Prevalensi Katarak Akibat Trauma Di RSUP. H. Adam Malik Tahun 2010 - 2012

(1)

KARYA TULIS ILMIAH

OLEH :

DIAN FRISKA YANTY LUBIS 090100235

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

KARYA TULIS ILMIAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH KELULUSAN SARJANA

KEDOKTERAN

OLEH :

DIAN FRISKA YANTY LUBIS 090100235

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Prevalensi Katarak Akibat Trauma Di RSUP. H. Adam Malik Tahun 2010 - 2012

Nama : Dian Friska Yanty Lubis NIM : 090100235

Pembimbing Penguji I

(dr. Aryani Atiyatul Amra, Sp. M) (dr. Iqbal Pahlevi Nasution, Sp. BA) NIP. 19640502 199203 2 003 NIP. 19730721 200912 1 001

Penguji II

(dr. Mutiara Indah Sari, M. Kes) NIP. 19731015 200112 2 002

Medan, Desember 2012 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 001


(4)

ABSTRAK

Latar Belakang : Katarak traumatika merupakan kerusakan lensa unilateral merupakan komplikasi yang sering dijumpai oleh karena trauma okuli yang menyebabkan penurunan visus. Katarak traumatika dapat disebabkan oleh karena trauma tumpul maupun trauma tembus. Katarak traumatika biasanya hanya mengenai satu mata sehingga setelah operasi katarak diperlukan lensa intraokuli untuk mencegah anisokonia dan untuk mencapai penglihatan binocular yang baik. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa angka katarak akibat trauma.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriftif dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis pada 92 data rekam medik penderita katarak yang dirujuk ke Poliklinik Mata sejak Juni 2010 – Juni 2012. Sampel dipilih dengan teknik total sampling.

Hasil : Dari 92 sampel yang diteliti, dijumpai hanya 4 sampel saja yang menderita katarak akibat trauma. Masing-masing yang menderita katarak akibat trauma adalah laki-laki yang bersuku batak dan jawa, dengan jenis pekerjaan yang paling banyak adalah pekerja berat, dan selanjutnya pekerja sedang.

Kesimpulan : Trauma yang paling banyak menyebabkan katarak trauma adalah trauma tajam.


(5)

ABSTRACT

Background: Traumatic cataract is damage to the lens is a frequent complication encountered due to trauma that causes decreased visual acuity okuli. Traumatic cataracts can be caused by blunt trauma and penetrating trauma. Traumatic cataracts usually only on one eye so that the lens after cataract surgery is necessary to prevent anisokonia intraokuli and to achieve a good binocular vision.

Objective: This study aimed to determine how much number of traumatic cataract.

Methods: This study was a descriptive cross-sectional design of the study conducted at the RSUP. H. Adam Malik Medan. Data collection is done through analysis of medical record data in 92 cataract patients who were referred to the clinic's since June 2010 - June 2012. Samples were selected with a total sampling technique.

Results: From the 92 samples studied, found only 4 samples are traumatic cataracts. Each one who suffered traumatic cataract were men who Batak tribes and Java, with the kind of work that most are working hard, and then the workers were.

Conclusion: Trauma of the most traumatic cataract is causing sharp trauma.


(6)

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang dengan limpahan rahmat, karunia, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Serta tidak lupa shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi besar kita Rasulullah Muhammad SAW, dan kepada keluarga beserta sahabatnya sekalian, yang telah menuntun umatnya untuk selalu berpegang di jalan-Nya.

Rasa cinta, kasih, dan sayang penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Ayahanda dan Ibunda tercinta, Dahrial Effendy Lubis dan Rohana br Sinaga, SE, yang telah mencurahkan kasih sayang, membesarkan, mendidik, dan memberikan dukungan moril maupun materil, serta doa kepada penulis sebagai dorongan motivasi terbesar untuk menyelesaikan pendidikan selama ini. Dalam doa mereka terkandung harapan kesuksesan bagi penulis.

Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, yaitu kemampuan mawas diri dan mengembangkan diri serta belajar sepanjang hayat, maka penyusunan karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi tersebut dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dalam menyelesaikan pendidikan di program studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul Prevalensi Katarak Aakibat Trauma di RSUP. H. Adam Malik Medan Tahun 2010-2012.

Penyelesaian karya tulis ilmiah ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada :

1) Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(7)

2) Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3) dr. Husnul Fuad Albar, Sp. OT selaku dosen pembimbing akademik yang dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

4) dr. Aryani Atiyatul Amra, Sp. M, selaku Dosen Pembimbing yang dengan sepenuh hati telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mendukung, membimbing, mengoreksi, dan mengarahkan penulis dengan sabar mulai dari perencanaan penelitian sampai selesainya karya tulis ilmiah ini dengan baik. 5) dr. Iqbal Pahlevi Nasution, Sp. BA selaku Dosen Penguji I yang telah

memberikan kritik dan saran demi perbaikan karya tulis ilmiah ini

6) dr. Mutiara Indah Sari, M. Kes selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik dan saran demi perbaikan karya tulis ilmiah ini.

7) Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama perkuliahan.

8) Seluruh Staf Pegawai Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi bantuan selama perkuliahan.

9) Kakanda kandung tersayang Fristyana Sosanty Lubis, ST, MT, dan abangda Roy Dahrul Lubis, ST, yang senantiasa memberikan kasih sayang dan semangat yang menjadi dorongan motivasi penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

10) Seluruh rekan mahasiswa angkatan tahun 2009 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, khususnya sahabat - sahabat terbaik Candra Rukmana Dalimunthe, Muhammad Arif Siregar, Adi Retno, Muhammad Rizky Ananda Hasibuan, Raja Hasayangan Siregar, Rizki Ananda Lubis, Fitri


(8)

Anggraini Lubis, Iramaya Oktariana Harahap, Dhiny Yolanda Harahap, Vilza Raihany, Patrice LWY Sinaga.

11) Teman - teman sedosen pembimbing, Rahmat dan Samuel Pola Karta Sembiring.

12) Sahabat - sahabat, saudara sepermainan terbaik, calon orang sukses dimana pun berada, Wira Juanda Pranata, Suharno, Mirza Mustafa, Siti Qomariah. 13) Semua pihak yang tidak tersebutkan satu persatu, yang telah membantu,

mendukung, dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Untuk seluruh dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini, penulis mengucapkan terima kasih. Hanya Allah SWT yang mampu memberikan balasan berlipat ganda kepada orang - orang tersebut.

Akhir kata, dengan kemampuan yang masih terbatas, penulis sangat menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan karya tulis ilmiah ini, serta izinkanlah penulis memohon maaf atas segala kesalahan, kekhilafan, dan kekurangan yang telah penulis lakukan selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini. Besar harapan penulis, semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu kedokteran, dan dapat bermanfaat bagi rekan - rekan pembaca sekalian. Amin Ya Rabbal’alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Medan, Desember 2012 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Hal.

Lembar Pengesahan………. i

Abstrak……….. ii

Abstract……….. iii

Kata Pengantar………. iv

Daftar Isi……… vii

Daftar Tabel……….. x

Daftar Gambar………. xi

Daftar Lampiran………... xii

BAB 1 PENDAHULUAN………. 1

1.1. Latar Belakang………. 1

1.2. Rumusan Masalah……… 3

1.γ. Tujuan Penelitian………. 3

1.γ.1. Tujuan Umum………... 3

1.γ.β. Tujuan Khusus……….. 4

1.4. Manfaat Penelitian………... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 5

2.1. Lensa……… 5

2.1.1. Anatomi Lensa………... 5

2.1.2. Embriologi Lensa……….. 6

2.1.3. Pertumbuhan Lensa………... 6

2.1.4. Histologi lensa………... 6

2.1.5. Fungsi Lensa……….. 8

2.1.6. Komposisi Lensa………... 8

2.1.7. Metabolisme Lensa……… 10

2.2. Katarak………. 14


(10)

2.2.2. Epidemiologi Katarak……… 14

2.2.3. Klasifikasi Katarak……… 15

2.2.4. Etiologi dan Faktor Risiko Katarak……….. 18

2.2.5. Gejala dan Tanda Katarak………. 21

2.2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Katarak………. 21

2.2.7. Stadium Katarak……… 22

2.3. Katarak Traumatik……….. 23

2.3.1. Defenisi……….. 23

2.3.2. Epidemiologi………. 24

2.3.3. Patogenesis……… 24

2.3.4. Diagnosis………... 28

2.3.5. Penatalaksanaan Katarak Traumatik………. 29

2.3.6. Penatalaksanaan Bedah……….. 30

2.3.7. Komplikasi………. 31

2.3.8. Prognosis………... 31

2.4. Trauma Mata……….... 31

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL... 34

3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 34

3.2. Variabel dan Defenisi Operasional……….. 34

BAB 4 METODE PENELITIAN……… 37

4.1. Jenis Penelitian……… 37

4.2. Waktu Dan Tempat Penelitian………. 37

4.2.1. Populasi………. 37

4.2.2. Sampel………... 37

4.3. Teknik Pengumpulan Data……….. 38

4.4. Pengolahan Dan Analisis Data………... 38

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………... 39


(11)

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………... 39

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden………... 39

5.1.3. Hasil Analisis Data……… 43

5.2. Pembahasan………. 46

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……… 47

6.1. Kesimpulan……….. 47

6.2. Saran……… 47

DAFTAR PUSTAKA………... 48


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Tabel

Hal.

5.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin……… 40

5.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur……… 40

5.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Pekerjaan……… 41

5.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Suku……….. 42

5.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Diagnosis………... 42

5.6. Distribusi Sampel Katarak Trauma Berdasarkan Jenis Kelamin…. 43 5.7. Distribusi Sampel Katarak Trauma Berdasarkan Umur………… 43

5.8. Distribusi Sampel Katarak Trauma Berdasarkan Jenis Pekerjaan... 44

5.9. Distribusi Sampel Katarak Trauma Berdasarkan Suku…………... 45 5.10. Distribusi Sampel Katarak Trauma Berdasarkan Jenis Trauma…. 45


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Anatomi Lensa... 5

2.2. Histologi Lensa... 7

2.3. Mekanisme Antioksidan... 13

2.4. Pertukaran Bahan Kimia Pada Lensa... 14

2.5. Cincin Vossius………... 25

2.6. Cincin Soemering………... 26


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ………... 50

Lampiran 2 Etichal Clearance………... 52

Lampiran 3 Output SPSS……….. 53


(15)

ABSTRAK

Latar Belakang : Katarak traumatika merupakan kerusakan lensa unilateral merupakan komplikasi yang sering dijumpai oleh karena trauma okuli yang menyebabkan penurunan visus. Katarak traumatika dapat disebabkan oleh karena trauma tumpul maupun trauma tembus. Katarak traumatika biasanya hanya mengenai satu mata sehingga setelah operasi katarak diperlukan lensa intraokuli untuk mencegah anisokonia dan untuk mencapai penglihatan binocular yang baik. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa angka katarak akibat trauma.

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriftif dengan desain penelitian cross sectional yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis pada 92 data rekam medik penderita katarak yang dirujuk ke Poliklinik Mata sejak Juni 2010 – Juni 2012. Sampel dipilih dengan teknik total sampling.

Hasil : Dari 92 sampel yang diteliti, dijumpai hanya 4 sampel saja yang menderita katarak akibat trauma. Masing-masing yang menderita katarak akibat trauma adalah laki-laki yang bersuku batak dan jawa, dengan jenis pekerjaan yang paling banyak adalah pekerja berat, dan selanjutnya pekerja sedang.

Kesimpulan : Trauma yang paling banyak menyebabkan katarak trauma adalah trauma tajam.


(16)

ABSTRACT

Background: Traumatic cataract is damage to the lens is a frequent complication encountered due to trauma that causes decreased visual acuity okuli. Traumatic cataracts can be caused by blunt trauma and penetrating trauma. Traumatic cataracts usually only on one eye so that the lens after cataract surgery is necessary to prevent anisokonia intraokuli and to achieve a good binocular vision.

Objective: This study aimed to determine how much number of traumatic cataract.

Methods: This study was a descriptive cross-sectional design of the study conducted at the RSUP. H. Adam Malik Medan. Data collection is done through analysis of medical record data in 92 cataract patients who were referred to the clinic's since June 2010 - June 2012. Samples were selected with a total sampling technique.

Results: From the 92 samples studied, found only 4 samples are traumatic cataracts. Each one who suffered traumatic cataract were men who Batak tribes and Java, with the kind of work that most are working hard, and then the workers were.

Conclusion: Trauma of the most traumatic cataract is causing sharp trauma.


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat kedua-duanya (Ilyas, 2009). Kekeruhan ini dapat mengganggu jalannya cahaya yang melewati lensa sehingga pandangan dapat menjadi kabur hingga hilang sama sekali. Penyebab utama katarak adalah usia, tetapi banyak hal lain yang dapat terlibat seperti trauma, toksin, penyakit sistemik (seperti diabetes), merokok dan herediter (Vaughan & Asbury, 2007).

Berdasarkan studi cross sectional prevalensi katarak pada usia 65 tahun adalah 50% dan prevalensi ini meningkat hingga 70% pada usia lebih dari 75 tahun. Katarak merupakan masalah penglihatan yang serius karena katarak dapat mengakibatkan kebutaan (Vaughan & Asbury, 2007).

Menurut WHO pada tahun 2002 katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling utama di dunia sebesar 48% dari seluruh kebutaan di dunia. Setidaknya terdapat delapan belas juta orang di dunia menderita kebutaan akibat katarak. Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil survey kesehatan indera 1993-1996, katarak juga penyebab kebutaan paling utama yaitu sebesar 52%.

Katarak memang dianggap sebagai penyakit yang lumrah pada lansia. Akan tetapi, ada banyak faktor yang akan memperbesar resiko terjadinya katarak. Faktor-faktor ini antara lain adalah paparan sinar ultraviolet yang berlebihan terutama pada negara tropis, paparan dengan radikal bebas, merokok, defesiensi vitamin (A, C, E, niasin, tiamin, riboflavin, dan beta karoten), dehidrasi, trauma, infeksi, penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang, penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, genetik dan myopia. Beberapa faktor-faktor resiko ini tentunya ada yang dapat dihindari


(18)

masyarakat untuk mencegah percepatan terjadinya katarak, misalnya merokok. Hal yang menarik di sini adalah merokok merupakan faktor resiko terjadinya katarak. Tetapi banyak masyarakat yang belum mengetahui bahaya merokok terhadap kesehatan lensa mata. Kebanyakan merokok hanya dikaitkan dengan masalah pernafasan, jantung dan pembuluh darah, kanker, kehamilan, dan seksualitas. Padahal masih banyak efek samping rokok yang belum diketahui masyarakat termasuk katarak.

Patogenesis katarak belum sepenuhnya dimengerti. Walaupun demikian, pada lensa katarak secara karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang menghamburkan berkas cahaya dan mengurangi transparansinya. Perubahan protein lainnya akan mengakibatkan perubahan warna lensa menjadi kuning atau coklat. Temuan tambahan mungkin berupa vesikel di antara serat-serat lensa atau migrasi sel epitel dan pembesaran sel-sel epitel yang menyimpang (Ilyas, 2009).

Katarak traumatika merupakan kerusakan lensa unilateral merupakan komplikasi yang sering dijumpai oleh karena trauma okuli yang menyebabkan penurunan visus. Katarak traumatika dapat disebabkan oleh karena trauma tumpul maupun trauma tembus. Pada trauma tembus apalagi yang mengenai kornea kemungkinan besar juga dapat mengenai lensa dan kapsulnya. Hal ini akan mengakibatkan humor akuous atau badan corpus vitreous dapat masuk ke dalam struktur lensa sehingga lensa cepat menjadi keruh. Katarak karena trauma tumpul dapat disertai atau tanpa disertai robeknya kapsul lensa.

Bentuk katarak traumatika karena trauma tumpul adalah khas yaitu berbentuk roset. Selain itu dapat pula berbentuk cincin, lamellar maupun katarak punctata disseminate, seringkali ditandai dengan adanya vosius ring. Katarak traumatika bentuk roset yang terletak pada kortek posterior sering terjadi pada trauma penetrasi.

Katarak traumatika selalu disertai kelaianan lain. Hal-hal yang menyertai katarak traumatika karena trauma tembus pada segmen anterior adalah leukoma adheren, sinekia anterior, sinekia posterior, uveitis post infeksi,


(19)

adhesi vitreus, fibrosis pada kapsul, glaukoma sekunder. Sedangkan pada segmen posterior adalah vitreous opacitu, post uveitis anterior. Hal-hal yang menyertai katarak traumatika karena trauma tumpul pada segmen anterior adalah subluksasi/luksasi lensa, reses angle glukoma, prolaps vitreous, hipema, uveitis traumatika. Sedangkan pada segmen posterior adalah hemoftalmus, ablasio retina, edemamacula, kelaianan nervus II. Hal tersebut dapat mengganggu keberhasilan operasikatarak traumatika, karena secara teknik lebih sulit, ada risiko kekambuhan uveitis, hipema, juga adanya kelaianan lain.

Pada umumnya kesulitan penanganan katarak traumatika dibandingkan dengan katarak senilis berkaitan dengan adanya kerusakan segmen anterior yang perbaikan atau kesembuhannya kurang baik. Katarak traumatika biasanya hanya mengenai satu mata sehingga setelah operasi katarak diperlukan lensa intraokuli untuk mencegah anisokonia dan untuk mencapai penglihatan binocular yang baik.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “berapa angka katarak akibat trauma di RSUP. H. Adam Malik pada Juni 2010 - Juni β01β?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mendapatkan angka katarak akibat trauma di RSUP. H. Adam Malik Medan.


(20)

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran katarak akibat trauma di Poliklinik Mata RSUP. H. Adam Malik Medan

2. Mengetahui jenis-jenis trauma apa saja yang bisa menyebabkan katarak

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, antara lain:

a. Sebagai sumber data bagi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, mengenai berapa angka katarak akibat trauma.

b. Bagi peneliti, yaitu untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit katarak terutama katarak akibat trauma.

c. Bagi peneliti lain, yaitu sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang sama atau terkait.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lensa

2.1.1. Anatomi Lensa

Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa memiliki dua permukaan, yaitu permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior. Radius kurvatura anterior 10 mm dan radius kurvatura posterior 6 mm. Diameter lensa adalah 9-10 mm dan ketebalan lensa adalah 3,5 mm saat lahir hingga 5 mm saat usia lanjut. Berat lensa 135 mg pada usia 0-9 tahun hingga 255 mg pada usia 40-80 tahun (Khurana, 2007).

Lensa terletak di bilik posterior bola mata, di antara permukaan posterior iris dan badan vitreus pada lengkungan berbentuk cawan badan vitreus yang di sebut fossa hyaloid. Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma optikal yang memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata (Lang, 2000). Lensa tidak memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat. Lensa dipertahankan di tempatnya oleh serat zonula yang berada di antara lensa dan badan siliar. Serat zonula ini, yang bersal dari ephitel siliar, adalah serat kaya fibrilin yang mengelilingi lensa secara sirkular (Khurana, 2007).

Gambar 2.1: Anatomi Lensa (Sumber: Lang, 2000)


(22)

2.1.2. Embriologi Lensa

Pada bulan pertama kehamilan permukaan ektoderm berinvaginasi ke vesikel optik primitif yang terdiri atas neuroektoderm. Struktur ektoderm murni ini akan berdiferensiasi menjadi tiga struktur, yakni serat geometrik sentral lensa, permukaan anterior sel epithel, dan kapsul hyalin aselular. Arah pertumbuhan struktur epithel yang normal adalah sentrifugal. Sel yang telah berkembang sempurna akan bermigrasi ke permukaan dan mengelupas. Pertumbuhan serat lensa primer membentuk nukleus embrionik. Di bagian ekuator, sel epithel akan berdiferensiasi menjadi serat lensa dan membentuk nukleus fetus. Serat sekunder yang baru ini akan menggantikan serat primer ke arah pertengahan lensa. Pembentukan nukleus fetus yang mendekati nukleus embrionik akan sempurna saat lahir. Laju pertumbuhan lensa fetus adalah 180 mg/tahun. Lensa fetus berbentuk bulat sempurna (Lang, 2000).

2.1.3. Pertumbuhan Lensa

Lensa akan terus tumbuh dan membentuk serat lensa seumur hidup, tidak ada sel yang mati ataupun terbuang karena lensa ditutupi oleh kapsul lensa. Pembentukan serat lensa pada ekuator, yang akan terus berlanjut seumur hidup, membentuk nukleus infantil selama dekade pertama dan kedua kehidupan serta membentuk nukleus dewasa selama dekade ketiga. Arah pertumbuhan lensa yang telah berkembang berlawanan dengan arah pertumbuhan embriologinya. Sel yang termuda akan selalu berada di permukaan dan sel yang paling tua berada di pusat lensa. Laju pertumbuhan lensa adalah 1,3 mg/tahun antara usia 10-90 tahun (Khurana, 2007).

2.1.4. Histologi Lensa

Secara histologis, lensa memiliki tiga komponen utama: 1. Kapsul lensa


(23)

Lensa dibungkus oleh simpai tebal (10-β0 μm), homogen, refraktil, dan kaya akan karbohidrat, yang meliputi permukaan luar sel-sel epithel. Kapsul ini merupakan suatu membran basal yang sangat tebal dan terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein. Kapsul lensa paling tebal berada di ekuator (14 μm) dan paling tipis pada kutub posterior (γ μm). Kapsul lensa bersifat semipermeabel, artinya sebagian zat dapat melewati lensa dan sebagian lagi tidak.

2. Epitel subkapsular

Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa. Epitel subkapsular yang berbentuk kuboid akan berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator dan akan terus memanjang dan membentuk serat lensa. Lensa bertambah besar dan tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang terdapat di ekuator lensa. Sel-sel epitel ini memiliki banyak interdigitasi dengan serat-serat lensa.

3. Serat lensa

Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan gepeng. Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan menjadi sangat panjang. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein yang disebut kristalin.

Gambar 2.2: Histologi Lensa (Sumber: Junqueira, 2003)


(24)

Lensa ditahan di tempatnya oleh sekelompok serat yang tersusun radial yang disebut zonula, yang satu sisinya tertanam di kapsul lensa dan sisi lainnya pada badan siliar. Serat zonula serupa dengan miofibril serat elastin. Sistem ini penting untuk proses akomodasi, yang dapat memfokuskan objek dekat dan jauh dengan mengubah kecembungan lensa. Bila mata sedang istirahat atau memandang objek yang jauh, lensa tetap diregangkan oleh zonula pada bidang yang tegak lurus terhadap sumbu optik. Bila melihat dekat, muskulus siliaris akan berkontraksi, dan koroid beserta badan siliar akan tertarik ke depan. Ketegangan yang dihasilkan zonula akan berkurang dan lensa menebal sehingga fokus objek dapat dipertahankan (Junqueira dan Carneiro, 2004).

2.1.5. Fungsi Lensa

Lensa adalah salah satu dari media refraktif terpenting yang berfungsi memfokuskan cahaya masuk ke mata agar tepat jatuh di retina. Lensa memiliki kekuatan sebesar 10-20 dioptri tergantung dari kuat lemahnya akomodasi.

2.1.6. Komposisi Lensa

Lensa terdiri atas air sebanyak 65%, protein sebanyak 35% (kandungan protein tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh), dan sedikit sekali mineral dibandingkan jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada dijaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Lensa tidak memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat (Vaughan, 2007).

Protein lensa dapat dibagi menjadi dua berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu protein laut air (protein sitoplasmik) dan protein tidak larut air (protein sitoskeletal). Fraksi protein larut air sebesar 80% dari seluruh protein lensa yang terdiri atas kristalin. Kristalin adalah protein intraselular yang terdapat pada epithelium dan membran plasma dari sel serat lensa. Kristalin terbagi atas kristalin alpha (α), beta ( ), dan gamma ( ). Akan tetapi, kristalin beta dan gamma adalah


(25)

bagian dari famili yang sama sehingga sering disebut sebagai kristalin betagamma.

Kristalin alpha merepresentasikan 32% dari protein lensa. Kristalin alpha adalah protein dengan besar molekul yang paling besar yaitu sebesar 600-4000 kDa, bergantung pada kecenderungan subunitnya untuk beragregasi. Kristalin alpha bukan merupakan suatu protein tersendiri, melainkan gabungan dari 4 subunit mayor dan 9 subunit minor. Setiap polipeptida subunit memiliki berat molekul 20 kDa. Rantai ikatannya merupakan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik. Kristalin alpha terlibat dalam transformasi sel epithel menjadi serat lensa. Laju sintesis kristalin alpha tujuh kali lebih cepat di sel epitel dari pada di serat kortikal, mengindikasikan penurunan laju sintesis setelah transformasi.

Kristalin beta dan gamma memiliki rangkaian asam amino homolog dan struktur yang sama sehingga dapat dipertimbangkan sebagai satu famili protein. Kristalin beta berkontribusi sebesar 55% dari protein larut air pada protein lensa.

Protein lensa yang tidak larut air dapat dibagi menjadi dua, yaitu protein yang larut dalam urea dan yang tidak larut dalam urea. Fraksi yang larut dalam urea terdiri atas protein sitoskeletal yang berfungsi sebagai rangka struktural sel lensa. Fraksi yang tidak larut urea terdiri atas membran plasma serat lensa.

Major Intrinsic Protein (MIP) adalah protein yang menyusun plasma membran sebesar 50%. MIP pertama sekali muncul di lensa ketika serat lensa mulai memanjang dan dapat di jumpai di membran plasma di seluruh masa lensa. MIP tidak dijumpai di sel epitel, maka dari itu MIP berhubungan dengan diferensiasi sel menjadi serat lensa.

Seiring dengan meningkatnya usia, protein lensa menjadi tidak larut air dan beragregasi membentuk partikel yang lebih besar yang mengaburkan cahaya. Akibatnya lensa menjadi tidak tembus cahaya. Selain itu, seiring dengan bertambahnya usia, maka makin banyak protein yang larut urea menjadi tidak larut urea (American Academy of Ophthalmology, 2007).


(26)

2.1.7. Metabolisme Lensa

Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah mempertahankan ketransparanan lensa. Lensa mendapatkan energi terutama melalui metabolisme glukosa anaerobik. Komponen penting lain yang dibutuhkan lensa adalah bentuk NADPH tereduksi yang didapatkan melalui jalur pentosa yang berfungsi sebagai agen pereduksi dalam biosintesis asam lemak dan glutation. Metabolisme berbagai zat di lensa adalah sebagai berikut:

1. Metabolisme gula

Glukosa memasuki lensa dari aqueous humor melalui difusi sederhana dan difusi yang difasilitasi. Kira-kira 90-95% glukosa yang masuk ke lensa akan difosforilasi oleh enzim hexokinase menjadi glukosa-6-fosfat. Hexokinase akan tersaturasi oleh kadar glukosa normal pada lensa sehingga apabila kadar glukosa normal telah dicapai, maka akan reaksi ini akan terhenti. Glukosa-6-fosfat yang terbentuk ini akan digunakan di jalur glikolisis anaerob dan jalur pentosa fosfat.

Lensa tidak dilalui pembuluh darah sehingga kadar oksigen lensa sangat rendah. Oleh karena itu, metabolisme utamanya berlangsung secara anaerob yaitu glikolisis anaerob. Sebesar 70% ATP lensa dihasilkan melalui glikolisis anaerob. Walaupun kira-kira hanya 3% dari glukosa masuk ke siklus Krebs, tetapi siklus ini menghasilkan 25% dari seluruh ATP yang dibentuk di lensa.

Jalur lain yang memetabolisme glukosa-6-fosfat adalah jalur pentosa fosfat. Kira-kira 5% dari seluruh glukosa lensa dimetabolisme oleh jalur ini dan dapat distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa. Aktivitas jalur pentosa fosfat di lensa lebih tinggi dibandingkan di jaringan lain untuk menghasilkan banyak NADPH yang berfungsi untuk mereduksi glutation.

Jalur lain yang berperan dalam metabolisme glukosa di lensa adalah jalur sorbitol. Ketika kadar glukosa meningkat, seperti pada keadaan hiperglikemik, jalur sorbitol akan lebih aktif dari pada jalur glikolisis sehingga sorbitol akan terakumulasi. Glukosa akan diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim yang berada di permukaan epitel yaitu aldosa reduktase. Lalu sorbitol akan dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim poliol dehidrogenase. Enzim ini


(27)

memiliki afinitas yang rendah, artinya sorbitol akan terakumulasi sebelum dapat dimetabolisme, sehingga menyebabkan retensi sorbitol di lensa. Selanjutnya sorbitol dan fruktosa menyebabkan tekanan osmotik meningkat dan akan menarik air sehingga lensa akan menggembung, sitoskeletal mengalami kerusakan, dan lensa menjadi keruh.

2. Metabolisme protein

Konsentrasi protein lensa adalah konsentrasi protein yang tertinggi dari seluruh jaringan tubuh. Sintesa protein lensa berlangsung seumur hidup. Sintesis protein utama adalah protein kristalin dan Major Intrinsic Protein (MIP). Sintesa protein hanya berlangsung di sel epitel dan di permukaan serabut kortikal.

Lensa protein dapat stabil dalam waktu yang panjang karena kebanyakan enzim pendegradasi protein dalam keadaan normal dapat diinhibisi. Lensa dapat mengontrol degradasi protein dengan menandai protein yang akan didegradasi dengan ubiquitin. Proses ini berlangsung di lapisan epitelial dan membutuhkan ATP. Lensa protein dirombak menjadi peptida oleh endopeptidase lalu dirombak lagi menjadi asam amino oleh eksopeptidase. Endopeptidase diaktivasi oleh megnesium dan kalsium dan bekerja optimal pada pH 7,5. Substrat utama enzim ini adalah kristalin alpha. Contoh endopeptidase adalah calpain. Calpain dapat diinhibisi oleh calpastatin. Calpastatin adalah merupakan inhibitor netral yang konsentrasinya lebih tinggi daripada calpain.

3. Glutation

Glutation (L- -glutamil-L-sisteinglisin) dijumpai dalam konsentrasi yang besar di lensa, terutama di lapisan epitelial. Fungsi glutation adalah mempertahankan ketransparanan lensa dengan cara mencegah aggregasi kritalin dan melindungi dari kerusakan oksidatif.

Glutation memiliki waktu paruh 1-β hari dan didaur ulang pada siklus -glutamil. Sintesis dan degradasi glutation berlangsung dalam kecepatan yang sama. Glutation disintesis dari L-glutamat, L-sistein, dan glisin dalam dua tahap yang membutuhkan 11-12% ATP lensa. Glutation tereduksi juga didapatkan dari


(28)

aqueous humor melalui transporter khusus. Pemecahan glutation mengeluarkan asam amino yang akan didaur ulang untuk pembentukan glutation selanjutnya.

4. Mekanisme antioksidan

Lensa dapat mengalami kerusakan akibat radikal bebas seperti spesies oksigen reaktif. Spesies oksigen reaktif adalah sebutan untuk sekelompok radikal oksigen yang sangat reaktif, merusak lipid, protein, karbohidrat dan asam nukleat. Contoh-contoh radikal oksigen adalah anion superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (OH+), radikal peroksil (ROO+), radikal lipid peroksil (LOOH), oksigen tunggal (O2), dan hidrogen peroksida (H2O2).

Mekanisme kerusakan yang diakibatkan oleh spesies oksigen reaktif adalah peroksidasi lipid membran membentuk malondialdehida, yang akan membentuk ikatan silang antara protein dan lipid membran sehingga sel menjadi rusak. Polimerisasi dan ikatan silang protein tersebut menyebabkan aggregasi kristalin dan inaktivasi enzim-enzim yang berperan dalam mekanisme antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase.

Lensa memiliki beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi dari radikal bebas seperti glutation peroksidase, katalase dan superoksida dismutase. Mekanisme antioksidan pada lensa adalah dengan cara dismutasi radikal bebas superoksida menjadi hidrogen peroksida dengan bantuan enzim superoksida dismutase. Lalu hidrogen peroksida tersebut akan diubah menjadi molekul air dan oksigen melalui bantuan enzim katalase. Selain itu, glutation tereduksi dapat mendonorkan gugus hidrogennya pada hidrogen peroksida sehingga berubah menjadi molekul air dengan bantuan enzim glutation peroksidase. Glutaion tereduksi yang telah memberikan gugus hidrogennya akan membentuk glutation teroksidasi yang tidak aktif, tetapi NADPH yang berasal dari jalur pentosa akan mengubahnya kembali menjadi glutation tereduksi dengan bantuan enzim glutation reduktase.


(29)

Gambar 2.3: Mekanisme Antioksidan (Sumber: Khurana, 2007)

5. Mekanisme Pengaturan Keseimbangan Cairan dan elektrolit

Aspek fisiologi yang terpenting dalam menjaga ketransparanan lensa adalah pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ketransparanan lensa sangat bergantung pada komponen struktural dan makromolekular. Selain itu, hidrasi lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa.

Lensa mempunyai kadar kalium dan asam amino yang tinggi dibandingkan aqueous dan vitreus dan memiliki kadar natrium dan klorida yang lebih rendah dibandingkan sekitarnya. Keseimbangan elektrolit diatur oleh permeabilitas membran dan pompa natrium dan kalium (Na-K-ATPase). Pompa ini berfungsi memompa natrium keluar dan memompa kalium untuk masuk.

Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran di lensa di sebut teori pompa bocor. Kalium dan asam amino ditransportasikan ke dalam lensa secara aktif ke anterior lensa melalui epithelium. Lalu kalium dan asam amino akan berdifusi melalui bagian posterior lensa. Sedangkan natrium masuk ke dalam lensa di bagian posterior lensa secara difusi dan keluar melalui bagian anterior lensa secara aktif.


(30)

Gambar 2.4: Pertukaran Bahan Kimia pada Lensa (Sumber: Khurana, 2007)

2.2. Katarak

2.2.1. Definisi Katarak

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau terjadi akibat kedua-duanya (Ilyas, 2009).

2.2.2. Epidemiologi Katarak

Menurut WHO, katarak adalah penyebab kebutaan terbesar di seluruh dunia. Katarak menyebabkan kebutaan pada delapan belas juta orang diseluruh dunia dan diperkirakan akan mecapai angka empat puluh juta orang pada tahun 2020. Hampir 20,5 juta orang dengan usia di atas 40 yang menderita katarak, atau


(31)

1 tiap 6 orang dengan usia di atas 40 tahun menderita katarak (American Academy Ophthalmology, 2007).

2.2.3. Klasifikasi Katarak

Klasifikasi katarak dapat dibagi berdasarkan morfologis dan berdasarkan permulaan terjadinya katarak.

1. Klasifikasi berdasarkan morfologis

Berdasarkan morfologisnya, katarak dapat dibagi atas:

a. Katarak kapsular, adalah katarak yang melibatkan kapsul lensa, dapat berupa katarak kapsular anterior dan katarak kapsular posterior. Katarak kapsular dapat disebabkan oleh usia, uveitis yang berhubungan dengan sinekia posterior, obat-obatan, radiasi, dan trauma.

b. Katarak subkapsular, adalah katarak yang melibatkan bagian superfisial korteks atau tepat di bawah kapsul lensa dapat berupa katarak subkapsular anterior dan katarak subkapsular posterior. Katarak subkapsular posterior dapat terjadi akibat usia, radiasi, konsumsi steroid, diabetes, myopia berat dan degenerasi retina. Katarak subkapsular posterior dapat terjadi bersamaan dengan katarak subkapsular posterior dan dapat disebabkan oleh jejas lokal, iritasi, uveitis dan radiasi.

c. Katarak kortikal, adalah katarak yang melibatkan korteks lensa dan merupakan katarak yang paling sering terjadi. Katarak kortikal disebabkan oleh usia dan diabetes. Lapisan kortikal kurang padat dibandingkan nukleus sehingga lebih mudah menjadi sangat terhidrasi akibat ketidakseimbangan elektrolit, yang secepatnya akan mengarah ke kerusakan serat korteks lensa.

d. Katarak nuklear, adalah katarak yang melibatkan bagian nukleus lensa. Katarak nuklear disebabkan oleh faktor usia. Katarak nuklear merupakan sklerosis normal yang berlebihan atau pengerasan dan penguningan nukleus pada usia lanjut.


(32)

e. Katarak supranuklear, adalah katarak yang melibatkan bagian korteks lensa yang paling dalam, tepat di atas nukleus lensa.

f. Katarak polar, adalah katarak yang melibatkan kapsul lensa dan superfisial korteks lensa hanya di regio polar, dapat berupa katarak polar anterior dan katarak polar posterior. Katarak polar biasanya terdapat pada katarak kongenital atau karena trauma sekunder.

g. Katarak campuran, adalah keadaan di mana lebih dari satu tipe katarak muncul bersamaan. Pada awalnya katarak biasanya muncul sebagai satu tipe saja tetapi akan dapat menjadi katarak gabungan ketika bagian lensa yang lain juga mengalami degenerasi. Katarak gabungan mengindikasikan katarak telah lanjut dan perkembangannya harus lebih diperhatikan. Pasien dengan katarak gabungan akan memiliki gejala penurunan visus (Khurana, 2007).

2. Klasifikasi berdasarkan permulaan terjadinya katarak Berdasarkan permulaan terjadinya, katarak dapat dibagi atas:

a. Katarak kongenital, adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari satu tahun. Katarak kongenital sering ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang menderita penyakit rubella, galaktosemia, homosisteinuri, diabetes mellitus, hipoparatirodisme, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik, dan histopalsmosis. Penyakit lain yang menyertai katarak kongenital biasanya merupakan penyakit-penyakit herediter seperti mikroftalmus, aniridia, koloboma iris, keratokonus, iris heterokrimia, lensa ektopik, displasia retina, dan megalo kornea. Katarak kongenital disebabkan kelainan pada pembentukan lensa sebelum proses kelahiran. Katarak kongenital digolongkan dalam katarak kapsulolentikular di yaitu katarak kapsular dan polaris atau katarak lentikular yaitu katarak kortikal atau katarak nuklear. (Ilyas, 2009)

b. Katarak juvenil, adalah katarak yang mulai terbentuk pada usia kurang dari sembilan tahun dan lebih dari tiga bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun metabolik dan penyakit lainnya seperti :


(33)

a) Katarak metabolik seperti katarak diabetik, katarak galaktosemik, katarak hopikalsemik, katarak defisiensi gizi, katarak aminoasiduria, penyakit Wilson, dan katarak yang berhubungan dengan penyakit lain.

b) Distrofi miotonik (umur 20 sampai 30 tahun) c) Katarak traumatik

d) Katarak komplikata:

• Kelainan kongenital dan herediter (siklopia, koloboma, mikroftalmia, aniridia, pembuluh hialoid persisten, heterokromia iridis).

• Katarak degeneratif (dengan miopia dan distrofi vitreoretinal), seperti Wagner dan retinitis pigmentosa, dan neoplasma).

• Katarak anoksik

• Toksik (kortikosteroid sistemik atau topikal, ergot, naftalein, dinitrofenol, triparanol, antikholinesterase, klorpromazin, miotik, klorpromazin, busulfan, dan besi).

• Lain-lain seperti kelainan kongenital, sindrom tertentu, disertai kelainan kulit (sindermatik), tulang (disostosis kraniofasial, osteogenesis inperfekta, khondrodistrofia kalsifikans kongenita pungtata), dan kromosom.

• Katarak radiasi (Ilyas, β009)

c. Katarak senil, adalah katarak semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia diatas 50 tahun. Tipe utama pada katarak senilis adalah katarak kortikal, katarak nuklear, dan katarak subkapsular posterior. Walaupn katarak sering diawali oleh tipe yang murni tersebut, mereka akan matang menjadi katarak campuran. Selanjutnya akan dibahas lebih mendetail mengenai katarak senilis.


(34)

2.2.4. Etiologi dan Faktor Resiko Katarak 1. Usia

Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami penuaan juga. Keistimewaan lensa adalah terus menerus tumbuh dan membentuk serat lensa dengan arah pertumbuhannya yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun terbuang karena lensa tertutupi oleh serat lensa. Akibatnya, serat lensa paling tua berada di pusat lensa (nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul lensa (korteks). Dengan pertambahan usia, lensa pun bertambah berat, tebal, dan keras terutama bagian nukleus. Pengerasan nukleus lensa disebut dengan nuklear sklerosis. Selain itu, seiring dengan pertambahan usia, protein lensa pun mengalami perubahan kimia. Fraksi protein lensa yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air dan beragregasi membentuk protein dengan berat molekul yang besar. Hal ini menyebabkan transparansi lensa berkurang sehingga lensa tidak lagi meneruskan cahaya tetapi malah mengaburkan cahaya dan lensa menjadi tidak tembus cahaya.

2. Radikal bebas

Radikal bebas adalah adalah atom atau meolekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (Murray, 2003). Radikal bebas dapat merusak protein, lipid, karbohidrat dan asam nukleat sel lensa. Radikal bebas dapat dihasilkan oleh hasil metabolisme sel itu sendiri, yaitu elektron monovalen dari oksigen yang tereduksi saat reduksi oksigen menjadi air pada jalur sitokrom, dan dari agen eksternal seperti energi radiasi. Contoh-contoh radikal oksigen adalah anion superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (OH+), radikal peroksil (ROO+), radikal lipid peroksil (LOOH), oksigen tunggal (O2), dan hidrogen peroksida (H2O2).

Agen oksidatif tersebut dapat memindahkan atom hidrogen dari asam lemak tak jenuh membran plasma membentuk asam lemak radikal dan menyerang oksigen serta membentuk radikal lipid peroksida. Reaksi ini lebih lanjut akan membentuk lipid peroksida lalu membentuk malondialdehida (MDA). MDA ini dapat menyebabkan ikatan silang antara lemak dan protein. Polimerisasi


(35)

dan ikatan silang protein menyebabkan aggregasi kristalin dan inaktivasi enzim-enzim yang berperan dalam mekanisme antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase. Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa.

3. Radiasi ultraviolet

Radiasi ultraviolet dapat meningkatkan jumlah radikal bebas pada lensa karena tingginya penetrasi jumlah cahaya UV menuju lensa. UV memiliki energi foton yang besar sehingga dapat meningkatkan molekul oksigen dari bentuk triplet menjadi oksigen tunggal yang merupakan salah satu spesies oksigen reaktif.

4. Merokok

Terdapat banyak penelitian yang menjelaskan hubungan antara merokok dan penyakit katarak. Hasil penelitian Cekic (1998) menyatakan bahwa merokok dapat menyebabkan akumulasi kadmium di lensa. Kadmium dapat berkompetisi dengan kuprum dan mengganggu homeostasis kuprum. Kuprum penting untuk aktivitas fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga dengan adanya kadmium menyebabkan fungsi superoksida dismutase sebagai antioksidan terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan katarak. Disebutkan juga bahwa kadmium dapat mengendapkan lensa sehingga timbul katarak. Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Sulochana, Puntham, dan Ramakrishnan (2002). Bedanya bahwa kadmium juga dapat mengganggu homeostasis zincum dan mangan pada enzim superoksida dismutase.

Hasil penelitian El-Ghaffar, Azis, Mahmoud, dan Al-Balkini (2007) menyatakan bahwa NO yang menyebabkan katarak dengan mekanisme NO bereaksi secara cepat dengan anion superoksida untuk membentuk peroksinitrit sehingga terjadi nitratasi residu tirosin dari protein lensa. Hal ini dapat memicu peroksidasi lipid membentuk malondyaldehida. Malondyaldehida memiliki efek inhibitor terhadap enzim antioksidan seperti katalase dan glutation reduktase sehingga terjadi oksidasi lensa lalu terjadi kekeruhan lensa dan akhirnya terbentuk katarak.


(36)

5. Defisiensi vitamin A, C, E, niasin, tiamin, riboflavin dan beta karoten

Zat nutrisi tersebut merupakan antioksidan eksogen yang berfungsi menetralkan radikal bebas yang terbentuk pada lensa sehingga dapat mencegah terjadinya katarak.

6. Dehidrasi

Perubahan keseimbangan elektrolit dapat menyebabkan kerusakan pada lensa. Hal ini disebabkan karena perubahan komposisi elektrolit pada lensa dapat menyebabkan kekeruhan pada lensa.

7. Trauma

Trauma dapat menyebabkan kerusakan langsung pada protein lensa sehingga timbul katarak.

8. Infeksi

Uveitis kronik sering menyebabkan katarak. Pada uveitis sering dijumpai sinekia posterior yang menyebabkan pengerasan pada kapsul anterior lensa.

9. Obat-obatan seperti kortikosteroid

Penggunaan steroid jangka panjang dapat meningkatkan resiko terjadinya katarak. Jenis katarak yang sering pada pengguna kortikosteroid adalah katarak subkapsular.

10. Penyakit sistemik seperti diabetes

Diabetes dapat menyebabkan perubahan metabolisme lensa. Tingginya kadar gula darah menyebabkan tingginya kadar sorbitol lensa. Sorbitol ini menyebabkan peningkatan tekanan osmotik lensa sehingga lensa menjadi sangat terhidrasi dan timbul katarak.


(37)

11. Genetik

Riwayat keluarga meningkatkan resiko terjadinya katarak dan percepatan maturasi katarak.

12. Myopia

Pada penderita myopia dijumpai peningkatan kadar MDA dan penurunan kadar glutation tereduksi sehingga memudahkan terjadinya kekeruhan pada lensa (American Academy of Ophtalmology, 2007).

2.2.5. Gejala dan tanda Katarak

Gejala dan tanda penyakit katarak adalah: 1. Penurunan tajam penglihatan

2. Peningkatan derajat myopia 3. Silau

4. Halo (melihat lingkaran disekitar lampu) 5. Diplopia monokuler (pada katarak nuklear) 6. Penurunan sensitivitas kontras

7. Titik hitam di depan mata

2.2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Katarak

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa katarak adalah: 1. Pemeriksaan tajam penglihatan

2. Illuminasi oblik 3. Test bayangan iris

4. Pemeriksaan dengan menggunakan ophthalmoskop langsung 5. Pemeriksaan dengan menggunakan slit-lamp


(38)

2.2.7. Stadium Katarak

Stadium pada katarak adalak katarak insipien, imatur, matur dan hipermatur. 1. Katarak insipien. Pada stadium ini akan terlihat hal-hal berikut:

a. Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju korteks anterior dan posterior (katarak kortikal ). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks. b. Katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular

posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi jaringan degeneratif (benda Morgagni) pada katarak insipien.

c. Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.

d. Katarak Intumesen. Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa degeneratif yang menyerap air. Masuknya air ke dalam celah lensa disertai pembengkakan lensa menjadi bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal dibanding dengan keadaan normal. Pencembungan lensa ini akan dapat memberikan penyulit glaukoma. Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan mengakibatkan miopia lentikular. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi korteks sehingga akan mencembung dan daya biasnya akan bertambah, yang memberikan miopisasi. Pada pemeriksaan slit-lamp terlihat vakuol pada lensa disertai peregangan jarak lamel serat lensa.

2. Katarak Imatur.

Katarak imatur ditandai dengan kekeruhan sebagian lensa dan belum mengenai seluruh lapisan lensa. Pada katarak imatur volume lensa akan dapat bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang degeneratif. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehingga terjadi glaukoma sekunder.


(39)

3. Katarak matur.

Pada keadaan matur kekeruhan telah mengenai seluruh massa lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion kalsium yang menyeluruh. Bila katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh lensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Kedalaman bilik mata depan normal kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif.

4. Katarak Hipermatur.

Katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula zinn menjadi kendur. Bila proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar. Korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini disebut katarak Morgagni (Ilyas, 2009).

2.3. Katarak Traumatik 2.3.1. Definisi

Katarak traumatik merupakan katarak yang muncul sebagai akibat cedera pada mata yang dapat merupakan trauma perforasi ataupun tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari ataupun beberapa tahun. Katarak traumatik ini dapat muncul akut, subakut, atau pun gejala sisa dari trauma mata.


(40)

2.3.2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat diperkirakan terjadi 2,5 juta trauma mata setiap tahunnya. Kurang lebih 4-5% dari pasien-pasien mata yang membutuhkan perawatan komperhensif merupakan keadaan sekunder akibat trauma mata. Trauma merupakan penyebab tertinggi untuk buta monokular pada orang kelompok usia di bawah 45 tahun. Setiap tahunnya diperkirakan 50.000 orang tidak dapat membaca koran sebagai akibat trauma mata.

Dilihat dari jenis kelamin perbandingan tejadian katarak traumatik laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1. National Eye Trauma System Study melaporkan rata-rata usia penderita katarak traumatik adalah 28 tahun dari 648 kasus yang berhubungan dengan trauma mata.

2.3.3. Patogenesis a. Luka memar/ tumpul

Jika terjadi trauma akibat benda keras yang cukup kuat mengenai mata dapat menyebabkan lensa menjadi opak. Trauma yang disebabkan oleh benturan dengan bola keras adalah salah satu contohnya. Kadang munculnya katarak dapat tertunda sampai kurun waktu beberapa tahun. Bila ditemukan katarak unilateral, maka harus dicurigai kemungkinan adanya riwayat trauma sebelumnya, namun hubungan sebab dan akibat tersebut kadang cukup sulit untuk dibuktikan dikarenakan tidak adanya tanda-tanda lain yang dapat ditemukan mengenai adanya trauma sebelumnya tersebut.

Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.


(41)

Gambar 2.5. Cincin Vossius

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007).

b. Luka Perforasi

Luka perforasi pada mata mempunyai tendensi yang cukup tinggi untuk terbentuknya katarak. Jika objek yang dapat menyebabkan perforasi (contoh : gelas yang pecah) tembus melalui kornea tanpa mengenai lensa biasanya tidak memberikan dampak pada lensa, dan bila trauma tidak menimbulkan suatu luka memar yang signifikan maka katarak tidak akan terbentuk. Hal ini tentunya juga bergantung kepada penatalaksanaan luka kornea yang hati-hati dan pencegahan terhadap infeksi, akan tetapi trauma-trauma seperti di atas dapat juga melibatkan kapsul lensa, yang mengakibatkan keluarnya lensa mata ke bilik anterior. Urutan dari dampak setelah trauma juga bergantung pada usia pasien. Saat kapsul lensa pada anak ruptur, maka akan diikuti oleh reaksi inflamasi di bilik anterior dan masa lensa biasanya secara berangsur-angsur akan diserap, jika tidak ditangani dalam waktu kurang lebih 1 bulan. Namun demikian, pasien tidak dapat melihat dengan jelas karena sebagian besar dari kemampuan refraktif mata tersebut hilang. Keadaan ini merupakan konsekuensi yang serius dan kadang membutuhkan penggunaan lensa buatan intraokular. Bila ruptur lensa terjadi pada dewasa, juga diikuti dengan reksi inflamasi seperti halnya pada anak namun


(42)

tendensi untuk fibrosis jauh lebih tinggi, dan jaringan fribrosis opak yang

terbentuk tersebut dapat bertahan dan menghalangi pupil. Trauma tembus akan

menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhanterbatas kecil.

Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata. Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan difagosit makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanalitik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan terbentuknya cincin Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara Elschnig.

Gambar 2.6. Cincin Soemering


(43)

Gambar 2.7. Mutiara Elschnig

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007).

c. Radiasi

Sinar yang terlihat cenderung tidak menyebabkan timbulnya katarak. Ultraviolet juga mungkin tidak menyebabkan katarak karena sinar dengan gelombang pendek tidak dapat melewati atmosfir. Sinar gelombang pendek (tidak terlihat) ini dapat menyebabkan luka bakar kornea superfisial yang dramatis, yang

biasanya sembuh dalam 48 jam. Cedera ini ditandai dengan “snow blindness” dan

welder flash”. Sinar infra merah yang berkepanjagan (prolong), juga dapat menjadi penyebab katarak, ini dapat ditemui pada pekerja bahan-bahan kaca dan pekerja baja, namun penggunaan kacamata pelindung dapat setidaknya mengeliminasi sinar X ini dan sinar gamma yang juga dapat mengakibatkan katarak. Katarak traumatik disebabkan oleh radiasi ini dapat ditemukan pada pasien-pasien yang mendapat radioterapi (seluruh tubuh) leukemia, namun resiko terjadinya hanya apabila terapi menggunakan sinar X.


(44)

Seringnya, manifestasi awal dari katarak traumatik ini adalah kekeruhan berbentuk roset (rosette cataract), biasanya pada daerah aksial yang melibatkan kapsul posterior lensa. Pada beberapa kasus, trauma tumpul dapat berakibat dislokasi dan pembentukan katarak pada lensa. Katarak traumatik ringan dapat membaik dengan sendirinya (namun jarang ditemukan).

d. Kimia

Trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak, selain menyebabkan kerusakan kornea, konjungtiva, dan iris. Komponen basa yang masuk mengenai mata menyebabkan peningkatan PH cairan akuos dan menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi secara akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia dapat juga disebabkan oleh zat asam, namun karena trauma sam sukar masuk ke bagian dalam mata dibandingkan basa maka jarang menyebabkan katarak.

2.3.4. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan dapat juga dibantu dengan pemeriksaan penunjang :

a. Anamnesis

· Riwayat dan mekanisme trauma, apakah tajam atau tumpul

· Riwayat keadaan mata sebelumnya, apakah ada riwayat operasi, glakoma, retinal detachment, penyakit mata karena gangguan metabolik.

· Riwayat penyakit lain, seperti diabetes, sickle cell, sindroma marfan, homosistinuria, defisiensi sulfat oksidase.

· Keluhan mengenai penglihatan, seperti penurunan visus, pandangan ganda pada satu mata atau kedua mata, nyeri pada mata.

b. Pemeriksaan fisik


(45)

· Kerusakan ekstraokular - fraktur tulang orbita, gangguan saraf traumatik. · Tekanan intraokular - glaukoma sekunder, perdarahan retrobulbar. · Bilik anterior - Hipema, iritis, iridodonesis, robekan sudut.

· Lensa - Subluksasi, dislokasi, integritas kapsular (anterior dan posterior), katarak (luas dan tipe).

· Vitreus - ada atau tidaknya perdarahan, Presence or absence of hemorrhage, perlepasan vitreus posterior.

· Fundus - Retinal detachment, ruptur khoroid, perdarahan pre intra dan sub retina, kondisi saraf optik.

c. Pemeriksaan penunjang

· B-scan - jika pole posterior tidak dapat terlihat. · A-scan - sebelum ekstraksi katarak

· CT scan orbita - adanya fraktur, benda asing, atau kelainan lain.

2.3.5. Penatalaksanaan Katarak Traumatik

Penatalaksanaan katarak traumatik tergantung kepada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. Apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis, dan lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uvetis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis, atau salah letak lensa.

Harus diberikan antibiotik sistemik dan topikal serta kortikosteroid topical dalam beberapa hari untuk memperkecil kemungkinan infeksi dan uveitis. Atropin sulfat 1%, 1 tetes 3 kali sehari, dianjurkan untuk menjaga pupil tetap berdilatasi dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior. Katarak dapat


(46)

dikeluarkan pada saat pengeluaran benda asing atau setelah peradangan mereda. Apabila terjadi glaukoma selama periode menunggu, bedah katarak jangan ditunda walaupun masih terdapat peradangan. Untuk mengeluarkan katarak traumatik, biasanya digunakan teknik-teknik yang sama dengan yang digunakan untuk mengeluarkan katarak kongenital, terutama pada pasien berusia kurang dari 30 tahun.

2.3.6. Penatalaksanaan bedah

Merencanakan pendekatan pembedahan sepenuhnya penting pada kasuskasus katarak traumatik. Integritas kapsular preoperatif dan stabilitas zonular harus diketahui/ diprediksi. Pada kasus dislokasi posterior tanpa glaukoma, inflamasi, atau hambatan visual, pembedahan mungkin tidak diperlukan. Indikasin untuk penatalaksanaan pembedahan pada kasus-kasus katarak traumatik adalah sebagai berikut :

· Penurunan visus yang berat (unacceptable)

· Hambatan penglihatan karena proses patologis pada bagian posterior. · Inflamasi yang diinduksi lensa atau terjadinya glaukoma.

· Ruptur kapsul dengan edema lensa.

· Keadaan patologis okular lain yang disebabkan trauma dan membutuhkan tindakan bedah.

Fakoemulsifikasi standar dapat dilakukan bila kapsul lensa intak dan dukungan zonular yang cukup. Ekstraksi katarak intrakapsular diperlukan pada kasus-kasus dislokasi anterior atau instabilitas zonular yang ekstrim. Dislokasi anterior lense ke bilik anterior merupakan keadaan emergensi yang harus segera dilakukan tindakan (removal), karena dapat mengakibatkan terjadinya papillary block glaucoma. Lesentomi dan vitrektomi pars plana dapat menjadi pilihan terbaik pada kasus-kasus ruptur kapsul posterior, dislokasi posterior, atau instabilitas zonular yang ekstrim.


(47)

2.3.7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain :

· Dislokasi lensa dan subluksasi sering ditemukan bersamaan dengan katarak traumatik.

· Komplikasi lain yang dapat berhubungan, seperti phakolitik, phakomorpik, blok pupil, glaukoma sudut tertutup, uveitis, retinal detachment, rupture koroid, hipema, perdarahan retrobulbar, neurophati optik traumatik.

2.3.8. Prognosis

Prognosis sangat bergantung kepada luasnya trauma yang terjadi pada saat terjadinya trauma dan kerusakan yang terjadi akibat trauma.

2.4. Trauma Mata

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata. Alat rumah tangga sering menimbulkan perlukaan atau trauma mata.

Macam-macam bentuk trauma mata : • Fisik atau Mekanik

1. Trauma Tumpul, misalnya terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock, membuka tutup botol tidak dengan alat, ketapel.

2. Trauma Tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, bahkan peralatan pertukangan.


(48)

3. Trauma Peluru, merupakan kombinasi antara trauma tumpul dan trauma tajam, terkadang peluru masih tertinggal didalam bola mata. Misalnya peluru senapan angin, dan peluru karet.

• Khemis

1. Trauma Khemis basa, misalnya sabun cuci, sampo, bahan pembersih lantai, kapur, lem (perekat).

2. cuka, bahan asam-asam dilaboratorium, gas airmata.

• Fisis

1. Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari. 2. Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi bagi pekerja radiologi.

Gejala

Gejala yang ditimbulkan tergantung jenis trauma serta berat dan ringannya trauma.

a. Trauma tajam selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai tertinggalnya benda asing didalam mata. Benda asing yang tertinggal dapat bersifat tidak beracun dan beracun. Benda beracun contohnya logam besi, tembaga serta bahan dari tumbuhan misalnya potongan kayu. Bahan tidak beracun seperti pasir, kaca. Bahan tidak beracun dapat pula menimbulkan infeksi jika tercemar oleh kuman

b. Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan didalam bola mata,


(49)

terlepasnya selaput jala (retina) atau sampai terputusnya saraf penglihatan sehingga menimbulkan kebutaan menetap.

c. Trauma Khemis asam umumnya memperlihatkan gejala lebih berat daripada trauma khemis basa. Mata nampak merah, bengkak, keluar airmata berlebihan dan penderita nampak sangat kesakitan, tetapi trauma basa akan berakibat fatal karena dapat menghancurkan jaringan mata/ kornea secara perlahan-lahan.

Penanganan

Penderita secepatnya harus dikirim ke RS yang ada dokter spesialis mata. Sebaiknya jangan lebih dari 6 jam setelah terjadi trauma untuk menghindari terjadinya infeksi.

- Trauma tumpul cukup dibebat dengan plester, jika ada beri salep mata antibiotic

- Trauma tajam dengan perlukaan dimata jangan memberi pengobatan dalam bentuk apapun. Sebaiknya mata dibebat dengan plester. Pada umumnya perlu dilakukan operasi segera dengan pembiusan umum maka penderita langsung dipuasakan.

- Trauma Khemis baik asam maupun basa sebaiknya secepatnya diguyur dengan air mengalir sebanyak-banyaknya kemudian diberi salep mata dan dibebat dengan plester secepatnya dikirm ke RS yang ada dokter spesialis mata.


(50)

Katarak BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Trauma Pada Mata - jenis kelamin

- usia - pekerjaan

- suku

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

3.2. Variabel dan Defenisi Operasional Variabel-variabel yang diteliti mencakup :

1. Trauma

Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata, dan dapat juga sebagai kasus polisi. Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata. Alat rumah tangga sering menimbulkan perlukaan atau trauma mata.

Macam-macam bentuk trauma mata : • Fisik atau Mekanik

1. Trauma Tumpul, misalnya terpukul, kena bola tenis, atau shutlecock, membuka tutup botol tidak dengan alat, ketapel.


(51)

2. Trauma Tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, bahkan peralatan pertukangan.

3. Trauma Peluru, merupakan kombinasi antara trauma tumpul dan trauma tajam, terkadang peluru masih tertinggal didalam bola mata. Misalnya peluru senapan angin, dan peluru karet.

• Khemis

- Trauma Khemis basa, misalnya sabun cuci, sampo, bahan pembersih lantai, kapur, lem (perekat)

- cuka, bahan asam-asam dilaboratorium, gas airmata. • Fisis

- Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari. - Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi bagi pekerja radiologi

2. Jenis Kelamin 3. Usia

Sumiati Ahmad Mohamad, membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai berikut :

a. 0 - 1 tahun = masa bayi

b. 1 - 6 tahun = masa pra sekolah c. 6 - 10 tahun = masa sekolah d. 10 - 20 tahun = masa pubertas e. 20 - 40 tahun = masa dewasa

f. 40 - 65 tahun = masa setengah umur (Prasenium) g. 60 tahun ke atas = masa lanjut usia (Senium)


(52)

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), usia lanjut meliputi : a. Usia Pertengahan (Middle Age) = antara 45 – 59 tahun. b. Usia lanjut (Elderly) = antara 60 – 70 tahun.

c. Usia lanjut tua (Old) = antara 75 – 90 tahun. d. Usia sangat tua (Very Old) = di atas 90 tahun.

4. Jenis Pekerjaan

Menurut WHO dalam Santoso (2004) penggolongan pekerjaan/beban kerja meliputi kerja ringan yaitu jenis pekerjaan di kantor, dokter, perawat, guru dan pekerjaan rumah tangga (dengan menggunakan mesin). Kerja sedang adalah jenis pekerjaan pada industri ringan, mahasiswa, buruh bangunan, petani, kerja di toko dan pekerjaan rumah tangga (tanpa menggunakan mesin). Kerja berat adalah jenis pekerjaan petani tanpa mesin, kuli angkat dan angkut, pekerja tambang, tukang kayu tanpa mesin, tukang besi, penari dan atlit.

5. Suku

Suku yang paling banyak berdomisili di kota Medan dan yang paling banyak berobat ke Poliklinik Mata RSUP. H. Adam Malik Medan.\

6. Katarak

Pasien yang telah didiagnosa menderita penyakit katarak berdasarkan diagnosis yang sudah diberikan oleh dokter spesialis mata.


(53)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif untuk melihat prevalensi katarak akibat trauma di RSUP H. Adam Malik Medan. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study, dimana pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali pada suatu saat.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Rumah sakit ini dipilih karena merupakan rumah sakit pusat rujukan di Provinsi Sumatera Utara.

4.2.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien rawat inap dan rawat jalan dengan penyakit katarak akibat trauma di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sejak Juni 2010 – Juni 2012.

4.2.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik total sampling dengan kriteria inklusi seluruh pasien yang menderita penyakit katarak akibat trauma dan dirujuk ke Poliklinik Mata. Sedangkan kriteria eksklusi yaitu semua pasien yang menderita penyakit katarak akibat trauma tidak dirujuk ke Poliklinik Mata.


(54)

4.3. Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh melalui data sekunder yaitu rekam medik pasien penderita katarak yang berobat dan dirujuk ke Poliklinik Mata. Kemudian dilihat diagnosa katarak yang terjadi dan trauma apa saja yang bisa menyebabkan katarak, data-data lain juga diperlukan seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, suku.

4.4. Pengolahan dan Analisis Data

Semua data yang terkumpul dicatat dan dilakukan editing dan coding, kemudian dimasukkan ke dalam program komputer untuk dianalisis lebih lanjut. Jenis analisis yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan menggunakan distribusi frekuensi. Hasil analisis data kemudian disajikan dalam bentuk tabel.


(55)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, kelurahan Kemenangan Tani, kecamatan Medan Tuntungan. Rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 355/ Menkes/ SK/ VII/ 1990. Dengan predikat rumah sakit kelas A, RSUP Haji Adam Malik Medan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. Selain itu, RSUP Haji Adam Malik Medan juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 502/ Menkes/ IX/ 1991tanggal 6 September 1991, RSUP Haji Adam Malik Medan ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 92 sampel, yang berupa rekam medik dari pasien katarak, rawat inap maupun rawat jalan yang dirujuk ke Poliklinik Mata. Dari keseluruhan sampel, karakteristik yang dapat diamati adalah jenis kelamin, umur, pekerjaan, suku, diagnosis.

5.1.2.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin


(56)

Tabel 5.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 38 41.3

Perempuan 54 58.7

Total 92 100.0

Berdasarkan tabel diatas, maka dijumpai pasien laki-laki yang menderita katarak sebanyak 38 orang (41,3%), sedangkan pasien perempuan sebanyak 54 orang (58,7%). Dari hail tabel tersebut dapat dilihat bahwa smpel berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki.

5.1.2.2. Distribusi sampel berdasarkan umur

Data distribusi sampel berdasarkkan umur dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2. Distribusi sampel berdasarkan umur

Umur (tahun) n %

1-20thn 3 3.3

21-30thn 1 1.1

31-40thn 2 2.2

41-50thn 10 10.9

51-60thn 21 22.8

61-70thn 39 42.4

71-80thn 12 13.0

81-90thn 4 4.3


(57)

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi pasien katarak terjadi pada kelompok umur 61-70 tahun yaitu sebanyak 39 sampel (42.2%), frekuensi terkecil terdapat pada kelompok umur 21-30 tahun yaitu sebanyak 1 sampel (1.1%).

5.1.2.3. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan

Data distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3. Distribusi sampel berdasarkan jenis pekerjaan

Jenis pekerjaan n %

Ringan 59 64.1

Sedang 6 6.5

Berat 27 29.3

Total 92 100.0

Berdasarkan jenis pekerjaan, didapatkan hasil sebanyak 59 sampel (64.1%) untuk pekerja ringan, selanjutnya didapatkan hasil sebanyak 27 sampel (29.3%) untuk pekerja berat, sedangkan untuk pekerja sedang didapati hasil sebanyak 6 sampel (6.5%).

5.1.2.4. Distribusi sampel berdasarkan suku


(1)

pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ringan 59 64.1 64.1 64.1

sedang 6 6.5 6.5 70.7

berat 27 29.3 29.3 100.0

Total 92 100.0 100.0

suku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid batak 35 38.0 38.0 38.0

jawa 45 48.9 48.9 87.0

aceh 11 12.0 12.0 98.9

tionghoa 1 1.1 1.1 100.0

Total 92 100.0 100.0

diagnosis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid katarak trauma 4 4.3 4.3 4.3

katarak senilis 86 93.5 93.5 97.8 katarak kongenital 2 2.2 2.2 100.0


(2)

DATA KATARAK TRAUMA

Statistics

jeniskelamin usia pekerjaan suku jenistrauma

N Valid 4 4 4 4 4

Missing 0 0 0 0 0

jeniskelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid laki-laki 4 100.0 100.0 100.0

usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1-20thn 1 25.0 25.0 25.0

51-60thn 1 25.0 25.0 50.0

61-70thn 2 50.0 50.0 100.0

Total 4 100.0 100.0

pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sedang 1 25.0 25.0 25.0

berat 3 75.0 75.0 100.0

Total 4 100.0 100.0

suku

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid batak 3 75.0 75.0 75.0


(3)

jenistrauma

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid trauma tumpul 1 25.0 25.0 25.0

trauma tajam 3 75.0 75.0 100.0


(4)

LAMPIRAN 4

DATA INDUK RESPONDEN

no. rekam

medis nama jenis kelamin umur suku pekerjaan diagnosa usia katarak

00.46.46.65 AH laki-laki 12 aceh sedang

katarak

kongenital 1-20thn bukan katarak trauma 00.46.63.87 L perempuan 66 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.48.88.56 SS perempuan 58 batak ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.48.84.99 PB laki-laki 73 batak berat katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.47.33.60 SA laki-laki 65 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.49.75.52 MS laki-laki 66 jawa berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.45.34.97 AG laki-laki 72 batak berat katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.51.48.60 N perempuan 47 jawa ringan katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.25.73.87 RS laki-laki 67 batak sedang katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.46.63.17 H perempuan 62 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.42.10.67 F perempuan 65 aceh ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.43.47.17 DN laki-laki 56 batak sedang katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.43.00.03 A perempuan 50 jawa berat katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.43.33.01 RB perempuan 43 batak berat katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.43.37.27 K perempuan 52 aceh ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.43.60.07 SS perempuan 70 aceh ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.43.69.25 S perempuan 34 aceh ringan katarak senilis 31-40thn bukan katarak trauma 00.41.94.91 WS laki-laki 73 aceh ringan katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.41.67.89 N laki-laki 65 jawa berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.41.57.89 R laki-laki 52 jawa berat katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.42.55.24 N perempuan 48 jawa ringan katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma

00.41.95.52 BR perempuan 1 batak ringan

katarak

kongenital 1-20thn bukan katarak trauma 00.42.78.37 AS laki-laki 26 aceh berat katarak senilis 21-30thn bukan katarak trauma 00.40.02.83 S perempuan 54 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.40.27.72 Y perempuan 62 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.41.69.48 HI laki-laki 83 jawa ringan katarak senilis 81-90thn bukan katarak trauma 00.44.73.11 JT laki-laki 67 aceh ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.44.62.14 T laki-laki 74 jawa berat katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.44.96.59 GS perempuan 63 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.40.83.46 SK perempuan 84 jawa ringan katarak senilis 81-90thn bukan katarak trauma 00.44.22.93 TS perempuan 61 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.45.52.82 R laki-laki 79 jawa berat katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.49.42.21 CG laki-laki 72 batak berat katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma


(5)

00.49.36.45 M perempuan 61 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.48.18.59 MS laki-laki 61 batak berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.49.09.25 S perempuan 62 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.50.59.49 M perempuan 58 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.50.83.49 LS laki-laki 63 batak berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.47.30.57 A perempuan 50 jawa ringan katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.49.40.54 S perempuan 67 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.49.11.68 TM laki-laki 63 batak berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.49.42.60 RA perempuan 71 jawa sedang katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.49.45.59 B perempuan 72 jawa ringan katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.46.75.48 CK perempuan 61 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.46.53.81 T perempuan 68 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.42.11.34 R laki-laki 45 jawa ringan katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.41.87.03 S laki-laki 60 jawa berat katarak trauma 51-60thn katarak trauma 00.41.82.02 TS perempuan 70 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.41.74.58 H laki-laki 64 jawa berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.39.24.71 S perempuan 66 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.46.60.82 A perempuan 62 aceh ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.50.34.47 S perempuan 66 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.50.26.23 GP perempuan 69 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.50.85.40 JG perempuan 61 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.48.97.21 N perempuan 54 aceh ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.48.11.34 MS laki-laki 49 batak berat katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.48.74.70 BKB laki-laki 55 jawa berat katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.49.84.79 K laki-laki 67 jawa berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.49.74.11 RW perempuan 52 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.49.08.39 RM perempuan 62 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.49.34.03 AML laki-laki 80 batak ringan katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.39.53.41 NB perempuan 72 jawa ringan katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.38.33.03 MBK perempuan 61 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.51.28.92 LS perempuan 57 batak ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.51.07.84 FF laki-laki 54 batak berat katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.51.10.40 SRS perempuan 74 batak ringan katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.42.72.35 I laki-laki 75 jawa ringan katarak senilis 71-80thn bukan katarak trauma 00.42.73.48 J perempuan 54 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.42.83.97 AJS laki-laki 58 batak ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.50.25.37 N perempuan 61 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.50.17.23 RBB perempuan 64 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.47.82.01 R perempuan 56 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.49.49.56 A perempuan 62 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.49.61.85 IH laki-laki 67 batak berat katarak trauma 61-70thn katarak trauma


(6)

00.48.23.06 FSH perempuan 83 batak ringan katarak senilis 81-90thn bukan katarak trauma 00.50.79.02 M laki-laki 41 batak berat katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.48.80.79 MM laki-laki 70 batak berat katarak trauma 61-70thn katarak trauma 00.50.79.41 A perempuan 90 jawa ringan katarak senilis 81-90thn bukan katarak trauma 00.51.64.79 S laki-laki 56 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.25.77.59 PB laki-laki 65 batak sedang katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.38.93.21 MBK perempuan 65 batak ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.43.67.65 N perempuan 56 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.43.11.37 BH laki-laki 19 batak sedang katarak trauma 1-20thn katarak trauma 00.43.33.79 S perempuan 59 jawa ringan katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.43.43.45 B laki-laki 62 jawa berat katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma 00.43.34.52 JM laki-laki 47 batak berat katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.43.27.59 ND perempuan 39 batak ringan katarak senilis 31-40thn bukan katarak trauma 00.45.12.77 H laki-laki 60 jawa berat katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.44.93.21 A perempuan 50 aceh ringan katarak senilis 41-50thn bukan katarak trauma 00.45.61.25 S perempuan 59 tionghoa berat katarak senilis 51-60thn bukan katarak trauma 00.45.64.32 NS perempuan 64 jawa ringan katarak senilis 61-70thn bukan katarak trauma