Disharmoni Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota
III. Disharmoni Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota
Penataan ruang (UU. No.26 tahun 2007, Bab III, Pasal 4 dan 5) diklasifikasikan berdasarkan: sistem (sistem wilayah dan sistem internal perkotaan), fungsi utama kawasan (lindung dan budi daya), wilayah administratif (penataan ruang wilayah Nasional, Provinsi, dan kabupaten/kota), kegiatan kawasan (penataan ruang kawasan perkotaan dan perdesaan), dan nilai strategi kawasan (kawasan strategis nasional, Provinsi, dan kabupaten/kota).
Bab VI tentang Pelaksanaan Tata Ruang, Bagian Kesatu, Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional, paragraf 2 Pasal 19 : “Penyusunan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan:
• Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; • Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian
implikasi penataan ruang nasional; • Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;
• Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; • Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; • Rencana pembangunan jangka panjang nasional; • Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan • Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Provinsi (Pasal 22, 23, dan 24), Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kabupaten (Pasal 25, 26, dan 27), dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota (Pasal 28, 29, 30, dan 31) tetap merujuk pada ketentuan tentang rencana tata ruang nasional yang
disesuaikan berdasarkan tingkat kewenangan/administratif Provinsi, Kabupaten/Kota. Dengan demikian, Undang-Undang penataan ruang mensyaratkan harmonisasi penataan ruang berdasarkan wilayah administratif sebagai satu kemestian untuk menjamin pencapaian penataan ruang yang selaras antara Kab/Kota, Provinsi, hingga tingkat Nasional. Kenyataan bahwa masih banyak RTRW Provinsi dan Kab/Kota yang belum ditetapkan sebagai Perda RTRW merupakan salah satu problem mendasar dalam mencapai harmonisasi penataan ruang di Indonesia.
Dalam pasal 78, Undang-undang Penataan Ruang (diberlakukan sejak 26 April 2007) ditegaskan bahwa RTRW provinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 tahun terhitung sejak Undang- undang ini diberlakukan (batas akhir April 2009). Sedangkan, RTRW kabupaten/kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan (batas akhir April 2010). Dengan demikian, terhitung sejak Mei 2010, seluruh daerah baik tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia semestinya telah memiliki Perda RTRW. Namun, data diatas tidak menunjukkan pencapaian kondisi yang dimaksud dalam Undang-undang Penataan Ruang. Dengan kata lain, ada jedah sekitar 4 tahun dimana penyelenggaraan penataan ruang baik di tingkat propinsi, kota, dan kabupaten yang tidak berjalan secara komprehensif. Di sisi lain, masih terdapat potensi tumpang tindih RTRW khususnya antara RTRW kota/kab dengan propinsi yang disebabkan oleh desakan review atas status kawasan hutan.
Dengan keadaan ini, ada beberapa masalah yang harus diperhatikan dengan baik. Pertama, seberapa kuat harmonisasi RTRW Kabupaten/kota hingga RTRW Nasional (PP. No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional). Kedua, soal kualitas penyelenggaraan penataan ruang nasional dan daerah yang telah memiliki Perda RTRW (Provinsi, Kabupaten/Kota). Ketiga, tentang pelanggaran dan potensi pelanggaran dalam penyelenggaraan penataan ruang, khususnya di daerah- daerah yang belum memiliki penetapan Perda RTRW provinsi dan kabupaten/kota.
Masalah-masalah yang potensial dihadapi pada wilayah perkotaan dan perdesaan, yakni sebagai berikut;
• Berubahnya struktur dan pola ruang perkotaan dan perdesaan yang berkonsekuensi pada hilanya ruang lidung dan ruang budi daya bagi masyarakat, dan menimbulkan
masalah sosial lainnya. • Terbukanya peluang alih fungsi lahan atau kawasan hutan yang lebih besar dan
berkonsekuensi pada laju degradasi lingkungan dan deforestasi. • Berkembangnya modus korupsi untuk kepentingan bisnis dengan dalih review tata
ruang yang justru mengorbankan aspek keberlanjutan lingkungan. Potensi pelanggaran yang terjadi dalam penataan ruang, dalam laporan riset WALHI
tahun 2013 menunjukkan adanya praktek korupsi dalam penetapan RTRW Provinsi dan Kabupaten dalam bentuk suap dalam pemabahasan RTRW, gratifikasi tanah hasil pelepasan kawasan hutan, dan praktek suap untuk memasukkan kawasan perkebunan sawit dalam RTRW.