Penentuan Lahan Kritis dalam Upaya Rehabilitasi Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan

(1)

PENENTUAN LAHAN KRITIS

DALAM UPAYA REHABILITASI KAWASAN HUTAN

DI KABUPATEN ASAHAN

SKRIPSI

Oleh :

ROY HAMONANGAN P. S 031201024 / Manajemen Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2007


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih karunianya-Nya penulis masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan usulan penelitian ini.

Adapun judul dari penelitian ini adalah ‘Penentuan Lahan Kritis dalam Upaya Rehabilitasi Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan’ yang diharapkan dapat menyediakan data yang diperlukan jika diadakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kabupaten Asahan.

Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua penulis atas segala kasih sayang, bimbingan, doa restu, bantuan moral dan materialnya serta tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada bapak Rosihan Noor, Dipl. F, bapak Riswan, S.Hut, dan Bapak Nurdin S.Hut, M.Si sebagai komisi pembimbing skripsi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan usulan penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan. Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan tulisan ini selanjutnya. Semoga dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Oktober 2007


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... PENDAHULUAN

Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA

DAS ... Kesesuaian Lahan Menurut FAO... Penggunaan Lahan ... Tipe penggunaan ... Kualitas Lahan ... Karakteristik Lahantan ... Lahan Kritis Indonesia ... Peta ... Penginderaan Jarak Jauh ...

Sistem Informasi Geografis ... Konsep Dasar dan Pemanfaatan SIG... Komponen Dasar Dalam Penggunaan SIG... Penafsiran Citra Visual ... Dasar Teori ... Teknik Penafsiran ... Sub Sistem SIG ...

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian ... Bahan dan Alat Penelitian ... Metode penelitian ...

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN PETA DASAR...

Data Base Penggunaan Lahan di Kabupaten Asahan ... Data Base Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan ...

INPUT DATA SPASIAL (PARAMETER LAHAN KRITIS)... Data Spasial Tutupan Lahan ... Data Spasial Kemiringan Lereng ...


(4)

Data Spasial Tingkat Erosi ... Kriteria Manajemen. ... TINGKAT KEKRITISAN LAHAN ... KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... Saran ...


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Klasifikasi Liputan Lahan dan Skoringnya ... Tabel 2. Klasifikasi Lereng dan Skoringnya Untuk Penentuan

Lahan Kritis. ... Tabel 3. Klasifikasi Tingkat Erosi dan Skoringnya Untuk Penentuan

Lahan Kritis. ... Tabel 4. Klasifikasi Manajemen dan Skoringnya Untuk Penentuan

Lahan Kritis ... Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Total Skor ... Tabel 6. Jenis Tutupan Lahan di Kabupaten Asahan... Tabel 7. Klasifikasi Tutupan Lahan ... Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng ... Tabel 9. Klasifikasi Tingkat Erosi ... Tabel 10. Klasifikasi Kekritisan Lahan Secara Keseluruhan untuk .


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Kotak Dialog untuk Memilih Teknik Overlay ... Gambar 2. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan

Hutan Lindung... Gambar 3. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan ... Lindung di Luar Kawasan Hutan ... Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Asahan ... Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Asahan ... Gambar 6. Peta Penunjukan Fungsi Kawasan Hutan ... Gambar 7. Peta Penutupan Tajuk di Kawasan Lindung ... Gambar 8. Peta Penutupan Tajuk di Kawasan Lindung diLuar ... Kawasan Hutan ... Gambar 9. Peta Kelerengan di Kawasan Hutan Lindung ... Gambar 10. Peta Kelerengan di Kawasan Hutan Lindung diLuar

Kawasan Hutan... Gambar 11. Peta Kelerengan di Kawasan Hutan Lindung ... Gambar 11. Bahaya Erosi di Kawasan Lindung Luar Kawasan Hutan ... Gambar 11. Peta Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Hutan Kab. Asahan ...


(7)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika juga berfungsi sebagai paru-paru dunia dan sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya harus dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat.Hutan Indonesia termasuk hutan tropika basah di wilayah barat dan hutan tropika kering di wilayah timur. Posisi Indonesia sebagai negara pemilik hutan terkaya dan nomor dua terluas di dunia, selain menunjukkan kebanggaan juga memikul tanggung jawab (Sagala, 1994).

Kita mempunyai lahan kehutanan seluas 113 juta ha. Untuk mengelolannya diperlukan tiga tingkat kegiatan:

1. Menetapkan luas kawasan hutan dan fungsi hutan tiap provinsi 2. Menunjuk unit pengelolaan pemasang batas luar dan pengukuhan 3. Membuat unit pengelolaan bertata penuh.

Lahan kehutanan Indonesia terbagi tiga, hutan konservasi untuk fungsi ekologi, tanaman kehutanan atau kebun kayu (timber plantation) untuk fungsi ekonomi, dan hutan produksi untuk fungsi ekologi dan ekonomi yang sama kuatnya. Hutan konservasi meliputi hutan lindung, hutan konservasi fauna dan lain-lain. hutan produksi meliputi area HPH. Sedangkan kebun kayu meliputi tanaman jati, tanaman pinus dan lain-lain (Sagala, 1994).

Kondisi hutan, dilihat dari penutupan lahan/vegetasi, megalami perubahan yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan


(8)

waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk dan pembangunan di luar sektor kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan alam tropika di Indonesia.

Kerusakan hutan tersebut diperkirakan seluas 900 ribu hektar setiap tahunnya yang disebabkan oleh kegiatan perluasan perkebunan (500 ribu ha/tahun), kegiatan proyek-proyek pembangunan (250 ribu ha/tahun), kegiatan logging (80 ribu ha/tahun), dan kebakaran (70 ribu ha/tahun) (Haeruman, 1989). Menurut data selama sepuluh tahun (1987-1998) angka degradasi dan deforestasi adalah 1,6 juta ha/tahun sebagai akibat penebangan liar, pencurian kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, lahan dan kebun serta sistem pengelolaan hutan yangkurang tepat (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 1999). Selama kurun waktu tersebut, kebakaran hutan memberikan kontribusi terbesar terhadap tingginya tingkat deforestasi dan degradasi, yaitu seluas + 3,2 juta ha

merupakan kebakaran hutan pada tahun 1997 di Kalimantan Timur (Badan Planologi Kehutanan & Perkebunan, 1998).

Sumber daya hutan yang telah mengalami kerusakan perlu direhabilitasi. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranan hutan sebagai ekosistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam identifikasi awal ini indikasi lokasi dan luas kawasan hutan dan lahan yang perlu direhabilitasi


(9)

dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Hasil identifikasi adalah informasi luas kawasan hutan dan lahan yang perlu dilakukan rehabilitasi, serta informasi lokasi dan sebarannya yang disajikan dalam bentuk peta indikasi RH.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi luasan dan tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara, dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis.

Manfaat Penelitian

Tersedianya data luas dan peta tingkat kekritisan lahan dalam upaya rehabilitasai Hutan dan Lahan pada Kabupaten Asahan yang tersebar di setiap penunjukan areal fungsi kawasan hutan Kabupaten Asahan.


(10)

TINJAUAN PUSTAKA

DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai terjemahan dari watershed secara harafiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air (Putro et

al, 2003). Daerah Aliran Sungai adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung

gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai kecil ke sungai-sungai kecil ke sungai-sungai utama (Asdak 1995).

Fungsi DAS dapat didasarkan dari tiga aspek hutan (vegetasi, kondisi tanah dan penggunaan lahan) yang saling berhubungan untuk mempengaruhi aliran dan kualitas air. Tiga aspek itu adalah :

1. Vegetasi

• Pohon dan tumbuhan bawah akan meminimumkan penutupan lahan

• Pohon berperan dalam proses transpirasi sepanjang tahun dibandingkan dengan kebanyaka vegetasi dan konsumsi air tahunan sering melebihi vegetasi lain

• Kanopi pohon mengintersep curah hujan dibandingkan dengan vegetasi lain dan curah hujan ini dikembalikan secara langsung melalui evaporasi langsung

2. Kondisi Tanah

Tanah hutan dengan berbagai tipe memiliki rata-rata infiltrasi yang tinggi dan adanya komponen yang membuat porositas tanah besar


(11)

(aktivitas biologi tanah dan penjalaran akar) 3. Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan yang memperhitungkan konservasi dan adanya permukaan bumi yang tidak rata dapat berfungsi sebagai penyedia air sementara dan sebagai penghambat sedimen.

Selanjutnya fungsi hutan terhadap peranan DAS ada tiga yaitu : a. Memelihara kualitas air

b. Mengatur kuantitas air

c. Memelihara keseimnangan sedimentasi dalam DAS

Menurut FAO, 1988 hal penting dalam sektor DAS yang berpengaruh adalah penutupan lahan. Hutan tidak hanya penting bagi sektor ekonomi, tetapi hal yang lebih penting adalah memelihara keseimbangan ekologi dan air, mencgah terjadinya banjir dan kekeringan, erosi air dan angin serta memelihara kelestarian pada hutan tanaman. Adapun tujuan utama dari penutupan lahan adalah mengintersepsi curah hujan, menjaga tanah melalui penutupan serasah, memelihara struktur tanah, meminimumkan keterbukaan lahan dan memberi ruang bagi air dengan adanya penetrasi dan aktifitas akar. Dengan demikian tujuan utama yang harus dijaga adalah tidak menggangu penutupan lahan yang beragam.

Klasifikasi Kesesuaian Lahan FAO 1. Penggunaan lahan

Evaluasi kesesuaian lahan melibatkan hubungan antara kualitas lahan masing-masing satuan peta lahan bagi penggunaan lahan yang spesifik yang akan diusahakan di suatu daerah. Penggunaan lahan secara umum (major


(12)

kinds of land use) adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum,

seperti pertanian, tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau (reconaissance).

2. Tipe penggunaan lahan

Tipe penggunaan lahan (land utilization type) merupakan penggunaan lahan yang diuraikan secara lebih terperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah yang keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu, yaitu menyangkut pengelolaan masukan yang diperlukan, dan keluaran yang diharapkan secara spesifik.

Tipe penggunaan lahan yang tergolong ganda (multiple) terdiri atas lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama dari suatu bidang lahan. Tipe penggunaan lahan yang tergolong majemuk terdiri atas lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal satu bidang lahan dimana untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan jenis penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini ditanam secara rotasi atau secara serentak (berbarengan) tetapi pada areal yang berbeda pada satu bidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama.

3. Kualitas lahan

Kualitas lahan adalah sifat-sifat atau attribute yang bersifat kompleks dari satu bidang lahan. Setiap kulitas lahan mempunyai keragaan (perfomance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu. Kualitas


(13)

lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan (FAO, 1976).

Kualitas lahan kemungkinan berperan positif atau negatif terhadap penggunaan lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif adalah yang sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan lahan. Sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif karena keberadaannya akan merugikan (merupakan kendala) terhadap penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat atau pembatas.

4. Karateristik Lahan

Karakteristik lahan merupakan sifat lahan yang dapat diukur atau diduga. Menurut FAO (1976), karakteristik lahan terdiri atas:

a. Karakteristik tunggal, misalnya total curah hujan, kedalaman tanah, lereng

dan lain-lain.

b. Karakteristik majemuk, misalnya permeabilitas tanah, drainase, kapasitas

tanah menahan air, dan lain-lain.

Lahan Kritis di Indonesia

Lahan kritis di Indonesia telah menacpai 28 juta hektar yang terdapat di kawasan hutan dan non hutan. Namun, pendekatan berdasarkan daerah aliran sungai mempunyai potensi baik untuk dijadikan basis pengelolaan lahan kritis itu. Hal ini beranjak dari kenyataan bahwa terjadinya erosi umumnya bisa diketahui dengan perubahan pela aliran sungai (Rahim, 2000).

Pada mulanya lahan-lahan di tanah air umumnya merupakan hutan tropika yang subur dan lebat. Lahan hutan yang subur itu dapat kita jumpai di amana-mana mulai dari daerah pesisir hingga di areal pegunungan. Selain sebagai sumber


(14)

diperolehnya hasil hutan yang beraneka ragam jenisnya, hutan merupakan habitat dari kehidupan baik tumbuhan maupun binatang yang beranekaragam. Bertambahnya penduduk menyebabkan bertambahnya pula kebutuhan mereka ragam.

Masalah lahan kritis sebetulnya tidak bisa dipisahkan dengan kualitas pengelolaan lahan dan/ atau tanaman. Dan memang telah banyak bukti menunjukkan bahwa lahan yang tidak dikelola sebagaimana mestinya pasti mengalami pemunduran kesuburannya. Pemunduran itu selain melalui pengurasan unsur hara melalui pembakaran pada waktu pembukaan lahan, juga sering terjadi melalui erosi tanah oleh air hujan, angin, dan/ atau di beberapa negara oleh salju. Pemunduran oleh kedua penyebab tersebut nyata-nyata menurunkan produktivitas tanah.

Kehilangan unsur hara sesungguhnya memang menurunkan produktivitas lahan. Bila suatu lahan produktivitasnya telah rendah maka lahan itu akan ditinggalkan dan selanjutnya secara berlahan-lahan berubah menjadi semak belukar. Lahan seperti ini tergolong tidak produktif. Lahan yang tidak produktif dan telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia, dan/atau biologis merupakan istilah yang digunakan untuk lahan kritis.

Metode kerja yang dilakukan untuk analisa lahan kritis adalah berdasarkan atas Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis tahun 2004 oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) dan Surat Direktur Jenderal RLPS No. S.296/V-SET/2004 tanggal 5 Oktober 2004. Pada dasarnya teknik yang digunakan dalam analisa ini adalah dengan metoda overlay/tumpang susun dan pengecekan/survey langsung di lapangan. Guna


(15)

memungkinkan analisa yang lebih luas untuk kepentingan rehabilitasi hutan dan lahan, maka skoring kekritisan lahan dalam SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 perlu diperluas mencakup seluruh fungsi hutan dan di luar kawasan hutan sebagai berikut;

o Total skor untuk kawasan hutan lindung dapat disetarakan untuk Kawasan Hutan Lindung dan kawasan hutan konservasi

o Total skor untuk kawasan budidaya pertanian dapat disetarakan untuk areal penggunaan lain (di luar kawasan hutan)

o Total skor untuk Kawasan Budidaya Kehutanan dapat disetarakan untuk kawasan hutan produksi (hutan produksi tetap/produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi terbatas).

Memperhatikan efektifitas penerapan kriteria inventarisasi lahan kritis berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 terutama untuk sub kriteria erosi dan singkapan batuan, maka telah dilakukan kajian terhadap metoda pendukung identifikasi sub kriteria tersebut berdasarkan data-data yang mudah diakses dan tersedia di seluruh Indonesia. Metoda pendukung tersebut diharapkan dapat dijadikan sumber informasi utama untuk memfokuskan survei lapangan untuk identifikasi erosi aktual dan outcrop. Salah satu sumber informasi yang dapat digunakan adalah tingkat erosi berdasarkan land system dari proyek Regional Physical Planning Program for Transmigration yang petanya dalam skala 1:250.000 telah meliputi seluruh (100%) wilayah Indonesia. Kajian komprehensif mengenai pemanfaatan data dari RePPProT telah dilakukan oleh pakar Geomorfologi dengan hasil, bahwa database landsystem yang ada pada


(16)

peta-peta lampiran di RePPProT dapat dimanfaatkan untuk penentuan kekritisan lahan. (Junun, 1998).

Peta

Peta merupakan bagian yang dikehendaki dari hasil-hasil suatu inventarisasi. Akan kecil artinya untuk mengetahui banyaknya kayu di dalam hutan kecuali orang tahu di mana tempatnya, dan suatu sajian pelukisan menjadi penting untuk tujuan ini (Hurch,1987).

Peta-peta juga dibutuhkan didalam survei-survei hutan dengan satu atau lain alasan; untuk menetapkan rencana penerbangan guna pemotretan udara; untuk menetapkan pola pencuplikan lapangan terhadap keadaan hutan; untuk memungkinkan regu survei mencari areal yang diseleksi sebagai cuplikan; dan akhirnya untuk melayani sebagai peta-peta dasar supaya tegakan-tegakan hutan yang beragam dapat diklasifikasikan menurut ragam tipe, umur dan seterusnya untuk dapat digambarkan (Yuliadji et al, 1994).

Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh dalam lingkup luas berarti setiap metodologi yang digunakan untuk mempelajari karakteristik objek dari jarak jauh. Penglihatan, penciuman, pendengaran manusia merupakan contoh bentuk penginderaan jarak jauh. Banyak diatara sensor yang dibincangkan merekam data citra secara elektronik, yang menyebabkan data ini dapat diproses dengan komputer. Kemampuan sitem ini untuk melihat atau mengindera energi di luar bagian tampak spektrum dan menyajikan data citra dalam bentuk digital, sangat meningkat informasi sumber daya bumi yang disajikan oleh penginderaan jarak


(17)

jauh (Wolf, 1993).

Teknologi penginderaan jauh telah berkembang dengan cepat sejak manusia semakin sadar akan keseimbangan yang layak antara perkembangan sumber daya dan pemeliharaan lingkungan. Sekarang penginderaan jarak jauh merupakan cara yang praktis untuk memantau secara berulang dan cermat atas sumber daya bumi secara menyeluruh. Data yang diperoleh dari penginderaan jauh menyajikan informasi penting untuk memuat keputusan yang mantap dan perumusan kebijaksanaan bagi berbagai penerapan pengembangan sumber daya dan penggunaan lahan. Teknik penginderaan jauh juga telah dipergunakan untuk penerapan khusus. Untuk kepentingan penelitian geologi, menentukan letak kebakaran hutan, mendeteksi pohon dan tanaman yang terserang penyakit, memantau pertambahan penduduk, menentukan lokasi dan bentang tumpahan minyak dan pencemaran air yang lain, hanya merupakan beberapa contoh penerapan penginderaan jauh yang bermanfaat bagi kemanusiaan (Wolf, 1993).

Sistem Informasi Geografis (SIG) Konsep Dasar dan Pemanfaatan SIG

Sistem informasi dapat dikelompokkan dalam sistem informasi berdasarkan pada manajemen dan pada geografis, yang kemudian dapat dirinci lagi ke dalam sistem manual dan sistem dengan menggunakan komputer. Sistem Informasi Geografis (SIG) meliputi kegiatan-kegiatan yang pengelompokannya terstruktur dengan komputer dan prosedur kerjanya meliputi masukan, penyimpanan dan manipulasi, presentasi dan pemanggilan kembali data yang berdasarkan dan berkaitan secara spasial. Sistem Informasi Geografis menangani data spasial dalam koordinat x, y dan z dan atribut non spasial data tersebut


(18)

(Yuliadji et al, 1994).

Sistem informasi Geografik (SIG) terdiri dari seperangkat alat dan digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menginterpretasi dan merekam informasi geografik. Sistem informasi geografis membantu mengurangi kesalahan oleh manusia dan menghilangkan beberapa pekerjaan dalam tugas-tugas pemetaan dan penggambaran, dan sistem ini cepat dan efisien dalam memberikan informasi spasial, termasuk beberapa jenis peta (Burrough, 1986).

Data sumberdaya alam yang tersedia dalam jumlah besar jarang yang telah siap dalam bentuk untuk dimasukkan ke dalam komputer dan berujukan geografis secara tepat dan otomatis. Penggunaan setiap SIG akan tergantung terutama pada jenis, ketelitian, dan detil masukan data yang dimiliki (Howard, 1996)

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System) adalah suatu sistem untuk mendayagunakan dan menghasilgunakan; pengolahan dan analisis data spasial (keruangan) serta data non spasial (tabular), dalam memperoleh berbagai informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan, baik yang berorientasi ilmiah, komersil, pengelolaan maupun kebijaksanaan (Yuliadji et al, 1994).

GIS singkatan dari GeographicInformation System atau Sistem Informasi Geografis. GIS merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengelola (input, manajemen, proses, dan output) data spasial atau data yang bereferensi geografis. Setiap data yang merujuk lokasi di permukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial bereferensi geografis. Misalnya data kepadatan penduduk suatu daerah, data jaringan jalan suatu kota, data distribusi lokasi pengambilan sampel, dan sebagainya. Data GIS dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu data


(19)

grafis dan data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut (Nuarsa, 2005).

Komponen dasar dalam penggunaan SIG

Menurut Anam (2005), komponen yang membangun SIG ada lima bagian yaitu :

1. Perangkat Lunak (Software)

Komponen software ini mencakup didalamnya adalah software GIS dan juga perangkat software pendukung lainnya yaitu operating system dan software database lainnya seperti oracle.

2. Perangkat Keras (Hardware)

Hardware komputer ini digunakan untuk mendukung bekerjanya GIS.

Dan juga komponen hardware pendukung lainnya diantaranya adalah

plotter, printer, scanner dan digitizer.

3. Sumberdaya Manusia

Untuk menjalankan GIS diperlukan operator komputer GIS, untuk pembuatan aplikasi GIS dibutuhkan ahli programmer, untuk mendesain suatu sistem GIS diperlukan ahli analisis system GIS.

4. Data

Komponen ini sangat menentukan kualitas informasi dari output GIS. Pemahaman sistem data, termasuk didalamnya adalah sistem referensi spasial.


(20)

5. Metode

Metode adalah prosedur atau ketentuan pembangunan GIS.

Penafsiran Citra Secara Visual Dasar Teori

Penafsiran citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya ( Howard, 1991 ). Penafsiran citra merupakan kegiatan yang didasarkan pada deteksi dan identifikasi obyek dipermukaan bumi pada citra satelit landsat TM7+. Dengan mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsure-unsur utama spectral dan spasial serta kondisi temporalnya.

Teknik penafsiran

Teknik penafsiran citra penginderaan jauh diciptakan agar penafsir dapat melakukan pekerjaan penafsiran citra secara mudah dengan mendapatkan hasil penafsiran pada tingkat keakuratan dan kelengkapan yang baik. Menurut Sutanto, teknik penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran yang meliputi:

1. data acuan

2. kunci interpretasi citra atau unsur diagnostic citra 3. metode pengkajian


(21)

1. Data acuan

Data acuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kecermatan seorang penafsir, data ini bisa berupa laporan penelitian, monografi daerah, peta, dan yang terpenting disini data diatas dapat meningkatkan local knowledge pemahaman mengenai lokasi penelitian.

2. Kunci interpretasi citra atau unsur diagnostic citra

Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Untuk itu identitas dan jenis obyek pada citra sangat diperlukan dalam analisis memecahkan masalah yang dihadapi. Karakteristik obyek pada citra dapat digunakan untuk mengenali obyek yang dimaksud dengan unsur interpretasi. Unsur interpretasi yang dimaksud disini adalah :

Rona / warna

Rona dan warna merupakan unsur pengenal utama atau primer terhadap suatu obyek pada citra penginderaan jauh. Fungsi utama adalah untuk identifikasi batas obyek pada citra. Penafsiran citra secara visual menuntut tingkatan Rona bagian tepi yang jelas, hal ini dapat dibantu dengan teknik penajaman citra (enhacement) . Rona merupakan tingkat / gradasi keabuan yang teramati pada citra penginderaan jauh yang dipresentasikan secara hitam-putih. Permukaan obyek yang basah akan cenderung menyerap cahaya elektromagnetik sehingga akan nampak lebih hitam disbanding obyek yang relative lebih kering.


(22)

Warna

Warna merupakan wujud yang yang tampak mata dengan menggunakan spectrum sempit, lebih sempit dari spectrum elektromagnetik tampak (Sutanto, 1986). Contoh obyek yang menyerap sinar biru dan memantulkan sinar hijau dan merah maka obyek tersebut akan tampak kuning. Dibandingkan dengan Rona, perbedaaan warna lebih mudah dikenali oleh penafsir dalam mengenali obyek secara visual. Hal inilah yang dijadikan dasar untuk menciptakan citra multispektral.

Bentuk

Bentuk dan ukuran merupakan asosiasi sangat erat. Bentuk menunjukkan konfigurasi umum suatu obyek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh . Bentuk mempunyai dua makna yakni :

a. bentuk luar / umum

b. bentuk rinci atau sususnana bentuk yang lebih rinci dan spesifik. Ukuran

Ukuran merupakan bagian informasi konstektual selain bentuk dan letak. Ukuran merupakan atribut obyek yang berupa jarak , luas , tinggi, lereng dan volume (Sutanto, 1986). Ukuran merupakan cerminan penyajian penyajian luas daerah yang ditempati oleh kelompok individu.

Tekstur

Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra (Lillesand dan Kiefer, 1990). Tekstur dihasilkan oleh kelompok


(23)

unit kenampkan yang kecil, tekstur sering dinyatakan kasar, halus, ataupun belang-belang (Sutanto, 1986). Contoh hutan primer bertekstur kasar, hutan tanaman bertekstur sedang, tanaman padi bertekstur halus.

Pola

Pola merupakan karakteristik makro yang digunakan untuk mendiskripsikan tata ruang pada kenampakan di citra. Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Hal ini membuat pola unsur penting untuk membedakan pola alami dan hasil budidaya manusia. Sebagai contoh perkebunan karet , kelapa sawit sanagt mudah dibedakan dari hutan dengan polanya dan jarak tanam yang seragam.

Bayangan

Bayangan merupakan unsur sekunder yang sering membantu untuk identifikasi obyek secara visual , misalnya untuk mengidentifikasi hutan jarang, gugur daun, tajuk (hal ini lebih berguna pada citra resolusi tinggi ataupun foto udara)

Situs

Situs merupakan konotasi suatu obyek terhadap faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan atau keberadaan suatu obyek. Situs bukan ciri suatu obyek secara langsung, tetapi kaitanya dengan faktor lingkungan. Contoh hutan mangrove selalu


(24)

bersitus pada pantai tropic, ataupun muara sungai yang berhubungan langsung dengan laut (estuaria) (Sutanto, 1986).

Asosiasi (korelasi )

Asosiasi menunjukkan komposisi sifat fisiognomi seragam dan tumbuh pada kondisi habitat yang sama. Asosiasi juga berarti kedekatan erat suatu obyek dengan obyek lainnya. Contoh permukiman kita identik dengan adanya jaringan transportasi jalan yang lebih kompleks dibanding permukiman pedesaan. Konvergensi bukti dalam proses penafsiran citra penginderaan jauh sebaiknya digunakan unsur diagnostic citra sebanyak mungkin. Hal ini perlu dilakukan karena semakin banyak unsur diagnostic citra yang digunakan semakin menciut lingkupnya untuk sampai pada suatu kesimpulan suatu obyek tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1990).

Sub-sistem SIG

Yuliadji (1994) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis pada dasarnya dapat dirinci menjadi tiga sub sistem yang saling terkait, yaitu :

1. Input Data

Input data dalam SIG terdiri dari data grafis atau data spasial dan data atribut. Kumpulan data tersebut disebut database. Database tersebut meliputi data tentang posisinya di muka bumi dan data atribut dari kenampakan geografis yang disimpan dalam bentuk titik-titik, garis atau vektor, area dan piksel atau grid. Sumber database untuk SIG secara konvensional dibagi dalam tiga kategori :

a. Data atribut atau informasi numerik, berasal dari data statistik, data sensus, catatan lapangan dan data tabuler lainnya.


(25)

b. Data grafis atau data spasial, berasal dari peta analog, foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya dalam bentuk cetak kertas.

c. Data penginderaan jauh dalam bentuk digital, seperti yang diperoleh dari satelit (Landsat, SPOT, NOOA).

2. Pemrosesan Data

Pemrosesan terdiri dari manipulasi dan analisis data. Fungsi dari manipulasi dan analisis data dilakukan untuk kepentingan geometrik yang digunakan untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pencarian lokasi atau luas areal yang sesuai dengan kriteria tertentu atau dapat pula dalam pencarian informasi yang ada dalam suatu tempat tertentu. Manipulasi dilakukan dengan rotasi, pengubahan dan penskalaan koordinat, konversi koordinat geografi, registrasi, analisis spasial dan statistik. Analisis data yang ada pada database dilakukan dengan menggunakan overlaying beberapa layer tematik yang berkaitan.

3. Output Data

Output dari SIG dapat berupa peta hasil cetak warna, peta digital, dan data tabuler. Peta hasil cetak dapat berupa peta garis (dengan menggunakan plotter) maupun peta biasa (dengan menggunakan printer).


(26)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dan penelitian lapangan dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2007.

Bahan dan Alat Bahan

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Peta digital penunjukan kawasan hutan yang sudah ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan No. 44 tahun 2005, skala 1:50000.

2. Citra satelit (landsat TM) Kabupaten Asahan tahun 2005

3. Data digital DAS Asahan yang bersumber dari BPDAS Barumun, Pematangsiantar

4. Peta digital administrasi Kabupaten Asahan 5. Peta kelerengan lahan

6. Peta bahaya Erosi

Alat

Alat yang digunakan adalah PC beserta kelengkapannya dengan perangkat lunak (software) , ArcView 3.3 dan printer untuk mencetak peta. Alat yang digunakan di lapangan adalah GPS, kamera, kalkulator, dan alat tulis.


(27)

Metode Penelitian 1. Pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah jenis data spasial. Data spasial adalah data yang berbentuk peta digital yaitu Citra Satelit Landsat TM tahun 2005 dan peta digital penunjukan kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Digital Kehutaan, peta digital DAS Asahan dan peta digital administrasi kabupaten Asahan yang dikeluarkan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Barumun, Pematangsiantar.

2. Pengolahan citra

Sebelum Citra landsat TM tahun 2005 diinterpretasi terlebih dahulu dilakukan pengkombinasian band (Stacking). Pemilihan kombinasi band ini akan mempengaruhi penampakan warna citra. Tahap selanjutnya melakukan klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan dengan interpretasi

visua yakni dengan mengamati unsur-unsur yang terdapat dalam citra. Unsur

interpretasi yang dimaksud disini yaitu; rona, warna, bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, dan asosiasi. Pengklasifikasi ini dilakukan dengan terlebih dahulu mendeliniasi penggunaan lahan berdasarkan analisis visual sehingga mengelompokkan yang lebih mewakili kedalam beberapa kelas penggunaan lahan.

3. Input Data Spasial (Parameter Lahan Kritis).

Data spasial lahan kritis diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu kekritisan lahan. Parameter


(28)

penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 meliputi:

• kondisi tutupan vegetasi • kemiringan lereng • tingkat bahaya erosi dan

• kondisi pengelolaan (manajemen)

Data spasial lahan kritis dapat disusun apabila data spasial ke 5 (lima) parameter tersebut di atas sudah disusun terlebih dahulu. Data spasial untuk masing-masing parameter harus dibuat dengan standar tertentu guna mempermudah proses analisis spasial untuk menentukan lahan kritis. Standar data spasial untuk masing-masing parameter meliputi kesamaan dalam sistem proyeksi

3.1 Data Spasial Tutupan Lahan

Informasi tentang liputan lahan diperoleh dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh Citra satelit TM tahun 2005 yang dimiliki BPDAS Barumun, Pematangsiantar.

Dalam penentuan kekritisan lahan, parameter liputan lahan mempunyai bobot 50%, sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya (skor x 50). Klasifikasi tutupan lahan dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada tabel berikut.


(29)

Tabel 1. Klasifikasi Liputan Lahan dan Skoringnya

Kelas Skor Skor x Bobot (50)

Sangat Baik 5 250

Baik 4 200

Sedang 3 150

Buruk 2 100

Sangat Buruk 1 50

3.2 Data Spasial Kemiringan Lereng.

Data spasial kemiringan lereng disusun dari hasil pengolahan data kontur dalam format digital. Klasifikasi kemiringan lereng dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2. Klasifikasi Lereng dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis.

Kelas Kemiringan Lereng(%) Skor

Datar < 8 5

Landai 8 - 15 4

Agak Curam 16 - 25 3

Curam 26 - 40 2

Sangat Curam > 40 1

3.3 Data Spasial Tingkat Erosi.

Data spasial tingkat erosi diperoleh dari pengolahan data spasial sistem lahan (land system). Klasifikasi Tingkat Erosi dan skor untuk masing-masing kelas tingkat erosi ditunjukkan pada tabel berikut.


(30)

Tabel 3. Klasifikasi Tingkat Erosi dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis.

Kelas Besaran / Deskripsi Skor

Ringan Tanah dalam:

<25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m

Tanah dangkal:

25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m

5

Sedang Tanah dalam:

25 – 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m

Tanah dangkal:

25 – 50 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20 - 50 m

4

Berat Tanah dalam:

Lebih dari 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m Tanah dangkal:

50 – 75 % lapisan tanah atas hilang

3

Sangat Berat

Tanah dalam:

Semua lapisan tanah atas hilang >25 % lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m

2

Tanah dangkal >75 % lapisan tanah atas telah hilang, sebagian lapisan tanah bawah telah tererosi

1

Untuk menyesuaikan data pengkelasan tingkat erosi dengan yang sebelumnya maka kelas tingkat erosi dibagi menjadi 5 (lima) kelas yaitu mulai dari kelas Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B) dan Sangat


(31)

3.4 Kriteria Manajemen.

Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Data tersebut diperoleh melalui checking lapangan dengan sistem sampling. Data hasil survei tersebut diolah untuk dijadikan sebagai updateting data yang sudah ada. Sesuai dengan karakternya, data tersebut juga merupakan data atribut. Seperti halnya dengan kriteria produktivitas, manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen.

Klasifikasi manajemen dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada tabel beikut.

Tabel 4. Klasifikasi Manajemen dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis

Kelas Besaran / Deskripsi Skor

Skor x Bobot (10)

Baik Lengkap *) 5 50

Sedang Tidak Lengkap 3 30

Buruk Tidak Ada 1 10

*) : - Tata batas kawasan ada - Pengamanan pengawasan ada - Penyuluhan dilaksanakan

4. Analisis Spasial.

Metode yang digunakan dalam analisis tabular adalah metode skoring. Setiap parameter penentu kekritisan lahan diberi skor tertentu seperti telah dijelaskan diatas. Pada unit analisis hasil tumpangsusun (overlay) data spasial,


(32)

skor tersebut kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya diklasifikasikan untuk menentukan tingkat kekritisan lahan. Klasifikasi tingkat kekritisan lahan berdasarkan jumlah skor parameter kekritisan lahan seperti ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Total Skor Total Skor Pada:

Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Hutan

Lindung Kawasan Budidaya Kehutanan

120 - 180 110 - 200 Sangat Kritis

181 - 270 201 - 275 Kritis

271 - 360 276 - 350 Agak Kritis

361 - 450 351 - 425 Potensial Kritis

451 - 500 426 - 500 Tidak Kritis

Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan lahan kritis dengan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView dapat dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing.

Uraian secara rinci tahapan tersebut adalah sebagai berikut : Tumpangsusun (overlay) Data Spasial. Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView dapat dilakukan overlay dengan mudah. Software tambahan (extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam Software ArcView sangat berperan dalam proses ini. Didalam extension ini terdapat beberapa fasilitas overlay dan fasilitas lainnya seperti; union, dissolve,


(33)

Gambar 1. Kotak Dialog untuk Memilih Teknik Overlay .

Proses overlay ini dilakukan secara bertahap dengan urutan mulai overlay

theme Vegetasi dengan kelas kemiringan lereng kemudian hasil overlay tersebut

dioverlaykan kembali dengan theme erosi. Proses ini dilakukan untuk theme-theme berikutnya dengan cara yang sama sebagaimana terlihat pada diagram dibawah ini.


(34)

Gambar 2. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan Hutan Lindung


(35)

Gambar 3. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan Budidaya Kehutanan


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGELOLAAN PETA DASAR

Data-data dasar yang digunakan dalam penelitian ini berupa data digital yang sama yang digunakan BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai), Pematangsiantar, sehingga dengan adanya dukungan data yang sesuai maka pengelolaan analisis yang dilakukan dalam penelitian dapat membantu dalam menghasilkan informasi yang tepat.

Peta dasar lokasi penelitian merupakan hasil turunan dari peta dasar administrasi Kab. Asahan dan peta tematik lainnya, yaitu peta kondisi tutupan vegetasi ,kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop), serta peta kondisi pengelolaan (manajemen). Pengelolaan peta dan data dasar merupakan kegiatan yang dilakukan melalui proses pemotongan sesuai dengan wilayah penelitian (DAS Asahan), sehingga peta dasar yang dihasilkan merupakan peta dasar yang hanya memprioritaskan wilayah penelitian pada Kabupaten Asahan.

Peta dasar yang telah dikumpulkan dari dinas-dinas kehutanan Sumatera Utara, masih dalam satuan DAS ataupun Sub-DAS. Oleh karena itu untuk mendapatkan peta tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Asahan, terlebih dahulu harus dilakukan penumpangtindihan (overlay) antara peta administrasi Kabupaten Asahan dengan seluruh parameter penentu kekritisan lahan.


(37)

BANDAR PULAU BANDAR PASIR BANDOGE

SEI KEPAYANG PULAU RAKYAT AEK KUASAN AIR JOMAN BANTU PANE AIR BATU SIMPANG EMPAT MERANTI TANJUNG BALAI TANJUNG TIRAM KISARAN TIMUR KISARAN BARAT Batas Kedamatan TANJUNG TIRAM TANJUNG BALAI SIMPANG EMPAT SEI KEPAYANG PULAU RAKYAT MERANTI KISARAN TIMUR KISARAN BARAT BANTU PANE BANDAR PULAU BANDAR PASIR BANDOGE AIR JOMAN

AIR BATU AEK KUASAN

KAB. TAPANULI SELATAN KAB. LABUHAN BATU KAB. ASAHAN

KAB. MANDAILING NATAL KAB. TO BASA

KAB. TAPANULI UTARA KAB. SIMALUNG UN

KAB. TAPANULI TENGAH KAB. SAMOSIR KAB. KARO

KO TA SIDEMPUAN KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

Keterangan :

Sumber Peta :

520000 520000 540000 540000 560000 560000 580000 580000 600000 600000 10 28 00

00 10280

00

0

10

30

00

00 10300

00

0

10

32

00

00 10320

00

0

10

34

00

00 1034

00

00

PETA ADMINISTRASI KECAMATAN KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:800.000

Peta Lokasi Sumatera Utara Skala 1: 10.000.000

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Administrasi Kab. Asahan

Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Asahan

Data Base Penggunaan Lahan di Kabupaten Asahan

Dari data base penggunaan lahan diperoleh dari hasil interpretasi secara visual. Analisis visual merupakan suatu kegiatan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra. Adapun citra yang digunakan adalah Citra satelit landsat TM 2005 dengan menggunakan


(38)

520000 520000 540000 540000 560000 560000 580000 580000 600000 600000 10 28 00

00 10280

00

0

10

30

00

00 1030

00

00

10

32

00

00 10320

00

0

10

34

00

00 1034

00

00

Sumber Peta : 1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Hasil Interpretasi Citra Satelit Landsat E TM+ skala 1:750.000

Keterangan :

Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 10.000.000

KAB. TAPANULI SELATAN KAB. LABUHAN BATU KAB. ASAHAN

KAB. MANDAILING NATAL KAB. TO BASA

KAB. TAPANULI UTARA KAB. SIMALUNG UN

KAB. TAPANULI TENGAH KAB. SAMOSIR KAB. KARO

KO TA SIDEMPUAN KAB. HUMBANG HASUNDUTAN Bellukar Hutan Kebun Campuran Ladang Mangrove Pemukiman Perkebunan Rawa Sawah Tambak PETA PENGGUNAAN LAHAN

KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:750.000

kombinasi band 453 (false color), hal ini bertujuan untuk mendapatkan Informasi tentang liputan lahan/ penutupan vegetasi. Peta penggunaan lahan hasil interpretasi di Kabupaten Asahan dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:


(39)

Tutupan lahan di Kabupaten Asahan hasil interpretasi Citra satelit (landsat-TM) tahun menunjukkan tutupan lahan di Kabupaten Asahan didominasi oleh kebun campuran seluas ±105.957,77ha (33,86%), kemudian disusul tutupan hutan seluas ±84.664,57ha (27,06%), rawa seluas ±34.487,37ha (11,02%) sedangkan belukar ±24.861,08ha (7,94%), selebihnya terbagi habis dengan tutupan lahan lainnya seperti ladang, sawah, perkebunan, pemukiman dan mangrove. Adapun secara rinci tutupan lahan di Kabupaten Asahan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Jenis Tutupan Lahan di Kabupaten Asahan

Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Luas (%)

Belukar 24.861,08 7,94

Hutan 84.665,57 27,06

Kebun Campuran 105.957,77 33,86

Madang 20.911,98 6,68

Mangrove 2.980,72 0,95

Perkebunan 17.119,45 5,47

Rawa 34.487,37 11,02

Sawah 18.640,81 5,96

Pemukiman 3.291,02 1,05

TOTAL 312.919,77

Data Base Kawasan Hutan di Kabupaten Asahan

Kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara


(40)

Peta Digital Penunjukan Kawasan Hutan Sumber Peta :

KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

KAB. TAPANULI SELATAN KAB. LABUHAN BATU KAB. ASAHAN

KAB. MANDAILING NATAL KAB. TAPANULI UTARA KAB. TOBASA KAB. SIMALUNGUN KAB. TAPANULI TENGAH KAB. DAIRI KAB. KARO

Peta Lokasi Sumatera Utara Skala 1: 000.000 Keterangan : 520000 520000 540000 540000 560000 560000 580000 580000 600000 600000 10 28 00

00 10280

00

0

10

30

00

00 10300

00

0

10

32

00

00 10320

00

0

10

34

00

00 1034

00 00 HL HP HPK HPT LKWHT

PETA KAWASAN HUTAN KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:800.000

untuk Kabupaten Asahan terdiri dari lima fungsi kawasan yaitu Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), Hutan produksi Konversi (HPK), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Luar Kawasan Hutan (LKWHT).


(41)

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penggunaan Lahan

BANDAR PULAU BANDAR PAS IR BANDOGE

SEI KEPAYANG PULAU RAKYAT

AEK KUASAN AIR JOMAN

BANTU PANE AIR BATU

SIMPANG EMPAT MERANTI TANJUNG BALAI

TANJUNG TIRAM

KISARAN TIMUR KISARAN BARAT Keterangan :

Sumber Peta :

Peta Lokasi Kabupaten Asahan Skala 1: 55.000

511000 511000 518000 518000 525000 525000 532000 532000 539000 539000 10 28 30

00 10283

00

0

10

29

00

00 10290

00

0

10

29

70

00 1029

70

00

10

30

40

00 1030

40 00 Sangat Baik Baik Sangat Buruk Buruk Skala 1:300.000 N

PETA TUTUPAN TAJUK DI KAWASAN HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

INPUT DATA SPASIAL (PARAMETER LAHAN KRITIS)

Data Spasial Tutupan Lahan

Kondisi tutupan lahan dinilai berdasarkan prosentase tutupan tajuk pohon dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas tutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Dalam penentuan kekritisan lahan, parameter liputan lahan pada Hutan Lindung (HL) dan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), mempunyai bobot 50, sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya.


(42)

520000 520000 540000 540000 560000 560000 580000 580000 600000 600000 10 28 00

00 10280

00

0

10

30

00

00 10300

00

0

10

32

00

00 10320

00

0

10

34

00

00 1034

00

00

Keterangan : Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 10.000.000

KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

KAB. TAPANULI SELATAN KAB. LABUHAN BATU KAB. ASAHAN

KAB. MANDAILING NATAL KAB. TAPANULI UTARA KAB. TOBASA KAB. SIMALUNGUN KAB. TAPANULI TENGAH KAB. DAIRI KAB. KARO Sedang Sangat Buruk Baik Sangat Baik

Sumber Peta : 1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penggunaan Lahan

Baik Skala 1:300.000

N

PETA TUTUPAN TAJUK DI KAWASAN HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

Gambar 8. Peta Penutupan Tajuk di Kawasan Budidaya Kehutanan

Tutupan lahan merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam analisa data spasial lahan kritis, ini ditunjukkan dengan besar bobot yang diberikan yaitu sebesar 50 pada arahan fungsi kawasan hutan lindung, dan pada Kawasan Budidaya Kehutanan. Dalam analisa, tutupan lahan pada kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Budidaya Kehutanan klasifikasi tutupan lahan dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada tabel berikut.


(43)

Tabel 7. Klasifikasi Tutupan Lahan

Kelas

Prosentase Tutupan Tajuk

(%)

Skor

Luas (Ha) Luas (%)

HL KBK HL KBK

Sangat Baik > 80 5 34.552,97 36.428,41 99.37 43.27

Baik 61- 80 4 40,12 34.198,54 0.11 40.63

Sedang 41- 60 3 - 7.416,7 - 8.81

Buruk 21- 40 2 25,36 298,4 0.073 0.35

Sangat Buruk < 20 1 153,73 5.834,4 0.44 6.94

Kondisi tutupan lahan diperoleh berdasarkan pengkelasan nilai Cp (pengelolaan tanaman dan pengkonservasian lahan) dari hasil interpretasi citra. Klasifikasi kelas kerapatan tajuk di Kabupaten Asahan mulai dari pada Hutan Lindung (HL) maupun pada Kawasan Budidaya Kehutanan, di dominasi oleh tingkat kerapatan “sangat baik”. Untuk arahan fungsi lahan Hutan Lindung diikuti oleh tingkat kerapatan “sangat buruk”, 0,44% dari luas keseluruhan kawasan Hutan Lindung. Sementara untuk arahan fungsi lahan Kawasan Budidaya Kehutanan diikuti oleh tingkat kerapatan “baik” yakni sebesar 40,63% dari luas keseluruhan Kawasan Budidaya Kehutanan.

Data Spasial Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan

0


(44)

512000 512000 520000 520000 528000 528000 536000 536000 544000 544000 10 28 00

00 10280

00

0

10

28

80

00 10288

00

0

10

29

60

00 10296

00

0

10

30

40

00 1030

40

00

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penunjukan Kawasan

BANDAR PULAU BANDAR PAS IR BANDOGE

SEI KEPAYANG PULAU RAKYAT

AEK KUASAN AIR JOMAN

BANTU PANE AIR BATU

SIMPANG EMPAT MERANTI TANJUNG BALAI

TANJUNG TIRAM

KISARAN TIMUR KISARAN BARAT

Keterangan :

Sumber Peta :

Peta Lokasi Kabupaten Asahan Skala 1: 55.000

Sangat Curam Agak Curam Curam Landai Datar

4. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:50.000 PETA KELERENGAN DI KAWASAN

HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:300.000

data ketinggian garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta rupabumi. Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer apabila telah tersedia data kontur dalam format digital. Kemiringan lereng di DAS Asahan Kabupaten Asahan diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi kemiringan lereng untuk identifikasi lahan kritis.


(45)

520000 520000 540000 540000 560000 560000 580000 580000 600000 600000 10 28 00

00 10280

00

0

10

30

00

00 10300

00

0

10

32

00

00 10320

00

0

10

34

00

00 1034

00

00

Keterangan : Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 000.000

KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

KAB. TAPANULI SELATAN KAB. LABUHAN BATU KAB. ASAHAN

KAB. MANDAILING NATAL KAB. TAPANULI UTARA KAB. TOBASA KAB. SIMALUNGUN KAB. TAPANULI TENGAH KAB. DAIRI KAB. KARO

4. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:50.000 Datar Landai Curam Agak Curam Sangat Curam

Sumber Peta : 1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta Tematik Penunjukan Kawasan PETA KELERENGAN PADA KAWASAN

BUDIDAYA KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:750.000

Gambar 10. Peta Kelerengan di Kawasan Budidaya Kehutanan

Berdasarkan hasil yang ditampilkan oleh Gambar 9 dan Gambar 10, maka berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng dapat diketahui sebaran luas arahan fungsi lahan. Sebaran luas arahan fungsi lahan berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng disajikan dalam tabel berikut.


(46)

Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng

Kelas Kemiringan Lereng (%)

Skor

Luas (Ha) Luas (%)

HL KBK HL KBK

Datar < 8 5 84,3 35.847,43 0.24 41.08

Landai 8 - 15 4 843,24 15.015,24 2.42 17.21

Agak Curam 16 - 25 3 7.051,35 15.676,66 20.27 21.40

Curam 26 - 40 2 4.682,95 11.682,68 13.46 13.39

Sangat Curam > 40 1 22.110,34 6.024,29 63.58 6.91

Faktor kelerengan berperan besar terhadap penentuan kelas kekritisan lahan. Semakin tinggi kemiringan lereng, maka pengaruhnya terhadap kekritisan lahan juga akan semakin besar. Faktor kelerengan untuk arahan fungsi kawasan Hutan Lindung lebih berpengaruh besar dibandingkan dengan arahan fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan. Hal ini terlihat dari besarnya nilai bobot yang diberikan pada arahan fungsi kawasan pada Hutan Lindung sebesar 20. Sedangkan untuk arahan fungsi KBK sebesar 10.

Berdasarkan klasifikasi tersebut keadaan topografi Kabupaten Asahan untuk arahan fungsi lahan Hutan Lindung kelas kemiringan lereng yang paling mendominasi adalah kelas “sangat curam” yakni dengan luasan sebesar 22.110,34Ha atau 63,58 % dari keseluruhan luas Hutan Lindung di Kabupaten Asahan. Untuk arahan fungsi areal Kawasan Budidaya Kehutanan., kelas kemiringan lereng “datar” yang paling banyak dijumpai yakni sebesar 35.847,43Ha atau 41,08% dari luas keseluruhan Kawasan Budidaya Kehutanan.


(47)

Data Spasial Tingkat Erosi

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Secara umum, terjadinya erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim (terutama intensitas hujan), topografi, karakteristik tanah, vegetasi penutup tanah, dan tata guna lahan.

Data spasial tingkat erosi diperoleh dari pengolahan data spasial sistem lahan (land system). Setiap poligon (unit pemetaan) land system mempunyai data atribut yang salah satunya berisikan informasi tentang bahaya erosi. Adapun luas secara rinci masing-masing kelas tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada peta dan dalam tabel berikut.


(48)

Peta Lokasi Kabupaten Asahan Skala 1: 55.000

Sumber Peta :

Keterangan :

BANDAR PULAU BANDAR PAS IR BANDOGE

SEI KEPAYANG PULAU RAKYAT

AEK KUASAN AIR JOMAN

BANTU PANE AIR BATU

SIMPANG EMPAT MERANTI TANJUNG BALAI

TANJUNG TIRAM

KISARAN TIMUR KISARAN BARAT

1. Peta Tematik DAS Asahan 2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta tematik intensitas curah hujan

4. Peta Tematik Jenis Tanah 5. Peta Tematik Penggunaan Lahan 6. Peta tematik Kelerengan

512000 512000 520000 520000 528000 528000 536000 536000 544000 544000 10 28 00

00 10280

00

0

10

28

80

00 10288

00

0

10

29

60

00 10296

00

0

10

30

40

00 1030

40

00

PETA BAHAYA EROSI DI KAWASAN HUTAN LINDUNG KABUPATEN ASAHAN

N Skala 1:300.000

Ringan

Sedang

Berat

Sangat Berat


(49)

KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

KAB. TAPANULI SELATAN KAB. LABUHAN BATU KAB. ASAHAN

KAB. MANDAILING NATAL KAB. TAPANULI UTARA KAB. TOBASA KAB. SIMALUNGUN KAB. TAPANULI TENGAH KAB. DAIRI KAB. KARO 520000 520000 540000 540000 560000 560000 580000 580000 600000 600000 10 28 00

00 10280

00

0

10

30

00

00 10300

00

0

10

32

00

00 10320

00

0

10

34

00

00 1034

00

00

Peta Lokasi Sumatera Utara Skala 1: 10.000.000 Keterangan :

Ringan

Sedang

Berat

Sangat Berat

4. Peta Tematik Jenis Tanah 5. Peta Tematik Penggunaan Lahan 6. Peta tematik Kelerengan 1. Peta Tematik DAS Asahan

2. Peta Dasar Kab. Asahan 3. Peta tematik intensitas curah hujan Sumber Peta :

PETA BAHAYA EROSI PADA KAWASAN BUDIDAYA KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:800.000


(50)

Tabel 9. Klasifikasi Tingkat Erosi

Kelas Tingkat Erosi

Skor

Luas (Ha) Luas (%)

HL KBK HL KBK

Ringan 5 30388.49 584.156,87 87.46 85.65

Sedang 4 3651.55 18.135,73 10.51 2.66

Berat 3 137.55 29.367,50 0.396 4.30

Sangat Berat 2 569.03 50.320,11 1.63 7.38

Dari hasil tabulasi diatas kelas tingkat erosi di Kabupaten Asahan masih termasuk kelas erosi “ringan”. Pada arahan fungsi lahan Kawasan Budidaya Kehutanan yang mengalami erosi sangat berat adalah seluas 50.320,11Ha atau 7.38% dari luas total Kawasan Budidaya Kehutanan. Sedangkan pada arahan fungsi lahan kawasan Hutan lindung terdapat 569,03Ha termasuk kelas erosi “ Sangat Berat”.

Kriteria Manajemen.

Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan hutan, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Data tersebut diperoleh melalui checking lapangan dengan sistem sampling. Data hasil survei tersebut diolah untuk dijadikan sebagai updateting data yang sudah ada. Sesuai dengan karakternya, data tersebut juga merupakan data atribut. Manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen. Sampai saat ini belum ada data yang pasti untuk nilai tingkat


(51)

manajemen kawasan hutan di Kabupaten Asahan akan tetapi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Pematangsiantar, manajemen pengelolaan untuk Das Asahan masit tergolong sedang, atau dalam besarannya dikatakan tidak lengkap. Bobot yang diberikan untuk penunjukan fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan bobot yang diberikan lebih besar yakni 30 dibandingkan untuk penunjukan fungsi Hutan Lindung sebesar 10.

TINGKAT KEKRITISAN LAHAN.

Menurut Direktorat Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan Kritis (1997), lahan kritis didefenisikan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai batas yang ditentukan/ diharapkan (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Labuhan Batu, 2002). Sedangkan Mahfudz (2001) menyataka secara umum ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang dan bahkan batuan-batuan dipermukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam.

Berdasarkan peta penunjukan kawasan, secara keseluruhan luas total kawasan hutan Kabupaten Asahan yakni ±119092Ha. Untuk kawasan hutan tingkat kekritisan di Kabupaten Asahan didominasi oleh tingkat kekritisan lahan potensial kritis pada arahan fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan seluas ±59.795,03Ha. Jika lahan kritis merupakan kelompok dari kelas kekritisan agak kritis, kritis, hingga sangat kritis maka luas lahan kritis yang terbesar terdapat di arahan fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan, yaitu sebesar ±13872.13ha atau ±16.44% dari total luas KBK. Pada arahan fungsi hutan lindung, luas lahan kritis sebesar ±167.22ha atau ±0.48% dari total luasan Hutan Lindung.


(52)

520000 520000 540000 540000 560000 560000 580000 580000 600000 600000 10 28 00

00 10280

00

0

10

30

00

00 10300

00

0

10

32

00

00 10320

00

0

10

34

00

00 1034

00

00

Sumber Peta : 1. Peta Tematik Kelas Kelerengan 2. Peta Tematik Behaya Erosi 3 Peta Tematik Penutupan Lahan 4. Peta Tematik Manajemen

Agak Kritis Kritis

Potensial Kritis Sangat Kritis Tidak Kritis

Keterangan : Peta Lokasi Sumatera Utara

Skala 1: 10.000.000

KAB. HUMBANG HASUNDUTAN

KAB. TAPANULI SELATAN KAB. LABUHAN BATU KAB. ASAHAN

KAB. MANDAILING NATAL KAB. TAPANULI UTARA KAB. TOBASA KAB. SIMALUNGUN KAB. TAPANULI TENGAH KAB. DAIRI KAB. KARO PETA TINGKAT KEKRITISAN KAWASAN HUTAN

KABUPATEN ASAHAN

N

Skala 1:650.000

A P L


(53)

Adapun secara rinci tingkat kekritisan lahan pada Kawasan hutan di Kabupaten Asahan secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Klasifikasi Kekritisan Lahan Secara Keseluruhan untuk Kawasan Hutan Kabupaten Asahan.

Tingkat Kekritisan

Lahan

Luas (Ha) Luas (%)

HL

KBK

HL

KBK

HP HPK HPT HP HPK HPT

Sangat

Kritis 135.7 670.59 312.75 240.8 0.38 2.3 1.43 0.72

Kritis 6.77 4711.41 422.72 85.21 1.91 16.17 1.93 0.26

Agak

Kritis 24.75 243.28 2588.9 4596.47 0.069 0.83 11.81 13.81 Potensial

Kritis 33.943.62 19972.4 16344.58 23478.05 95.77 68.53 74.55 70.55 Tidak

Kritis 661.37 3543.86 2254.14 4879.39 1.86 12.16 10.28 14.66

Total 34747.46 29141.54 21923.09 33279.92

Dari hasil tabulasi tingkat kekritisan lahan potensial kritis merupakan yang mendominasi untuk tingkat kekritisan Kawasan Hutan Kabupaten Asahan secara keseluruhan. Sementara itu areal fungsi Hutan Produksi Konservasi (HPK) merupakan kawasan hutan terluas (33279.92Ha), akan tetapi lahan kritis terluas berada di kawasan areal fungsi Hutan Produksi Terbatas yakni seluas 5.625,28Ha, 4.72% dari total luas Kawasan hutan Kab. Asahan yang terdiri dari HL, HP, HPK, dan HPT. Dari hasil kalkulasi total lahan kritis di areal hutan Kab. Asahan sebesar 13.872,13Ha atau 11.64% dari total luas Kawasan hutan.


(54)

Pada umumnya, penduduk yang tinggal di kawasan hutan relatif miskin hal ini disebabkan pemberdayaan tanah kritis tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan penduduknya, tingginya kepadatan populasi, kecilnya luas lahan, kesempatan kerja terbatas dan lingkungan yang terdegradasi. Oleh karena itu perlu diterapkan sistem pertanian berkelanjutan dengan melibatkan penduduk dan kelembagaan (Mahfudz, 2001). Meluasnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa hal antara lain tekanan penduduk, perluasan areal pertanian yang tidak sesuai, perladangan berpindah, padang penggembalaan yang berlebihan, pengelolaan hutan yang tidak baik, dan pembakaran yang tidak terkendali (Mahfudz, 2001).

Fujisaka dan Carrity (1989) dalam Mahfudz (2001) mengemukakan bahwa masalah utama yang dihadapi di lahan kritis antara lain adalah lahan mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara.

Permasalahan yang diperkirakan masih dihadapi dalam pembangunan kehutanan pada tahun 2007 adalah: (1) masih lemahnya kapasitas kelembagaan pengelola sumber daya hutan khususnya di tingkat lapangan sehingga pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management/SFM) masih belum dapat dilaksanakan dengan baik; (2) belum optimalnya pemanfaatan aneka fungsi hutan karena pengelolaan hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu; (3) masih belum selesainya restrukturisasi industri kehutanan sehingga permintaan bahan baku kayu dari industri dalam negeri jauh melebihi kemampuan penyediaan yang berkelanjutan; (4) masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran UU dan peraturan yang terkait dengan kehutanan sehingga kasus-kasus pembalakan liar (illegal logging), tebang berlebih, perdagangan kayu ilegal (illegal trading),


(55)

pembakaran hutan, konversi kawasan hutan , dll masih sering terjadi; (5) kurangnya pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, antara lain karena tidak jelasnya pelaksanaan aturan kerjasama pemerintah dan masyarakat, serta kondisi kemiskinan masyarakat sehingga cenderung mudah dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan ilegal; (6) kurang efektifnya pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, perlindungan dan konservasi, penatagunaan kawasan hutan, dan lain-lain. Keseluruhan permasalahan tersebut juga berlaku untuk Kaupaten Asahan oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan, serta rekomendasi kegiatan-kegiatan pengolahan lahan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, upaya melestarikan dan mempertahankan keberadaan hutan.


(56)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Luas penggunaan lahan kawasan hutan di Kabupaten asahan dengan pembagian fungsi kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 21.511,84Ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 37907.77Ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 21.967,53, Hutan lindung (HL) seluas 347.47,46Ha dan areal penggunaan lain (APL) seluas 592.425,05ha.

2. Tingkat kekritisan lahan potensial kritis merupakan yang mendominasi untuk tingkat kekritisan Kawasan Hutan Kabupaten Asahan secara keseluruhan yakni seluas 99306.96Ha atau 85,5% dari luas total kawasan hutan yang ad di Kabupaten Asahan.

3. Luas lahan kritis pada fungsi kawasan Hutan Lindung seluas ±167.22ha atau ±0.48% dari total keseluruhan luas kawasan hutan lindung menurut SK MenHut No.44/MenHut-II/2005.

4. Luas lahan kritis pada fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan seluas 6279.32Ha yang terbagi berdasarkan fungsi penunjukan kawasannya yakni Hutan Produksi (HP) seluas 340.47Ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 3279.37Ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2659.48Ha.


(57)

1. Adapun kegiatan identifikasi lahan kritis ini bersifat umum karena bergantung pada ketersediaan data yang sangat terbatas. Hasil identifikasi ini nantinya dapat disempurnakan dengan data yang lebih akurat, dan komprehensif.

2. Tehadap penunjukan fungsi di luar kawasan hutan atau areal penggunaan lain (APL) juga perlu dilakukan pengidentifikasian lahan kritis.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Burrough, P. A. 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Clanrendon Press. Oxford.

FAO, 1976. A Framework for Land Evaluation. Di dalam Luthfi Rayes (2006) Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit ANDI. Yogyakarta Howard, J. A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumber Haya Hutan: Teori dan

Aplikasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Remote Sensing of Forest Resources: Theory and Application

Huch,B.1987. Perencanaan Invenventarisasi Hutan. Diterjemahkan oleh: Agus Setyarso.Judul asli; Planning A Forest Inventory

Lahjie, A.M. 2004. Teknik Agroforesti. Universitas Mulawarman. Samarinda Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta.

Nuarsa I Wayan. 2005. Belajar Sendiri Menganalisis Data Spasial Dengan ArcView GIS 3.3 untuk Pemula. PT Alex Media Computindo. Jakarta Rayes, Luthfi. 2006. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit ANDI.

Yogyakarta

Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sagala, P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Yuliadji,. R W.,G. F. Suryono dan A. Ruben. 1994. Aplikasi SIG untuk Pemetaan Informasi Pembangunan. Di dalam Agus W, R Djamaludding,G Hendrarto, editor.Remote Sensing & Geographic information Systems. Year Book 93/94. BPPT. Jakarta

Wolf, P.R.1993. Elemen Fotogrametri Dengan Interpretasi Foto Udara Dan Penginderaan Jauh. Diterjemahkan oleh Gunandi, Totok Gunawan dan Zuharnaen. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Elements Of Photogrammetry with Air Photo Interpretation and Remote Sensing


(1)

Adapun secara rinci tingkat kekritisan lahan pada Kawasan hutan di Kabupaten Asahan secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Klasifikasi Kekritisan Lahan Secara Keseluruhan untuk Kawasan Hutan Kabupaten Asahan.

Tingkat Kekritisan

Lahan

Luas (Ha) Luas (%)

HL

KBK

HL

KBK

HP HPK HPT HP HPK HPT

Sangat

Kritis 135.7 670.59 312.75 240.8 0.38 2.3 1.43 0.72 Kritis 6.77 4711.41 422.72 85.21 1.91 16.17 1.93 0.26 Agak

Kritis 24.75 243.28 2588.9 4596.47 0.069 0.83 11.81 13.81 Potensial

Kritis 33.943.62 19972.4 16344.58 23478.05 95.77 68.53 74.55 70.55 Tidak

Kritis 661.37 3543.86 2254.14 4879.39 1.86 12.16 10.28 14.66 Total 34747.46 29141.54 21923.09 33279.92

Dari hasil tabulasi tingkat kekritisan lahan potensial kritis merupakan yang mendominasi untuk tingkat kekritisan Kawasan Hutan Kabupaten Asahan secara keseluruhan. Sementara itu areal fungsi Hutan Produksi Konservasi (HPK) merupakan kawasan hutan terluas (33279.92Ha), akan tetapi lahan kritis terluas berada di kawasan areal fungsi Hutan Produksi Terbatas yakni seluas 5.625,28Ha, 4.72% dari total luas Kawasan hutan Kab. Asahan yang terdiri dari HL, HP, HPK, dan HPT. Dari hasil kalkulasi total lahan kritis di areal hutan Kab. Asahan sebesar 13.872,13Ha atau 11.64% dari total luas Kawasan hutan.


(2)

Pada umumnya, penduduk yang tinggal di kawasan hutan relatif miskin hal ini disebabkan pemberdayaan tanah kritis tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan penduduknya, tingginya kepadatan populasi, kecilnya luas lahan, kesempatan kerja terbatas dan lingkungan yang terdegradasi. Oleh karena itu perlu diterapkan sistem pertanian berkelanjutan dengan melibatkan penduduk dan kelembagaan (Mahfudz, 2001). Meluasnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa hal antara lain tekanan penduduk, perluasan areal pertanian yang tidak sesuai, perladangan berpindah, padang penggembalaan yang berlebihan, pengelolaan hutan yang tidak baik, dan pembakaran yang tidak terkendali (Mahfudz, 2001).

Fujisaka dan Carrity (1989) dalam Mahfudz (2001) mengemukakan bahwa masalah utama yang dihadapi di lahan kritis antara lain adalah lahan mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara.

Permasalahan yang diperkirakan masih dihadapi dalam pembangunan kehutanan pada tahun 2007 adalah: (1) masih lemahnya kapasitas kelembagaan pengelola sumber daya hutan khususnya di tingkat lapangan sehingga pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management/SFM) masih belum dapat dilaksanakan dengan baik; (2) belum optimalnya pemanfaatan aneka fungsi hutan karena pengelolaan hutan masih bertumpu pada hasil hutan kayu; (3) masih belum selesainya restrukturisasi industri kehutanan sehingga permintaan bahan baku kayu dari industri dalam negeri jauh melebihi kemampuan penyediaan yang berkelanjutan; (4) masih lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran UU dan peraturan yang terkait dengan kehutanan sehingga kasus-kasus pembalakan liar (illegal logging), tebang berlebih, perdagangan kayu ilegal (illegal trading),


(3)

pembakaran hutan, konversi kawasan hutan , dll masih sering terjadi; (5) kurangnya pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, antara lain karena tidak jelasnya pelaksanaan aturan kerjasama pemerintah dan masyarakat, serta kondisi kemiskinan masyarakat sehingga cenderung mudah dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan ilegal; (6) kurang efektifnya pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, perlindungan dan konservasi, penatagunaan kawasan hutan, dan lain-lain. Keseluruhan permasalahan tersebut juga berlaku untuk Kaupaten Asahan oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan, serta rekomendasi kegiatan-kegiatan pengolahan lahan dengan memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, upaya melestarikan dan mempertahankan keberadaan hutan.


(4)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Luas penggunaan lahan kawasan hutan di Kabupaten asahan dengan pembagian fungsi kawasan Hutan Produksi (HP) seluas 21.511,84Ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 37907.77Ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 21.967,53, Hutan lindung (HL) seluas 347.47,46Ha dan areal penggunaan lain (APL) seluas 592.425,05ha.

2. Tingkat kekritisan lahan potensial kritis merupakan yang mendominasi untuk tingkat kekritisan Kawasan Hutan Kabupaten Asahan secara keseluruhan yakni seluas 99306.96Ha atau 85,5% dari luas total kawasan hutan yang ad di Kabupaten Asahan.

3. Luas lahan kritis pada fungsi kawasan Hutan Lindung seluas ±167.22ha atau ±0.48% dari total keseluruhan luas kawasan hutan lindung menurut SK MenHut No.44/MenHut-II/2005.

4. Luas lahan kritis pada fungsi Kawasan Budidaya Kehutanan seluas 6279.32Ha yang terbagi berdasarkan fungsi penunjukan kawasannya yakni Hutan Produksi (HP) seluas 340.47Ha, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 3279.37Ha dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2659.48Ha.

Saran


(5)

1. Adapun kegiatan identifikasi lahan kritis ini bersifat umum karena bergantung pada ketersediaan data yang sangat terbatas. Hasil identifikasi ini nantinya dapat disempurnakan dengan data yang lebih akurat, dan komprehensif.

2. Tehadap penunjukan fungsi di luar kawasan hutan atau areal penggunaan lain (APL) juga perlu dilakukan pengidentifikasian lahan kritis.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Burrough, P. A. 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Clanrendon Press. Oxford.

FAO, 1976. A Framework for Land Evaluation. Di dalam Luthfi Rayes (2006) Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit ANDI. Yogyakarta Howard, J. A. 1996. Penginderaan Jauh untuk Sumber Haya Hutan: Teori dan

Aplikasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Remote Sensing of Forest Resources: Theory and Application

Huch,B.1987. Perencanaan Invenventarisasi Hutan. Diterjemahkan oleh: Agus Setyarso.Judul asli; Planning A Forest Inventory

Lahjie, A.M. 2004. Teknik Agroforesti. Universitas Mulawarman. Samarinda Lillesand dan Kiefer. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta.

Nuarsa I Wayan. 2005. Belajar Sendiri Menganalisis Data Spasial Dengan ArcView GIS 3.3 untuk Pemula. PT Alex Media Computindo. Jakarta Rayes, Luthfi. 2006. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit ANDI.

Yogyakarta

Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sagala, P. 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Yuliadji,. R W.,G. F. Suryono dan A. Ruben. 1994. Aplikasi SIG untuk Pemetaan Informasi Pembangunan. Di dalam Agus W, R Djamaludding,G Hendrarto, editor.Remote Sensing & Geographic information Systems. Year Book 93/94. BPPT. Jakarta

Wolf, P.R.1993. Elemen Fotogrametri Dengan Interpretasi Foto Udara Dan Penginderaan Jauh. Diterjemahkan oleh Gunandi, Totok Gunawan dan Zuharnaen. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Elements Of Photogrammetry with Air Photo Interpretation and Remote Sensing