penyedia barang atau jasa.

c. Bentuk-Bentuk Sengketa Konsumen

Sengketa konsumen yang terjadi karena adanya ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan atau pemakaian barang atau jasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk sengketa konsumen karena kerugian yang dialami oleh konsumen adalah:

1. Cacat Tubuh/Fisik (Personal Injury)

2. Cacat Fisik (Injury To The Product It self/Some Other Property) 3. Kerugian Ekonomi (Pure Economic Loss)

Ada 2 tipe kerugian semacam ini, yaitu:

1. Kerugian Ekonomi Langsung (Direct Economic Loss/Diminution


(35)

2. Kerugian Ekonomi Tidak Langsung (Indirect Economic Loss/

Resulting From The Performance of Product) Tentang batasan

produk cacat di Indonesia, menurut BPHN Dep. Kehakiman RI dalam bukunya yang berjudul “Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan Tentang Tangung Jawab Produsen Di Bidang Farmasi Terhadap Konsumen.”

“ Yang dimaksud dengan produk cacat adalah: setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal lain yang terjadi dalam peredarannya atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya sebagaimana diharapkan orang.”

Suatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya), karena:

1. Cacat produk 2. Cacat desain

3. Cacat peringatan atau instruksi G. Klausula baku

Perjanjian baku adalah perjanjain yang hampir seluruh klausulklausulnya di bakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.12

12


(36)

H. Klausula eksonerasi

Klausula Eksonerasi (Exemption Clause)adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk(penjual).13

1.6 Metode Penelitian

A. Jenis dan Tipe Penelitian

Metode pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif.

Pendekatan yuridis normatif berarti pendekatan yang didasarkan pada hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif).

B. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder adalah data dari penelitian kepustakaan di mana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas terdiri dari :

A.Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

B.Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman

13


(37)

C.Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/1995 tanggal 23 Juni 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah

D.Dan juga UU pendukung lainnya serta peraturan pelaksanaanya.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya sarjana untuk memperluas wawasan penulis mengenai bidag penulisan yang terdiri dari:

A. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, 2000.

B. Ahmadi Miru,Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Raja Grafindo Persada,Jakarta,2004.

C. Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

D. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Pedoman Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara Konsiliasi

E. Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2001

F. Kansil. ChristineST Kansil, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 08 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, Jakarta,Pradnya Paramita,1999

G. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta,2000


(38)

H. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT Intermasa, 2005

I. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005

J. Surisno,Hukum Bisnis, Dian Samudra,Surabaya,2010

3. Bahan hukum tersier adalah merupakan bahan hukum sebagai perangkap dari kedua bahan hukum sebelumnya terdiri dari :

A. Echols, John.M, Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta,1990.

B. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembang Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka,1988 C. Metode Pengumpulan dan Pengelolahan data

Untuk mendapatkan bahan hokum ynag diperlukan dala penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan, perolehan bahan hokum melalui penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana.

D. Metode Analisis Data

Pengolahan data menggunakan metode diskriptif analisis artinya data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan stuktur hukum positif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.


(39)

E.

Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat pengumpulan data dilapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi yang dipilih sebagai penelitian adalah Kantor Lembaga Perlindungan Konsumen Kota Surabaya.

F.

Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah 4 (empat) bulan, dimulai dari bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Mei 2011. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari minggu ketiga. Tahap persiapan penelitian ini meliputi : penentuan judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, dan perbaikan proposal. Tahap pelaksanaan penelitian selama tiga bulan terhitung mulai minggu pertama bulan Januari sampai bulan Maret minggu terakhir, meliputi pengumpulan sumber data primer dan sumber data sekunder.

1.7

Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman skripsi ini, maka kerangka dibagi menjadi beberapa bab yang terdiri beberapa sub-sub :

Bab Pertama pendahuluan. Bab ini memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi, meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini serta pertanggung jawaban sistematika. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada pembaca agar


(40)

dapat mengetahui secara garis besar pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

Bab Kedua, menguraikan mengenai perjanjian baku jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pada bab ini terdiri dari 2 sub bab yang pertama mengenai perjanjian baku dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan kedua mengenai perjanjian baku dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan ditinjau menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Bab Ketiga, menguraikan mengenai Bagaimana akibat hukum apabila perjanjian baku jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi tidak dipenuhi oleh konsumen. Pada bab ini terdiri dari dua sub bab yang pertama mengenai akibat hukum perjanjian baku dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan bab yang kedua menguraikan mengenai akibat hukum perjanjian baku dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Bab Keempat, penutup merupakan bagian terakhir dan sebagai penutup dalam penulisan skripsi ini yang berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan juga berisikan saran-saran dari permasalahan tersebut. Dengan demikian bab penutup ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini sekaligus merupakan rangkuman jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.


(41)

BAB II

KEABSAHAN PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI

Perjanjian standar (baku), sebenarnya dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh si penjual,tanpa memperhatikan perbedaan makanan tersebut. Dalam perkembangannya,tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk(penjual) tidak lagi sekedar masalah harga,tetapi mencakup syarat-syarat yang lebih detail. Selain itu,bidang-bidang yang diatur dengan perjanjian standarpun makin bertambah luas. Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada 1971, 99 persen perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di Indonesia,perjanjian standar bahkan merambah ke sektor properti dengan cara-cara yang secara yuridis masih kontroversial. Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negatif. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Akan tetapi,disisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini tentu saja menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul-klausul didalam perjanjian itu memiliki hak untuk memperoleh kedudukan seimbang dalam menjalankan perjanjian tersebut, disisi yang lain ia harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya

Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya.


(42)

Pada perjanjian baku dengan jual beli perumahan dengan klausula eksonerasi penulis menggunakan sumber data pada kasus di Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya tentang surat pengaduan ibu liem Purnawati Halim sebagai konsumen Perumahan PT.Pakuwon Darma sebagai pengembang.

2.1 Perjanjian Baku Dengan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Jual Beli Perumahan Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

a. Klausula Eksonerasi Menanggung Obyek Tanpa cacat

Pengembang perumahan sama juga halnya dengan penjual kebendaan pada umumnya menurut hukum perdata mempunyai 2 kewajiban yaitu menyerahkan kebendaan kepada pembeli dan menanggung apa yang diserahkan yang nantinya akan menjadi milik pihak pembeli tidak mengandung cacat yang tersembunyi(vrijwaring).

Menurut Pasal 1504 KUHPerdata penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual yang menyebabkan barang itu tidak dapat digunakan untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu ia sama sekali tidak akan membeli barangnya atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.

Dari hasil data menunjukkan pengembang PT. Pakuwon Darma tidak memberikan secara tegas kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk meneliti fisik bangunan tentang kemungkinan adanya cacat yang tersembunyi pada bangunan sebelum dilakukan acara serah terima, dapat dilihat pada pasal 6 ayat 3 menyatakan, masa pemeliharaan berlangsung selama 90 hari kalender sejak ditandatanganinya BAP. Apabila dalam masa


(43)

pemeliharaan tersebut PIHAK KEDUA menemukan cacat yang nyata terlihat atas unit apartemen dan/atau tidak berfungsinya fasilitas-fasilitas didalam unit apartemen, PIHAK KEDUA berhak meminta secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA untuk memperbaiki cacat atau tidak berfungsinya fasilitas tersebut.

Pengembang PT Pakuwon Darma diatas memberikan masa pemeliharaan jangka waktunya bertentangan dengan Pasal 1609 KUHPerdata. Pasal 1609 KUHPerdata menentukan bahwa jika suatu gedung, yang telah diborongkan dan dibuat untuk suatu harga tertentu, seluruhnya atau sebagian musnah disebabkan suatu cacat dalam penyusunannya atau bahkan karena tidak sanggupnya tanahnya, maka para ahli pembangunannya serta para pemborongnya adalah bertanggung jawab untuk itu selama sepuluh tahun. Dalam hal ini jelas bahwa pengembang telah membatasi tanggung jawabnya ataupun mengalihkan tanggung jawabnya dengan cara hanya memberikan masa pemeliharaan selama 90 hari yang bertentangan dengan pasal 1609 KUHPerdata.

b. Klausula Eksonerasi Pembatalan Sepihak Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah.

Pada pasal 9 ayat 2 huruf (b) Perjanjian jual beli perumahan PT.Pakuwon Darma yang menyatakan, dalam hal denda telah berjalan selama 30 (tiga puluh) hari dan pihak kedua belum melakukan pembayaran angsuran,maka pihak pertama berhak mengakhiri perjanjian ini dan unit Apartemen menjadi milik pihak pertama kembali.


(44)

Menurut Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata ditegaskan bahwa persetujuan-persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Artinya menurut Undang-undang dalam setiap perjanjian yang lahir atas dasar kesepakatan para pihak dapat dibatalkan secara sepihak. Pengembang yang membuat perjanjian pengikatan jual beli rumah dan tanah juga harus mentaati ketentuan tersebut. Dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi maka kewajiban dari satu pihak akan berhadapan pula dengan kewajiban pemenuhan prestasi dari pihak lainnya. Dengan demikian perjanjian antara pengembang dengan pembeli adalah termasuk ke dalam perjanjian timbal balik karena masing-masing dari para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dalam perjanjian timbal balik bila pihak yang satu tidak melakukan kewajibannya maka pihak yang lainpun tidak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Untuk itu ada seperangkat aturan yang mengatur tentang syarat batal dalam perjanjian timbal balik secara sangat khusus di atur sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Pasal 1266 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa syarat-syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Adapun makna dari pasal tersebut adalah walaupun para pihak tidak mencantumkan secara tegas maka Undang-undang sendiri menetapkan bahwa dalam perjanjian timbal balik yang dibuat oleh para pihak syarat batal selalu itu dianggap tercantum di dalam perjanjian tersebut.


(45)

Selanjutnya ayat (2) dari pasal yang dimaksudkan di atas menentukan bahwa dalam persetujuan yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada hakim. Terhadap ketentuan yang demikian dapat memaknai sebagai adanya kesempatan bagi hukum untuk melakukan penilaian terjadinya wanprestasi.

Sehubungan dengan itu, memaknai ketentuan tersebut merupakan upaya perlindungan bagi pihak yang dianggap lemah baik secara ekonomi maupun kedudukan hukumnya yang berhadapan dengan pihak yang posisi tawarnya kuat.

Dapat disimpulkan pada pasal 9 ayat (2) pada perjanjian jual beli perumahan PT. Pakuwon Darma tersebut menghapuskan tanggung jawab dengan cara melanggar pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.

2.2 Perjanjian Baku Dengan Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Jual Beli Perumahan Ditinjau Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pembentuk undang-undang sendiri tidak memberikan definisi klausula eksonerasi dalam Undang-undang perlindungan konsumen oleh karena itu untuk selanjutnya dipandang perlu menelusuri berbagai pandangan dari penulis. Untuk membedakan kedua istilah baku dan eksonerasi , perjanjian yang mengandung syarat-syarat baku adalah meniadakan pembicaraan terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, sedangkan dalam perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi adalah menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari persetujuan.14

Sebagaimana diuraikan diatas perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa

14


(46)

penghapusan ataupun pengalihan tanggung jawab. Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut.15

Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi yaitu :16

a. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat-akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi,

b. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri.

c. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu piahk misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada pihak ketiga yang terbutki mengalami kerugian.

Oleh karena itu syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan/pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan/ penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan kewajiban tetapi membebankan pihak lain.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tegas maupun tersurat tidak ada mencantukam istilah syarat eksonerasi tersebut.17

Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 di dalamnya hanya mengatur tentang klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih

15

Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, ”Hukum Perlindungan Konsumen”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 115.

16

Ibid, hal 116. 17


(47)

dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dlm suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen.

Selanjutnya Bab V Ketentuan Pencantuman Klausula Baku Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 menentukan sebagai berikut :

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;


(48)

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Menurut Henri .P. Panggabean, klausula eksonerasi adalah perjanjian-perjanjian yang disertai syarat-syarat mengenai kewenangan salah satu pihak dalam hal ini produsen tentang pengalihan kewajiban atau tanggung jawabnya terhadap produk yang akibatnya dapat merugikan konsumen.18

18

Ahmadi miru&sutarman yodo,Hukum Perlindungan Konsumen, raja grafindo persada, Jakarta, 2008, hal 117.


(49)

Dari batasan yang diberikan tersebut dapat disimpulkan bahwa klausula eksonerasi itu adalah isinya mengalihkan tanggung jawab, jadi klausula eksonerasi tidak sama dengan perjanjian standar.

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa klausula eksonerasi yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan kewajibannya untuk membayar gantu rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji ataupun perbuatan melawan hukum.19

Dengan memaknai pandangan dari para pakar diatas maka klausula eksonerasi adalah pada dasarnya klausula semacam ini tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen.

Dengan memaknai pandangan dari para pakar diatas maka klausula eksonerasi adalah pada dasarnya klausula semacam ini tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen.

Shidarta yang memperhatikan dengan cermat serta memaknai secara seksama Pasal 18 ayat (1) huruf a khususnya yang berisi tentang pengalihan tanggung jawab dihadapkan pada pasal 18 ayat (2) dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berisi tentang larangan pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang sulit dimengerti, letaknya sulit dilihat, tidak dapat dibaca secara jelas ataupun pengungkapannya sulit dimengerti. Dikatakannya lebih lanjut makna yang dikandung dalam kedua ketentuan diatas

19


(50)

tersebut mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Oleh karena itulah penulis berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, merupakan syarat-syarat eksonerasi yang digunakan oleh pelaku usaha sebagai dalil untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya melalui syarat-syarat pengalihan tanggung jawab ataupun mengurangi tanggung jawabnya terhadap konsumen.20

Dari hasil data pada perjanjian jual beli perumahan pada pasal 6 ayat (3) dan pasal 9 ayat 2 huruf (b) belum memenuhi kriteria pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 Pasal 18.

Pada pasal 6 ayat (3) perjanjian jual beli perumahan tersebut sangatlah membebani pembeli dikarenakan pengembang hanya memberikan masa pemeliharaan selama 90 hari dan setelah itu dengan sendirinya segala tanggung jawab beralih kepada pembeli. Hal ini bertentangan dengan pasal 18 ayat 1 huruf (a) yang menentukan bahwa, pelaku usaha dilarang membuat klausula baku pada dokumen atau perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Pada perjanjian jual beli perumahan pasal 9 ayat 2 huruf (b) tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-undang No.8 Tahun 1999 yang isinya adalah menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secaea langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Dari hasil data pada surat pengaduan Ibu lien menunjukkan

20

Shidarta,” hukum perlindungan konsumen Indonesia”,PT. grasindo , Jakarta, 2000, h.123.


(51)

bahwa perjanjian baku berklausula eksonerasi berupa tindakan sepihak tersebut adalah berat sebelah yaitu bahwa developer terlalu tinggi mencari keuntungan, pengembang memanfaatkan konsumen yang sangat terdesak kebutuhannya terhadap rumah, pembeli tidak ada diberikan kesempatan untuk merubah syarat-syarat baku dalam perjanjian dan posisi konsumen sangat lemah berhadapan dengan pengembang/ developer.


(52)

BAB III

AKIBAT HUKUM KLAUSULA BAKU YANG MEMUAT KLAUSULA EKSONERASI

Sebagaimana halnya telah diuraikan dalam Tinjauan Pustaka Bab II, adapun syarat umum setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak didasarkan pada terpenuhinya syarat subyektif dan syarat obyektif. Pelaku usaha dalam dunia bisnis dalam mewujudkan efisiensi kerja sering kali membuat perjanjian yang sudah tertulis dalam bentuk perjanjian pengikatan jual beli yang sudah disiapkan jauh sebelum terjadinya transaksi. Dalam praktek ditemukan berbagai pembakuan dalam setiap dokumen ataupun perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak terutama yang lebih dominan dari pihak yang lainnya. Perjanjian atau dokumen yang sudah baku tersebut tidak mungkin diadakan tawar menawar oleh pihak yang posisi ekonomi lemah sehingga baginya ada dua pilihan yaitu menerima atau menolak. Dalam perjanjian baku jual beli perumahan juga tidak sulit ditemukan adanya klausula eksonerasi yang tentunya sangatlah merugikan konsumen. Melalui penandatanganan sebuah perjanjian jual beli yang dilakukan oleh PT.Pakuwon Darma dengan konsumen Ibu lien sudah terbukti secara fakta bahwa konsumen yang posisi tawarnya lemah pun dianggap oleh pelaku usaha menyepakati segala isi perjanjian dimaksudkan. Menerima berarti bersedia untuk memenuhi segala syarat-syarat yang cenderung hanya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan kerugian bagi yang posisi tawarnya lemah. Melihat hubungan konsumen yang lemah di satu pihak dengan pelaku usaha yang kuat dipihak lain, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 membuat aturan-aturan yang berkaitan


(53)

dengan klausula baku yang memuat klausula eksonerasi dalam setiap dokumen ataupun perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha. Undang-undang memberikkan kesempatan kepada pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula tersebut tetapi dari hasil data menunjukkan pelaku usaha belum melakukan penyesuaian sebagaimana diwajibkan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap klausula baku yang memuat klausula eksonerasi terdapat dua klausul dalam perjanjian pengikatan perjanjian jual beli perumahan PT. Pakuwon Darma yaitu pada pasal 6 ayat 3 dan pasal 9 ayat 2 huruf (b).

3.1 Akibat Hukum Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pada perjanjian jual beli PT.Pakuwon Darma pada pasal 6 ayat 3 dan pasal 9 ayat 2 huruf (b) melanggar syarat obyektif pada pasal 1320 ayat 4 yaitu “suatu sebab yang halal”. Pada pengertian suatu sebab yang halal tersebut dapat ditemukan dalam pasal 1337 KUHPerdata yang berbunyi “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang,atau apabila berlawanan dengan hukum.


(54)

Dalam lahirnya perjanjian pengikatan jual beli perumahan PT. Pakuwon Darma tersebut, pelaku usaha juga melakukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sehingga konsumen perumahan mau tidak mau harus menandatangani perjanjian pengikatan jual beli rumah tersebut. Penyalahgunaan keadaan itu berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam kondisi tidak bebas untuk meyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu cacat kehendak juga.21.

Sebenarnya, penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kebiasaan baik. Atas dasar itu, suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian tertentu saja. Dengan demikian, ada anggapan, sebab yang terlarang sama dengan isi perjanjian yang tidak dibenarkan. Padahal penyalahgunaan tidak semata-mata berkaitan dengan isi perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang, tetapi ada sesuatu lain, yang terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Inilah yang dinamakan penyalahgunaan keadaan.22

Data pada surat pengaduan tersebut menunjukkan bahwa konsumen menandatangani perjanjian jual beli yang telah dibakukan dan memuat klausula eksonerasi tersebut karena terpaksa melakukan penandatanganan dikarenakan apabila menolak untuk menandatangani perjanjian jual beli berarti dianggap melakukan pembatalan sepihak dan akan dikenakan sanksi berupa biaya

21

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen indonesia,Grasindo,jakrta, 2006, h.85 22


(55)

pembatalan pada pasal 10 perjanjian jual beli sebesar 20 %(dua puluh persen) dari harga jual beli.

Dengan demikian ada kecenderungan konsumen yang menandatangani kontrak tersebut dalam keadaan terpaksa menerima segala isi syarat-syarat dalam perjanjian baku yang ditetapkan secara sepihak oleh pengembang, inipun dapat dijadikan bukti bahwa adanya penyalahgunaan keadaan ekonomi yaitu ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar atau perundingan antara pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah. Kondisi ini membuat ada salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya, dan juga penyalahgunaan keadaan dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kebiasaan yang baik (goede

zeden). Maka klausula eksonerasi tersebut bertentangan dengan syarat subyektif

perjanjian sehingga akibat hukumnya dapat dibatalkan.

3.2 Akibat Hukum ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam pasal 6 ayat 3 dan pasal 9 ayat 2 huruf (b) ini juga melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen pasal 18 ayat 1 huruf (a) dan (d), akibat hukum atas pelanggaran ini adalah batal sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 18 ayat 3 yang berbunyi “Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.” Dengan pengertian bahwa perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

Jika membaca ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut, dapat dilihat bahwa pada dasarnya pelanggaran


(56)

terhadap ketentuan klausul baku tidak membatalkan (demi hukum) perjanjian yang memuat ketentuan klausul baku tersebut, melainkan hanya membatalkan (demi hukum) klausul baku tersebut.23 Pelanggaran terhadap pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan tindak pidana menurut ketentuan pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi,

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a,huruf b, huruf c, huruf e ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) lima tahun atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah).’’

Jelas bahwa pelanggaan terhadap pasal 18 berakibat hukum dipidan penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak dua miliar rupiah dan menurut pasal 63 UUPK, dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran atau pencabutan izin usaha.

Dalam hal klausula baku yang memuat klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli perumahan yang merugikan konsumen, maka Undang-Undang perlindungan Konsumen pasal 45 ayat (2) memberikan hak kepada konsumen untuk menggugat pihak pengembang atau pelaku usaha melalui 2 cara penyelesaian sengketa konsumen yaitu:

1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan atau; 2. Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan.

23

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata,Grafindo,2007,h.279.


(57)

Kedua cara penyelesaian tersebut dapat dipilih secara alternatif oleh para pihak dengan pilihan sukarela. Cara-cara penyelesaian sengketa konsumen ini tidak boleh dilakukan seenaknya saja tetapi ada limitatif yang diberikan oleh undang-undang perlindungan konsumen yaitu pada pasal 45 ayat 4 undang undang nomor 8 tahun 1999 yaitu “apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau pihak yang bersengketa.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa apabila para pihak yang bersengketa yaitu konsumen dengan pengembang memilih cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui kesepakatan sebelum terjadinya sengketa maupun sesudah terjadinya sengketa maka harus dilakukan terlebih dahulu melalui jalur penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan yaitu melalui mediasi,konsiliasi maupun arbitrase. Selanjutnya apabila upaya tersebut tidak mendapat tanggapan dari pihak pengembag, barulah konsumen melanjutkan upaya hukumnya dengan mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pengembang melalui jalur pengadilan.

Jadi dapat disimpulkan bila terjadi sengketa antara ihak konsumen dengan pengembang maka konsumen sebaiknya mendahulukan jalur penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yaitu dengan cara damai atau melalui BPSK,barulah kemudian menempuh jalur penyelesaian sengketa melalui pegadilan. Selain itu apabila konsumen memilih mengajuan gugatan ganti ruginya melalui jalr pengadilan terlebih dahulu maka konsumen tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi melalui jalur lainnya. Jadi intinya adalah jalur penyelesaian sengketa


(58)

konsumen apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan baik secara damai maupun melalui BPSK.

Khusus mengenai gugatan ganti rugi yang diajukan oleh pihak konsumen perumahan terhadap pihak pengembang melalui pengadilan, ggatan tersebut dapat diajukan secara sendiri-sendiri,bersama-sama dengan para konsumen yang punya kepentingan sama (class action ), maupun melalui lembaga swadaya masyarakatyang bergerak dibidang perlindungan konsumen. Hal ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:

1. “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

 Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;  Sekelompok konsuen yang memiliki kepentingan yang sama;

 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;  Pemerintah dan/instansi terkait apabila barang dan/jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungankonsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.”


(59)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian jual-beli perumahan PT.Pakuwon Darma dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Klausula eksonerasi yang dicantumkan oleh pengembang dalam perjanjian jual-beli perumahan yang berisi ketentuan pengalihan tanggung jawab dan yang isinya adalah menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secaea langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran adalah melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen.Pasal 18 ayat (1) huruf a dan d Klausula eksonerasi menurut Kitab Undang-undang hukum perdata yang tidak memenuhi syarat subyektif adalah dapat dibatalkasn dan yang tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian maka perjanjian tersebut berakibat batal demi hukum. Dengan demikian secara yuridis materiil perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.

2. Pada akibat hukum menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, klausula baku yang memuat klausula eksonerasi tersebut melanggar pasal 18 ayat (1) huruf a dan d sehingga akibat hukum dari perjanjian menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang


(60)

3. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian perjanjian baku yang memuat klausula eksonerasi tersebut tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.

4.2. Saran

1. Perlunya peningkatan pengawasan pemerintah yang optimal terhadap perjanjian yang ditetapkan oleh pengembang perumahan sehingga dapat melindungi konsumen secara menyeluruh serta adanya undang-Undang. 2. Perlunya adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

klausula eksonerasi yang merugikan konsumen yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar hukum oleh pemerintah untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa pencekalan badan usaha yang dijalankan sehingga adanya efek jera bagi pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli yang dilakukannya.

3. Mengingat Undang-undang Perlindungan Konsumen telah berlaku secara efektif semenjak tanggal 20 April 2000 maka pelaku usaha yang bergerak di bidang pemukiman dan perumahan harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen sehingga pelaku usaha wajib melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap klausula-klausula yang ditetapkannya harus sesuai dengan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,2000

Ahmadi Miru,Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Raja Grafindo Persada,Jakarta,2004

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum,Pustaka Sinar harapan,Jakarta,1995 Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Echols, John.M, Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia, Gramedia,

Jakarta,1990

Kansil. ChristineST Kansil, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 08 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta,Pradnya

Paramita,1999

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2001

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta,2000 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT Intermasa, 2005

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005 Subekti,Aneka Perjanjian,Alumni,Bandung, 1981

Surisno,Hukum Bisnis, Dian Samudra,Surabaya,2010

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perlindumgan Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,2003

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/1995 tanggal 23 Juni 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah


(62)

Pedoman Standart Interprestasi Undang-undang Perlindungan Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, 2003

C. WEBSITE

http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16/11105327/Penduduk.Indonesia.236. 7. Juta.Jiwa, tanggal 08 Agustus 2010

www.Wikipedia.com, Ensiklopedia Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggal 8 September 2010


(1)

46

Kedua cara penyelesaian tersebut dapat dipilih secara alternatif oleh para pihak dengan pilihan sukarela. Cara-cara penyelesaian sengketa konsumen ini tidak boleh dilakukan seenaknya saja tetapi ada limitatif yang diberikan oleh undang-undang perlindungan konsumen yaitu pada pasal 45 ayat 4 undang undang nomor 8 tahun 1999 yaitu “apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau pihak yang bersengketa.”

Jadi dapat disimpulkan bahwa apabila para pihak yang bersengketa yaitu konsumen dengan pengembang memilih cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui kesepakatan sebelum terjadinya sengketa maupun sesudah terjadinya sengketa maka harus dilakukan terlebih dahulu melalui jalur penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan yaitu melalui mediasi,konsiliasi maupun arbitrase. Selanjutnya apabila upaya tersebut tidak mendapat tanggapan dari pihak pengembag, barulah konsumen melanjutkan upaya hukumnya dengan mengajukan gugatan ganti rugi terhadap pengembang melalui jalur pengadilan.

Jadi dapat disimpulkan bila terjadi sengketa antara ihak konsumen dengan pengembang maka konsumen sebaiknya mendahulukan jalur penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yaitu dengan cara damai atau melalui BPSK,barulah kemudian menempuh jalur penyelesaian sengketa melalui pegadilan. Selain itu apabila konsumen memilih mengajuan gugatan ganti ruginya melalui jalr pengadilan terlebih dahulu maka konsumen tidak dapat mengajukan gugatan ganti rugi melalui jalur lainnya. Jadi intinya adalah jalur penyelesaian sengketa


(2)

konsumen apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan melalui jalur diluar pengadilan baik secara damai maupun melalui BPSK.

Khusus mengenai gugatan ganti rugi yang diajukan oleh pihak konsumen perumahan terhadap pihak pengembang melalui pengadilan, ggatan tersebut dapat diajukan secara sendiri-sendiri,bersama-sama dengan para konsumen yang punya kepentingan sama (class action ), maupun melalui lembaga swadaya masyarakatyang bergerak dibidang perlindungan konsumen. Hal ini diatur dalam pasal 46 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:

1. “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

 Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;  Sekelompok konsuen yang memiliki kepentingan yang sama;

 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan,yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;  Pemerintah dan/instansi terkait apabila barang dan/jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungankonsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.”


(3)

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian jual-beli perumahan PT.Pakuwon Darma dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Klausula eksonerasi yang dicantumkan oleh pengembang dalam perjanjian jual-beli perumahan yang berisi ketentuan pengalihan tanggung jawab dan yang isinya adalah menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secaea langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran adalah melanggar Undang-undang Perlindungan Konsumen.Pasal 18 ayat (1) huruf a dan d Klausula eksonerasi menurut Kitab Undang-undang hukum perdata yang tidak memenuhi syarat subyektif adalah dapat dibatalkasn dan yang tidak memenuhi syarat obyektif perjanjian maka perjanjian tersebut berakibat batal demi hukum. Dengan demikian secara yuridis materiil perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat.

2. Pada akibat hukum menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen, klausula baku yang memuat klausula eksonerasi tersebut melanggar pasal 18 ayat (1) huruf a dan d sehingga akibat hukum dari perjanjian menurut Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang


(4)

3. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen dinyatakan batal demi hukum. Dengan demikian perjanjian baku yang memuat klausula eksonerasi tersebut tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.

4.2. Saran

1. Perlunya peningkatan pengawasan pemerintah yang optimal terhadap perjanjian yang ditetapkan oleh pengembang perumahan sehingga dapat melindungi konsumen secara menyeluruh serta adanya undang-Undang. 2. Perlunya adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

klausula eksonerasi yang merugikan konsumen yang nantinya dapat digunakan sebagai dasar hukum oleh pemerintah untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa pencekalan badan usaha yang dijalankan sehingga adanya efek jera bagi pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian jual beli yang dilakukannya.

3. Mengingat Undang-undang Perlindungan Konsumen telah berlaku secara efektif semenjak tanggal 20 April 2000 maka pelaku usaha yang bergerak di bidang pemukiman dan perumahan harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen sehingga pelaku usaha wajib melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap klausula-klausula yang ditetapkannya harus sesuai dengan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung,2000

Ahmadi Miru,Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,Raja Grafindo Persada,Jakarta,2004

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum,Pustaka Sinar harapan,Jakarta,1995 Celina Tri. S.K, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Echols, John.M, Hassan Sadily,Kamus Inggris Indonesia, Gramedia,

Jakarta,1990

Kansil. ChristineST Kansil, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 08 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta,Pradnya Paramita,1999

Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2001

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta,2000 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT Intermasa, 2005

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005 Subekti,Aneka Perjanjian,Alumni,Bandung, 1981

Surisno,Hukum Bisnis, Dian Samudra,Surabaya,2010

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Himpunan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perlindumgan Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan,2003

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/1995 tanggal 23 Juni 1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah


(6)

Pedoman Standart Interprestasi Undang-undang Perlindungan Konsumen, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, 2003

C. WEBSITE

http://nasional.kompas.com/read/2010/08/16/11105327/Penduduk.Indonesia.236. 7. Juta.Jiwa, tanggal 08 Agustus 2010

www.Wikipedia.com, Ensiklopedia Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggal 8 September 2010


Dokumen yang terkait

perlindungan Konsumen Terhadap Jual Beli Mobil Bekas Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999mengenai Perlindungan Konsumen (Showroom Mobil 78)

34 298 88

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN

1 8 95

NASKAH PUBLIKASI KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU DAN Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku Dan Konsumen: Studi Tentang Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Penitipan Barang Di Terminal Tirtonadi Surakarta.

0 2 18

SKRIPSI KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU DAN Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku Dan Konsumen: Studi Tentang Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Penitipan Barang Di Terminal Tirtonadi Surakarta.

0 4 15

PENDAHULUAN Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Baku Dan Konsumen: Studi Tentang Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian Penitipan Barang Di Terminal Tirtonadi Surakarta.

0 3 23

SKRIPSI KLAUSULA EKSONERASI DAN KONSUMEN Klausula Eksonerasi Dan Konsumen Studi Tentang Kekuatan Mengikat Klausula Baku Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Di Wilayah Surakarta.

0 0 13

1KLAUSULA EKSONERASI DAN KONSUMEN Studi Tentang Kekuatan Mengikat Klausula Baku Klausula Eksonerasi Dan Konsumen Studi Tentang Kekuatan Mengikat Klausula Baku Dalam Perjanjian Pengangkutan Barang Di Wilayah Surakarta.

0 1 18

KEBERADAAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN STANDAR DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN.

0 0 1

PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PENGIKATAN JUAL BELI PERUMAHAN DI KOTA DENPASAR PROPINSI BALI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 93

PERJANJIAN BAKU JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN KLAUSULA EKSONERASI (Study Kasus Di Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya)

1 27 40