Contoh Kasus

V. Contoh Kasus

A. Tumpang Tindih Kawasan Hambat Perhutanan Sosial

Sejatinya Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD) Pematang Rahim Kecamatan Mendahara Hulu Tanjung Jabung Timur, sudah bisa mengelola hutan desa. Namun usulan masyarakat seluas 1.185 Ha yang berada dalam Kawasan Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh, menjadi tidak jelas di ujung proses pengajuan hak kelola hutan desa. Awalnya masyarakat Pematang Rahim telah menyampaikan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 24 Januari 2017. Respon KLHK positif ditandai dengan adanya tim dari KLHK bersama Dinas Kehutanan Provinsi Jambi yang melakukan verifikasi teknis ke Pematang Rahim pada tanggal 6 - 8 Juni 2017. Tim verifikasi telah menyatakan bahwa seluruh permohonan dapat diterima karena seluruh areal yang dimohon berada dalam Peta Indikatif Arahan Perhutanan Sosial (PIAPS), Lembaga Pengelola Hutan Desa dan masyarakat juga telah memenuhi persyaratan lainnya.

Berdasarkan verifikasi teknis tersebut, Sub Direktorat Penyiapan Hutan Desa telah menyampaikan draf SK HPHD Pematang Rahim kepada Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan agar berkenan menandatangani, namun sebelumnya diserahkan ke Biro Hukum Setditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan

Lingkungan (PSKL), untuk ditelaah penetapan SK tersebut. Di sinilah muncul persoalan, ternyata areal kerja yang dimohon berada dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru (PIPIB) revisi XII yang telah diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 31 Juli 2017, sebagai tindak lanjut Inpres No 6 tahun 2017 tentang PIPIB. Sehingga Dirjen PSKL tidak berkenan menandatangai SK HPHD yang sudah dipersiapkan.

B. Tumpang Tindih Kawasan Konsesi Pertambangan dengan Kawasan Lindung

Luasan konsensi penambangan batubara di Sumsel yang mencapai 2,7 juta hektar sekitar 801.160 hektar berada di kawasan hutan. Sekitar 6.293 hektar berada di hutan konservasi, 67.298 hektar berada di hutan lindung, serta 727.569 hektar berada di hutan produksi. Sisanya, 1.985.862 hektar berada di areal penggunaan lain. Luasan konsensi itu dipegang oleh 359 perusahaan. Sekitar 264 perusahaan pemegang IUP sudah beroperasi. Tapi sekitar sekitar 23 perusahaan belum terindentifikasi NPWP- nya.

Adapun isu yang harus diusung gerakan masyarakat sipil terhadap batubara di Sumsel yakni moratorium izin pertambangan batubara, review perizinan pertambangan batubara, penyelesaian konflik dengan mendorong pembentukan lembaga penyelesaian konflik, serta penegakan hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan. Sementara pemerintah Sumsel yang beberapa waktu lalu menandatangani kerjasama dengan BP REDD+ akan melakukan proyek reklamasi pasca-tambang batubara, konservasi dan restorasi catchment area . Pengelola program ini melibatkan perusahaan batubara dan Perda Jasa Ekossitem. Hal yang sama juga dilakukan pada wilayah Kabupaten Muaraenim, yang melibatkan PT. Batubara Bukitasam.

“Ini langkah yang diambil REDD+ dan pemerintah Sumsel guna mengatasi persoalan lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan batubara di Sumsel,” kata Najib Asmani, staf ahli lingkungan hidup dan perubahan iklim Gubernur Sumsel.

C. Tumpang Tindih Kawasan Konsesi Pertambangan dengan Kawasan Pertanian Sebanyak 406 izin usaha pertambangan (IUP) di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)

resmi dicabut. Pemerintah Provinsi Kaltim memastikan, sudah 333 surat keputusan pencabutan ditandatangani Gubernur Awang Faroek Ishak. Sedangkan 73 IUP lainnya, masih dalam proses pembuatan SK. Sebelumnya, Pemprov Kaltim menegaskan ada 809 IUP yang dianggap bermasalah dan berpotensi dicabut. Sehingga, masih tersisa 403 IUP lagi. “Sudah ada 406 yang dicabut. Terdiri dari 394 non Clean and Clear (CnC) dan 12 CnC. Dinas ESDM Kaltim telah mengusulkan ke Biro Hukum untuk pencabutan tersebut,” kata Ketua Tim Penertiban Izin Tambang yang juga Sekretaris Provinsi Kaltim, Rusmadi .

Menurut catatan Dinas Pertambangan Kaltim, ada sebanyak 1.404 IUP di Kaltim. Rinciannya, 665 IUP eksplorasi, 560 IUP operasi produksi, 168 izin kuasa pertambangan, dan 11 IUP PMA. “Hingga tanggal 30 Oktober 2017, sebanyak 501 IUP atau 61,93 persen telah dicabut,” sebut Rusmadi, baru-baru ini. Bagi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, pencabutan 406 IUP ini merupakan informasi “menyesatkan”. Pasalnya, Jatam menemukan fakta baru jika Pemprov Kaltim tidak serius mencabut izin yang benar-benar bermasalah. Ditambah lagi, di setiap kesempatan, Pemprov Kaltim hanya mengeluarkan angka, bukan daftar nama perusahaan.

“Informasi yang diberikan tidak pernah lengkap. Publik tidak pernah diumumkan nama-nama perusahaan yang izinnya dicabut dan jenis pelanggaran. Sejak Februari

2017, Awang sudah menjanjikan enam kali,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang.

Rupang menilai, Pemprov Kaltim telah menyalahgunakan penataan izin yang disupervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2014. Pemprov Kaltim terkesan mengulur waktu dan mencari celah untuk negosiasi dengan perusahaan tambang. “Ada indikasi kuat yang menjadi temuan kami, Pemprov Kaltim sedang Rupang menilai, Pemprov Kaltim telah menyalahgunakan penataan izin yang disupervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2014. Pemprov Kaltim terkesan mengulur waktu dan mencari celah untuk negosiasi dengan perusahaan tambang. “Ada indikasi kuat yang menjadi temuan kami, Pemprov Kaltim sedang

Terkait data yang diberikan Pemprov Kaltim, Jatam juga menemukan kejanggalan jumlah IUP yang dicabut. Ada 9 IUP non CnC yang hilang, yang seharusnya dicabut sebanyak 415 IUP. Terdiri dari 403 non CnC dan 12 CnC. “Pertanyaannya, milik siapakah dan apa nama sembilan tambang tersebut,” ungkapnya.

D. Tumpang Tindih RTRW dengan Kawasan Konsesi Pertambangan dan Kawasan Kehutanan

• Aspek Pengujian Terhadap RTRW Papua Barat Bahwa RTRW (Tata Ruang) Papua Barat,menimbulkan polemik yang berdampak

pada pelanggaran hukum terhadap pemberlakukan PERDA RTRW (Tata Ruang) Provinsi Papua No. 23 Tahun 2013,sebagaimana pembentukan peraturan daerah belum sepenuhnya memuat,Asas pengayoman, Asas keadilan, dan Asa keseimbangan.

Bahwa Pemaksaan kehendak dari Pemerintah Provinsi Papua Barat sangat bertentangan dengan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 pasal 1 ayat ( 9,10,11 dan 12) tentang penataan ruang yang belum mencerminkan partisipatif aktif masyarakat sebagaimana aturan Lex genelaris tidak harus dipaksakan setara dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Kusus Papua BAB XIX tentang pembangunan berkelanjutan pasal 63 dan 64.

Bahwa kegagalan pemerintah melibatkan peran aktif dari Masyarakat untuk dapat terlibat menetukan proses untuk melahirkan ouput berkelanjutan sehingga diduga telah terjadinya pelanggaram HAM terkait Penataan Ruang Papua Barat karena tidak melalui sebuah proses mekanisme yang baik dan benar sehingga bertentangan dengan materi muatan Pasal 6 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi:

“Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”dan juga pemerintah daerah telah mengabaikan Pendekatan konstitusional terhadap Pasal 28I ayat (3) UUD

1945 sebagai bentuk pendekatan HAM. sehingga menimbulkan pelanggaran juga terhadap sistematika UUD 1945 yang meletakkan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia bersamaan dengan hak-hak asasi manusia lainnya.

Bahwa sebagaimana juga diketahui, berdasarkan konstitusi dan perubahan UU 41 tentang Kehutanan, pasca surat keputusan MK-35 tahun 2012 yang mengabulkan perubahan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, dapat berarti masyarakat adat Papua mempunyai otoritas menentukan dan mengatur status, fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di wilayahnya masing-masing. Penyimpangan dan tidak diakuinya hak dan partisipasi masyarakat adat Papua dalam penataan ruang berarti pelanggaran hukum terhadap keberadaan orang Papua.

• Pemakasaan, Pengujian dan Pegusulan Kawasan Bahwa Usulan perubahan RTRWP Papua Barat cenderung mengakomodir izin-

izin investasi perkebunan sawit, perluasan izin pembalakan kayu dan pertambangan, yang memang telah diterbitkan izin lokasi oleh pemerintah daerah, pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana transportasi, program transmigrasi, pemukiman penduduk dan perluasan kota, proyek nasional pembangunan koridor investasi (MP3EI), pengembangan kawasan industri terpadu, pelabuhan peti kemas dan sebagainya.

Bahwa berdasarkan data.Papua Barat mengusulkan revisi RTRWP dengan perubahan kawasan hutan seluas 1.836.327 hektar, terdiri dari: perubahan peruntukkan seluas 952.683 hektar dan perubahan fungsi seluas 874.914 hektar dan perubahan APL (Areal Penggunaan Lain) menjadi kawasan hutan seluas 8.730 hektar.

Bahwa fakta lain juga. Tim Terpadu (TIMDU) yang melakukan penelitian atas usulan revisi tersebut merekomendasikan perubahan peruntukkan menjadi APL seluas 263.045 ha, perubahan fungsi seluas 334.071 ha dan perubahan APL menjadi kawasan hutan seluas 813 ha. Sehingga luas kawasan hutan di Provinsi Papua Barat dari seluas 10.257.693 ha menjadi 9.995.461 ha.

Bahwa juga kita ketahui disisi lain penyusunan Perda RTRW (Tata Ruang) jelas mengunakan anggran sebesar 30 milyar dari informasi yang kami peroleh,maka semestinya penegak hukum seperti,KPK,Kejaksaan dan Kepolisian di Papua barat harus ikut terlibat menyelidiki pengunaan anggaran tersebut,karena ada dugaan kuat telah terjadi penyalagunaan anggaran dan juga dugaan pembuatan prodak hukum RTRW (Tata Ruang) Papua Barat berpotensi terjadinya gratifikasi terhadap pembuatan terkait penyusunan Perda RTRW (Tata Ruang ) Papua Barat.

Bahwa pemberlakuan Perda RTRW (Tata Ruang) Papua Barat semestinya harus ditanggukan dan di uji kembali sebagaimana dasar sistem perundang-undangan yang berlaku dinegara kesatuan republik indonesia. Bahwa semua izin-izin perkebunan,pertambangan,Kehutanan dan lainnya yang telah di keluarkan harus di bekukan sampai dengan adanya singkronisasi terhadap hak-hak masyarakat hukum adat terpenuhi sehingga tidak menimbulkan komflik ditengah masyarakat sebagaimana situasi hari ini yang kita hadapi.

Bahwa untuk mewujudkan roh dari Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 atau Undang Nomor 35 Tahun tahun 2008 tentang otonomi kusus Papua dan Papua barat,(lex specialis),maka peraturan daerah kusus harus menjadi pijakan utama berlakunya peraturan lainnya di papua barat dalam menyusun dan menetapkan rencana tata ruang wilayah sehingga semua aturan yang bersifat ( Lex Generalis) dapat disandingkan diatas perda pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum adat di Papua Barat.

Dengan demikian maka yang paling harus bertanggung jawab adalah;Pemerintah Republik Indonesia, Cq.Menteri Kehutanan,Gubernur Papua Barat,DPR Papua Barat,Dinas Kehutanan Papua Barat dan Para Bupati se Kota dan Kabupaten di Papua Barat.

Dokumen yang terkait

Analisis Kebijakan Peraturan Bupati Jember Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Jember

1 44 7

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi tentang Implementasi Peraturan Desa Nomor 01 tahun 2009 tentang Kawasan Bebas Asap Rokok di Desa Bone-bone, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

5 137 39

Seminar Nasional Peraturan Perundang-Undangan

0 18 2

Evaluasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2008 Bab IV Dan Bab VI (Studi Kasus PKL Jl. Untung Suropati)

0 50 15

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan Peraturan Desa (Studi Kasus Di Desa Tridayasakti Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi)

1 12 92

Syarat Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembuatan Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang (Studi Analisis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota)

2 57 90

Peraturan Rektor Pengembangan Pemanfaatan Penerapan TIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1 14 8

Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Bandung No 26 Tahun 2009 Tentang Kesetaraan Dan Pemberdayaan penyandang Cacat

0 8 1

Pengaruh Standar Akuntansi Keuangan Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik yang Mempengaruhi Kualitas Laporan Keuangan UMKM dan Implikasinya Terhadap Penerapan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2013 (Survei pada UMKM di Kota Bandung)

2 39 60

Analisis Atas Penerapan Peraturan Perpajakan Terhadap Kualitas Informasi Akuntansi Dan Implikasinya Pada Akses Permodalan (Survey Pada UKM Kecamatan Cibeunying Kaler)

0 6 40