❏ Oktavianus
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 58
13a Amerika A:
I like your sweater B:
Oh, thank you 13b Perancis
A: I like your sweater
B: Oh, really ? It’s already quite old
Kedua ujaran di atas mencerminkan perbedaan persepsi dan keyakinan antara dua
budaya tentang hal puji-memuji. Bercermin kepada contoh di atas, rata-rata orang Minangkabau juga
kurang suka dipuji. Hal itu paling tidak dapat pula dicermati dari dialog berikut.
13c Minangkabau
A: Onde lah sudah se rumah ibuk.
Bilo pulo awak ka dapek co iko B:
Antahlah. Jo pitih bautang Pada ungkapan di atas, A memuji rumah
temannya yang sudah siap, sedangkan B memberikan respons bahwa rumah itu disiapkan
dengan uang yang dihutang walaupun sebenarnya rumah itu dibangun dengan uangnya sendiri. Di
Minangkabau sendiri ada istilah manyuruakan kuku Oktavianus 2002, 2003. Artinya, ada
kecenderungan tidak suka menonjolkan diri. Walaupun orang Perancis dan orang Minang sama-
sama tidak suka dipuji, tetapi implikasinya tetap tidak sama. Orang Perancis tidak suka dipuji
karena pujian dianggap mencampuri urusan pribadi seseorang. Orang Minang tidak suka dipuji
karena orang yang suka dipuji dicitranegatifkan. Namun, orang Inggris yang suka menerima pujian
tidak pula berarti mereka dicitranegatifkan. Senang dipuji mengandung pesan bahwa segala sesuatu
pencapaian mereka ingin mendapat pengakuan dari pihak lain.
2.3 Kewaspadaan Seseorang juga tidak dapat terlalu berbuat baik
kepada orang lain karena hal itu bisa berakibat buruk. Seseorang bisa menjadi tersinggung karena
merasa terlalu dibantu oleh pihak lain padahal dia sendiri merasa mampu untuk berbuat terhadap
dirinya. Fenomena seperti itu dapat dicermati pada ungkapan berikut.
14 Malabihi ancak-ancak,
mangurangi sio-sio, babuek baiak pado-padoi,
babuek buruak sakali jaan ‘melebihi ancak-ancak,
mengurangi sia-sia, berbuat baik pada-padai,
berbuat buruk sekali jangan’ DL-K.13, 2004
Melebihi dan mengurangi sesuatu, baik dalam berkata-kata maupun dalam bertindak,
hendaknya dilakukan dengan penuh pertimbangan karena hal ini bisa berakibat buruk. Dalam
kehidupan sehari-hari, perbuatan baik yang tidak pada tempatnya bisa memberikan kesan negatif.
Salah penafsiran adalah hal yang lazim terjadi dalam suatu interaksi. Ini disebabkan antara lain
oleh perbedaan cara berpikir penutur setiap bahasa Wierzbicka 1992: 3. Melakukan suatu pekerjaan
yang tidak baik adalah sesuatu pekerjaan yang sudah barang tentu memang harus dihindari.
Dengan demikian, kehati-hatian dalam bertutur dan bertindak adalah sesuatu hal yang diperlukan.
Orang yang hati-hati adalah orang yang mempertimbangkan segala sesuatu secara matang.
Melalui cara seperti inilah ia membentuk pencitraan dirinya di tengah-tengah masyarakat.
Filosofi yang terkandung dalam ungkapan berikut lahir dari sikap hati-hati, rasa solidaritas dan
motivasi berusaha. 15
Bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang
biak, anak kamanakan sanang santoso ‘bumi senang padi berlimpah, padi masak
jagung mengumpil ternak berkembang biak, anak kemenakan senang sentosa’
DL-K.13, 2004
Ungkapan-ungkapan pada ujaran di atas merupakan lambang kemakmuran dan kesentosaan
dalam kehidupan bermasyarakat dalam budaya Minangkabau. Dari ujaran itu, padi yang berlimpah
atau tumbuh subur, jagung yang mengumpil dan ternak yang berkembang biak dapat menciptakan
bumi yang damai dan penuh kerukunan. Kondisi seperti ini membentuk masyarakat yang sentosa
dan nyaman dalam kehidupannya. Kesentosaan dan kenyamanan tercermin dari bentuk lingual
padi, jagung, dan kesuburan tanah tempat tumbuh padi dan jagung itu. Ketiganya adalah lambang
kemakmuran. Fenomena yang hampir sama ternyata juga ditemukan dalam budaya masyarakat
Batak Toba di Sumatera Utara. Dalam budaya masyarakat ini, beras, ikan, dan tanah tempat
tumbuhnya padi adalah simbol kesetiaan, kerukunan, kesuburan, dan keteguhan dalam
perkawinan Hiddin dalam Purwo 1999.
Selanjutnya, kewaspadaan identik dengan kehati-hatian. Dalam berinteraksi dan
berkomunikasi sikap hati-hati dapat menguntungkan kedua belah pihak. Penutur dapat menjaga harga
dirinya, sedangkan mitra tutur tidak merasa dipermalukan. Ini tampaknya juga sejalan dengan
teori Face Threatening Act FTA yang diistilahkan dengan Teori Menjaga Perasaan
Wijana 2004 sehingga muka partisipan dalam pertuturan terselamatkan. Dengan kata lain, harga
diri self-esteem partisipan tetap terjaga. Fenomena seperti itu dapat dicermati pada ujaran
berikut.
❏ Oktavianus
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 59
16 A Iyo lah rumik awak maagak-agaki
anak urang ko ‘sulit kita menghadapinya’
B Ndak baa rasonyo do. Masuki juolah.
Tapi ati-ati. Bak maelo abuak dalam tapuang
‘tidak apa-apa rasanya. Nasihati jugalah. Tetapi hati-hati. Bak menghela rambut
dalam tepung’ DL-K.13, 2004
Ungkapan yang menyatakan kehati-hatian pada ujaran di atas adalah bak maelo abuak dalam
tapuang ‘bak menghela rambut dalam tepung’. Ungkapan ini biasanya memiliki tambahan di
belakangnya yaitu abuak ndak putuih tapuang ndak taserak ‘rambut tidak putus dan tepung tidak
tumpah’.
Makna yang terkandung pada ungkapan seperti ini biasanya diterapkan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang rumit yang bila tidak cermat bisa berakhir dengan kefatalan. Pada pertuturan di atas,
A mengeluhkan persoalan yang dihadapi C. B menyarankan kepada A untuk menyelesaikan
persoalan itu dengan hati-hati ibarat menarik rambut dalam tepung, rambut tidak putus dan tepung tidak
tumpah. Pekerjaan ini agak sulit untuk dilakukan karena rambut begitu halus dan mudah putus sehingga
orang harus berhati-hati. Rambut yang putus dan tepung yang tumpah dikiaskan kepada dampak yang timbul
dari ketidakhati-hatian itu. Sebagai contoh, dalam suatu keluarga, karena sesuatu dan lain hal, suami bisa
menjadi tersinggung dan meninggalkan istrinya. Tidak jarang istri yang ditinggalkan menjadi menderita. Oleh
sebab itu, kehati-hatian dalam bertindak dan berkata menjadi penting.
Kehati-hatian juga berkolokasi dengan kewaspadaan. Keduanya saling melengkapi. Orang
yang hati-hati dalam bertindak biasanya memiliki kewaspadaan demikian pula sebaliknya. Seperti halnya
kehati-hatian, kewaspadaan juga membentuk pencitraan diri seseorang. Kewaspadaan digambarkan
melalui ungkapan berikut.
Maminteh sabalun anyuik, malantai sabalun luluh,
‘Memintas sebelum hanyut, melantai sebelum lulus ke dalam kandang,
Ingek sabalun kanai, kulimek sabalun abih, ‘Ingat sebelum kena, hemat sebelum habis’
Sio-sio utang tumbuah, bakato siang caliak-caliak,
Sia-sia hutang tumbuh, berkata siang hari lihat-lihat orang datang
17
Bakato malam danga-dangaan. Berkata malam hari didengar-dengarkan
orang lewat DL-K.13, 2004
Ujaran di atas secara keseluruhan mengandung filosofi yang mengisyaratkan
kewaspadaan yang seharusnya dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
masyarakat. Sikap waspada selain membangun citra diri seseorang dalam suatu masyarakat juga
dapat membangun integrasi sosial antara satu individu dengan individu lainnya sehingga
terhindar dari berbagai bentuk pertentangan yang berakibat negatif.
Ungkapan maminteh sabalun anyuik ‘memintas sebelum hanyut’ merupakan ungkapan
yang dapat diprediksi bersumber dari aktivitas menyeberangi sungai di berbagai wilayah di
Minangkabau untuk berbagai keperluan. Maminteh sabalun anyuik ‘memintas sebelum hanyut’ secara
literal mewaspadai dan mempersiapkan sesuatu untuk mengatasi supaya jangan jatuh ke sungai dan
hanyut. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun jembatan atau menyediakan aneka
sarana penyeberangan. Ungkapan itu mengandung makna kias yang mengisyaratkan agar orang
berhati-hati dalam berbagai aspek kehidupan agar tidak terjerumus. Hanyut menjadi lambang kias
bagi setiap kajadian negatif yang dialami seseorang. Dengan demikian, hanyut berkonotasi
dengan kerugian dalam berbisnis, kegagalan dalam menghadapi ujian, dan kecelakaan dalam
berkendaraan.
Ungkapan malantai sabalun luluh
‘melantai sebelum terjerembab ke dalam kandang’ merupakan ungkapan yang bersumber dari
konstruksi rumah orang Minangkabau. Pada umumnya rumah tempat tinggal orang
Minangkabau pada masa dahulu dan sebagiannya pada masa sekarang terbuat dari kayu. Rumah itu
berlantai kayu yang ketinggian lantai dari tanah kira-kira satu meter. Di bawah lantai itu terdapat
ruangan yang disebut kandang. Kandang ini biasanya didiami oleh ayam dan itik. Karena lantai
rumah berjarak kira-kira satu meter dari tanah, untuk menaiki rumah harus pakai jenjang. Karena
berbagai faktor lantai rumah bisa menjadi lapuk atau ada bagian yang sama sekali belum dilantai
sehingga penghuni rumah atau orang yang berada di lantai yang sudah lapuk atau di bagian yang
belum berlantai terjerembab ke dalam kandang. Dari sinilah lahirnya ungkapan malantai sabalun
luluh ‘melantai sebelum lulus’. Ungkapan ini memiliki makna kias yang sama dengan maminteh
sabalun anyuik ‘memintas sebelum hanyut’. Luluh ‘terjerambab masuk kandang’ menjadi lambang
kias untuk setiap peristiwa negatif yang dialami seseorang. Luluh yang dalam bahasa Minangkabau
standar diucapkan luluih berkonotasi dengan kerugian dalam berbisnis, kegagalan dalam
berusaha, dan berbagai bentuk penderitaan atau kerugian yang dialami.
❏ Oktavianus
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 60
Selanjutnya, ungkapan ingek sabalun kanai ‘ingat sebelum kena’ merupakan ungkapan
yang berisi peringatan agar waspada dalam berbagai hal. Melalui teknik parafrase yang
dikemukakan oleh Wierzbicka 1996 kanai ‘kena’ secara leksikon dapat diartikan tertimpa atau
menderita sesuatu kerugian dan kesusahan akibat suatu perbuatan. Jadi, ungkapan ingek sabalun
kanai ‘ingat sebelum kena’ dapat diberlakukan dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Ungkapan ini
sejalan dengan kulimek sabalun abih ‘berhemat sebelum habis’. Ungkapan ini memberikan isyarat
agar orang tidak boros sehingga dia tidak mengalami kesusahan pada hari-hari berikutnya.
Ungkapan ini diperkuat pula oleh ungkapan sio-sio utang tumbuah ‘sia-sia hutang tumbuh’. Artinya,
orang yang tidak ingat sebelum kena dan tidak hemat sebelum segala sesuatunya habis akan berhutang.
Berhutang pada konteks ini memiliki makna kias yang menunjukkan kesusahan dan penderitaan. Kesusahan
dan penderitaan yang disebabkan oleh kecerobohan dan keborosan dapat menurunkan citra orang bersangkutan
di mata orang lain.
Ungkapan bakato siang caliak-caliak, ‘berkata siang lihat-lihat’ adalah ungkapan yang
merupakan bagian dari peringatan bagi kewaspadaan dalam berbicara. Ungkapan ini juga merupakan
refleksi budaya Minangkabau. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa jika membicarakan
sesuatu atau seseorang di siang hari, yang berbicara harus melihat kiri-kanan dan muka belakang jika
persoalan yang dibicarakan menyangkut seseorang. Ini dilakukan agar orang yang menjadi
sasaran pembicaraan tidak merasa dipermalukan.
Ungkapan bakato malam danga-dangaan ‘berkata malam dengar-dengarkan’ mengandung
pengertian yang hampir sama dengan ungkapan di atas, tetapi konteks pertuturannya tidak sama.
Ungkapan ini lahir dari kondisi Minangkabau yang belum memiliki penerangan yang memadai dan
kondisi pemukiman di lereng-lereng bukit dan di perkampungan. Jika membicarakan sesuatu di
malam hari, apalagi jika membicarakan seseorang, orang harus mewaspadai kalau ada orang yang
menguping di balik dinding. Hal ini penting diwaspadai karena beberapa alasan. Pertama,
kewaspadaan pada konteks ini dilakukan untuk menjaga harga diri kedua belah pihak. Kedua,
kewaspadaan ini dimaksudkan untuk menjaga kerahasiaan apa yang dibicarakan terutama jika hal
itu menyangkut hal-hal yang dianggap rahasia dan sensitif.
Yang menarik untuk dicermati adalah fakta bahwa untuk menyamarkan isi pembicaraan pada saat
berbicara di siang dan malam hari, bertutur berkias menjadi pilihan. Penggunaan pronomina yang
mengarah ke orang-orang tertentu biasanya dihindari. Berikut ini adalah penggalan pertuturan dalam
perundingan menjelang pernikahan. 18
...karano kumbang di sinan, bungo di kami.
Nan kumbang jo bungo amuah sasuai... ’karena kumbang di sana, bungo di kami
kumbang dan bunga tampaknya bisa serasi’
DL-LA, 2004
Jika ungkapan di atas didengar oleh orang lain secara diam-diam, ia kesulitan mengidentifikasi isi
pembicaraan. Seandainya orang lain berhasil mengidentifikasi topik pembicaraan, ia tetap saja
tidak bisa mengetahui dengan tepat makna simbolik kumbang dan bunga. Penyamaran
substansi pembicaraan dilakukan agar segala sesuatu yang dibicarakan tidak dicelakai oleh
pihak lain yang merasa tidak senang. Dalam hal perkawinan, sebagai contoh, orang yang merasa
tidak senang bisa mengguna-gunai pasangan yang menikah. Di Minangkabau, ada istilah kabaji
‘kebaji’ yaitu sejenis guna-guna yang bisa merusak perkawinan dan pasangan suami istri bercerai satu
sama lain. Untuk menghindari hal yang demikian, perundingan dilakukan dengan hati-hati. Pada
umumnya pembicaraan menggunakan bahasa kias sehingga orang lain sulit mengidentifikasi isi
pembicaraan. Makna-makna yang diungkapkan tersembunyi di balik lambang kias.
Seperti halnya bahasa Minangkabau, konsep kewaspadaan juga ditemukan dalam bahasa
Inggris. Berikut adalah beberapa contoh. 19
Make hay while the sun shines ’pergunakan kesempatan sebaik-baiknya’
20 Haste makes waste
’terburu-buru mendatangkan kerugian’ 21
A stitch in time saves nine ’pencegahan lebih baik daripada
pengobatan’
Ungkapan 19 hampir setara dengan ungkapan sadio payung sabalun ujan ’sedia
payung sebelum hujan’ dan ungkapan lainnya ingek sabalun kanai dan kulimek sabalun abih
’ingat sebelum kena dan berhemat sebelum segala sesuatunya habis. Dari ungkapan di atas, make hay
’mengumpulkan jerami’ lebih baik dilakukan ketika matahari masih bersinar sun shines. Jadi,
ada pesan kewaspadaan di dalam ungkapan itu.
Ungkapan 20 hampir setara dengan ungkapan capek cotok bangkak paruah ’perbuatan
tanpa pertimbangan mendatangkan kerugian’. Ungkapan ini juga membawa pesan kewaspadaan
dalam berperilaku dan bertindak. Ungkapan 21 hampir setara pula dengan ungkapan sasa daulu
pandapatan, sasa kudian tak baguno ’sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna’ dalam
bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
❏ Oktavianus
Cerminan Nilai Budaya Lintas Budaya
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume II No. 2 Oktober Tahun 2006 Halaman 61
Yang menarik dicermati dari ungkapan di atas adalah masing-masingnya tidak hanya
memiliki keparalelan makna, tetapi juga keparalelan konstruksi sintaksis. Hal itu dapat
dicermati pada contoh berikut. 22 BING Make hay while the sun shines
BM
Sadio payuang sabalun ujan 23 BING Haste makes waste
BM Capek cotok bangkak paruah
24 BING A stitch in time saves nine BM
Sasa daulu pandapatan, sasa kudian tak baguno
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa konsep kewaspadaan dan kehati-hatian dalam
bahasa Minangkabau dan bahasa Inggris sama- sama dikemas dengan menggunakan ungkapan.
2.4 Adaptasi Seperti halnya etnis lainnya, orang Minangkabau